Dulu, seorang sahabat pernah bertanya pada saya perihal pelatihan hipnoterapi di luar negeri berdurasi 150 jam yang akan ia ikuti.
Menurutnya, pelatihan hipnoterapi ini sangat lengkap karena mengajarkan banyak materi, seperti: hipnoterapi, NLP, CBT, konseling, coaching, psikologi transpersonal, farmakoterapi, parenting, hingga terapi keluarga.
Ia minta pendapat saya mengenai pelatihan ini. Saya jelaskan padanya bahwa saya belum pernah mengikuti pelatihan tersebut. Namun saya bisa memberikan saran berdasarkan pengalaman, bahwa bila ilmu yang diajarkan tidak memiliki landasan teoretis yang sama, ini akan mengakibatkan konflik. Alih-alih memperkuat kemampuan terapis, percampuran berbagai paradigma justru akan membingungkan dan mengurangi efektivitas terapi.
Apalagi bila pelatihan yang mengajarkan ilmu dengan landasan teoretis berbeda ternyata dibawakan hanya oleh satu pengajar. Saya sangat meragukan kompetensi pengajar tersebut.
Pengalaman saya berguru hipnoterapi kepada banyak pakar terkemuka dunia menunjukkan bahwa para pakar ini selalu fokus hanya pada satu pendekatan utama. Saya belum pernah bertemu dengan pengajar yang benar-benar mumpuni serta mampu mengajarkan sekaligus mempraktikkan terapi menggunakan beberapa pendekatan sekaligus. Mereka menjadi pakar karena fokus mendalami satu pendekatan terapi.
Saya mewanti-wanti sahabat ini agar benar-benar mempelajari latar belakang dan kompetensi pengajar yang mengaku mampu mengajarkan berbagai pendekatan terapi. Mengajar ilmu adalah satu hal, sedangkan mampu mempraktikkannya dengan aman dan efektif adalah hal lain.
Ternyata benar seperti prediksi saya. Sahabat ini, usai mengikuti pelatihan, mengaku pada saya bahwa semua teknik yang ia pelajari ternyata berdiri sendiri, tanpa ada satu protokol yang menyatukan.
Akibatnya, ia tidak mampu praktik dengan efektif. Saat membantu klien, ia bingung apakah akan menggunakan hipnoterapi, konseling, coaching, NLP, atau teknik yang lain. Hasil terapinya tidak efektif. Setelah mengalami kegagalan beruntun, ia akhirnya memutuskan berhenti. Menurutnya, ia tidak cocok jadi terapis. Benarkah demikian?
Protokol sebagai Fondasi Terapi yang Aman dan Efektif
Dalam hipnoterapi, memiliki protokol terapi yang jelas adalah hal yang sangat penting. Protokol yang teruji memastikan proses terapi berjalan dengan aman, efektif, dan konsisten, sehingga hasil yang diperoleh klien dapat dipertanggungjawabkan.
Tanpa protokol yang baku, terapi akan mudah kehilangan arah, tidak terukur, bahkan berisiko menimbulkan dampak negatif bagi klien.
Semua teknik atau strategi yang digunakan dalam praktik membantu klien harus dipraktikkan dalam koridor protokol yang jelas, dan memiliki landasan teoretis yang sama, paradigma yang sama.
Di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI), saya hanya mengajarkan Quantum Hypnotherapeutic Protocol dengan pendekatan Dual Layer Therapy. Inti dari pendekatan ini adalah dua teknik utama yang telah terbukti efektif dan aman, diterapkan dalam lebih dari 130.000 sesi terapi nyata.
Pada awal karier saya sebagai hipnoterapis, saya juga membekali diri dengan puluhan teknik terapi dan belasan teknik induksi. Namun, setelah praktik konsisten selama tiga tahun, saya menemukan fakta bahwa justru dengan banyak teknik saya menjadi bingung, terapi tidak efektif, dan hasilnya tidak konsisten. Dari pengalaman ini, akhirnya saya merancang protokol hipnoterapi yang digunakan hingga saat ini dan diajarkan di AWGI.
Dalam hipnoterapi, sesungguhnya hanya ada dua pendekatan terapi utama:
- Pendekatan tanpa memproses akar masalah
Fokusnya hanya pada gejala. Terapis biasanya memberi sugesti untuk mengurangi atau menghilangkan keluhan klien.
Contoh: terapi sugesti agar seseorang lebih tenang, berhenti merokok, atau tidur lebih nyenyak. Pendekatan ini dapat memberi hasil cepat, tetapi umumnya tidak bertahan lama karena akar masalahnya tidak disentuh.
- Pendekatan dengan memproses akar masalah
Fokusnya pada pencarian, pemahaman, dan penyelesaian akar masalah di pikiran bawah sadar. Pendekatan ini dikenal sebagai hipnoanalisis.
Contoh: membantu klien menemukan pengalaman masa lalu yang menimbulkan trauma, lalu memprosesnya sampai tuntas sehingga gejala hilang.
Keduanya merupakan pendekatan yang berbeda, masing-masing memiliki landasan teori, teknik, dan strategi tersendiri. Hipnoterapis profesional tidak akan mencampurkan kedua pendekatan ini, karena secara paradigma dan teknis memang tidak bisa digabungkan.
Beberapa murid saya yang memiliki kompetensi terapeutik sangat tinggi, dan dulunya aktif praktik hipnoterapi, setelah belajar teknik terapi dengan pendekatan yang berbeda serta berusaha menggabungkan beberapa pendekatan dalam praktiknya, justru mengalami kegagalan.
Mereka yang sebelumnya terapinya sangat efektif, akhirnya mengalami frustrasi karena gagal menangani klien, bahkan untuk kasus yang sebenarnya ringan dan mudah. Yang sangat saya sayangkan, mereka kini sudah berhenti total melakukan praktik.
Saya telah mengingatkan mereka tentang risiko mencampur teknik yang berlandaskan pendekatan berbeda. Saya meminta mereka untuk memutuskan mengutamakan hanya satu pendekatan terapi, tidak bisa dua atau lebih, dan konsisten dengan pendekatan tersebut. Apa pun pilihannya, mereka perlu konsisten. Namun mereka tidak mengindahkannya.
Risiko Belajar Terlalu Banyak Teknik
Sejak tahun 2005, pengalaman praktik saya menunjukkan bahwa semakin banyak teknik terapi justru semakin membingungkan terapis. Apalagi bila teknik-teknik tersebut berlandaskan paradigma yang berbeda—ini membuat terapis tidak konsisten, ragu dalam mengambil keputusan, dan akhirnya mengurangi kualitas hasil terapi.
Lebih jauh lagi, bila terapis mempelajari terlalu banyak teknik, biasanya penguasaan terhadap teknik tersebut tidak kuat dan mendalam. Akibatnya, ketika menangani klien, terapis cenderung melakukan “ujicoba” teknik. Ini yang dulu saya lakukan.
Saat satu teknik tidak berhasil mengatasi masalah klien, saya segera berganti teknik, dengan harapan teknik ini bisa mengatasi masalah klien. Bila belum juga berhasil, saya akan terus mengganti teknik.
Pola ini tidak hanya membuat proses terapi berlarut-larut, karena tidak efektif, tetapi juga berisiko menurunkan kepercayaan klien terhadap terapis.
Terlalu banyak teknik justru membuat terapis bingung dan cenderung “menguji coba” pada klien. Dengan fokus hanya pada teknik utama secara mendalam, terapis AWGI mampu bekerja konsisten, percaya diri, dan memberikan hasil terapi yang aman, cepat, dan tuntas.
Fokus Lebih Penting daripada Jumlah
“I fear not the man who has practiced 10,000 kicks once, but I fear the man who has practiced one kick 10,000 times.”
(Saya tidak takut pada orang yang berlatih 10.000 tendangan sekali, tetapi saya takut pada orang yang berlatih satu tendangan 10.000 kali.)
Pesan ini sepenuhnya relevan dengan hipnoterapi. Menguasai beberapa teknik inti yang dilatih dengan kuat dan mendalam jauh lebih bermanfaat dibandingkan mempelajari puluhan teknik tanpa penguasaan yang matang.
Dengan protokol yang solid, hipnoterapis mampu bekerja lebih percaya diri, konsisten, serta memberikan hasil terapi yang terukur dan bisa diandalkan.