Saat bertemu dengan seorang rekan bisnis, baru-baru ini, kami sempat diskusi mengenai banyak hal dan akhirnya sampai pada aktivitas saya sebagai penulis buku, trainer, dan juga seorang hipnoterapis. Waktu mendengar bahwa saya adalah seorang hipnoterapis rekan ini langsung bertanya, “Pak Adi, apakah ada standarisasi profesi hipnoterapis di Indonesia?”
“Maksudnya?” tanya saya.
“Begini Pak Adi. Tiga bulan lalu adik saya menjalani hipnoterapi” jelas rekan saya.
“Apa masalah adik Pak Budi?” tanya saya lebih lanjut.
“Adik saya ini kan lagi punya masalah. Dia stress berat karena anaknya meninggal. Saking stressnya adik saya sampai sulit tidur dan akhirnya mendengar suara-suara. Ada suara orang yang memanggil-manggil, ada yang marah-marah, ada yang menertawakan dia. Padahal sebenarnya nggak ada orang di sekitarnya. Jadi, dia itu halusinasi. Dia diterapi oleh tiga hipnoterapis. Yang pertama sebanyak 10 sesi. Nggak ngefek. Lalu sempat diterapi oleh hipnoterapis kedua sebanyak 7 sesi. Juga nggak ngefek sama sekali. Baru setelah dihipnoterapi oleh terapis ketiga, sebanyak tiga sesi, adik saya menunjukkan kemajuan walaupun belum sembuh total. Dia sudah bisa tidur, tapi suara-suara itu masih terdengar. Walau nggak sesering sebelumnya” jawabnya.
“Berarti adik Pak Budi sudah mengalami banyak kemajuan, kan?” tanya saya lagi.
“Nah, ini yang membuat saya bingung. Sama-sama hipnoterapis, sama-sama punya gelar C.Ht, tapi mengapa kemampuan mereka berbeda? Harusnya kalau sudah punya gelar C.Ht mampu menangani kasus yang sama dong. Bahkan dari kartu nama hipnoterapis yang menangani adik saya dua di antaranya adalah anggota dari asosiasi apa gitu di Amerika. Apakah seperti itu, memang berbeda-beda, ataukah ada standar tertentu?” tanyanya lagi.
Pembaca, cukup panjang diskusi saya dengan Pak Budi. Saya menanyakan beberapa hal lagi sebelum memberikan penjelasan kepada Pak Budi. Saya menemukan mengapa terapi yang dilakukan oleh dua terapis pertama tidak efektif. Ulasan berikut ini adalah penjelasan yang saya sampaikan pada Pak Budi untuk meluruskan beberapa hal berkenaan dengan teknik terapi, gelar hipnoterapis, proses, dan hasil terapi.
Apakah dua terapis pertama yang menerapi adik Pak Budi tidak efektif?
Jawabannya, “Belum tentu”.
Yang perlu diingat terapi adalah kontrak upaya, bukan kontrak hasil. Tidak ada jaminan bahwa klien pasti sembuh bila dihipnoterapi. Dan terapis juga tidak pernah dan tidak boleh menjanjikan kesembuhan. Keberhasilan terapi bergantung pada dua pihak, klien dan terapis.
Saya akan bahas terlebih dahulu aspek klien. Beberapa faktor yang sangat penting, yang harus dipenuhi oleh klien, agar terapi bisa berjalan dengan baik dan mencapai hasil optimal adalah antara lain:
1.Klien bersedia diterapi atas kesadarannya sendiri, bukan atas permintaan, bujukan, rayuan, atau paksaan dari pihak lain.
2.Klien percaya sepenuhnya pada terapis.
3.Klien all-out menjalani sesi terapi.
4.Klienbersikap jujur, sepenuhnya terbuka, dan menjawab semua pertanyaan terapis.
5. Bersedia menjalani sesi terapi sebanyak yang ditetapkan terapis.
Bila klien bersedia melakukan hal di atas maka keberhasilan terapi selanjutnya ditentukan oleh pengetahuan, kecakapan, pengalaman, dan kreativitas terapis.
Merujuk pada judul artikel ini maka saya membagi hipnoterapis menjadi dua kategori yaitu certified hypnotherapist dan qualified hypnotherapist. Lho, apa bedanya?
Tidak seperti dokter, psikolog, atau psikiater yang masuk kategori licensed profession, hipnoterapis, di Amerika hingga saat ini, masuk kategori non-licensed profession. Nah, ini di Amerika yang aturannya ketat dan jelas. Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Sabar ya, saya jelaskan hal lain dulu.
Pendidikan hipnoterapis berbeda dengan pendidikan dokter, psikolog, atau psikiater walaupun sama-sama berada di healing profession. Untuk menjadi dokter, misalnya, kita perlu sekolah di fakultas kedokteran selama sekitar 5 -7 tahun dan harus lulus ujian. Setelah itu, untuk bisa praktik, seorang dokter harus mendapat surat ijin praktik dari pemerintah. Kalau mau jadi dokter spesialis ya sekolah lagi. Mau jadi konsulen, sekolah lagi. Jadi, jenjangnya jelas.
Demikan juga dengan menjadi psikolog. Yang bisa jadi psikolog adalah mereka yang selesai kuliah di S1 dan S2 Psikologi. Jadi, S1 dan S2 harus linier. Sedangkan untuk menjadi psikiater adalah dengan menjadi dokter umum dulu dan dilanjutkan dengan mengambil S2 Ilmu Kejiwaan. Baik psikolog dan psikiater harus punya ijin praktik resmi dari pemerintah.
Bagaimana kalau mau jadi hipnoterapis? Wah… ini bergantung pada masing-masing lembaga yang menyelenggarakan pendidikan atau pelatihan. Ada lembaga yang memberikan sertifikasi hipnoterapis cukup hanya dengan dua hari pelatihan. Ada lagi yang empat hari, enam hari, atau bahkan sampai sembilan hari. Intinya, semua peserta yang telah menyelesaikan pelatihan pasti diberi sertifikat dan dinyatakan, oleh lembaga itu, sebagai C.Ht atau certified hypnotherapist.
Apakah certified hypnotherapist juga berarti qualified hypnotherapist?
Nah, ini yang belum tentu.
Mengapa masing-masing lembaga bisa memberikan sertifikasi atau C.Ht., padahal lama masa pendidikannya berbeda?
Ini semua bergantung pada kurikulum yang diajarkan di lembaga itu. Kalau begitu, apakah ada standar kurikulum untuk menjadi certified hypnotherapist?
Jawabannya, “Belum ada kurikulum standar yang diterima semua lembaga.”
Ini kondisi yang terjadi di Amerika, lho. Dengan demikian kurikulum hipnoterapi sangat beragam, bergantung pada lembaga yang menyelenggarakan pelatihan. Memang di tahun 1992, Corry Hammond dan Gary Elkins memulai proyek untuk menentukan konten pendidikan profesi hipnoterapis klinis (Elkins&Hammond, 1998).
Mereka menelusuri pemikiran dan melakukan wawancara terhadap para pakar hipnoterapi klinis, pengajar, dan ilmuwan dari semua orientasi teoritis. Dari total 109 responden, 31% adalah pakar yang sangat disegani di disiplin ilmu mereka dan mewakili lembaga terkemuka, seperti The American Boards of Clinical Hypnosis. Hasil survei ini akhirnya dirangkum menjadi The Standards of Training in Clinical Hypnosis (SOTCH; Hammond & Elkins, 1994)
SOTCH dibagi menjadi level basic dan intermediate, masing-masing lamanya 20 jam pelatihan. Sejak tahun 1998 The American Society of Clinical Hypnosis dan The Society for Clinical and Experimental Hypnosis, organisasi ternama untuk profesional di bidang kesehatan di Amerika, mensyaratkan setiap calon anggotanya untuk mengikuti workshop 20 jam mengikuti standar SOTCH.
Di tahun 2006, The International Society of Hypnosis (ISH) mengadopsi SOTCH untuk workshop basic di International Congress of Hypnosis ke 17 di Acapulco, Mexico. Organisasi lain, baik pada skala nasional maupun lokal, di Amerika, menggunakan konten yang berbeda.
NGH mensyaratkan pelatihan 100 jam. Lembaga lain, lain pula kebijakannya. Ada yang mensyaratkan minimal 150 jam dan bahkan ada yang 200 jam tatap muka. Ini dari segi waktu pendidikan. Bagaimana dengan konten atau kurikulum pelatihan? Semua bergantung pada siapa tokoh pendiri lembaga itu. Hipnoterapi, walaupun semua bicara mengenai pikiran bawah sadar namun teknik intervensi klinis, pemahaman cara kerja pikiran, dan teori yang digunakan atau dikembangkan berbeda antara pakar yang satu dengan yang lain.
Saya, kebetulan, sempat menelusuri kurikulum beberapa lembaga pelatihan hipnoterapi terkemuka di Amerika. Saya bahkan sempat mendaftar untuk belajar online. Untuk yang ini saya hanya ikut yang kelas advanced yang diselenggarakan (alm) Gil Boyne. Ternyata setiap lembaga punya kurikulum sendiri, sangat beragam, dan dengan penekanan yang berbeda.
Untuk menjadi certified hypnotherapist saat ini sangat mudah. Hanya dengan mengikuti kelas online kita bisa mendapatkan sertifikat dari lembaga itu, yang juga diakui oleh lembaga yang lebih besar lagi di Amerika.
Bagaimana dengan standar pendidikan hipnoterapis di Indonesia?
Sama saja dengan yang di Amerika. Belum ada standar baku. Masing-masing lembaga punya kurikulum sendiri. Masing-masing punya kelebihan dan keterbatasan. Semua bergantung pada siapa pendiri lembaganya, pengetahuan, pengalaman, dasar teori yang digunakan, dan kiblat atau aliran hipnoterapi yang dipelajari dan dipraktikkan oleh pendiri lembaga itu.
Hingga saat ini belum ada satupun lembaga resmi hipnoterapi, yang diakui oleh pemerintah Indonesia, yang berperan seperti IDI atau HIMPSI. Kalaupun ada lembaga yang mengaku sebagai asosiasi hipnoterapis maka ini benar dalam pengertian lembaga ini adalah lembaga yang menaungi alumni sendiri, tidak diakui atau belum diterima sebagai lembaga resmi nasional, dan juga belum menjadi afiliasi dari hipnoterapis lulusan lembaga lain. Jadi, cukup rumit ya?
Kembali ke pertanyaan, “Apakah certified berarti qualified?”
Ini bisa ya, bisa tidak. Setelah selesai pendidikan semua peserta secara otomatis certified atau tersertifikasi menjadi hipnoterapis. Namun sertifikasi ini bukan jaminan bahwa ia qualified. Mengapa saya mengatakan demikian?
Memang sangat sulit untuk menentukan apakah seorang certified hypnotherapist juga adalah seorang qualified hypnotherapist. Bahkan Dr.David Waxman (President British Society of Medical & Dental Hypnosis), dalam surat yang ditulisnya kepada Daily Telegraph, dan dimuat pada tanggal 5/10/1984 dengan cukup keras dan tegas menyatakan:
"It is time that the general public be informed that there is no such person as a ‘qualified hypnotherapist’, and claims of degrees in this speciality exist only in the fantasies of the so-called ‘therapist’. No properly recognised degrees in hypnosis are issued anywhere in the world."
(Sudah saatnya awam diberitahu bahwa sebenarnya tidak ada seorang pun yang dapat disebut sebagai ‘qualified hypnotherapist’, dan pengakuan akan gelar dalam bidang ini hanyalah fantasi dari mereka yang disebut ‘terapis’. Tidak ada satu pun lembaga di dunia yang memberikan gelar resmi dalam bidang hipnosis)
Pernyataan Dr. David Waxman ini juga secara gamblang dan lugas menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada satu pun lembaga pendidikan formal, seperti universitas, yang memberikan gelar akademik resmi sebagai hipnotis atau hipnoterapis. Jadi, tidak benar bila ada yang mengaku bahwa mereka adalah lulusan S2 atau bahkan S3 hipnoterapi dari universitas tertentu di luar negeri.
Terlepas dari apa yang dikatakan oleh Dr.David Waxman, menurut hemat saya, setidaknya kita bisa mengatakan seorang hipnoterapis sebagai qualified hypnotherapist bila ia mampu melakukan terapi, mengikuti kaidah keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan mampu membantu klien mengatasi masalah.
Qualified ini juga berjenjang bergantung pada kasusnya. Ada kasus yang ringan. Ada kasus yang berat. Ada kasus yang sangat berat. Hipnoterapis yang qualified menyembuhkan kasus ringan, misalnya seperti fobia, berhenti merokok, kurang percaya diri, dan yang sejenisnya, belum tentu qualified menangani kasus yang lebih berat seperti kecemasan tinggi, PTSD, OCD, apalagi sampai ke kasus penyakit psikosomatis berat, depresi dengan kecenderungan bunuh diri, schizophrenia, bipolar, dan bahkan DID (Dissociative Identity Disorder).
Lalu, bagaimana menjadi certified dan juga qualified hypnotherapist?
Ini semua diawali dengan diri kita sendiri. Apakah tujuan utama kita menjadi hipnoterapis? Apakah hanya untuk tahu apa itu hipnosis atau hipnoterapi, ataukah untuk sungguh-sungguh belajar dan menjadi hipnoterapis yang cakap dan andal yang mampu membantu sesama? Apakah kita bersedia meluangkan waktu untuk belajar dan berlatih mengembangkan keterampilan dan kemampuan terapi kita?
Selanjutnya kita perlu hati-hati memilih lembaga tempat kita belajar. Pastikan trainer yang mengajar kita adalah praktisi atau hipnoterapis aktif dan telah terbukti menangani banyak kasus, baik mulai kasus ringan hingga kasus yang berat.
Sebelum belajar ke trainer ini kita perlu bertanya mengenai sertifikasinya, dari mana ia belajar hipnoterapi, sudah berapa lama praktik, sudah berapa banyak klien yang ia tangani, kasus apa saja yang pernah ia tangani, dan bagaimana dengan tingkat keberhasilan terapinya.
Mengapa kita perlu menanyakan reputasi dan kredibilitas trainer atau lembaga?
Karena setelah selesai pendidikan dan menjadi certified hypnotherapist kita pasti akan praktik dan menerima klien. Seringkali kasus yang kita hadapi di ruang praktik tidak pernah dijelaskan atau diajarkan di kelas, waktu pelatihan. Di sinilah peran trainer sebagai mentor dan coach yang akan menjelaskan kepada kita, muridnya, berdasar pengalaman praktiknya sendiri, bagaimana cara yang paling efektif untuk mengatasi kasus yang sedang kita hadapi. Lha, kalau trainernya jarang atau mungkin nggak pernah praktik maka tidak mungkin ia bisa membantu atau memberikan bimbingan pada kita. Dari praktik yang terus menerus inilah kita meningkat dari certified hypnotherapist menjadi qualified hypnotherapist.
Cara lain untuk mengetahui kecakapan seorang trainer atau kualitas lembaga adalah dengan mengunjungi situs mereka dan membaca apa yang ada di situs ini. Kita juga bisa mencari komentar atau pendapat pakar lain mengenai trainer atau lembaga ini.
Saat mencari trainer di luar negeri, jika mengunjungi situs mereka, maka yang saya cari adalah artikel yang dimuat di sana. Apakah situs ini hanya berisi informasi mengenai apa itu hipnosis, hipnoterapi, manfaat hipnoterapi, dan hal-hal umum yang bisa didapat dari sumber lain, ataukah situs ini berisi artikel yang beragam dan menjelaskan apa yang dilakukan oleh trainer atau lembaga ini, khususnya dalam konteks terapi, riset, dan pengembangan keilmuan. Artikel yang ada di situs ini secara langsung menunjukkan tingkat kualifikasi, kompetensi, dan pengetahuan trainer atau lembaga itu. Hal lain lagi adalah saya menghindari belajar ke orang atau lembaga yang tidak memasang foto diri si trainer atau pendiri lembaga itu.
Sedapat mungkin saya akan membaca terlebih dahulu beberapa buku yang ditulis oleh trainer tersebut. Hal ini untuk mendapatkan “feeling” apakah saya cocok dengan materi dan kepribadian si trainer. Biasanya saya mendapatkan nama trainer ini dari beberapa buku atau publikasi yang saya baca yang ternyata merujuk pada satu nama yang sama yaitu nama si trainer.
Setelah itu barulah saya melihat apa materi yang diajarkan, berapa lama pelatihannya, dan apa bentuk dukungan yang diberikan oleh trainer atau lembaga setelah kami selesai pelatihan.
Dari pengalaman saya pribadi sebagai pendidik, cara mengajar orang dewasa berbeda dengan mengajar anak-anak. Agar efektif, pendidikan hipnoterapis sebaiknya menggunakan spiral curriculum sehingga pemahaman dan penguasaan materi bisa sangat tinggi. Hal ini akan sangat membantu saat latihan atau praktik yang akhirnya akan membawa kita menjadi seorang Qualified Certified Hypnotherapist.
Akhir kata, Qualified Certified Hypnotherapist, menurut hemat saya tidak hanya certified namun juga mampu, cakap, dan kompeten dalam melakukan terapi, dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, hasil terapi yang permanen, dalam waktu yang singkat, memegang teguh kode etik profesi, melakukan praktik dengan integritas dan kesadaran tinggi, dan melakukan terapi dengan menempatkan kebaikan dan kemajuan hidup klien pada level yang paling utama dengan tetap mengindahkan tanggung jawab moral, akal sehat, dan menjunjung tinggi nilai spiritual.
Dipublikasikan di https://adiwgunawan.com/index.php?p=news&action=shownews&pid=76 pada tanggal 10 Januari 2011