A Skill As A Symptom And A Symptom As A Skill

Seorang klien wanita, sebut saja sebagai Ani, usia 23 tahun, datang ke saya diantar oleh kedua orangtuanya. Keluhannya adalah klien mudah sekali pingsan. Kebiasaan pingsan telah dialami Ani sejak ia kelas 3 SD. Jadi Ani sudah cukup lama menderita. Yang sangat membahayakan adalah Ani dapat pingsan kapan saja dan di mana saja dan ini bisa terjadi sewaktu-waktu tanpa ada simtom atau indikasi tertentu. 

Klien lain, Budi, usia 9 tahun, mengalami ketakutan yang luar biasa setiap kali melihat gambar Yesus yang memakai mahkota duri. Setiap kali melihat gambar atau patung yang menggambarkan Yesus dengan mahkota duri Budi pasti berteriak histeris. Saat ditanya mengapa ia berteriak dan menangis Budi berkata, “Budi takut. Kepala Yesus keluar banyak darah. Aduh… Budi ngeri melihat darah menetes dari mahkota duri.” Semakin hari ketakutan ini semakin kuat hingga suatu saat Budi pernah pingsan dan seluruh tubuhnya kaku, sama sekali tidak bisa bergerak.

Awal trauma Budi terjadi saat ia berusia 4,5 tahun. Jadi sudah cukup lama Budi mengalami masalah ini. Dan semakin lama ketakutannya semakin menjadi-jadi. Budi mengalami yang disebut dengan sympton proliferation dan symptom mutation yaitu munculnya simtom-simtom baru dan berubahnya beberapa simtom (mutasi) menjadi simtom lain.
 
Ibu Wati, usia 35 tahun, lain lagi kisahnya. Sudah beberapa bulan ini ia sering bicara sendiri. Ia sering mengaku bernama Dede. Beberapa kali ia mengaku sebagai Anto dan berbicara dengan suara anak laki. Saat ditanya dengan siapa ia bicara, Ibu Wati, lebih tepatnya Anto, menjawab, “Itu ada Nonon, Firda, dan Rudi, temanku. Kami janjian mau ke rumah Bu Tres, belajar bersama.” Ternyata Nonon, Firda, dan Rudi adalah teman Ibu Wati saat di kelas 2 SD. Lalu, siapakah Anto yang menjawab pertanyaan? Apakah Anto adalah roh yang merasuki Ibu Wati?

Pembaca, sebagai orang awam, bila anda menjumpai kasus seperti yang saya jelaskan di atas, apa yang ada di benak anda mengenai orang-orang ini?

Saat bertemu dengan klien-klien ini saya biasanya akan menanyakan apa saja yang telah mereka lakukan untuk mengatasi masalahnya dan siapa saja yang telah mereka mintai pertolongan? Jawabannya bisa macam-macam. Ada yang ke orang pintar, ulama, pendeta, bhante, romo, psikolog, dokter, psikiater, atau pendoa.

Orang pintar membantu pasien mereka dengan cara mereka sendiri. Ulama, pendeta, romo, pendoa biasanya mendoakan agar klien sembuh. Ada juga yang melakukan pengusiran roh jahat atau exorcism yang diyakini telah menguasai atau merasuki klien. Penyembuhan dengan cara ini dikenal dengan nama “tengking” atau “ruqiah”. Bhante biasanya membacakan doa/parita dan memberikan air suci parita untuk diminum. Psikolog membantu klien dengan pendekatan ilmu psikologi dan teknik intervensi klinis tertentu. Dokter dan atau psikiater biasanya memberikan obat.

Dalam artikel ini saya tidak dalam kapasitas untuk menilai atau mengomentari apa yang dilakukan oleh para beliau yang saya sebutkan di atas. Mereka masing-masing melakukan upaya membantu umat atau sesama manusia untuk keluar dari masalah menurut pengetahuan dan kecakapan mereka. Dan ini semuanya benar dalam pengertian yang mereka lakukan sudah sejalan dengan kepercayaan, keyakinan, dan disiplin ilmu yang mereka kuasai.

Sebagai seorang hipnoterapis saya ingin memberikan perspektif yang sedikit berbeda ditinjau dari sudut teknologi pikiran, kondisi kesadaran, dan fenomena trancelogic.

Untuk memahami apa yang terjadi pada klien-klien yang saya jelaskan di atas maka kita perlu memahami bahwa trance sebenarnya adalah altered state of consciousness atau ASD. Ada sangat banyak ASD namun khusus dalam dunia hipnoterapi para pakar telah menyusun skala kedalaman tertentu sebagai acuan. Kami di Quantum Hypnosis Indonesia juga punya skala kedalaman trance yang saya beri nama QHI Hypnotic Depth Scale yang terdiri atas 40 skala kedalaman, lengkap dengan fenomena yang bisa muncul pada setiap level.

Untuk semua kasus di atas sebelum saya tangani, saya pasti menanyakan riwayat kesehatan klien untuk memastikan bahwa masalah klien bersifat psychogenic bukan organic.

Pada kasus pertama, Ani, setelah melakukan intake interview, kalau dalam bahasa psikologi disebut anamnesis, saya menyimpulkan bahwa Ani sebenarnya bukan pingsan atau tidak sadar. Yang terjadi adalah Ani masuk ke kedalaman trance yang sangat dalam sebagai upaya untuk lari dari tekanan mental berlebih (overload) yang mengguncang dan membahayakan kestabilan sistem psikisnya.

Saat seseorang berhadapan dengan kondisi yang bersifat mengancam keselamatannya, baik secara fisik maupun psikis, maka respon lawan (fight) atau lari (flight) secara otomatis bekerja. Jika ancaman bisa diatasi maka respon yang bekerja adalah lawan. Jika ancaman ini terlalu besar atau kuat untuk diatasi maka yang aktif adalah respon lari atau flight. Lari, dalam hal ini, bisa lari, secara fisik, menjauhi ancaman, atau lari ke dalam diri dan masuk ke kondisi trance. Bagi orang awam kondisi ini disebut dengan pingsan.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Frankel (1976), “Trance as a coping mechanism”. Saat berhadapan dengan suatu masalah kita akan “masuk” ke dalam diri untuk mencari pertolongan dengan mengakses dan menggunakan sumber daya apapun yang ada di dalam diri.

Jika asumsi saya benar maka Ani dapat saya buat pingsan dengan sengaja. Dengan teknik tertentu saya berhasil membuktikan bahwa dugaan saya benar. Ani dengan cepat masuk ke kondisi pingsan. Jika anda jeli saya tidak mengatakan Ani menjadi pingsan namun saya menulis Ani masuk ke kondisi pingsan. Setelah berhasil membuat Ani pingsan dengan sengaja selanjutnya saya membawa Ani keluar dari kondisi pingsan ini dengan mudah dan cepat.

Sebenarnya yang disebut dengan pingsan, menurut orang awam, kalau dalam dunia hipnoterapi disebut sebagai kondisi Esdaile. Orang yang masuk ke dalam kondisi ini akan merasakan perasaan yang begitu menyenangkan, bahagia, damai, dan tidak ingin keluar. Ia sadar sepenuhnya, bisa mendengar apa yang terjadi di sekelilingnya, bisa mendengar orang di sekeliling memanggil-manggil namanya. Namun ia tidak mau keluar dari kondisi yang begitu menyenangkan. Ia memilih untuk tetap “pingsan” sampai puas. Baru setelah itu keluar dari kondisi ini.

Dengan kata lain pingsannya Ani sebenarnya adalah suatu skill atau keterampilan yang luar biasa. Orang biasa akan sulit bisa masuk ke kondisi Esdaile. Namun Ani dapat dengan mudah masuk ke kondisi ini saat ia merasakan adanya tekanan mental sampai pada level intensitas tertentu.

Sayangnya selama ini keterampilan “pingsan” bekerja secara otomatis, tidak dapat dikendalikan secara sadar oleh Ani. Melalui edukasi yang cukup dan latihan, tentunya semua ini dilakukan dalam konteks terapi, saya melatih Ani sehingga mampu menggunakan keterampilan ini secara sadar, pada waktu dan situasi yang tepat demi kebaikan dan kemajuan dirinya.

Saya juga pernah ditelpon oleh seorang sahabat yang dengan suara agak panik mengabarkan bahwa salah satu staffnya, Rina, pingsan dengan mata terbuka. Benar, anda tidak salah baca. Rina, kebetulan saya kenal baik, pingsan dengan mata terbuka. Yang lebih luar biasa lagi, sebelum pingsan Rina memilih duduk atau bersandar di tempat yang aman. Aneh ya, pingsan kok bisa memilih tempat yang nyaman?

Menggunakan pemahaman yang sama seperti yang telah saya jelaskan di atas, saya berbicara dengan (pikiran bawah sadar) Rina melalui telpon dan membimbing Rina keluar dari pingsannya.

Ternyata Rina memang sedang punya banyak masalah di rumah, dan di kantor ia ditakut-takuti oleh rekan-rekannya yang mengatakan bahwa ada makhluk halus yang senang dengan dirinya. Karuan saja Rina menjadi semakin cemas dan takut hingga akhirnya ia “pingsan”.

Pada prinsipnya ada tiga cara untuk menghasilkan atau memunculkan kondisi hipnosis atau trance state:
1.Dengan menggunakan emosi takut dan tekanan atau paksaan.
2.Dalam kondisi yang tepat klien dapat dirayu atau dipengaruhi untuk masuk ke kondisi trance. Rayuan ini bisa bersifat seksual, non-seksual, atau kombinasi keduanya.
3.Subjek dapat dibimbing, diarahkan, atau diperintahkan untuk masuk ke kondisi trance dengan menggunakan teknik induksi tertentu.

Pada kasus Ani dan Rina mereka masuk ke kondisi trance karena emosi takut atau tekanan mental yang berlebih sehingga mengganggu equilibirium sistem psikis.  Dalam konteks terapi, cara ketiga adalah yang paling sesuai untuk membawa klien masuk kondisi trance.
 
Kasus Budi lain lagi. Secara umum dikatakan bahwa Budi mengalami halusinasi visual sehingga melihat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Dalam dunia psikiatri ini adalah salah satu indikasi schizophrenia. Berhubung saya bukan psikiater atau dokter jiwa maka saya tidak bisa menggunakan terminologi ini.

Sebagai hipnoterapis saya melihat kasus Budi sebagai fenomena trance yang dinamakan positive visual hallucination, sesuatu yang tidak ada tampak menjadi ada. Foto atau patung yang seharusnya tidak ada darah tampak ada darahnya. Munculnya halusinasi, baik visual maupun auditori, positif maupun negatif, semuanya bergantung pada kedalaman trance yang berhasil dicapai seseorang.

Saya memilih tidak berdebat dengan orangtua atau lingkungan Budi yang mengatakan bahwa tidak ada darah di foto atau patung, atau Budi salah lihat, atau menyalahkan Budi. Saya memilih setuju dan sependapat dengan Budi bahwa memang ada darah di mahkota duri Yesus yang ia lihat karena memang ini adalah realita subjektif Budi.

Bagaimana cara menyembuhkan simtom ini? Mudah sekali. Yang saya lakukan adalah membalik persepsi realita subjektif Budi, dari positive visual hallucination menjadi negative visual hallucination. Dengan demikian darah yang tadi ada sekarang menjadi tidak ada lagi. Case closed.
 
Lalu, bagaimana dengan tubuh Budi yang kaku? Ini adalah kondisi fisik yang disebut dengan catatonia. Catatonia adalah salah satu fenomena yang muncul saat seseorang masuk ke kondisi hipnosis yang sangat dalam, lebih dalam dari kondisi Esdaile. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Catatonia sering dialami orang sebagai fenomena “ketindihan” yaitu saat setengah sadar, mau tidur, seluruh tubuh menjadi kaku dan tidak bisa digerakkan sama sekali.

Bagaimana dengan Ibu Wati? Apakah ia kerasukan? Mengapa ia mengaku bernama Anto dan suaranya menjadi anak laki?

Yang terjadi pada diri Ibu Wati adalah spontaneous regression atau regresi spontan ke usia 8 tahun saat ia kelas 2 SD. Dede adalah nama panggilan Ibu Wati saat kecil. Sedangkan Anto adalah introject dari salah satu sahabat karib Wati kecil. Saat mengalami spontaneous regression terjadi switching antara Ego State Dede, yang sebenarnya adalah Wati kecil, dan Introject Anto, sahabat karibnya.  Yang membingungkan orang disekitarnya adalah baik Dede maupun Anto berbicara melalui Ibu Wati dewasa. Kesannya menjadi seram dan sangat membingungkan karena suara Ibu Wati berubah mengikuti suara Ego State atau Introject yang aktif saat itu.

Penanganan kasus ini cukup unik dan membutuhkan kreativitas yang tinggi. Berbekal pemahaman kedalaman tance dan fenomena yang bisa muncul di setiap level kedalaman, saya mengembalikan kondisi Ibu Wati, yang mengalami regresi spontan, dengan melakukan progresi ke masa sekarang.

Regresi spontan dan munculnya sifat, perilaku, kemampuan berpikir yang mirip atau sama dengan anak-anak sejalan dengan yang ditemukan oleh Gill dan Brenman (1959)  yang berdasar model psikoanalisa Freud sampai pada konsep hipnosis sebagai regression in the service of the ego.

Perilaku hipnotik spontan yang tidak adaptif, seperti yang dijelaskan di atas, seringkali salah didiagnosa sebagai gangguan kejiwaan berat. Hal ini mengakibatkan upaya penanganan untuk membantu klien mengatasi masalahnya menjadi tidak efektif, membutuhkan waktu yang relatif lama, dan membuat klien semakin menderita.

Dengan memahami bahwa saat seseorang berhasil masuk ke kondisi deep trance maka bisa muncul berbagai fenomena yang “tidak lazim”, yang bila tidak dimengerti akan dianggap sebagai simtom gangguan mental, dan juga dengan memahami bahwa simtom yang ditunjukkan klien bisa berupa fenomena trance maka hipnoterapis dapat melatih klien untuk bisa mengendalikan dan menggunakan skill ini secara sadar, sesuai kebutuhan.

Namun, hipnoterapis juga perlu sangat hati-hati dalam menyikapi simtom klien. Kita tidak boleh langsung mengatakan bahwa simtom yang ditunjukkan oleh klien adalah skill dan atau skill klien yang mengakibatkan munculnya simtom.

Saya biasanya baru berpikir demikian bila klien telah melakukan berbagai upaya terapi secara formal namun belum bisa mendapatkan hasil seperti yang diharapkan.



Dipublikasikan di https://adiwgunawan.com/index.php?p=news&action=shownews&pid=72 pada tanggal 24 November 2010