The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Perbedaan Hipnoterapis Profesional dan Amatir dalam Memahami Kondisi Hipnosis

26 November 2024

Hipnoterapi adalah terapi, dapat menggunakan teknik apa saja, yang dilakukan dalam kondisi hipnosis. Kondisi hipnosis ini dibutuhkan untuk bisa menembus faktor kritis pikiran sadar sehingga proses terapi yang dilakukan tidak dikritisi atau "diganggu" oleh pikiran sadar klien.

Agar klien bisa mengalami kondisi hipnosis, hipnoterapis menggunakan induksi hipnotik. Namun, terdapat tiga pemahaman utama yang membedakan hipnoterapis profesional dan amatir dalam memahami kondisi hipnosis.

Hipnoterapis amatir (pemula) berpandangan bahwa klien masuk ke kondisi hipnosis berkat upaya yang mereka lakukan terhadap klien. Sebaliknya, hipnoterapis profesional memahami bahwa klien masuk ke kondisi hipnosis atas kehendak dan izin klien. Terapis hanya memfasilitasi proses tersebut.

Hipnoterapis amatir fokus pada skrip induksi. Mereka menyiapkan banyak skrip induksi—biasanya 10–15 skrip—untuk digunakan pada tipe klien yang berbeda dengan harapan salah satu skrip berhasil menghipnosis klien.

Bila ada klien karena sesuatu hal tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis, hipnoterapis amatir akan menyimpulkan bahwa klien adalah tipe yang tidak bisa dihipnosis.

Hipnoterapis pemula lebih fokus pada upaya untuk bisa segera mempratikkan teknik induksi dan teknik terapi untuk mengatasi masalah klien. Mereka kurang cermat dan detail dalam proses wawancara mendalam dan merumuskan masalah klien.

Hipnoterapis profesional menyadari pentingnya skrip induksi tetapi lebih fokus pada memahami kondisi, situasi, dan kebutuhan klien. Mereka membangun relasi dan kepercayaan dengan klien, memberikan rasa aman dan nyaman, yang menjadi fondasi penting dalam proses hipnoterapi.

Hipnoterapis profesional mengerti bahwa kondisi hipnosis adalah keniscayaan saat klien percaya pada terapis, sadar akan kebutuhan terapinya, siap, bersedia, dan ikhlas menjalankan sepenuhnya tuntunan terapis.

Mereka memahami dengan jelas bahwa hipnosis bukan sesuatu yang dilakukan kepada klien, melainkan sesuatu yang dilakukan klien pada dirinya sendiri. Hypnosis is not something done to the client. Hypnosis is done by the client.

Mereka juga mengerti bahwa klien masuk ke kondisi hipnosis, sedalam yang dibutuhkan untuk mengatasi masalahnya, dan klien bertahan sedangkal yang dibutuhkan untuk menjaga keselamatan hidupnya.

Kedua, hipnoterapis amatir tidak mengerti bahwa kondisi hipnosis sejatinya terdiri dari banyak jenjang kedalaman. Dan terdapat dua indikator kondisi hipnosis: fisik dan mental. Pada setiap kedalaman hipnosis bisa muncul fenomena spesifik dan unik, baik pada aspek fisik maupun mental.

Hipnoterapis amatir hanya menggunakan atau mengandalkan indikator fisik sebagai penentu kondisi hipnosis. Indikasi fisik ini antara lain: napas melambat dan ritmik, wajah datar, warna kulit wajah menjadi pucat, mata fokus pada satu objek (fiksasi), REM (rapid eye movement), mata menutup tiba-tiba, menelan ludah, lakrimasi, sklera memerah, detak jantung melambat, katalepsi pada tungkai, tubuh terasa berat, dan suhu tubuh berubah. Semua indikator ini sesungguhnya menunjukkan kondisi hipnosis dangkal.

Hipnoterapis profesional mengerti bahwa indikator ini lebih relevan untuk klien dengan tipe sugestibilitas fisik tetapi tidak akurat untuk klien dengan tipe sugestibilitas emosi. Mereka menggunakan indikator mental untuk memastikan secara akurat kedalaman kondisi hipnosis yang sedang dialami klien.

Ketiga, hipnoterapis amatir umumnya tidak memahami bahwa kedalaman hipnosis bersifat dinamis dan dapat berfluktuasi selama sesi terapi.

Hipnoterapis profesional mengerti bahwa untuk proses dan hasil hipnoterapi optimal membutuhkan dua hal: kedalaman dan kestabilan kondisi hipnosis. Mengingat sifat kondisi hipnosis yang dinamis, hipnoterapis profesional menggunakan teknik tertentu untuk memastikan dan mempertahankan kedalaman hipnosis klien pada rentang yang sesuai, menjaga stabilitas kondisi hipnosis selama sesi berlangsung, dan memastikan dampak terapi pada pikiran bawah sadar klien menjadi sangat kuat dan bertahan lama.

 

Baca Selengkapnya

Memahami Cara Kerja Otak dan Hipnoterapi: Mengapa Pengetahuan Saja Tidak Cukup

9 November 2024

Dalam uraian teori yang menjadi landasan protokol hipnoterapi yang diajarkan di kelas pendidikan hipnoterapis profesional Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH), saya juga menjelaskan hasil penelitian terkini tentang hubungan antara cara kerja otak dan proses hipnoterapi. Ini bertujuan untuk memberikan peserta pengetahuan yang solid, berlandaskan riset dan kajian ilmiah, sehingga mereka memiliki pemahaman yang mendalam dan rasa percaya diri yang tinggi.

Saya sangat menganjurkan para peserta didik SECH untuk terus belajar dan mendalami hasil-hasil penelitian terkait usai pendidikan. Saya senang bisa berbagi berbagai artikel jurnal dan ebook yang membahas topik yang mereka minati.

Terlepas dari itu, satu hal yang sangat saya tekankan adalah bahwa proses belajar hipnoterapi yang ideal adalah dengan membangun kompetensi terapeutik yang tinggi serta kecakapan dalam membantu klien mengatasi masalah mereka. Bila mereka tidak memahami secara neurosains, bagaimana proses terapi yang mereka lakukan berhasil membantu klien sembuh, ini bukan masalah.

Yang paling penting adalah, mengingat mereka belajar dan mempraktikkan hipnoterapi, bukan neurosains, mereka harus benar-benar memahami, dari perspektif ilmu pikiran dan hipnoterapi, mengapa terapi yang mereka lakukan konsisten memberikan hasil yang efektif dan bertahan lama. Ini saja sudah cukup.

Sebagai hipnoterapis, memiliki pemahaman yang baik tentang cara kerja otak yang mendasari hipnoterapi tentu sangat berharga. Pengetahuan ini membantu terapis memahami bagaimana hipnoterapi memengaruhi otak, yang pada akhirnya memengaruhi emosi, pola pikir, serta perilaku. Namun, memahami sains di balik hipnoterapi saja tidak cukup untuk secara efektif menyelesaikan masalah klien.

Di kelas SECH, saya menjelaskan tentang amygdala hijack atau pembajakan amigdala, yaitu kondisi ketika amigdala mengambil alih kendali dan menyebabkan respons emosional yang intens. Kondisi ini terjadi ketika otak rasional diabaikan, dan sinyal langsung dikirim ke "otak emosional".

Istilah amygdala hijack pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence untuk menggambarkan situasi ketika seseorang bereaksi secara berlebihan atau impulsif akibat pemicu emosional.

Amigdala adalah bagian dari sistem limbik di otak yang berperan dalam memproses emosi, khususnya emosi yang berhubungan dengan rasa takut, marah, dan stres. Ketika seseorang menghadapi situasi yang dianggap mengancam atau memicu stres, amigdala mengirim sinyal peringatan ke tubuh untuk bereaksi cepat dalam bentuk respons lawan atau lari (fight-or-flight response).

Namun, dalam situasi amygdala hijack, respons ini terjadi terlalu cepat, sebelum bagian otak lain yang lebih rasional, seperti korteks prefrontal, memiliki kesempatan untuk mengevaluasi situasi secara logis. Hasilnya adalah reaksi emosional yang sangat kuat, yang sering kali disertai dengan keputusan atau tindakan yang kurang bijak.

Saat seseorang mengalami amygdala hijack, mereka bisa mengalami kondisi, antara lain: marah atau takut yang berlebihan, gelisah atau cemas tanpa alasan yang jelas, tidak mampu berpikir jernih atau membuat keputusan yang rasional, melakukan tindakan impulsif yang biasanya mereka sesali kemudian.

Contoh amygdala hijack yang umum adalah ketika seseorang bereaksi marah secara berlebihan dalam sebuah argumen, kemudian merasa menyesal setelah situasi mereda. Reaksi tersebut disebabkan oleh amigdala yang "mengambil alih," menyebabkan respons emosional yang tidak terkendali.

Saya menjelaskan bagaimana suatu informasi, saat diterima oleh pikiran (otak) melalui enam indera, diproses di beberapa bagian otak seperti talamus, hipotalamus, hipokampus, amigdala, korteks prefrontal, aktivasi poros HPA, dan lainnya.

Saya bertanya kepada para peserta, "Apakah dengan Anda mengetahui cara kerja amygdala hijack, Anda bisa langsung menggunakan pengetahuan ini untuk membantu klien Anda?"

Jawabannya, tidak. Kita adalah hipnoterapis, bukan praktisi neurosains. Pengetahuan dan kajian neurosains serta hipnoterapi kita gunakan untuk memberikan validasi ilmiah atas apa yang kita lakukan.

Saya kemudian menguraikan secara detail bagaimana Quantum Hypnotherapeutic Protocol, Dual Layer Therapy, yang mereka praktikkan dapat menyelesaikan masalah amygdala hijack dengan memproses pikiran bawah sadar (PBS) yang berisi pengalaman traumatis serta emosi yang memicu respons fight-or-flight. Penjelasan dan pemahaman ini semakin kuat saat dipadukan dengan pengetahuan tentang cara kerja otak.

Ada satu teknik yang saya ciptakan, berdasar pemahaman akan mekanisme amygdala hijack, yang sangat efektif dan mampu dengan cepat "mendinginkan" amydala yang "panas" (overaroused). Namun ini bukan teknik hipnoterapi. Teknik ini dilakukan dalam kondisi sadar normal, sama sekali tidak membutuhkan kondisi trance.

Kunci sukses hipnoterapi terletak pada kompetensi dan keterampilan terapis dalam menerjemahkan pengetahuan ini menjadi teknik-teknik terapeutik yang praktis. Seorang terapis yang memiliki pengetahuan tetapi kurang pengalaman mungkin memahami mekanisme trance dan respons neural, tetapi tanpa kemampuan untuk membangun hubungan, menyesuaikan teknik, dan membimbing klien melalui proses yang aman dan memberdayakan, terapi tidak dapat memberikan hasil yang diinginkan.

Hipnoterapi yang efektif memerlukan kombinasi empati, komunikasi, kemampuan beradaptasi, dan keahlian teknis. Terapis harus tahu bagaimana berinteraksi dengan kebutuhan unik klien, menemukan masalah mendasar, dan menggunakan teknik hipnoterapi yang memfasilitasi perubahan nyata. Ini melibatkan penyesuaian pendekatan untuk setiap individu, menyesuaikan teknik sesuai kebutuhan, serta membangun lingkungan yang aman dan penuh kepercayaan di mana klien merasa terbuka dan termotivasi untuk berubah.

Singkatnya, meskipun pengetahuan tentang cara kerja otak membentuk pemahaman dasar, kompetensi terapis dalam menerapkan pengetahuan ini yang sebenarnya membawa transformasi dan penyelesaian masalah klien.

Baca Selengkapnya

Alasan Kami Tidak Memberi Referral Fee

2 November 2024

Di tulisan saya sebelumnya, saya menjawab pertanyaan seorang sahabat bahwa saya, dan para hipnoterapis AWGI, tidak memberi referral fee kepada pihak yang merekomendasi klien untuk mendapat bantuan profesional kami.

Selanjutnya, ada yang bertanya, di kolom komentar, bertanya apa alasan kami tidak memberi referral fee.

Jawaban saya:

Saya dan para hipnoterapis AWGI tidak memberikan referral fee kepada pihak yang merujuk klien kepada kami, baik dari kalangan profesional maupun orang awam. Hal ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan terkait etika, profesionalisme, dan kualitas pelayanan. Berikut penjelasannya:

Menjaga Etika Profesi dan Integritas

Seperti profesi lain dalam bidang kesehatan mental, hipnoterapis terikat oleh kode etik yang mengutamakan pelayanan berbasis kebutuhan klien. Pemberian referral fee berpotensi mengaburkan batas antara kepentingan klien dan keuntungan finansial, yang dapat mengurangi objektivitas dalam memberikan pelayanan terbaik. Hipnoterapis wajib bertindak profesional tanpa melibatkan pemberian insentif finansial kepada pihak ketiga.

Mencegah Konflik Kepentingan

Pemberian referral fee dapat menimbulkan risiko bahwa rujukan lebih didasarkan pada keuntungan pribadi daripada kebutuhan klien. Hal ini dapat menyebabkan rujukan yang kurang tepat atau tidak sesuai, yang pada akhirnya merugikan klien serta menurunkan kualitas layanan hipnoterapi.

Membangun Kepercayaan Klien

Jika klien mengetahui bahwa hipnoterapis memberikan referral fee kepada pihak yang merujuk mereka, hal ini dapat menciptakan persepsi negatif dan merusak kepercayaan klien terhadap hipnoterapis. Klien perlu diyakinkan bahwa rujukan yang mereka terima murni berdasarkan kebutuhan, bukan karena adanya insentif finansial bagi perujuk.

Mematuhi Prinsip Profesionalisme dalam Layanan Terapi

Layanan hipnoterapi berfokus pada kesehatan mental dan menuntut komitmen tinggi terhadap profesionalisme. Pemberian referral fee dapat merusak reputasi hipnoterapis serta menciptakan kesan bahwa terapi dilakukan demi keuntungan finansial, bukan demi kesejahteraan terbaik klien. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip profesional di bidang kesehatan mental.

Menghindari Komersialisasi Layanan Terapi

Hipnoterapis bertujuan membantu klien dalam menangani masalah emosi atau perilaku. Pemberian referral fee dapat menciptakan kesan bahwa layanan terapi diperlakukan sebagai bisnis komersial, yang bertentangan dengan tujuan utama layanan kesehatan mental—memberikan bantuan yang tulus dan sesuai kebutuhan.

Mencegah Penyalahgunaan dan Eksploitasi Klien

Adanya referral fee dapat membuka peluang bagi pihak tertentu untuk mengeksploitasi klien demi keuntungan pribadi. Dengan tidak memberikan insentif finansial, hipnoterapis memastikan bahwa keputusan rujukan didasarkan pada kebutuhan dan kesejahteraan klien, bukan keuntungan pihak lain.

Secara keseluruhan, menghindari pemberian referral fee membantu hipnoterapis menjaga komitmen terhadap etika, kepercayaan, dan profesionalisme, memastikan bahwa klien yang datang ke terapis benar-benar membutuhkan bantuan, dan bahwa rujukan diberikan berdasarkan kebutuhan, bukan insentif finansial.

Demikianlah adanya...

Demikianlah kenyataannya...

Baca Selengkapnya

Alasan Saya Tidak Melakukan Terapi di Luar Kota

3 November 2024

Banyak sahabat yang berharap dapat bertemu saya saat saya berkunjung ke kota tertentu untuk menjalani sesi terapi. Banyak yang kecewa karena saya tidak pernah memberikan layanan terapi ketika berada di luar kota. Saya telah berulang kali menyampaikan bahwa saya hanya melakukan terapi di kota Surabaya.

Kejadian terakhir, seorang sahabat merasa kecewa karena tidak dapat bertemu saya di kota Medan. Minggu lalu, kami menyelenggarakan dua kegiatan besar: Parenting Class, sebuah workshop sehari penuh yang dihadiri 100 peserta, dan seminar Life Transformation selama 4 jam yang dihadiri lebih dari 1.000 peserta.

Kebijakan untuk tidak melakukan terapi di luar kota sudah saya berlakukan sejak awal menjalani profesi sebagai hipnoterapis. Ada alasan penting yang mendasari kebijakan ini, yang semata-mata demi kebaikan dan kesejahteraan klien.

Protokol hipnoterapi yang saya ciptakan mensyaratkan sesi konseling/terapi hingga maksimal 4 sesi. Jika dalam satu atau dua sesi masalah klien telah berhasil diatasi, klien tidak perlu melanjutkan ke sesi berikutnya. Namun, jika diperlukan, sesi terapi bisa dilanjutkan hingga empat sesi.

Saat klien datang kepada saya untuk menjalani hipnoterapi, ia harus memiliki komitmen untuk menjalani hingga maksimal empat sesi terapi. Hal yang sama berlaku bagi saya, sebagai terapis. Saya terikat komitmen untuk menyediakan waktu dan layanan bagi klien hingga 4 sesi.

Pengalaman saya menunjukkan bahwa masalah klien umumnya berhasil diatasi dalam satu atau dua sesi terapi berdurasi antara 3 hingga maksimal 4 jam. Namun, ada juga kasus tertentu yang membutuhkan lebih dari dua sesi terapi, dengan jarak antar-sesi idealnya satu minggu.

Jadi, misalnya jika saya melakukan terapi di Medan, lalu kembali ke Surabaya, dan satu minggu kemudian klien melaporkan bahwa kondisinya belum membaik sepenuhnya, apa yang harus dilakukan? Sesuai komitmen, klien perlu bertemu saya untuk menjalani sesi kedua.

Bagaimana jika karena suatu alasan klien tidak bisa datang ke Surabaya untuk bertemu saya?

Di sinilah tanggung jawab saya sebagai terapis harus dijalankan. Saya yang harus berangkat ke Medan untuk melanjutkan sesi kedua. Ini tidak bisa ditawar. Apa pun yang terjadi, saya harus berkomitmen dan berangkat ke Medan untuk melanjutkan sesi dengan klien ini.

Selain itu, tidak etis jika saya, karena tidak bersedia ke Medan, merujuk klien ke murid saya yang adalah hipnoterapis di Medan untuk melanjutkan sesi terapi. Klien mungkin tidak bersedia, karena ia lebih percaya kepada saya sebagai terapis yang telah membantunya, daripada terapis lain.

Agar hipnoterapi dapat dilakukan secara optimal, ada syarat yang harus dipenuhi, terutama terkait dengan ruang terapi. Saya tidak bersedia melakukan terapi di ruang yang seadanya, yang tidak memenuhi standar AWGI, apalagi jika terapi dilakukan di kamar hotel.

Kebijakan ini juga berlaku bagi setiap hipnoterapis AWGI dan AHKI (Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia).

Baca Selengkapnya

Jeda Antara Dua Pikiran dan Kesadaran Murni

22 Oktober 2024

Sejak bangun tidur hingga kembali tidur, pikiran senantiasa aktif. Ia bekerja dalam dua mode: diarahkan secara sadar atau dibiarkan bebas. Pada mode pertama, individu secara aktif menggunakan dan mengarahkan pikirannya untuk memikirkan hal-hal yang diinginkan. Dengan demikian, pikiran menjadi alat yang sangat baik bagi individu tersebut.

Sementara, pada mode kedua, jika pikiran tidak diarahkan secara sadar, dibiarkan bebas, ia akan memikirkan hal-hal yang diinginkannya sendiri. Hal ini seringkali tidak baik atau tidak produktif.

Dalam kondisi tertentu, seseorang bisa "kehilangan" kendali atas pikirannya. Meskipun ia berusaha secara sadar mengarahkan pikirannya untuk fokus pada hal tertentu, pikirannya tetap berjalan menurut kehendaknya sendiri. Hal ini bisa berdampak buruk pada kesejahteraan individu.

Untuk dapat mengendalikan dan mengarahkan pikiran, ia harus dilatih secara sadar dan konsisten. Melatih pikiran dilakukan dengan membuatnya fokus pada satu objek tertentu. Objek ini bisa berupa napas, gerakan perut, kalimat atau kata tertentu, atau objek lainnya.

Saat pikiran dapat dibuat fokus hanya pada satu objek, cepat atau lambat ia akan menjadi tenang. Dalam kondisi tenang ini, gerak pikiran yang tadinya begitu cepat akan melambat, sangat lambat, hingga akhirnya berhenti. Dalam kondisi ini, individu dapat menyadari bahwa sejatinya terdapat jeda di antara dua pikiran.


Jeda Antara Dua Pikiran

Jeda antara dua pikiran mengacu pada momen singkat di mana satu pikiran berakhir dan sebelum pikiran berikutnya muncul. Dalam kondisi normal, pikiran kita biasanya mengalir terus-menerus tanpa henti. Namun jika kita mengamati dengan cermat, ada jeda singkat di antara setiap pikiran, suatu saat keheningan di mana tidak ada aktivitas pikiran sama sekali. Jeda ini adalah pintu menuju kesadaran murni.

Jeda ini bukan sekadar absennya pikiran, melainkan momen di individu berada di kesadaran murni. Dalam jeda ini, tidak ada identifikasi dengan pikiran atau perasaan, hanya ada kesadaran yang murni nan hening. Banyak tradisi spiritual dan praktik meditasi memandang jeda ini sebagai momen penting untuk mengalami kesadaran yang lebih dalam, karena dalam keheningan ini kita dapat menyentuh inti dari kesadaran kita.


Kesadaran Murni

Kesadaran murni adalah esensi dasar dari kesadaran, di mana seseorang sepenuhnya sadar akan dirinya tanpa teridentifikasi dengan pikiran, emosi, atau rangsangan eksternal. Kondisi ini melampaui aktivitas mental dan membawa individu pada kesadaran mendalam yang bebas dari gangguan pikiran atau reaksi emosional. Dalam banyak ajaran spiritual, kesadaran murni adalah fondasi pengalaman manusia sejati, yang jika diakses, dapat membawa transformasi hidup yang lebih damai, jernih, dan terpenuhi.

Kesadaran murni tidak bisa diakses ketika pikiran aktif, karena saat pikiran aktif, individu "terlepas" dari kesadaran murni. Kesadaran murni hanya dapat diakses saat pikiran tidak aktif—yaitu saat jeda antara dua pikiran. Kesadaran murni dapat dikenali melalui rasa dan pengalaman batin. Saat seseorang mengakses kesadaran murni, ia merasakan kondisi keheningan yang indah, kedamaian tak terlukiskan, rasa syukur mendalam, dan kepasrahan total.

Kesadaran murni dan jeda antara dua pikiran adalah kondisi alami yang bisa diakses oleh siapa saja yang bersedia melatih kehadiran dan perhatian. Dengan meditasi, pengamatan pikiran yang penuh kesadaran, dan latihan lainnya, kita bisa mulai memperpanjang jeda di antara pikiran, memungkinkan kita untuk mengakses kesadaran yang lebih dalam. Saat kita terhubung dengan kesadaran murni, hidup kita akan dipenuhi dengan lebih banyak kedamaian, kejelasan, dan kebebasan. Transformasi ini terjadi bukan dari luar, tetapi dari dalam, dari cara kita berhubungan dengan pikiran, emosi, dan dunia di sekitar kita.

Pada akhirnya, kesadaran murni membantu kita menyadari bahwa kunci kebahagiaan dan kepuasan tidak terletak pada pencapaian eksternal, tetapi pada kesederhanaan menjadi hadir di saat ini.

Baca Selengkapnya

Kesadaran, Kesadaran Diri, Pikiran, Berpikir, Perhatian, Konsentrasi, Perhatian Penuh, dan Realitas: Sebuah Eksplorasi Pengalaman Manusia

15 September 2024

Hidup manusia adalah tenun yang kaya warna dan rumit, dikonstruksi dari berbagai elemen, masing-masing memberikan kontribusi pada pengalaman kita. Elemen-elemen yang menjadi pusat dari tenun ini adalah kesadaran, kesadaran diri, pikiran, berpikir, perhatian, konsentrasi, perhatian penuh, dan realitas.

Konsep-konsep ini, meskipun berbeda, saling terkait erat dan membentuk dasar dari pemahaman kita tentang diri sendiri dan dunia di sekitar kita. Mengeksplorasi elemen-elemen ini memungkinkan kita memahami kompleksitas pengalaman manusia dan proses yang membentuk persepsi kita tentang realitas.

Kesadaran (awareness) adalah tingkat pengalaman manusia yang paling mendasar. Ini mengacu pada kemampuan dasar untuk merasakan atau mengetahui rangsangan dari lingkungan dan keadaan internal (batin). Persepsi ini bisa sesederhana merasakan hangatnya sinar matahari di kulit kita atau mendengar suara burung berkicau di dekat kita.

Kesadaran tidak selalu bersifat analitis; ini adalah pengakuan langsung dan segera terhadap sensasi, pikiran, atau emosi. Kesadaran berfungsi sebagai dasar bagi semua proses kognitif lainnya.

Kesadaran memungkinkan kita untuk hadir, untuk mengamati peristiwa yang berlangsung di dalam dan di luar diri kita. Ini adalah langkah awal dalam proses persepsi, menyediakan data mentah yang diproses oleh pikiran kita untuk membangun pemahaman kita tentang realitas.

Kesadaran adalah langkah pertama dalam rantai persepsi, pendahulu dari kesadaran diri yang lebih kompleks. Tanpa kesadaran, kesadaran diri tidak dapat berfungsi, karena kesadaran adalah jembatan yang menghubungkan dunia batin kita dengan alam semesta luar. Tanpa kesadaran, kita tidak akan memiliki kapasitas untuk berinteraksi dengan dunia atau diri kita sendiri.


Kesadaran Diri (consciousness) dibangun di atas kesadaran, mewakili tingkat eksistensi yang lebih tinggi, dengan menambahkan lapisan interpretasi dan refleksi. Sementara kesadaran memungkinkan kita untuk menyadari atau mengetahui, kesadaran diri memberi kita kemampuan untuk menafsirkan, merenungkan, dan menciptakan makna dari persepsi tersebut.

Kesadaran diri adalah arena di mana pikiran, perasaan, ingatan, dan identitas diri bertemu. Kesadaran diri adalah keadaan di mana kita tidak hanya menyadari rangsangan eksternal tetapi juga dunia batin kita, memberi kita kemampuan untuk merenungkan pengalaman kita, merencanakan masa depan, dan melakukan introspeksi.

Kapasitas reflektif ini memungkinkan hubungan yang lebih dalam dengan lingkungan kita dan rasa kehadiran diri di dunia. Kesadaran diri adalah apa yang membuat kita tidak hanya merasakan hangatnya sinar matahari tetapi juga mampu merenungkan signifikansinya dan bagaimana hal itu memengaruhi suasana hati dan kesejahteraan kita.

Para filsuf dan ilmuwan telah lama memperdebatkan hakikat kesadaran diri, seringkali menganggapnya sebagai "masalah sulit" karena sifatnya yang sangat sulit dipahami dan subjektif. Melalui kesadaran diri inilah kita mengembangkan rasa identitas, sebuah narasi berkelanjutan yang mendefinisikan siapa kita dan bagaimana kita berhubungan dengan realitas.


Pikiran (mind) adalah wadah di mana kesadaran dan kesadaran diri terwujud. Ini adalah jaringan proses kognitif yang kompleks yang mencakup persepsi, memori, imajinasi, dan penalaran. Pikiran tidak hanya memproses informasi sensori tetapi juga membangun model mental yang kompleks tentang realitas. Pikiran adalah tempat buah pikir (thought) dihasilkan, keyakinan terbentuk, dan pengetahuan disintesis.

Pikiran memungkinkan kita untuk membangun model mental yang kompleks tentang realitas, mensintesis informasi, dan menerapkan pengalaman masa lalu pada situasi saat ini. Pikiran bukanlah entitas statis; pikiran bersifat dinamis, terus berinteraksi dengan kesadaran dan kesadaran diri kita untuk membentuk pengalaman kita tentang realitas. Melalui pikiran, kita menciptakan narasi dan kerangka kerja yang membantu kita menavigasi dunia.

Dalam banyak tradisi filosofis, pikiran dipandang sebagai tempat bersemayamnya jiwa, esensi non-fisik yang melampaui fungsi biologis belaka. Pikiran juga merupakan panggung bagi interaksi antara alam sadar dan bawah sadar, di mana lapisan terdalam dari jiwa kita mempengaruhi pengalaman sadar kita secara halus namun mendalam.


Berpikir (thinking) adalah aktivitas pikiran yang memungkinkan kita untuk menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi informasi. Ini adalah proses menghubungkan berbagai elemen dari pengalaman kita, merumuskan ide, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. Berpikir bisa menjadi proses yang sadar dan disengaja maupun proses otomatis dan intuitif.

Melalui berpikir, kita mengeksplorasi kemungkinan, membayangkan alternatif, dan membangun narasi yang membantu kita memahami pengalaman kita. Berpikir adalah alat yang membentuk persepsi kita, membimbing bagaimana kita berinteraksi dengan realitas. Namun, berpikir juga dibatasi oleh kerangka kerja dan bias pikiran; pikiran kita sering kali diwarnai oleh pengalaman pribadi, kondisi budaya, dan pola kognitif bawaan.

Berpikir adalah mekanisme yang memampukan kita memahami kesadaran dan kesadaran diri kita, mengubah persepsi mentah menjadi pengetahuan yang terstruktur. Berpikir tidak terbatas pada aktivitas intelektual yang abstrak; itu juga bersifat praktis, membimbing keputusan dan tindakan kita. Berpikir membantu kita menafsirkan pengalaman kita, memahami dunia di sekitar kita, dan mengantisipasi hasil di masa depan.


Perhatian (attention) memainkan peran penting dalam proses kognitif dengan bertindak sebagai penyaring bagi kesadaran kita. Perhatian adalah fokus selektif pada rangsangan atau pikiran tertentu sambil mengabaikan yang lain. Perhatian menentukan aspek-aspek kesadaran kita yang masuk ke dalam wilayah kesadaran diri.

Dalam dunia yang penuh dengan stimuli sensori, perhatian memungkinkan kita memprioritaskan apa yang penting pada saat tertentu, meningkatkan kapasitas kita untuk memproses dan memahami informasi yang relevan. Tanpa perhatian, kesadaran kita akan menjadi tersebar, dan kemampuan kita untuk terlibat secara bermakna dengan lingkungan kita akan terganggu.


Konsentrasi (concentration) memperpanjang perhatian dengan mempertahankan fokus dalam jangka waktu yang lama. Konsentrasi melibatkan pengarahan energi mental pada tugas, objek, atau pikiran tertentu, mempertahankan keterlibatan meskipun ada potensi gangguan. Konsentrasi membutuhkan upaya dan disiplin, karena melibatkan perlawanan terhadap kecenderungan alami pikiran untuk mengembara.

Melalui konsentrasi, kita dapat memperdalam pemahaman dan penguasaan kita terhadap suatu subjek, tugas, atau pengalaman. Konsentrasi sangat penting untuk pemecahan masalah yang kompleks, pembelajaran, dan mencapai keadaan aliran di mana kita menjadi sepenuhnya tenggelam dalam suatu aktivitas.


Perhatian Penuh (mindfulness) menambah dimensi lain pada interaksi ini dengan mendorong keadaan kesadaran yang terbuka dan tidak menghakimi terhadap momen saat ini. Perhatian penuh melibatkan perhatian pada pikiran, perasaan, dan sensasi kita dengan sikap ingin tahu dan penerimaan.

Tidak seperti konsentrasi, yang mempersempit fokus, perhatian penuh mendorong kesadaran yang lebih luas yang mencakup spektrum penuh pengalaman kita tanpa terlalu melekat pada pikiran, emosi, atau pengalaman tertentu. Perhatian penuh meningkatkan kesadaran diri dengan memungkinkan kita mengamati proses mental kita saat mereka terjadi, menumbuhkan pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri dan hubungan kita dengan realitas. Perhatian penuh membantu kita melepaskan diri dari reaksi otomatis dan hidup lebih sadar dan sengaja.


Realitas (reality) adalah kanvas di mana kesadaran, kesadaran diri, pikiran, berpikir, perhatian, konsentrasi, dan perhatian penuh melukis kesan mereka. Realitas bukanlah entitas tetap dan objektif; itu dibentuk oleh interaksi antara kesadaran, kesadaran diri, dan pikiran kita.

Pikiran, keyakinan, dan perhatian kita memengaruhi bagaimana kita melihat realitas, menciptakan pengalaman dunia yang dipersonalisasi. Meskipun ada realitas eksternal, proses internal kita menentukan bagaimana kita menafsirkan dan berinteraksi dengannya.

Realitas sejatinya adalah konstruksi subjektif, sebuah representasi yang diciptakan oleh pikiran berdasarkan masukan yang diterimanya dan interpretasi yang dibuatnya. Oleh karena itu, realitas dialami bukan sebagai kebenaran absolut melainkan sebagai fenomena relatif yang dibentuk oleh kesadaran individu dan kolektif.

Sifat subjektif realitas ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang hakikat keberadaan dan sejauh mana kita benar-benar dapat mengetahui dunia apa adanya. Dan di sinilah pentingnya menumbuhkan perhatian penuh dan kesadaran untuk menavigasi kompleksitas keberadaan.

Dalam tarian rumit ini, kesadaran, kesadaran diri, pikiran, berpikir, perhatian, konsentrasi, perhatian penuh, dan realitas bukanlah entitas yang terisolasi melainkan aspek saling memengaruhi dari pengalaman yang terpadu.

Kesadaran membuka pintu menuju kesadaran diri, yang pada gilirannya membentuk fungsi pikiran. Pikiran, melalui proses berpikir, didukung perhatian, konsentrasi, dan perhatian penuh mencipta narasi yang terus berkembang dan mendefinisikan persepsi kita tentang realitas. Interaksi dinamis ini adalah inti dari keberadaan kita, mendorong pencarian kita akan pengetahuan, pemahaman, dan makna.

Eksplorasi konsep-konsep ini bukan hanya upaya intelektual, tetapi juga perjalanan ke kedalaman pengalaman manusia. Ini mengundang kita untuk mempertanyakan asumsi kita, untuk melihat melampaui permukaan persepsi kita, dan untuk menjelajahi keluasan dunia batin kita.

Dengan melakukannya, kita menyadari bahwa realitas yang kita alami adalah cerminan dari kesadaran yang memahaminya. Kesadaran, pikiran, dan keyakinan kita membentuk dunia tempat kita hidup, menjadikan kita peserta aktif dalam penciptaan realitas kita.

Pada akhirnya, semua ini bermuara pada perjalanan menuju pemahaman diri. Ini adalah eksplorasi misteri keberadaan yang mendalam, pencarian untuk mengungkap kebenaran yang lebih dalam yang ada di dalam diri kita dan dunia di sekitar kita.

Melalui eksplorasi ini, kita mulai mengenali keterhubungan segala sesuatu, keseimbangan yang rumit antara dunia batin dan luar, serta kemungkinan tak terbatas yang muncul ketika kita memperluas kesadaran kita dan merangkul potensi penuh dari kesadaran kita.

 

Baca Selengkapnya

Parentifikasi dan Infantilisasi: Penyebab, Dampak, dan Strategi Mengatasinya

9 September 2024

Parentifikasi dan infantilisasi adalah dua fenomena psikologis yang dapat secara signifikan memengaruhi dinamika keluarga dan perkembangan individu. Kedua istilah ini menggambarkan situasi di mana peran orang tua dan anak menjadi terbalik atau terdistorsi, yang mengarah pada hubungan yang tidak sehat dan ketegangan emosional.

Meskipun sifatnya berlawanan, parentifikasi dan infantilisasi mengganggu pertumbuhan dan perkembangan alamiah individu dalam sistem keluarga. Memahami apa yang menyebabkan dinamika ini, dampaknya, dan cara-cara untuk mengatasinya sangat penting untuk membina hubungan yang lebih sehat dan kesejahteraan pribadi. 

Parentifikasi

Parentifikasi adalah fenomena dalam hubungan keluarga di mana seorang anak secara emosional atau fisik mengambil peran sebagai pengasuh atau "orang tua" bagi salah satu atau kedua orang tua, atau bahkan bagi saudara-saudaranya.

Parentifikasi biasa terjadi pada keluarga di mana orang tua tidak tersedia secara fisik atau emosional, mungkin karena sakit, kecanduan, masalah kesehatan mental, terlalu sibuk dengan berbagai aktivitas, bercerai, atau kesulitan ekonomi.

Dalam situasi seperti ini, anak-anak merasa terdorong untuk memikul tanggung jawab orang dewasa untuk menjaga stabilitas keluarga atau mendukung orang tua mereka secara emosional. Anak diminta untuk memenuhi tanggung jawab yang biasanya merupakan kewajiban orang dewasa, seperti mengurus rumah tangga, memberikan dukungan emosional yang intens, atau bahkan mengambil keputusan penting.

Rumah tangga dengan orang tua tunggal, di mana orang tua mungkin kewalahan dengan tuntutan kehidupan sehari-hari, juga dapat berkontribusi pada anak yang melangkah ke peran orang dewasa. Dalam beberapa kasus, norma budaya atau masyarakat yang menekankan kesetiaan atau tanggung jawab keluarga dapat menekan anak-anak untuk mengambil peran ini sebelum waktunya.

Parentifikasi dapat terjadi dalam dua bentuk utama: parentifikasi instrumental dan parentifikasi emosional. Parentifikasi instrumental adalah anak melakukan tugas-tugas fisik atau praktis, seperti merawat adik, membersihkan rumah, atau membantu mengatur keuangan keluarga. Sementara parentifikasi emosional adalah anak harus memberikan dukungan emosional yang berlebihan kepada orang tua atau anggota keluarga lainnya, seperti menjadi pendengar atau pemberi nasihat, yang menempatkan beban psikologis yang berat pada mereka.

Parentifikasi bisa berdampak negatif pada perkembangan anak, karena mereka kehilangan masa kanak-kanaknya dan sering merasa tertekan oleh tanggung jawab yang tidak semestinya. Akibatnya, anak dapat mengalami masalah emosi atau hubungan di kemudian hari, seperti kesulitan membangun batasan yang sehat atau merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan orang lain.

Dampak dari parentifikasi dapat berlangsung lama dan merusak. Anak-anak yang mengalami parentifikasi sering mengalami tingkat stres, kecemasan, dan kelelahan yang tinggi. Mereka berjuang dengan batasan emosional, merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan orang lain bahkan saat dewasa.

Masa kecil mereka sering kali terganggu, membuat mereka kehilangan kesempatan untuk bereksplorasi, bermain, dan berkembang secara alami. Anak-anak yang mengalami parentifikasi juga berjuang dengan harga diri yang rendah, perasaan tidak mampu, atau kesulitan mempercayai orang lain. Dalam hubungan, mereka bisa mengambil peran sebagai pengasuh, yang terkadang menyebabkan ketergantungan atau kelelahan.

Pembalikan peran ini dapat diperburuk oleh faktor budaya yang menempatkan nilai tinggi pada kewajiban dan kesetiaan keluarga, yang membuat anak-anak memprioritaskan kebutuhan orang tua mereka di atas kebutuhan mereka sendiri. 

Infantilisasi

Di ujung spektrum yang berlawanan adalah infantilisasi, di mana seseorang diperlakukan seperti bayi atau anak kecil, meskipun mereka sudah dewasa atau lebih tua. Ini dapat terjadi dalam berbagai konteks, seperti dalam hubungan antarpribadi, keluarga, atau bahkan di tempat kerja, di mana seseorang, seringkali orang tua atau figur otoritas, secara berlebihan mengendalikan atau mengatur tindakan, keputusan, atau emosi orang lain seolah-olah mereka tidak mampu mengelola hidupnya sendiri.

Infantilisasi dapat berasal dari gaya pengasuhan yang terlalu protektif, di mana orang tua atau pengasuh merasa perlu untuk melindungi anak-anak mereka dari kenyataan hidup. Hal ini dapat terjadi karena kecemasan akan keselamatan anak atau keinginan untuk mempertahankan kontrol atas perkembangan anak karena takut dengan kemandirian anak.

Infantilisasi juga dapat terjadi akibat orang tua yang terlalu memanjakan anak, tidak memberi ruang pada anak, yang sesungguhnya telah bertumbuh menjadi pribadi dewasa, untuk menjalani peran utuh sebagai manusia dewasa.

Orang yang diinfantilisasi diperlakukan seolah-olah mereka tidak mampu menangani tanggung jawab yang biasanya sesuai dengan usia mereka. Hal ini dapat melibatkan keputusan-keputusan sehari-hari atau tanggung jawab yang lebih besar seperti keuangan, pekerjaan, atau hubungan pribadi.

Orang tua terus memperlakukan anak dewasa sebagai anak kecil, melayani hampir semua kebutuhan anak, membuat keputusan untuk anak pada banyak aspek kehidupan anak, menghindarkan anak dari stres atau tekanan dari lingkungan, mencegah anak dari mengalami kegagalan, dan memastikan semuanya baik adanya untuk anak. Anak tidak pernah mendapat kesempatan belajar dan bertumbuh seperti yang seharusnya dan mengakibatkan anak mengalami fiksasi pada usia tertentu.

Dalam hal ini, orang tua mengendalikan banyak aspek kehidupan orang yang diinfantilisasi, termasuk bagaimana mereka berpikir, bertindak, atau membuat keputusan, seolah-olah mereka masih anak-anak yang membutuhkan arahan dan perlindungan terus-menerus.

Infantilisasi bisa menghambat perkembangan pribadi, harga diri, dan kemandirian seseorang. Orang yang sering diinfantilisasi bertumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri, bergantung pada orang lain, atau mengalami kesulitan mengembangkan keterampilan hidup yang diperlukan untuk berfungsi secara mandiri dalam kehidupan dewasa.

Hal ini dapat menyebabkan rasa tidak berdaya, ketergantungan, dan pertumbuhan pribadi yang terhambat. Individu yang diinfantilisasi saat berjuang untuk membentuk hubungan timbal balik yang sehat, sering merasa didominasi atau dikendalikan oleh orang lain. Seiring waktu, hal ini dapat menumbuhkan kebencian, kecemasan, dan depresi. 

Mengatasi Parentifikasi dan Infantilisasi

Mengatasi masalah parentifikasi dan infantilisasi membutuhkan pendekatan yang beragam. Pertama, membina komunikasi yang terbuka di dalam keluarga sangatlah penting. Mendorong anak-anak untuk mengekspresikan perasaan dan kebutuhan mereka dapat membantu meringankan beban parentifikasi dan mendorong dinamika keluarga yang lebih sehat. Terapi keluarga juga dapat bermanfaat, memberikan ruang yang aman bagi anggota keluarga untuk mengeksplorasi peran mereka dan membangun hubungan yang lebih seimbang.

Bagi individu yang mengalami infantilisasi, membangun harga diri dan otonomi sangatlah penting. Hal ini dapat dicapai dengan menetapkan tujuan-tujuan kecil yang dapat dicapai yang mendorong kemandirian dan kepercayaan diri. Terlibat dalam kegiatan yang mendorong pertumbuhan pribadi, seperti mengejar pendidikan atau hobi, juga dapat membantu individu mendapatkan kembali rasa memiliki. Selain itu, mencari dukungan dari profesional kesehatan mental dapat memberikan solusi yang berharga untuk mengatasi perasaan tidak mampu dan mengembangkan keterampilan asertif.

Kesimpulannya, parentifikasi dan infantilisasi adalah dua dinamika berbahaya yang mengganggu perkembangan alami individu dan hubungan mereka. Parentifikasi memaksa anak-anak untuk tumbuh terlalu cepat, sementara infantilisasi menghambat pertumbuhan mereka dengan memperlakukan mereka sebagai orang yang tidak mampu.

Kedua dinamika ini berakar pada tekanan emosional, budaya, atau masyarakat dan dapat berdampak luas pada kesehatan mental dan emosional seseorang. Namun, melalui pengakuan, penetapan batasan, dukungan profesional, dan menumbuhkan kemandirian, dinamika ini dapat diatasi, yang mengarah pada hubungan yang lebih sehat, lebih seimbang, dan rasa otonomi pribadi yang lebih besar.

 

 

Baca Selengkapnya

Mengapa Kondisi Hipnosis Dalam Penting?

31 Agustus 2024

Hipnoterapi adalah terapi, menggunakan teknik atau metode apa saja, dilakukan di dalam kondisi hipnosis, untuk mencapai tujuan terapeutik spesifik. Hipnosis adalah kondisi kesadaran bercirikan pikiran sadar rileks, fungsi kritis analitis pikiran sadar menurun, disertai meningkatnya fokus dan konsentrasi, sehingga individu menjadi sangat responsif terhadap pesan atau informasi yang diberikan kepada pikiran bawah sadar (Gunawan, 2017).

Hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis untuk menangani masalah medis atau psikologis. Dan hipnosis adalah kondisi kesadaran melibatkan perhatian terfokus dan berkurangnya kesadaran periferal yang bercirikan peningkatan kapasitas respons terhadap sugesti. Kedua definisi ini ditetapkan American Psychological Association (APA) Divisi 30 di tahun 2014 (Elkins dkk, 2015, p.6-7).

Seturut definisi di atas, kondisi hipnosis adalah syarat mutlak untuk melakukan hipnoterapi. Tanpa kondisi hipnosis, terapi yang dilakukan tidak dapat dikategorikan sebagai hipnoterapi.

Hipnosis bukan sekadar keadaan relaksasi biasa tetapi kondisi unik yang mengubah kesadaran dan fungsi kognitif (Gruzelier, 2000). Melalui induksi hipnosis, individu dapat mengalami penembusan faktor kritis pikiran sadar mereka, yang memungkinkan terjadinya pemikiran selektif dan peningkatan respons terhadap sugesti (Phipps, 2023).

Kondisi kesadaran yang berubah dalam hipnosis ini berinteraksi dengan berbagai aspek pikiran, termasuk proses metakognitif dan persepsi tindakan yang disengaja (Kihlstrom, 1998). Hipnosis sering kali melibatkan penangguhan pemikiran kritis, sehingga pikiran bawah sadar menjadi lebih terbuka terhadap intervensi dan sugesti terapeutik (Butler dkk., 2008).

Studi menggunakan teknik neuroimaging seperti pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) dan elektroensefalografi (EEG) telah menjelaskan mekanisme saraf yang mendasari hipnosis dan variasi dalam sugestibilitas hipnotik (Pascalis, 2024). Perubahan konektivitas fungsional dalam jaringan otak berskala besar selama hipnosis menawarkan wawasan tentang kontrol kognitif, disosiasi, dan kesadaran diri (Bralić, 2023).

Penelitian telah menunjukkan bahwa hipnosis melibatkan penghentian selektif fungsi eksekutif di lobus frontal, yang memungkinkan akses ke ingatan masa lalu dan pengalaman emosional (Gruzelier, 2006). Sementara tingkat hipnotisabilitas yang berbeda telah dikaitkan dengan karakteristik otak dan domain kognitif tertentu, bahkan dalam keadaan sadar normal (Pascalis & Santarcangelo, 2020).

 

Faktor Kritis Pikiran Sadar

"Faktor kritis" dalam hipnosis adalah konsep yang merujuk pada bagian dari pikiran sadar yang bertanggung jawab untuk mengevaluasi, menyaring, dan sering kali menolak informasi yang tidak sejalan dengan keyakinan dan persepsi seseorang. Ia bertindak sebagai penjaga gerbang mental, memastikan bahwa hanya informasi yang konsisten dengan pemahaman seseorang tentang realitas yang diterima ke dalam pikiran bawah sadar (Hammond, 1990).

Faktor kritis bertanggung jawab untuk mengevaluasi dan menyaring informasi, menentukan apa yang harus diterima sebagai sesuatu yang benar atau kredibel sebelum informasi tersebut diizinkan untuk mempengaruhi pikiran bawah sadar. Faktor kritis berfungsi sebagai mekanisme perlindungan, memastikan bahwa hanya ide, keyakinan, atau saran yang sesuai dengan nilai, pengetahuan, dan keyakinan seseorang yang diterima (Gunawan, 2018.)

Dalam konteks hipnoterapi, tujuan utama induksi adalah untuk menembus atau merelaksasi sementara faktor kritis pikiran sadar, sehingga memungkinkan sugesti atau informasi lebih mudah diterima oleh PBS.

Proses ini penting karena saat individu berada dalam kondisi hipnosis, ia menjadi lebih terbuka terhadap sugesti atau informasi yang dapat menghasilkan perubahan terapeutik atau modifikasi perilaku (Elman, 1964).

Selama sesi hipnosis, keaktifan dan kekuatan faktor kritis dapat sangat dikurangi melalui teknik seperti relaksasi mendalam, perhatian terfokus, dan penggunaan pola bahasa tertentu yang memfasilitasi penerimaan sugesti tanpa pemeriksaan yang biasa dilakukan secara sadar (Heap, 2012).

Memahami peran faktor kritis dalam hipnosis sangat penting bagi para praktisi, karena hal ini memberikan wawasan tentang bagaimana pikiran memproses sugesti dan bagaimana hasil terapi dapat dicapai. Kemampuan untuk menembus faktor kritis memungkinkan akses yang lebih dalam ke pikiran bawah sadar, di mana pola dan keyakinan yang sudah tertanam dapat dimodifikasi secara lebih efektif (Kirsch, 1996).

 

Cara Menembus atau Merilekskan Faktor Kritis

Keaktifan dan kekuatan faktor kritis dalam menjaga gerbang mental dapat menurun atau berhenti untuk sementara waktu lewat beberapa situasi, kondisi, atau cara.

Pertama, pudarnya keaktifan dan kekuatan faktor kritis terjadi secara alamiah, yaitu saat individu dalam kondisi bahaya, mengalami pendarahan, guncangan hebat, ketakutan hebat, kehilangan kesadaran, kelaparan, kelelahan, emosi intens, terluka, motivasi atau pengharapan yang tinggi, disorientasi waktu dan ruang, kehilangan sangat besar yang bersifat pribadi, deprivasi sensori, deprivasi makanan, deprivasi oksigen, stimulasi sensori repetitif, message overload, bertemu figur otoritas, saat menjelang atau baru bangun tidur.

Kedua, penurunan aktivitas dan kekuatan faktor kritis disebabkan oleh pengaruh zat kimia atau obat-obatan yang mengakibatkan individu mengalami penurunan kesadaran atau halusinasi.

Ketiga, penurunan aktivitas dan kekuatan faktor kritis terjadi melalui proses yang dilakukan secara sengaja, terstruktur, dan sistematis, baik oleh individu itu sendiri atau oleh orang lain.

Dalam konteks hipnoterapi, upaya sadar dan sengaja untuk menembus atau merilekskan faktor kritis, agar individu mengalami kondisi hipnosis, disebut induksi.

 

Jenis dan Teknik Induksi

Terdapat sangat banyak teknik induksi yang digunakan untuk menembus atau merilekskan faktor kritis, berakibat klien berpindah dari kondisi kesadaran normal ke kondisi hipnosis.

Walau terdapat sangat banyak teknik induksi, bisa berjumlah ratusan, semua varian ini berasal dari enam teknik dasar berikut: Eye Fixation (Fiksasi Mata), Relaxation or Fatique of Nervous System (Relaksasi atau Kelelahan Sistem Saraf), Mental Confusion (Membingungkan Pikiran), Mental Misdirection (Menyesatkan pikiran), Loss of Equilibrium (Kehilangan keseimbangan), dan Shock to Nervous System (Kejutan Pada Sistem Saraf).

Semua teknik induksi ini dapat dikategorikan menjadi empat kelompok: Progressive Relaxation (membutuhkan waktu antara 30 – 45 menit), Rapid Induction (sekitar 4 menit), Instant Induction (beberapa detik), dan Emotionally Induced Induction (induksi karena emosi yang dialami klien).

Dalam praktiknya, induksi dengan teknik apa pun, selalu dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dua pendekatan: tegas (paternal) dan lembut / permisif (maternal).

 

Kedalaman Hipnosis

Kondisi hipnosis terbagi dalam berbagai jenjang kedalaman: hipnoidal (sangat dangkal), dangkal, menengah, dalam, sangat dalam, dan ekstrem. Setiap jenjang kedalaman ini memiliki karakteristik dan fenomena spesifik, baik secara fisik maupun mental.

Induksi hipnosis mempengaruhi kondisi kesadaran klien, membawa mereka dari kondisi kesadaran normal menuju kondisi hipnosis. Namun, induksi ini harus disertai dengan proses pendalaman yang efektif dan pengujian kedalaman yang presisi untuk memastikan bahwa klien telah mencapai kedalaman yang diperlukan guna melakukan intervensi secara optimal.

Hipnoterapi tidak akan efektif jika klien masih berada dalam kondisi hipnosis yang sangat dangkal, dangkal, atau menengah. Kedalaman yang harus dicapai klien untuk intervensi yang optimal adalah kondisi hipnosis dalam atau sangat dalam.

Jika klien tidak berada dalam kondisi hipnosis dalam atau sangat dalam, faktor kritis dari pikiran sadarnya akan tetap sangat aktif. Kondisi ini menghalangi sugesti, informasi, atau data yang diberikan untuk dapat diterima dan dijalankan sepenuhnya oleh pikiran bawah sadar.

Kesalahan umum yang dilakukan oleh hipnoterapis adalah hanya melakukan induksi tanpa memastikan kedalaman hipnosis yang dicapai klien. Ketidakmampuan dalam menguji dan memastikan kedalaman ini seringkali mengakibatkan terapi menjadi tidak efektif dan perlu diulang berkali-kali.

Dalam hipnoterapi yang mengandalkan sugesti verbal, intervensi akan jauh lebih efektif jika klien berada pada kedalaman hipnosis yang sangat dalam atau ekstrem. Jika klien hanya berada pada kedalaman dangkal atau menengah, faktor kritis yang masih aktif dan kuat, cenderung menolak sugesti yang diberikan oleh terapis.

Sementara itu, dalam hipnoterapi yang menggunakan teknik-teknik kompleks seperti hipnoanalisis, regresi, progresi, abreaksi, pemrosesan emosi, resolusi trauma, dan teknik-teknik lanjutan lainnya, optimalisasi terapi hanya dapat dicapai jika klien berada dalam kondisi hipnosis yang dalam atau sangat dalam, khususnya untuk aktivasi trance-logic dan pengalaman revivifikasi parsial.

Baca Selengkapnya

Bangga Dengan Standar Hipnoterapi Indonesia

13 Agustus 2024
Di salah satu kesempatan, saya berdiskusi dengan beberapa sejawat hipnoterapis AWGI tentang perkembangan dan pengembangan hipnoterapi mazhab AWGI.
 
Saya berbagi pengalaman saat dulu waktu pertama kali belajar hipnoterapi dan mulai berpraktik sebagai hipnoterapis.
 
Pada masa itu, ini kejadian sekitar 20 tahun lalu, saya masih minim pengalaman, pengetahuan, dan wawasan. Saya belum banyak menangani kasus. Saya belum membangun protokol terapi seperti yang sekarang saya gunakan dan ajarkan di kelas 𝐒𝐜𝐢𝐞𝐧𝐭𝐢𝐟𝐢𝐜 𝐄𝐄𝐆 & 𝐂𝐥𝐢𝐧𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐲® (𝐒𝐄𝐂𝐇), yaitu 𝐐𝐮𝐚𝐧𝐭𝐮𝐦 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐞𝐮𝐭𝐢𝐜 𝐏𝐫𝐨𝐭𝐨𝐜𝐨𝐥, 𝐃𝐮𝐚𝐥 𝐋𝐚𝐲𝐞𝐫 𝐓𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐲.
 
Rata-rata, saat itu, untuk penanganan satu kasus, saya butuh minimal 6 sesi. Bahkan ada yang sampai 15 sesi, tapi klien tidak sembuh. Bahkan pernah terjadi, masalahnya justru menjadi semakin parah.
 
Saya ingat, waktu itu akhir tahun 2005, salah satu kasus yang pernah saya tangani adalah kasus pelecehan yang dialami klien wanita berusia 27 tahun. Klien ini, waktu kecil, mengalami pelecehan dalam bentuk tubuhnya diraba-raba dan dipegang oleh seorang pria. Untungnya, pelecehan ini hanya sampai di sini, tidak lebih.
 
Klien merasa sedih dan menangis setiap kali ia mengingat kejadian ini. Saya bantu si klien dengan sepenuh hati.
 
Apa yang terjadi? Saya lakukan terapi sebanyak 12 sesi. Setiap sesi berlangsung sekitar 1,5 hingga 2 jam. Akhirnya saya menyerah dan minta klien cari terapis lain. Saya sudah lakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan, klien tidak sembuh.
 
Saya tentu tidak bisa dan tidak boleh menyalahkan klien atas kegagalan saya. Saat saya melakukan terapi, saya sangat percaya diri pasti mampu membantunya.
 
Masalahnya, percaya diri saja tidak cukup untuk menghasilkan dampak terapeutik terbaik. Saya harus tahu diri bahwa kompetensi saya masih sangat rendah. Dan saya harus sadar diri untuk bisa segera belajar lagi dan mengembangkan diri lebih lanjut.
 
Saya sadar, pelatihan yang telah saya ikuti, walaupun bagus, belum mampu mengajarkan saya cukup pengetahuan sehingga saya belum mampu membangun kompetensi terapeutik tinggi.
 
Saya akhirnya belajar lagi dari berbagai sumber, seperti buku (lebih dari 1.600 judul buku tetang pikiran, psikologi, hipnosis, hipnoterapi, memori, emosi, energi, trauma, neurosains, neurofeedback, dll ada di perpustakaan pribadi saya di rumah), video (ada lebih dari 350 judul video), belajar online, dan juga belajar langsung di Amerika, secara tatap muka, dengan para pakar terbaik dunia di bidang pikiran dan hipnoterapi.
 
Dari hasil belajar sekian lama, saya akhirnya sadar bahwa sebenarnya dunia hipnoterapi ini sangatlah luas. Masing-masing pakar punya keunggulan dan keterbatasan.
 
Ada pakar yang protokol terapinya membutuhkan waktu bersesi-sesi, antara 10 hingga 20 sesi, untuk menuntaskan satu kasus. Ada yang hanya butuh kurang dari 10 sesi. Ada lagi yang hanya butuh antara 1 sampai 5 sesi.
 
Saya mendalami strategi terapi yang digunakan Josef Breuer, sejawat Sigmund Freud, saat ia menyembuhkan klien bernama Bertha Pappenheim. Bertha sebelumnya telah diterapi oleh Breuer bersesi-sesi tapi tidak bisa sembuh. Sampai terjadi satu kondisi luar biasa, dan Bertha langsung sembuh.
 
Pengalaman terapi ini, bersama pengalaman lainnya, ditulis oleh Breuer dan Freud ke dalam buku Studien über Hysterie, terbit tahun 1895.
 
Saya juga membaca beberapa buku sangat bagus, salah satunya terbit tahun 1949, yang menjelaskan terapis, seorang psikolog perintis terkemuka Amerika, berhasil mengatasi masalah klien yang masuk kategori berat, hanya dalam satu sesi terapi.
 
Juga ada beberapa artikel jurnal, dipublikasi tahun 2013, yang menjelaskan proses hipnoterapi yang sangat efektif, hanya dalam satu sesi terapi, berhasil mengatasi masalah PTSD, trauma, depresi, dan kecemasan.
 
Selain itu, saya sangat berminat dan juga mendalami tulisan dan pemikiran para pakar trauma seperti Bessel van der Kolk, Onno van der Hart, Peter Levine, Robert Scaer, dan banyak pakar lainnya.
 
Saya mempelajari dengan sangat cermat dan mendalam strategi terapi yang digunakan setiap pakar ini. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk secara khusus mendalami strategi terapi pakar hipnoterapi yang secara konsisten mampu menghasilkan dampak terapeutik nyata, pada kasus berat, hanya dalam 1 hingga 6 sesi terapi.
 
Pakar yang mampu melakukan hal ini bisa dihitung dengan jari, sangat langka. Dan untuk bisa bertemu serta belajar langsung pada mereka, biayanya sungguh sangat mahal. Di beberapa kesempatan berbeda saya menyempatkan diri ke Amerika dan belajar secara privat, one-on-one, dengan mereka. Ini tentu dengan biaya yang sangat besar sekali.
 
Saya sungguh beruntung bisa mendapat kesempatan belajar langsung pada beberapa pakar terkemuka ini, di Amerika. Saya mengadopsi mindset, paradigma, cara berpikir, dan keyakinan mereka bahwa apa pun masalah klien, bila penanganannya tepat dan akurat, bisa diselesaikan dalam waktu singkat, efektif, aman, dan tuntas.
 
Pemahaman dan wawasan yang saya peroleh dari mempelajari pemikiran, tulisan, dan teknik-teknik terapi dari para pakar ini saya integrasikan dengan teori PBS yang saya bangun, hingga akhirnya tercipta protokol hipnoterapi seperti yang sekarang saya gunakan dan ajarkan.
 
Saya juga mempelajari teknik terapi berbasis sugesti, dari salah satu pakar terkemuka di Amerika, yang secara konsisten telah terbukti bisa mengatasi masalah klien hanya dalam satu atau maksimal dua sesi terapi. Yang digunakan murni hanya teknik sugesti. Selama dua hari penuh, di kediamannya di Camarillo, California, saya hanya belajar satu teknik ini.
 
Beliau berhasil mencipta teknik ini setelah melakukan riset mendalam dengan mesin EEG khusus, mengukur tingkat kedalaman kondisi hipnosis, daya pada setiap gelombang, dan gelombang otak dominan pada satu momen tertentu. Saya juga memiliki mesin ini.
 
Teknik ini telah saya buktikan keampuhannya saat dulu saya menangani saksi mahkota, korban pengemboman salah satu hotel di Jakarta, sekian tahun lalu. Saya hanya butuh satu sesi, tanpa melakukan regresi, mengakses memori kejadian, berbicara dengan Ego Personality klien, atau mengakses emosinya. Hanya satu sesi dan selesai tuntas.
 
Saya juga, seiring proses belajar berkelanjutan dan berbagai temuan di ruang praktik para hipnoterapis AWGI, menetapkan bahwa penanganan kasus harus bisa tuntas dilakukan hanya dalam 1 hingga 4 sesi terapi.
 
Rekam jejak para hipnoterapis AWGI membuktikan bahwa kebanyakan kasus bisa diselesaikan hanya antara satu hingga dua sesi terapi. Bila hingga dua sesi masih belum tuntas, kami akan lanjutkan hingga maksimal empat sesi terapi. Bila sudah empat sesi masalah klien belum teratasi, kami harus tahu diri dan menyatakan mundur. Kami menyarankan klien untuk mencari terapis yang lebih kompeten.
 
Ketentuan ini semata demi kebaikan dan melindungi kepentingan klien. Saat klien akan berjumpa kami, hipnoterapis AWGI, kami sampaikan secara terbuka bahwa baik terapis maupun klien harus komit, bila dibutuhkan, menjalani maksimal hingga empat sesi terapi. Setiap sesi berdurasi sekitar 3 jam.
 
Ini adalah komitmen bersama, bukan keharusan menjalani sampai empat sesi terapi. Bila dalam satu atau dua sesi masalah telah teratasi, terapi tidak perlu dilanjutkan.
 
Dengan mengetahui ketentuan ini klien dapat menyiapkan dirinya, baik secara finansial atau emosional sebelum menjalani proses terapi.
 
Hipnoterapis AWGI, sesuai ketentuan, tidak diperkenankan secara sengaja memperpanjang sesi terapi hingga bersesi-sesi, misal sampai 10 atau 12 sesi, padahal ia menyadari dirinya tidak mampu mengatasi masalah klien.
 
Klien harus diperlakukan dengan hormat dan bermartabat. Tidak boleh dijadikan kelinci percobaan atau sapi perah. Bila hipnoterapis AWGI tidak mampu membantu klien mengatasi masalah, ia harus bersedia mengakui bahwa dirinya tidak mampu, dan menyarankan klien mencari bantuan terapis lain yang lebih kompeten. Terapis harus sadar diri bahwa kompetensi terapeutiknya belum memadai untuk membantu klien ini.
 
Bila terapis sengaja abai dan memperpanjang sesi terapi, padahal terapis tidak cakap, terapis ini telah melakukan pelanggaran kode etik yaitu sengaja memperpanjang sesi terapi demi tujuan mendapat keuntungan finansial dari klien. Ini pelanggaran berat.
 
Saya jelaskan juga kepada para sejawat hipnoterapis AWGI ini bahwa sangat penting memilih guru yang tepat. Sebagai murid, kita tidak hanya belajar ilmu, strategi, teknik dari seorang guru, kita juga mengadopsi nilai hidup (value), kepercayaan (belief), pola pikir, dan paradigmanya.
 
Saya beruntung mendapat kesempatan belajar pada para guru terbaik di bidang hipnoterapi. Sebelum saya memutuskan belajar pada guru-guru ini, saya melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).
 
Saya mencari informasi tentang pemikiran, tulisan, buku, video, atau testimoni tentang mereka. Dari sini saya bisa mengukur kapasitas calon guru saya. Baru setelah saya yakin benar dengan kemampuan dan kapasitas mereka, saya berangkat dan belajar kepada mereka langsung di Amerika.
 
Dan yang juga sangat penting, namun ini sering tidak orang ketahui, saat kita belajar pada seorang guru, disadari atau tidak, di dalam diri kita tercipta introjek si guru. Bila kualitas guru ini baik maka kualitas introjek guru di dalam diri kita juga baik. Demikian pula sebaliknya.
 
Ini semua disadari atau tidak menentukan realitas kita. Bila guru kita berkata hipnoterapi baru bisa menunjukkan hasil setelah 10 atau 12 sesi, maka muridnya juga pasti akan mengalami hal serupa.
 
Namun, bila gurunya berkata bahwa hanya butuh waktu antara 1 hingga 4 sesi saja masalah sudah bisa diatasi, dan ia membuktikan ucapannya dengan praktik dan tindakan nyata, kita sebagai murid juga akan mengadopsi keyakinan ini dan demikianlah yang kita alami.
 
Apakah masalah bisa diselesaikan hanya dalam waktu 1 hingga 4 sesi? Jawabannya sangat bisa.
 
Pengalaman kolektif kami, para hipnoterapis AWGI, melakukan lebih dari 130.000 sesi konseling dan atau terapi sejak tahun 2005 hingga saat ini, menunjukkan demikianlah adanya, dan demikianlah kenyataannya.
 
Saat ini, kelas SECH sedang berlangsung. Para calon hipnoterapis AWGI telah melakukan banyak praktik menangani beragam kasus, menuliskan laporan lengkap dan detil, dan dikirim ke grup untuk saya baca, pelajari, beri saran, komentar, dan supervisi. Hampir semua kasus yang mereka tangani tuntas hanya dalam satu sesi terapi.
 
Saya berpesan kepada setiap murid saya, jadilah skeptik yang cerdas. Bila ada suatu informasi luar biasa, yang tidak sejalan dengan pengetahuan atau hal yang kita ketahui, kita boleh skeptis, tapi tetap menyisakan ruang untuk memeriksa data ini dan belajar.
 
Misalnya, bila ada yang mengatakan bahwa ia bisa menyembuhkan masalah emosi dan perilaku hanya dengan menjentikkan jarinya, tanpa ia melakukan apa pun, kita boleh skeptis. Tapi jangan hanya berhenti di sini. Coba cari tahu lebih lanjut. Siapa tahu, orang ini benar. Bila ia benar punya kemampuan seperti ini, tentu akan sangat baik bila kita bisa belajar padanya.
 
Masalahnya, banyak orang yang mengalami reflex Semmelweiss, yaitu kecenderungan untuk berpegang pada keyakinan, pengetahuan, norma, kepercayaan, atau paradigma tertentu dan menolak ide atau informasi baru yang tidak sejalan atau bertentangan dengannya.
 
Orang tipe seperti ini yang sering berkata, "Ah.. ini tidak masuk akal."
 
Benar, ini tidak masuk akal, tapi tidak masuk di akalnya, karena ia tidak punya pengetahuan untuk mengerti fenomena yang dihadapi.
 
Saya juga berpesan agar murid saya jangan sampai mengalami Dunning-Kruger effect, yaitu kondisi ketika seseorang merasa dirinya lebih pintar atau lebih mampu dari orang lain, mulai dari pengetahuan hingga kinerja. Padahal, mereka sebenarnya tidak memiliki keterampilan atau pengetahuan yang sepadan.
 
Dunia ilmu adalah semesta tak berbatas. Apa yang kita ketahui saat ini hanya seperti sebutir pasir di hamparan pasir di pantai. Masih ada terlalu banyak ilmu atau pengetahuan yang belum kita pelajari atau ketahui keberadaannya.
 
Saya kembali memberi penjelasan pada para hipnoterapis AWGI tentang beberapa teknik terapi advanced yang saya kembangkan dan ciptakan. Teknik-teknik ini memberi hasil luar biasa, tapi masih sangat sulit atau belum bisa dijelaskan cara kerjanya secara ilmiah, menggunakan teori yang ada saat ini. 
 
Ada yang teknik cepat mengatasi kondisi alergi. Teknik ini saya beri nama Instant Allergy Cure (IAC) dan sudah saya buktikan keefektifannya pada sangat banyak kasus.
 
Ada teknik untuk mengatasi emosi negatif intens tanpa harus melakukan apa pun, cukup dengan meminta klien fokus pada masalahnya, menarik dan mengeluarkan napas panjang, dan memori kejadian bisa pudar dengan sendirinya.
 
Setelahnya, memori-memori lain yang berhubungan dengan kejadian terakhir juga akan terungkap secara otomatis, tanpa harus dilakukan apa pun dan juga pudar. Proses ini berlangsung hanya beberapa menit.
 
Ada teknik berbasis energi medan morfik yang digunakan untuk menetralisir emosi negatif, baik secara tatap muka atau secara jarak jauh.
 
Ada beberapa teknik terapi berbasis kecerdasan tubuh dan medan energi tubuh yang saat ini masih saya ujicobakan dan sempurnakan. Dengan teknik ini, terapis hanya perlu memberi input pada PBS klien tentang masalah klien. Selanjutnya PBS klien menyelesaikan sendiri masalahnya, tanpa klien atau terapis melakukan apa pun.
 
Ada lagi teknik berbasis kesadaran untuk menetralisir emosi-emosi negatif dengan cepat, mudah, dan tuntas, tanpa klien atau terapis melakukan sesuatu.
 
Salah satu teknik advanced yang saya putuskan untuk diajarkan pada publik adalah 𝐓𝐡𝐞 𝐇𝐞𝐚𝐫𝐭 𝐓𝐞𝐜𝐡𝐧𝐢𝐪𝐮𝐞® (𝐓𝐇𝐓). Saya mulai mengajar THT sejak Juni 2018. Saat ini THT telah saya dan para certified trainer AWGI ajarkan kepada lebih dari 40.000 orang di seluruh Indonesia.
 
Banyak yang tidak percaya bila THT bisa menetralisir emosi dengan sangat cepat. Bahkan banyak rekan sejawat saya, sesama akademisi, juga tidak percaya. Para mahasiswa saya di Magister Psikologi Profesi, saat saya jelaskan bahwa THT bisa mengatasi fobia dalam waktu sekitar maksimal 15 menit, juga tidak percaya.
 
Menurut mereka, fobia biasanya baru bisa diatasi setelah 10 - 15 sesi terapi. Namun, mereka akhirnya percaya karena saya membuktikan pada mereka keefektifan THT. Saya juga mengajarkan mereka cara melakukan THT baik kepada diri sendiri maupun pada klien-klien mereka kelak.
 
Saya terus melakukan integrasi dan peningkatan protokol hipnoterapi AWGI, dengan memasukkan komponen medan morfik dan teknologi kesadaran. Hasilnya, protokol AWGI menjadi semakin kuat dan efektif.
 
Jadi, dalam konteks hipnoterapi, idealnya berapa sesi yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah klien?
 
Jawabannya bergantung. Ada yang belajar teknik-teknik tradisional atau konvensional, dan ini butuh waktu lebih lama, bisa sampai 12 sesi atau lebih, untuk mengatasi suatu masalah. Ada yang belajar teknik-teknik baru, dan hanya butuh beberapa sesi.
 
Saya membaca beberapa buku bagus terbitan beberapa tahun terakhir, membahas hipnoterapi, dan saya masih menemukan format terapi bersesi-sesi. Rata-rata di atas 10 sesi untuk menuntaskan satu masalah.
 
Mana yang lebih baik? Dalam konteks terapi, fokusnya bukan pada mana yang lebih baik, tapi pada keamanan, keefektifan, kenyamanan, dan ketuntasan.
 
Hipnoterapi mazhab AWGI bersifat eklektif integratif. Saya, di awal belajar, mengacu dan menggunakan standar guru-guru saya di Amerika. Sekarang, setelah saya menekuni, berpraktik, mengembangkan, mengajarkan hipnoterapi selama 20 tahun, saya dan para hipnoterapis AWGI telah menetapkan standar kita, standar AWGI.
 
Ini adalah standar yang diciptakan oleh kita, orang Indonesia. Kita sangat bangga dengan standar ini. Standar pelatihan dan kompetensi hipnoterapi versi Indonesia ini sangat layak menjadi salah satu acuan standar (benchmark) hipnoterapi dunia.
 
Saya akhiri sesi diskusi kami dengan satu kalimat penuntup: Hipnoterapis profesional tidak sekadar fokus pada income, tapi lebih fokus dan mengutamakan outcome.
 
Demikianlah adanya...
Demikianlah kenyataannya...
Baca Selengkapnya

Memahami Abreaksi dan Katarsis

23 Juli 2024

Abreaksi dan katarsis adalah dua konsep psikologis yang melibatkan pelepasan emosi, tetapi keduanya berbeda dalam hal mekanisme yang mendasari dan aplikasi terapeutiknya.

Abreaksi mengacu pada proses mengalami kembali dan mengekspresikan peristiwa atau emosi traumatis di masa lalu, sering kali dengan reaksi emosional yang intens, sebagai cara untuk melepaskan perasaan yang terpendam dan mencapai kelegaan psikologis (Wadsworth dkk., 1995).

Teknik ini biasanya digunakan dalam terapi untuk mengatasi masalah yang belum terselesaikan yang berasal dari pengalaman traumatis, seperti pelecehan seksual, dengan memungkinkan individu untuk menghadapi dan memproses emosinya di lingkungan yang aman (Wadsworth et al., 1995). Abreaksi bertujuan untuk membawa emosi yang terpendam ke permukaan, memfasilitasi pelepasannya dan berpotensi mengarah pada pengalaman katarsis. Abreaksi dan katarsis merupakan istilah psikologis yang berkaitan dengan pelepasan emosi, tetapi keduanya memiliki arti dan aplikasi yang berbeda dalam konteks terapi dan penyembuhan emosional.

Karakteristik utama dari abreaksi meliputi tiga hal. Pertama, individu mengakses kembali pengalaman traumatik, mengalami kembali emosi, sensasi fisik, dan pikiran yang terkait dengan peristiwa traumatis di masa lalu. Kedua, individu mendapat tuntunan terapis untuk memahami dan memproses emosi intens pada kejadian traumatik ini. Dan ketiga, terjadi pelepasan emosi secara tuntas dan menyeluruh dengan tujuan tercapai perasaan lega dan kesembuhan emosional.

Proses abreaksi yang bersifat terapeutik sejalan dengan pernyataan Alexander dan French (1946) yang menekankan pentingnya klien mengalami pengalaman emosional korektif (corrective emotional experience) dalam bentuk mengalami kembali peristiwa yang menjadi sumber masalah, melepas emosi pada peristiwa itu, dan pemahaman baru melalui pemaknaan, baik melalui analisis transferensi dan dalam kondisi hipnosis.

Agar aberaksi dapat menghasilkan efek terapeutik yang bertahan lama, beberapa syarat berikut perlu dipenuhi (Gunawan, 2013):

1. Abreaksi harus dilakukan di kejadian paling awal dari rangkaian kejadian yang mengakibatkan munculnya gangguan emosi dan perilaku.

2. Abreaksi harus dilakukan secara tuntas dan menyeluruh sehingga semua emosi yang terkandung di dalam memori kejadian awal lepas semuanya.

3. Klien perlu dibantu untuk bisa mendapatkan pemaknaan atau hikmah dari kejadian yang dulunya ia alami.

4. Perlu dilakukan rekonstruksi memori sehingga yang tersimpan di pikiran bawah sadar klien, usai terapi, adalah memori positif dan menyenangkan.

Di sisi lain, katarsis melibatkan pelepasan ketegangan emosional atau stres melalui berbagai cara, seperti ekspresi verbal, aktivitas fisik, atau aktivitas kreatif, tanpa harus mengingat kembali kejadian traumatis tertentu (Piorkowski, 1967).

Katarsis sering dipandang sebagai bentuk pemurnian atau pembersihan emosi, di mana individu dapat melepaskan emosi negatif dan mencapai rasa lega secara psikologis (Piorkowski, 1967). Tidak seperti abreaksi, yang berfokus pada meninjau kembali trauma masa lalu, katarsis secara lebih luas ditujukan untuk melepaskan penumpukan emosi dan meningkatkan kesejahteraan emosional melalui cara-cara ekspresif.

Karakteristik utama dari katarsis meliputi tiga hal. Pertama, ekspresi emosi dalam berbagai bentuk seperti menangis, berteriak, atau aktivitas fisik. Kedua, konteks yang luas yaitu katarsis dapat terjadi dalam berbagai suasana, tidak hanya dalam terapi. Hal ini dapat terjadi selama aktivitas artistik, olahraga, atau pengalaman emosional yang intens. Dan ketiga, pelepasan umum, yaitu tidak seperti abreaksi, katarsis tidak selalu melibatkan mengingat peristiwa traumatis tertentu. Ini adalah tentang pelepasan emosi secara umum.

Katarsis sering digunakan dalam konteks terapeutik seperti terapi drama, terapi seni, dan terapi ekspresif lainnya, serta dalam situasi sehari-hari di mana seseorang mencari kelegaan dari ketegangan emosional.

Meskipun abreaksi dan katarsis melibatkan pelepasan emosi, keduanya berbeda dalam penekanannya pada meninjau kembali trauma masa lalu dan cakupan yang lebih luas dari ekspresi emosional. Abreaksi lebih ditargetkan untuk mengatasi masalah-masalah spesifik yang belum terselesaikan yang berakar pada pengalaman traumatis di masa lalu, sedangkan katarsis adalah proses umum pelepasan emosi yang dapat bermanfaat bagi regulasi emosi dan kesejahteraan secara keseluruhan (Dahl & Waal, 1983).

Dalam konteks terapi, terapis dapat memilih untuk menggunakan abreaksi atau katarsis berdasarkan kebutuhan klien dan tujuan pengobatan, dengan abreaksi yang lebih terfokus, dan katarsis yang berfungsi sebagai mekanisme pelepasan emosi yang lebih luas (Vives, 2011).

Secara keseluruhan, abreaksi dan katarsis mewakili pendekatan yang berbeda terhadap pemrosesan dan pelepasan emosi dalam konteks psikologis. Abreaksi menggali trauma masa lalu untuk resolusi, terjadi dalam konteks terapi dan membutuhkan tuntuntan terapis, sementara katarsis menawarkan jalan keluar yang lebih umum untuk ekspresi dan kelegaan emosional, dapat terjadi dalam berbagai konteks non-terapeutik.

Memahami perbedaan antara konsep-konsep ini sangat penting bagi para profesional kesehatan mental untuk menyesuaikan intervensi terapeutik secara efektif dan mendukung individu dalam memproses emosi mereka dengan cara yang konstruktif.

 

 

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List
1 2 3 4 5 6... 39 40 Selanjutnya