Seorang calon klien menghubungi saya melalui email dan meminta jadwal bertemu untuk terapi. Seperti biasa sebelum saya memberikan jadwal bertemu saya mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengenal klien lebih dekat dan mengetahui apa yang menjadi masalahnya.
Satu hal menarik yang saya dapatkan dari korespondensi kami yaitu klien ternyata meminta saya menggunakan teknik tertentu untuk mengatasi masalahnya. Rupanya klien ini pernah belajar hipnosis/hipnoterapi dan pernah diterapi oleh seorang rekan hipnoterapis.
Saya dengan tegas menolak permintaan klien ini walaupun klien bersikeras bahwa ia yakin bila ia diterapi dengan teknik yang ia sebutkan, yang ia tahu saya kuasai dengan sangat baik, masalahnya pasti bisa teratasi.
Di kesempatan lain ada klien yang meminta saya memberikan garansi bahwa selesai terapi si klien pasti sembuh. Wah… ini juga saya tolak dengan tegas. Terapi adalah kontrak upaya bukan kontrak hasil.
Benar, hipnoterapi adalah salah satu teknik terapi yang sangat powerful, namun bukan pil ajaib yang sekali ditelan pasti bisa langsung mengatasi semua masalah. Benar, hipnoterapi sangat efektif, namun tetap ada dua komponen sangat penting yang menentukan hasil terapi.
Komponen pertama adalah diri klien. Apa saja yang perlu ada dalam diri klien agar bisa mendapatkan manfaat maksimal dari sesi hipnoterapinya?
Hal paling penting adalah klien harus bersedia menjalani terapi secara sadar dan atas kemauannya sendiri. Seringkali klien datang ke terapis bukan atas kemauannya sendiri namun lebih karena kemauan, saran, dorongan, atau bahkan paksaan dari pasangan, orangtua, atau rekannya. Intinya, yang mau klien sembuh itu bukan diri klien sendiri tapi orang di sekitarnya. Jika begini kondisinya maka dijamin klien tidak akan bisa sembuh.
Untuk bisa bersedia secara sadar menjalani sesi terapi maka klien perlu: a) menyadari bahwa ia punya masalah, b) mengakui bahwa ia punya masalah, c) menerima bahwa ia punya masalah, dan d) bersedia mencari solusi untuk masalahnya.
Bila klien telah sampai pada tahap bersedia mencari solusi untuk masalahnya maka ia dikatakan telah siap untuk berubah (ready for change). Dalam dunia terapi ada satu paradoks yang berbunyi, “You are not ready for change until you are ready for change”, atau “Anda tidak siap berubah sampai anda siap untuk berubah.”
Lalu, apa yang membuat seseorang siap untuk berubah? Apa yang membuat seseorang akhirnya memutuskan untuk berubah?
Untuk mencapai kondisi ready for change biasanya orang akan melewati salah satu dari tiga kondisi ini. Pertama, klien telah benar-benar menderita, baik secara fisik, mental, maupun emosi sebagai akibat dari masalahnya. Penderitaan ini sedemikian intensnya sehingga membuat klien tidak tahan dan termotivasi untuk segera mengakhiri penderitaan ini.
Kedua, kondisi ready for change dicapai saat klien merasa bosan dengan keadaannya. Istilah teknisnya psychic boredom. Klien benar-benar telah bosan dan ingin berubah. Kondisi ini biasa diungkapkan dalam kalimat, “I’ve been sick and tired of being sick and tired”.
Ketiga, kondisi ready for change dicapai saat klien menyadari bahwa ada kesempatan atau peluang untuk berubah, ada orang atau cara yang bisa membantu dirinya berubah. Kesadaran ini bisa muncul karena klien mendapat pencerahan yang berasal dari buku, seminar, rekan, televisi, atau dari sumber lainnya. Intinya adalah klien tiba-tiba sadar bahwa perubahan itu mungkin dan bisa dilakukan.
Saat klien telah siap untuk berubah maka langkah selanjutnya adalah klien perlu secara jelas menetapkan apa yang ingin ia atasi. Jika klien tidak jelas aspek apa yang ingin diselesaikan melalui sesi hipnoterapi maka terapi tidak bisa dilakukan. Kalaupun tetap dilakukan biasanya respon dari pikiran bawah sadar tidak maksimal dan terapi tidak akan efektif.
Katakanlah klien telah siap berubah, datang ke terapis atas kemauan dan kesadarannya sendiri, jelas aspek mana yang mau dibereskan, lalu apa lagi yang perlu dilakukan klien?
Saat bertemu terapis maka klien perlu percaya pada terapisnya. Klien tidak boleh punya persepsi yang salah tentang proses hipnosis dan hipnoterapi, apalagi merasa takut. Persepsi yang kurang tepat yang mengakibatkan timbulnya rasa takut biasanya dialami klien yang telah “belajar” tentang hipnosis/hipnoterapi melalui pertunjukkan di televisi atau dari media masa.
Salah satu persepsi yang salah yaitu bila seseorang dalam kondisi hipnosis maka ia tidak akan sadar akan keadaan sekelilingnya, seperti yang ia saksikan di televisi, dan operator (terapis) bisa memberikan perintah sesuka hati si terapis.
Persepsi yang juga kurang tepat adalah saat klien berharap hanya dalam satu sesi hipnoterapi semua masalah mereka selesai. Memang ada kasus yang bisa langsung diselesaikan dalam satu sesi namun idealnya klien perlu menyiapkan diri untuk menjalani antara 1 sampai 4 sesi terapi. Ini adalah jumlah sesi yang umum. Namun ada juga kasus yang membutuhkan lebih dari 4 sesi terapi.
Saat menjalani sesi terapi, kerjasama klien sangat penting. Terapi adalah proses yang melibatkan dua pihak, klien dan terapis. Terapis hanya membantu memfasilitasi proses. Klienlah yang sebenarnya melakukan terapi terhadap dirinya sendiri.
Bentuk kerjasama dari pihak klien yaitu klien bersedia menjalankan saran, masukan, atau instruksi yang disampaikan terapis. Bila klien tidak bersedia maka terapis tidak akan bisa melakukan terapi. Jadi, kendali sepenuhnya ada pada diri klien, bukan pada terapisnya.
Nah, setelah saya menjelaskan mengenai faktor klien, sekarang akan saya jelaskan faktor pada terapis yang sangat menentukan proses dan hasil terapi.
Syarat utama seorang hipnoterapis adalah ia harus memiliki compassion (welas asih), passion (hasrat tulus untuk membantu), love (cinta), dan integritas. Setelah syarat ini terpenuhi barulah kita bicara aspek teknis.
Seorang hipnoterapis harus, saya ulangi, harus menjalani pendidikan dan pelatihan yang mengacu pada standar yang tinggi. Pendidikan menjadi hipnoterapis adalah hal yang serius dan tidak bisa dilakukan asal-asalan. Jika untuk menjadi seorang dokter, psikiater, konselor, atau psikolog dibutuhkan pendidikan dengan standar yang tinggi maka standar yang sama juga berlaku untuk menjadi hipnoterapis.
Pemahaman saya mengenai hipnoterapi, dan ini tentunya bisa berbeda dengan pemahaman orang lain, mensyaratkan pendidikan dan pelatihan hipnoterapi harus minimal 100 jam tatap muka di kelas agar benar-benar mampu memahami dasar teori pikiran, dasar teori dari berbagai teknik intervensi, dan aplikasinya dalam konteks klinis. Ini di luar waktu yang dibutuhkan untuk membaca berbagai literatur dan menonton berbagai DVD atau video yang menjelaskan tentang hipnoterapi.
Pelatihan yang baik, menurut hemat saya, adalah pelatihan yang tidak hanya sekedar mengajarkan teknik terapi namun lebih menitikberatkan pengembangan kemampuan analisa dan kemampuan berpikir.
Kemampuan analisa dan berpikir ini sangat dibutuhkan karena setiap terapi adalah proses yang unik. Teknik yang sama belum tentu bisa digunakan untuk kasus yang sama karena dinamika yang berbeda. Kemampuan analisa dan berpikir hanya bisa dimiliki seorang hipnoterapis bila ia mempelajari dan memahami konsep dasar yang menjadi pedoman atau acuan perspektif guru atau trainer hipnoterapinya dalam melakukan terapi. Tanpa pemahaman ini akan sangat sulit, bila tidak mau dikatakan mustahil, bagi siapa saja yang belajar hipnoterapi untuk bisa menciptakan hasil terapi yang dramatis seperti yang bisa dilakukan oleh gurunya.
Pernyataan di atas sebenarnya adalah ungkapan maestro hipnoterapi Charles Tebbetts saat ia berkomentar mengenai guru hipnoterapinya, “..…it seems clear that only by learning the fundamental concepts that guides him,and adopting his underlying perspective, can we hope to create semiliar dramatic interventions with a majority of our clients.”
Secara umum syarat untuk menjadi seorang hipnoterapis andal adalah sebagai berikut:
• Konsep diri yang baik
• Kepercayaan diri yang tinggi
• Kemampuan komunikasi verbal dan nonverbal yang baik
• Kreativitas yang tinggi dalam berkomunikasi dan mampu menyesuaikan diri dengan level lawan bicara.
• Memahami cara kerja pikiran
• Memahami dasar teori serta mampu menerapkan berbagai teknik terapi sesuai kebutuhan
• Mengerti dan menguasai prosedur hipnoterapi
• Memegang teguh kode etik profesi
Banyak hipnoterapis pemula punya persepsi yang salah tentang proses hipnoterapi. Mereka berpikir bahwa terapi dilakukan saat klien bertemu terapis di ruang praktik. Ini pandangan yang salah dan sangat memengaruhi efektivitas terapi.
Terapi sebenarnya telah dimulai saat calon klien mulai mengetahui tentang terapis. Klien mengenal terapis bisa melalui buku atau artikel yang ditulis terapis ini, bisa melalui seminar atau workshop, internet/web, brosur, iklan, kartu nama, atau referensi dari rekannya.
Kesan pertama yang muncul di benak klien terhadap si terapis akan sangat menentukan proses dan hasil terapi. Untuk itu, bagi anda, hipnoterapis, sebaiknya anda benar-benar menjaga citra dan postur anda di depan klien. Hindari kesan klenik atau magic. Tampilkan kesan intelek dan ilmiah baik melalui tulisan, ucapan, kartu nama, maupun tampilan situs pribadi anda.
Kembali ke contoh kasus yang saya jelaskan di awal artikel ini. Alasan saya menolak permintaan klien untuk menerapi dirinya menggunakan teknik terapi yang ia minta adalah karena alasan postur dan yang lebih penting lagi klien tidak tahu apa-apa tentang hipnoterapi.
Secara psikologis bila (calon) klien bisa “mendikte” terapis maka bawah sadar si terapis kalah pengaruh dan tidak punya postur. Ini yang membuat terapinya tidak efektif.
Dan benar, setelah saya menolak permintaan calon klien di atas dan tentunya dengan menjelaskan alasan di balik penolakan itu saya mendapat jawaban, “……memang benar apa kata Pak Adi. Jika Pak Adi melakukan apa yang saya minta justru akan menghambat proses terapi. Saya pernah diterapi dengan menggunakan teknik X oleh seorang terapis dan ia melakukan teknik ini sesuai permintaan saya. Hasilnya dari proses terapi ini tidak menghasilkan apa-apa dan kurang efektif.”
Faktor lain yang juga sangat penting diperhatikan adalah kedalaman rileksasi pikiran (trance) yang dicapai klien saat terapi dilakukan. Jika terapi dilakukan dalam kondisi light atau medium trance maka efeknya tidak bisa bertahan lama. Namun bila terapi dilakukan dalam kondisi deep trance atau profound somnambulism maka efeknya akan permanen.
Terapi yang telah berhasil dilakukan dengan sangat baik bukan jaminan bahwa masalah klien tidak bisa relapse atau kambuh. Dari pengalaman saya menangani klien ada beberapa faktor yang membuat seorang klien kambuh.
Pertama, terapi belum menyentuh ISE (Initial Sensitizing Event). Kedua, hasil terapi tidak dikunci pada posisi akhir sehingga efek permanency tidak berlaku. Ketiga, pikiran sadar klien menganulir hasil terapi, baik karena pemikirannya sendiri maupun mendapat pengaruh dari orang lain yang dipandang memiliki otoritas yang tinggi di mata klien.
Masa kritis yang sering luput dari perhatian terapis adalah justru saat terminasi terapi. Pada saat ini umumnya klien dibawa keluar dari kondisi deep trance dengan perlahan. Prinsip yang selama ini dikenal di dunia hipnoterapi, dan ini juga yang dulunya saya yakini, namun sekarang sudah saya tinggalkan, kecepatan keluar dari trance sebanding dengan kedalaman trance yang dicapai klien. Jika trancenya sangat dalam maka klien membutuhkan waktu yang lama untuk dibawa keluar.
Pengalaman dan hasil pembelajaran saya mengajarkan satu hal yang sangat berharga yang akhirnya saya integrasikan ke dalam Quantum Hypnotheraputic Procedure yang saya ajarkan di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy 100 jam. Terminasi trance harus dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dengan kata lain klien harus bisa dibawa keluar dalam sekejap. Jika ada instant induction maka juga bisa dilakukan instant emerging.
Mengapa klien perlu dibawa keluar dengan cepat?
Jika dibawa keluar secara perlahan, saat klien sudah membuka mata, ia sebenarnya masih dalam kondisi hypersuggestible, suatu kondisi yang sangat sugestif dan kritis. Nah, jika klien meragukan atau berpikir negatif mengenai proses terapi maka dalam kondisi yang sangat sugestif ini pikiran sadarnya akan menganulir hasil terapi yang telah dicapai. Bila ia dibawa keluar dengan sangat cepat maka saat itu ia telah berada di kondisi gelombang otak dominan Beta. Dengan demikian tidak mudah baginya untuk mengotak-atik hasil terapi yang telah dilakukan.
Bila tidak tahu cara melakukannya dengan benar maka terminasi trance yang dilakukan dengan sangat cepat sangat beresiko. Klien bisa pusing dan mual. Jadi, pastikan anda tidak melakukan hal ini jika tidak benar-benar mengerti tekniknya.
Pembaca, setelah membaca sejauh ini saya yakin anda pasti sampai pada satu kesimpulan seperti yang dinyatakan oleh seorang pembaca buku saya, “…….apa yang diungkap Pak Adi mengenai proses terapi sangat berbeda dengan apa yang saya ketahui, baca, dan pelajari selama ini. Sekarang saya mengerti bahwa proses terapi tidak semudah seperti yang saya bayangkan sebelumnya.”
Dipublikasikan di https://adiwgunawan.com/index.php?p=news&action=shownews&pid=55 pada tanggal 21 Juli 2010