Treating Depression With Hypnotherapy

Di tahun 1999, WHO (World Health Organization) melansir laporan mengenai prevalensi depresi yang menyatakan bahwa depresi adalah musuh nomor empat manusia setelah sakit jantung, kanker, dan kecelakaan lalu lintas. Laporan yang sama menyatakan bahwa di tahun 2020 depresi akan naik peringkat menjadi faktor nomor dua yang menyebabkan penderitaan manusia (Murray & Lopez, 1997).

Apa sebenarnya depresi?

Simtom depresi menurut DSM-IV yaitu perasaan tertekan hampir sepanjang hari atau hilangnya minat pada hal-hal yang umumnya disukai atau sering dilakukan, nafsu makan menurun drastis yang mengakibatkan  turunnya berat badan, gangguan tidur, emosi tidak stabil, kelelahan yang sangat (fatique), perasaan diri tidak berharga, perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak pada tempatnya, konsentrasi yang buruk, keinginan atau kencederungan bunuh diri, dan bahkan sampai melakukan tindakan bunuh diri (APA, 1994). Data yang dikeluarkan WHO menyatakan bahwa depresi merenggut lebih dari 850.000 jiwa setiap tahun.

Depresi bisa dialami oleh siapa saja, baik pria atau wanita, dewasa atau anak-anak. Namun sayangnya kurang dari 25% orang, di beberapa negara tertentu kurang dari 10%, orang yang mengalami depresi mendapatkan perawatan yang efektif.

Studi lintas budaya yang dipublikasi di Journal of The American Medical Association menemukan satu simtom yang paling sering muncul yaitu insomnia dan perasaan letih dan lemah hampir sepanjang waktu.

Ada tiga jenis insomnia: 1. Awal – Kesulitan yang dialami saat mau tidur, 2. Tengah: bisa tidur dengan cukup mudah, namun terbangun beberapa jam kemudian dan setelah itu tidak bisa tidur lagi, 3. Akhir: bangun beberapa jam lebih awal dari waktu yang seharusnya dan tidak bisa tidur lagi.

Dampak Depresi

Depresi mengakibatkan dampak yang luar biasa bagi penderitanya. Setidaknya, depresi berdampak pada biaya, emosi, fisik, dan sosial.

•Dampak Biaya: Kinerja menurun, istirahat / cuti, tidak produktif, biaya pengobatan, bahkan hilangnya potensi penghasilan karena penderita bunuh diri.
•Dampak emosi: hidup dipenuhi dengan perasaan tidak nyaman, tidak berdaya, penyesalan mendalam, sedih, putus asa, cemas.
•Dampak fisik: tubuh sakit, psikosomatis, jika ada sakit lebih cenderung mengalami komplikasi, kecepatan pemulihan kondisi kesehatan lebih lama dan lambat, lebih cenderung kena serangan jantung
•Dampak sosial: konflik dalam keluarga, ketidakmampuan menjalankan fungsi dan peran sebagai orangtua yang baik, perceraian, putusnya persahabatan, perilaku yang merugikan diri sendiri dan atau orang lain seperti mabuk, penggunaan obat-obatan terlarang, dan child abuse.

Mengapa Depresi?

Hasil riset menunjukkan ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi atau mengalami depresi:

• Kondisi kehidupan yang penuh tekanan
• Konflik pernikahan
• Physical atau sexual abuse (di masa lalu atau masa kini)
• Kesulitan ekonomi
• Kecakapan sosial yang buruk
• Kecakapan pemecahan masalah yang buruk
• Kecakapan manajemen diri yang buruk
• Cara berpikir disfungsional
• Kondisi mental yang lemah / bermasalah (misal: kecemasan)

Sebagai clinical hypnotherapist saya memandang depresi adalah sesuatu yang baik karena merupakan bentuk komunikasi pikiran bawah sadar ke pikiran sadar. Faktor yang dijelaskan di atas bila dicermati dengan saksama menyiratkan satu hal yang sama, yang menjadi sumber masalah sehingga mengakibatkan seseorang masuk ke kondisi depresi, yaitu semua faktor ini mengakibatkan seseorang mengalami tekanan emosi (baca: perasaan tidak nyaman) yang tinggi.

Saya mengatakan “masuk ke kondisi depresi” bukan sekedar mengalami depresi karena seseorang tidak serta merta langsung depresi. Ada tahap dan proses yang pasti dilalui siapa saja untuk akhirnya masuk ke kondisi depresi. Untuk memahami depresi, menurut teori yang saya kembangkan sebagai dasar penyusunan Quantum Hypnotherapeutic Protocol, pertama-tama kita perlu memahami sifat dan cara kerja pikiran bawah sadar.

Pikiran bawah sadar adalah tempatnya emosi, memori, persepsi, belief, value, dan kepribadian. Saat seseorang mengalami kondisi atau situasi yang ia persepsikan sebagai hal yang mengganggu atau tidak nyaman maka akan muncul emosi tertentu yang disebut dengan primary emotion. Yang masuk dalam kategori primary emotion antara lain: marah, benci, jengkel, dendam, kecewa, terluka, perasaan bersalah, sakit hati, sedih, takut, kesepian, dan bosan.

Primary emotion ini adalah komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar yang mengabarkan bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak sejalan dengan keinginan, nilai, atau kepercayaan yang tersimpan di pikiran bawah sadar. Setiap emosi ini mempunyai makna dan kebutuhan yang perlu dipenuhi. Untuk itu pikiran sadar diminta untuk segera menyelesaikannya.

Bila pesan atau permintaan primary emotion ini tidak ditanggapi, ditanggapi tapi salah, atau diabaikan maka pikiran bawah sadar akan meningkatkan komunikasinya dengan menaikkan intensitas emosi yang dirasakan seseorang. Pada saat ini muncul secondary emotion yaitu frustrasi.

Selanjutnya bila secondary emotion ini juga tidak berhasil diatasi maka akhirnya penderita akan masuk ke fase ketiga yaitu depresi.

Salah satu sebab mengapa penderita depresi cenderung melakukan tindakan bunuh diri adalah karena salah satu fungsi pikiran bawah sadar adalah melindungi pikiran sadar dan tubuh fisik dari sesuatu yang ia (pikiran bawah sadar) persepsikan sebagai hal yang merugikan atau membahayakan. Dalam hal ini, langkah paling cepat dan mudah untuk menghentikan semua penderitaan ini secara permanen, menurut pikiran bawah sadar, adalah dengan bunuh diri.

Teori Tungku Mental

Untuk lebih memahami proses terjadinya depresi, bayangkan di depan anda ada sebuah tungku (pikiran) yang terbuat dari tanah liat dan berisi air. Di bawah tungku ada api (emosi) yang menyala. Tungku ini dalam kondisi tertutup rapat.

Bila api yang membakar tungku tetap dipertahankan atau bahkan semakin diperbesar maka tungku menjadi semakin panas, air dalam tungku akan mendidih, berubah menjadi uap yang semakin lama semakin kuat menekan dinding tungku, mencari jalan keluar. Suatu saat akan muncul retakan kecil di dinding atau tutup tungku sehingga sebagai uap bisa keluar.
Ada tiga cara untuk menyelamatkan tungku agar tidak meledak dan hancur. Pertama, tungku dikompres dengan air dingin sehingga temperaturnya turun. Bila kompresnya dihentikan maka temperatur akan naik lagi. Ini adalah pengobatan yang dilakukan dengan mengkonsumsi obat antidepresan.

Kedua adalah dengan membuat retakan-retakan kecil di dinding atau tutup tungku sehingga uap bisa keluar dan tekanan berkurang. Kondisi ini sama dengan penderita yang curhat, menangis (katarsis), berteriak, memukul,  atau membanting benda di sekitarnya. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan tekanan dan akhirnya merasa lega. Namun cara pertama dan kedua ini disebut dengan sypmtomatic therapy dan tidak menyelesaikan masalah karena penderita bisa kambuh lagi.

Ketiga, adalah dengan mematikan api (emosi) yang berada di bawah tungku. Bila apinya mati maka dengan sendirinya tungku akan menjadi dingin dan tidak ada lagi tekanan yang menekan dinding tungku. Ini adalah causal therapy dan solusi yang paling efektif, efisien, dan permanen. 

Menyembuhkan Depresi Dengan Hipnoterapi

Saya sering menangani klien yang mengalami depresi berat dan bahkan yang sudah beberapa kali mencoba bunuh diri. Saat keluarga klien berkata, “Pak Adi, anak kami ini sudah beberapa kali mencoba bunuh diri”, saya selalu menjawab, “Oh… ini bagus sekali.” Biasanya keluarga klien kaget mendengar jawaban ini.

Saya lalu menjelaskan bahwa mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) yang ada di pikiran bawah sadar klien masih berfungsi normal yaitu berusaha menghentikan penderitaan klien. Dengan pemahaman ini saya nanti akan mengubah arah atau energi pikiran bawah sadar, yang berasal dari defense mechanism, dari jalur bunuh diri ke jalur hidup konstruktif, damai, dan bahagia.

Mengacu pada teori Tungku Mental dan Quantum Hypnotherapeutic Protocol yang saya kembangkan selanjutnya saya melakukan terapi pada klien.  Inti dari terapi yang saya lakukan adalah membantu klien untuk mengeluarkan tekanan emosi negatif sebanyak-banyaknya dan secepatnya mematikan api yang membakar tungku mentalnya.

Apakah sesederhana ini? Ya.

Apakah mudah? Tidak. 

Hal yang perlu diperhatikan adalah apakah api (emosi) yang membakar tungku mental berasal dari kejadian traumatik di masa lalu (traumatic past experience),  kejadian di masa sekarang (unresolved present issue), ataukah kejadian dari masa lalu dan berlanjut hingga saat ini. Teknik dan proses pemadaman apinya berbeda.

Hal sulit lainnya saat menangani kasus depresi adalah membawa klien masuk ke kondisi deep trance. Kondisi pikiran yang sulit fokus, karena kecemasan yang tinggi, membuat teknik induksi yang biasanya sangat efektif bagi klien normal menjadi mandul dan tidak efektif. Klien yang depresi sulit masuk deep trance. Umumnya mereka berada di level light hingga medium trace.

Saat sedang diterapi biasanya klien akan mengalami ledakan emosi atau abreaction/catharsis yang hebat. Terapis perlu sangat berhati-hati memilih teknik abreaction yang akan dijalankan pada klien. Kondisi mental klien yang rapuh tidak mengijinkan dilakukan abreaction yang intens dan lama.

Apabila emosi yang diproses ternyata sangat intens maka, demi kebaikan dan kenyamanan klien, terapis  perlu menggunakan strategi memecah tekanan emosi menjadi cluster-cluster yang lebih mudah dikendalikan. Bila diperlukan, terapis bisa melakukan karantina cluster emosi untuk diproses di sesi berikutnya. Tujuannya adalah agar hasil terapi yang telah berhasil dicapai bisa bekerja semakin kuat tanpa diganggu oleh dianulir oleh bagian (malevolent part) dari pikiran bawah sadar yang membawa atau mengendalikan emosi ini.

Kunci dari terapi depresi, menurut pengalaman saya, adalah dengan melakukan pemaknaan ulang atas peristiwa yang mengakibatkan munculnya emosi negatif. Pemaknaan ulang ini hanya bisa dilakukan dengan efektif, tanpa mengalami resistensi berarti dari pikiran bawah sadar, bila emosi yang mengganggu atau tertekan (repressed) di pikiran bawah sadar dapat diakses dan diproses.

Terapi menjadi jauh lebih sulit bila ternyata klien sudah minum obat penenang seperti Antipres, Aurorix, Cipralex, Xanax, Zoloft, Valium, Stablon, dan yang lainnya. Klien yang minum obat penenang biasanya emosinya datar sehingga terapis mengalami kesulitan untuk mengakses emosi yang menjadi penyebab depresi. Untuk itu dibutuhkan teknik khusus agar emosi yang tertekan, akibat pengaruh obat, bisa muncul dan diproses. Terapis juga perlu tahu nama, jenis, dan dosis obat yang diminum klien.

Untuk meningkatkan hasil dan daya guna terapi maka terapis membutuhkan kerjasama dan bantuan keluarga klien agar mendukung dan membantu memelihara serta meningkatkan perubahan positif yang dicapai di sesi terapi.

Saya  pernah punya pengalaman menangani kasus klien wanita yang telah mengalami depresi selama 2 tahun. Klien sering mengamuk tanpa sebab dan membanting atau merusak benda-benda yang ada di sekitarnya.

Saat bertemu dengan saya klien sudah dalam perawatan psikiater dan minum obat penenang. Sulit bagi saya untuk bisa menginduksi klien untuk masuk ke kondisi deep trance, apalagi mengakses emosinya. Klien tidak “merasakan” apapun. Emosinya datar. Namun dengan teknik tertentu, walaupun dengan sedikit upaya ekstra, saya berhasil memancing emosinya untuk muncul, walau hanya sesaat, dan langsung memprosesnya. Begitu emosi ini berhasil diproses klien langsung berubah menjadi jauh lebih lega, tenang, dan nyaman. Saya selanjutnya menjadwalkan sesi berikutnya satu minggu kemudian.

Hanya selang dua hari setelah terapi saya mendapat telpon dari ibu klien yang mengabarkan bahwa klien kambuh dan mulai marah-marah dan membanting barang-barang di sekitarnya. Jujur saya cukup kaget mendengar kabar ini. Secara teknis, dari pengalaman saya sebelumnya, klien biasanya hanya akan merasa kurang nyaman, tapi tidak kambuh seperti kondisi sebelum saya terapi.

Apa yang salah ya?

Setelah bertanya lebih mendalam kepada ibu klien saya mendapatkan kabar yang mengagetkan. Ternyata, tanpa ijin dari psikiater, Ibu klien mengurangi dosis obat penenang yang diminun klien.

Saya tanya, “Mengapa Ibu sampai berani mengurangi dosis obatnya?”

“Saya lihat anak saya sudah baik kondisinya. Dia sudah bisa diajak bicara normal, sudah gembira, bisa tertawa. Jadi saya pikir sudah tidak perlu minum obat lagi” jawab si Ibu dengan polos.

Singkat cerita, saya segera meminta klien bertemu saya untuk sesi kedua. Dan di sesi kedua ini saya berhasil membantu klien keluar dari kondisi depresinya. Sekarang klien sudah stabil dan hidup normal.

Hipnoterapis pemula atau terapis yang hanya mengandalkan teknik terapi berbasis sugesti sebaiknya tidak menerima atau menerapi klien yang depresi. Ini akan kontraproduktif. Sugesti tidak efektif untuk menetralisir tekanan emosi, yang sangat tinggi, yang ada di pikiran bawah sadar. Ibaratnya kita hendak memadamkan kobaran api yang membakar sebuah gedung hanya dengan air satu ember.

Seorang rekan terapis sempat menceritakan kasus yang ia tangani. Kasus ini adalah limpahan dari terapis lain yang sebelumnya telah menangani kliennya. 

Ceritanya begini. Seorang klien wanita yang mengalami depresi berat, sudah mencoba bunuh diri, dibawa keluarganya menemui terapis A. Oleh terapis A ini klien hanya diajak diskusi, konseling, dan diberikan beberapa sugesti agar klien bisa kuat, tabah, dan sembuh. Terapis A juga mengajari klien ini melakukan beberapa teknik self-therapy yang harus klien lakukan sendiri di rumah. Selanjutnya terapis A meminta klien untuk menemuinya lagi 5 hari kemudian.

Ternyata kondisi klien semakin hari semakin memburuk. Empat hari setelah bertemu terapis A, malam harinya, klien berusaha bunuh diri dengan melompat dari lantai dua rumahnya. Untung hal ini diketahui keluarganya dan berhasil dicegah. Malam itu juga, setelah berkonsultasi dengan rekan saya ini, keluarganya memasukkan klien ini ke rumah sakit dan langsung diberi obat penenang. Klien ini sempat beristirahat selama hampir seminggu di rumah sakit dan ditangani oleh psikiater yang berpengalaman.

Rekan saya sungguh menyayangkan kejadian ini. Ternyata terapis A sebenarnya belum pernah menangani kasus berat seperti depresi. Jadi belum berpengalaman. Masih menurut rekan saya, penanganan depresi berat tidak bisa dilakukan dengan hanya memberikan konseling atau sugesti. Dibutuhkan teknik intervensi klinis yang lebih advanced untuk bisa membantu klien yang depresi. Terapis tidak boleh mengutamakan egonya sendiri. Yang harus diutamakan adalah keselamatan hidup klien. Kalau memang tidak kompeten sebaiknya klien dirujuk ke psikiater atau hipnoterapis lain yang memang cakap dan mampu menangani kasus depresi. Satu hal yang tidak diketahui oleh terapis A, menurut rekan saya, yaitu orang yang depresi tidak akan menjalankan instruksi untuk melakukan teknik self healing. Jangankan melakukan self healing yang diajarkan terapis, obat yang diberi oleh dokter atau psikiater saja biasanya tidak mau diminum. 

Bila klien telah ditangani oleh psikiater maka hipnoterapis, dalam hal ini, hanya membantu atau melengkapi upaya penyembuhan klien. Hipnoterapis tidak boleh meminta klien berhenti minum obat atau mengurangi dosis obat yang diberikan psikiater. Yang berhak mengurangi, mengganti, atau menghentikan obat yang diminum klien adalah dokter atau psikiater yang menangani klien. Bila hipnoterapis meminta klien mengurangi atau berhenti minum obat maka ini adalah malpraktik. Bila sampai terjadi hal negatif pada klien akibat saran hipnoterapis ini maka keluarga klien berhak menuntut hipnoterapis ini.



Dipublikasikan di https://adiwgunawan.com/index.php?p=news&action=shownews&pid=70 pada tanggal 10 Agustus 2010