Pikiran: Satu Tapi Banyak, Banyak Tapi Satu

(Dalam artikel ini penulis sengaja menggunakan istilah ego state karena merujuk pada sejarah, teori, dan literatur awal yang membahas topik tulisan agar dapat memberi perspektif yang sesuai.  Dalam berbagai artikel lain yang telah dipublikasi, penulis menggunakan istilah ego personality.)

Perjalanan panjang peradaban manusia tentu tak lepas dari upaya meraih kebahagiaan. Upaya ini tidak senantiasa berjalan mulus seperti diharapkan. Ada beragam masalah muncul atau dialami individu terutama yang berkaitan dengan kesehatan fisik dan mental. Di masa lampau, saat individu mengalami masalah, baik fisik dan atau mental, dan meminta bantuan penyembuh untuk mengatasi masalahnya, para penyembuh masa itu menggunakan salah satu dari dua pendekatan. Pertama, individu bermasalah karena jiwa atau rohnya keluar dari tubuh, disandera, atau disembunyikan oleh kekuatan dari luar diri individu. Untuk sembuh tidak ada cara lain selain menemukan dan memasukkan kembali jiwa atau roh ke dalam diri. Kedua, individu bermasalah karena dirinya dimasuki roh atau entitas asing dan menguasai dirinya. Ia hanya bisa sembuh saat roh asing ini berhasil diusir keluar dari dirinya (Clement, 1932; Ellenberger, 1970). Ritual pengusiran setan (exorcism) bertujuan untuk mengeluarkan elemen diri asing telah digunakan selama ribuan tahun dalam praktik penyembuhan dan sayangnya masih terus berlanjut hingga saat ini dan direkomendasi oleh terapis tertentu (Friesen, 1991).

Pemahaman para penyembuh di masa lalu tentunya benar untuk masanya. Seiring perkembangan dan kemajuan jaman, pemahaman akan diri, dalam konteks psikologi  klinis, juga berkembang pesat. Kepercayaan bahwa kepribadian manusia terdiri atas banyak bagian atau subdiri diyakini oleh banyak praktisi dan teoretikus. Para klinisi seperti Janet (1919/1976), William James (1890/1983), Morton Prince (1905/1978), Franz Alexander (1930), dan Milton Erickson (1940/1980) meyakini pikiran terdiri atas banyak bagian. Demikian pula Assagioli (1965) dengan psikosintesa-nya dan Eric Berne (1961) dengan Analisis Transaksional-nya. Sementara Carl Jung (1969) mengembangkan versinya sendiri dan membagi bagian pikiran menjadi kompleks dan arketipe.

Temuan riset menyatakan bahwa pikiran tidak bersifat tunggal namun tersusun atas bagian-bagian. Riset yang dilakukan oleh Hilgard (1977, 1984) menemukan keberadaan pengamat tersembunyi (hidden observer) yang sebelumnya tidak diketahui keberadaannya namun menjadi aktif saat diakses dengan cara tertentu. Watkins dan Watkins (1979/1980) juga menemukan hal serupa. Gazzaniga (1989,1995) yang fokus pada penelitian di bidang neurobiologis otak menemukan substrat yang mengatur aktivitas mental dan membenarkan bahwa pikiran terdiri atas bagian-bagian. Demikian pula interpretasi bukti neurobiologis yang dilakukan oleh Ornstein (1987) menyimpulkan bahwa manusia sejatinya memiliki multi-pikiran.

Pandangan salah bahwa kepribadian bersifat tunggal mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman akan kondisi diri, memunculkan pandangan negatif dan harga diri yang buruk, saat seseorang memandang dirinya hanya dari satu perspektif. Individu positif yang melakukan banyak kebaikan bisa salah menilai dirinya sebagai orang yang buruk hanya karena ada satu bagian dirinya melakukan hal buruk dan ia memaknainya keseluruhan dirinya buruk (Schwartz, 1995).

Teori Ego State

Salah satu teori yang sangat gamblang dalam menjelaskan konsep pikiran bersifat majemuk adalah teori Ego State yang dikembangkan oleh Federn (1952). Teori dan pemikiran Federn selanjutnya diterbitkan dalam buku berjudul Ego Psychology and the Psychoses (Federn, 1952).

Dalam teori Federn, sistem psikis digerakkan oleh energi. Berbeda dengan Freud, Federn tidak menggunakan istilah libido tapi cathexis, yang bermakna penyaluran atau pemanfaatan energi. Federn percaya bahwa energi psikis dapat dimanfaatkan atau disalurkan pada ego (ego cathexis) atau pada objek (object cathexis). Ego cathexis dapat dipandang sama dengan atau sebagai “diri” dan memiliki satu kualitas dasar yaitu perasaan “keakuan” (Watkins, 1992). Saat suatu objek mendapat atau dialiri dengan object cathexis, ia dialami sebagai sesuatu yang berada di luar diri. Federn mendefinisikan ego state hanya memiliki ego cathexis.

Ego state terbentuk di usia dini dan mereka hidup berdampingan dalam keseimbangan dinamis. Setiap ego state memiliki riwayat atau sejarah hidup, pemikiran, persepsi, perasaan, perilaku, dan keterlibatan fisik (Federn, 1952), peran, fungsi, atau tugas spesifik dalam sistem diri invididu dan fungsi kognitifnya sendiri (Gunawan, 2012).   

Kekhasan ego state menjadikannya tidak bisa direduksi menjadi kategori umum seperti inner child, atau orangtua (parent), orang dewasa (adult), dan anak (Berne, 1961). Ego state juga bukan arketipe Jungian. Ego state adalah komponen dari pengelompokan energi internal yang masing-masing saling memengaruhi.

Cara sederhana untuk memahami distribusi energi di antara ego state adalah melalui konsep executive ego state atau ego state yang aktif. Ego state, yang pada satu saat tertentu memiliki paling banyak energi dalam sistem psikis disebut executive atau aktif menjalankan, mengendalikan, dan adalah diri individu pada saat itu. Setiap kali satu ego state menjadi executive, ia mengalami dirinya sendiri sebagai “saya” atau “aku”, dan mengalami ego state lainnya sebagai “dia” atau mereka”.

Upaya memelajari dan memahami teori ego state perlu dilandasi konsep bahwa setiap ego state adalah baik dan bertujuan membantu dan demi kebaikan individu. Menurut Federn (1952) ego state terbentuk di usia dini. Namun para klinisi yang melakukan terapi berbasis ego state menemukan bahwa ego state dapat terbentuk kapan saja, walau benar masa utama pembentukan mereka adalah di usia dini. Ego state terbentuk melalui tiga cara: proses bertumbuh individu secara normal, introjeksi dari orangtua atau figur penting/otoritas, atau kejadian penting, dan tercipta untuk mengatasi pengalaman traumatik (Watkins, 1993). Yang dimaksud dengan pengalaman traumatik di sini antara lain kecelakaan, sakit,bencana alam, cedera, kekerasan yang dilakukan pada anak, atau kejadian lain dengan muatan emosi intens yang tidak dapat ditangani dengan baik oleh diri individu. Temuan kami menyatakan, selain tiga cara di atas, ego state juga dapat terbentuk melalui empat cara lain yaitu muncul sendiri untuk melaksanakan tujuan tertentu, tercipta melalui imprint, sengaja diciptakan dengan sugesti, dan akibat hasil pembelajaran (Gunawan, 2012).

Watkins dan Watkins (1990) mengajukan teori bahwa banyak ego state tercipta untuk membantu anak berhadapan dengan dan mengatasi pengalaman traumatik. Mereka meyakini bahwa anak memiliki keterbatasan respon saat menghadapi trauma berlebih. Respon anak bisa berupa menarik diri dari realita dan menjadi psikotik. Respon lainnya, sama buruknya, yaitu anak, karena tidak tahan mengahadapi atau mengalami trauma, akhirnya melakukan tindakan bunuh diri. Dan kemungkinan ketiga adalah anak, pada level pikiran bawah sadar, membentuk ekspresi diri kreatif, sebuah ego state, sebagai bagian dari pertahanan diri (defense mechanism), yang khusus berfungsi melokalisir atau menghadapi trauma demi kebaikan sistem psikis secara umum.

Umumnya ego state, setelah tercipta, akan bertumbuh mengikuti pertumbuhan dan perkembangan individu, termasuk dalam hal ini usia, pengetahuan, dan pengalamannya juga bertambah. Namun ego state tertentu, terutama yang tercipta dari pengalaman traumatik, mengalami fiksasi, tidak bertumbuh. 

Spektrum Ego State

Untuk lebih mudah memahami ego state, ia dapat dipandang sebagai entitas yang dipisahkan, dengan ego state lainnya, oleh sebuah membran semipermeabel. Kondisi ideal membran yaitu ia cukup tebal untuk memisah, dan cukup tipis untuk memungkinkan komunikasi egostate. Terdapat variasi keterpisahan dan keteraksesan di antara ego state normal. Patologi terjadi saat membran ego state mulai menebal dan ia memisahkan diri dari keterhubungan dengan ego state lainnya. 

Bila menggunakan garis kontinum, pada ekstrim kiri adalah kondisi ego state sehat, normal, hubungan di antara mereka baik, harmonis. Para ego state ini saling mengenal, berbagi informasi atau konten mental. Pada titik tengah adalah spektrum ego state yang mulai terpisah, namun belum sepenuhnya disosiatif. Masuk dalam kategori ini adalah kondisi gangguan makan (Frederick, 1994g; Torem, 1987a), depresi (Frederick, 1993b; Newey, 1986), gangguan obsesif kompulsif (Phillips, 1993a, 1993b), dan gangguan panik (Frederick, 1993c). Sementara pada ekstrim kanan adalah ego state yang memisah diri karena tebalnya membran dan komunikasi dengan ego state lainnya, dalam sistem psikis, terputus total. Dalam kondisi ini ego state, saat executive, mengendalikan sepenuhnya diri individu dan ego state lainnya tidak tahu apa yang terjadi karena konten mental ego state yang bermasalah tidak dapat diakses oleh ego state lainnya. Kondisi ini dikenal dengan split-off atau Dissociative Identity Disorder (DID) yang sebelumnya dikenal dengan Multiple Personality Disorder (MPD). Penebalan dinding membran yang mengakibatkan disosiasi disebabkan oleh pengalaman traumatik dengan emosi sangat intens (Gunawan, 2012), dan sekitar 90% disebabkan oleh pelecehan seksual berat (Putnam, 1989).

Aktivasi Ego State

Ego state dalam diri individu terbagi menjadi dua kategori. Pertama, ego state permukaan (surface) atau juga dikenal sebagai executive ego state yang aktif dalam kondisi sadar normal dan dikenal sebagai "diri". Kedua, ego state yang aktif di "kedalaman", lebih tidak disadari keberadaannya atau underlying dan bersifat lebih disosiatif serta memiliki jarak dengan ego state lainnya.Para ego state yang aktif di permukaan saling mengenal namun biasanya tidak mengenal ego state yang aktif di kedalaman (underlying).  

Semua ego state, karena berbagi konten mental, sangat sadar apa yang sedang berlangsung atau dialami individu. Dalam konteks klinis, saat satu ego state diaktifkan oleh terapis, ia menjadi executive. Sementara ego state lainnya tetap aktif namun bersifat underlying atau aktif di kedalaman sampai mereka diaktifkan menjadi executive.

Terdapat banyak cara untuk mengaktifkan ego state. Terapis bisa menggunakan metode talking through yaitu bicara dengan ego state melalui kepribadian yang lebih besar, sebagai wadah keseluruhan ego state. Ada dua cara yang bisa dilakukan, langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Cara lain untuk aktivasi ego state adalah dengan langsung memangilnya keluar dan mengajaknya berkomunikasi (Edelstein, 1981; Watkins, 1992). Selanjutnya ego state dapat diaktifkan melalui teknik imajinasi. Teknik ini sifatnya lembut dan memungkinkan terapis memahami apa yang terjadi dalam diri individu berdasar perspektif ego state. Salah satu tekniknya adalah Dissociative Table Technique (Fraser, 1991). Teknik yang juga banyak digunakan untuk aktivasi ego state adalah ideomotor response. Ego state diundang untuk aktif atau executive dan berkomunikasi dengan terapis melalui gerakan jari. Dalam hal ini terapis perlu cakap dalam menyusun pertanyaan yang diajukan pada ego state. Ego state juga dapat menjadi aktif saat dilakukan regresi dan progresi hipnotik. Regresi bisa dilakukan, antara lain, dengan teknik affect bridge, somatic bridge, atau content bridge. Ego state, khususnya yang resisten dan menghambat proses hipnosis, juga bisa diakses menggunakan resistance deepening technique (Emmerson, 2001). Menulis surat atau jurnal juga sangat efektif untuk mengaktifkan ego state. Menulis surat diawali oleh ego state dewasa (surface) kepada ego state sasaran. Selanjutnya ego state sasaran menulis surat balasan kepada ego state surface. Selain menulis surat, cara lain yang juga menggunakan menulis untuk aktivasi ego state adalah menulis ekspresif. Dalam konteks ini, individu mengingat satu kejadian kemudian menuangkan kisahnya, beserta perasaan berhubungan dengan kejadian ini dengan tulisan tangan. Saat ini dilakukan ego state surface yang tadinya mengawali menulis, dan bukan yang mengalami pengalaman traumatik, akan bergeser digantikan oleh ego state yang memang benar bermasalah.

Cara berkomunikasi dengan ego state seperti yang dijelaskan di atas adalah cara komunikasi dalam kondisi normal dan dengan ego state normal. Lain halnya bila yang diajak komunikasi adalah ego state yang keras dan (sangat) resisten. Bila berhadapan dengan ego state seperti ini terapis perlu ekstra hati-hati dan cermat. Ego state tipe ini sering menampilkan dirinya dalam bentuk gambaran mental abstrak atau tidak relevan atau mewujud dalam sensasi fisik tertentu. Terapis tidak berpengalaman dapat secara tidak sengaja mengabaikan keberadaan mereka karena tidak mengerti bentuk komunikasi tak lazim dan unik yang dilakukan oleh ego state ini.

Ego state dapat diaktifkan baik dengan atau tanpa kondisi hipnosis. Namun, dari pengalaman klinis, terapi ego state tanpa kondisi hipnosis tidak mampu memberikan akses penuh pada semua ego state dan kemungkinan penyembuhan (Emmerson 2003; Gunawan, 2012).

Tujuan Terapi Ego State

Masalah yang dialami individu adalah pertanda bahwa para ego state dalam sistem psikis tidak harmonis. Yang terjadi, karena telah terjadi pemisahan akibat penebalan dinding membran, ada satu atau beberapa ego state yang menjalankan agenda sendiri dengan mengabaikan kepentingan ego state lainnya tanpa memikirkan kepentingan diri individu secara keseluruhan.

Walau ada ego state bertindak tidak harmonis dengan tujuan keseluruhan sistem, dari pengalaman klinis ditemukan bahwa tujuannya selalu baik, menurut pemikiran, perspektif, atau pemahaman ego state tersebut. Seringkali masalah muncul karena ego state ingin melindungi individu melalui mekanisme proteksi yang dipilih olehnya, tanpa sepengetahuan dan persetujuan individu dan ego state lainnya. Dibutuhkan proses terapi demi menyelaraskan kembali tujuan ego state ini sehingga bisa sejalan dengan ego state lainnya demi kebaikan individu (Gunawan, 2012).

Tujuan akhir dari terapi ego state adalah integrasi, bukan fusi. Fusi adalah penyatuan beberapa ego state menjadi satu, sementara integrasi adalah kondisi di mana para ego state mampu berkomunikasi secara penuh satu dengan yang lain, berbagi konten mental, hidup harmonis dalam relasi kooperatif dan suportif (Watkins, 1993).

Terapi Ego State dan Neuroplastisitas

Hasil penelitian terkini menggunakan beragam instrumen pemindai canggih menunjukkan bahwa otak tidak statis namun dinamis. Otak memiliki kemampuan neuroplastisitas, kemampuan berubah secara struktural dan fungsional sebagai akibat dari input internal dan eksternal dalam bentuk berpikir, belajar, tindakan berulang, perilaku, perhatian, mengalami pengalaman baru. Semua kegiatan ini memengaruhi gen dan dengan demikian memengaruhi konfigurasi anatomi otak yang selanjutnya berpengaruh pada perilaku, emosi, kognisi, kemampuan motor dan sensori. Singkat kata, perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh pemakaiannya (Perry, 1997; Siegel, 1999; Cozolino 2002; Schore, 2003). 

Setiap terapi yang menghasilkan perubahan, baik pada aspek emosi, perilaku, maupun fisik pasti melibatkan dan berpengaruh pada otak. Laporan tentang hal ini semakin meningkat sejak tahun 1990an, termasuk beragam studi neurofisiologi seperti aliran darah di otak ((Yamanishi, Nakaaki, dkk., 2009), tingkat metabolik glukosa otak (Schwartz, Stoeddel, dkk., 1996), studi gelombang otak (Thase, Simons, & Reynolds III, 1996) dan pemetaan otak (Baxter, 1992).

Reinder, Nijenhuis, dkk., (1997) berhasil merekam perbedaan pola gelombang otak pada individu yang mengalami Dissociative Identity Disorder (DID) saat alter berbeda aktif. Walau penelitian hubungan antara psikoterapi dan otak masih perlu terus dilakukan, untuk bisa mendapat gambaran lebih utuh atas apa yang terjadi, saat ini para peneliti berkeyakinan bahwa terapi ego state memengaruhi struktur otak. Dan saat ini, dapat ditunjukkan, bahwa intervensi yang dilakukan secara nyata memengaruhi gen untuk aktif dan nonaktif yang memungkinkan terjadinya neuroplastisitas. 



Dipublikasikan di https://adiwgunawan.com/articles/pikiran-satu-tapi-banyak-banyak-tapi-satu pada tanggal 14 Januari 2017 13:15