Teori Polivagus, Pikiran Bawah Sadar, dan Hipnoterapi Klinis

9 Agustus 2019 16:32

Teori Polivagus, Pikiran Bawah Sadar, dan Hipnoterapi Klinis

 Oleh Dr. Dr. Adi W. Gunawan, S.T., M.Pd., CCH®

Artikel ini bertujuan menjelaskan secara singkat teori Polivagus (Polyvagal Theory) yang digagas oleh Stephen W. Porges dan korelasinya dengan pikiran bawah sadar dan hipnoterapi klinis.

Teori Polivagus pertama kali diungkap ke publik oleh Stephen W. Porges, 8 Oktober 1994, di hadapan komunitas ilmiah Society of Psychophysiological Research. Beberapa bulan kemudian, teori ini dipublikasi dalam artikel Orienting in a Defensive World: Mammalian Modifications of Our Evolutionary Heritage dan diterbitkan di jurnal Psychophysiology (Porges, 1995).

Neurosepsi (Neuroception)

Menurut teori Polivagus, sebelum otak mengerti apa yang terjadi dan memberi makna secara sadar pada suatu situasi atau kejadian, sistem saraf otonom melalui proses yang dinamakan neurosepsi, telah memindai (scan) dan menilai (assess) berbagai informasi yang bersumber baik dari dalam tubuh, lingkungan, maupun dari individu lain, dan memberi makna pada informasi ini (Porges, 2004).

Makna yang dihasilkan melalui proses ini bisa berupa salah satu dari tiga hal berikut: aman, tidak aman/berbahaya, atau mengancam keselamatan hidup. Selanjutnya, masih tanpa melibatkan kesadaran (conscious awareness), sistem saraf memulai dan mendorong terjadinya respon seturut makna.  

Neurosepsi dapat dipandang sebagai sinyal somatik yang memengaruhi pembuatan keputusan dan respon perilaku tanpa secara sadar mengetahui keberadaan isyarat atau pemicu (Klarer dkk, 2014 : 7076). Beberapa karakteristik neurosepsi terekam ke dalam sistem saraf kita, menjadi strategi adaptif, dan diturunkan melalui proses evolusi (Porges, 2009b).

Berbeda dengan persepsi yang melibatkan kesadaran hingga derajat tertentu, neurosepsi berlangsung sangat cepat, tidak melibatkan fungsi kognisi atau kesadaran, namun melibatkan struktur subkortikal sistem limbik (Morris, Ohman, dan Dolan, 1999). Hasil dari neurosepsi berupa firasat (gut feelings), perasaan yang muncul dari hati (heart-informed feelings), dan perasaan tersirat (implicit feelings) yang menggerakkan individu dalam kontinum respon aman dan keselamatan hidup (survival). Neurosepsi mengendalikan kondisi mental emosi, memberi warna pada pengalaman, dan mencipta respon otonom.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh sekelompok ilmuwan Max Planck Institute for Human Cognitive and Brain Sciences di Leipzig, bekerja sama dengan Charité University Hospital dan Bernstein Center for Computational Neuroscience di Berlin, di bawah pimpinan Professor John-Dylan Haynes. Hasil penelitian yang dipublikasi di Science Daily, 15 April 2008, menyatakan bahwa aktivitas otak memprediksi, bahkan hingga 7 detik lebih awal, bagaimana seseorang akan membuat keputusan. Dengan kata lain, pembuatan keputusan adalah hasil dari aktivitas mental yang bersifat tidak disadari (nirsadar). 

Pemindaian dan penilaian yang dilakukan sistem saraf otonom, melalui proses neurosepsi, bekerja berdasar pola kebiasaan yang berkembang seiring waktu dan dibentuk melalui pengalaman hidup, baik pengalaman positif dan memberdayakan, maupun pengalaman traumatik. Neurosepsi membentuk kondisi psikologis (kognisi dan emosi) dan selanjutnya kondisi ini menentukan respon individu (Dana, 2018).

Secara anatomis, tiga bagian otak yang terlibat dalam proses neurosepsi adalah temporal cortex, periaqueductal gray (PAG), dan insula (Porges, 2009b, 2011). Temporal cortex bekerjasama dengan amigdala menjalankan fungsi mengenali dan berespon pada wajah, suara, dan gerakan tangan orang untuk menentukan derajat keterpercayaan seseorang. PAG berkomunikasi dengan sistem saraf simpatik dan dorsal vagus untuk mengelola perilaku konfrontatif, perilaku menghindar atau lari, dan perilaku imobilisasi. Insula terlibat dalam interosepsi, mengolah informasi yang berasal dari organ tubuh, atau membawa umpan balik dari organ viseral ke permukaan sehingga diketahui oleh pikiran sadar (Craig, 2009a).

Neurosepsi memberi individu akses pada informasi yang tidak dapat individu amati secara sadar. Bila neurosepsi bekerja dengan baik, ia adalah berkah dalam menjaga keselamatan dan kesejahteraan individu. Namun, neurosepsi juga bisa salah dalam melakukan penilaian akibat distorsi yang disebabkan oleh trauma masa lalu, berbagai emosi negatif dalam diri, akibat pengaruh obat, kondisi fisik lelah, gula darah rendah, sakit, atau bahkan saat individu sedang jatuh cinta.

Sistem Saraf Otonom

Sebelum Teori Polivagus, sistem saraf otonom manusia digambarkan sebagai sistem antagonis dua bagian, simpatik dan parasimpatik, dengan peran dan fungsinya masing-masing, dan hanya satu sistem saraf yang bisa aktif pada satu waktu tertentu. Sistem saraf simpatik berespon pada sinyal atau isyarat bahaya,  melepas adrenalin dan menyiapkan tubuh untuk proses penyelamatan hidup melalui respon lawan atau lari (fight-flight response). Sementara sistem saraf parasimpatik berfungsi merilekskan individu.

Teori Polivagus mengidentifikasi jenis respon ketiga, yang Porges (2004) sebut sebagai sistem keterlibatan sosial (social engagement system), perpaduan antara  respon aktif dan menenangkan, beroperasi melalui pengaruh saraf yang unik.

Dalam Teori Polivagus dinyatakan bahwa sistem saraf parasimpatik memiliki dua cabang dengan fungsi berbeda: ventral vagus dan dorsal vagus. Dengan demikian, menurut teori ini, terdapat tiga jalur dalam sistem saraf otonom kita: simpatik, ventral vagus dan dorsal vagus (Porges, 2011).

Saraf simpatik berawal dari dalam kolom tulang belakang, menuju ke bagian tengah medula spinalis dalam kolom sel medialolateral (atau tanduk lateral), dimulai pada segmen toraks pertama dari medula spinalis dan diperkirakan meluas ke segmen lumbar kedua atau ketiga. Saraf simpatik memobilisasi energi individu melalui dua sistem: medula simpatik adrenal (sympathetic adrenal medullary / SAM) dan poros hipotalamus-pituitari-adrenal (hypopthalamic-pituitary-adrenal axis) atau poros HPA.

Saat sistem saraf memaknai situasi sebagai bahaya atau mengancam, SAM aktif dan mengakibatkan semburan adrenalin untuk respon segera terhadap stresor. Respon sekejap ini berlangsung dalam rentang waktu 100 milidetik. Aktivasi SAM bertujuan untuk respon jangka pendek dan setelahnya tubuh kembali ke kondisi normal. Namun apabila situasi tidak dapat diatasi dengan aktivasi SAM, selanjutnya poros HPA aktif dan melepas hormon stres kortisol.

Manusia memiliki 12 pasang saraf kranial (saraf yang muncul langsung dari otak). Saraf vagus adalah saraf kranial 10, paling panjang dari semua saraf kranial, dan merupakan komponen utama dari sistem saraf parasimpatik. Saraf vagus bukan saraf tunggal namun berupa kumpulan serabut saraf dalam selubung.

Saraf vagus terbagi menjadi dua jalur di diafragma: ventral vagus dan dorsal vagus. Ventral vagus memengaruhi kerja organ-organ di atas diafragma (supradiafragmatik) seperti jantung dan paru-paru, sementara dorsal vagus memengaruhi kerja organ-organ di bawah diafragma (subdiafragmatik), terutama organ pencernaan.

Ventral vagus berespon pada isyarat situasi atau kondisi aman dan mendukung rasa aman untuk keterlibatan dan keterhubungan secara sosial. Sementara dorsal vagus berespon pada isyarat bahaya ekstrim yang mengancam keselamatan, guncangan hebat baik fisik atau psikis (shock – trauma), atau bila individu merasa tidak berdaya menghadapi situasi tertentu.

Aktifnya dorsal vagus dapat diamati melalui karakteristik fisik antara lain wajah kehilangan warna, datar, dan tampak tidak responsif. Suara juga berubah menjadi datar, respon verbal menjadi (sangat) lambat, mata nanar dan tekanan darah turun. Aliran darah ke lobus frontalis juga menurun mengakibatkan otak tidak mampu membentuk narasi dan gambaran kejadian yang dialami individu. Individu mengalami amnesia. Ini terjadi karena pada saat mengalami guncangan hebat, individu bereaksi menggunakan bagian otak dan sistem saraf yang lebih primitif.

Hampir semua saraf ventral vagus termielinasi. Sementara saraf-saraf dorsal vagus hampir semuanya tidak termielinasi. Mielinisasi membuat ventral vagus mampu memroses informasi dengan cepat dan efisien (Porges, 1997).

Hal penting lainnya, 80% saraf vagus adalah saraf aferen, yaitu saraf yang mengirim sinyal sensorik ke otak. Sementara 20%-nya adalah saraf eferen, yaitu saraf yang mengirim sinyal dari otak ke otot-otot dan kelenjar-kelenjar.

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa saat situasi aman, ventral vagus aktif, individu dapat menjalani interaksi sosial (social engagement) dengan baik. Saat situasi tidak aman atau bahaya, saraf simpatik aktif dan individu masuk mode lawan atau lari (fight-flight). Dan saat menghadapi bahaya ekstrim, dorsal vagus aktif, individu mengalami kondisi imobilisasi atau freeze.

Hirarki Aktivasi

Untuk memahami cara kerja dan urutan aktivasi ketiga sistem saraf otonom ini, dapat digunakan analogi tangga. Posisi paling atas tangga adalah ventral vagus. Di bawahnya, sistem saraf simpatik. Dan paling bawah adalah dorsal vagus.

Dalam kondisi normal, saat neurosepsi memberi makna aman terhadap situasi di dalam diri, lingkungan, atau orang lain di sekitar individu, saraf ventral vagus aktif. Aktifnya ventral vagus berakibat individu merasa aman, nyaman, dan mampu berinteraksi sosial dengan baik.

Apabila karena sesuatu hal, neurosepsi memaknai suatu isyarat sebagai tanda bahaya maka aktivasi ventral vagus menurun dan saraf simpatik mulai aktif. Bila kondisi bahaya ini dapat segera diatasi, saraf simpatik menjadi nonaktif dan ventral vagus kembali aktif sepenuhnya sehigga individu dapat menjalani kehidupan dengan perasaan nyaman dan mampu berinteraksi dengan lingkungan.

Namun bila kondisi bahaya ini tidak dapat diatasi, ventral vagus segera menjadi nonaktif dan saraf simpatik aktif sepenuhnya mengendalikan individu. Saraf simpatik mengaktifkan respon lawan atau lari (fight-flight response). Saat individu menghadapi bahaya ekstrim yang mengancam keselamatan atau guncangan ektrim yang dinilai di luar kemampuan individu untuk mengatasinya, dorsal vagus aktif, dan individu masuk kondisi imobilisasi/beku (freeze), menarik atau menutup diri, dan bisa mengalami disosiasi.

Pengalaman tidak kondusif atau traumatik dalam proses tumbuh kembang individu mengakibatkan neurosepsi sering salah dalam memaknai suatu informasi. Informasi yang sebenarnya netral atau bukan masalah dimaknai sebagai sesuatu yang mengancam atau berbahaya, mengakibatkan ventral vagus nonaktif, dan sistem saraf simpatik atau dorsal vagus aktif.  

Untuk mampu menjalankan interaksi dan fungsi sebagai makhluk sosial dengan baik, merasa tenang, aman, bahagia, aktif, penuh perhatian, semangat, dan menikmati hidup, individu butuh aktivasi ventral vagus. Namun, semua hal ini tidak bisa individu alami bila sistem saraf simpatik atau dorsal vagus aktif, yang menempatkan individu dalam mode genting lawan atau lari, atau kondisi imobilisasi.

Pengalaman tidak kondusif atau traumatik dalam proses tumbuh kembang dapat mengakibatkan individu tersangkut dalam mode sistem saraf simpatik aktif atau dorsal vagus aktif untuk waktu lama.

Saat sistem saraf telah terkondisi sedemikian rupa, ia akan terus berada dalam kondisi ini hingga individu secara sadar melakukan pengkondisian baru. Perubahan melalui pengkondisian baru sifatnya penting karena neurosepsi mengikuti pola terkondisi ini.

Trauma dan Sistem Saraf Otonom

Setiap individu, dalam perjalanan hidupnya, pasti pernah mengalami peristiwa yang mengguncang, intens, dan penuh tekanan. Namun, respon setiap individu tidaklah sama. Ada yang dapat mengatasi kondisi ini dengan cepat dan kembali ke kondisi seimbang, nyaman, dan mampu melanjutkan hidup dengan baik melalui interaksi sosial bermakna. Sementara ada juga individu yang berubah, akibat kejadian ini, dan tidak lagi sama seperti dirinya sebelum kejadian.

Gangguan psikologis pascatrauma, bila ditilik dari perspektif Teori Polivagus, sejatinya terbagi menjadi dua. Pertama, kondisi pascatrauma kronis melalui aktivasi sistem saraf simpatik yang menghasilkan respon lawan atau lari, atau lebih sering disebut kondisi stres. Kedua, kondisi pascatrauma kronis melalui aktivasi dorsal vagus yang menghasilkan respon menarik atau menutup diri akibat perasaan takut, tidak berdaya, putus asa, dan berbagai perilaku depresi (Rosenberg, 2017).

Gangguan stres pascatrauma terjadi bila respon genting lawan, lari, atau imobilisasi teraktivasi namun tidak berhasil dinonaktifkan kembali dan individu mengalami fiksasi psikofisiologis, mengakibatkan ventral vagus nonaktif untuk waktu lama.

Pikiran Bawah Sadar

Manusia memiliki dua pikiran: pikiran sadar (PS) dan pikiran bawah sadar (PBS). PBS mulai aktif sejak terjadi pembuahan. Ia akan terus dan selalu aktif hingga individu meninggal. Sementara PS baru mulai aktif saat individu berusia tiga tahun. Berbeda dengan PBS yang senantiasa aktif dan bekerja, PS hanya aktif saat individu dalam kondisi bangun dan sadar penuh. Saat individu tidur, pingsan, dibawah pengaruh obat, atau dianestesi, PS tidak aktif (sepenuhnya).

PS terus berkembang seiring proses tumbuh-kembang individu dan menjadi sangat kuat saat usia 13 tahun. PS memiliki fungsi berpikir analitis, rasional, menyimpan memori jangka pendek, kekuatan kehendak, dan faktor kritis (Gunawan, 2012).

PBS memiliki lebih banyak fungsi daripada PS. Fungsi paling utama PBS adalah menjaga dan atau melindungi keselamatan individu dari segala sesuatu yang ia pandang, rasa, yakin, percaya, atau asumsikan sebagai hal membahayakan kesejahteraan atau keselamatan individu (Tebbetts, 1987; Gunawan, 2012). PBS melindungi individu berdasar keputusan dan cara yang ia pilih. Fungsi lain PBS adalah sebagai tempat menyimpan kepercayaan (belief), nilai (value), memori jangka panjang, kebiasaan (baik, buruk, netral), kepribadian, karakter, intuisi, kreatifitas, dan sumber emosi (Churchill, 2012; Gunawan, 2012).

PBS melindungi individu menggunakan data yang tersimpan di memori yang dihimpun seiring pertumbuhan dan perkembangan individu. Selanjutnya, dengan menggunakan data ini sebagai parameter, PBS memindai (scan) berbagai informasi, baik yang bersumber dari dalam diri maupun lingkungan.

Data hasil pemindaian yang masuk ke PBS, dengan sangat cepat dibandingkan dengan data di memori, dan setelahnya PBS memberi makna: aman, berbahaya, atau mengancam keselamatan jiwa. Berdasar makna ini, PBS menyiapkan respon adaptif yang sesuai. Semua ini terjadi dengan sangat cepat tanpa melibatkan PS.

Kapasitas dan kecepatan PBS dalam memroses data sangat besar dan cepat. Menurut Zimmermann (1989) jumlah maksimal informasi yang dapat disadari adalah sekitar 40 bit/detik – sangat jauh di bawah jumlah yang diterima oleh reseptor-reseptor (ujung-ujung saraf). Sementara Trincker (dalam Norrentranders, 1998:126) menyatakan bahwa dari semua informasi yang masuk ke otak setiap detik, yang berasal dari semua sensor organ, hanya sejumlah sangat kecil disadari. Rasio antara kapasitas persepsi dan kapasitas apersepsi adalah satu juta berbanding satu. Dengan kata lain, hanya satu per satu juta informasi yang dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan yang berasal dari organ atau indera lainnya, yang muncul ke kesadaran dan diketahui atau disadari. Dari dua pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbandingan kapasitas pemrosesan data antara PS dan PBS adalah 40 bit/detik berbanding 40.000.000 bit/detik atau 1 berbanding 1.000.000.

Dengan kecepatan pemrosesan data yang sedemikian tinggi, PBS dapat secara instan memberi makna pada suatu informasi yang ia terima, dan selanjutnya mengirim sinyal ke pikiran sadar terutama melalui tiga dari lima jalur komunikasi utama: perasaan, sensasi fisik, suara hati (inner talk). Dua jalur lainnya adalah intuisi dan mimpi.

Para pakar hipnoterapi seperti Erickson, Boyne, Tebbetts, Kein, Churchill dan yang lainnya menyatakan bahwa besarnya daya pengaruh PS dan PBS dalam memengaruhi dan mengendalikan individu adalah 10% berbanding 90%. Hal yang sama dinyatakan oleh Szegedy-Maszak (2005) bahwa manusia hanya menyadari sekitar 5% dari aktivitas berpikirnya, dengan demikian hampir semua keputusan, tindakan, emosi, dan perilaku seseorang sepenuhnya bergantung pada 95% aktivitas otak yang berlangsung tanpa ia sadari. 

Saat seseorang di masa kecil, misalnya pernah mengalami trauma karena digigit anjing, maka data berupa narasi kejadian dan emosinya tersimpa di memori PBS. Selanjutnya, berdasar data ini, PBS akan memindai apakah ada anjing di sekitar individu dan bila ada, PBS akan langsung mengaktifkan tanda bahaya berupa perasaan tidak nyaman, takut, atau sensasi fisik tertentu, atau bahkan ada suara hati yang memerintah individu untuk segera menjauh dari anjing.

Demikian pula bila seseorang pernah mengalami perlakukan buruk, misal dimarahi oleh orang tua dengan suara keras, narasi kejadian dan emosinya disimpan di memori PBS. Setelahnya, setiap kali ia mendengar suara keras, walau suara ini tidak ditujukan padanya, PBS memberi sinyal tanya bahaya.

Sinyal ini direspon fisik dalam bentuk aktivasi sistem saraf simpatik. Dan bila bahaya telah berlalu dan individu merasa aman atau nyaman, sesuai dengan pemaknaan PBS, ia kembali rileks. Individu menjadi rileks karena sistem saraf parasimpatik, tepatnya ventral vagus, aktif.

Dan bila berdasar penilaian PBS individu tidak mungkin bisa mengatasi kondisi atau situasi yang sedang ia hadapi, sebagai langkah perlindungan, PBS akan membuat individu menjadi lemas, tidak mampu bergerak, bahkan pingsan. PBS juga bisa membuat individu mengalami disosiasi agar tidak mengalami sakit atau penderitaan berlebih. Kondisi ini sejatinya adalah aktivasi saraf dorsal vagus.

Dalam hipnoterapi, dilakukan induksi hipnotik dengan tujuan membuat PS menjadi rileks sehingga faktor kritis PS menjadi nonaktif. Dengan demikian, terapis dapat berbicara langsung dengan PBS klien tanpa intervensi dari PS.

Dalam kondisi hipnosis sedalam apapun, saat PS tidak lagi bekerja, PBS klien tetap aktif dan senantiasa menjalankan fungsi proteksi pada diri individu. Ini sejatinya adalah proses neurosepsi yang dilakukan sistem saraf otonom.

Hipnoterapi Klinis

Teori Polivagus menyatakan bahwa sistem saraf terkondisi oleh pengalaman hidup dan membentuk pola spesifik sebagai acuan pemberian makna oleh proses neurosepsi. Pengalaman traumatik mengakibatkan neurosepsi lebih sering memberi makna bahaya terhadap isyarat atau informasi yang bersumber dari dalam diri atau lingkungan. Kondisi ini mengakibatkan saraf simpatik atau dorsal vagus lebih sering aktif.

Sementara pengalaman positif yang dialami individu dalam proses tumbuh kembangnya membuat neurosepsi lebih tepat memberi makna pada isyarat atau informasi yang diterima dari dalam diri atau lingkungan, sebagai kondisi aman atau terkendali. Hal ini mengakibatkan individu lebih sering berada dalam mode aktivasi ventral vagus dan mampu menjalankan hidup dengan baik melalui interaksi sosial.

Pengkondisian ulang sistem saraf yang cenderung mengaktifkan saraf simpatik dan dorsal vagus dapat dilakukan dengan teknik tertentu (Porges dan Dana, 2018; Dana, 2018). Teknik dimaksud adalah dengan melatih individu mengenali kapan salah satu dari tiga sistem sarafnya aktif, apa yang membuat sistem saraf ini aktif, dan apa yang bisa ia lakukan untuk mengubah situasi ini.

Dengan sering berlatih mengenali dan melakukan koreksi atas respon, individu melakukan pengkondisian ulang pada sistem sarafnya. Hal yang sebelumnya oleh neurosepsi dimaknai bahaya atau mengancam keselamatan, padahal sesungguhnya tidak, akan terkoreksi sehingga bila individu bertemu dengan isyarat atau informasi yang sama, neurosepsi memberi makna berbeda.

Dari perspektif hipnoterapi klinis, pola berulang yang dialami individu sejatinya adalah program pikiran berisi narasi kejadian dan emosi dengan intensitas tertentu, yang tersimpan di memori PBS.

Berbagai kejadian traumatik dan emosi intens yang lekat padanya, tersimpan di memori, tidak hilang walau telah lama berlalu. Memori ini, tidak seperti memori pada umumnya yang akan pudar dengan sendirinya, akan terus aktif, bahkan setelah puluhan tahun. Bagi para individu ini, masa lalu selalu hadir di masa sekarang, dan mengakibatkan individu kerap dalam kondisi waspada berlebih. (Van der Kolk, 2014),

Kondisi waspada, akibat aktifnya saraf simpatik, adalah simtom yang bersumber dari energi yang terperangkap dalam sistem saraf dan sangat menganggu keseimbangan serta kesejahteraan tubuh dan pikiran. Residu ini terjadi karena individu tidak dapat menyelesaikan proses melewati atau keluar dari kondisi tak berdaya saat mengalami kejadian (Levine, 1997). Kondisi ini hanya bisa berubah atau diubah saat emosi yang lekat pada memori kejadian berhasil dikeluarkan sepenuhnya dari sistem psikis individu.

Melalui proses hipnoterapi klinis, individu dibimbing untuk dengan aman mencari, menemukan, dan mengakses pengalaman traumatik masa lalu, yang mengakibatkan ia mengalami fiksasi psikofisiologis berupa respon sistem saraf yang tidak akurat dan malfungsi neurosepsi.

Saat pengalaman traumatik ini berhasil direkonstruksi, emosi yang lekat pada memori berhasil dinetralisir dan tuntas dikeluarkan dari sistem psikis individu, individu mengalami pengalaman emosional korektif, sistem saraf kembali ke kondisi homeostasis alamiah, ventral vagus aktif, dan neurosepsi dapat bekerja dengan benar.

 

 

Referesi:

Churchill, Randal. 2012. Advanced Clinical Hypnotherapy workbook.

Craig, A. D. 2009a. How do you feel—now? The anterior insula and human awareness. Nature Reviews Neuroscience, 10, 59–70.

Dana, Deb. 2018. The Polyvagal Theory in Therapy: Engaging the Rhythm of Regulation. New York: Norton

Gunawan, Adi W. 2012. The Miracle of MindBody Medicine. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Klarer, M., Arnold, M., Günther, L., Winter, C., Langhans, W., & Meyer, U. 2014. Gut vagal afferents differentially modulate innate anxiety and learned fear. Journal of Neuroscience, 34(21), 7067–7076

Levine, Peter.1997. Waking the Tiger: Healing Trauma. Berkeley: North Atlantic

Morris, J.S., Ohman, A., & Dolan, R.J. 1999. A subcortical pathway to the right amygdala mediating “unseen” fear. Proceedings of the National Academy of Sciences USA, 96, 1680-1685

Norrentranders, T. 1998. The User Illusion: Cutting Consciousness Down to Size. New York: Penguin Books

Porges, Stephen W. 2009a. The polyvagal theory: New insights into adaptive reactions of the autonomic nervous system. Cleveland Clinic Journal of Medicine, 76 (Suppl 2), S86–S90.

Porges, Stephen W., Dana, A., Deb. 2018. Clinical Applications of the Polyvagal Theory: The Emergence of Polyvagal-Informed Therapies. New York : Norton

Porges, Stephen W. 1995. Orienting in a Defensive World: Mammalian Modifications of Our Evolutionary Heritage. Psychophysiology. 32(4):301-318.

Porges, Stephen W. 1997. Emotion: An evolutionary by-product of the neural regulation of the autonomic nervous system. Annals of the New York Academy of Sciences, 807, 62–77.

Porges, Stephen W. 2011. The Polyvagal Theory: Neurophysiological Foundations of Emotions, Attachment, Communication, and Self-regulation. New York: Norton

Rosenberg, Stanley. 2017. Accessing the Healing Power of the Vagus Nerve. Berkeley: North Atlantic Book.

Sciencedaily. 2008, 15 April. Decision-making May Be Surprisingly Unconscious Activity. Diakses 8 Agustus 2019, dari https://www.sciencedaily.com/releases/2008/04/080414145705.htm

Szegedy-Maszak, M. 2005. Mysteries of the Mind, Is your unconscious making your everyday decisions? U.S. News & World Report

Tebbetts, Charles. 1987. Self Hypnosis and Other Mind-Expanding Techniques. Glendade: Westwood Pulishing

Van der kolk, Bessel. 2014. The Body Keeps the Score: Brain, Mind, and Body in the Healing of Trauma. New York: Penguin Books

Zimmermann, Manfred. The Nervous System in the Context of Information Theory. Human Physiology, 89, 166-173

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online1
Hari ini13
Sepanjang masa34.479.648
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique