Memori Normal dan Traumatik

Riset terkini menunjukkan bahwa manusia memiliki lebih dari satu jenis memori. Ada memori jangka pendek dan panjang. Memori jangka panjang terbagi menjadi dua kelompok yaitu memori nondeklaratif, juga disebut dengan memori implisit, meliputi memori prosedural, keterampilan motorik, emosional, dan otomatis. Kelompok kedua, memori deklaratif, juga disebut dengan memori eksplisit, meliputi memori semantik dan episodik (Gunawan, 2003).

Memori jangka pendek berguna menampung informasi yang masuk ke pikiran individu. Rentang waktu maksimal untuk menyimpan informasi di memori ini sangat singkat, sekitar 15 – 30 detik. Memori prosedural (Tulving, 1985; Gunawan, 2003) merujuk pada kemampuan mengingat cara melakukan sesuatu, seperti berenang, naik sepeda, mengendari mobil, membuka pintu, mengikat tali sepatu, dan sejenisnya. Sesuai namanya, memori keterampilan motorik adalah memori yang menyimpan semua data yang berhubungan dengan gerakan motorik dalam melakukan suatu kegiatan. Sementara memori emosional adalah satu bentuk memori yang dipengaruhi oleh, dan dengan demikian bermuatan, emosi baik positif maupun negatif. Memori otomatis adalah memori yang terbentuk karena respon terkondisi. Saat memori ini aktif, ia akan mengaktifkan memori lainnya.

Memori semantik, juga disebut memori fakta, berisi data atau informasi yang dipelajari dari berbagai sumber, seperti buku, ceramah, internet, video, dan semua bentuk informasi yang disampaikan menggunakan kata-kata. Memori episodik adalah berisi informasi tentang fakta-fakta atau kejadian yang terjadi pada suatu waktu dan tempat tertentu (Tulving, 1972, 1985; Gunawan, 2003). Memori episodik berkembang setelah memori semantik dan prosedural, dan berhubungan perkembangan hipokampus pada fase tumbuhkembang anak.

Perlu diingat bahwa tidak terdapat relasi antara keyakinan individu akan akurasi memori dan realibilitasnya. Dalam konteks memori, bisa terjadi konfabulasi, terciptanya memori palsu, dan kriptomnesia, individu mengingat satu bentuk memori seolah-olah adalah memori ini benar miliknya, sesuatu yang ia alami sendiri, dan sejatinya data ini berasal dari sumber lain yang bukan miliknya.

Distorsi Memori

Telah banyak pakar meneliti tentang memori (Loftus dan Loftus, 1976; Loftus, 1980; Pettinati, 1988; Loftus dan Ketcham, 1994; Brown, Scheflin, & Hammond, 1997), dan para peniliti ini sepakat akan tiga hal tentang pembentukan memori. Tahap pertama, akuisisi, saat data masuk ke dalam pikiran dan dikodekan untuk disimpan. Proses pengkodean ini terjadi beberapa cara, permukaan (superficial) atau dalam (deep), dan holistik atau berorientasi detil / detail-oriented (Orner, Whitehouse, Dinges, & Orne, 1988). Di tahap akuisisi, informasi yang masuk ke pikiran individu dipengaruhi banyak faktor baik eksternal maupun internal. Dan ini dapat menyebabkan distorsi. Data yang masuk bukan data murni, apa adanya, namun data ditambah komponen lain yang berasal dari faktor-faktor tadi, terutama faktor persepsi atau pemaknaan oleh individu.

Saat data berhasil diakuisisi, data ini diproses di tahap kedua, tahap retensi. Pada tahap ini juga dapat terjadi distorsi. Salah satu bentuk distorsi memori di tahap ini adalah memori dapat pudar, menjadi kurang intens setelah selang waktu tertentu. Individu bisa, secara tidak sadar atau sengaja, menambah atau mengurangi data memori asli akibat pengalaman hidupnya. Demikian pula, mimpi dan fantasi dapat mendistorsi memori. Memori dapat dikonstruksi ulang, dimodifikasi, diubah oleh pikiran bawah sadar karena beragam alasan (Phillips dan Frederick, 1995). Dan terdapat bukti informasi palsu yang diberikan setelah kejadian nontraumatik lebih mudah diingat daripada kejadian itu sendiri (Loftus, Miller, dan Burns, 1978; Loftus, 1979).

Distorsi lebih lanjut dapat terjadi di tahap pemanggilan kembali data memori (retrieval). Faktor yang memengaruhi adalah cara pertanyaan diajukan, bersifat mengarahkan (leading) atau menuntun (guiding) dan relasi antara penanya dan subjek. Sehalus apapun leading yang terjadi atau dilakukan pasti berpengaruh signifikan atas daya ingat individu (Loftus & Zanni, 1975; Bowers dan Hilgard, 1988).

Memori Traumatik

Walau telah banyak penelitian memori dilakukan, ternyata banyak pula temuan yang tidak sejalan (Hammond, 1993; Brown, Scheflin, dan Hammond 1997). Dari hasil penilitian juga ditemukan bahwa memori pengalaman traumatik disimpan dengan cara berbeda dari pengalaman nontraumatik (van der Kolk, 1996a, 1996b, 1997; Brown, Scheflin, dan Hammond 1997). Hasil pemindaian otak menemukan saat memori negatif muncul, ia mengaktifkan amigdala, tempat memori kejadian psiko-fisiologis dan bermuatan emosi disimpan, hemisfir kanan otak menjadi aktif sementara hemisfir kiri menjadi sangat berkurang keaktifannya. Temuan ini membantu memberi pemahaman mengapa proses penyimpanan dan kerja memori traumatik tidak mengikuti aturan yang sama dengan memori nontraumatik. Memori traumatik berisi konten tinggi afeksi dan rendah kognisi.

Dalam upaya penelusuran dan pengungkapan memori traumatik, terapis perlu cermat dan hati-hati dalam menyikapi setiap informasi yang muncul dari pikiran bawah sadar. Informasi ini secara subjektif benar adanya namun belum tentu benar secara objektif. Proses terapi mengedepankan penggalian informasi tanpa perlu melakukan validasi karena pengalaman subjektif inilah yang menjadi sumber masalah klien. Dengan demikian, apapun yang muncul atau ditemukan, inilah yang diproses hingga tuntas. Hal ini tentu berbeda bila penggalian informasi dari pikiran bawah sadar dilakukan dengan tujuan forensik (Gunawan, 2009).

Memori apapun yang muncul dalam proses terapi, baik tanpa atau dengan kondisi hipnosis disebut materi memori atau pengalaman memori (Phillips dan Frederick, 1995), atau lebih mudah disebut sebagai memori traumatik (Gunawan, 2009).

Sifat Memori Traumatik

Dari temuan di ruang praktik para hipnoterapis AWGI, ditemukan data menarik. Memori secara keseluruhan disebut dengan memori autobiografi, berisi semua jenis memori. Namun, memori traumatik yang berisi data atau informasi dari kejadian spesifik dengan muatan emosi negatif intens memiliki kehidupan sendiri dan tidak menyatu dengan memori autobiografi. Memori ini sangat ingin menyatu dengan memori autobiografi namun tidak bisa karena terhalang muatan emosi negatif yang lekat padanya.

Menyadari hal ini, pikiran bawah sadar, sesuai dengan sifat dan fungsinya, akan terus memunculkan memori ini dalam bentuk kilas balik ingatan atau flashback yang tentunya cukup mengganggu individu. Setiap kali kilas balik ini terjadi, diri individu segera terisi emosi negatif. Saat emosi negatif yang lekat pada memori berhasil dinetralisir atau dilepas maka pada saat itu pula ia dapat segera menyatu dengan memori autobiografi.

Memori-memori di pikiran bawah sadar semuanya aktif secara simultan, di masa kini. Masing-masing memiliki kehidupannya sendiri. Memori dengan muatan emosi negatif intens menjadi memori yang paling mudah dipanggil kembali atau diingat. Sementara memori normal, tanpa muatan emosi negatif (intens) akan pudar, menjadi samar, dan bahkan terlupakan.

Dalam proses terapi, hampir semua memori traumatik berasal dari kejadian saat individu berada dalam kandungan ibu hingga usia sekitar 10 tahun. Saat terjadi pembuahan, telah ada kesadaran dan yang aktif adalah pikiran bawah sadar. Apapun yang dialami oleh janin dan apa yang dialami dan dirasakan ibunya semuanya terekam di pikiran bawah sadar, menunggu hingga individu belajar bahasa untuk bisa mengungkapkannya.

Kejadian di masa kecil, seperti pelecehan seksual, saat dialami oleh anak, pada saat kejadian, belum dimaknai sebagai pengalaman traumatik. Pada saat itu anak belum paham mengenai hal ini. Namun seiring bertambahnya usia dan pemahaman, pikiran bawah sadar memberikan pemaknaan pada peristiwa itu sehingga menjadi pengalaman traumatik dan mengganggu kestabilan sistem psikis.

Pengalaman Emosional Korektif

Istilah pengalaman emosional korektif (corrective emotional experience) pertama muncul dalam buku Psychoanalytic Therapy: Principles and Application. Pengalaman emosional korektif adalah pemaparan ulang pasien, dalam situasi yang lebih mendukung, pada situasi emosional yang tidak dapat ia hadapi di masa lalu. Hal ini meliputi proses di mana klien meninggalkan pola perilaku lama dan belajar atau belajar ulang pola-pola baru dengan mengalami kembali kebutuhan dan perasaan-perasaan yang belum terselesaikan di masa lalu.  (Alexander, French, dkk., 1946). Dalam upaya mengatasi masalahnya, klien harus menjalani pengalaman emosional korektif yang sesuai untuk memperbaiki pengaruh dari pengalaman-pengalaman traumatik sebelumnya.

Dalam kaitannya dengan memori, hingga saat ini ada kepercayaan, di kalangan terapis tertentu, yang menyatakan bahwa pengungkapan memori traumatik per se bersifat terapeutik. Dengan kata lain, saat memori traumatik berhasil diungkap atau diketahui maka secara otomatis terjadi proses penyembuhan. Hasil penelitian dan temuan di ruang pratik tidak demikian. Pengungkapan memori adalah satu hal. Dan yang sangat penting dan bersifat terapeutik adalah penuntasan trauma. 



Dipublikasikan di https://adiwgunawan.com/articles/memori-normal-dan-traumatik pada tanggal 29 Maret 2017 23:30