Dua Kesadaran : Ego Partisipan dan Ego Pengamat

10 November 2014 16:53

Setiap klien yang masuk kondisi hipnosis, sedalam apapun, tetap sadar sepenuhnya. Sadar dalam hal ini merujuk pada fungsi ego yang berbeda, yang tetap aktif pada satu saat. Hilgard (1977), Fromm dan Shor (1979) dan beberapa pakar lain menemukan keberadaan dua fungsi ego yang umum terjadi dalam hipnosis atau yang dialami oleh klien: (a) ego partisipan, yaitu yang melepas kendali atas fungsi kritis dan menyerahkannya pada terapis yang ia percaya atau kepada ego yang mengendalikan proses hipnosis yang dilakukan sendiri (self hypnosis), dan (b) ego pengamat, yang tetap mempertahankan fungsi kritis dan mengawasi/mengamati derajat keterlibatan ego partisipan. Nash (1991) merujuk fenomena ini sebagai pengalaman pemisahan (experienced separation) antara niat untuk tunduk dan kesadaran akan niat itu.

Klien dalam kondisi hipnosis tetap dalam kondisi sadar penuh dan tidak di bawah kendali terapis. Klien, karena tetap dalam keadaan sadar penuh, dapat menolak, melawan, atau mengabaikan sugesti yang merugikan diri mereka atau yang tidak sejalan dengan nilai-nilai hidup klien (Lynn, Rhue, dan Weekes, 1990).

Pengalaman hipnosis menjadi pengalaman yang aman dan membuat ego partisipan teregresi ke situasi yang jauh lebih awal karena keberadaan ego pengamat yang tetap memegang kendali penuh diri klien. Ego pengamat ini jugalah yang mampu menerjemahkan representasi simbolik dari gambar mental dan mimpi karena ia mampu mengakses informasi yang terpisah (split off) dari pengalaman sadar (Hilgard, 1973, 1974).

Dalam riset mereka terhadap mimpi hipnotik, dengan atau tanpa mengaktifkan ego pengamat sebagai penerjemah, Pinnel, Lynn, dan Pinnel (1998) menemukan bahwa pengaruh sugesti yang meminta keterlibatan ego pengamat menghasilkan materi yang berasal dari proses primer. Tanpa sugesti, ego pengamat masih berfungsi, namun ego partisipan lebih memiliki kebebasan untuk turut serta dalam kegiatan proses primer.

Ego pengamat, saat dipanggil untuk tampil dan aktif, berdiri di antara jembatan yang menghubungkan antara si pemimpi dan pemikir, antara fungsi ego-reseptif dan ego-aktif. Peneliti juga menemukan bahwa mimpi yang dilaporkan oleh subjek yang dihipnosis mengandung lebih banyak proses primer daripada mimpi yang yang dilaporkan oleh subjek yang tidak dihipnosis.

Freud (1900/1953a) mengidentifikasi dua mode fungsi mental yaitu fungsi proses primer, tipikal proses berpikir di masa kecil (anak-anak) dan yang kedua, fungsi proses sekunder, yang lebih matang, lebih dewasa.

Format utama proses berpikir primer adalah preverbal -  gambaran mental yang sangat aktif, cair, dan tampak mirip. Dalam mode ini, segala sesuatu bisa terjadi, bahkan yang tidak masuk akal sekalipun. Kemampuan berpikir kritis, logis, dan analitis menurun drastis saat seseorang dalam mode berpikir primer. Sebaliknya, proses berpikir sekunder sifatnya logis dan berurutan. Ia berfungsi lebih berdasar bahasa daripada gambar, dan berorientasi realita, diarahkan oleh fungsi kritis dan analitis dari ego.

Walau proses berpikir primer mendahului yang sekunder, dalam urutan perkembangan kognisi, proses ini tidak hilang dengan bertambahnya usia dan terus bertahan hingga usia dewasa (Brown dan Fromm, 1986) dan mengambil bentuk lain seperti kemampuan imajinasi dan karakteristik tidak logis seperti dalam aktivitas bermain, canda gurau, dan mimpi.

Terdapat berbagai kondisi kesadaran pada garis kontinum yang menghubungkan proses berpikir primer dan sekunder. Hal ini tampak saat kondisi kesadaran invididu bergeser dari fantasi ke realita, dari mimpi saat tidur ke kondisi sadar normal, dan dari kondisi tidak fokus, melamun, ke kondisi fokus penuh.

Bahkan di masa dewasa, kesukaan bermain dan kreativitas menggunakan regresi sebagai layanan ego, yang mana merupakan aspek yang diakses oleh hipnosis dalam proses penyembuhan. Kondisi ini disebut dengan regresi adaptif (Hartmann, 1936/1948). Kris (1934/1952) menggunakan istilah regresi sebagai layanan ego dan menjelaskan bagaimana para artis yang kreatif kembali ke mode berpikir primer yang dipenuhi dengan imajinasi dan daya khayal saat menghasilkan karya-karya mereka.

Dalam kondisi hipnosis ego melepas kendali atas fungsi kritis dan kembali ke proses berpikir primer, maka individu dapat membayangkan dan mengkonkritkan sesuatu yang abstrak seperti emosi yang sedang ia rasakan atau alami. Dalam mode berpikir primer inilah individu mampu mengalami fenomena yang oleh Orne (1959) disebut dengan trance logic

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online1
Hari ini835
Sepanjang masa34.529.237
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique