Pola Asuh yang Salah, Harga Diri yang Runtuh, dan Hidup yang Rapuh

(Berikut ini sharing penting, informatif, edukatif, dan sangat bernas dari Ibu 𝐖𝐢𝐝𝐲𝐚 𝐒𝐚𝐫𝐚𝐬𝐰𝐚𝐭𝐢, 𝐂𝐂𝐇®., hipnoterapis senior AWGI, yang berpraktik hipnoterapi sejak tahun 2011, dan telah melakukan lebih dari 6.000 (enam ribu) sesi konseling dan terapi.)
 
 
Selamat siang Pak Adi yang saya hormati. Salam sehat dan bahagia.
 
Selama ini, tanpa kenal lelah, Bapak selalu menekankan dan mengajarkan—baik melalui tulisan, seminar, workshop, maupun video—tentang pentingnya nilai-nilai kehidupan dan kehadiran orangtua dalam proses keorangtuaan (parenting) yang terjadi di rumah. Memang demikian adanya, bahwa ini sungguh sangat penting.
 
Dalam praktik saya sebagai hipnoterapis, saya sering menjumpai klien dewasa yang bergulat dengan harga diri yang rendah. Akar masalahnya sering kali kembali pada pola pengasuhan yang tidak kondusif di masa kecil.
 
Salah satu fenomena yang cukup sering saya temukan adalah klien yang mengalami kebingungan identitas atau ketidaknyamanan dalam menempatkan diri secara sosial, karena dalam kesehariannya di rumah, ia lebih banyak menghabiskan waktu dan diinternalisasi oleh pola asuh dari asisten rumah tangga (ART) atau sopir keluarga—bukan dari orangtuanya langsung.
 
Bukan berarti peran mereka tidak penting atau tidak layak dihormati—justru mereka sangat berjasa dalam mendampingi tumbuh kembang anak. Namun, ketidakhadiran orangtua secara emosional dan fungsional telah menciptakan kondisi di mana anak menyerap nilai, sikap, dan cara memandang dunia dari figur yang tidak dirancang atau dibekali untuk membentuk struktur identitas anak sesuai latar belakang sosial-emosionalnya.
 
Berikut ini adalah beberapa contoh kasus yang pernah saya tangani, yang akar masalahnya adalah perasaan diri tidak berharga:
 
 
Kasus#1
 
Seorang mahasiswi fakultas kedokteran, putri dari pasangan pengusaha sukses, datang menjumpai saya untuk menjalani terapi. Saat itu, ia menjalin hubungan dengan seorang buruh bangunan. Sebelumnya, ia juga pernah berpacaran dengan pria dari berbagai latar belakang ekonomi dan pendidikan yang jauh berbeda darinya—anak sopir angkutan umum, anak satpam, bahkan pekerja lepas.
 
Dalam proses terapi saya melakukan hipnoanalisis, dan ditemukan akar dari kecenderungan ini adalah rasa keterikatan emosional yang terbentuk dengan ART, karena ibunya sering menolak ajakannya untuk berbicara, bercerita, atau sekadar ditemani.
 
Ibunya selalu mengatakan sedang sibuk, sementara satu-satunya orang yang konsisten hadir dan mendengarkan adalah ART ini. Anak ini pun merasa lebih diterima dan dihargai oleh figur tersebut.
 
Harga dirinya tumbuh tidak sejalan dengan realitas sosial yang ia miliki.
 
 
Kasus#2
 
Seorang mahasiswi jurusan seni rupa di Australia tidak mampu menggambar selama satu tahun, meskipun sejak kecil dikenal sangat berbakat. Ia menjadi pasien psikiater dan menjalani terapi karena mengalami depresi berat. Ia tinggal di apartemen mewah, tetapi merasa tidak nyaman dan terus-menerus rindu pada sopir yang selama ini menemaninya sejak kecil.
 
Saat menjalani sesi hipnoterapi di Jakarta, ia berkata, “Bu, nanti aku kenalin ayahku yang sebenarnya ya.”
 
Ia tidak sedang bercanda. Yang dimaksud adalah sopir keluarga—bukan ayah biologisnya. Karena hanya sopir itulah yang selalu hadir dalam hari-harinya. Sang sopir yang selama ini merawat, mengantar, dan menemani ke dokter saat sakit. Dalam keseharian, sosok inilah yang hadir sebagai figur pengasuh penuh kasih.
 
Ia juga menjalin hubungan dengan pria yang tinggal di lingkungan yang sangat jauh berbeda dari latar belakangnya. Ketika ditanya mengapa ia tertarik, jawabannya sederhana: “Kami sama-sama suka anime.”
 
Padahal jutaan orang menyukai anime. Yang membedakan adalah harga diri yang terbentuk sejak kecil: bahwa dirinya merasa setara dengan lingkungan itu karena tidak pernah merasa cukup berharga dari dalam keluarga sendiri.
 
 
Kasus#3
 
Seorang manajer bank swasta asing, lulusan S2 dari luar negeri, telah lima kali melakukan percobaan bunuh diri. Pemicunya adalah cinta yang ditolak oleh seorang wanita. Saat ditelusuri lebih dalam, sejak kecil ia kerap mengalami kekerasan fisik dan verbal dari orangtuanya, terutama sang ibu yang sering menyebutnya “anak bodoh” dan “bikin malu.”
 
Sebaliknya, satu-satunya tempat aman baginya adalah ART. Di kantor, ia pun merasa tidak dihargai, dan secara tidak sadar terus mencari rasa diterima dari figur di luar lingkungan setara. Ia terobsesi dengan wanita yang secara sosial dan pendidikan sangat jauh berbeda dengannya—karena rasa dirinya pun terbentuk dari ruang yang tidak seharusnya.
 
Sang ibu, saking malu dan frustrasi akibat kondisi anaknya ini, bahkan sampai berkata, “Saya rela kalau dia benar-benar mati, daripada terus begini,” menunjukkan betapa relasi batin antara ibu dan anak ini telah hancur jauh sebelum peristiwa itu terjadi.
 
 
Kasus#4
 
Seorang wanita berpendidikan tinggi, lulusan S2 bidang keuangan dari luar negeri, bekerja di bank besar dan berasal dari keluarga pengusaha mapan. Namun, ia selalu menolak promosi jabatan yang ditawarkan kepadanya, hingga atasannya bingung. Ia merasa tidak layak.
 
Masa kecilnya penuh tekanan dari orangtua yang keras dan sering merendahkan. Ruang aman satu-satunya baginya adalah dapur dan kamar ART. Di situlah ia merasa diterima dan bertumbuh secara emosi.
 
Ia kemudian menikah dengan pria yang bekerja sebagai pengemudi, merasa tenang dan nyaman. Namun, tubuhnya mulai menunjukkan gejala psikosomatis. Setelah berbagai upaya medis dan konseling tidak membuahkan hasil, proses hipnoanalisis menemukan bahwa pikiran bawah sadarnya menyimpan kemarahan, karena ia terus “menurunkan diri” demi menyesuaikan dengan pasangannya, bukan karena cinta, tetapi karena rasa kasihan.
 
Setelah proses terapi, harga dirinya pulih. Beberapa bulan kemudian, ia mulai bertanya-tanya: “Kenapa dulu saya bisa menikah dengan orang yang begitu jauh berbeda dan tidak bisa saya ajak bicara dari hati ke hati?”
 
 
Antara Menjadi Orangtua dan Sekadar Ayah-Ibu
 
Belakangan ini, saya cukup sering menjumpai pasangan muda yang secara peran biologis adalah ayah dan ibu, namun belum sungguh-sungguh hadir sebagai orangtua bagi anak-anak mereka.
 
Kesibukan karier, tuntutan pekerjaan, dan ritme hidup yang cepat sering kali membuat mereka tidak memiliki cukup ruang dan waktu untuk terhubung dengan anak secara emosional.
 
Hampir seluruh kebutuhan anak—baik fisik maupun emosional—ditangani oleh ART atau suster. Bahkan saat keluarga pergi ke mal atau restoran bersama, anak tetap lebih dekat dan diurus oleh pengasuh.
 
Jika dilakukan pengecekan koneksi emosional antara orangtua dan anak, sering kali ditemukan bahwa jembatan batin itu rapuh atau bahkan belum terbentuk. Tidak ada percakapan dari hati ke hati. Tidak ada pelukan yang penuh makna. Tidak ada tatapan mata yang membuat anak merasa, "Aku dilihat. Aku penting."
 
Dalam situasi seperti ini, mereka telah menjadi ayah dan ibu secara status, namun belum sungguh menjadi orangtua secara kehadiran.
 
Karena menjadi orangtua sejati bukan hanya soal memberi nafkah atau menyediakan fasilitas, tapi tentang hadir secara utuh, menjadi ruang aman tempat anak merasa diterima, didengar, dan dipeluk—bukan hanya secara fisik, tetapi secara jiwa.
 
 
Kasus#5
 
Seorang anak laki-laki kelas 1 SMP datang ke tempat praktik saya, diantar oleh mbak ART dan sopir keluarga. Saya tentu menolak melakukan terapi tanpa kehadiran orangtua. Ketika dihubungi, ibunya menjelaskan bahwa ia sangat sibuk dengan pekerjaan dan merasa tanggung jawabnya sudah dipenuhi dengan membuatkan jadwal terapi serta bersedia membayar biayanya.
 
Menurut sang ibu, anak tunggalnya dianggap bermasalah karena melanggar aturan penggunaan ponsel dan tidak disiplin bangun pukul 04.00 pagi setiap hari untuk latihan renang. Anak ini juga tidak memiliki teman di sekolah internasionalnya, cenderung menarik diri, merasa minder, dan dianggap "berbeda" oleh teman-temannya.
 
Di rumahnya yang sangat besar di kawasan elite, ia justru menghabiskan waktu lebih banyak di area belakang—bersama ART. Bahkan saat tidur pun, ia ditemani oleh ART, sementara kedua orangtua biasanya baru pulang larut malam, saat anak sudah tertidur. Kehidupan anak ini dipenuhi jadwal padat, tapi kosong dari koneksi emosional yang hangat.
 
 
Kasus#6
 
Seorang ibu muda berkisah bahwa balitanya selalu diam saja setiap kali dia berkata, “Come, hug Mommy… hug Mommy…”
 
Sang anak justru lebih asyik bermain dengan suster. Sejak lahir, anak ini memang tidur bersama suster. “Memang seharusnya begitu ‘kan, Bu, kayak di film?” katanya polos.
 
Anak ini juga kerap menyingkir saat kakek, nenek, atau kerabat keluarga datang berkunjung. Di rumah kakek-nenek pun, ia terlihat canggung dan bersembunyi di belakang ibunya. Meskipun sudah diajarkan cara bersikap percaya diri, tetap tidak berhasil. Tapi anehnya, ia bisa dengan lantang dan percaya diri berseru, “Halo Om Anton!” ketika bertemu dengan sopir keluarga.
 
Anak ini mengenali dan merasa nyaman dengan orang-orang yang hadir dalam keseharian emosionalnya, bukan sekadar dalam struktur keluarga.
 
 
Kasus#7
 
Sepasang suami istri yang kini sukses secara finansial—dengan penghasilan miliaran per bulan—pernah menitipkan anak mereka ke orang lain saat masih merintis usaha. Anak dititipkan sejak usia satu tahun kepada seorang wanita yang bekerja sebagai buruh cuci dan sangat ingin memiliki anak, meski bukan keluarga berada.
 
Seiring usaha mereka membaik, mereka memberikan dukungan finansial lebih kepada ibu asuh tersebut. Anak tetap tinggal di sana hingga kelas 5 SD. Setelah itu, mereka memutuskan untuk “menarik pulang” anak tersebut ke rumah.
 
Namun, sejak saat itulah mereka menyadari betapa besar perbedaan dalam karakter dan emosi anak. Anak menjadi sangat pemalu, tidak percaya diri, emosional, dan sulit mengelola ledakan perasaan. Ia tidak nyaman tidur sendiri di kamar, mudah tersinggung karena hal kecil, dan sering bicara kasar. “Padahal dia selalu berkunjung ke rumah kalau libur sekolah,” kata si ibu.
 
Ia juga mengalami gangguan alergi yang tak kunjung sembuh. Kini ia bahkan ingin bersekolah di pesantren agar bisa tinggal jauh dari rumah. “Dia tidak mau tinggal di rumah,” kata sang ayah. Padahal, rumah itu adalah rumah orangtuanya sendiri.
 
 
Kasus#8
 
Seorang ibu bercerita dengan malu dan bingung saat mengetahui anaknya hafal lagu-lagu dangdut dan nama-nama artis, padahal ia sendiri tidak pernah menonton acara seperti itu. Ia juga tidak suka sinetron atau musik dangdut. Namun, anaknya sangat akrab dengan semua itu.
 
Setiap kali dimarahi karena sesuatu, anak ini selalu lari ke dapur atau ke kamar ART. Ia menjadi sangat rewel, tidak mau makan, dan sulit tidur setiap kali ART pulang kampung. Bahkan pernah sampai sakit berhari-hari, dan langsung sembuh ketika ART kembali ke rumah.
 
Meski orangtua mencoba mengganti ART lain, anak tetap lebih nurut dan dekat dengan mereka dibandingkan dengan orangtuanya sendiri.
 
Ketika ditanya, sang ibu menjelaskan, “Kami memang sibuk, sering ke luar kota, bahkan kadang keluar negeri. Tapi kalau pergi lama, biasanya saya minta ibu saya atau mertua menemani anak di rumah.”
 
Namun kenyataannya, kedua orangtua memang absen dalam kehidupan anak. Anak tidak merasa ditemani oleh siapa pun yang benar-benar hadir secara batin.
 
 
Refleksi
 
Semua kasus ini bukan tentang profesi siapa pun. Ini bukan soal siapa lebih tinggi atau lebih rendah. Setiap pekerjaan adalah mulia dan berharga. Namun, yang menjadi perhatian adalah ketika anak tidak mendapatkan kehadiran emosional dari orangtua, dan justru belajar mengenal dunia dari figur yang tidak memiliki kapasitas untuk membentuk identitas dan struktur nilai sesuai tempat tumbuhnya.
 
Ketidakhadiran orangtua bukan hanya soal fisik, tapi batin. Dan saat batin anak tidak merasa terlihat, dihargai, dan diterima, ia bisa mengembara dalam hidup dengan rasa diri yang tidak utuh—meski dari luar tampak sangat “berhasil.”
 
 
Fenomena yang Mengkhawatirkan
 
Apa yang saya paparkan hanyalah sebagian kecil dari kenyataan yang saya temui, dan terus terang, semua ini membuat saya sangat prihatin. Banyak orangtua masa kini begitu sibuk, hingga gagal meletakkan prioritas yang tepat dalam kehidupan berkeluarga.
 
Nilai-nilai kehidupan yang dulu diajarkan lewat interaksi hangat dan penuh keteladanan, kini nyaris hilang. Anak-anak tumbuh dalam limpahan informasi, tetapi miskin panduan hidup. Mereka tumbuh dengan gizi yang baik, otak yang cerdas, dan terpapar berbagai teknologi modern. Tapi jiwa mereka kering—karena kasih sayang dan perhatian yang seharusnya didapatkan, tidak hadir secara nyata.
 
Dan ketika mereka tumbuh remaja atau dewasa, orangtua berharap mereka menjadi anak yang baik, berprestasi, dan berbakti—karena merasa sudah memberikan fasilitas, sekolah terbaik, dan kemewahan hidup.
 
Padahal yang anak butuhkan sejak dulu hanyalah kehadiran. Bukan hanya fisik, tapi juga hati yang benar-benar terhubung. Konflik antara orangtua dan anak pun sering kali tidak bisa dihindari, karena kedekatan emosional tidak pernah dibangun sejak awal.
 
 
Tentang Indentitas dan Arah Hidup
 
Menurut pengamatan saya, ketidakhadiran emosional orangtua dalam kehidupan anak berkontribusi cukup besar terhadap banyak aspek perkembangan, termasuk dalam pembentukan identitas diri yang sehat—baik secara sosial, emosional, maupun seksual.
 
Saat ini, saya semakin sering menjumpai remaja yang mengalami kebingungan identitas, termasuk pergulatan dalam memahami orientasi seksualnya. Mereka datang dengan perasaan tidak utuh. Mereka tidak tahu siapa diri mereka. Dan lebih menyakitkan lagi, mereka tidak tahu kepada siapa harus bertanya. Hal ini sangat berbeda dengan generasi kita dahulu, yang hidup dalam suasana batin yang lebih hangat dan terhubung.
 
Di masa lalu, banyak dari kita tumbuh dalam keluarga besar (extended family). Saat ayah dan ibu tidak bisa hadir, masih ada kakek, nenek, paman, atau bibi yang bisa menggantikan peran emosional mereka.
 
Anak tetap memiliki figur pengikat kasih sayang yang konsisten dan dapat diandalkan. Kehangatan rumah terisi oleh pelukan, cerita sebelum tidur, tatapan penuh perhatian, dan interaksi batin yang memupuk rasa diri yang sehat.
 
Kini, dalam sistem keluarga inti (nuclear family) yang sering kali berjalan di tengah tekanan ekonomi dan tuntutan karier, anak tumbuh dalam ruang yang sepi secara emosional. Orangtua sibuk bekerja, bahkan ketika sedang di rumah, perhatian tersita oleh layar dan jadwal.
 
Anak-anak pun lebih banyak diasuh oleh pengasuh atau figur pendamping, yang meskipun penuh kasih, tidak memiliki otoritas dan kapasitas untuk membentuk struktur nilai, identitas, dan arah hidup anak sebagaimana seharusnya dilakukan oleh orangtua.
 
 
Identitas Seksual dan Kekosongan Batin
 
Dalam dunia psikologi perkembangan, orientasi seksual bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh satu faktor tunggal. Ia adalah hasil kompleks dari kombinasi biologis, lingkungan, dan pengalaman hidup—terutama pengalaman relasional di masa awal kehidupan.
 
Ketika anak tidak memiliki figur kelekatan primer (primary attachment figure) yang stabil, penuh kasih, dan konsisten dalam mendampingi pertumbuhannya, ia bisa mengalami distorsi rasa diri, termasuk dalam memahami peran dan relasi antarjenis kelamin.
 
Banyak remaja yang datang dalam terapi menyatakan bahwa mereka merasa "tidak tahu siapa mereka sebenarnya", "bingung harus menyukai siapa", atau "takut membentuk hubungan dekat" karena pengalaman masa kecil yang kosong secara emosional.
 
Saya tidak bermaksud menyederhanakan atau menghakimi orientasi seksual apa pun—karena setiap manusia berhak menjalani hidup dengan utuh dan bermartabat. Tapi dari sisi praktik klinis, saya melihat bahwa banyak anak yang mengalami perubahan orientasi atau ketertarikan tidak berdasarkan pilihan sadar, tetapi sebagai bentuk adaptasi batin terhadap rasa sepi, kekosongan, atau kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi.
 
 
Kebutuhan Terbesar Anah: Bukan Pengasuh, Tapi Orangtua
 
Kita perlu menyadari bahwa anak tidak hanya butuh diurus, tetapi perlu dihubungkan—dengan batin orangtua, dengan nilai-nilai kehidupan, dan dengan rasa bahwa dirinya dicintai tanpa syarat. Anak yang tumbuh dalam pelukan kehadiran akan lebih mudah membentuk identitas yang kuat, stabil, dan sehat.
 
Dalam banyak kasus, pengasuh rumah tangga kini menggantikan peran yang seharusnya dijalankan oleh ayah dan ibu. Anak merasa lebih terikat secara emosional dengan pengasuh daripada dengan orangtua kandungnya.
 
Dan ketika anak tumbuh dengan attachment utama pada figur yang tidak punya kapasitas menyelaraskan nilai-nilai batin dengan realitas sosialnya, maka muncullah kegamangan: dalam identitas, dalam relasi, bahkan dalam orientasi hidup.
 
 
Ruang Hadir yang Dirindukan Anak
 
Anak tidak menuntut kemewahan. Mereka hanya ingin ditemani saat belajar, ditemani saat kecewa, ditemani saat tidak tahu harus jadi siapa. Mereka tidak butuh rumah besar jika hatinya kosong. Mereka tidak butuh fasilitas terbaik jika batinnya tidak merasa dilihat, tidak dihargai, dan tidak diterima.
 
Dan di tengah semua perubahan zaman ini, peran orangtua yang hadir sepenuhnya—secara fisik, emosional, dan spiritual—tetap menjadi pondasi utama pembentukan rasa diri yang sehat.
 
Saya menulis ini bukan untuk menghakimi siapa pun. Saya hanya mengetuk pelan—pada pintu hati yang sudah lama tidak ditengok. Sebuah ajakan untuk kembali pulang, bukan ke rumah yang berdinding mewah, tapi ke ruang batin yang hangat.
Tempat anak-anak merasa diterima, dipercaya, dan dicintai... tanpa syarat.
 
Terima kasih, Bapak tidak pernah lelah mengingatkan kami semua—baik para murid maupun masyarakat luas—tentang pentingnya menjadi orangtua yang hadir, yang sadar, dan yang mengasuh dengan sepenuh jiwa.
 
Terima kasih banyak, Bapak, atas segala ilmu, nasihat, dan keteladanan yang terus mengalir tanpa henti.
 
Matur sembah nuwun sudah berkenan membaca sharing kasus, keprihatinan, curahan hati, dan harapan saya ini.
 
Hormat dan kasih kami selalu,
Widya Saraswati, CCH®

 

(Catatan AWG:
Foto di atas adalah saat Ibu Widya selesai mengikuti pendidikan hipnoterapi profesional 100 jam tatap muka di kelas, 𝐒𝐜𝐢𝐞𝐧𝐭𝐢𝐟𝐢𝐜 𝐄𝐄𝐆 & 𝐂𝐥𝐢𝐧𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐲® (𝐒𝐄𝐂𝐇), dan mendapat gelar nonakademik CHt® (Certified Hypnotherapist) di tahun 2011.
 
Selanjutnya, setelah konsisten berpraktik selama dua tahun, Beliau melanjutkan pendidikan hipnoterapi ke tingkat lanjut (advanced) di AWGI dengan lama pendidikan 100 jam tatap muka di kelas, hingga akhirnya berhak menyandang gelar nonakademik CCH® (Certified Clinical Hypnotherapy) di tahun 2013.
 


Dipublikasikan di https://adiwgunawan.com/index.php?p=news&action=shownews&pid=448 pada tanggal 7 April 2025