Mengapa Anak Sulit Konsentrasi?

12 April 2015 08:47

Saya sering dapat keluhan atau curhat dari orangtua mengenai anak mereka yang sulit fokus atau konsentrasi. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi kemampuan dan prestasi belajar anak. Orangtua dalam upaya membantu anak mereka untuk bisa fokus atau konsentrasi biasanya telah melakukan banyak hal. Mulai dari membawa anak ke psikolog, psikiater, konseling, dan  bahkan terapi. Ada yang berhasil, dan banyak yang tidak berubah. Akhirnya, baik orangtua maupun anak sama-sama frustrasi. 

Lebih parah lagi, orangtua atau guru, yang bukan psikolog atau psikiater, "mendiagnosa" anak, yang belum tentu sulit konsentrasi, mengalami ADD/ADHD. 

Sebagai sesama orangtua, saya tentu bisa memahami perasaan orangtua lain yang anaknya mengalami sulit konsentrasi. Berikut ini adalah uraian tentang kondisi sulit konsentrasi yang saya pahami. Besar harapan saya, setelah baca artikel ini orangtua bisa mendapat solusi terbaik untuk putra-putrinya yang mengalami sulit konsentrasi. Dalam artikel ini saya menggunakan kata “fokus” dan “konsentrasi” secara bergantian namun dengan makna sama. 

Pemahaman Salah tentang Konsentrasi 

Dari pengalaman menangani klien anak sulit konsentrasi saya dapat pemahaman baru yang mengubah paradigma saya tentang kondisi sulit konsentrasi yang sering dialami anak. Seringkali label sulit konsentrasi ini diberikan pada anak, oleh orangtua atau guru, karena mereka tidak mengerti kemampuan fokus optimal anak. 

Ceritanya begini. Saya pernah menangani klien anak, usia 4 tahun, yang katanya sulit konsentrasi. Saat saya tanya Ibunya dari mana ia tahu anaknya sulit konsentrasi, si Ibu menjawab, “Anak saya tidak bisa belajar dalam waktu lama. Paling lama hanya beberapa menit setelah itu ia pasti tidak memerhatikan pelajarannya.” 

“Beberapa menit ini berapa lama?” tanya saya. 

“Paling lama sekitar 15 menit” jawab si Ibu. 

“Yang Ibu harapkan, anak Ibu bisa konsentrasi belajar atau mengerjakan tugas berapa lama?” tanya saya lagi. 

“Saya maunya anak saya bisa konsentrasi selama 1 jam,” jawab Ibu dengan tegas. 

Di kesempatan lain saya juga pernah dapat klien murid SD kelas 1 yang dirujuk oleh kepala sekolahnya, yang kebetulan pernah baca buku saya. Masalahnya sama dengan anak Ibu yang saya ceritakan di atas yaitu sulit konsentrasi. Guru kelasnya mengatakan bahwa anak ini konsentrasinya pendek, tidak bisa duduk diam memerhatikan pelajaran dalam waktu lama. 

Ada dua pertanyaan penting yang perlu dijawab. Pertama, apa yang dimaksud dengan konsentrasi? Kedua, berapa lama waktu konsentrasi yang wajar atau normal?” 

Fokus atau konsentrasi adalah kemampuan memusatkan perhatian dan pikiran pada satu objek atau kegiatan untuk waktu tertentu. Lama waktu fokus bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor, mulai dari situasi lingkungan, kondisi fisik dan emosi, motivasi, ketertarikan, dan tujuan yang hendak dicapai. 

Untuk mudahnya, dalam kondisi normal, lama waktu konsentrasi adalah sama dengan usia dijadikan menit. Bila anak usianya 5 tahun maka rentang waktu konsentrasi maksimal adalah 5 menit. Untuk orang dewasa maksimal 30 menit. Misal, usia orang dewasa 45 tahun, waktu fokus maksimal adalah 30 menit. 

Ini adalah kemampuan fokus dalam kondisi normal. Untuk fokus tentu butuh energi yang besar. Dan fokus dalam waktu lama akan sangat melelahkan. Namun bila objek fokus, dalam hal ini bahan ajar, memberi rasa senang atau bahagia, anak pasti bisa fokus dalam waktu yang lama. 

Saya pernah mengamati murid play group sekolah Anugerah Pekerti, saat itu usianya 3 tahunan, yang mampu fokus sekitar 30 menit “belajar” matematika. Yang ia lakukan tepatnya adalah bermain sambil belajar. Tentu ia sangat senang dan benar-benar fokus. Ia benar-benar tercerap dalam kegiatan yang ia lakukan dan seakan lupa dengan keadaan di sekelilingnya. Dan hebatnya lagi, ia melakukan kegiatan belajar ini secara mandiri, tanpa perlu ada guru yang mendampingi.  

Saya juga sering mengajukan pertanyaan berikut pada orangtua, “Bapak/Ibu tadi mengatakan kalau anak Anda sulit konsentrasi, benar?” 

“Benar,” jawab mereka. 

“Kalau anak Bapak/Ibu main game bisa berapa lama?” tanya saya.

“Wah… kalau main game, dia bisa sampai berjam-jam,” jawab mereka.

“Berarti anak Bapak/Ibu sebenarnya bisa konsentrasi, kan?” tanya saya lagi.

Biasanya orangtua akan mengamini pertanyaan saya ini. Anak yang dikatakan tidak bisa konsentrasi, saat belajar atau mengerjakan tugas, bisa (sangat) fokus saat main game dan ini bisa berlangsung lama sampai tiga atau empat jam nonstop.  

Satu pertanyaan penting yang sering saya tanyakan pada orangtua, dan ini dengan cepat mampu membuka wawasan mereka, “Anak Bapak/Ibu kalau belajar sulit konsentrasi. Tapi mengapa kalau main game bisa konsentrasi berjam-jam?” 

Biasanya, saat main game anak bukannya bisa konsentrasi lama. Yang terjadi adalah mereka, karena senang dan penasaran, memaksa diri mereka untuk terus main. Mata anak biasanya akan lelah sekali dan kepalanya bisa pusing.  

Dalam kondisi normal, saat anak fokus belajar, setelah mencapai rentang waktu fokus maksimal, misal untuk anak usia 6 tahun adalah 6 menit, maka anak perlu istirahat sejenak, misal 5 menit. 

Untuk orang dewasa, setelah fokus selama 30 menit perlu istirahat sekitar 10 menit. Ini perlu dilakukan rutin. Fokus, rileks, fokus, rileks.   

Imprint Sulit Konsentrasi 

Orangtua dan atau guru yang tidak mengerti fokus optimal memberi label “sulit konsentrasi” pada anak. Disadari atau tidak, label ini akhirnya menjadi imprint. Imprint adalah sugesti yang berasal dari figur otoritas, orangtua dan terutama guru, yang masuk ke pikiran bawah sadar anak dan menjadi program yang mengendalikan perilakunya. 

Untuk memahami cara kerja imprint saya akan jelaskan sekilas cara kerja pikiran. Saat lahir, bayi hanya beroperasi dengan pikiran bawah sadar. Pikiran sadarnya belum aktif. Dengan demikian apapun yang dikatakan pada bayi, positif maupun negatif, langsung masuk ke pikiran bawah sadarnya tanpa difilter sama sekali dan diterima sebagai kebenaran. 

Selanjutnya pada usia tiga tahun pikiran sadar anak mulai aktif, namun masih dominan beroperasi di pikiran bawah sadar. Fungsi critical factor pikiran sadar anak menjadi cukup kuat saat usia 12 atau 13 tahun, dan menjadi sangat kuat di usia 17 tahun dan seterusnya. Kuatnya critical factor disebabkan anak sudah punya banyak data atau informasi sebagai pembanding atau filter terhadap informasi yang ia terima dari lingkungan. Dengan demikian, mulai kecil hingga usia SMP adalah masa kritis untuk memasukkan informasi ke pikiran bawah sadar anak. 

Saat anak masih kecil dan orangtua atau guru memberi label “sulit konsentrasi” maka anak benar-benar jadi sulit konsentrasi. Ini adalah sugesti yang menjadiself fulfilling prophecy. Anak dikatakan sulit konsentrasi tentu tidak hanya sekali atau dua kali. Biasanya orangtua atau guru akan terus mengulangi, lebih tepatnya memperkuat, label ini di berbagai kesempatan. Dan ini semakin diperparah lagi dengan orangtua yang sibuk membawa anaknya ke banyak ahli atau pakar untuk membantu mengatasi masalah anak yaitu sulit konsentrasi. 

Bisa Anda bayangkan apa yang terjadi di pikiran anak? Anak yang semula tidak tahu apa-apa, bisa jadi sebenarnya tidak ada masalah dengan konsentrasinya, akhirnya benar-benar yakin dan percaya bahwa benar ia memang sulit konsentrasi. Dan demikianlah yang terjadi seterusnya. 

Solusinya? Orangtua atau guru perlu berhenti total mengatakan anak sulit konsentrasi dan mulai menggunakan kalimat (sugesti) positif seperti: Semakin hari …….. (nama anak) semakin konsentrasi belajar atau mengerjakan tugas, semakin senang, dan menikmati belajar. 

Sulit Konsentrasi karena Tidak Tertarik 

Salah satu alasan utama mengapa anak sulit konsentrasi saat belajar adalah karena ia tidak tertarik atau tidak suka dengan materi yang dipelajari. Jangankan anak, orangtua saja bila tidak tertarik atau tidak suka pada hal yang ia pelajari pasti sulit untuk konsentrasi. Ini adalah hal yang sangat wajar dan manusiawi. Walau dipaksa bagaimanapun, bila sudah tidak tertarik atau tidak suka, pasti akan sangat sulit untuk konsentrasi. 

Mengapa anak tidak tertarik atau suka pada materi pelajaran tertentu? 

Belajar adalah proses yang jarang dimengerti orang awam. Kebanyakan orang berpikir saat anak pegang buku dan mulai membaca maka anak pasti belajar. Atau, guru biasanya berpikir saat mereka mengajar di depan kelas maka anak pasti belajar. 

Benarkah? Belum tentu. 

Belajar sebenarnya terjadi pada tiga jenjang. Pertama, yang paling inti atau dasar adalah self system. Di atas self system ada meta-cognitive system Dan yang terakhir, yang tampak dalam bentuk kegiatan atau aktivitas belajar, anak duduk di kursi, pegang buku, membaca, mengerjakan soal, berusaha menghapal, atau apapun, disebut cognitive system. 

Dua jenjang pertama, self system dan meta-cognitive system tidak pernah bisa dilihat kasat mata karena ini terjadi di dalam diri anak. Self system adalah apa yang terjadi dalam diri anak sebelum ia memutuskan untuk belajar. Di dalamnya terdapat komponen relevansi, emosi, perasaan mampu. Bila anak merasa apa yang ia pelajari relevan dan berguna bagi dirinya, merasa senang dan mampu maka muncul motivasi internal yang akan mendorong akan ke tahap berikutnya yaitu meta-cognitive system. 

Dalam meta-cognitive system terdapat komponen goal atau target yang hendak dicapai dan determinasi untuk terus belajar hingga tercapai tujuan. Ini yang membuat anak terus semangat dan terus mencoba. 

Dan terakhir, cognitive system adalah kegiatan belajar. Yang selalu tampak adalah yang ini. Bila anak tidak semangat belajar, malas, tidak fokus, sulit konsentrasi, ini adalah bagian dari cognitive system. Yang perlu ditelusuri adalah apa yang menyebabkan anak seperti ini. 

Anak sulit konsentrasi bukannya mereka tidak mau konsentrasi. Bagaimana mungkin mereka konsentrasi bila apa yang mereka pelajari tidak menarik, mereka tidak suka, tidak relevan, dan mereka merasa tidak mampu? 

Solusinya? Pastikan anak merasa materi yang ia pelajari relevan, berguna, ia merasa senang, dan mampu sebelum mulai belajar. 

Sulit Konsentrasi karena Gangguan 

Salah satu faktor yang membuat anak sulit konsentrasi adalah gangguan dari lingkungan atau situasi yang tidak mendukung. Saat belajar di rumah, sebaiknya tidak boleh ada gangguan seperti televisi, radio, komputer, handphone, gadget, atau apa saja yang bisa membuat anak tidak bisa atau sulit fokus. 

Yang juga perlu diperhatikan adalah bila dalam satu ruang ada dua atau lebih anak belajar. Biasanya, karena gaya belajar anak berbeda, akan timbul masalah. Ada anak yang perlu keadaan tenang untuk belajar. Ada yang perlu mendengar musik atau suara televisi. Bila ini terjadi pasti anak yang butuh tenang saat belajar akan mengalami sulit konsentrasi. 

Dalam beberapa kasus saya pernah menemukan ada anak yang belajar sambil HP-nya aktif di meja belajarnya. Saat ia mulai fokus, tiba-tiba HP-nya bunyi dan ini adalah ajakan chatting dari temannya. Ini tentu akan sangat mengganggu konsentrasi anak. Bila dibiarkan atau dibiasakan seperti ini, anak nantinya akan disiplin untuk tidak fokus pada pelajaran tapi lebih fokus pada HP-nya. 

Sulit Konstrasi karena Kelelahan 

Proses, kegiatan, dan lama waktu belajar anak saat ini benar-benar menguras energi fisik maupun mental anak. Coba perhatikan jadwal sekolah anak. Umumnya sekolah masuk jam 07.15, bahkan ada yang lebih awal lagi, jam 06.30 seperti di Jakarta. Bila masuknya sepagi ini berarti anak harus bangun lebih awal lagi. Sering anak bangun dengan buru-buru, tidak sempat sarapan, masih mengantuk tapi sudah harus berangkat ke sekolah. Kondisi ini membuat tubuh fisik dan suasana hati anak tidak nyaman dan pasti berimbas pada kegiatan belajarnya di sekolah. 

Menurut Seto Mulyadi, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, jam belajar anak SD di Indonesia mencapai 1.400 jam per tahun, jauh melampaui standar belajar jam per tahun yang ditetapkan UNESCO yaitu hanya 800 jam belajar. 

Sedangkan rata-rata jam belajar untuk anak SMP dan SMA di Indonesia, menurut UNESCO, adalah 1.680 jam atau setara dengan 42 jam per minggu. Ini tentu jauh lebih lama dibandingkan dengan lama waktu belajar per minggu anak SMP dan SMA di Jepang yang hanya mencapai 30 jam, Perancis 32 jam, dan Australia 25 jam. Dan ini belum termasuk waktu yang dihabiskan untuk les. 

Rata-rata anak SD belajar di sekolah 5-7 jam per hari. Setelah pulang sekolah biasanya anak masih belajar lagi di tempat les. Ini bisa 3 – 4 jam lagi. Total dalam sehari anak diforsir belajar selama 8 sampai 10 jam. Bisa dibayangkan betapa lelah fisik dan mental anak. Dalam kondisi kelelahan seperti ini anak tentu sulit konsentrasi karena butuh istirahat.   

Sulit Konsentrasi dan Gaya Belajar 

Dari cara memasukkan informasi ke dalam otak, melalui lima indera, kita mengenal ada lima gaya belajar: visual (penglihatan), auditori (pendengaran), tactile/kinestetik (perabaan/gerakan), olfaktori (penciuman), dan gustatori (pengecapan). Sebenarnya masih ada satu lagi cara memasukkan informasi ke otak yaitu melalui pikiran atau imajinasi. Namun ini jarang atau hampir tidak pernah dibahas di literatur yang pernah saya baca atau pelajari. 

Dalam konteks belajar bahan ajar, yang paling sering digunakan hanya tiga cara yaitu visual (27%), auditori (34%), dan tactile/kinestetik (39%). Apa saja yang perlu diketahui orangtua dan guru mengenai gaya belajar ini? 

Biasanya kita punya dua gaya belajar dominan. Misalnya, visual dan auditori, atau visual dan tactile/kinestetik, atau auditori dan tactile/kinestetik. Namun, ada juga yang dominan hanya di satu gaya belajar. 

Anak visual belajar dengan cara melihat, membaca, baik itu buku, brosur, internet, poster, mindmap, atau apa saja yang dapat dilihat atau dibaca. Anak ini dapat duduk diam memerhatikan guru atau orangtua, dan cenderung suka mencoret-coret. 

Anak auditori belajar dengan pendengaran, lebih suka dengar cerita daripada membaca sendiri. Anak tipe ini yang biasanya suka belajar sambil ditemani ibunya. Ibu membacakan materi pelajaran, anak duduk santai atau berbaring, dan ia belajar dengan mendengar. Dan saat dites, ia bisa. Anak auditori biasanya butuh kondisi tenang untuk dapat belajar. Bila belajar sendiri, ia akan membaca dengan mengeluarkan suara agar dapat mendengar apa yang ia pelajari. 

Anak tactile/kinestetik belajar melalui gerakan, sentuhan, berjalan, dan mengalami. Anak ini yang biasanya dicap sebagai anak hiperaktif karena tidak bisa duduk diam dalam waktu lama. Cara belajar efektif untuk anak ini melibatkan gerakan seperti manipulasi objek, membuat model, menggunting, menggarisbawahi, membuat mindmapping, atau apa saja yang mengandung gerak. Bila mereka tidak mendapat kesempatan bergerak dan dipaksa duduk diam, pikirannya yang akan bergerak ke sana ke mari. Dan ini yang disebut dengan tidak bisa konsentrasi. 

Dari tiga jenis gaya belajar, dapat disimpulkan bahwa yang paling berpontensi menjadi anak “bermasalah” di sekolah adalah anak kinestetik karena sulit duduk diam. Guru mengajar dengan cara visual dan auditori. Ini tidak dapat mengakomodasi kebutuhan gerak anak kinestetik. Bila anak banyak bergerak, guru biasanya akan menegur atau memarahi si anak dan akhirnya beri label “hiperaktif”, “sulit konsentrasi”, “ADD” atau “ADHD”. Semakin anak diminta diam memerhatikan pelajaran, semakin ia merasa gelisah. Konsentrasinya digunakan untuk mengendalikan tubuhnya supaya tidak bergerak, agar tidak dimarahi guru, dan bukan untuk memerhatikan pelajaran. 

Solusinya? Beri anak kesempatan untuk bergerak saat belajar atau memasukkan informasi ke dalam otaknya. Jangan paksa anak duduk diam, tidak boleh bergerak, apalagi dalam waktu lama. Dalam belajar, libatkan anak dalam aktivitas banyak gerak. 

Sulit Konsentrasi Akibat Cemas 

Bayangkan Anda sedang berjalan di taman yang indah di pagi hari menikmati udara sejuk. Tiba-tiba, entah dari mana, muncul segerombolan anjing liar dan buas. Mereka menatap Anda dan menunjukkan sikap akan segera menyerang, menerkam, dan mengigit Anda. Apa yang Anda rasakan di tubuh dan pikiran? Anda pasti merasa sangat takut, cemas, dan panik. 

Otak langsung bereaksi cepat dan hormon stres dalam jumlah besar membanjiri diri Anda. Jantung berdetak lebih cepat, napas memburu, tangan dan kaki menjadi dingin, tungkai kaku, pupil mata melebar, dan Anda siap untuk lawan atau lari menyelamatkan diri. 

Dalam kondisi genting ini otak terus melakukan pemindaian (scanning) pada tiga hal yang sangat penting untuk keselamatan hidup: tubuh, lingkungan, dan waktu. Otak akan memeriksa kondisi dan kesiapan tubuh, apa saja yang ada di lingkungan yang bisa digunakan untuk menyelamatkan hidup, misal ada pohon atau tempat yang tinggi untuk menghindari anjing-anjing ini, dan berapa waktu yang tersedia untuk lari secepatnya ke tempat yang aman.  

Dalam kondisi genting tidak mungkin kita bisa duduk tenang, fokus pada satu hal saja. Dengan kata lain tidak mungkin kita bisa konsentrasi atau fokus. 

Ditinjau dari gelombang otak, saat dalam kondisi  takut atau cemas, gelombang otak dominan aktif adalah beta tinggi. Untuk bisa fokus atau konsentrasi yang dibutuhkan adalah beta rendah, pada kisaran 13-15 Hz.   

Lalu, apa hubungan antara cerita di atas dengan anak sulit konsentrasi? 

Salah satu sebab anak sulit konsentrasi, dan ini jarang disadari orangtua, adalah karena anak merasa cemas atau takut. Anak sendiri tidak tahu bahwa ia cemas atau takut karena memang masih terlalu kecil untuk memahami hal ini. Saat anak cemas atau takut, ia mengalami hal yang telah saya ceritakan di atas. Pikirannya tidak bisa fokus dan terus melakukan pemindaian. Perilaku ini yang dinamakan ADD/ADHD. 

Pertanyaan penting berikutnya adalah mengapa atau apa yang menyebabkan anak cemas atau takut? 

Satu yang paling dibutuhkan anak adalah rasa aman. Bila rasa aman ini tidak ia dapatkan maka pasti timbul rasa cemas. Kecemasan anak bisa berawal sejak dalam kandungan ibu. Saat ibu mengandung dan mengalami berbagai emosi negatif, misal marah, cemas, takut, kecewa, sedih, terluka, atau perasaan negatif lain, tubuh ibu menghasilkan hormon stres. Hormon stres ini juga masuk ke dalam tubuh anak dan memengaruhi perkembangan otak anak yang berfungsi untuk kendali diri dan konsentrasi yaitu prefrontal cortex kiri, lebih tepatnya orbitofrontal cortex.   

Cemas pada anak juga bisa terjadi akibat proses tumbuhkembang yang tidak kondusif. Misalnya, anak tumbuh dalam keluarga yang tidak harmonis, orangtua sering ribut, anak sering ditinggal atau diabaikan, jarang diajak bicara, anak sering dipukul, jarang atau tidak pernah dibelai, diberi kasih sayang. Kurangnya kasih sayang ini membuat anak merasa cemas dan terlihat dalam perilakunya. Anak juga bisa merasa cemas dan takut karena sekolah, bisa karena guru, teman kelas, akibat perundungan (bullying), atau karena tidak menguasai materi pelajaran. 

Untuk mengatasi hal ini tentunya perasaan cemas atau takut dalam diri anak perlu dinetralisir. Selanjutnya anak perlu mendapatkan rasa aman, perhatian, dukungan, kasih sayang, cinta. Bila anak merasa dicintai, sering diberi sentuhan kasih sayang secara fisik, maka otaknya akan menghasilkan hormon oksitosin yang sangat baik untuk membantu perkembangan orbitofrontal cortex. 

Satu informasi bagus untuk para ibu yang sedang hamil. Usahakan untuk melahirkan secara normal. Saat proses persalinan normal tubuh ibu akan mengalami semburan oksitosin, yang tentu akan masuk juga ke tubuh anak dan memberi pengaruh positif. Hal ini tidak terjadi dalam persalinan dengan operasi. 

Cemas anak juga bisa berasal dari orangtua, terutama ibu. Bila ibu sering merasa cemas, sering menceritakan perasaan cemasnya pada si anak, sering melarang, ini tidak boleh, itu tidak boleh, atau anak melihat perilaku atau bahasa tubuh ibu yang menunjukkan kecemasan, disadari atau tidak, kecemasan ini juga masuk ke dalam diri anak. 

Sulit Konsentrasi karena Energi Berlebih 

Ada anak yang punya energi berlebih dalam tubuhnya. Anak tipe ini pasti tidak bisa duduk diam dalam waktu lama. Ia pasti gelisah karena ada desakan dari dalam untuk bergerak, mengeluarkan energi. Orangtua atau guru yang tidak menyadari hal ini akan menyebut anak sulit konsentrasi. 

Energi yang besar dalam diri anak sebenarnya adalah berkah luar biasa yang bila disalurkan dengan benar akan sangat positif bagi tumbuh-kembang anak. Anak, saat masih kecil, butuh energi besar untuk menjelajahi dunia sekitarnya, untuk menyempurnakan dirinya. Dorongan untuk bergerak bertujuan untuk melatih koordinasi otot-otot besar, motorik kasar, sehingga bekerja dengan baik. Energi yang tidak terpakai akan menumpuk di dalam badan dan membuat anak gelisah. 

Salah satu murid SD Anugerah Pekerti pernah mengalami hal ini. Anak ini cerdas dan rajin. Namun, kadang ia merasa sulit konsentrasi. Ia merasa ada energi berlebih dalam dirinya. Bila mulai sulit konsentrasi ia minta ijin guru untuk keluar kelas dan lari mengelilingi lapangan beberapa kali. Setelahnya ia kembali masuk kelas dan bisa duduk dengan tenang, nyaman, dan mampu menyimak materi yang dijelaskan gurunya dengan sangat baik. 

Di masa kecil saya dulu, saat masih di SD, saya tidak pernah menemukan ada kawan yang sulit konsentrasi karena energi berlebih. Setelah saya ingat-ingat lagi ternyata dulu waktu kecil kami banyak bergerak, bermain, kejar-kejaran, panjat pohon, lompat tali, main petak umpet, main bola, menyusuri sungai, menangkap ikan, berenang, dan permainan lain yang butuh gerak dan cukup menguras energi. Setiap sore kami kumpul di lapangan dan bermain. Tanpa disadari, kegiatan yang kami lakukan ternyata sangat menguras energi. 

Kondisi sekarang sangat beda. Anak sekarang yang bergerak adalah ibu jarinya yang digunakan main game. Anak sudah sangat jarang berlari di lapangan, kejar-kejaran atau main bola. Itu sebabnya ada banyak energi menumpuk di tubuh anak. 

Solusinya? Beri anak kegiatan yang menguras energinya. Tentunya kegiatan yang anak suka, misalnya bersepeda, lari, renang, olahraga beladiri, main piano, main basket, futsal, badminton, panjat tebit, atau yang lain. Setelah energinya terkuras anak pasti menjadi tenang. 

ADHD 

Saya sengaja menempatkan ADHD pada bagian terakhir artikel ini. Tujuannya adalah agar, setelah membaca uraian di atas, orangtua dan guru mengerti mengapa anak mengalami sulit konsentrasi dan tidak sembarangan melabel anak dengan ADHD.

ADHD adalah attention deficit/hyperactivity disorderAttention deficit artinya gangguan pemusatan perhatian. Sedangkan hyperactivity adalah perilaku hiperaktif. Ada juga yang mengalami baik attention deficit dan sekaligus hyperactivity.

Penjelasan berikut dimaksud untuk memberi informasi dan pengetahuan, bukan untuk diagnosa. Untuk memastikan apakah anak mengalami ADHD perlu bantuan profesional terlatih.

ADHD dapat terjadi pada anak hingga usia 12 tahun. Karakteristik ADHD, menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi kelima (DSM-5) yang diterbitkan Mei 2013, menyatakan bahwa orang yang mengalami ADHD menunjukkan pola persisten gangguan perhatian, dan atau  hiperaktivitas dan impulsive yang mengganggu perilaku atau perkembangan. Untuk dapat disebut mengalami ADHD haruslah memenuhi kriteria berikut:

1. Perhatian

Enam atau lebih gejala yang menunjukkan ketidakmampuan memusatkan perhatian pada anak berusia hingga 16 tahun, atau lebih dari lima atau lebih gejala pada remaja usia 17 tahun dan lebih tua, dan orang dewasa; simtom tidak mampu memusatkan perhatian harus dialami minimal selama 6 bulan, dan gejala ini tidak sesuai dengan jenjang perkembangan anak:

  • Sering gagal memusatkan perhatian pada hal kecil atau membuat kesalahan yang ceroboh (tidak hati-hati) dalam pekerjaan sekolah, pekerjaan / kegiatan lain.
  • Sering sulit mempertahankan perhatian saat melaksanakan tugas / kegiatan bermain
  • Sering  seperti tidak mendengarkan saat diajak bicara langsung
  • Sering tidak mengikuti petunjuk dan gagal menyelesaikan pekerjaan sekolah dan tugas.
  • Sering sulit mengatur tugas dan kegiatan
  • Sering menghindar, tidak suka, atau enggan melakukan tugas yang membutuhkan upaya mental dalam waktu lama (seperti PR atau tugas).
  • Sering menghilangkan benda yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan kegiatan (misal: pensil, buku, perkakas, dompet, kunci, kacamata, handphone, dll)
  • Perhatiannya mudah teralihkan karena pengaruh dari luar.
  • Sering lupa (dalam kegiatan sehari-hari).

 

2. Hiperaktivitas dan Impulsive

Enam atau lebih gejala hiperaktivitas-impulsive pada anak hingga usia hingga 16 tahun, atau lebih dari lima atau lebih gejala pada remaja usia 17 tahun dan lebih tua, dan orang dewasa; simtom hiperaktivitas-impulsive harus dialami minimal selama 6 bulan hingga pada taraf mengganggu dan tidak sesuai dengan jenjang perkembangan anak:  

  • Tangan dan kaki tidak bisa diam, atau tidak bisa duduk diam/tenang di kursi.
  • Sering meninggalkan tempat duduk saat diharapkan tetap duduk.
  • Sering berlari-lari / memanjat dalam situasi yang tidak sesuai (remaja atau dewasa merasa gelisah).
  • Sering tidak mampu bermain atau ikut kegiatan santai dengan tenang.
  • Sering terus bergerak, bertindak seolah digerakkan oleh mesin.
  • Sering bicara berlebihan
  • Sering melontarkan jawaban sebelum tuntas mendengar pertanyaan.
  • Sering sulit menunggu giliran.
  • Sering menyela / memaksakan diri terhadap orang lain (misal : memotong percakapan/mengganggu permainan).

 

Selain syarat di atas, untuk dapat dikatakan mengalami ADHD perlu memenuhisyarat berikut:

  • Beberapa gejala tidak mampu fokus atau hiperaktiv-impulsif terjadi sebelum usia 12 tahun.
  • Beberapa gejala muncul di dua tempat atau lebih (misal: di rumah atau kerja; dengan kawan atau keluarga, di kegiatan-kegiatan lain)
  • Ada bukti nyata bahwa gejala-gejala ini memengaruhi dan mengganggu, atau mengurangi kualitas fungsi sosial, sekolah, atau kerja.
  • Gejala-gejala tersebut tidak disebabkan gangguan lain: skizofrenia / psikotik dan tidak merupakan akibat dari gangguan mental lain seperti gangguan cemas atau gangguan kepribadian.

_PRINT   _SENDTOFRIEND

Upcoming Events
Counter
Online2
Hari ini456
Sepanjang masa34.528.858
1 Facebook
2 Youtube
3 Instagram
4 Quantum Morphic Field Relaxation
5 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia
6 The Heart Technique