Fenomena, Jenis, dan Manfaat Regresi dalam Hipnoterapi

Hypnotic age regression, untuk mudahnya dalam artikel ini disebut sebagai regresi, adalah salah satu teknik yang kerap digunakan dalam hipnoterapi. Secara sederhana, regresi berarti mundur. Dalam konteks hipnoterapi, regresi adalah proses membimbing klien mundur ke masa lalu, menyusuri garis waktu dalam pikirannya, ke satu masa atau memori tertentu. 

Fenomena regresi, menurut Orne dan Hammer (1974), dapat dipandang sebagai bentuk distorsi memori karena klien mundur ke masa lalu ikuti bimbingan terapis. Sementara LeCron (1948) menyatakan dalam regresi bisa terjadi amnesia temporer untuk peristiwa masa sekarang, hipermnesia untuk peristiwa masa lalu, dan juga perubahan fisiologis. 

Ada banyak pendapat berbeda yang diajukan dalam upaya jelaskan proses dan fenomena regresi. Reiff dan Scheerer (1959) menyatakan regresi sebagai prosedur untuk mengembalikan lagi mode berpikir dan fungsi kognisi pada tahap awal tumbuhkembang individu. Sementara Nash, Johnson, dan Tipton (1979) menyatakan regresi sebagai proses yang hasilkan revivifikasi parsial dari pengalaman masa lalu. Menurut Barber, dkk (1974), regresi adalah bentuk keterlibatan imajinasi yang rumit. Hal berbeda disampaikan oleh Orne (1974) yang menyatakan regresi sebagai contoh kondisi delusi di mana subjek menjadi percaya pada kebenaran yang disampaikan oleh terapis. 

Terlepas dari berbagai pendapat yang diterima dan dipercaya seseorang untuk jelaskan dan pahami regresi, satu hal yang pasti regresi melibatkan banyak perubahan persepsi terhadap realita dan memudahkan klien terlibat secara subjektif dan sangat mendalam dalam prosesnya. 

Satu pertanyaan penting yang sering diajukan, dalam konteks regresi, “Apakah klien benar-benar teregresi ke usia tertentu?” 

Pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab karena dalam beberapa kejadian saat diregresi, misal ke usia 5 tahun, klien menunjukkan kemampuan jauh melampaui usia fisik dan mental anak usia 5 tahun. Misalnya, saat diregresi ke usia 5 tahun, ia mampu mengerjakan soal matematika untuk anak usia 10 tahun dengan lancar dan benar. 

Di sisi lain, ada banyak temuan saat diregresi ke usia 5 tahun, klien benar-benar menunjukkan sikap, perilaku, kemampuan kognisi dan bahasa seperti anak usia 5 tahun. Ada juga bukti saat klien diregresi ke berbagai usia berbeda, tulisan tangannya juga turut berubah mengikuti perkembangan yang dulu ia lalui. 

Salah satu temuan menarik, yang buktikan bahwa regresi adalah fenomena riil, bukan sekedar klien berpura-pura, adalah munculnya refleks Babinski yang terjadi pada klien dewasa yang diregresi ke usia bayi.   

Refleks Babinski adalah salah satu refleks normal pada bayi. Refleks ini muncul saat telapak kaki bayi diberi stimulus gesekan yang mengakibatkan ibu jari bergerak ke atas dan jari-jari lainnya membuka. Refleks ini normal pada anak hingga usia dua tahun namun tidak normal bila terjadi pada anak berusia di atas dua tahun atau pada orang dewasa, karena seringkali merupakan indikasi masalah pada sistem saraf. 

Refleks Babinski yang terjadi pada klien dewasa yang diregresi ke usia satu tahun tentu tidak bisa dipalsu. Dengan demikian, hal ini tunjukkan klien benar-benar alami regresi ke usia satu tahun karena secara fisiologis ia tunjukkan refleks bayi. 

Namun mengapa terjadi perbedaan temuan saat dilakukan regresi? 

Secara umum regresi terbagi menjadi dua, hipermnesia dan revivifikasi. Klien alami hipermnesia bila ia mengingat dengan detil peristiwa masa lalu. Sedangkan revivifikasi adalah klien mundur dan alami kembali peristiwa masa lalu, sama seperti dulu ia alami, tapi kali ini ia mengalaminya di masa sekarang. Perbedaan mendasar pada dua jenis regresi ini ada pada kata “mengingat” dan “mengalami kembali”. 

Pemahaman akan perbedaan ini sangat penting dalam mengetahui atau menjelaskan regresi yang dialami klien. Bila seseorang mengingat atau mengenang satu kejadian atau peristiwa maka ia alami hipermnesia. Secara pikiran, ia tidak mundur ke masa lalu. Ia tetap tinggal di masa sekarang namun di pikirannya muncul memori masa lalu. 

Ini sangat berbeda dengan revivifikasi. Revivifikasi bukan sekedar mengingat namun mengalami kembali. Ini mirip dengan saat kita tidur dan bermimpi. Saat bermimpi, kita benar-benar mengalami “kejadian” dalam mimpi. Bila kita bermimpi dikejar harimau, maka kita pun akan lari secepatnya dalam upaya selamatkan diri dan tentu diliputi perasaan takut. Saat terbangun, napas kita memburu, terengah-engah, berkeringat, karena kita memang “benar-benar” dikejar harimau. Saat mengingat kembali peristiwa dikejar harimau, inilah yang disebut hipermnesia. 

Klien dewasa yang diregresi, mundur ke usia bayi, dan bisa memunculkan refleks Babinski masuk dalam kategori revivifikasi. Fenomena ini tidak bisa terjadi bila ia hanya alami hipermnesia. 

Faktor apa saja yang memengaruhi dan menentukan klien alami hipermnesia atau revivifikasi? 

Ada dua faktor penting. Pertama adalah kedalaman kondisi hipnosis yang dicapai klien. Untuk alami hipermnesia, klien hanya butuh kondisi hipnosis dangkal (light trance) atau menengah (medium trance). Sedangkan untuk revififikasi butuhkan kondisi hipnosis (sangat) dalam (deep trance). Kedua, bergantung pada kecakapan terapis dalam menuntun pikiran klien, dan terutama semantik yang digunakan. Semantik yang salah dapat akibatkan klien yang sudah alami revivifikasi bergeser menjadi hipermnesia. Sebaliknya, bila klien sudah berada di kondisi hipnosis dalam dan masih alami hipermnesia, dengan gunakan semantik yang tepat terapis dapat menuntun klien bergeser ke revivifikasi.       

Jenis Regresi 

Umumnya, dalam hipnoterapi klinis, dikenal enam jenis regresi. Ada banyak teknik atau cara yang digunakan untuk lakukan regresi. Namun, apapun tekniknya, selalu masuk ke salah satu dari kategori berikut: 

-       recreational regression : regresi dilakukan dengan tujuan bersenang-senang. Klien dibimbing mundur ke masa lalu dan alami kembali kejadian atau peritiwa menyenangkan dalam hidupnya. 

-       directive regression : regresi terjadi karena klien secara sengaja diarahkan, oleh terapis, untuk mundur ke satu masa atau kejadian spesifik. 

-       nondirective regression: regresi terjadi pada klien namun terapis tidak mengarahkan atau menentukan klien mundur ke mana. 

-       spontaneous regression: regresi terjadi spontan, tanpa direncanakan baik oleh klien maupun terapis. 

-       emotionally induced regression: regresi yang terjadi karena dorongan emosi tertentu. 

-       past life regression: regresi ke kehidupan sebelum kehidupan saat ini. 

Regresi untuk Terapi 

Manfaat utama regresi, dalam konteks klinis, adalah untuk mencari dan temukan akar masalah yang dialami klien. Ada banyak cara untuk lakukan regresi, antara lain regresi kalender, regresi dengan menghitung mundur, regresi dengan sugesti langsung, regresi dengan buku kehidupan, regresi menyusuri sungai kehidupan, melihat ke bola kristal, magic carpet, dan masih banyak teknik lain. 

Dalam konteks klinis, teknik regresi hanya efektif bila mampu menuntun klien mundur ke masa pertama kali masalah muncul. Jadi, tidak asal lakukan regresi. 

Berikut ini kisah terapi yang dialami seorang klien. Seorang klien, alami emosi yang sangat mengganggu, sudah bertahun-tahun, datangi hipnoterapis dan minta tolong.

Terapis gunakan teknik regresi, tepatnya regresi kalender. Setelah klien dibimbing masuk kondisi hipnosis, terapis minta klien mundur ke masa kuliah dan memeriksa apakah ada kejadian atau peristiwa yang tidak menyenangkan atau traumatik atau yang berisi muatan emosi negatif intens. Selanjutnya mundur ke masa SMA, SMP, SD, dan masa kecil.

Setelah tiga jam terapi, bagaimana hasilnya? Klien tidak sembuh. Akhirnya klien minta tolong terapis lain yang lebih cakap dan berpengalaman. Setelah dibantu oleh terapis kedua, juga gunakan teknik regresi, barulah klien merasa lega dan alami perubahan signifikan. 

Apa kesamaan dan perbedaan teknik yang digunakan terapis pertama dan kedua? 

Kedua terapis gunakan regresi. Perbedaannya terletak pada bagaimana teknik regresi yang sesuai digunakan untuk menyusuri garis waktu, mundur ke masa lalu, menelisik pikiran bawah sadar dan temukan akar masalah pada kejadian spesifik. 

Teknik regresi yang digunakan terapis pertama tidak mampu menelisik dan temukan akar masalah. Sedangkan teknik yang digunakan terapis kedua, dengan sangat cepat, efektif, dan akurat berhasil temukan rangkaian kejadian yang menjadi akar masalah klien. 

Menemukan akar masalah adalah satu hal. Hal lain adalah adalah apa yang perlu dilakukan pada kejadian yang menjadi akar masalah? 

Terapis pertama tidak lakukan resolusi trauma dengan benar sehingga emosi yang telah muncul tidak berhasil dinetralisir. Hal ini tampak dalam pernyataan klien yang meminta terapis kedua untuk tidak meregresi ia ke peristiwa di masa lalu, yang sebelumnya ditemukan melalui terapi pertama, karena ia masih merasa tidak nyaman. Terapis kedua, setelah berhasil temukan akar masalah, mampu dengan efektif lakukan resolusi trauma dan menetralisir emosi. 

Teknik regresi yang digunakan terapis kedua adalah affect bridge. Teknik ini menggunakan perasaan yang dialami klien, di masa sekarang, sebagai penuntun regresi ke kejadian atau peristiwa yang menjadi akar masalah. 

Dari satu penelitian menarik, mengenai hubungan antara memori traumatik dan kondisi mental atau emosi, ditemukan bahwa untuk bisa mengakses kembali memori ini butuh kondisi mental yang sama seperti saat kejadian. Penelitian ini dilakukan oleh tim yang dipimpin oleh Jovasevic (2015) dan dipublikasi di jurnal Nature Neuroscience. 

Jovasevic dan kawan-kawan melakukan ujicoba pada tikus. Mereka menempatkan tikus di sebuah kotak. Selanjutnya tikus diberi obat yang memengaruhi neurotransmiter di otak tikus. Perubahan neurotransmiter ini mengakibatkan perubahan kondisi "mental" dan pada saat inilah tikus diberi kejutan listrik. Tikus ini tentu merasa sakit dan takut. Memori traumatik ini terekam dan kondisi "mental" khusus karena pengaruh obat. 

Saat pengaruh obat reda, neuotransmiter kembali ke kondisi normal, tikus ini sama sekali tidak merasa takut. Namun saat peneliti kembali memberi obat yang menempatkan tikus pada kondisi mental yang sama seperti sebelumnya, saat diberi kejutan listri, tiba-tiba tikus menjadi ketakutan. 

Selaku hipnoterapis klinis, saya simpulkan, penelitian ini secara tidak langsung membenarkan keefektifan dan prosedur regresi dengan affect bridge untuk temukan kejadian atau akar masalah karena dalam affect bridge terapis gunakan kondisi mental spesifik, yang ditimbulkan emosi tertentu, sebagai sarana untuk temukan kejadian atau peristiwa traumatik masa lalu.



Dipublikasikan di https://adiwgunawan.com/index.php?p=news&action=shownews&pid=266 pada tanggal 31 Agustus 2015