Membangun Habit Sukses

Semua orangtua ingin anak-anaknya nanti kelak menjadi orang sukses. Untuk itu orangtua sibuk menyiapkan anak dengan memberi pendidikan formal (baca: sekolah), dan juga pendidikan informal (baca: les) terbaik yang bisa mereka dapatkan untuk anak.

Ini semua tentu sangat baik untuk anak. Dan yang perlu disadari orangtua yaitu masih ada satu lagi bentuk pendidikan yang justru paling penting dari semuanya yaitu pendidikan nonformal atau pendidikan keluarga di rumah.

Sukses dibangun dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang dipelajari di rumah, bukan di sekolah atau tempat les. Orangtua seringkali, saking sibuknya atau tidak peduli atau malas atau abai atau memang tidak mengerti, lupa mendidik anak-anak mereka hal-hal yang tampak kecil namun sangat penting sebagai fondasi kebiasaan sukses anak di masa depan.

Apa saja hal-hal kecil yang orangtua jaman sekarang "lupa” atau tidak ajarkan pada anak-anak mereka?

Berikut beberapa hal yang saya temukan:

- orangtua tidak mengajari anak delayed gratification atau kecakapan, keterampilan, dan kekuatan mental untuk menunda kenikmatan agar memperoleh hasil yang lebih besar. Anak-anak jaman sekarang hidup pemenuhan keinginan, bukan kebutuhan, yang instan. 

Dari pengamatan saya sejauh ini seringkali orangtua yang sibuk dan tidak bisa memberi waktu dan perhatian yang dibutuhkan anak cenderung  “menebus” rasa bersalah dengan memberikan anak benda, materi, liburan, atau uang, yang sebenarnya tidak anak butuhkan.

-  orangtua tidak mengajari anak keterampilan komunikasi yang baik. Banyak yang berpikir bahwa dengan anak bisa bicara maka anak secara otomatis terampil berkomunikasi. Kemampuan komunikasi ini antara lain meliputi kemampuan mendengar dengan fokus dan empati, menganalisis, memahami, dan memberi respon yang sesuai. Menguasai bahasa adalah satu hal. Mampu berkomunikasi dengan terampil adalah hal lain.

-  Orangtua tidak mengajari anak etos kerja yang baik. Anak kurang didorong, didukung, dan diarahkan untuk melakukan kerja keras dan cerdas. Hal ini akan tampak dalam diri anak yang mudah putus asa, mudah menyerah, tidak mau susah, mau mudahnya saja, dan komitmen dan keterikatan pada tugas yang rendah.  

-  Orangtua tidak mengajari anak untuk mandiri. Kemandirian bukanlah sesuatu yang diberikan kepada anak. Kemandirian tidak bisa diperoleh secara instan. Kemandirian adalah satu kebiasaan yang dibangun oleh anak melalui tindakan yang berulang. 

Satu contoh kejadian yang tidak mendidik anak untuk mandiri adalah orangtua atau pembantu atau pengasuh anak melakukan atau mengerjakan sesuatu untuk anak padahal sebenarnya anak bisa melakukannya sendiri. Misalnya mengambil makanan, merapikan tempat  tidur, meletakkan tas atau sepatu di tempatnya, menyiapkan buku pelajaran, membawa tas sekolah, memasang tali sepatu, dan masih banyak contoh lainnya. Intinya, anak tidak diberi kesempatan melakukan hal-hal yang sebenarnya bisa ia lakukan. Dengan demikian anak merasa dirinya tidak mampu. Ini mengakibatkan anak tidak mandiri. 

-  Orangtua, sering secara tidak sadar atau sengaja, memaksa anak bersikap tidak jujur. Hal ini tampak, antara lain, saat orangtua mengerjakan tugas atau projek sekolah anaknya; saat ada yang menelpon dan orangtua meminta anak menjawab bahwa mereka tidak ada di rumah;  orangtua terlalu keras menghukum anak sehingga anak cenderung berbohong agar terhindar dari hukuman; meminta anak berbohong pada guru bahwa jalanan macet sehingga anak telat tiba di sekolah padahal yang sebenarnya terjadi adalah orangtuanya bangun kesiangan atau mampir di super market terlalu lama.

-  Orangtua tidak mendorong dan mendukung anak untuk menjadi pribadi yang kompetitif, terutama dengan diri anak sendiri. Atas nama sayang atau cinta, orangtua enggan mendorong anak untuk berani meningkatkan standar pencapaian. 

-  Orangtua tidak mengajari dan mendorong anak untuk berani mengambil risiko. Sudah tentu risiko untuk ukuran anak adalah membuat pilihan dengan konsekuensi yang logis dan terukur di mana anak bisa saja merasa kecewa, sedih, atau menyesal bila ternyata ia salah dalam membuat keputusan. Sebaliknya anak bisa merasa senang, bahagia, dan semangat saat mengetahui keputusannya benar. Orangtua yang baik adalah mereka yang memberi anak ruang untuk berbuat salah.

Salah satu contoh risiko adalah dengan mendorong anak mengikuti kompetisi tertentu. Di sini sudah tentu ada kemungkinan menang atau tidak menang. Risiko dipandang sebagai bagian dari proses tumbuh kembang untuk menjadi pribadi yang sehat. 

-  Orangtua tidak mengajari anak untuk mengenali dan mengelola emosinya. Orangtua yang protektif cenderung untuk membuat hidup anak selalu nyaman dan terhindar dari berbagai perasaan tidak nyaman atau emosi negatif. Termasuk dalam pengelolaan emosi adalah kemampuan mengatasi emosi negatif, kecakapan memberi respon terhadap kritik baik oleh orang lain atau yang dilakukan oleh diri sendiri.

Kecakapan mengelola emosi sangat penting karena kontribusi pengaruhnya terhadap prestasi dan keberhasilan hidup lebih dari 90%. 

-  Orangtua tidak mengajari anak pengetahuan mengenai uang dan cara mengelola uang dengan baik, benar, dan bertanggung jawab.

-  Orangtua tidak mengajari anak untuk hidup hemat yang wajar, bukan pelit atau kikir. Menghargai dan menjalani hidup secara wajar, menikmati uang dengan benar, membeli apa yang menjadi kebutuhan, bukan keinginan, adalah salah satu pelajaran paling penting mengenai uang dan keuangan.

-  Orangtua jarang mengajari anak untuk bersyukur atas semua nikmat dan kemudahan yang anak peroleh dalam hidup.

-  Orangtua jarang mengajari anak kebiasaan membaca buku. Ada pepatah sangat bagus yang berbunyi Leaders are readers. Kebiasaan membaca sangat penting sebagai bagian dari kecakapan menjadi pembelajar sepanjang hayat (life long learner).



Dipublikasikan di https://adiwgunawan.com/index.php?p=news&action=shownews&pid=120 pada tanggal 9 Januari 2013