Konseling Tiga Jam Tanpa Hasil, Terapi Satu Jam Masalah Selesai

23 September 2015 23:55

Artikel ini saya tulis berdasar pengalaman membantu pasangan suami istri, sebut saja Budi dan Ani, atasi prahara dalam rumah tangga mereka. Klien datang ke saya atas rekomendasi keluarga mereka, yang kebetulan adalah klien saya beberapa tahun lalu.

Budi dan Ani telah menikah dua puluh tahun dan selama ini hidup bahagia. Sesekali terjadi perbedaan pendapat dan pertengkaran ringan di antara mereka. Namun masih dalam batas wajar dan aman.

Masalah muncul saat Ani secara tidak sengaja menemukan, di HP dan juga di komputer Budi, foto-foto mantan pacar suaminya dulu di masa kuliah. Rupanya api cemburu Ani tersulut dan berkobar hebat membakar nalar dan hatinya. Ani marah besar dan menuduh suaminya telah bertindak tidak setia, melanggar janji pernikahan, dan berpikir negatif tentang suaminya, bahkan menuduh jangan-jangan Budi sudah selingkuh dengan si mantan.

Budi sudah jelaskan bahwa ia sama sekali tidak ada maksud apapun dengan menyimpan foto-foto mantan pacarnya. Selain foto si mantan juga ada foto rekan-rekan lain semasa SMA dan kuliah dulu.

Namun Ani tidak bisa terima. Intinya, ia merasa dikhianati, kecewa, marah, sakit hati, terluka, merasa dibohongi, sedih, benci, dan dendam. Budi sudah minta maaf pada Ani, menghapus semua foto mantannya dan juga foto-foto rekannya yang lain baik di HP maupun di komputer dan berjanji tidak akan mengulangi lagi kekhilafan ini.

Apakah Ani bisa terima? Tetap tidak. Ani marah-marah terus. Sesekali Ani bisa tenang dan sadar bahwa sebenarnya hal ini tidak perlu dipermasalahkan. Namun yang lebih sering terjadi ia dikuasai kemarahan yang semakin hari semakin berkobar.

Kondisi ini berlangsung hampir setahun. Ani tahu bahwa ini perlu segera diselesaikan. Ani merasa dalam dirinya ada dua tarikan antara yang sadar bahwa sebenarnya hal ini tidak perlu dipemasalahkan lagi dan yang terus marah.

Untuk selesaikan masalahnya, Budi dan Ani telah lakukan konseling ke pendeta, ikut retreat, ke psikiater, dan juga psikolog. Ini dilakukan dalam kurun waktu setahun dan tidak buahkan hasil seperti yang diharapkan yaitu Ani bisa lepaskan semua emosi negatif akibat peristiwa itu dan memaafkan suaminya dengan tulus dan kembali pulih seperti sebelum kejadian itu.  

Saat jumpa saya, seperti biasa, saya minta Budi dan Ani jelaskan situasi dan kondisi yang mereka alami dari perspektif masing-masing. Saya berlaku sebagai penengah, netral, yang perlu mendengar dari kedua pihak.

Menurut saya, sebagai terapis, masalah ini sederhana. Budi secara tidak sengaja telah lakukan kekhilafan, minta maaf, dan berjanji tidak mengulangi. Seharusnya masalah ini selesai. Yang Budi simpan hanya foto dan tidak ada bukti sama sekali bila Budi lakukan hal yang lebih dari itu dengan mantannya.

Yakin bahwa masalah ini sederhana, saya putuskan untuk lakukan konseling pada Budi dan Ani. Saya lebih banyak mendengar keluhan, uneg-uneg, pemikiran, perasaan, dan harapan Ani. Budi lebih banyak diam.

Selama sekitar dua jam saya berusaha bantu Ani untuk melihat kondisinya dari perspektif berbeda. Saya jelaskan, berusaha yakinkan, lakukan edukasi dengan pendekatan psikologi, agama, kutip ayat-ayat kitab suci, gunakan sugesti langsung, sugesti tidak langsung, metafora, gunakan otoritas saya yang di mata mereka sangat tinggi, berkat edifikasi dari keluarga mereka yang telah saya bantu atasi masalahnya, dan berbagai teknik terapi lainnya yang dilakukan dalam kondisi sadar normal atau light trance. Hasilnya? Sama sekali tidak ada hasil.  

Secara logika semua yang saya lakukan selama dua jam pasti berhasil menembus faktor kritis pikiran sadar Ani, dan masuk ke pikiran bawah sadarnya. Namun, Ani bergeming dari posisi pemikiran bahwa suaminya selingkuh dan terus membantah apapun yang saya katakan atau sampaikan.

Sadar bahwa konseling tidak bisa diteruskan, karena sudah berlangsung sekitar dua jam tanpa hasil, saya putuskan untuk akhiri dan beri Ani tugas yang perlu dilakukan di rumah. Saya buat jadwal untuk jumpa Ani saja di minggu depan.  

Di pertemuan kedua, saya mencoba lagi lakukan konseling dan edukasi pada Ani. Saya pikir, dengan Budi tidak ada di dalam ruangan, Ani akan lebih leluasa bicara, lebih terbuka dan bisa menerima saran, masukan, dan pemahaman yang saya tawarkan. Konseling berlangsung selama satu jam. Hasilnya? Sama seperti pertemuan pertama, sama sekali tidak ada hasil. 

Sebenarnya saya tahu apa yang akan terjadi. Kesulitan dalam sesi konseling ini juga telah saya prediksi. Saya tahu mengapa selama tiga jam konseling sama sekali tidak ada hasil. Saya putuskan untuk menerapi Ani. Setelah satu jam, Ani merasa lega sekali. Dan saat saya minta ingat-ingat kembali Budi simpan foto mantannya, Ani hanya tersenyum.

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa konseling selama tiga jam tidak ada hasil, terapi sejam masalah langsung selesai?

Semua kembali pada intensitas emosi yang dirasakan seseorang. Emosi adalah energi. Semakin intens emosi berarti semakin besar energi. Pada kasus Ani, intensitas emosinya sangat tinggi yaitu 10 (skala 1 ke 10). Tingginya intensitas emosi membuat pikiran sadar Ani menjadi kaku mempertahankan perspektifnya, yang sebenarnya dikendalikan oleh pikiran bawah sadarnya. Walau saya berhasil menembus faktor kritis pikiran sadarnya, memasukkan sugesti baik yang bersifat langsung atau tidak langsung, gunakan metafora, sampai ayat kitab suci, semua informasi ini mendapat penolakan hebat dari Ego Personality dalam diri Ani yang merasa terluka dan memegang emosi intens akibat perbuatan Budi yang ia anggap salah. Semua yang saya sampaikan sama sekali tidak bisa memengaruhi Ani, sampai emosi ini berhasil dinetralisir melalui terapi.

Sebenarnya, semua informasi yang saya sampaikan di sesi konseling selama tiga jam sudah masuk ke pikiran bawah sadar Ani. Informasi ini belum bisa efektif bekerja dan memengaruhi Ani karena dikalahkan oleh emosi intens yang telah mengganggu hidupnya selama hampir setahun. Saat emosi ini berhasil dinetralisir maka semua informasi ini bisa bekerja.

Dalam konteks hipnoterapi klinis, salah satu resistensi utama pikiran bawah sadar terhadap proses perubahan (baca: terapi) adalah keberadaan emosi intens yang dipegang oleh Ego Personality tertentu. 

Di kelas SECH (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy) diajarkan sangat banyak teknik untuk mengeluarkan dan menetralisir emosi di pikiran bawah sadar dengan cara sistematis, terstruktur, aman, dan efektif sesuai dengan karakter klien. 

Saya sering gunakan analogi selang pemadam kebakaran. Saat air disemburkan melalui selang, dengan tekanan yang sangat tinggi, selang menjadi kaku dan harus dipegang erat oleh beberapa orang. Namun saat air sudah habis, selang kempis dan menjadi lunak sehingga dapat dengan sangat mudah digulung. Demikian pula halnya pikiran bawah sadar. Saat emosi sudah tidak ada, terapis dapat dengan mudah lakukan resolusi trauma dengan mudah dan aman pada memori spesifik.

 

 

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online4
Hari ini727
Sepanjang masa34.480.362
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique