The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Symptom Becomes Habit

21 Juli 2010

In short, the habits we form from childhood make no small difference, but rather they make all the difference.
~Aristotle

Pembaca, kita sudah sangat sering mendengar pepatah ”First we create our habits, then our habits create us” yang artinya “Pertama-tama kita membentuk kebiasaan, selanjutnya kebiasaan akan membentuk kita”. Apa yang Aristoteles katakan dengan sangat tepat menjelaskan pengaruh habit terhadap hidup kita,“Singkatnya, kebiasaan/habit yang kita bentuk sejak masa kecil menentukan kualitas hidup kita”.

Kamus elektronika Encarta mendefinisi symptom:
• indication of illness felt by patient: an indication of a disease or other disorder, especially one experienced by the patient, e.g. pain, dizziness, or itching, as opposed to one observed by the doctor sign.
(indikasi penyakit yang dirasakan oleh pasien: suatu indikasi penyakit atau gangguan lainnya, khususnya yang dialami oleh pasien, mis. sakit, pusing/mual, atau gatal, bukan seperti yang diamati oleh dokter)
• sign of something else: a sign or indication of the existence of something, especially something undesirable.
(tanda dari sesuatu yang lain: sebuah tanda atau indikasi dari keberadaan sesuatu, khususnya sesuatu yang tidak diinginkan)

Sedangkan habit didefiniskan:
• regularly repeated behavior pattern: an action or pattern of behavior that is repeated so often that it becomes typical of somebody, although he or she may be unaware of it
(pola perilaku yang diulang secara teratur; sebuah tindakan atau pola perilaku yang sangat sering diulangi sehingga menjadi ciri khas seseorang, walaupun ia tidak menyadarinya)
• attitude: somebody's attitude or general disposition
(sikap: sikap seseorang atau watak/kencenderungan umum)

Nah, apa hubungan antara simtom dan habit? Sangat erat.

Habit atau kebiasaan yang tampak dalam perilaku seseorang sebenarnya merupakan akibat dari suatu simtom yang merupakan bagian dari suatu akar masalah yang serius.

Bingung?

Ok, kalau begitu saya akan berikan contoh konkrit agar bisa lebih jelas.

Saya akan mulai dengan kasus seorang anak yang pernah saya tangani.

Ceritanya begini. Saya mendapat telpon dari orangtua murid dari salah satu sekolah terkenal, di Surabaya barat, dan berkeluh kesah mengenai anaknya, sebut saja Toni.

Saat saya tanyakan apa masalahnya... eh... saya jadi kaget sendiri. Keluhannya adalah Toni mogok sekolah. Dan yang lebih mengagetkan lagi adalah Toni baru berusia 3 (tiga) tahun. Wah, saya hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar hal ini. 

Kesimpulan saya, setelah mendengar cerita Ibu ini adalah Toni mengalami school phobia alias takut sekolah. Saya jelaskan pada Ibu itu bahwa yang menjadi akar masalah sebenarnya mudah untuk kita ketahui. Toni tidak mau sekolah bila bukan karena perlakuan orangtua maka pasti akibat dari perlakuan guru, di sekolah, yang tidak profesional dalam mendidik anak.

Setelah mendengar penjelasan lebih lanjut saya menyimpulkan bahwa ini pasti akibat perlakuan guru yang tidak benar terhadap Toni. Tapi untuk memastikan hal ini saya akan menggali langsung dari Toni.

Saat bertemu dengan Toni, yang diantar oleh ayah dan ibunya, saya melihat Toni baik-baik saja. No problemo. Toni, walaupun agak sedikit tidak percaya diri karena baru pertama kali bertemu dengan saya, bisa diajak komunikasi dengan lancar.

Saya lalu mengajak Toni bermain sulap sambil disaksikan kedua orangtuanya. Toni sangat senang dan antusias. Sambil bermain dan mengarahkan fokus Toni ke permainan yang sedang saya lakukan, saya mengajukan pertanyaan kepada Toni. Kesannya hanya sambil lalu.

Yang saya tanyakan, ”Toni sekarang umurnya berapa? Siapa teman Toni di kelas? Satu kelas ada berapa anak?”

Toni mampu menjawab pertanyaan saya dengan lancar dan gembira sambil terus fokus pada permainan sulap.

Raut wajah dan mood Toni langsung berubah drastis saat saya bertanya, “Siapa Miss (guru) yang paling Toni sayang?”

Begitu mendengar pertanyaan ini Toni langsung diam, matanya melirik ke kiri atas sejenak (mengakses memori dalam bentuk gambar) lalu ke kanan bawah (mengakses emosi), raut wajahnya berubah sedih, dan langsung menangis.

Orangtua Toni melihat dengan sangat jelas perubahan ini. Dari sini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi sesuatu pada Toni yang dilakukan oleh gurunya. Apa itu? Saya tidak tahu. Dan Toni juga tidak mau menceritakannya. Setiap kali saya mulai menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan gurunya, Toni pasti menangis.

School phobia yang dialami Toni, dari pengalaman saya menangani anak yang mengalami masalah yang serupa, sebenarnya hanya merupakan simtom dari akar masalah yang lebih serius, yaitu perasaan takut, terancam, tidak nyaman, tidak berdaya, dan tidak aman bila berada di dalam kelas. Semua ini merupakan akibat dari tindakan guru, baik secara sengaja maupun tidak, yang telah melukai hati seorang anak.

Orangtua yang tidak tanggap dan jeli biasanya tidak akan memperhatikan sejauh ini. Biasanya orangtua ini akan membujuk dan kalau perlu memaksa anak untuk sekolah lagi. Akibatnya bisa sangat buruk terhadap anak. Anak akan menjadi benci sekolah dan akhirnya benar-benar tidak mau sekolah sama sekali.

Biasanya yang akan ditangani oleh orangtua ataupun sekolah hanyalah habit yang tampak dalam perilaku, yaitu tidak mau sekolah. Akar masalah yang sesungguhnya tidak tertangani dan akhirnya mengendap di memori anak. Di masa mendatang hal ini akan menjadi bom waktu yang sangat berbahaya. 

Prinsip yang sama berlaku terhadap anak yang ”nakal”. Mengapa anak dicap nakal? Biasanya anak nakal karena mereka ingin mendapat perhatian dari orangtuanya. Biasanya anak akan meminta perhatian itu dengan cara yang baik-baik. Jika cara baik-baik ini tetap tidak mendapat perhatian semestinya maka secara naluriah anak akan melakukan hal-hal lain yang bisa menarik perhatian orangtuanya.

Biasanya yang dilakukan anak untuk menarik perhatian orangtuanya, bila cara baik-baik tetap tidak diperhatikan orangtua, adalah dengan marah, menangis, membangkang, mengganggu adik atau kakaknya, berulah, atau tindakan apa saja yang bisa membuat orangtua, untuk sementara waktu, harus mencurahkan perhatian pada si anak.

Bila strategi ini berhasil satu kali saja maka pikiran bawah sadar anak mulai diedukasi oleh respon yang diberikan orangtua. Selanjutnya anak akan mencoba lagi dengan mengulangi strategi yang sama. Jika kembali berhasil, orangtua memberikan ”perhatian” (baca: marah atau teriak), maka anak akhirnya tahu cara jitu untuk mendapatkan perhatian.

Selanjutnya bisa ditebak apa yang akan dilakukan si anak setiap kali ia ingin mendapat perhatian. Anak pasti akan berulah dan orangtua pasti marah. Akhirnya, karena seringkali diulang (repetisi), anak membentuk kebiasaan/habit ”nakal”. Karena sudah menjadi habit atau kebiasaaan maka untuk mengubahnya akan cukup sulit.

Ada kata bijak yang berbunyi, ”When is the right time to kill a monster? When it is still small”. Artinya, waktu yang paling tepat untuk membunuh seekor monster (baca: kebiasaan buruk) adalah saat monsternya masih kecil (kebiasaan buruk baru mulai terbentuk). Saat monster ini sudah besar (baca: kebiasaan sudah sangat kuat) maka kita yang akan dibunuh oleh monster (kebiasaan) ini.

Oh ya, saat orangtua marah pada anaknya maka saat itu mereka telah memberikan ”perhatian” penuh dan sangat fokus pada anak. Mana bisa kita, orangtua, marah hanya sambil lalu atau tidak fokus. Marah pasti diikuti dengan tingkat intensitas fokus yang tinggi.

Nah, dari apa yang telah saya ceritakan di atas maka kini tampak jelas bahwa ”nakal” adalah habit yang berawal dari simtom. Simtom ini, sesuai dengan definisi, merupakan sebuah tanda atau indikasi dari keberadaan sesuatu. Apa itu? Kebutuhan akan perhatian.
Kasus yang saya ceritakan di atas kesannya ”seram”, ya. Sebenarnya proses yang sama berlaku bagi habit yang positif. Misalnya anak kita marah atau berulah ingin mendapat perhatian kita. Kita, bukannya terpancing ikut marah, dan karena kita mengerti apa yang sebenarnya terjadi yaitu anak butuh perhatian, mengarahkan perilaku anak ke arah yang lebih konstruktif.

Caranya? Kita bisa mengajar anak untuk mengungkapkan perasaannya. Misalnya anak kita kesal karena kita kurang memberikan waktu atau perhatian, kita terlalu sibuk dengan pekerjaan kita. Nah, daripada marah-marah dan berulah alangkah baiknya bila anak bisa mengkomunikasikan perasaan ini kepada kita secara verbal dan dengan cara yang sopan, benar, dan terarah.

Bila pola ini diulang-ulang maka akan membentuk suatu kebiasaan/habit positif. Anak bisa mengerti emosinya dan mengungkapkan emosi ini dengan cara yang proaktif dan konstruktif.

Pola pembentukan habit, yang berawal dari simtom, yang merupakan bagian dari suatu akar masalah tertentu, berlaku universal. Maksudnya, setiap habit atau kebiasaan bila kita telusuri dengan hati-hati maka akan merujuk pada suatu simtom. Selanjutnya bila mengerti caranya kita bisa mengungkapkan akar masalah yang menjadi sumber simtom.

Yang sulit adalah bila suatu habit merujuk pada suatu simtom yang merupakan simtom dari suatu akar masalah. Artinya terdapat double symtom.

Anda mungkin bertanya, ”Ah, masa ada kasus seperti ini?”

Ada seorang pria dewasa, seorang pengusaha sukses, yang begitu takut sama ayam. Ini ayam sungguhan, lho. Bukan ayam-ayam-an. Anda mengerti maksud saya, kan? Setiap kali bertemu ayam maka pria ini pasti langsung menghindar.

Setelah saya bantu akhirnya terungkap bahwa, secara spesifik, ia sangat takut dengan paruh ayam. Ketakutan ini yang akhirnya membuat ia selalu menghindar bertemu dengan ayam.

Kebiasaan menghindari ayam ternyata merupakan simtom yang berawal perasaan takut pada pisau. Setelah digali lebih lanjut ternyata perasaan takut pisau ini merupakan metafora dari perasaan sakit tertusuk, pada sekujur tubuhnya, saat ia dipeluk oleh ibunya. Ternyata akar masalah yang sesungguhnya, setelah digali dari perasaan sakit tertusuk pisau, adalah perasaan terluka dan benci yang sangat dalam terhadap ibunya. Jadi, setiap kali dipeluk ibunya, sewaktu ia masih kecil, perasaan terluka dan benci ini berubah menjadi perasaan sakit seperti tertusuk.

Oh ya, pria ini setelah dibantu akhirnya berhasil mengatasi masalahnya.

Baca Selengkapnya

Pikiran Bawah Sadar, Sangat Sadar Dan Cerdas

21 Juli 2010

Dunia objektif muncul dari pikiran itu sendiri
~Buddha

Benar, anda tidak salah membaca judul artikel ini. Banyak orang tidak tahu bahwa sebenarnya pikiran bawah sadar sangat sadar dan cerdas. Kita menyebutnya pikiran bawah sadar karena pikiran sadar kita seringkali tidak menyadari keberadaan dan cara kerja pikiran bawah sadar.

Proses berpikir yang terjadi antara pikiran sadar dan pikiran bawah sadar berjalan pararel atau bersamaan. Bedanya adalah pikiran sadar bisa berhenti bekerja sedangkan pikiran bawah sadar tidak akan pernah berhenti walau hanya sedetik saja. Saat pikiran bawah sadar kita berhenti bekerja maka saat itu pula kontrak hidup kita di dunia ini sudah selesai.

Lalu apa maksudnya dengan pernyataan bahwa pikiran bawah sadar sangat sadar dan cerdas?

Untuk menjelaskan pernyataan ini saya akan menceritakan kasus seorang klien, sebut saja Pak Purnomo, yang pernah saya tangani.

Ceritanya begini. Pak Purnomo datang ke tempat saya untuk konsultasi dan terapi. Keluhannya yaitu ia telah bekerja sangat keras, fokus, pantang menyerah, namun tetap sangat sulit untuk berhasil. Selalu saja ada hambatan yang ia alami. Pak Purnomo malah sempat berpikir bahwa sudah nasibnya jadi orang gagal. Lha, sudah berusaha habis-habisan kok masih nggak bisa sukses.

Melalui diskusi yang intens saya akhirnya berhasil menggali dan menemukan akar masalah yang membuat Pak Purnomo begitu sulit untuk berhasil.

Oh ya, Pak Purnomo adalah seorang salesman. Ia sempat sukses besar dan mendapat bonus mobil dari hasil bisnisnya. Namun secepat ia meraih keberhasilan itu demikian cepat pula bisnisnya turun dan akhirnya stagnan.

Saya berusaha menggali akar masalah dengan menanyakan perasaan yang dirasakan Pak Purnomo setiap kali ia menjalankan bisnisnya. Ternyata perasaan yang senantiasa muncul adalah ia merasa tidak tulus terhadap calon klien, merasa tidak pantas jika mendapatkan untung dari hasil penjualannya, merasa takut ditolak, dan tidak berani melakukan follow-up terhadap calon klien.

Apabila ia harus menemui klien di luar kota maka yang muncul adalah perasaan tidak nyaman, khawatir, dan enggan untuk pergi jauh dari keluarganya. Ia (pikiran sadar) tahu bahwa semua ini ia lakukan demi membahagiakan keluarganya namun perasaan tidak enak ini sangat kuat dan akhirnya mengganggu kinerjanya.

Bila dianalisis sepintas maka yang tampak menjadi akar masalah adalah perasaan tidak percaya diri atau harga diri yang kurang baik. Bila kurang jeli dalam melakukan analisis maka bisa muncul kesimpulan yang menyatakan bahwa Pak Purnomo ini kurang fokus, tidak tahu impiannya, terlalu banyak alasan, tidak berani mengambil keputusan besar, tidak mau just-do-it agar bisa dapat duit, tidak melakukan massive action, atau mungkin juga ia pada dasarnya malas.

Apakah benar kesimpulan di atas?

Melalui penggalian (baca: interview) yang hati-hati dan mendalam akhirnya diketahui bahwa semua hambatan atau alasan yang diceritakan oleh Pak Purnomo sebenarnya adalah simtom (symptom) dari suatu akar masalah (root cause) yang jauh lebih serius.

Sebagai terapis jika kita tidak hati-hati maka yang akan kita terapi adalah perasaan tidak percaya diri dan bukan akar masalanya. Nah, bila yang kita, sebagai terapis, bereskan adalah simtom maka keluhan yang sama pasti akan muncul lagi di kemudian hari.

Lalu, apa sih sebenarnya akar masalah Pak Purnomo?

Percaya nggak kalau saya memberi tahu anda bahwa akar masalahnya bukan perasaan tidak percaya diri. Akar masalahnya adalah perasaan bersalah yang mendalam terhadap orangtuanya.

Lho, lalu apa hubungan antara perasaan bersalah terhadap orangtua dan perasaan tidak tulus terhadap calon klien, merasa tidak pantas jika mendapatkan untung dari hasil penjualan, merasa takut ditolak, tidak berani melakukan follow-up terhadap calon klien, dan merasa cemas kalau harus meninggalkan keluarganya ke luar kota untuk menjalankan bisnisnya?

Dulu, waktu saya baru mulai menjadi seorang terapis, saya bingung jika menghadapi kasus seperti ini. Namun pengalaman yang saya kumpulkan dari banyak membaca berbagai literatur dan praktik menangani banyak klien akhirnya memberikan pencerahan bagi diri saya.

Saya langsung ingat dengan apa yang dikatakan oleh maestro hipnoterapi Milton Erickson mengenai pikiran bawah sadar. Dalam buku saya Hypnotherapy:The Art of Subconscious Restructuring saya mengutip sembilan hal menarik yang dikatakan oleh Erickson mengenai pikiran bawah sadar. Salah duanya adalah pikiran bawah sadar sangat sadar dan cerdas. Selain itu salah satu sifat dan tujuan pikiran bawah sadar adalah melindungi pikiran sadar dan diri seseorang dari sesuatu hal yang dirasa merugikan atau membahayakan.

Nah, saat saya menemukan akar masalah Pak Purnomo saya hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala takjub akan hasil pengamatan Erickson. Benar sekali. Dalam kasus Pak Purnomo pikiran bawah sadarnya melindungi dirinya dari sesuatu yang ”dipandang” akan ”merugikan” diri Pak Purnomo.

Hal apa yang dipandang akan merugikan Pak Purnomo?

Keberhasilannya di bisnis yang ia jalankan.

Lho, bukankah Pak Purnomo sangat ingin sukses?

Tentu. Tapi, ini kan kemauan pikiran sadar Pak Purnomo. Bukan keinginan pikiran bawah sadarnya. Dari teori pikiran kita tahu bahwa pikiran bawah sadar sembilan kali lebih kuat dari pikiran sadar. Dengan demikian bila terjadi konflik maka yang selalu menang adalah pikiran bawah sadar.

Nah, sekarang mari kita analisis apa yang terjadi pada diri Pak Purnomo.

Pikiran sadar Pak Purnomo ingin agar ia bisa sukses di bisnis yang ia jalani. Di sisi lain, pikiran bawah sadarnya merasa bersalah dan ingin agar Pak Purnomo tidak melukai perasaan orangtuanya.

Apa sih yang terjadi di antara Pak Purnomo dan orangtuanya sehingga timbul perasaan bersalah di dalam diri Pak Purnomo?

Ceritanya begini. Pak Purnomo dulu telah berjanji kepada orangtuanya bahwa ia akan menekuni satu bidang profesi tertentu. Nah, orangtuanya sangat berharap agar Pak Purnomo benar-benar menjalani profesi tersebut. Ternyata, seiring dengan waktu berjalan Pak Purnomo memutuskan menekuni bidang profesi yang sama sekali berbeda dengan profesi yang dulu pernah ia janjikan. Sudah tentu orangtuanya sangat kecewa. Pak Purnomo, walaupun menyadari kekecewaan orangtuanya dan merasa bersalah karena telah ingkar janji, tetap menekuni profesi yang ia pilih.

Di sinilah pikiran bawah sadar mulai ”berulah”. Jauh di lubuk hatinya Pak Purnomo merasa bersalah karena telah ingkar janji. Nah, pikiran bawah sadar, dengan logika berpikirnya sendiri, merasa bahwa apa yang dilakukan Pak Purnomo ini tidak pantas. Pikiran bawah sadar ingin Pak Purnomo menepati janjinya pada orangtuanya.

Lalu, apa yang dilakukan pikiran bawah sadar untuk bisa memastikan bahwa Pak Purnomo akan menepati janjinya?

Pikiran bawah sadar memunculkan berbagai simtom dalam bentuk perasaan tidak tulus terhadap calon klien, merasa tidak pantas untuk mengambil keuntungan, merasa tidak nyaman kalau harus keluar kota, dan berbagai perasaan tidak nyaman lainnya. Intinya adalah pikiran bawah sadar berusaha mensabotase keberhasilan Pak Purnomo di bidang sales dan marketing.

Mengapa pikiran bawah sadar mensabotase Pak Purnomo? Agar Pak Purnomo mengalami kesulitan dan gagal dalam bisnisnya. Dengan demikian Pak Purnomo diharapkan akan  menjalankan profesi seperti yang dulu pernah ia janjikan pada orangtuanya.

Dengan menggunakan prosedur terapeutik tertentu, yang akan terlalu teknis bila saya jelaskan di artikel ini, akhirnya saya berhasil melakukan reedukasi pikiran bawah sadar serta melakukan integrasi bagian-bagian dari pikiran Pak Purnomo yang mengalami konflik kepentingan.

Hasilnya? Sungguh dahsyat.

Satu hari setelah melakukan sesi konseling dan terapi saya mendapat sms dari Pak Purnomo yang mengatakan bahwa ia kini merasa jauh lebih baik, tenang, dan damai dengan dirinya sendiri. Tiga hari kemudian Pak Purnomo mendapatkan ”durian runtuh”.

Apa itu?

Pak Purnomo mendapat hadiah mobil dari kawannya. Ini sungguh-sungguh rejeki tak terduga. Pak Purnomo memang telah menuliskan di daftar impiannya bahwa ia ingin punya mobil dengan spesifikasi tertentu. Nah, yang ia dapatkan ternyata lebih bagus dari mobil impiannya. Yang benar-benar ”nggak masuk akal” adalah ia mendapatkan hadiah ini dari seorang kawan yang tinggal di kota lain. Dan benar-benar gratis, nggak usah bayar.

Apa yang terjadi? Jawabannya sederhana saja. Saat mental block telah berhasil diatasi maka pikiran mampu bekerja dengan ”daya” maksimal dan kongruen. Dengan demikian The Law of Attraction dapat diarahkan untuk bekerja secara maksimal dalam membantu kita menarik hal-hal yang kita inginkan.

Oh ya, selain Pak Purnomo, ada dua orang rekan saya lainnya yang juga berhasil mendapatkan mobil gratis. Rekan yang pertama mendapatkan hadiah dari kawannya. Rekan satunya lagi mendapatkan hadiah dari sebuah bank. Semua ini terjadi karena mental block yang selama ini menghalangi mereka telah berhasil diatasi.

So... hati-hati dengan apa yang anda ucapkan atau niatkan karena pikiran bawah sadar anda akan mewujudkannya dengan atau tanpa persetujuan dari pikiran sadar anda.

Kasus yang saya ceritakan ini termasuk kasus yang ringan. Yang lebih rumit lagi adalah bila terjadi double-symptom. Maksudnya, simtom yang tampak dalam perilaku seseorang ternyata adalah simtom dari suatu simtom yang merupakan simtom dari suatu akar masalah.

Baca Selengkapnya

Apakah Hipnosis/Hipnoterapi Berbahaya?

21 Juli 2010

With great power comes great responsibility

Sebelum menjelaskan lebih lanjut saya ingin kita menyamakan dulu persepsi kita mengenai hipnosis, agar kita bisa berpikir dan berdiskusi dengan koridor pikir yang sama. 

Selama ini telah terjadi kerancuan makna atau salah pemahaman mengenai hipnosis. Hipnosis telah dipersepsikan secara keliru sebagai klenik atau magic. Lalu apa sih sebenarnya hipnosis? Seperti yang saya jelaskan di buku saya Hypnosis: The Art of Subconscious Communication, hipnosis sebenarnya tidak lebih dari seni berkomunikasi. Lebih lengkap lagi hipnosis adalah seni berkomunikasi dengan penekanan pada aspek dan proses komunikasi timbal balik antara satu atau lebih orang yang terjadi pada level pikiran bawah sadar.

Dari definisi di atas tampak jelas bahwa hipnosis sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu sesat, magic, atau kekuatan supra natural. Dengan mengacu pada definisi hipnosis yang telah kita sepakati di atas, mari kita mulai diskusi kita.

Kerancuan makna juga sering tampak dari berbagai tulisan di media massa atau internet. Saya sempat membaca iklan di surat kabar atau cerita di milis, kebetulan saat itu lagi membahas topik mengenai hipnosis/hipnoterapi, yang mencampuradukkan antara hipnosis dan hipnotis. 

Hipnosis adalah ilmu atau seni komunikasi sedangkan hipnotis adalah orang yang menggunakan atau mempraktikkan hipnosis. Lalu apa beda antara hipnosis dan hipnoterapi?

Semua hipnoterapi menggunakan hipnosis. Namun, hipnosis baru bisa dikatakan sebagai hipnoterapi apabila menggunakan teknik-teknik tertentu, yang bersifat terapeutik, untuk membantu klien meningkatkan diri mereka, sesuai dengan masalah yang dihadapi.

Hipnoterapis, dengan demikian, adalah orang yang menggunakan atau mempraktikkan hipnoterapi. Hipnoterapis pasti adalah seorang hipnotis. Namun hipnotis belum tentu  hipnoterapis.  

Kembali pada pertanyaan di atas, “Apakah hipnosis/hipnoterapi berbahaya?”.

Hipnosis adalah salah satu cara yang sangat efektif untuk bisa menjangkau pikiran bawah sadar dengan cepat dan mudah. Perubahan perilaku selama ini cukup sulit dilakukan karena orang, pada umumnya, tidak mengerti cara masuk ke pikiran bawah sadar yang menyimpan berbagai “program” yang mengendalikan diri kita.

 Ada lima cara untuk masuk ke pikiran bawah sadar:

  1. Repetisi
  2. Identifikasi kelompok atau keluarga
  3. Informasi yang disampaikan oleh figur yang dipandang mempunyai otoritas
  4. Emosi yang intens
  5. Kondisi alfa atau hipnosis

Dengan menggunakan bantuan hipnosis seorang hipnotis atau hipnoterapis dapat dengan mudah masuk ke pikiran bawah sadar klien dan melakukan otak-atik “program”. Akibatnya bisa macam-macam. Bisa positif maupun negatif. Modifikasi atau rekonstruksi “program” pikiran ini selanjutnya akan mempengaruhi perilaku seseorang dan sebagai hasil akhir sudah tentu hidup orang juga akan berubah.

Contohnya begini. Anda bertemu dengan seseorang, sebut saja Budi, yang tidak bisa menjual dengan baik. Padahal Budi bekerja di bidang marketing dan sales. Kesulitan Budi disebabkan oleh belief-nya yang menyatakan bahwa ia tidak cakap dalam hal penjualan.

Dengan pengetahuan dan kemampuan yang anda miliki, anda bisa masuk ke pikiran bawah sadar Budi dan memodifikasi ”program” (belief) yang menghambat Budi. Setelah ”program”nya dimodifikasi Budi akhirnya mampu menjadi seorang salesman handal. Nah, dalam hal ini hipnosis/hipnoterapi mengakibatkan suatu efek yang sangat positif.

Untuk lebih jelas mengenai teknik terapi yang digunakan dalam hipnoterapi anda bisa membaca buku saya Hypnotherapy : The Art of Subconscious Restructuring.

Contoh yang negatif seperti ini. Misalnya anda, sebagai orangtua dan figur yang dipandang memiliki otoritas, saat mengetahui bahwa anak anda nilai ujiannya jauh di bawah harapan anda, berkata, “Dasar anak goblok. Kamu selalu dapat nilai jelek. Dari dulu sampe sekarang nilaimu nggak pernah bagus. Heran ya... kok ada anak goblok seperti kamu?”

Apa yang anda lakukan pada anak anda adalah satu bentuk hipnosis yang sangat dahsyat. Hipnosis yang anda lakukan mampu menembus langsung ke pikiran bawah sadar anak, melalui gerbang pikiran bawah sadar yang saat itu terbuka lebar akibat perasaan takut mendapat nilai jelek, dan akan sangat efektif. Mengapa efektif? Karena kalimat yang anda “pilih” sungguh merupakan afirmasi yang sangat ampuh. Coba anda perhatikan kembali kalimat di atas, khususnya kata-kata yang saya garisbawahi. 

Saya beri contoh lain yang positif. Bagaimana caranya membuat anak, misalnya usia 1,5 – 4 tahun,  yang sulit makan menjadi suka makan? Bagaimana caranya membuat anak yang sampai usia 7 atau 8 tahun masih juga “ngompol” (bahasa teknisnya, enuresis) saat tidur malam hari menjadi tidak “ngompolan”?

Dengan pemahaman akan cara kerja pikiran kita dapat dengan mudah memasukkan sugesti positif untuk membantu anak mengubah perilakunya. Caranya bagaimana? Kita harus tahu kapan gerbang bawah sadar terbuka secara alamiah dan pada saat itu kita harus segera memasukkan afirmasi positif, tentunya dengan pilihan kata yang cermat.

Saya mengajarkan teknik ini pada setiap orangtua yang hadir di seminar saya di berbagai kota. Hasilnya? Cespleng. Saya sendiri sampai saat ini, meskipun saya mengerti betul cara kerja teknik ini, sering kagum dan takjub melibat betapa cepatnya perubahan bisa terjadi. 

Sebaliknya bila kita tidak berhati-hati saat berbicara dengan anak kita, terutama dengan kata-kata yang kita gunakan, maka secara sengaja maupun tidak, kita telah melakukan hipnosis yang efeknya akan sangat negatif.

Riset yang dilakukan para pakar di bidang pikiran dan otak, di luar negeri., mendapatkan satu hasil yang perlu kita cermati dengan hati-hati sekali. Riset itu menyatakan bahwa anak saat berusia 0 – 3 tahun hanya beroperasi dengan menggunakan pikiran bawah sadar. Dengan demikian apapun yang dialami oleh seorang anak pada 3 tahun pertama hidupnya akan diserap semuanya oleh pikiran bawah sadarnya. Jika mau lebih tepat, sebenarnya pikiran bawah sadar sudah aktif sejak anak masih dalam kandungan.

Filter mental (pikiran sadar) baru mulai terbentuk saat anak berusia 3 tahun. Filter ini akan semakin menebal pada usia 8 tahun dan akan sangat tebal pada usia 13 tahun. Walaupun pikiran sadar ini semakin kuat kerjanya pada usia 13 tahun, dari penelitian yang lain didapatkan satu penemuan menarik, yaitu anak mulai usia 0 – 13 tahun masih sangat banyak yang beroperasi pada gelombang otak theta ( 4 – 8 Hz). Ini adalah gelombang pikiran bawah sadar.

Penasaran dengan penemuan ini saya mengukur gelombang otak anak kami yang bungsu, usia 5,5 tahun, dengan piranti Brain Wave 1 yang saya miliki dan menemukan satu hal yang sangat mengejutkan saya. Hasil pengukuran menunjukkan anak kami, saat dalam kondisi sadar, ternyata beroperasi dengan sama sekali tidak ada gelombang beta, sangat sedikit gelombang otak ”very low” alpha, dan sangat banyak theta dan delta.

Bisa anda bayangkan betapa berbahayanya bila kami, dan juga anda tentunya sebagai orangtua, salah bicara dan bersikap pada anak. Apapun yang kita katakan akan langsung tertanam di pikiran bawah sadar anda. Selanjutnya akan menjadi program pikiran yang menentukan perilakunya.

Berikut saya akan berikan contoh efek positif dan negatif hipnoterapi.

Di buku Hypnotherapy : The Art of Subconscious Restructuring saya memberikan empat contoh, dari sekian banyak kasus, yang pernah saya tangani dengan hasil yang sangat baik. Ada klien yang telah mengalami trauma selama 41 tahun dan bisa disembuhkan hanya dalam waktu 30 menit terapi. Ada juga yang phobia tensoplast, selama lebih dari 20 tahun, sembuh total juga hanya dalam waktu sekitar 30 menit. Ada juga yang phobia matematika dan juga ada yang gagap berhasil disembuhkan dengan hipnoterapi.

Ada klien yang hanya membutuhkan satu sesi terapi. Ada yang membutuhkan beberapa sesi. Bergantung situasi dan kondisi klien.

Nah, apa bahayanya hipnoterapi?

Hipnoterapi akan sangat berbahaya bila teknik terapi yang digunakan salah. Ini ada satu kasus nyata. Seorang klien yang ingin berhenti merokok mendatangi seorang hipnoterapis. Oleh si hipnoterapis, si klien diinduksi, masuk ke kondisi trance, lalu disugesti dengan kalimat berikut:

Mulai sekarang setiap kali anda merokok anda akan merasa muak dan jijik dengan rokok. Setiap kali anda mencium bau rokok anda merasa muak, mual, dan jijik. Mulai saat ini dan seterusnya anda benci dan tidak suka merokok. Bila anda merokok, anda akan merasakan seluruh tubuh anda sakit sekali, kepala anda pusing, dan langsung terbayang paru-paru anda kena kanker yang sangat ganas dan mengerikan. Anda tentunya tidak mau kena kanker ganas dan mengerikan, bukan? Untuk itu anda harus berhenti merokok mulai sekarang dan seterusnya

Untuk orang awam, apa yang dilakukan si hipnoterapis ini kesannya sudah benar. Tahukah anda bahwa teknik terapi seperti di atas, kalau di Amerika, masuk kategori malpraktik? Si hipnoterapis bisa dituntut dan masuk penjara.

Apa yang salah dengan teknik di atas? Lha, kalau si klien tetap merokok, apa yang akan terjadi? Program yang menyatakan ”Bila anda merokok, anda akan merasakan seluruh tubuh anda sakit sekali, kepala anda pusing, dan langsung terbayang paru-paru anda kena kanker yang sangat ganas dan mengerikan” akan langsung bekerja. Bisa jadi si klien akan benar-benar kena kanker paru-paru.

Anda lihat sekarang betapa bahayanya bila caranya salah? Saat dalam kondisi trance pikiran sadar klien ”off” sehingga sugesti yang diberikan akan langsung tertanam di pikiran bawah sadar klien.

Apakah mungkin hipnoterapis bisa ”mengarahkan” klien untuk melakukan hal-hal yang merugikan diri klien? Jawabnya bisa namun tidak mudah.

Saat seorang klien dalam kondisi deep trance, tiga buah filter pada pikiran sadar tidak bisa bekerja/off. Ketiga filter ini, yang dikenal dengan nama three antisuggestive barriers, berfungsi untuk menyaring berbagai informasi yang diterima pikiran sadar.

Saat dalam kondisi deep trance yang masih aktif adalah dua buah filter yang terletak di pikiran bawah sadar. Filter pertama memeriksa apakah informasi yang masuk, bila dilaksanakan, akan membahayakan diri klien atau tidak. Filter kedua memeriksa apakah informasi ini, bila dilaksanakan, akan bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dipegang oleh klien. Bila berhasil lolos dari dua filter ini maka informasi/sugesti (baca: perintah) ini akan dilaksanakan dengan patuh.

Jadi, seorang klien akan melakukan perintah yang disugestikan oleh hipnoterapis bergantung pada dua hal. Pertama, kecakapan hipnoterapis dalam meyakinkan pikiran bawah sadar klien bahwa si klien harus melakukan yang diminta oleh si hipnoterapis. Kedua, apabila ternyata nilai-nilai yang dipegang oleh klien mengijinkan untuk melakukan perintah yang diminta oleh hipnoterapis.

Bingung? Saya beri contoh konkrit.

Misalnya seorang klien, sebut saja Anto, sangat sayang pada orangtuanya. Saat dihipnosis, masuk dalam kondisi deep trance, ia diminta untuk membunuh orangtuanya. Apakah sugesti/perintah ini akan ia laksanakan? Tidak!

Mengapa? Karena perintah ini bertentangan dengan nilai dasar yang Anto pegang. Anda jelas sekarang?

Misalnya Anto, yang ternyata sangat kuat ibadahnya, diminta menginjak kitab suci agamanya. Apakah akan ia lakukan? Tidak! Menurut nilai dasar yang Anto pegang, menginjak kitab suci akan masuk neraka dan akan dibakar tujuh kali. Tentu saja Anton tidak mau masuk neraka.

Lain halnya bila Anto memang sangat membenci kedua orangtuanya. Atau misalnya ia adalah seorang atheis. Kalau begini kondisinya maka perintah untuk membunuh orangtuanya atau menginjak kitab suci akan dilakukan dengan patuh.

Pembaca, sugesti apapun tidak akan dilakukan bila tidak mendapat persetujuan dari pikiran bawah sadar klien.

Saya yakin, sekarang di benak anda ada pertanyaan berikut, ”Bagaimana caranya untuk bisa meyakinkan dan mendapat persetujuan dari pikiran bawah sadar klien sehingga mau melakukan yang kita minta?”. Saya tidak akan memberikan jawaban untuk pertanyaan ini. 

Menjawab pertanyaan apakah hipnosis/hipnoterapi berbahaya atau tidak? Jawabnya tidak. Hipnosis/hipnoterapi bersifat netral. Tidak baik atau buruk. Baik atau buruk bergantung pada siapa yang menggunakan dan untuk apa. Jadi ini semua kembali kepada diri kita masing-masing.

Sama seperti sebuah pisau. Pisau bisa digunakan untuk memasak. Pisau yang sama, setelah digunakan untuk memasak, bisa digunakan untuk membunuh orang.

Jadi, sebenarnya yang berbahaya apakah hipnosis/hipnoterapi ataukah hipnotis/hipnoterapis?

Setiap kali mendapat pertanyaan seperti di atas saya selalu teringat dengan apa yang dikatakan oleh paman Spiderman, ”With great power comes great responsibility”.

Baca Selengkapnya

The Nature of Beliefs

21 Juli 2010

"The starting point for a better world is the belief that it is possible."
- Norman Cousins

Sudah sangat banyak artikel yang ditulis mengenai belief atau kepercayaan. Saya juga sudah sangat sering menyinggung mengenai belief dalam berbagai artikel saya. Namun, semakin saya mempelajari belief semakin banyak hal baru saya temukan dan semakin banyak insight yang saya dapat.

Apakah sebenarnya belief?

Kamus elektronika Encarta mendefiniskan belief/kepercayaan sebagai:
- acceptance of truth of something: acceptance by the mind that something is true or real, often underpinned by an emotional or spiritual sense of certainty (penerimaan kebenaran akan sesuatu: penerimaan oleh pikiran bahwa sesuatu adalah benar atau nyata, sering kali didasari oleh perasaan pasti yang bersifat emosional atau spiritual)
- trust: confidence that somebody or something is good or will be effective (percaya: keyakinan bahwa seseorang atau sesuatu adalah baik atau akan efektif)
- something that somebody believes in: a statement, principle, or doctrine that a person or group accepts as true (sesuatu yang orang percaya: pernyataan, prinsip, atau doktrin yang seseorang atau seklompok orang terima sebagai hal yang benar)
- opinion: an opinion, especially a firm and considered one (pendapat: sebuah pendapat, khususnya yang kokoh dan telah dipertimbangkan)
- religious faith: faith in God or in a religion's gods (keyakinan agama: kepercayaan/iman terhadap Tuhan atau terhadap para dewa/i)

Sejalan dengan definisi di atas maka belief adalah ide yang kita yakini kebenarannya dan kita tidak lagi mempertanyakan kebenaran dari ide tersebut, padahal belum tentu ide ini benar-benar-benar/valid. Belief adalah program pikiran yang aktif dan bekerja di latar belakang komputer mental/pikiran, bergerak di antara pikiran sadar dan pikiran bawah sadar kita. Setiap belief merupakan ringkasan atau kesimpulan, yang dulunya dibuat oleh pikiran sadar, terhadap suatu pengalaman dari kejadian di masa lalu. Ringkasan atau kesimpulan ini adalah generalisasi terhadap suatu situasi tertentu, cara untuk mencapai atau menghindari sesuatu. Setiap belief memberikan short cut atau "instruksi jalan pintas" bagaimana kita harus bersikap, bertindak, dan berperilaku.

Beberapa dari belief kita sangat bermanfaat, konstruktif, suportif, dan membawa kita semakin dekat dengan apa yang kita inginkan dalam hidup. Ada juga belief yang sudah "ketinggalan jaman", sudah nggak mode lagi, sudah kuno dan menghambat perjalanan kita dalam mencapai impian. Untuk belief seperti ini kita perlu segera memodifikasi, merekonstruksi, atau bahkan menggantinya dengan belief baru. Hal senada dengan lugas dikatakan oleh Richard Bishop, "The art of living deliberately is the art of examining this vast storehouse of beliefs, dropping the out-moded ones, consciously choosing those that serve your goals, and carefully crafting new ones in greatest alignment with your desires". (Seni hidup dengan tujuan yang jelas adalah seni memeriksa gudang besar belief, membuang yang kuno, secara sadar memilih yang mendukung pencapaian tujuan-tujuan anda, dan secara hati-hati mengukir belief baru yang sejalan dengan impian anda).

Memahami belief system akan memudahkan dan memberdayakan kita untuk "melihat", menganalisis, dan mengganti belief yang tidak mendukung. Sebaliknya kita juga dapat semakin memperkuat dan memanfaatkan belief yang mendukung keberhasilan kita. Belief menentukan realita kita seperti yang dikatakan oleh Roy Blount, Jr., "It's my belief that sanity lies in realizing that reality is not exactly what we had in mind" (Saya percaya bahwa kewarasan adalah dengan menyadari bahwa realitas tidak persis sama dengan apa yang ada di pikiran kita).

Pakar NLP Robert Dilts mengatakan bahwa belief mempunyai tiga bentuk:

  • sebagai generalisasi relasi di antara pengalaman
  • sebagai generalisasi makna
  • sebagai generalisasi batasan/limit

Dalam setiap kondisi faktor utamanya adalah generalisasi. Generalisasi berasal dari kata generalization yang berarti "a statement presented as a general truth but based on limited or incomplete evidence" atau "sebuah pernyataan yang dipandang sebagai kebenaran umum tetapi hanya berdasar pada bukti yang terbatas atau tidak lengkap".

Untuk lebih mudahnya generalisasi dapat dipandang sebagai suatu simpulan atas suatu kejadian atau pengalaman. Selanjutnya setelah simpulan ini dipandang sebagai hal yang benar dan kita terima "kebenarannya" kita lupa bahwa ini hanyalah suatu simpulan. Bisa jadi simpulan kita ternyata salah.

Kita mengkonstruk aturan internal mengenai relasi, makna, dan batasan sebagai hasil dari kebiasaan inteprestasi/pemaknaan pengalaman kita dengan tujuan untuk memudahkan proses pembuatan keputusan. Generalisasi, untuk mudahnya, dapat kita samakan dengan simpulan.

Kita memahami dunia di sekitar kita yang kompleks dengan menciptakan aturan-aturan sederhana untuk pengalaman masa lalu. Aturan ini kadang kita gunakan untuk menterjemahkan (baca: mengerti) pengalaman baru. Aturan ini sangat membantu dan memudahkan kita untuk menjalani hidup. Bila kita selalu harus mencari makna dari setiap pengalaman hidup, melalui proses berpikir logis, maka hal ini akan sangat membebani pikiran kita. Belief merupakan jalan pintas untuk membuat keputusan dan sebagai generalisasi untuk membantu kita bereaksi dengan cepat tanpa harus lama-lama berpikir.

Limiting belief atau kepercayaan yang bersifat menghambat meliputi banyak hal, antara lain:

  • Kepribadian (mis: rasa percaya diri, sifat humoris)
  • Citra diri (mis: ukuran, berat tubuh, warna kulit, bentuk tubuh)
  • Kecerdasan (mis: IQ, EQ, CQ, FQ, SQ)
  • Orang lain (mis: kawan, musuh, bos, orangtua, anak)
  • Kelompok orang (mis: yang berjanggut, para direktur atau komisaris perusahaan, para orangtua)
  • Institusi (mis: kepolisian, sekolah, Kantor Pelayanan Pajak)
  • Peluang (mis: berat tubuh saya menghalangi saya, seandainya saya lebih berani, orang lain bernasib lebih baik dari saya)
  • Performa (mis: orang lain bisa sukses tapi saya tidak)

Bagaimana belief terbentuk?

Belief terbentuk melalui suatu proses yang rumit. Kita perlu memahami proses pembentukkan belief agar mudah melakukan modifikasi atau perubahan pada belief. Langkah awal untuk mengubah belief adalah dengan percaya bahwa belief bisa diubah atau dimodifikasi sesuai kebutuhan kita. Lha, kalau anda nggak percaya bahwa belief bisa diotak-atik maka belief ini akan menghambat upaya untuk mengubah belief anda.

Proses pembentukan belief diawali saat kita mengalami suatu kejadian. Setelah mengalami suatu kejadian apa yang kita lakukan? Pikiran akan memberikan makna pada pengalaman ini. Ingat! Setiap kejadian pada dasarnya bersifat netral. Tidak punya makna. Pikiranlah yang memberikan makna. Makna yang diberikan bisa positif, negatif, atau netral. Dan makna ini selalu benar menurut kita.

Selanjutnya makna akan mengakibatkan munculnya emosi yang sejalan dengan makna itu. Bila pikiran kita memberikan makna positif terhadap suatu pengalaman atau kejadian yang kita alami maka yang muncul adalah emosi positif. Bila maknanya negatif maka emosinya juga negatif. Setelah itu emosi akan mempengaruhi proses selanjutnya.

Apakah setelah muncul emosi kita akan langsung mengadopsi suatu belief? Oh, tidak. Prosesnya nggak sesederhana ini. Setelah emosi muncul, pikiran akan mencoba menguji kebenaran makna. Pikiran kita akan mencari data-data pendukung terhadap makna yang telah diputuskannya. Pikiran, dalam proses mencari data pendukung, menggunakan navigasi yang dipengaruhi oleh jenis dan tingkat intensitas emosi.

Saat pikiran berhasil menemukan data pendukung maka makna diterima sebagai sesuatu yang benar atau valid. Sampai di sini pikiran masih juga belum mengadopsi belief atas makna suatu kejadian. Tahap selanjutnya adalah pikiran, setelah menerima dan menyatakan "kebenaran" suatu makna, mulai menyesuaikan diri dan mengeras menjadi suatu bentuk respon yang bersifat repetitif (kebiasan berpikir). Nah, setelah ini barulah tercipta pola belief yang mendukung mode berpikir.

Apakah proses ini hanya sampai di sini? Tidak. Masih ada dua tahap lanjutan. Apa yang terjadi setelah pikiran mengadopsi belief? Belief akan mempengaruhi pola pikir dan perilaku. Yang dimaksud dengan perilaku adalah respon yang secara otomotasi akan muncul di masa depan terhadap pengalaman yang serupa dengan pengalaman sebelumnya.

Apa yang terjadi bila kita bertindak atau berperilaku dengan suatu pola tertentu? Benar sekali, perilaku kita menentukan pencapaian prestasi hidup alias nasib kita.

Lalu, bagaimana caranya untuk mengubah belief? Belief mempunyai "logika"nya sendiri. "logika" belief belum tentu sejalan dengan logika pikiran sadar anda. "Logika" belief belum tentu sejalan dengan realitas. Kita harus memahami benar prinsip ini untuk bisa mengubah belief kita.

Ada satu kisah menarik yang diceritakan oleh Abraham Maslow. Seorang psikiater menangani kliennya yang percaya bahwa ia (si klien) adalah mayat. Si psikiater ini berusaha keras untuk menjelaskan, dengan menggunakan logika orang waras, bahwa hal ini tidak masuk akal. Semua cara telah dilakukan untuk meyakinkan si klien bahwa ia bukan mayat. Namun si klien tetap bersikeras percaya bahwa ia adalah mayat.

Dalam keputusasaannya tiba-tiba terbersit satu ide dalam pikiran si psikiater. Ia lalu bertanya pada kliennya, "Mayat mengeluarkan darah, nggak?". "Sudah tentu tidak. Mana ada mayat yang mengeluarkan darah", jawab si klien mantap.

Si psikiater lalu meminta ijin untuk menusuk ujung jari kliennya dengan jarum. Apa yang terjadi? Sudah tentu ujung jari si klien mengeluarkan darah.

Si klien, saat melihat jarinya mengeluarkan darah, begitu kaget dan terperangah, "Ini nggak masuk akal. Nggak ada mayat yang mengeluarkan darah". Si klien sembuh.

Mengapa ia sembuh? Karena apa yang dilakukan psikiater ini telah membuktikan bahwa "logika" belief si klien ternyata salah. Begitu "logika" belief terbukti salah maka belief tidak lagi mempunyai pendukung. Dengan demikian belief akan rontok dengan sendirinya.

Baca Selengkapnya

Understanding and Working with The Three Anti-Suggestive Barrier

21 Juli 2010

"To understand and work with the mind, one has to go beyond the mind."
- Adi W. Gunawan

"Saya jengkel sama diri saya, Pak," keluh seorang klien saya.

"Maksud Ibu?" tanya saya.

"Saya benar-benar ingin berubah. Saya ingin berkembang. Saya ingin hidup saya bisa lebih baik. Saya sudah coba banyak hal. Tapi kenapa kok sepertinya saya ini sangat sulit berubah. Makin saya paksakan diri saya untuk berubah, rasanya semakin sulit berubah. Apa saya ini nggak normal ya, Pak?" jawab klien saya sambil menarik napas panjang.

"Bu, apa yang Ibu alami ini adalah sesuatu yang sangat normal. Justru kalau Ibu sangat mudah berubah, ini yang nggak normal," jawab saya sambil mulai melakukan induksi dalam bentuk mental confusion.

"Lha, masa yang gampang berubah dikatakan nggak normal. Bukankah perubahan adalah sesuatu yang diinginkan setiap orang?" tanya Ibu ini dengan penasaran.

Pembaca yang budiman. Kita semua ingin berubah, ke arah yang lebih baik tentunya. Namun mengapa perubahan tampaknya sulit terjadi? Mengapa saya mengatakan bahwa "sulit berubah" adalah sesuatu yang baik dan normal?

Bisa Anda bayangkan bila kita sangat mudah berubah (baca: dipengaruhi)? Kita akan menjadi orang plin plan. Tidak punya pendirian. Kita akan menjalani hidup tidak berdasarkan pendirian atau prinsip hidup kita. Kita senantiasa berubah karena pengaruh lingkungan, apa yang kita baca, orang di sekitar kita, iklan, dan berita di media masa.

Lalu, mengapa kita sulit berubah?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu melihat proses pembentukan dan perkembangan pikiran. Saat kita masih kecil, sejak dalam kandungan sampai usia tiga tahun, praktis kita hanya beroperasi dengan menggunakan pikiran bawah sadar. Saat ini belum ada pikiran sadar. Pikiran sadar baru mulai terbentuk dan berkembang pada usia tiga tahun. Pikiran sadar semakin berkembang, semakin tebal, dan semakin kaku sesuai dengan bertambahnya usia. Sekitar pada usia sebelas tahun pikiran sadar telah benar-benar tebal dan menjadi suatu filter yang dengan sangat aktif dan efektif menyaring berbagai informasi yang diterima pikiran.

Nah, pertanyaannya sekarang adalah apa hubungan antara menebalnya filter pikiran sadar dengan sulitnya perubahan? Filter apa sih yang ada di pikiran sadar? Bagaimana cara kerja filter ini?

Melalui penelitian yang mendalam selama lebih dari dua puluh lima tahun di Sofia, Bulgaria, Georgi Lozanov menemukan bahwa manusia punya tiga jenis filter. Apabila kita mengerti cara kerja masing-masing filter ini maka kita dapat mengakses atau memasukkan berbagai sugesti atau program pikiran langsung ke pikiran bawah sadar tanpa mendapat perlawanan atau penolakan. Hasilnya? Perubahan cepat dan permanen dapat segera terjadi.

Lozanov adalah Bapak Accelerated Learning dunia. Dengan teknik Suggestopedia yang ia kembangkan, ia mampu mengajarkan kosa kata bahasa asing, misalnya Inggris atau Perancis, kepada mahasiswanya sebanyak 1.200 kata per hari. Benar Anda tidak salah baca. Seribu dua ratus kata per hari dengan tingkat retensi yang sangat tinggi, sekitar 98 persen. Namun bukan ini yang akan saya bahas dalam artikel ini.

Kembali kepada ketiga filter pikiran di atas. Filter ini disebut anti-suggestive barrier. Sesuai dengan namanya, filter ini justru berfungsi sebagai penghambat sugesti. Tanpa filter ini maka kita akan terlalu mudah terpengaruh dan terlalu mudah berubah. Hal ini justru akan sangat membahayakan diri kita. Filter ini berfungsi untuk melindungi kondisi status quo yang kita rasa atau pandang sebagai kondisi yang aman dan berharga. Filter ini berfungsi sebagai pelindung diri kita dari berbagai input yang mungkin akan mengakibatkan diterimanya kepercayaan (baca: program) baru. Dengan kata lain, anti-suggestive barrier berfungsi untuk menolak input yang masuk ke dalam pikiran sadar yang tidak sejalan dengan data atau program yang telah berada di pikiran bawah sadar.

Ketiga anti-suggestive barrier ini adalah logical barrier, intuitive (affective) barrier, dan ethical barrier.

Logical barrier berfungsi melindungi individu dengan cara menolak setiap sugesti yang bertentangan dengan aturan logika seorang si individu. Contohnya? Misalnya income Anda Rp2 juta per bulan. Anda ingin meningkatkan income Anda. Untuk itu Anda melakukan afirmasi atau berkata, "Income saya Rp 10 juta." Sugesti ini akan ditolak oleh pikiran sadar. Mengapa? Karena logical barrier akan melakukan cross check data income Anda yang sesungguhnya, dengan mengakses data yang ada di pikiran bawah sadar, dan membandingkan dengan input yang Anda masukkan.

Hal yang sama terjadi saat kita berusaha memotivasi anak kita, yang misalnya nilai ujian matematikanya hanya 4, dengan berkata, "Kamu anak pintar." Saat pikiran sadar si anak menerima sugesti ini, sebelum diteruskan ke pikiran bawah sadar, maka logical barrier akan bekerja dan melakukan pengujian atau validasi apakah data ini sejalan dengan yang tersimpan di data base. Setelah diperiksa kebenaran datanya maka di pikiran si anak akan muncul pertanyaan, "Lha, kalau saya pintar lalu mengapa nilai ujian saya selalu di bawah 5"? Dengan demikian sugesti ini pasti ditolak.

Intuitive/affective barrier berfungsi melindungi individu dengan cara menolak setiap sugesti, suasana, situasi, atau tindakan yang dirasa atau dipandang, oleh si individu, akan mengancam atau merugikan keselamatan fisik, mental dan emosi, dan atau yang akan melukai harga dirinya. Contohnya? Misalnya saat Anda kecil orangtua Anda sering ribut karena masalah uang. Maka setelah Anda dewasa hanya dengan memikirkan kemungkinan untuk sukses secara finansial bisa membuat Anda merasa tidak nyaman dan aman. Mengapa? Karena pikiran Anda telah me-link antara uang dan keretakan dalam hubungan keluarga.

Contoh lain dalam dunia pendidikan. Bila seorang anak telah berkali-kali gagal dalam bidang studi tertentu, katakanlah bahasa Inggris, maka saat harus belajar bahasa Inggris ia akan merasa tidak nyaman. Mengapa? Karena ia "tahu" bahwa ia tidak mampu dan tidak bisa. Kalau ujian nilainya pasti jelek. Kalau nilainya jelek berarti ia anak yang bodoh. Perasaan bodoh dan tidak mampu ini merupakan beban mental dan emosi yang berat. Dan kita tahu tidak ada seorang pun di dunia ini yang mau dikatakan sebagai orang bodoh. Jadi, saat kita berkata, "Bahasa Inggris itu gampang kok." Si anak pasti menolak sugesti ini.

Ethical barrier berfungsi melindungi individu dengan cara menolak semua sugesti yang bertentangan dengan nilai-nilai akan hal yang benar dan salah, menurut individu itu. Contohnya? Seorang kawan, saat saya jelaskan mengenai prinsip Becoming a Money Magnet, berkata, "Wah, cara kerja seperti ini nggak benar."

"Apanya yang nggak benar?" kejar saya.

"Cari duit nggak bisa seperti itu. Kalau terlalu mudah, apalagi uang yang nyari kita, maka ini nggak benar. Kalau mau sukses harus melalui kerja keras. Semakin keras kerjanya maka suksesnya akan semakin bermakna," jawab kawan saya ini dengan yakin.

Dari pernyataan di atas Anda bisa lihat bahwa kawan saya menolak pendapat atau sugesti saya bahwa cari uang itu mudah. Dan memang benar. Kawan saya ini harus susah payah untuk bisa buat duit.

Contoh lain adalah saat saya menerima komplain dari salah satu orangtua murid kami. Sebagai pendiri dan sekaligus kepala sekolah Anugerah Pekerti, di Surabaya, saya berusaha memberikan proses pembelajaran yang sangat memudahkan anak didik kami, dengan menerapkan berbagai teknologi pikiran yang saya pelajari dan kuasai. Salah satunya adalah dengan menerapkan SALT (Suggestive Accelerated Learning and Teaching). SALT. adalah bentuk advance dari Genius Learning Strategy dan murni menggunakan teknik Suggestopedia Lozanov.

Dengan teknik SALT murid di sekolah kami belajar dengan hati riang gembira, stress free, dengan tingkat penyerapan materi yang sangat cepat dan tentu saja dengan level pemahaman yang sangat baik.

Meskipun demikian ada orangtua yang komplain, ?Pak Adi, anak-anak di sini terlalu enak. Kok, nggak pernah lihat mereka belajar. Kesannya mereka setiap hari hanya bermain dan bermain saja di sekolah ini.?

"Lha, maunya Ibu bagaimana"? tanya saya.

"Itu lho Pak. Belajar itu kan perlu upaya keras. Saya dulu kalau belajar sampai stres dan nangis-nangis. Rasanya nggak masuk akal kalau anak di sini belajarnya begitu mudah dan santai. Nantinya apa mereka siap untuk menghadapi tantangan hidup?" tanya si ibu.

Saya hanya tersenyum mendengar jawaban ini. Tanpa banyak komentar saya lalu meminta staf saya untuk mengambil lembar ujian matematika anak kelas 1 SD dan saya tunjukkan pada si ibu sambil bertanya, "Kalo seperti ini apakah anak-anak kita belajarnya santai dan tidak siap menghadapi tantangan hidup"?

"Wah, kalau soalnya seperti ini, ini namanya keterlaluan pak. Lha, masa soalnya begini banyak," jawab si ibu kaget.

Apa yang terjadi? Kami memberikan soal ujian sebanyak 200 soal pada murid kami. Waktu yang tersedia maksimal 45 menit. Semuanya harus dijawab dengan melakukan perhitungan matematis. Tidak ada multiple choice.

Mengapa ibu ini "menolak" cara belajar yang kami terapkan? Karena menurutnya cara belajar yang benar adalah kalau sulit, butuh upaya besar, dan kalau perlu sampai stres seperti yang dulu ia alami.

Anda jelas sekarang? Untuk bisa melakukan perubahan, kita harus tahu cara kerja masing-masing barrier dan harus bisa bekerja sama, sesuai dengan prinsip kerja barrier ini, agar sugesti yang kita berikan tidak ditolak dan akhirnya bisa masuk ke pikiran bawah sadar dan menjadi program baru yang membantu kita untuk sukses.

Jadi, kalau kita sulit berubah maka ini adalah sesuatu yang positif dan wajar. Namun kalau kita tidak bisa berubah, nah ini yang jadi masalah.

Nah, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana caranya untuk bisa melewati ketiga barrier ini? Cara yang paling mudah adalah dengan menggunakan kondisi hipnosis atau trance. Saat trance, pikiran sadar untuk sementara waktu off alias tidak bekerja. Kalaupun masih aktif maka daya tolak terhadap sugesti sudah sangat lemah.

Bagaimana kalau dalam kondisi sadar atau beta? Untuk menghadapi logical barrier, wording yang kita gunakan dalam menyusun kalimat sugesti harus bisa mem-bypass fungsi evaluasi kritis dari barrier ini. Kita bisa menggunakan kalimat yang diawali dengan kata "Saya ingin......", "Kondisi ideal......", "Saya memutuskan.....", "Saya berharap......", "Jangan.......".

Kalau untuk menghadapi intuitive (affective) barrier dan ethical barrier biasanya saya menggunakan metafora dan atau contoh kisah nyata yang bersifat mendesugesti atau merontokkan belief yang dipegang klien. Intinya adalah bagaimana bisa membuat klien percaya bahwa apa yang mereka yakini adalah sesuatu yang kurang tepat.

Misalnya, ada klien yang yakin bahwa cari uang itu susah atau uang adalah akar segala kejahatan. Yang saya lakukan adalah mengajak dan mengajar klien menggunakan kemampuan berpikir logisnya untuk merenungkan kebenaran keyakinannya. Biasanya pikiran klien akan terbuka dan sadar bahwa apa yang mereka yakini selama ini ternyata salah dan justru sangat merugikan dirinya sendiri.

Demikian juga bila ada anak yang merasa bahwa belajar itu sulit. Biasanya kesulitan belajar anak adalah sulit menghapal dan sulit menghitung. Untuk mengatasi hal ini saya mengajarkan teknik memori dan teknik menghitung kepada si anak. Hanya dalam waktu sekejap si anak mampu menghapal 25 kata acak dengan sempurna. Demikian juga dengan menghitung. Dengan teknik tertentu anak mampu menghapal tabel perkalian dengan sangat cepat atau mengerjakan perkalian tiga digit kali tiga digit dengan sangat mudah.

Hal ini sudah tentu sangat ampuh dalam merontokkan kepercayaan anak bahwa belajar itu susah. Saat si anak percaya bahwa belajar itu mudah maka langkah selanjutnya adalah tinggal memperkuat belief itu.

Baca Selengkapnya

How to Make Affirmations Work for You

21 Juli 2010

No man means all he says, and yet very few say all they mean, for words are slippery and thought is viscous.
- Henry Brooks Adams

Dalam workshop "Becoming a Money Magnet" yang barusan kami selenggarakan di kota Batu, Malang, saat saya menjelaskan mengenai "Why Affirmations Fail?", ada peserta yang bertanya, "Pak, kami tahu bahwa Pak Adi dan Pak Aries akan mengajarkan cara melakukan reprogramming pikiran bawah sadar. Salah satunya adalah dengan afirmasi yang dilakukan secara efektif dalam kondisi Alfa atau Theta. Untuk orang yang nggak ikut workshop kan nggak bisa melakukannya dengan benar. Apa ada cara melakukan (afirmasi) yang bisa diterima pikiran bawah sadar walaupun kita ucapkan dalam kondisi Beta? Saya ingin berbagi informasi ini dengan kawan atau anggota keluarga saya." "Sudah tentu ada", jawab saya.

Apa yang saya jelaskan berikut ini adalah apa yang kami ajarkan di workshop. Saya akan jelaskan intisarinya saja. Artikel ini juga untuk menjawab berbagai pertanyaan yang saya terima melalui email dari para pembaca dan juga dari komentar yang di posting di Pembelajar.com.

Untuk bisa melakukan afirmasi dengan benar, saat dalam kondisi gelombang Beta, kita perlu memahami cara kerja pikiran. Pikiran terbagi ke dalam beberapa area. Salah satunya adalah Critical Area. Critical Area ini sebagian ada dalam wilayah pikiran sadar dan sebagian lagi di wilayah pikiran bawah sadar.

Saat kondisi sadar kita selalu menganalisis setiap informasi yang masuk. Yang melakukan ini adalah Critical Area dari pikiran sadar. Saat kita dihipnosis dan diminta melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang kita pegang maka, meskipun dalam kondisi trance, kita akan menolak permintaan si hipnotis. Bagian yang menolak ini adalah Critical Area dari pikiran bawah sadar.

Dalam kondisi sadar atau beta saat suatu informasi (afirmasi atau sugesti) masuk ke pikiran sadar maka informasi ini akan "menetap" di Critical Area. Informasi ini baru akan di-download ke pikiran bawah sadar saat kita tidur. Selama menunggu di Critical Area, dari pikiran sadar, informasi itu akan mengalami distorsi. Contohnya?

Misalnya anda ingin meningkatkan income anda. Saat ini anda berpenghasilan Rp. 2,5 juta per bulan dan anda melakukan afirmasi, "Penghasilan saya Rp.10 juta per bulan." Saat anda melakukan afirmasi ini maka informasi ini masuk ke Critical Area dari pikiran sadar. Anda membaca kalimat afirmasi berulang-ulang agar lebih tok cer alias manjur. Ditambah lagi, seperti yang dianjurkan di berbagai buku dan seminar, anda harus menulis afirmasi anda dalam Present Tense atau kalimat saat ini. Apa yang terjadi di pikiran anda? Mari kita lakukan analisis.

Informasi masuk ke Critical Area dari pikiran sadar karena anda melakukan afirmasi dalam kondisi beta. Kalimat yang digunakan adalah Present Tense atau sekarang. Hal ini berarti penghasilan anda saat ini Rp. 10 juta per bulan. Iya nggak? Nah, apakah kondisi income anda yang sesungguhnya saat ini benar Rp. 10 juta? Kan, tidak. Saat ini income anda hanya Rp. 2,5 juta per bulan. Pikiran sadar anda tahu bahwa ini nggak benar. Pikiran sadar ini lalu mendistorsi "kebenaran" informasi ini. Dan seperti yang telah saya jelaskan di atas informasi ini baru akan turun ke pikiran bawah sadar saat kita tidur. Nah, bisa anda bayangkan apa yang terjadi pada unit informasi "Penghasilan saya Rp.10 juta per bulan" saat masuk ke pikiran bawah sadar. Pasti sudah "babak belur" karena dikritik dan didistorsi oleh Critical Area dari pikiran sadar. Kalo sudah begini kira-kira afirmasi ini masih efektif, nggak? Anda tahu jawabannya, kan?

Itulah sebabnya mengapa pada artikel sebelumnya saya selalu menganjurkan untuk melakukan afirmasi dalam kondisi alfa atau theta. Saat kita dalam gelombang ini maka unit informasi akan mem-by pass Critical Area dari  pikiran sadar dan langsung masuk ke pikiran bawah sadar. 

Ok, kalau begini kondisinya, lalu bagaimana kita "mengakali" Critical Area dari pikiran sadar kita agar bisa menerima dan tidak mendistorsi afirmasi kita? Caranya mudah. Yang perlu dilakukan adalah kita menggunakan kekuatan Critical Area, dalam melakukan analisis, menjadi kelemahannya. Caranya?

Dalam melakukan afirmasi anda harus menggunakan kata "Saya dalam proses", "Saya memutuskan", atau "(kondisi) ideal saya".

Sekarang saya akan memperjelas maksud saya. Pada contoh di atas kita menggunakan kalimat "Penghasilan saya Rp.10 juta per bulan". Critical Area dari pikiran sadar tahu bahwa ini nggak benar. Sekarang coba kita gunakan kalimat "Saya dalam proses mencapai penghasilan Rp. 10 juta per bulan". Terasa bedanya? Critical Area tahu bahwa ini nggak bohong. Benar, kita belum mencapai penghasilan Rp. 10 juta per bulan. Tapi kita kan dalam proses. Jadi, unit informasi ini tidak akan terkena distorsi.

Selanjutnya coba anda rasakan kalimat "Saya memutuskan untuk mempunyai penghasilan Rp. 10 juta per bulan". Ini juga nggak bohong. Berapapun income anda saat ini nggak jadi masalah. Mengapa? Karena anda "memutuskan" untuk menaikkan income anda. Jadi ini sama sekali nggak ada urusan dengan kondisi riil anda.

Bagaimana dengan kalimat "Penghasilan ideal saya adalah Rp. 10 juta per bulan"? Afirmasi ini juga aman dari distorsi. Mengapa? Karena yang diafirmasi adalah penghasilan ideal. Kalau sekarang belum ideal ya nggak apa-apa. Afirmasi ini nggak ditolak.

Nah, karena Critical Area dari pikiran sadar nggak menolak maka, saat kita tidur, unit informasi ini masuk ke pikiran bawah sadar dalam kondisi utuh dan lengkap, tidak terdistorsi. Dengan demikian pemrograman pikiran bawah sadar menjadi sangat efektif.

Apakah ada cara lain untuk memprogram pikiran bawah sadar dalam kondisi beta? Sudah tentu ada. Berikut saya berikan beberapa tips lagi.

Pertama, anda perlu mengembangkan sikap syukur dan pasrah. Apapun yang anda capai dalam proses mencapai target anda perlu disyukuri. Kedua, anda perlu mencatat pencapaian kecil maupun besar dalam perjalanan anda mencapai target anda. Hal ini bertujuan untuk mengedukasi pikiran anda bahwa berada pada jalur yang benar. Ketiga, siapkan sebuah kotak "sukses". Kotak "sukses" ini fungsinya sebagai celengan atau tabungan. Anda bisa memotong gambar atau hal-hal yang ingin anda capai dan masukkan ke kotak "sukses" anda. Anda juga bisa menuliskan afirmasi anda, membacanya, dan memasukkannya ke kotak "sukses" anda.  Mengapa ini perlu dilakukan? Saat anda memotong gambar dan memasukkannya ke kotak "sukses" maka dalam hati anda tumbuh pengharapan. Saat anda menulis, membaca, dan memasukkan afirmasi anda ke kotak maka anda semakin mempertegas apa yang anda lakukan.

Contoh di atas adalah dalam aspek finansial. Dengan menggunakan prinsip yang sama anda bisa menggunakannya untuk meningkatkan aspek lain dalam hidup anda.

Akhir kata saya ucapkan selamat mencoba. Semoga bermanfaat dan salam sukses.

Baca Selengkapnya

The Magic Power of Words

21 Juli 2010

That you may be strong be a craftman in speech for the strength of one is the tongue, and the speech is mightier than all fighting
-Ptahhotep, written 5.000 years ago

Saya yakin anda pasti tahu atau mengenal kata afirmasi (affirmation). Affirmation, kalau menurut kamus elektronik Encarta mempunyai makna "declare something to be true: to declare positively that something is true" (menyatakan sesuatu sebagai hal yang benar) atau "declare support for something: to declare support or admiration for somebody or something" (menyatakan dukungan terhadap seseorang atau sesuatu).

Afirmasi sangat populer digunakan sebagai alat untuk memprogram ulang pikiran kita. Saya juga membahas mengenai hal ini pada artikel sebelumnya. Dalam kesempatan ini saya ingin mengulas afirmasi dengan cara yang agak berbeda. Saya membahas afirmasi sebagai bagian dari komunikasi kita sehari-hari baik yang bersifat verbal maupun nonverbal. Apa maksudnya?

Selama ini kita telah "terprogram" bahwa afirmasi adalah kalimat yang kita pilih secara khusus untuk kita baca berulang-ulang, seperti layaknya mantra, agar dapat mempengaruhi pikiran kita. Dengan demikian diharapkan akan terjadi perubahan pada diri kita.

Kita, selama ini, jarang memperhatikan pilihan kata yang kita gunakan saat kita berkomunikasi. Coba anda renungkan sejenak. Bagaimanakah pola komunikasi anda selama ini. Apakah saat suatu bentuk pikiran (thought) muncul di pikiran (mind) anda langsung bicara ataukah anda memperhatikan dengan seksama pilihan kata yang anda gunakan?

Mengapa kita perlu hati-hati dalam memilih kata? Setiap kata mempunyai kekuatan dalam memprogram pikiran kita. Kata yang kita gunakan ini, suka atau tidak, sebenarnya adalah adalah afirmasi yang sangat dahsyat efeknya. Kata yang kita gunakan, secara sadar atau tidak, menentukan level dan kualitas berpikir kita. Saya teringat saat membaca Bagavadgita. Saat itu Arjuna bertanya kepada kusir kereta kudanya, "Bagaimana cara yang paling efektif untuk mengetahui kualitas seorang manusia?"

Sang kusir, yang sebenarnya adalah penjelmaan dari Wisnu, dengan bijak menjawab, "Apa yang keluar dari mulut seseorang menentukan kualitas kepribadiannya."

Nah, sebelum saya lanjutkan, coba rasakan di hati anda apa perasaan yang muncul saat saya berkata, "Cinta", "Sukses", "Bahagia","Kasih Sayang", "Tenang" ,"Indah" ,"Damai", "Pengorbanan", "Benci", "Bangsat", "Jahanam", "Diperkosa".

Bisakah anda merasakan bedanya? Untuk lebih jelas merasakannya coba anda baca satu kata lalu tutup mata anda dan ulangi kata itu di dalam hati. Setelah itu baca kata lainnya lagi.

Bila anda melakukan dengan sungguh-sungguh maka di hati anda pasti akan muncul perasaan yang sejalan dengan kata yang anda ucapkan. Pertanyaannya sekarang adalah, "Mengapa hanya dengan mengucapkan suatu kata kita langsung merasakan suatu emosi?"

Pikiran kita bekerja bukan berdasarkan kata-kata. Pikiran bekerja dengan menggunakan gambar. Saat suatu kata kita ucapkan atau pikirkan maka pikiran akan langsung mengubah kata itu menjadi suatu gambar, di dalam pikiran kita, yang sejalan dengan pengalaman hidup kita, yang berhubungan dengan kata itu.

Misalnya? Ambil kata "Cinta". Saat kita mengucapkan atau memikirkan kata "Cinta" maka pikiran kita akan mengubahnya menjadi gambar ayah atau ibu, istri atau anak, pacar, gambar hati, hari pernikahan, saat-saat indah pacaran, atau mungkin mantan kekasih. Selanjutnya gambar ini membangkitkan emosi yang terkait dengannya. Selanjutnya emosi ini akan membangkitkan emosi lainnya. Demikian selanjutnya.

Contoh lainnya? Coba rasakan bedanya efek kata "Mati", "Tewas", "Wafat", "Mangkat", "Meninggal", dan "Mampus". Bisa anda rasakan bedanya? Meskipun semuanya mempunyai makna yang sama namun efeknya di pikiran dan perasaan berbeda.

Dengan memahami dan menyadari bahwa setiap kata mempunyai pengaruh yang begitu dahsyat maka kita harus benar-benar hati-hati memilih kosa kata.

Contoh saya di atas adalah kata yang berdiri sendiri. Bagaimana kalau sudah dirangkai menjadi kalimat? Wah ini jauh lebih dahsyat lagi efeknya. Coba, sekali lagi, anda rasakan di hati anda perbedaan kalimat berikut ini:
1. Massa menghakimi pencuri ayam hingga tewas
2. Massa menghajar pencuri ayam hingga tewas
3. Massa menganiaya pencuri ayam hingga tewas
4. Massa menyiksa pencuri ayam hingga tewas

Efek perasaan negatip ini akan lebih kuat bila anda membaca setiap kalimat dengan sungguh-sungguh dan menggunakan intonasi atau tekanan suara.
 
Sekarang, saya perlu menetralisir perasaan negatip di hati anda, karena membaca kalimat-kalimat di atas dengan perasaan positip. Coba rasakan kalimat berikut:
"Cinta kasih Ibu begitu tulus, hangat, dan tanpa syarat mengisi relung hati dan jiwaku, menguatkan dan sekaligus meneguhkan hatiku. Terima kasih Ibu."

Setiap kata atau kalimat yang memberikan pengaruh negatip, karena membangkitkan emosi negatif, harus kita hindari. Mengapa? Emosi negatip ini sangat merugikan diri kita karena bersifat sebagai lintah energi. Emosi negatip ini akan menguras energi psikis kita. Satu prinsip emosi yang jarang orang perhatikan adalah bahwa emosi, baik positip maupun negatip, akan semakin kuat bila sering diakses atau dirasakan.

Ada beberapa cara untuk melakukan hal ini. Pertama, kita memilih kosa kata dengan saksama dan bijak. Pilihlah kosa kata yang mempunyai efek positip. Kalaupun terpaksa menggunakan kata yang agak negatip maka kita perlu menyatakannya dengan cara yang positip. Misalnya anda merasa tersinggung. Daripada berkata "Saya tersinggung atas pernyataannya", anda akan lebih positip bila berkata "Saya kurang setuju dengan pernyatannya". Kalimat kedua selain lebih positip karena tingkat intensitas emosinya lebih rendah juga lebih intelek. Kalau anda kurang setuju maka anda pasti punya alasan sehingga bisa terjadi diskusi atau komunikasi yang konstruktif. Kalau anda tersinggung maka anda dikuasai emosi sehingga sulit berpikir jernih.
 
Kedua, kita mengurangi atau kalau bisa menghindari sama sekali membaca berita-berita negatip. Ketiga, menghindari berita televisi yang negatip. Keempat, menghindari kawan atau lingkungan yang negatip, yang sudah tentu banyak menggunakan kosa kata negatip.

Selain mengurangi atau menghindari yang negatip kita perlu memperbanyak pemakaian kosa kata positip yang mempunyai efek kuat. Rasakan bedanya kalimat ini, "Pikiran saya tenang" dan "Pikiran saya damai", "Saya suka baca buku" dan "Saya sangat menikmati membaca buku".

Oh ya, selain perlu hati-hati memilih kosa kata kita juga perlu mengembangkan perbendaharaan kata. Semakin banyak kosa kata seseorang biasanya semakin baik kemampuannya mengutarakan isi hati dan pikirannya. Dengan demikian akan semakin efektif ia melakukan afirmasi, komunikasi dengan diri sendiri maupun dengan orang lain, yang tentunya berpengaruh dalam memprogram pikirannya.

Bagaimana caranya? Ya, banyak-banyaklah membaca dan belajar. Anda harus, saya menggunakan kata "harus" bukan sebaiknya, mempunyai KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia. Selain itu anda perlu memiliki kamus bahasa Inggris. Minimal English-Indonesia. Akan lebih baik lagi kalau punya English-English Dictionary.

Saya menutup artikel ini dengan pertanyaan, "Sudahkah anda memiliki kamus bahasa, khususnya KBBI?

Baca Selengkapnya

Emosi: Kunci Rahasia Kebijaksanaan

21 Juli 2010

Journey into the less explored universe of own mind is the most exciting and challenging adventure that only a few dare to enjoy.
- Adi W. Gunawan

Kalimat pembuka di atas adalah hasil perenungan saya dalam proses perjalanan ke dalam diri. Ternyata pikiran adalah suatu alam yang begitu luas dan sangat jarang dijelajahi oleh kebanyakan orang. Pikiran adalah the last frontier yang menyimpan begitu banyak misteri dan keajaiban. Artikel berikut mengulas salah satu aspek yang berhubungan dengan pikiran yaitu aspek perasaan atau emosi.

Minggu lalu saya mendapat telpon dari seorang kawan lama, sebut saja Budi,  yang berkeluh kesah mengenai keadaan dirinya. Banyak hal yang ia keluhkan. Mulai dari kondisi keuangannya, keadaan kesehatannya, keadaan keluarganya, lingkungan kerjanya dan masih banyak lagi.

"Saya stress berat nih!", keluhnya.

"Kamu berkata "saya" stress berat. Bagian mana dari dirimu yang mengalami stress?" tanya saya sambil mulai berusaha mengubah mental state-nya.

"Maksudmu?", kawan saya balik bertanya dan mulai terlihat bingung.

"Tadi kamu bilang bahwa kamu stress berat. Saya ingin tahu bagian mana dari dirimu yang mengalami stress berat itu?", tanya saya lagi.

"Ya benar. Saya lagi stress berat. Saya nggak ngerti pertanyaanmu", jawab Budi semakin bingung.

"Begini Bud. Manusia terdiri dari badan dan batin. Nah bagian mana dari dirimu yang merasakan stress " Badan " pasti merasakan. Badanmu pasti merasa tidak enak karena setiap bentuk emosi akan berakibat pada tubuh fisik. Selain itu yang lebih penting lagi adalah kamu perlu mengerti aspek batinmu. Batin  manusia terdiri dari empat komponen yaitu: pikiran, perasaan, ingatan, dan kesadaran", jawab saya.

"Trus... kalau saya frustasi... bagian mana yang merasakan frustasi " Bukankah yang merasakan frustasi adalah diri saya?", tanyanya dengan penasaran.

Pembaca yang baik. Apa yang saya jelaskan berikut ini adalah ringkasan dari hasil diskusi kita mengenai perasaan atau emosi.

Setiap kali kita merasa tidak enak, secara mental, maka yang terkena sebenarnya adalah perasaan kita. Aspek perasaan inilah yang akan menderita setiap kali kita merasakan emosi "negatif". Sengaja saya memberikan tanda kutip karena sebenarnya semua emosi adalah baik atau positip.

Lalu dari mana asalnya emosi? Apa hubungannya dengan kejadian yang kita alami setiap hari?

Sebelum bicara mengenai emosi saya ingin mengulas sedikit mengenai proses berpikir. Setiap kejadian yang kita alami bersifat netral. Tidak ada kejadian yang baik ataupun buruk. Shakespeare dengan sangat indah berkata, "There is nothing either good or bad, but thinking makes it so".  Jadi, baik atau buruknya suatu kejadian semata-mata bergantung pada makna yang diberikan oleh pikiran kita.

Pemberian makna ini sebenarnya berlangsung sangat cepat dan terjadi di pikiran bawah sadar. Contohnya, "Misalnya anda sedang mengendarai mobil dengan santai dan tiba-tiba sebuah mikrolet menyalip anda dengan cepat dan langsung berhenti mendadak di depan anda. Anda sangat kaget dan untung masih sempat menginjak rem sehingga tidak sampai menabrak mikrolet itu. Bagaimana reaksi anda? Pada umumnya orang akan langsung marah, memaki, atau mengumpat si sopir mikrolet.

Ceritanya akan lain bila ternyata anda baru menang hadiah utama, sebesar Rp. 1 Milyar,  dari suatu bank. Saat itu hati anda sedang gembira. Dan saat anda disalip mikrolet, anda akan berkata, "Kasihan ya sopir ini. Rupanya lagi ngejar setoran. Maklum ekonomi lagi sulit. Ada baiknya saya menyumbangkan sedikit rejeki saya buat sopir malang ini." Anda kok tidak marah?

Nah, makna yang kita berikan, dari setiap kejadian yang kita alami, selanjutnya akan mencetus/men-trigger emosi yang ada di pikiran bawah sadar. Emosi ini selanjutnya akan menentukan respon/reaksi kita.

Tadi saya mengatakan bahwa semua emosi adalah baik. Tidak ada emosi yang negatip. Apa maksudnya? Anda mungkin heran dengan pernyataan ini. Bukankah emosi "marah", "kecewa", "frustasi", dan sejenisnya adalah emosi negatip?

Sebelum saya teruskan uraian saya, saya ingin bertanya kepada anda, "Berapa banyak kosa kata, tentang emosi, yang anda kuasai?" Banyaknya kosa kata yang anda kuasai, mengenai emosi,  mencerminkan kecerdasan emosi anda. Lho kok bisa? Umumnya orang hanya mengenal beberapa kata yang mewakili emosi. Misalnya kata "marah", "kecewa",  "frustasi", atau "stress". Karena mereka hanya menguasai beberapa kata saja maka setiap kali mengalami emosi "negatip" maka mereka langsung berkata, "Saya lagi stress". Singkat kata semua kondisi emosi dianggap stress. Benarkah demikian?

Ada banyak kata yang mewakili emosi. Misalnya sedih, stress, putus asa, kecewa, marah, senang, bahagia, frustrasi, gembira, gelisah, depresi, terluka, iri/dengki, kesepian, rasa bosan, takut, jengkel, khawatir, cemas, rasa bersalah, tersinggung, dendam, sakit hati, rasa tidak mampu, benci, perasaan tidak nyaman, bahagia, tersanjung, dan cinta.

Lalu apa sih gunanya emosi? Emosi sebenarnya merupakan sinyal komunikasi yang berasal dari pikiran bawah sadar. Setiap emosi mempunyai makna dan tujuan yang sangat spesifik yang sangat bermanfaat bagi diri kita. Namun sayang, tidak banyak orang yang tahu, mau repot-repot untuk mencari tahu, atau benar-benar mengerti makna yang terkandung dalam setiap emosi.

Misalnya emosi "marah". Mengapa kita marah? Marah berarti ada pengharapan kita yang tidak terpenuhi atau kita merasa telah diperlakukan secara tidak adil oleh orang lain.

Emosi menjadi sesuatu yang negatip bila kita tidak mampu mengartikan pesan yang terkandung dalam emosi itu. Emosi berakibat negatip bila kita dikuasai olehnya. Lalu bagaimana cara untuk bisa menguasai emosi kita? Cara mudah. Kita perlu memahami bahwa pikiran logis dan emosi tidak dapat aktif dalam waktu bersamaan. Salah satu pasti menguasai yang lain.

Jadi, bila emosi yang dominan maka pikiran logis tidak dapat bekerja. Demikian sebaliknya. Saat pikiran logis sedang aktif maka emosi kehilangan daya pengaruhnya. Hal ini bisa terjadi karena perasaan atau emosi sebenarnya adalah bentuk pikiran juga. Dengan mengubah pikiran maka perasaan akan berubah.

Cara paling mudah untuk menguasai dan menghilangkan pengaruh negatip suatu emosi adalah dengan melakukan analisa atau mencari tahu makna yang terkandung dalam setiap emosi yang sedang anda rasakan.

Misalnya anda sangat marah. Daripada larut dalam kemarahan anda, lakukan analisa. Hal ini memang tidak mudah. Namun anda harus disiplin untuk memaksa diri anda melakukan analisa. Caranya? Tanyakan kepada diri anda, "Mengapa saya marah?", "Apakah karena mood saya lagi nggak enak atau ada sebab lain?", "Apakah benar saya telah diperlakukan tidak adil oleh orang lain?", "Apakah benar emosi yang saya rasakan saat ini adalah emosi marah?", "Apakah saya telah memberikan makna yang tepat atas apa yang saya alami?", Apa yang saya bisa lakukan selain larut dalam kemarahan?".

Saat anda bertanya pada diri anda saat itu pula fokus anda mulai beralih. Saat anda mencari jawaban atas pertanyaan anda saat itu pula pikiran logis anda bekerja dan menjadi dominan. Bila anda sering melakukan analisa terhadap perasaan anda maka anda akan semakin mengenali diri anda dan akan timbul kebijaksanaan.

Bagaimana dengan emosi takut? Perasaan takut adalah suatu emosi yang sangat positip. Apa maknanya? Emosi takut adalah sinyal komunikasi yang dikirim pikiran bawah sadar ke pikiran sadar dengan pesan bahwa akan terjadi sesuatu di masa depan, di mana anda merasa tidak siap untuk menghadapinya. Dengan kata lain, emosi takut sebenarnya membawa pesan "antisipasi".

Misalnya? Saat anda mau ujian skripsi. Anda merasa takut. Nah, daripada hanya sekedar ketakutan, anda harus menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh. Anda takut karena anda merasa tidak siap. So... siapkan diri anda dengan lebih baik. Sederhana, kan?

Bagaimana dengan emosi lainnya? Misalnya rasa bosan. Rasa bosan artinya apa yang kita lakukan sekarang ini kurang menantang. Itulah sebabnya kita bosan. Lalu, apa yang harus dilakukan? Kita perlu menetapkan suatu target yang sedikit lebih tinggi dari biasanya sehingga kita merasakan tantangan dan dorongan untuk lebih giat bekerja.

So, berbahagialah bila anda yang merasakan up and down suatu emosi. Anda akan semakin bijaksana karena mendapat pesan dari guru kebijaksanaan.

Oh ya, satu hal lagi. Kalaupun anda tidak mau menganalisa atau tidak tahu makna dari suatu emosi yang sedang anda rasakan, anda cukup berdiam diri atau menahan diri untuk tidak menuruti emosi anda. Mengapa? Karena emosi sama dengan pikiran. Sekarang muncul, selang beberapa saat lagi akan menghilang. Muncul lagi, lalu hilang lagi.

Baca Selengkapnya

Why Affirmation Fails?

21 Juli 2010

When you affirm big, believe big and pray big, big things happen.
- Norman Vincent Peale

Saya yakin, anda semua, pasti pernah mendengar kata "Afirmasi". Mungkin anda pernah menghadiri seminar atau loka karya dan pembicaranya menyarankan anda melakukan afirmasi untuk menunjang keberhasilan anda. Mungkin juga anda pernah membaca buku-buku positive thinking yang banyak terdapat di toko buku. Para pelaku MLM (multi level marketing), DS (Direct Selling), agen asuransi, atau mereka yang suka dengan pengembangan diri pasti tahu betul apa itu "Afirmasi".

Mengapa afirmasi sangat banyak disarankan untuk digunakan? Jawabnya sederhana. Afirmasi adalah self-talk yang kita ucapkan pada diri kita sendiri dan merupakan salah satu bentuk pemrograman ulang pikiran. Menurut kebanyakan orang, afirmasi sangat mujarab untuk membantu pencapaian prestasi. Benarkah demikian?

Benarkah afirmasi bisa sedemikian efektif? Jawabnya, "TIDAK". Saya pernah melakukannya selama 7 (tujuh) tahun tanpa hasil yang maksimal. Saya telah mengikuti semua aturan menulis afirmasi yang benar, yang dijelaskan oleh banyak pembicara terkenal, dan juga ditulis di berbagai buku best seller. Saya bahkan membeli buku yang khusus membahas mengenai self-talk. Hasilnya? Tetap tidak bisa maksimal. Saya tidak mengatakan "tidak ada hasil", lho. Yang saya tekankan adalah hasilnya "tidak maksimal".

Cukup lama saya mencari jawaban mengapa afirmasi yang saya lakukan kok nggak bisa memberikan hasil yang maksimal? Apa saja yang telah saya lakukan untuk afirmasi? Saya menulis script dan saya tempelkan di tempat yang biasa saya lihat. Misalnya di cermin kamar mandi, di pintu kamar tidur, di pintu kamar mandi, di komputer, di dashboard mobil, di hand phone, di diary, dan dijadikan screen saver.

Selain itu saya juga menggunting gambar-gambar impian saya. Saya tempelkan di tempat yang dapat saya lihat dengan mudah. Tujuannya? Untuk mengingatkan (baca: memprogram) diri saya agar saya selalu fokus pada impian-impian itu. Hasilnya? Tetap tidak maksimal.

Saya bahkan membuat kaset khusus yang berisi berbagai afirmasi yang ingin saya masukkan ke pikiran bawah sadar saya. Kaset ini saya mainkan setiap kali saya berada di dalam mobil. Saya bahkan sampai menggabungkan afirmasi dengan musik khusus untuk membantu pikiran saya untuk bisa lebih mudah menerima afirmasi itu. Sekali lagi, hasilnya? Nggak maksimal.

Apakah saya gagal? Tidak. Saya berhasil mencapai sebagian dari apa yang saya afirmasikan. Namun saya merasa tidak puas. Energi dan waktu yang saya curahkan untuk melakukan afirmasi ternyata tidak memberikan hasil seperti yang saya harapkan.

Lalu apa yang salah? Apakah saya malas dan tidak bekerja keras untuk mencapai goal saya? Ah, nggak. Saya sangat fokus untuk mencapai impian itu. Hasil yang tidak maksimal ini membuat saya berpikir, "Pasti ada yang salah dengan apa yang ditulis di buku-buku atau yang diajarkan di seminar yang telah saya hadiri".  Logika saya sederhana saja. Banyak kawan saya yang juga melakukan afirmasi seperti yang saya lakukan ternyata hasilnya juga sami mawon  alias idem alias setali tiga uang alias sama saja.

Proses pencarian jawaban "Mengapa afirmasi yang saya lakukan tidak membuahkan hasil yang maksimal?" akhirnya mengantar saya pada petualangan pemahaman cara kerja pikiran yang luar biasa, dan ini yang ingin saya bagikan kepada anda melalui artikel ini.

Bagi anda yang sukses dengan afirmasi, saya ucapkan selamat dan saya ikut bahagia dengan keberhasilan anda. Bagi anda yang mengalami "nasib" seperti yang saya alami, mudah-mudahan dengan apa yang saya jelaskan berikut ini akan dapat membantu anda untuk bisa segera meraih keberhasilan.

So, mengapa afirmasi tidak memberikan hasil maksimal?

Indera penglihatan memberikan kontribusi sebesar 87% dari total stimulus yang masuk ke otak. Kalau dilihat sekilas jalur visual ini kesannya sangat dominan. Namun bila ditelaah lebih jauh ternyata input visual masih berupa ide sugestif yang bersifat sadar. Teknik afirmasi, yang menggunakan gambar atau membaca script, ternyata hanya cocok untuk 5% populasi yang masuk dalam kategori sangat sugestif.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap keefektifan afirmasi adalah kapan waktu kita menulis atau membaca afirmasi itu. Sering kali kita diajarkan untuk menulis, membaca, atau melihat afirmasi kita saat bangun tidur atau di siang hari. Ternyata waktu ini tidak cocok dengan prinsip kerja pikiran. Ternyata dari riset ditemukan fakta menarik bahwa ada waktu tertentu yang memberikan pengaruh paling maksimal. Nah, pertanyaannya sekarang adalah, "Kapan waktu yang paling tepat untuk melakukan afirmasi?". Waktu yang paling tepat adalah malam hari saat gelombang otak kita dominan berada di kondisi alfa atau theta.

Cara melakukan afirmasi lainnya, seperti yang sering disarankan oleh banyak seminar atau buku, adalah dengan menuliskan afirmasi setiap hari. Ternyata ini counterproductive. Afirmasi cukup ditulis seminggu sekali dan harus bersifat jangka pendek. Nah, bingung kan? Kok beda dengan yang anda ketahui selama ini?

Selain itu kita perlu membatasi jumlah afirmasi yang kita tulis dan hanya untuk beberapa aspek kehidupan kita. Maksudnya? Anda tidak boleh menuliskan lebih dari tiga afirmasi. Batasi diri pada tiga aspek kehidupan. Misalnya, aspek kesehatan, aspek finansial, dan aspek relasi. Apa akibatnya kalau kita menulis banyak afirmasi untuk tiap aspek kehidupan? Pikiran bawah sadar akan bingung dan akan kehilangan daya untuk membantu anda mencapai goal anda.

Saat anda telah menulis afirmasi, tunggu dan lihat efeknya. Kalau dalam waktu 2 (dua) minggu belum ada efeknya maka anda perlu menulis ulang afirmasi anda. Mungkin cara anda menulis atau pilihan kata atau struktur kalimat yang digunakan tidak berkesan bagi pikiran bawah sadar anda. 

Lalu, bagaimana bila setelah anda menulis ulang afirmasi sampai beberapa kali namun tetap belum ada hasil yang tampak? Yang terjadi adalah resistansi/penolakan terhadap afirmasi itu. Ada bagian dari diri anda yang menolak sugesti (afirmasi) yang anda lakukan. Lalu bagaimana caranya mengatasi hal ini? Berhenti dan jangan pernah lagi mengotak-atik afirmasi ini selama beberapa minggu. Semakin anda bernafsu untuk memperkuat (re-inforce) afirmasi ini maka semakin kuat penolakan dari pikiran bawah sadar anda. Saat anda tidak lagi memaksa afirmasi ini untuk diterima pikiran bawah sadar maka daya tolak pikiran bawah sadar terhadap afirmasi anda juga menurun. Cepat atau lambat afirmasi yang sebenarnya telah masuk ke pikiran bawah sadar akan mulai diterima dan dijalankan. Penolakan muncul karena kita cenderung bersifat memaksa pikiran bawah sadar untuk menerima afirmasi yang kita ucapkan.

Satu hal lagi yang membuat afirmasi susah berhasil, untuk kebanyakan orang, adalah bahwa jarang orang sadar bahwa afirmasi sebenarnya sama dengan sugesti. Nah, kalau sudah bicara sugesti maka anda harus tahu anda termasuk orang tipe apa. Ada orang yang mudah disugesti secara fisik (physically suggestive) dan ada orang yang hanya bisa disugesti secara emosional (emotionally suggestive), dan ada yang bisa ac-dc alias kiri-kanan ok atau bisa keduanya.

Wording atau cara penulisan afirmasi untuk tiap tipe ini tidak sama. Bila anda termasuk kategori sugestif secara fisik dan anda, karena tidak tahu, menulis afirmasi yang bersifat emosional maka dijamin afirmasi anda tidak bisa jalan. Demikian pula sebaliknya.

Terlepas dari afirmasi apa yang anda gunakan, untuk panduan dalam menuliskan afirmasi, anda perlu memerhatikan hal-hal berikut:

  1. Gunakan afirmasi untuk goal jangka pendek.
  2. Tulis afirmasi dengan tulisan tangan, bukan diketik.
  3. Tulis afirmasi seminggu sekali.
  4. Minimalkan jumlah afirmasi untuk mendapatkan efek konsentrasi sugesti.
  5. Tulis afirmasi dengan kalimat positip dan sekarang, jelas atau spesifik, dan tanggal pasti kapan anda ingin mencapai goal anda.
  6. Tulis ulang afirmasi bila dirasa perlu. Jika afirmasi tidak bekerja seperti yang diharapkan maka berhenti melakukan afirmasi. 

Ada kawan saya yang meskipun telah saya jelaskan cara melakukan afirmasi secara benar tetap menolak apa yang saya sampaikan. Saat saya bertanya, "Kenapa sih, anda kok begitu yakin dan memegang teguh cara anda melakukan afirmasi padahal anda tahu hasilnya nggak maksimal?". "Lho, cara afirmasi yang saya gunakan selama ini saya dapatkan dari seminar dan workshop yang sangat mahal. Kan, eman (sayang) kalo nggak saya pake", jawabnya. "Tapi, kalau ternyata cara yang anda gunakan tidak bisa memberikan hasil maksimal, mengapa anda tidak mencoba cara lain?", kejar saya lagi. "Saya yakin cara yang saya gunakan sudah benar. Soalnya pembicaranya orang terkenal. Saya percaya banget dengan apa yang ia ajarkan", jawab kawan saya.

Saya hanya bisa tersenyum saat mendengar jawabannya. Saya teringat kata bijak Winston Churchil, "A fanatic is one who can't change his mind and won't change the subject".

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List