Pengamatan Mendalam Terhadap Fenomena

Beberapa hari lalu saya mengalami kondisi suasana hati yang tidak nyaman, terpicu oleh satu kejadian sepele. Secara logika, kejadian ini harusnya tidak berdampak pada diri saya. Namun, kenyataannya, emosi saya terpicu dan suasana hati saya menjadi tidak kondusif.
 
Secara pikiran sadar saya menyadari apa yang sedang terjadi pada diri saya. Saya tahu benar, yang terjadi pada diri saya adalah terpicunya memori traumatik disosiatif akibat kejadian sepele.
 
Saya tetap bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Saat saya sedang beraktivitas, emosi ini seolah hilang, suasana hati saya menjadi normal seperti biasa. Saat saya sedang sendiri, suasana hati saya kembali tidak nyaman.
 
Yang terjadi pada diri saya adalah saat memori traumatik disosiatif ini terpicu dan aktif, ia turut mengaktifkan Ego Personality (EP) yang memegang memori dan emosinya. Saat saya melakukan aktivitas, EP ini bergeser digantikan oleh EP lain, kondisi saya menjadi baik-baik saja. Namun saat saya sedang sendiri, EP bermasalah ini aktif dan saya kembali mengalami suasana hati tidak nyaman.
 
Kondisi ini berlangsung selama sehari penuh. Saat itu saya tidak punya waktu khusus untuk melakukan swaterapi, jadi saya biarkan saja si EP ini aktif dan saya berusaha meredam dampaknya terhadap diri saya dengan cara tertentu.
Sampai tahap tertentu, saya berhasil. Namun saya tahu, ini harus diselesaikan secara tuntas agar di masa depan ia tidak lagi terpicu dan mengganggu saya.
 
Besoknya, saat saya meditasi di pagi hari, secara khusus saya sempatkan untuk menelaah dan mencari tahu sumber masalah emosi ini.
 
Saya mengakses kembali emosi tidak nyaman yang saya alami kemarin. Setelahnya, saya sadari dan fokus pada sensasi yang diakibatkan oleh emosi ini. Teknik ini disebut "Pengamatan Mendalam Terhadap Fenomena".
 
Saya tahu, bila saya memberi waktu yang cukup dalam mengamati sensasi emosi ini, cepat atau lambat pasti akan muncul memori kejadian yang menjadi sumber emosi ini. Dan benar, demikianlah yang terjadi.
 
Tiba-tiba, muncul satu kejadian saat saya berusia 5 tahun. Saya melihat diri saya yang berusia 5 tahun sedang menangis karena merasa tidak disayangi oleh kakek saya.
 
Memang, dulu waktu saya kecil, saya tidak dekat dengan kakek. Dan menurut orang-orang, kakek lebih sayang pada adik saya. Sementara saya lebih dekat dan lebih disayang oleh nenek.
 
Hingga saat dewasa, saya tidak merasa ada masalah dengan hal ini. Dan juga tidak pernah teringat, terkenang, atau bermimpi tentang kakek saya. Munculnya memori ini tentu cukup mengagetkan saya. Saya sama sekali tidak menyangka. Namun saya menerima sepenuhnya data yang diungkap oleh pikiran bawah sadar (PBS) saya.
 
Saat itu saya sedang dalam kondisi meditatif. Pikiran saya tenang, fokus, tubuh saya sangat rileks. Saya dapat melihat kejadiannya dengan jelas, namun sama sekali tidak terpengaruh. Secara teknis hipnoterapi, saya berada dalam kondisi hipnosis dalam (deep trance), mengalami hipermnesia tipe 1.
 
Langkah selanjutnya, saya melakukan terapi pada diri saya, menggunakan pengetahuan, wawasan, dan kebijaksanaan saya sebagai orang dewasa. Saya berkomunikasi dengan diri saya yang berusia 5 tahun, membantu ia untuk melepaskan emosi yang selama ini ia pendam, memberi edukasi, pengertian, dukungan, dan rasa aman padanya, berkomunikasi dengan introjek kakek dan nenek tentang apa yang dialami, dirasakan, dan diinginkan oleh diri saya yang kecil, serta melakukan resolusi trauma.
 
Hasilnya? Saya langsung merasa sangat lega. Setelah meditasi, hingga hari ini—tiga hari setelahnya, saat saya menulis kisah ini—perasaan saya tetap tenang, nyaman, dan lega, seperti yang biasa saya alami sehari-hari.
 
Teknik Pengamatan Mendalam Terhadap Fenomena adalah salah satu cara efektif untuk mencari akar masalah dalam konteks melakukan swaterapi. Namun, untuk menerapkan teknik ini secara aman dan efektif, meditator perlu melatih pikiran agar mencapai kondisi konsentrasi yang kuat, ketenangan mendalam, dan keheningan pikiran. Meditator juga perlu memiliki pengetahuan, wawasan, dan kebijaksanaan yang cukup agar dapat melakukan resolusi trauma dengan baik dan tuntas.
 
Tujuan utama dari kondisi ini adalah memastikan bahwa ketika memori kejadian yang menjadi akar masalah muncul, meditator dapat tetap tenang, tidak terpengaruh, dan mampu menjaga jarak antara dirinya sebagai pengamat dan objek (memori kejadian) yang diamati. Kondisi ini memungkinkan meditator untuk melihat kejadian tersebut secara objektif tanpa terjebak dalam emosi yang muncul sehingga mampu tetap berpikir jernih untuk menentukan dan menerapkan strategi resolusi.
 
Jika meditator belum mencapai tingkat konsentrasi yang cukup kuat dan ketenangan pikiran yang stabil, ada risiko besar bahwa ia akan tersedot masuk ke dalam pengalaman tersebut, dan kembali mengalami kejadian traumatis seperti yang dulu dialami. 
 
Dalam konteks hipnoterapi, meditator yang semula berada di kondisi hipermnesia tipe 1, hadir sebagai pengamat terhadap suatu fenomena (kejadian atau peristiwa), tersedot masuk ke kejadian, mengalami revivifikasi, menjadi dirinya yang berusia kecil, dan mengalami kembali trauma ini sama seperti dulu.
 
Ketika ini terjadi, alih-alih memperoleh kesembuhan, meditator justru mengalami trauma ulang. Hal ini tentu sangat riskan, terutama jika kejadian yang dihadapi sangat traumatik dan meninggalkan jejak emosional yang mendalam.
 
Oleh karena itu, persiapan mental dan latihan konsentrasi yang memadai sangat penting sebelum menggunakan teknik ini. Dengan pikiran yang tenang dan fokus, meditator dapat menjalani proses pengamatan fenomena secara aman, efektif, dan terapeutik, tanpa risiko memperburuk kondisi emosionalnya.


Dipublikasikan di https://adiwgunawan.com/index.php?p=news&action=shownews&pid=424 pada tanggal 5 Januari 2025