Perlukah Hipnoterapis Belajar Neurosains?

Tulisan ini terinspirasi dari diskusi saya dengan salah satu hipnoterapis AWGI beberapa waktu lalu. Sejawat ini gemar membaca tulisan pakar trauma dari luar negeri, salah satunya Bessel van der Kolk, MD. Dari bacaan-bacaan ini ia mulai terpapar dengan informasi tentang neurosains dan psikologi, dan tertarik untuk mempelajarinya. Ia bertanya apakah saya merekomendasi ia untuk mendalami neurosains. Bila saya merekomendasi, ia minta saran sebaiknya belajar ke siapa atau lembaga mana di luar negeri.

Kisah perjalanan pembelajaran sejawat ini membawa saya mundur ke masa awal saya dulu praktik hipnoterapi. Saya dulu juga sempat mendalami secara otodidak neuropsikologi.

Secara ringkas, bisa dijelaskan bahwa neurosains adalah ilmu yang mempelajari sistem saraf, termasuk struktur, fungsi, perkembangan, dan hubungannya dengan perilaku serta pikiran manusia. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku, pikiran, dan proses mental manusia serta bagaimana faktor biologis, sosial, dan lingkungan memengaruhinya.

Dengan demikian, neuropsikologi adalah cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara fungsi otak dan perilaku, termasuk bagaimana kerusakan atau gangguan pada otak memengaruhi emosi, kognisi, dan tindakan seseorang.

Tujuan saya belajar neuropsikologi adalah untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan kompetensi terapeutik saya. Dan setelah saya membaca cukup literatur yang membahas topik ini, saya akhirnya memutuskan untuk mundur dan kembali hanya fokus pada hipnoterapi. Meskipun demikian, sesekali saya masih membaca buku teks dan artikel jurnal tentang neuropsikologi untuk menambah pengetahuan dan wawasan.

 

Mengapa Saya Berhenti Mendalami Neuropsikologi?

Dalam berbagai literatur yang saya pelajari, memang dijelaskan bagian-bagian otak beserta fungsinya, serta apa yang terjadi pada otak seseorang saat ia mengalami kondisi mental atau gangguan psikologis tertentu. Saya belajar dengan penuh antusiasme dan berharap dapat mengaplikasikan pengetahuan ini ke dalam praktik hipnoterapi.

Saya berharap di dalam literatur ini juga dijelaskan teknik mengatasi gangguan psikologis berlandaskan neurosains. Saya membaca penjelasan tentang penyebab kondisi seperti PTSD, skizofrenia, gangguan kecemasan, bipolar, dan gangguan depresi mayor, yaitu adanya abnormalitas pada struktur, aliran darah, dan senyawa kimiawi otak.

Bergantung kondisi dan jenis gangguan, umumnya, solusi yang disarankan adalah dengan pemberian obat-obatan, pembedahan otak, stimulasi otak dalam (deep brain stimulation / DBS), terapi paparan realitas virtual (VR), electroconvulsive therapy (ECT), terapi cahaya terang (bright light therapy), neurofeedback, terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy / CBT), dan desensitisasi sistematis.

Berikut ini adalah ringkasan informasi tentang penyebab depresi, yang saya dapatkan dari mempelajari buku neuropsikologi terbitan tahun 2021 setebal 2548 halaman:

"Sebuah meta-analisis oleh Chuanjun Zhuo dan koleganya (2019) mengidentifikasi perubahan otak yang khas terkait dengan depresi, terutama pada area berikut:

Lobus frontal: Penurunan materi abu-abu (gray matter), khususnya pada orbitofrontal cortex (OFC).
Lobus temporal: Penurunan volume, terutama di hipokampus.
Lobus parietal: Termasuk posterior cingulate cortex, yang mengalami penurunan ketebalan kortikal.

Para penulis ini juga merangkum perubahan dalam jaringan otak yang berhubungan dengan depresi dan menemukan adanya penurunan koneksi antara korteks prefrontal dengan area kortikal temporal, korteks prefrontal dengan amigdala dan hipokampus.

Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun perubahan struktural atau fungsional tunggal pada otak yang dapat digunakan untuk mendiagnosis depresi.

Meskipun saat ini tidak lagi sepopuler studi MRI, penelitian menggunakan PET (Positron Emission Tomography) telah menunjukkan bahwa tingkat keparahan depresi mayor berkorelasi dengan penurunan aliran darah dan metabolisme di anterior cingulate cortex (ACC) dan ventromedial prefrontal cortex. Aliran darah di area ini meningkat pada pasien depresi yang telah sembuh.

Studi PET juga menunjukkan adanya peningkatan abnormal metabolisme glukosa di amigdala dan orbitofrontal cortex, yang berkorelasi dengan tingkat keparahan gejala depresi.

Amigdala bertugas memberikan makna emosional terhadap rangsangan. Aktivitas amigdala merangsang pelepasan kortisol, yang menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan aktivitas poros HPA (hipotalamus-pituitari-adrenal) pada depresi. Peningkatan aktivitas di orbital cortex berkaitan dengan upaya untuk memodulasi atau menghambat aktivitas amigdala."

Sebagai hipnoterapis, informasi di atas sama sekali tidak bisa saya aplikasikan ke dalam praktik hipnoterapi. Saya bukan dokter, psikiater, atau psikolog klinis. Saya tidak memiliki kompetensi melakukan prosedur yang disarankan, seperti pemberian obat, pembedahan, dan yang lainnya. Namun, satu hal yang menarik perhatian saya adalah bagaimana terapi psikologi bisa digunakan, sampai tahap tertentu, untuk membantu mengatasi gangguan psikologis.

Dan mengingat saya mendalami hipnoterapi, saya simpulkan, sampai tahap tertentu, hipnoterapi bisa membantu mengatasi kondisi tidak kondusif yang dialami individu, khususnya di aspek emosi dan perilaku.

Saya sempat belajar neurofeedback di Los Angeles, Amerika. Dua kali saya ke Amerika mendalami ilmu ini. Dan hasilnya, saya bisa membantu klien melalui stimulasi otak menggunakan mesin EEG yang dirancang khusus untuk tujuan ini. Namun ini juga saya tinggalkan karena saya menemukan bahwa untuk masalah emosi dan perilaku, penggunaan hipnoterapi memberi dampak jauh lebih cepat dan signifikan.

Saya menyadari, neurosains adalah disiplin ilmu yang sangat kompleks, dan tidak mungkin bisa saya kuasai sepenuhnya hanya dengan belajar secara otodidak atau sekadar ikut pelatihan. Jadi, daripada saya membuang waktu belajar sesuatu yang akhirnya juga tidak banyak manfaatnya, lebih baik saya fokus pada hipnoterapi.

Alasan utama saya tidak secara khusus mengajarkan neurosains hipnosis dan hipnoterapi di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH), yaitu saya tidak memiliki kompetensi di bidang keilmuan ini, dan pengetahuan terkait neuropsikologi tidak bisa saya integrasikan ke dalam protokol atau teknik-teknik hipnoterapi saya. Namun bagi peserta SECH yang berminat mendalami neuropsikologi, saya dengan senang hati memberi mereka judul-judul buku dan artikel jurnal untuk mereka pelajari sendiri. Dan tentunya, bila saya memiliki ebook atau file-nya, pasti saya berikan juga.

Berlandaskan fakta dan temuan di ruang praktik, di luar faktor genetik, saya percaya sepenuhnya bahwa abnormalitas pada struktur, aliran darah, dan senyawa kimiawi otak adalah akibat, bukan sebab.

Individu pada awalnya dalam kondisi baik. Dengan demikian, kondisi otaknya juga baik. Namun, dalam proses tumbuh kembang ia mengalami pengalaman atau kejadian traumatik yang akhirnya mengguncang kondisi otaknya, yang semula normal hingga akhirnya menjadi abnormal.

Dari perspektif hipnoterapi, kami bisa melakukan resolusi pada pengalaman traumatik ini. Hipotesis saya, bila ini berhasil dilakukan, kondisi otaknya akan kembali normal.

Kami, sebagai hipnoterapis, karena tidak memiliki piranti untuk menelisik kondisi otak, lebih fokus pada memerhatikan perubahan perilaku pascaterapi. Misalnya, ada klien datang pada kami dengan masalah serangan panik (panic attack), ledakan kemarahan (anger outburst), fobia yang tidak rasional, ketakutan berlebih dalam situasi sosial (social anxiety), trauma, atau gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Kondisi ini terjadi karena pembajakan amigdala (amydala hijack), yaitu saat amigdala, bagian otak yang bertanggung jawab atas respons emosional, "mengambil alih" kendali sebelum korteks prefrontal (bagian otak yang lebih rasional) memiliki kesempatan untuk memproses informasi secara logis.

Dengan hipnoterapi, kami bisa membantu klien mengatasi masalahnya dengan cara menemukan dan memproses tuntas akar masalah atau kejadian penyebab simtom. Saat klien sembuh, secara otomatis ia terbebas dari amygdala hijack .

Kembali pada pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini: Perlukah Hipnoterapis Belajar Neurosains?

Bila tujuannya untuk menambah pengetahuan atau wawasan, tentu sangat boleh. Namun bila yang diharapkan adalah setelah mendalami neuropsikologi, kompetensi hipnoterapi meningkat secara luar biasa, saran saya, tidak usah buang waktu belajar neurosains secara mendalam.



Dipublikasikan di https://adiwgunawan.com/index.php?p=news&action=shownews&pid=428 pada tanggal 16 Januari 2025