Seorang rekan sejawat, sesama hipnoterapis, baru-baru ini mengirimi saya email dan menceritakan salah satu kasus yang ia tangani. Kasusnya cukup menarik dan saya terus terang merasa iri karena bukan saya yang menanganinya. Saya iri lebih karena melihat bahwa kasus ini benar-benar asyik dan bisa digunakan untuk menambah jam terbang dan mengasah kemampuan. Bukan karena alasan lain.
Klien dari rekan saya ini, seorang wanita, telah sekian tahun sulit tidur dan mengalami depresi. Ia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya dan telah sekian tahun minum obat, telah ke berbagai praktisi kesehatan, minta tolong orang pintar, namun tetap belum bisa sembuh.
Singkat cerita setelah melalui dua sesi terapi yang sangat intens klien berhasil mengalami sangat banyak kemajuan. Dari yang tadinya stress dan mudah putus asa menjadi semangat. Memang, masih ada aspek lain yang perlu dibereskan yaitu klien masih sulit tidur.
Namun, bila dilihat hasil yang telah dicapai hanya dalam dua sesi terapi, dibandingkan dengan apa yang telah klien jalani dan alami selama ini, sungguh suatu hasil yang luar biasa.
Seminggu kemudian, rekan sejawat saya melakukan follow-up dan menghubungi kliennya. Apa yang terjadi? Ternyata kondisi klien kembali seperti sebelum diterapi. Tiga hari kemudian klien menghubungi rekan saya dan memberikan laporan bahwa kondisinya semakin menurun.
Lho, kok bisa?
Ternyata setelah diselidiki, klien, setelah selesai terapi dengan rekan saya ini, sesi kedua, sebenarnya sudah sangat baik kondisinya. Namun besoknya, oleh orangtuanya, klien dibawa ke “terapis” lain yang melakukan pengobatan dengan cara “lain”.
“Terapis” ini melakukan upacara yang katanya bisa mengusir “roh jahat” yang berdiam di dalam diri klien. Pengusiran “roh jahat” ini dilakukan beberapa kali dengan menggunakan cara yang menurut si “terapis” mujarab. Setelah beberapa kali “terapi”, kondisi klien justru semakin memburuk.
Saya tidak berpretensi untuk mengatakan bahwa si “terapis” ini yang membuat kondisi klien semakin memburuk. Sama sekali tidak ada maksud saya untuk berkata demikian. Yang ingin saya bahas adalah mengapa klien bisa relapse dan justru semakin parah.
Saya sendiri, dalam karir saya sebagai seorang terapis, pernah beberapa kali mengalami apa yang dialami oleh rekan saya. Klien yang sudah hampir pulih tiba-tiba relapse dan akhirnya menjadi lebih parah lagi kondisinya.
Dulu saya bingung. Saya berpikir ini semua karena saya tidak becus melakukan terapi dengan baik. Namun dari hasil perenungan dan review sesi terapi yang saya lakukan, berdasarkan catatan terapi, saya tidak menemukan kesalahan dalam praktik saya. Lalu apa yang salah?
Ternyata yang terjadi sama dengan yang dialami rekan saya ini. Klien, setelah selesai terapi dengan saya juga melakukan terapi ke terapis lain, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan saya atau terapis sebelumnya.
Banyak orang yang tidak menyadari bahwa terapi apapun, termasuk hipnoterapi, membutuhkan waktu untuk bisa membantu seseorang benar-benar pulih dari kondisi mental atau emosi mereka yang sebelumnya agak kacau.
Jika kasusnya cukup berat maka dibutuhkan sampai beberapa sesi, ada yang 4 sesi atau bahkan lebih, untuk benar-benar menstabilkan kondisi klien.
Yang sering terjadi adalah (keluarga) klien tidak sabar dan ingn mempercepat proses kesembuhan. Mereka mencampuradukkan beberapa modalitas terapi. Akibatnya? Sangat buruk untuk klien.
Setiap modalitas terapi mempunyai paradigma sendiri. Teknik yang digunakan tentunya berdasarkan teori yang sangat spesifik yang hanya akan bekerja selama dilakukan di dalam koridor teori itu. Tindakan klien mencampuradukkan beberapa jenis terapi, saya biasa menyebutnya dengan istilah Therapy Shopping, justru kontraproduktif.
Apalagi bila terapisnya dipandang sebagai figur otoritas. Hasil terapi yang sebelumnya sangat baik, namun karena belum final dan stabil, menjadi mentah lagi karena pikiran klien sendiri, setelah mendapat pengaruh baik langsung maupun tidak langsung dari terapis berikutnya, meng-undo hasil terapi sebelumnya.
Anda mungkin bertanya, “Ah, masa bisa sampai seperti ini kejadiannya?”
Saya pernah melakukan terapi pada seseorang, kasus ringan yaitu fobia kecoa, dan dalam sekejap klien sembuh. Dites dengan kecoa hidup, klien sama sekali tidak takut. Namun, untuk membuktikan bahwa klien bisa relapse atau kambuh, saya meng-undo hasil terapi saya hanya dengan satu perintah spesifik. Dalam sekejap klien kembali menjadi sangat takut terhadap kecoa, sama kondisinya seperti sebelum saya terapi.
Setelah itu saya kembalikan kondisinya seperti setelah selesai saya terapi dan fobia klien langsung hilang dan saya menyegel perubahan yang telah terjadi sehingga klien tidak bisa kembali ke pola lamanya.
Saya juga pernah punya klien yang sangat senang Therapy Shopping. Ia berpindah dari satu hipnoterapis ke hipnoterapis lainnya. Bukannya hipnoterapisnya tidak efektif namun si klien sendiri yang memang suka sekali keliling, dari satu terapis ke terapis lainnya, dan ia sangat menikmati diterapi. Sepertinya terapi sudah menjadi satu trend atau kebutuhan hidupnya. Ia bukannya mau sembuh dari masalahnya tapi justru menikmati masalahnya.
Akibatnya? Ya nggak sembuh. Setiap terapis tentu punya pendekatan yang berbeda dalam menangani suatu kasus. Setiap terapi melibatkan proses dan dinamika yang unik. Kasus yang sama bisa dibereskan dengan pendekatan atau teknik yang berbeda. Semua bergantung pada jam terbang, pengalaman, dan intuisi si terapis.
Satu kasus lain, seorang pria, yang juga sulit tidur dan mendengar ada suara di dalam kepalanya, telah lebih dari 6 tahun berkeliling mencari terapis untuk mengatasi masalahnya. Dari sekian lama upayanya hasilnya nihil.
Selidik punya selidik ternyata dia juga melakukan Therapy Shopping. Dan keluarganya mendukung serta sangat menyarankan hal ini. Saat ke psikiater dan diberi obat, obatnya hanya diminum sedikit. Setelah itu ia ke Sinshe untuk didiagnosa dan mendapat obat lain. Kemudian ke orang pintar, terus ke akupunturis, ke dokter saraf, terus ke Singapore untuk melakukan fMRI karena ia merasa ada masalah dengan otaknya.
Hasil dari Singapore menunjukkan bahwa otaknya tidak bermasalah. Ia hanya stress saja. Perlu banyak istirahat. Namun klien ini tetap gigih mencari kesembuhan. Ia pergi ke tukang pijat yang katanya bisa menotok jalan darah sehingga aliran darah bisa lebih lancar. Plus minum bermacam-macam obat dari berbagai terapis. Plus, plus, juga melakukan energy healing, prana, reiki, chikung. Wah… pokoknya macam-macam deh.
Hasil akhirnya bagaimana? Ya, tetap nggak sembuh.
Lha, bagaimana mau sembuh. Teknik terapi, seperti yang telah saya jelaskan di atas, membutuhkan waktu untuk menunjukkan hasil. Pada saat proses masih berlangsung tiba-tiba terapi dihentikan dan ia berpindah ke jenis terapi lain. Demikian seterusnya.
Kembali ke klien rekan saya. Setelah dengan terapis yang melakukan pengusiran “roh jahat” tidak membuahkan hasil, klien ini ingin kembali ke rekan saya untuk terapi lanjutan. Tentu bukan kerja yang ringan untuk bisa membantu klien ini karena hasil terapi dua sesi sebelumnya telah hilang akibat klien melakukan Shopping Therapy.
Jadi, saran saya bagi anda, jika anda sedang menjalani suatu sesi terapi, dengan terapis manapun, berilah waktu untuk terapis ini membantu anda. Jangan suka berganti terapis. Jika dalam beberapa sesi anda merasakan perubahan positif berarti apa yang dilakukan terapis ini bekerja. Nah, beri waktu sedikit lebih lama. Teruskan terapi anda.
Namun, jika setelah menjalani sampai, katakanlah, lebih dari empat sesi, sama sekali belum ada perubahan signifikan, maka anda boleh memutuskan untuk mencari bantuan terapis lain.
Jadi, hati-hati ya. Jangan melakukan Therapy Shopping.
Dipublikasikan di https://adiwgunawan.com/index.php?p=news&action=shownews&pid=52 pada tanggal 21 Juli 2010