Bahaya Kebencian dan Kebahagiaan

17 Agustus 2015 12:44

"Tujuan tertinggi bukanlah menghindari kebencian dan mencapai kebahagiaan.Tujuan tertinggi adalah mencapai kebebasan. Bebas dari perangkap kebencian dan kebahagiaan.”

~Y.M. Sri Pannavaro

Seorang klien yang mengaku depresi datang ke saya dan minta bantuan. Klien ini, sebut saja sebagai Pak Budi, dulunya tinggal di Jakarta, bekerja di sebuah perusahaan besar, dan hidupnya saat itu sudah mapan. Ia sangat bahagia dan menikmati hidup. Namun satu kejadian mengubah arah hidupnya. Ia dipindah ke kota Surabaya. Selang beberapa saat kemudian ia mengalami PHK.

Saat saya tanyakan mengapa dan bagaimana sampai bisa depresi ia menjawab, ”Setelah di-PHK saya merasa bingung. Nggak tahu mau kerja apa. Saya down dan malu. Saya malu dengan diri saya sendiri. Saya malu dengan keluarga saya. Saya malu dengan anak dan istri saya. Saya lalu mencoba berwirawasta. Hasilnya malah tambah terpuruk. Sudah dua tahun ini toko saya sepi. Saya susah tidur karena pikiran saya selalu memikirkan hal-hal negatif.”

Apa yang terjadi pada diri Pak Budi sebenarnya sederhana. Pak Budi tidak bisa menerima (baca: membenci) keadaannya saat ini. Yang ia inginkan adalah masa-masa bahagia seperti waktu ia masih bekerja di Jakarta.

Saat membantu Pak Budi mengatasi masalahnya saya langsung teringat ucapan bijak yang dikatakan oleh Y.M. Pannavaro di atas: “Tujuan tertinggi bukanlah menghindari kebencian dan mencapai kebahagiaan.Tujuan tertinggi adalah mencapai kebebasan. Bebas dari perangkap kebencian dan kebahagiaan.”

”Pak, tahukah Bapak kalau kemarahan dan kebencian itu sangat berbahaya?” tanya saya.

”Oh, sudah tentu Pak” jawab Pak Budi mantap.

”Nah, tahukah Bapak bahwa kebahagiaan juga berbahaya bagi diri kita?” kejar saya lagi.

”Maksud Pak Adi? Bukankah yang dicari semua orang adalah kebahagian? Saya tidak mengerti bagaimana kebahagiaan bisa berbahaya bagi hidup kita?” jawab Pak Budi bingung.

”Apa yang Bapak rasakan sekarang, depresi, adalah akibat dari kebahagiaan yang Bapak inginkan. Pikiran Bapak tidak bisa menerima saat kebahagiaan itu tidak lagi Bapak alami atau rasakan atau miliki saat ini. Pikiran Bapak menolak menerima kenyataan bahwa kebahagiaan itu telah berlalu. Padahal ini hanya bersifat sementara,” jawab saya.

Saat kita bertemu dengan sesuatu yang tidak sejalan dengan yang kita inginkan maka kita biasanya akan merasa tidak senang. Perasan tidak senang selanjutnya berkembang menjadi jengkel. Jengkel lalu berkembang menjadi marah dan akhirnya mengkristal menjadi kebencian. Saat pikiran dipenuhi dengan kebencian maka pikiran akan sangat ”kreatif” untuk mengarahkan persepsi, ucapan, dan perbuatan atau tindakan untuk bisa memuaskan kebencian. Hasilnya? Sungguh sangat destruktif.

Hal yang sama juga berlaku saat kita bertemu dengan hal yang kita inginkan. Saat itu kita merasa senang atau bahagia. Kalau bisa perasaan senang atau bahagia ini jangan sampai berlalu. Kalau bisa kita senang atau bahagia terus. Jika kesenangan atau kebahagiaan ini sampai lepas atau hilang atau tidak lagi kita rasakan maka muncul perasaan tidak senang. Perasan tidak senang selanjutnya akan berubah menjadi jengkel, marah, dan akhirnya menjadi kebencian.

Bila ditelaah secara lebih mendalam maka sumber depresi Pak Budi adalah keinginan untuk bisa terus bahagia. Pak Budi tidak bisa menerima kalau ia di-PHK dan akhirnya harus menjalani hidup yang berbeda dengan yang ia jalani sebelumnya.

Lalu apa solusinya? Di luar prosedur terapeutik yang saya lakukan saya berusaha membantu Pak Budi untuk bisa melihat proses perjalanan hidupnya dengan perspektif yang berbeda.

Segala sesuatu di dunia ini tidak abadi. Yang abadi hanya satu yaitu ketidakabadian itu sendiri. Ini adalah hukum alam yang tidak bisa ditolak atau dilawan dengan kekuatan apa pun. Pemahaman ini sangat penting agar kita dapat melihat dan menjalani hidup dengan benar dan tidak melekat baik pada kebencian maupun kebahagiaan.

Saya lalu menjelaskan pada Pak Budi prinsip kerja pikiran, ”Pikiran hanya bisa memikirkan satu hal dalam suatu saat. Jika Bapak sedih atau depresi maka yang terjadi adalah pikiran Anda hanya dan terus mainkan film sedih. Anda tidak memberi kesempatan pada diri Anda sendiri untuk bisa merasa bahagia.”

“Lha, bagaimana mau senang Pak. Kondisi saya saat ini begini parah. Dalam waktu beberapa bulan lagi saya harus pindah kontrakan. Istri saya akan melahirkan anak kedua. Saya benar-benar stress,” keluh Pak Budi.

”Ya itu tadi Pak. Bapak tidak mengijinkan pikiran Bapak untuk memainkan film yang bisa membuat Bapak senang dan bahagia,” jawab saya.

Saya lalu mengajarkan teknik pemusatan perhatian dan visualisasi untuk bisa membantu Pak Budi mengarahkan pikirannya.

Hal lain yang saya sarankan untuk Pak Budi lakukan adalah agar ia menyadari dan menghitung berkah dalam hidupnya saat ini. Saya sarankan Pak Budi mensyukuri apa yang ia miliki saat ini. Tujuannya adalah untuk bisa menyibukkan pikirannya dengan hal-hal positif. Selain itu untuk bisa membuatnya ”feel good”.

Saat diminta untuk menghitung berkah dalam hidupnya saya melihat perubahan yang cukup signifikan pada raut wajah dan postur tubuh Pak Budi. Saya kemudian meminta ia mengutarakan hal-hal yang patut ia syukuri dalam hidupnya.

”Saya bersyukur punya istri yang baik, yang selalu mendukung saya dalam kondisi apa pun. Istri saya tidak pernah mengeluh mengenai keadaan saya. Istri saya menerima saya apa adanya. Demikian juga dengan anak saya. Anak saya begitu mencintai saya. Saya punya keluarga yang sangat mencintai saya,” jawabnya dengan haru.

”Bapak tadi datang naik apa?” tanya saya

”Naik mobil, Pak,” jawab Pak Budi.

”Bukan naik angkutan umum atau sepeda motor?” kejar saya.

”Bukan, Pak. Saya naik mobil,” jawab Pak Budi.

”Pak, Anda sungguh beruntung lho. Ada sangat banyak orang yang tidak mampu beli mobil. Ada banyak orang yang kena PHK kemudian keluarganya berantakan. Ada banyak orang yang tidak punya rumah tinggal. Ada banyak orang yang satu hari belum tentu bisa makan tiga kali. Bapak sungguh beruntung dengan kondisi Bapak saat ini,” jelas saya.

”Ya Pak. Saya mengerti apa yang Pak Adi katakan. Yang sulit adalah mengendalikan pikiran saya Pak. Sulit untuk bisa positif. Saya selalu berpikir negatif,” keluh Pak Budi lagi.

”Oh, untuk itu gampang. Nanti saya ajarkan satu teknik terapi yang Bapak bisa lakukan sendiri di rumah. Bapak sulit berpikir positif karena selama dua tahun telah terbiasa ”melatih” pikiran, lebih tepatnya membiarkan pikiran menjadi terbiasa, memikirkan hanya hal-hal yang negatif. Pikiran Bapak sudah punya kebiasaan memikirkan yang negatif. Nanti kita latih ulang agar kembali biasa memikirkan yang positif,” ujar saya membesarkan hati Pak Budi.

Seringkali kita benci atau bahagia dengan menggunakan tolok ukur yang kurang tepat. Kita benci dengan keadaan kita karena kita membandingkan diri kita dengan orang di atas kita. Kita ingin bisa seperti orang lain yang hidupnya lebih baik dari kita. Seringkali kita lupa untuk membandingkan diri kita dengan orang lain yang kondisinya di bawah kita.

Dua minggu setelah pertemuan dengan Pak Budi saya mendapat telpon. Pak Budi melaporkan bahwa sekarang ia sudah jauh lebih baik kondisinya. Sudah lebih tenang dan sudah bisa tidur. Pikirannya sudah positif. Pak Budi berkata, ”Terima kasih Pak Adi atas waktu dan bantuan yang telah diberikan kepada saya.”

”Pak, bukan saya yang membantu atau menyembuhkan Bapak. Saya hanya bertindak sebagai penunjuk jalan. Bapak yang menyembuhkan diri Bapak sendiri. Bapak tidak sakit kok. Bapak hanya salah belajar. Pikiran Bapak kurang tepat dalam memaknai kejadian atau pengalaman hidup. Terima kasih juga karena Bapak telah memberikan saya kesempatan berharga untuk belajar,” jawab saya mengakhiri pembicaraan.

Perubahan yang terjadi pada diri Pak Budi semuanya berhubungan dengan energi pikiran. Ya, benar, pikiran punya energi. Saat kita memikirkan sesuatu maka kita memberikan energi pada ”buah pikir” ini. Saat Pak Budi saya minta untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda, saat saya meminta ia mengamati mengapa ia sedih atau depresi maka saat itu ”buah pikir sedih/depresi” mulai kehilangan kekuatan. Energi yang tadinya digunakan untuk menghasilkan kesedihan kini dialihkan pada kegiatan mengamati, mengetahui, dan mengerti mengenai kesedihan. Dengan demikian cengkeraman kesedihan menjadi longgar dan Pak Budi bisa mengambil napas dan menghimpun kekuatan baru untuk melakukan hal lain yang lebih konstruktif.

Dan saat ia menghitung berkat dalam hidupnya, energi pikiran yang sama digunakan secara konstruktif dan efektif untuk kebaikan dirinya. Semakin sering ia amati sisi positif dalam hidupnya, semakin banyak energi tercurahkan ke bentuk pikiran positif ini dan semakin kuatlah ia. 

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online3
Hari ini318
Sepanjang masa34.510.983
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique