The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Forgiveness Is The True Healer

21 Juli 2010

Di artikel sebelumnya, mengenai Teori Tungku Mental, saya bercerita mengenai api yang membakar tungku mental kita. Ada banyak teknik yang bisa digunakan untuk menemukan sumber api itu.

Nah, apa yang akan dilakukan setelah sumber apinya berhasil ditemukan? Apa yang harus dilakukan agar apinya bersedia dipadamkan?

Pembaca, bila anda cukup jeli membaca kalimat terakhir, dari paragraf di atas, anda pasti akan bertanya, “Mengapa kok ada kata “bersedia dipadamkan”? Ini maksudnya apa?”

Api emosi yang membakar tungku mental ini harus dipadamkan bila seseorang benar-benar ingin sembuh. Namun padamnya harus berdasarkan persetujuan dan keikhlasan klien. Kita tidak bisa serta merta mensugesti agar api emosi itu padam. Tidak bisa.

Nah, mengapa harus melalui “forgiveness”? Mengapa bukan dengan cara lain?

Ada sangat banyak teknik terapi. Namun dari sekian banyak teknik, Forgiveness Therapy, adalah salah satu yang paling dahsyat efeknya. Terapi yang dilakukan tanpa diakhiri dengan memaafkan adalah terapi yang tidak tuntas.

Mengapa bisa tidak tuntas?

Karena untuk bisa benar-benar tuntas mematikan api emosi itu klien harus bersedia melepaskan semua emosi negatif yang berhubungan dengan kejadian, peristiwa, atau situasi tertentu dan menggantinya dengan emosi positif seperti cinta kasih.
Keseriusan untuk melepaskan semua emosi negatif ini dilihat dari apakah ia bersedia dengan sungguh-sungguh memaafkan orang atau peristiwa yang “menyakiti” dirinya.

“Tapi mengapa walaupun sudah memaafkan, saya tetap tidak bisa keluar dari masalah saya?”

Jangan kaget atau heran, ini yang paling sering kita alami. Kita sering merasa sudah sungguh-sungguh memaafkan tapi kok masalah yang sama tetap muncul. Jawabannya sederhana. Kita belum sungguh-sungguh memaafkan.

“Lho, saya ini sudah sungguh-sungguh memaafkan.”

Ah, yang benar. Kalau sudah benar-benar memaafkan seharusnya masalah atau emosi itu sudah benar-benar tuntas. Tidak mungkin akan muncul lagi emosi negatif yang sama pada kejadian itu.

Nah, pembaca, anda pernah mengalami hal ini? Katanya sudah memaafkan tapi kok masih merasa sakit hati?

Kesalahan yang dilakukan kebanyakan kita adalah kita hanya memaafkan pada level kognisi. Kita menyadari bahwa kita memang perlu memaafkan. Lalu kita memutuskan untuk memaafkan.

Namun apabila memaafkan dilakukan pada level kognisi, atau yang dikenal dengan level pikiran sadar, maka tidak akan bisa efektif. Memaafkan harus dilakukan pada level afeksi atau pikiran bawah sadar.

Mengapa perlu melakukan pada level pikiran bawah sadar?
Karena emosi dan memori letaknya di pikiran bawah sadar. Kita perlu masuk lokasi yang tepat, ke pikiran bawah sadar, untuk melakukan forgiveness. Dengan cara ini baru bisa efektif, efisien, dan permanen hasilnya.

Ok, kalau begitu, bagaimana cara memaafkan yang baik dan benar?

Begini, memaafkan akan sangat mudah kita lakukan bila tekanan “uap” yang ada di dalam Tungku Mental berhasil kita keluarkan semuanya. Tentu ini menggunakan teknik yang sesuai dan “uap” tidak asal dikeluarkan.

Mengapa perlu mengeluarkan “uap” terlebih dahulu?
Karena tekanan “uap” pada dinding tungku mental ini akan termanifestasi dalam bentuk resistensi atau penolakan untuk berubah. Semakin kuat tekanan “uap” maka semakin sulit untuk berubah atau memaafkan.

Setelah “uap” keluar semua maka tekanan mental yang tadinya sangat mengganggu diri klien berhasil dihilangkan. Nah setelah itu barulah dilakukan reedukasi pikiran bawah sadar. Tekniknya bisa macam-macam tergantung situasi dan kebutuhan.

Apa yang terjadi bila memaafkan dilakukan tanpa terlebih dahulu mengeluarkan”uap”?

Wah.. ini sangat sulit. Pikiran sadar bersedia memaafkan tapi pikiran bawah sadar akan bersikeras berkata, “Kok enak. Sudah menyakiti hati saya, melukai hati saya, sekarang mau dimaafkan. Nggak usah ya.”

Apakah memaafkan bisa dilakukan dengan menggunakan kekuatan Will Power? Oh, tentu bisa. Tapi ini makan waktu yang sangat lama.

Seorang kawan saya yang begitu terluka karena perlakuan orangtuanya kepadanya membutuhkan waktu hampir 10 (sepuluh) tahun untuk bisa memaafkan kedua orangtuanya.

Ck..ck.. ck.. 10 tahun ini bukan waktu yang singkat. Dan teman saya ini bisa memaafkan karena ia menggunakan jalur spiritual. Ia belajar memberikan makna baru pada pengalaman hidupnya itu. Menurut kawan saya ia mengalami ini semua karena Tuhan menyiapkan dirinya menjalankan suatu misi yang besar. Dan akhirnya ia berhasil memaafkan kedua orangtuanya.

Apa yang dialami kawan saya ini sebenarnya dapat diselesaikan hanya dalam waktu 1 atau 2 sesi terapi, masing-masing 2 jam, bila ia mengerti prinsip Tungku Mental, atau mendapat bantuan dari seorang terapis atau healer yang kompeten.

Nah, setelah “uap” berhasil dikeluarkan semua, tekanan sudah hilang, maka klien perlu memaafkan orang lain. Selanjutnya klien perlu memaafkan diri sendiri. Klien harus bisa memaafkan dirinya.
Saat klien bersedia memaafkan dirinya sendiri, bersedia menerima segala kesalahan yang pernah ia lakukan, memberikan kesempatan kepada dirinya sendiri untuk belajar dari kesalahan itu, mengijinkan dirinya untuk memulai lembaran hidup baru, bersedia menghargai dan mencintai dirinya apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, maka pada saat itu ia telah sembuh.

Pada titik ini klien telah benar-benar mematikan api emosi negatif yang selama ini membakar tungku mentalnya. Pada titik ini klien mengganti emosi negatif dengan emosi positif seperti cinta, kasih, penghargaan, dan pengharapan yang sangat konstruktif bagi diri klien.

Jadi, sebenarnya yang menyembuhkan klien adalah diri klien sendiri. Dan yang menyembuhkannya adalah kesediaan klien untuk memulai satu lembaran baru dengan melepas semua emosi negatif yang selama ini mengganggu hidupnya yaitu dengan cara memaafkan, memaafkan orang lain yang telah menyakitinya dan yang lebih penting lagi adalah memaafkan dan menerima diri seutuhnya.

Baca Selengkapnya

Teori Tungku Mental

21 Juli 2010

Bulan Oktober hingga November 2008 saya menyelenggarakan 2 (dua) kelas pelatihan 100 jam sertifikasi hipnoterapis. Satu di Jakarta dan satu lagi di Surabaya. Dari sekian banyak teori dan teknik yang akan diajarkan, satu yang sangat penting adalah Teori Tungku Mental.

Teori ini saya bangun berdasar informasi dan pengetahuan yang saya dapatkan dari berbagai literatur yang saya pelajari ditambah dengan pengalaman praktik saya. Teori inilah yang sebenarnya mendasari Quantum Hypnotherapeutic Procedure yang diajarkan di Quantum Hypnosis Indonesia.

Nah, sebelum saya menjelaskan mengenai Teori Tungku Mental, saya akan bercerita sedikit mengenai kasus yang saya pelajari melalui berbagai literatur dan kasus yang pernah saya tangani.
Dalam artikel ini saya hanya akan memberikan satu contoh kasus yang bersumber dari literatur. Dalam buku Trance & Treatment : Clinical Use of Hypnosis, David Speigel menceritakan satu kasus yang sangat menarik yang pernah ia tangani. Ada seorang veteran perang Vietnam.

Veteran ini setelah menjalani tugas dengan track record yang sangat baik selama 15 tahun tiba-tiba berubah dan akhirnya mengalami “gangguan” dan akhirnya harus dimasukan ke rumah sakit jiwa. Veteran ini, sebelum ditangani oleh Davied Spiegel, seorang psikiater yang mendalami dan mempratikkan hipnoterapi, didiagnosa menderita “gangguan kecemasan sangat tinggi” hingga mengalami halusinasi. Ia juga pernah dimasukkan ke Palo Alto Veterans Administration Medical Center setelah mencoba melakukan tindakan bunuh diri. Ia depresi dan cenderung melakukan tindakan berbahaya namun ia tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Setelah Spiegel melakukan Hypnotic Induction Profile (HIP) dan didapatkan hasil 4, intact/utuh, dengan skor induksi 10, selanjutnya dilakukan Age Regression.

Singkat cerita Spiegel berhasil menemukan akar masalahnya. Veteran ini ternyata dulu waktu bertugas di Vietnam punya seorang anak angkat yang sangat ia sayangi. Anak angkatnya tewas saat Vietcong menyerang rumah sakit tempat ia bertugas. Veteran ini merasa begitu bersalah, karena tidak bisa melindungi anaknya, merasa marah, dendam dan benci yang luar biasa kepada serdadu Vietcong yang menewaskan anaknya. Rupanya, berbagai emosi negatif ini tidak mendapat penanganan semestirnya. Setelah dibantu oleh Spiegel veteran ini sembuh.

Namun 6 bulan kemudian veteran ini kambuh lagi saat, hanya dalam waktu 2 minggu, salah seorang kakaknya, seorang polisi, terbunuh, dan istri veteran ini mulai “melirik” pria lain, ditambah lagi seseorang menembak mati anjing kesayangannya. Setelah dirawat sebentar di rumah sakit ia kembali sembuh.

Kasus ini oleh David Spiegel diulas lengkap di artikel yang berjudul Vietnam Grief Work Using Hypnosis dan dimuat di The American Journal of Clinical Hypnosis (24(1): 33-40, 1981)

Kasus yang pernah saya tangani antara lain kasus seorang klien, seorang pria muda berusia 26 tahun, yang takut ayam, lebih spesifik lagi paruh ayam. Setelah saya cari akar masalahnya ternyata klien ini takut pisau. Saya gali lagi akhirnya saya menemukan ISE (Initial Sensitizing Event) pada saat klien berusia 4 tahun. Klien mengalami sesuatu hal dengan ibunya dan membuatnya sangat marah dan benci ibunya. Nah, kebencian ini berubah menjadi rasa sakit yang luar biasa bila ia dipeluk oleh ibunya. Rasa sakit ini mengambil wujud sakit seperti bila tubuh ditikam dengan puluhan pisau sekaligus. Selanjutnya “sakit karena ditikam pisau” ini bermutasi menjadi ketakutan pada paruh ayam. Saya menyebut kondisi ini dengan “double symptom”.   

Kasus lain adalah klien wanita muda, usia 21 tahun yang, menurut orangtuanya, berubah dan tidak semangat menjalani hidup. Klien ini telah 8 (delapan) bulan minum obat agar bisa tenang dan kembali “normal”. Dengan teknik tertentu saya membantu klien ini untuk menemukan akar masalahnya, membereskannya, dan setelah itu klien bisa kembali hidup normal tanpa perlu mengkonsumsi obat.
Saya membutuhkan 2 (dua) sesi dengan klien ini. Sesi pertama walaupun terlihat “tuntas” namun saya tahu belum tuntas. Dari mana saya tahu? Saya tahu karena saya belum menemukan ISE. Saya berhasil menemukan beberapa SSE (Subsequent Sensitizing Event). Namun klien belum bersedia mengungkapkan ISE kepada saya. Dan saya juga tidak bisa memaksa klien. Saya membantu klien sesuai dengan kecepatan dan kesiapan diri klien.

Setelah sesi pertama klien langsung berubah dan merasa sangat nyaman. Saya juga mendapat laporan dari orangtua klien mengatakan hal yang sama. Namun tiga hari kemudian saya mendapat kabar bahwa klien kembali ke pola lamanya. Klien kembali ke kondisi seperti sebelum saya tangani.

Selanjutnya saya memberikan sesi kedua. Nah, pada sesi kedua ini saya berhasil membantu klien menemukan akar masalahnya (ISE). Begitu ISE berhasil dibereskan segera terjadi perubahan. Dan perubahan ini bersifat permanen.

Oh ya, satu hal yang perlu saya tegaskan di sini. Anda jangan salah mengerti ya. Saya bukan dokter atau psikiater. Saya tidak pernah berani dan tidak punya kapasitas untuk meminta klien berhenti minum obat. Yang saya lakukan hanyalah membantu klien mengatasi masalah mereka, dengan keterampilan yang saya pelajari. Soal obat, saya meminta klien untuk konsultasi atau kembali ke dokter yang menanganinya. Dokter yang memberi obat maka dokter yang boleh memutuskan apakah klien perlu terus minum obat atau berhenti, dengan melihat perkembangan terakhir pasien.

Pembaca, dari tiga kisah yang saya jelaskan di atas, bisakah anda menarik benang merahnya?

Jika belum, ijinkan saya untuk mengulas kembali, tapi singkat saja ya, mengenai cara kerja pikiran.

Dualisme Pikiran

Kita punya dua pikiran yaitu pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Kedua pikiran ini mempunyai fungsi dan tugas masing-masing. Kedua pikiran ini bekerja sama dan saling mempengaruhi.
Pikiran sadar mempunyai 5 fungsi/komponen yaitu analitis, rasional, kekuatan kehendak, faktor kritis, dan memori jangka pendek.
Pikiran bawah sadar mempunyai 10 fungsi/komponen, antara lain: menyimpan memori jangka panjang, emosi, kebiasaan, dan intuisi.

Nah, masing-masing pikiran ini, pikiran sadar dan bawah sadar, mempunyai tugas melindungi diri kita. Pikiran sadar melindungi diri kita dari hal yang (dipandang) membahayakan diri kita, berdasar “pandangan” fungsi pikiran yaitu rasional dan analitis.

Menurut Milton Erickson pikiran bawah sadar melindungi diri kita dari hal-hal yang ia pandang membahayakan keselamatan fisik dan emosi kita.

Charles Tebbets dalam bukunya, yang kini telah menjadi buku klasik, Miracles on Demand, mengatakan, “Conscious mind is the mind of choice. Subconscious mind is the mind of preference. We choose what we prefer.”

Tebbets juga melanjutkan dengan menyatakan bahwa hipnoterapi bekerja berdasar prinsip sebagai berikut:

  • Semua perilaku mal-adaptive adalah hasil atau akibat dari respon penyesuaian yang tidak tepat, yang dipilih untuk memenuhi kebutuhan di masa kecil yang sebenarnya sudah tidak sesuai/relevan dengan kondisi saat dewasa.
  • Kebanyakan penyakit bersifat psikosomatis dan dipilih secara tidak sadar untuk melarikan diri dari suatu situasi, yang oleh klien, dipandang sebagai kondisi dengan muatan tekanan emosi destruktif yang berlebihan, seperti kemarahan, kebencian, dendam, dan takut, yang melebihi kemampuan klien untuk mengatasinya saat itu.

Sebenarnya ada satu lagi yaitu pikiran nir-sadar. Tapi dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas mengenai fungsi dan cara kerjanya.

Tungku Mental

Untuk memudahkan pemahaman mengenai mekanisme pikiran bawah sadar saya menggunakan analogi tungku mental. Tungku mental berisi air (baca: berbagai buah pikir/thought). Api yang memanasi tungku adalah berbagai emosi, baik itu yang positif maupun negatif, yang dialami seseorang.

Dalam kondisi normal saat api membakar tungku maka temperatur akan naik dan sampai pada suhu tertentu akan muncul uap air yang bergerak bebas ke atas karena tungku tidak ditutup. Namun apa yang terjadi bila tungku ditutup rapat?

Saat temperatur semakin tinggi, karena terus dipanasi oleh api emosi, terutama yang negatif,  maka akan muncul uap yang bergerak ke atas. Namun kali ini uap tidak bisa keluar karena terperangkap di dalam tungku yang ditutup rapat. Semakin lama suhu tungku semakin tinggi, semakin banyak uap yang terperangkap, sehingga tekanan uap semakin tinggi menekan seluruh dinding dalam tungku.
Apa yang terjadi bila tungku tetap ditutup rapat?

Benar sekali. Sampai pada satu titik, saat tekanan uap melebihi daya tahan dinding tungku, maka akan terjadi ledakan hebat dan tungku akan hancur berantakan.
Nah, bagaimana dengan manusia? Jangan khawatir, kita tidak akan meledak seperti contoh tungku di atas. Pada manusia, pikiran bawah sadar akan melindungi diri kita dengan melakukan hal-hal yang dipandang perlu untuk menyelamatkan diri kita dari “kehancuran”. 

Apa yang akan dilakukan pikiran bawah sadar?

Pikiran bawah sadar akan membuat retak-retak kecil di tungku mental kita sehingga ada jalan keluar bagi uap yang berada di dalam tungku mental. Dengan demikian tekanan akan turun dan tidak membahayakan keutuhan tungku mental.
Nah, saat uap dari dalam tungku keluar dan berbunyi …sssshhh……ssssshhhh….pada saat itulah seseorang akan mengalami perubahan perilaku. Perubahan perilaku ini adalah manifestasi dari uap yang keluar. Biasanya perubahan ini tidak mendadak. Tetapi perlahan-lahan dan semakin lama semakin parah.

Apa yang kita lakukan terhadap orang yang telah mengalami perubahan perilaku?

Kita cenderung akan meluruskan perilakunya, benar nggak?

Apakah bisa?

Oh, sudah tentu bisa. Ada banyak cara dan teknik yang biasa digunakan. Pertanyaannya adalah perubahan menjadi “normal” kembali ini bisa bertahan berapa lama?
Seringkali tidak bisa bertahan lama. Nanti pasti akan muncul lagi perilaku yang “aneh”. Mengapa ini terjadi? Karena kita hanya menyumbat retak di dinding tungku. Saat uap sudah tidak keluar maka perilaku orang itu menjadi normal.
Dan karena kita tidak mencari sumber masalahnya, yaitu api yang berada di bawah tungku (baca: emosi yang belum terselesaikan) maka cepat atau lambat tekanan uap di dalam tungku kembali naik dan sampai pada satu titik akan terjadi kebocoran lagi.

Pembaca, dengan membaca sejauh ini saya yakin anda pasti sampai pada kesimpulan bahwa simtom adalah sesuatu yang positif. Simtom adalah bentuk komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar yang mengatakan, “Hei… ini ada masalah di bawah sini. Anda perlu menyelesaikan masalah ini. Kalau anda tetap tidak mau mengerti atau tidak bersedia menyelesaikan masalah ini maka saya akan tetap mengganggu anda.”

Masalahnya adalah bukan kita tidak  mau menyelesaikan masalah tapi kita seringkali tidak memahami pesan yang disampaikan pikiran bawah sadar. Dan seringkali saat kita mau menyelesaikan masalah ini kita tidak tahu caranya atau teknik yang digunakan tidak tepat.

Lalu, bagaimana cara efektif untuk mengatasi hal ini?

Pertama, kita perlu mengeluarkan uap yang terjebak di dalam tungku. Bagaimana caranya? Gunakan uap itu sebagai petunjuk untuk menemukan retak di dinding tungku. Ini yang dikatakan oleh Milton Erickson dengan “The Symptom is the solution”.

Setelah uapnya berhasil kita keluarkan dan tekanan sudah habis selanjutnya kita bisa membuka tutup tungku. Bisa anda bayangkan apa yang terjadi bila tutup tungku dibuka saat tekanannya masih sangat tinggi. Ini sama dengan membuka tutup radiator mobil saat masih panas. Sangat berbahaya.
Isi tungku adalah konten atau memori yang berhubungan atau yang membuat munculnya simtom. Setelah ini barulah kita bisa menemukan sumber api dan sekaligus memadamkan apinya.

Apa yang terjadi bila api berhasil dipadamkan? Sudah tidak ada lagi yang memanasi tungku mental. Dengan demikian temperatur tidak akan naik. Dan sudah tentu tidak akan ada uap yang menekan dinding tungku. Tidak akan terjadi retak dan kebocoran. Klien akan kembali menjalani hidup dengan normal.

Mengapa Direct Suggestion Tidak Efektif?

Dalam menangani berbagai kasus dengan muatan emosi yang tinggi, sudah tentu yang saya maksudkan di sini adalah emosi negatif, maka Direct Suggestion tidak efektif.
Mengapa tidak efektif? Karena Direct Suggestion hanya mengeliminir simtom, bukan akar masalah. Salah satu sifat pikiran bawah sadar adalah malas untuk berubah. Pikiran bawah sadar menilai sesuatu sebagai hal yang benar atau tidak benar bukan berdasarkan kebenaran yang sungguh-sungguh benar, namun lebih berdasarkan data yang tersimpan di database di pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar beroperasi berdasar hukum Familiarity atau yang juga dikenal dengan Knowns and Unknowns.

Dari uraian di atas kita tahu bahwa sakit atau simtom sebenarnya suatu mekanisme perlindungan yang digunakan oleh pikiran bawah sadar untuk “menyelamatkan” seseorang. Jadi, saat pikiran bawah sadar merasa sudah “benar” dengan membuat seseorang menjadi “sakit” maka, jika dipaksa berubah dengan menggunakan Direct Suggestion, sudah tentu ia akan menolak. Dan semakin kita paksa maka ia semakin melawan dengan meningkatkan intensitas “sakit” atau “gangguan”.

Ada 4 langkah yang harus dilakukan untuk bisa menghilangkan simtom dengan cepat, efektif, efisien, dan  permanen:

  1. Memori yang berhubungan dengan atau yang mengakibatkan munculnya simtom harus dibawa naik ke permukaan dan diketahui secara sadar.
  2. Perasaan yang berhubungan dengan memori ini harus dialami kembali.
  3. Hubungan antara simtom dan memori harus diketahui.
  4. Pembelajaran bawah sadar atau yang bersifat emosi harus terjadi dan memungkinkan klien untuk membuat keputusan di masa depan tanpa terpengaruh oleh konten yang telah dimunculkan.

Teknik terapi yang semata-mata hanya menggunakan Direct Suggestion mampu “menyembuhkan” klien. Namun “kesembuhan” ini tidak akan berlangsung lama. Beberapa saat kemudian akan muncul lagi simtom, bisa simtom yang lama atau bahkan yang baru. Kesembuhan ini sebenarnya adalah akibat dari penambalan terhadap retak di dinding tungku mental sehingga uap untuk sementara waktu tidak bisa keluar.

Contoh Kasus

Saya akan menutup artikel ini dengan beberapa contoh kasus yang berhasil ditangani dengan menggunakan Teori Tungku Mental.

Pertama, kasus seorang klien, wanita 39 tahun, yang mengeluh bahwa pikirannya suka sekali menghitung angka (counting numbers), dan kalau mandi lama sekali.
Wanita ini mengatakan bahwa ia mengalami OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Saya tidak tahu apakah benar ia mengalami OCD atau bukan. Mengapa? Karena ini adalah istilah yang digunakan di dunia psikologi atau psikiatri. Saya bukan psikolog atau psikiater. Jadi saya tidak bisa menggunakan istilah ini.

Berdasar Teori Tungku Mental maka saya melihat perilakunya sebagai bentuk kebocoran uap dari tungku mentalnya. Nah, tugas saya adalah, dengan berbagai teknik yang saya pelajari dan kuasai, mencari dan menemukan sumber apinya, lalu membantu klien ini mematikan apinya.

Proses uncovering membawa klien pada usia tiga belas tahun. Sesuatu terjadi di sini. Saya membantu klien mematikan apinya. Besoknya saya diberitahu klien bahwa ia mandinya sudah normal dan juga sudah tidak menghitung angka.
Kasus kedua adalah kasus yang ditangani salah satu alumnus QHI. Alumnus ini berhasil mengobati seorang wanita, usia 29 tahun, yang alergi terhadap gula atau sesuatu yang manis seperti permen atau minuman Coca Cola. Setiap kali makan atau minum yang manis maka badan klien ini akan langsung bengkak dan gatal. Anehnya, kalau makan nasi atau roti badannya biasa-biasa saja. Padahal nasi atau roti mengandung karbohidrat yang setelah masuk ke badan akan menjadi gula.
Kembali lagi, dengan Teori Tungku Mental, alumnus ini berhasil membantu klien menemukan apinya.

Apa yang terjadi?

Pada usia 3 tahun klien ini melihat kejadian yang tidak semestinya ia lihat dan setelah itu ia diberi permen. Ini adalah ISE. Selanjutnya terjadi beberapa peristiwa lagi, yang sebenarnya adalah SSE-SSE, pada usia yang berbeda. Akhirnya pada saat SMP baru muncul alergi permen.

Berapa sesi yang dibutuhkan untuk membantu klien ini? Hanya 1 (satu) sesi saja.

Contoh ketiga adalah klien yang berusia 40 tahun. Keluhan klien ini adalah ia tidak bisa minum air putih. Setiap kali minum air putih maka perutnya akan sakit dan langsung muntah. Tapi bila airnya diberi sirup, atau gula, atau dibuat teh atau kopi, maka tidak ada masalah. Setelah diselidiki ternyata klien tidak bisa minum air putih sejak usia 4 tahun.

Dibutuhan hanya 1 (satu) sesi saja untuk menemukan sumber api dan memadamkannya. Setelah itu klien langsung bisa minum air putih.

Bagaimana dengan fobia? Prinsipnya sama saja.

Pembaca, anda pasti bertanya, “Bagaimana caranya untuk bisa menemukan api dengan cepat?”

Akan sangat panjang bila saya jelaskan di sini. Inilah yang saya berikan di kelas pelatihan 100 jam hipnoterapi yang diselenggarakan oleh Quantum Hypnosis Indonesia.

Baca Selengkapnya

ADD/ADHD Berdasar Perspektif Cara Kerja Otak & Pikiran

21 Juli 2010

Dua hari berturut-turut saya mendapat klien yang “unik”. Pertama seorang murid SD kelas 2 yang sangat aktif. Kemarin, seorang murid SMP kelas 3 dari Malang yang juga punya history pernah sangat aktif waktu kecil. Kedua klien ini mendapat “diagnosa” ADD/ADHD.

Saat melakukan intake interview saya menemukan jawaban yang memvalidasi “kecurigaan” saya selama ini terhadap penyebab ADD/ADHD dari sudut ilmu pikiran. Hasil intake interview ini saya bandingkan dengan intake interview yang saya lakukan terhadap lebih dari 20 orang klien dengan diagnosa yang sama, ADD/ADHD.

Hasilnya? Konsisten.

Dari apa yang saya pelajari sejauh ini ada 2 penyebab ADD/ADHD: 1. Masalah pada otak (fisik/hardware), 2. Masalah pada pikiran (software)

Masalah Pada Otak

Dari berbagai riset mengenai otak, didapatkan hasil yang menarik yaitu bahwa otak kiri dan kanan penderita ADD/ADHD bekerja dengan “kecepatan” yang berbeda.

Dulu saya bingung dengan pernyataan ini. Namun setelah mendalami Brain Wave 1 di Lugano, Swiss, dibawah bimbingan langsung Prof. Sean Adams, penemu BW 1, akhirnya saya memahaminya. Memang benar, bila kita mengukur pola gelombang otak penderita ADD/ADHD maka terlihat sangat jelas bahwa otak kanan jauh lebih aktif daripada otak kiri. Nah, berangkat dari temuan ini para pakar lalu merancang alat untuk bisa membantu mensinkronkan atau menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan.

Ketidakseimbangan otak kiri dan kanan bisa muncul akibat dari sebab-sebab berikut:

1. Otak kekurangan suplai oksigen. Biasanya terjadi saat persalinan yang sulit, di mana tali pusar melilit di leher bayi. Bisa juga terjadi karena anak sempat tenggelam sehingga tidak bisa bernapas untuk jangka waktu yang lama.

2. Benturan keras di kepala.

3. Panas yang tinggi sehingga anak mengalami kejang. Panas ini bisa disebabkan oleh infeksi, radang, atau akibat dari pemberian vaksin yang mengakibatkan anak demam dan panas tinggi.

Ada beberapa cara untuk menyeimbangkan otak kiri dan kanan. Yang paling murah dan mudah dilakukan adalah dengan menggunakan latihan Brain Gym. Untuk lebih jelas mengenai Brain Gym bisa baca bukunya. Sudah diterbitkan Gramedia plus ada videonya.

Kedua, dengan menggunakan terapi suara atau Sound Therapy. Terapi ini berdasarkan penelitian Dr. Alfred Tomatis di Perancis. Caranya adalah dengan mendengar musik, dengan frekuensi khusus, di telinga kiri dan kanan penderita ADD/ADHD, sehingga akan terjadi keseimbangan. Musik ini dulunya hanya bisa didengarkan di klinik khusus.

Namun berkat perkembangan teknologi maka sudah bisa “dikasetkan”, dengan jenis pita khusus, dan hanya bisa didengarkan dengan menggunakan headphone atau earphone khusus yang mampu melewatkan frekuensi tinggi hingga mencapai 18.000 Hz. Player untuk kaset inipun harus khusus merek dengan tipe tertentu.

Mengapa khusus? Ya itu tadi. Player kaset yang biasa-biasa tidak akan mampu memainkan musik dengan frekuensi tinggi. Ini juga salah satu alasan mengapa rekaman lagu atau musiknya tidak bisa menggunakan media CD. Saat ini di pasaran ada sangat banyak “teknologi otak” yang menawarkan program penyeimbangan otak kiri dan kanan. Beberapa yang pernah saya lihat made in China dengan lisensi dari Amerika. Saat di-browsing situsnya tidak menjelaskan dasar teori dan riset yang mendasasari pembuatan alat ini. So.. hat-hati ya…

Cara yang paling umum dilakukan untuk menangani anak ADD/ADHD adalah dengan memberikan Ritalin. Ritalin cara kerjanya adalah dengan menekan pusat “keaktifan” , di otak, sehingga anak terkesan “rileks” dan bisa tenang. Namun obat hanya mengobati simtom, bukan akar masalah. Begitu pengaruh obat habis maka anak kembali ke kondisi awal, seperti sebelum minum obat. Ada pakar yang berpendapat bahwa ADD/ADHD ini adalah penyakit bawaan atau congenital disorder. Yang paling banyak mengalami masalah ini adalah anak laki (20%), sedangkan anak perempuan lebih sedikit yaitu hanya 8%.

Ketiga, dengan menggunakan Sound Therapy yang dikombinasi dengan Light Therapy (terapi dengan cahaya). Kombinasi ini yang digunakan di mesin BW 1. Untuk cahaya, yang digunakan adalah cahaya dengan panjang gelombang yang sangat khusus dan presisi, yang menghasilkan cahaya berwarna kuning keemasan, seperti warna kuning yang ada di pusat api lilin.

Dari riset didapatkan temuan bahwa cahaya kuning keemasan mempunyai efek yang paling maksimal terhadap otak. Untuk lebih jelas mengenai BW 1 bisa dilihat di www.alphalearning.ch . Sedangkan buku yang membahas mengenai berbagai riset di dunia mind technology judulnya Mega Brain karya Michael Hutchinson. Buku ini sudah tidak dicetak lagi. Sudah out of print dan menjadi buku classic. Saya dapatnya yang bekas. Inipun setelah susah payah berburu di berbagai situs yang menjual buku-buku bekas.

Masalah Pada Pikiran

Penanganan anak ADD/ADHD dengan paradigma ilmu pikiran (software) tentunya berbeda bila kita menggunakan paradigma cara kerja otak (hardware). Dari berbagai literatur yang saya pelajari disimpulkan bahwa manusia terlahir dengan kondisi pikiran yang sempurna. Saat lahir manusia hanya punya satu jenis pikiran yaitu Pikiran Bawah Sadar. Pikiran Bawah Sadar sudah aktif sempurna sejak bayi berusia (tiga) bulan di dalam kandungan ibunya dan merekam dengan sempurna semua peristiwa yang dialami ibunya, baik positif maupun negatif, dan juga apa yang ia, si jabang bayi, alami atau rasakan.

Pikiran Bawah Sadar terdiri atas dua bagian. Pertama, bagian yang disebut dengan Pikiran Nir Sadar atau Unconscious Mind, atau ada juga yang menyebutnya sebagai Primitive Area. Kedua, bagian yang disebut dengan Modern Memory Area atau yang lebih dikenal dengan nama Subconscious Mind. Jika orang berkata atau bicara mengenai Pikiran Bawah Sadar maka yang mereka maksud adalah Modern Memory Area ini.

Pikiran Nir Sadar berisi berbagai program, yang “ditulis” oleh Sang Pencipta, untuk kelangsungan hidup kita. Program-program ini antara lain untuk menjalankan fungsi tubuh otonom, seperti pernapasan, detak jantung, pencernaan, sistem kekebalan tubuh, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelangsungan hidup (survival). Bila di komputer, program-program di Pikiran Nir Sadar ini adalah BIOS atau Basic Input Ouput System. Tanpa BIOS komputer tidak akan bisa jalan. BIOS dibutuhkan untuk meng-instal Operating System (OS). Setelah OS selesai kita instal barulah kita meng-instal berbagai program aplikasi.

Nah, apa hubungan cerita saya ini dengan anak yang ADD/ADHD?

Begini, hasil penelusuran terhadap sumber penyebab ADD/ADHD, dari sudut ilmu pikiran, didapatkan hasil bahwa ADD/ADHD ini sebenarnya hanyalah simtom atau gejala dari suatu masalah.

Apa masalahnya?

Perilaku ADD/ADHD ini adalah efek dari kecemasan yang tinggi, yang dialami oleh anak sewaktu kecil. Karena anak cemas maka pikirannya bekerja sangat aktif, memunculkan berbagai gambar mental atau buah pikir, dengan tujuan agar anak bisa sibuk memikirkan gambar mental atau buah pikir itu sehingga dengan sendirinya kecemasan mereka akan berkurang.

Kita, orang dewasa, jika merasa cemas, apa yang kita lakukan? Kita akan menyibukkan diri kita, benar nggak? Bahkan, bila sudah cukup parah, maka kita akan mengalami OCD (Obsessive Compulsive Disorder), antara lain seperti sering cuci tangan, memeriksa kunci berkali-kali, menghitung angka naik turun (counting numbers), atau melafalkan alfabet.

Pertanyaannya sekarang adalah, “Mengapa anak cemas? Apa yang menyebabkan anak cemas?”

Jawabannya sederhana sekali yaitu karena tangki cinta anak kosong. Tingkat kecemasan seorang anak berbanding terbalik dengan isi tangki cinta. Semakin penuh isi tangki cinta maka anak akan semakin rileks, percaya diri, dan kuat menghadapi berbagai “benturan” emosi. Semakin kosong tangkinya maka anak akan semakin lemah dan cemas.

Semakin cemas anak maka akan semakin banyak gambar mental atau buah pikir yang muncul. Ini adalah hal yang sangat alamiah dan normal. Saya katakan normal karena memang sudah menjadi salah satu fungsi dari Pikiran Bawah Sadar yaitu untuk melindungi diri kita dari bahaya nyata, atau yang dipandang sebagai bahaya, baik yang bersifat fisik maupun psikis.

Nah, agar anak bisa “selamat” dari tekanan mental (baca: kecemasan tinggi) maka Pikiran Bawah Sadar akan menyibukkan pikiran anak, agar tidak memikirkan kecemasannya, dengan memunculkan sangat banyak gambar mental atau buah pikir secara cepat. Lama-lama defense mechanism ini menjadi suatu kebiasaan atau habit dan menjadi ADD/ADHD.

Langkah awal membantu anak kita yang ADD/ADHD adalah dengan mengurangi tingkat kecemasannya. Kalau bisa dihilangkan sama sekali. Bagaimana caranya? Mulailah dengan mengisi tangki cinta anak. Tangki cinta ini ada dua. Yang satu diisi oleh ibu dan satu lagi oleh ayah. Tidak bisa dirangkap. Harus diisi oleh masing-masing orangtua. Cara mengisinya adalah dengan menggunakan bahasa cinta. Ada lima bahasa cinta yang bisa kita gunakan.

Pertama, tatapan mata. Jika berkomunikasi dengan anak, pandanglah matanya dengan lembut dan penuh cinta kasih. Tatapan mata ini sangat penting.

Kedua, sentuhan fisik . Anak harus sering mendapat sentuhan fisik, baik itu pelukan atau kecupan sayang dari orangtuanya.

Ketiga, waktu yang berkualitas. Orangtua perlu menyediakan waktu yang cukup dengan intensitas perhatian dan kedekatan emosi yang baik dengan anak. Waktu berkualitas juga meliputi kuantitas. Tanpa kuantitas yang cukup maka tidak ada yang namanya waktu berkualitas.

Keempat, kata-kata pendukung. Orangtua sering mengucapkan kata-kata negatif. Tujuannya sebenarnya positif yaitu ingin memacu anak agar berubah menjadi lebih baik. Namun dari perspektif ilmu pikiran, kita harus mengucapkan hanya hal-hal yang positif, hal-hal yang menguatkan dan meneguhkan hati anak.

Kelima, pemberian hadiah. Hadiah yang dimaksud di sini tidak perlu hadiah yang besar atau mahal. Cukup hadiah-hadiah kecil Misalnya orangtua pas ke luar kota atau dari mal, belikan anak sesuatu yang ia suka dan tidak disangka-sangka.

Anak-anak sekarang banyak yang cemas karena orangtua sibuk cari uang atau bekerja sehingga mereka hanya diserahkan kepada baby sitter. Baby sitter bisa memberikan makanan pada tubuh fisiknya namun tidak bagi jiwanya. Belum lagi bila baby sitter ini sering bersikap keras terhadap anak. Efeknya akan sangat destruktif. Baby sitter hanya bisa mengisi tangki fisik (baca: perut) anak tapi tidak bisa mengisi tangki cinta anak.

Saat anak sudah agak besar, kecemasan bisa timbul saat mulai masuk sekolah. Tekanan sistem pendidikan terhadap anak kita, ditambah lagi bila lingkungan sekolah dan guru tidak kondusif, membuat anak semakin cemas. Tekanan bisa juga timbul dari orangtua yang overconfident terhadap kemampuan anaknya sehingga menuntut anak harus bisa mencapai prestasi yang tinggi.

Sayangnya tuntutan yang tinggi ini tidak disertai dengan memberikan anak berbagai strategi dan teknik pembelajaran yang sesuai dengan keunikan anak. Akibatnya anak menjadi tegang, cemas, dan proses belajar menjadi suatu hal yang menyakitkan.

Seringkali, dan kasus ini sangat banyak saya temui, kecemasan anak justru merupakan hasil “transfer” dari orangtuanya, terutama ibunya. Banyak ibu yang cemas, mungkin karena ini adalah anak pertama, sehingga ingin yang terbaik untuk anaknya. Karena ingin yang terbaik, Ibu ini menjadi cemas dan selalu was-was terhadap perkembangan anaknya. Semakin si ibu cemas maka semakin cemas pula si anak. Dan ibu yang tidak tahu mengenai hal ini akhirnya bingung sendiri dan mencari terapis untuk membantu anaknya yang “bermasalah”. Terapis melakukant terapi pada anak tapi tidak pada si ibu.

Hasilnya? Tidak bisa optimal.

Saat saya menceritakan hal ini kepada orangtua klien saya, ayah klien saya membenarkan bahwa istrinya sangat cemas terhadap anaknya. Sedemikian khawatirnya si istri kalau anaknya mengalami hal-hal yang tidak diinginkan, sampai-sampai ia tidak pernah mempercayakan perawatan anaknya kepada orang lain. Semua dikerjakan sendiri.

Salah satu bentuk kecemasannya adalah untuk selalu mensterilkan semua peralatan makan si anak. Ini benar-benar merepotkan. Botol susu, piring, gelas, sendok, garpu, semuanya harus disterilkan, dicelupkan ke dalam air mendidih agar kuman mati semua. Bahkan saat liburan ke Bali si ibu sampai membawa panci yang biasa ia gunakan untuk mensterilkan peralatan si anak. Klien saya, murid kelas 2 SD yang ADD, mampu duduk diam dan tenang saat diminta memvisualisasi, di pikirannya, jalan yang harus ditempuh dari satu mal ke rumahnya.

Anak ini mampu dengan sangat jelas membayangkan jalan yang harus dilalui, ada apa saja di jalan itu, harus belok ke mana, dan akhirnya sampai di rumah. Nah, apa yang terjadi saat saat anak ini melakukan visualisasi? Tanpa si anak sadari saya meminta ia memilih hanya satu objek pikiran untuk ia pikirkan. Saat itu ia melakukan konsentrasi.

Dan karena ia “memutuskan” hanya memilih satu objek pikiran maka gambar mental yang lain, yang muncul dengan sangat cepat di pikirannya, diabaikan. Dengan demikian ia bisa menjadi tenang dan rileks. Hal ini yang perlu dilatih. Anak harus bisa mengarahkan pikiran pada hal-hal yang memang ia inginkan. Jika kita bisa membuat anak terbiasa melakukan hal ini maka cepat atau lambat kita membentuk kebiasaan atau habit baru dalam diri anak.

Anak yang pikirannya sangat aktif akan sulit konsentrasi dan belajar. Umumnya mereka dilabel sebagai anak yang menjadi trouble maker di kelas. Jika sudah agak besar, saat belajar mereka akan menyalakan televisi, menyalakan radio atau tape, sambil melakukan aktivitas belajar. Mengapa mereka bisa belajar ditengah berbagai “keributan” atau “distorsi” ini?

Yang mereka lakukan adalah mereka membuat sibuk bagian pikiran yang selama ini mengganggu konsentrasi mereka. Bagian ini mendengarkan suara acara televisi dan radio. Bagian ini menjadi sibuk. Sehingga anak bisa fokus pada materi yang ia pelajari.

Oh ya, satu hal lagi yang bisa menyebabkan anak mengalami ADD/ADHD yaitu salah diagnosa. Seringkali anak yang sangat aktif, yang sebenarnya tidak mengalami ADD/ADHD, dengan mudahnya, oleh lingkungan atau guru di sekolah, diberi label anak hiperaktif. Pada saat kita memberikan label pada anak maka label ini akan melekat pada diri si anak.

Dengan pengulangan atau penguatan (reinforcement), karena lingkungan memperlakukan dirinya sebagai anak ADD/ADHD, maka cepat atau lambat label ini akan menjadi belief yang terintegrasi ke belief system anak dan akhirnya menjadi identity. Kalau sudah jadi identity… wah sulit sekali untuk bisa dibereskan. Identity ini adalah program yang bersifat self fullfiling prophecy.

Penanganan Anak ADD/ADHD

Saya biasa melakukan penanganan dengan menggunakan pendekatan kombinasi. Jika dirasa perlu saya akan menggnakan BW 1. Pertama saya akan mengukur kondisi gelombang otak kiri dan kanan. Dari hasil pengukuran ini selanjutnya dengan menggunakan Optical Neuron Synergizer saya melakukan tune up otak dan menyeimbangkan otak kiri dan kanan. Pada umumnya hanya dengan satu kali sesi tune up sudah bisa seimbang. Namun untuk menstabilkan saya butuh lima sesi. Efek penyeimbangan bersifat permanen. Ini pendekatan terapi dari sisi hardware.

Untuk software, saya menggunakan berbagai teknik ilmu pikiran untuk membantu anak menghilangkan kecemasannya. Selanjutnya saya melatih dan membantu anak untuk bisa mengarahkan pikiran sesuai dengan yang mereka inginkan.

Keterlibatan orangtua juga sangat saya tekankan. Orangtua juga perlu diajari beberapa teknik yang bisa mereka lakukan di rumah agar bisa membantu anak mereka. Salah satunya adalah cara berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar anak sehingga bisa memasukkan sugesti positif yang membantu perkembangan anak.

Baca Selengkapnya

Sertifikasi vs Kompetensi

21 Juli 2010

Seorang kawan bertanya kepada saya, “Pak, pelatihan Quantum Hypnosis Indonesia 100 jam sertifikasi hipnoterapis profesional yang Bapak selenggarakan ini berafiliasi ke organisasi mana? Apakah sertifikasi Quantum Hypnosis Indonesia (QHI) mendapat pengakuan dari organisasi hipnosis atau hipnoterapi di luar negeri seperti National Guild of Hypnotists (NGH)?” 

Sebelum saya melanjutkan cerita saya, bagi anda pembaca yang awam terhadap dunia hipnosis/hipnoterapi, saya ingin menjelaskan bahwa selain NGH, masih ada banyak lagi organisasi yang “mengurusi” hipnosis/hipnoterapi atau yang berhubungan dengan konseling dan terapi. Beberapa nama besar antara lain The International Medical & Dentistry Hypnotherapy Association (IMDHA), The American Board of Hypnotherapy (ABH),  International Association of Clinical Hypnotists (IACH), American Alliance of Hypnotists (AAH), International Association of Counselors and Therapists (IACT), National Association of Transpersonal Hypnotherapists (NATH), dan Associaton of Professional Hypnotists and Psychotherapists (APHP) di Inggris. 

Nah, kembali ke pertanyaan kawan saya ini, “Apakah sertifikasi QHI mendapat pengakuan dari organisasi hipnosis atau hipnoterapi di luar negeri seperti National Guild of Hypnotists (NGH)?”Sebelum saya memutuskan untuk menyelenggarakan pelatihan hipnoterapi 100 jam (tatap muka di kelas) saya memang sempat melakukan browsing ke berbagai situs organisasi yang saya sebutkan di atas dan juga berbagai situs lembaga hipnoterapi di Indonesia.

Saya memang sempat mempertimbangkan untuk bisa mendapat pengakuan atau berafiliasi ke lembaga luar negeri.  Namun setelah melalui pertimbangan mendalam saya akhirnya memutuskan untuk tidak berafiliasi ke lembaga manapun. Saya memutuskan untuk menetapkan standar sendiri melalui QHI.

Beberapa waktu lalu beberapa orang praktisi, trainer, pakar, dan pemerhati hipnosis/hipnoterapi memang ingin menetapkan suatu standar hipnosis/hipnoterapi Indonesia. Namun karena keterbatasan waktu dan kesibukan masing-masing akhirnya kita belum bisa bertemu muka.

Nah, saya berpikir ada baiknya saya menyusun modul dulu dan setelah itu jika kita jadi bertemu kita bisa saling bertukar pikiran, memberikan masukan, dan bersama-sama menetapkan standar baku. Saya yakin dalam waktu dekat hal ini pasti akan bisa kita lakukan bersama.

Berbekal semangat ini selanjutnya saya menyusun modul pelatihan 100 jam. Jujur, tidak mudah bagi saya untuk bisa menyusun modul ini. Pertama, saya mempelajari berbagai modul pelatihan hipnoterapi yang diselenggarakan lembaga hipnoterapi di Indonesia. Saya sempat belajar kepada salah satu pakar hipnoterapi Indonesia. Dari beliaulah wawasan saya mengenai dunia hipnosis dan hipnoterapi terbuka lebar. Selanjutnya dengan bekal wawasan ini saya kemudian memperdalam lagi dengan menghadiri seminar atau pelatihan lain yang mendukung pengembangan pengetahuan saya.

Materi-materi ini selain saya dapatkan karena saya menghadiri sendiri pelatihannya, saya juga mendapat bantuan dari rekan-rekan yang telah mengikuti pelatihan yang belum saya ikuti. Mereka meminjamkan modul pelatihan mereka untuk saya pelajari.  

Selanjutnya saya banyak bertanya kepada rekan-rekan sesama hipnoterapis mengenai lama pelatihan, kurikulum, apa yang dilakukan di kelas, berapa jumlah peserta, dan masih banyak hal lainnya.  Dari rekan-rekan ini saya mendapat sangat banyak masukan berharga, baik itu kelebihan dan kekurangan yang selama ini terjadi, dan bagaimana meningkatkan pelatihan itu agar menjadi semakin efektif dan efisien. 

Berbekal informasi ini saya selanjutnya mempelajari berbagai modul pelatihan yang diselenggarakan lembaga hipnoterapi terkemuka di Amerika, yang tentunya kurikulumnya sesuai standar NGH. Saya juga membeli sangat banyak video atau DVD hipnoterapi, mulai dari basic hingga advanced, dan menggabungkan informasi dan pengetahuan ini dengan yang saya dapatkan dari membaca banyak buku mengenai hipnosis dan hipnoterapi, berbagai jurnal internasional mengenai hipnosis dan hipnoterapi seperti American Journal of Clinical Hypnosis (AJCH) dan International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis (IJCEH)  plus pengalaman praktik membantu sangat banyak klien.  

Pertanyaannya sekarang adalah mengapa saya berani memutuskan untuk “jalan” sendiri? Pemikiran saya sangat sederhana tapi logis, “Apakah sertifikasi yang mengatas-namakan lembaga luar negeri menjamin bahwa alumnus pelatihan pasti kompeten melakukan hipnoterapi?” Jawabannya, “Belum tentu”.  Mengapa saya mengajukan pertanyaan di atas?  Karena saya menemukan banyak rekan yang telah mengikuti pelatihan dan, katanya, telah mendapat sertifikasi NGH ternyata tidak bisa atau tidak berani melakukan hipnoterapi.

Saya juga bertemu dengan banyak klien dan pembaca buku, yang mengirimi saya email, dan bertanya mengapa setelah menjalani 7 sesi hipnoterapi masih juga belum sembuh.Namun ada juga banyak rekan saya, sesama hipnoterapis, yang walaupun hanya mengikuti pelatihan singkat yang diselenggarakan lembaga hipnoterapi dalam negeri namun mampu melakukan terapi dengan efektif dan efisien. Nah,kepada teman-teman inilah saya belajar dan berguru juga. Jujur, pada awalnya, saya bingung melihat fenomena ini. Namun setelah saya gali lebih jauh akhirnya saya menemukan benang merah yang selama ini tidak diperhatikan atau diajarkan di pelatihan.  

Kemudian, pertanyaan berikutnya adalah, “Bagaimana bila kita mengikuti pelatihan hipnoterapi di luar negeri?” Ini satu pertanyaan bagus. Menurut hemat saya, untuk mempelajari hipnoterapi di luar negeri ada beberapa kendala. Pertama faktor biaya. Pelatihan yang dilakukan oleh salah satu cabang lembaga terkemuka di Amerika, yang pelatihannya diselenggarakan di Singapore selama 10 hari, karena mengikuti standar 100 jam, harganya sangat mahal. Ini belum termasuk tiket pesawat, hotel, dan makan. Faktor kedua, masalah bahasa.

Untuk mempelajari hipnoterapi di luar negeri dibutuhkan kemampuan bahasa Indonesia dan Inggris yang sangat baik.Mengapa? Karena kita harus mampu meng-Indonesia-kan berbagai semantik yang digunakan dalam dunia hipnoterapi. Semantik ini sangat penting karena jika kita salah memilih atau menggunakannya maka efeknya akan berbeda. Melalui Quantum Hypnosis Indonesia (QHI) saya memutuskan untuk menyelenggarakan pelatihan hipnoterapi 100 jam untuk bisa membantu mendidik hipnoterapi andal. Selain itu, kurikulum dan standar pelatihan yang digunakan saya harapkan bisa memberikan sumbangan pemikiran bagi kemajuan hipnosis dan hipnoterapi di Indonesia.

Satu hal yang membedakan pelatihan QHI dan beberapa pelatihan yang pernah saya ikuti di dalam negeri yaitu di QHI kami memberikan contoh praktik terapi di dalam kelas, live therapy, dengan kasus riil, mulai dari yang ringan, seperti phobia, sampai kasus yang berat seperti luka batin, konflik diri, menemukan berbagai mental block penghambat sukses, dan bahkan kecemasan yang sangat tinggi. 

Melalui contoh live therapy ini peserta dapat melihat dinamika yang terjadi saat berhadapan langsung dengan klien, bagaimana menggunakan pengetahuan dan berbagai teknik terapi yang telah diajarkan, dan bagaimana menggunakan kreativitas untuk membantu klien mengatasi masalah.  

Saat ini di Indonesia terdapat dua “aliran” lembaga hipnoterapi. Pertama, lembaga yang sangat “mengutamakan” nama besar lembaga luar negeri. Jadi, sertifikasi yang mereka berikan selalu mencantumkan logo lembaga luar negeri yang menjadi afiliasi mereka. Lembaga tipe ini terkesan lebih mengutamakan sertifikasi.  

Kedua, lembaga yang tidak terlalu memusingkan nama besar lembaga luar negeri tapi benar-benar beroperasi berdasarkan standar kompetensi yang tinggi. Lembaga ini hanya mengutamakan satu hal yaitu alumnus pelatihannya kompeten melakukan terapi secara benar, efektif, efisien, dan dengan hasil yang permanen.   

Bagaimana dengan pelatihan yang hanya 1 hari atau 2 hari yang banyak diselenggarakan oleh lembaga hipnoterapi Indonesia? Jika pelatihan 1 atau 2 hari ini bertujuan untuk mengajarkan dasar-dasar hipnoterapi maka ini sangat baik. Untuk belajar basic-nya memang cukup 1 atau 2 hari saja. Namun bila ada lembaga yang mengatakan bahwa hipnoterapi hanya bisa dipelajari dalam 1 hari saja maka saya meragukan kemampuan alumnusnya. Apalagi bila hanya dengan pelatihan selama 1 atau 2 hari pesertanya langsung mendapat sertifikasi, yang kalau perlu mencantumkan nama lembaga luar negeri, dan mendapat gelar sebagai Certified Hypnotherapist atau C.Ht.  

Yang kita harus hati-hati adalah apakah hipnoterapis ini mampu melakukan terapi dengan benar hanya dengan pelatihan selama 1 atau 2 hari saja? Sertifikasi ini apakah sertifikasi mengenai kehadiran di pelatihan atau sertifikasi kompetensi seseorang? Saya bahkan pernah membaca iklan di salah satu surat kabar lokal mengenai “Hipnoterapi Super Kilat 1 Hari”. 

Sebenarnya saya juga ingin menghadiri pelatihan ini namun tidak bisa karena berbenturan dengan kegiatan saya. Jika hipnoterapi benar-benar bisa diajarkan hanya dalam 1 hari maka saya akan sangat senang belajar pada pakar ini. Pasti akan ada sangat banyak short cut atau jalan pintas yang bisa saya pelajari. 

Saran saya, jika anda mencari trainer pelatihan hipnoterapi maka carilah lembaga yang benar-benar mengajar dengan standar yang tinggi.

Nah, kembali ke pembahasan artikel ini, “Mana yang lebih penting sertifikasi ataukah kompetensi?” 

Jawabannya kalau bisa ya dua-dua. Tapi kalau terpaksa harus memilih salah satu maka pilihannya adalah sudah tentu “Kompetensi”.

Baca Selengkapnya

Waking Hypnosis

21 Juli 2010

Di salah satu weekend di bulan Mei 2008, dalam rangkaian pelatihan hipnoterapi 100 jam, saya sempat bertemu dengan beberapa kawan yang juga menyelenggarakan pelatihan di ruang berbeda di lantai 6 Hotel Ciputra Jakarta. Saya menggunakan kesempatan ini untuk berbincang sejenak sambil berfoto bersama.

Di sela-sela obrolan kami tiba-tiba ada yang nyeletuk, "Pak, main hipnosis dong".

Sambil tersenyum saya menoleh ke seorang staff kawan saya, sebut saja Lani, dan berkata, "Coba satukan kedua jari anda. Letakkan di depan mata sekitar 20 cm dan sekarang kedua jari anda lengket tidak bisa dilepas".

Apa yang terjadi kemudian?

Benar, jari Lani lengket. Tidak bisa dilepas. Semakin ia berusaha melepas kedua jarinya semakin lengket jadinya. Lani tampak mulai panik. Sambil terus berusaha melepas kedua jarinya, tapi tetap nggak berhasil, ia berkata, "Pak... pak.. ini kok bisa jadi begini? Kenapa nggak bisa dilepas?"

Sudah kepalang tanggung... saya teruskan main-main ini dengan membuat Lani nggak bisa jalan, kakinya lengket di lantai dan saya membuat punggung tangan kanannya mati rasa sehingga tidak terasa apapun saat dicubit dengan keras.

Setelah itu saya membuat semuanya kembali seperti sedia kala. Lani sudah bisa melepas jarinya, bisa jalan, dan kalo dicubit sudah bisa merasa sakit. Saya lalu minta ijin untuk ke toilet.

Saat balik dari toilet saya melihat rekan-rekan Lani bertanya-tanya mengenai hal yang baru dialami Lani. Banyak yang tidak percaya. Mereka pikir Lani hanya main-main saja. Padahal saya baru pertama kali bertemu Lani.

Sebenarnya saya sudah mau kembali ke kelas pelatihan saya tapi tiba-tiba ada dorongan untuk main-main sekali lagi. Saya lalu mendekati Lani dan berkata, "Lan, boleh nggak saya pinjam namamu?" "Boleh Pak" jawabnya. "Sungguh lho ya" tanya saya sekali lagi. "Ya pak.. boleh" jawabnya mantap.

Apa yang terjadi setelah itu?

Saya lalu bertanya, "Siapa nama anda?"

Lani tiba-tiba tidak ingat namanya. Semakin keras ia berusaha mengingat namanya semakin lupa jadinya. Dari sini saya melanjutkannya dengan, "Coba anda lihat siapa ini?"

"Oh, ini Pak Rudy" jawabnya sambil memandang rekan saya, yang berada di depannya.

"Kalau ini siapa?" tanya saya sambil menunjuk ke diri saya sendiri.

"Pak Adi" jawabnya.

"Ok, sekarang di sini hanya ada anda, Lani, dan dua orang Pak Rudy. Anda lihat di sini ada dua orang Pak Rudy. Tidak ada Pak Adi" perintah saya.

Apa yang terjadi setelah itu?

Benar, Lani tidak melihat siapapun kecuali dirinya sendiri, dan dua orang "Pak Rudy". Lani melihat diri saya sebagai Pak Rudy.

Karena telah ditunggu di kelas saya segera mengakhiri main-main ini walaupun sebenarnya penonton masih menginginkan lebih. Sambil bercanda saya berkata, "Kalo mau lebih, ya harus pake bayar dong. Nggak bisa gratis seperti ini."

Nah, pembaca, anda mungkin bertanya berapa lama waktu yang saya gunakan untuk main-main ini? Tidak lama. Hanya sekitar 2-3 menit saja.

"Ah yang benar...masa hanya 2-3 menit saja?" Lho, ini serius.

Bagi anda yang familier dengan hipnosis dan hipnoterapi anda tahu bahwa yang saya lakukan sebenarnya adalah hal yang biasa saja. Jari lengket, nggak bisa jalan, punggung tangan mati rasa, lupa nama, nggak bisa melihat orang, melihat seseorang sebagai orang lain, ini adalah fenomena yang dapat diciptakan by design dengan memahami cara kerja pikiran, level kedalaman hipnosis, dan sugesti pascahipnosis dengan menggunakan semantik yang tepat. Dalam hipnosis / hipnoterapi istilah teknisnya adalah limb catalepsy, anesthesia, amnesia, positive dan negative visual hallucination.

Yang mungkin menjadi pertanyaan anda adalah bagaimana saya bisa melakukannya dengan sangat cepat dan mudah? Negative visual hallucination adalah fenomena yang hanya bisa muncul atau diciptakan saat seseorang berada dalam kondisi profound somnambulism.

Bagi anda pembaca yang kurang familier dengan jargon-jargon hipnosis, kondisi profound somnambulism adalah keadaan trance atau hipnosis yang sangat dalam. Jika menggunakan skala kedalaman trance Davis Husband Susceptibility Scale (DHSS) maka negative visual hallucination baru bisa tercipta saat klien berada di level 29, dari 30 level kedalaman.

Dalam kondisi normal, untuk membawa seseorang masuk ke kondisi profound somnambulism, dibutuhkan waktu yang tidak sedikit. Pengalaman saya pribadi, dalam konteks terapi, menunjukkan bahwa subjek hipnosis atau klien harus diedukasi terlebih dahulu. Ini bisa 30 menit, bisa 1 jam, atau bahkan 2 jam. Intinya, perasaan takut dan berbagai miskonsepsi klien harus diatasi terlebih dahulu. Setelah itu baru dilakukan induksi untuk membawa klien masuk ke kondisi deep trance. Induksi formal yang biasa saya gunakan membutuhkan sekitar 4 detik hingga maksimal 4 menit saja.

Nah, pertanyaannya lagi, bagaimana saya bisa membawa Lani masuk kondisi profound somnambulism dengan begitu cepat dan mudah, tanpa perlu melakukan edukasi dan mengatasi rasa takutnya? Hanya dengan memberikan "perintah", langsung jadi. Nggak perlu pake teknik yang aneh-aneh.

Pembaca, ini yang ingin saya bagikan pada anda melalui artikel ini yaitu Waking Hypnosis.

Memahami waking hypnosis diawali dengan memahami semantiknya. Waking artinya bangun, tidak tidur. Hypnosis, menurut definisi US Dept. of Education, Human Services Division, adalah  bypass of the critical factor of conscious mind followed by the establishment of acceptable selective thinking atau penembusan faktor kritis pikiran sadar dan diikuti dengan diterimanya suatu sugesti atau pemikiran.

Jadi, waking hypnosis adalah penembusan faktor kritis pikiran sadar dan diikuti dengan diterimanya suatu sugesti atau pemikiran dalam kondisi bangun atau mata terbuka.

Istilah waking hypnosis pertama kali digunakan oleh Wesley Wells di tahun 1924 dan untuk pertama kalinya muncul di buku yang berjudul An Outline of Abnormal Psychology, terbitan tahun 1929.

Sedangkan menurut Elman, di bukunya Hypnotherapy, 1964, waking hypnosis adalah "when hypnotic effects are achieved without the trance state" atau saat efek hipnosis dicapai tanpa kondisi trance.

Saya pribadi mendefinisikan waking hypnosis  sebagai "segala sesuatu yang dilakukan seseorang yang mampu membuat pendengarnya bereaksi karena gambaran mental yang ditanamkan di pikiran mereka tanpa perlu dilakukan induksi hipnosis secara formal".

Nah, sekarang bagaimana cara melakukan waking hypnosis?

Sabar dulu dong. Saya akan jelaskan dulu contoh waking hypnosis biar artikel ini lebih punya taste. Nggak ada contoh... nggak rame. Yang penting anda ingat ya definisi waking hypnosis di atas.

Apa saja contoh waking hypnosis ?

Ini saya beri beberapa contoh: apa yang dikatakan oleh orangtua pada anak, apa yang dikatakan guru kepada anak/murid, saat ke dokter, kampanye pemilu, iklan tv, agama, pendidikan ala militer, orangtua yang mengusap atau meniup bagian tubuh anak yang sakit sambil berkata "Nggak apa kok, sakitnya sudah mama ambil. Jadi sekarang sudah nggak sakit".

Masih banyak contoh lain. Namun dari semua contoh waking hypnosis, yang paling kuat dan dahsyat adalah (jatuh) cinta. Kalau sudah jatuh cinta... berjuta rasanya, seperti katanya Eddy Silitonga.

Nah, sekarang bagaimana cara melakukan waking hypnosis?

Mudah kok. Yang penting anda harus tahu mekanisme pikiran. Sesuai dengan definisi waking hypnosis di atas maka yang perlu dilakukan adalah kita harus bisa menembus critical factor dari pikiran sadar dan selanjutnya memasukkan suatu perintah atau sugesti ke pikiran bawah sadar. Bagi anda yang awam dengan hipnosis, critical factor adalah filter yang menyaring informasi yang akan masuk ke pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar baru dapat kita "otak-atik" dengan mudah bila si penjaga ini berhasil ditembus.

Ada tiga cara yang biasanya digunakan untuk menembus critical factor. Pertama, kita membuat critical factor bosan. Kedua dengan membuatnya lengah. Dan ketiga dengan membuat critical factor kaget. Ini adalah tiga teknik dasar yang umumnya digunakan secara terpisah atau digabungkan saat melakukan induksi secara formal terhadap seorang klien atau subjek hipnosis.

Ada cara lain yang juga sangat efektif selain tiga cara di atas yaitu dengan menggunakan otoritas (authority),  emosi (emotion), dan informasi berlebih (message overload). Tiga cara ini yang paling sering saya gunakan saat melakukan waking hypnosis.

Sekarang mari kita analisis apa yang saya lakukan terhadap Lani. Pertama, ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan saya. Ia mengenal saya dari buku-buku saya yang ia baca, plus komentar dari beberapa orang rekannya. So... ia memandang saya sebagai figur dengan otoritas penuh. Apalagi saat itu ia tahu saya sedang memberikan pelatihan hipnoterapi 100 jam.

Saking senangnya bertemu saya Lani langsung minta foto bersama. Di sini faktor kedua yaitu emosinya bermain sangat intens. Saya dengan sangat mudah membangun rapport dengan Lani. Begitu dua faktor penting di atas berhasil saya dapat maka saya dengan mudah dapat melakukan waking hypnosis terhadap siapapun hanya dengan menambahkan faktor ketiga yaitu message overload .

Jadi, saat saya meminta Lani menyatukan kedua jarinya, saya sudah mendapatkan message overload. Yang ada di pikiran Lani pasti macam-macam, "Kenapa ya kok saya diminta menyatukan kedua jari saya? Mengapa jari-jari di tangan kiri, bukan yang kanan? Kenapa di letakkan di depan mata? Kenapa 20 cm, bukan 30 cm?". Semua ini ditambah lagi Lani saat itu menjadi pusat perhatian temannya. Walau pikiran sadarnya hanya menatap jari dan mendengar suara saya namun melalui peripheral vision ia mendapat sangat banyak informasi mengenai keadaan sekitarnya. Semua ini mengakibatkan Lani mengalami message overload.

Anda jelas sekarang? Mudah kan?

Dengan menggunakan teknik deepening tertentu, tanpa sepengetahuan penonton, saya langsung membawa Lani ke level profound somnambulism. Saat mencapai level ini maka berbagai fenomena hipnosis dapat dimunculkan dengan sangat mudah.

Baca Selengkapnya

Manfaat Dan Bahaya Past Life Regression

21 Juli 2010

If the only tool you have is a hammer, you will treat every problem as a nail

Pembaca, dalam artikel sebelumnya saya pernah mengulas mengenai Past Life Regression (PLR) atau Regresi Kehidupan Lampau. Saya kembali menulis mengenai PLR karena baru-baru ini saya mendapat telpon dari seorang kawan yang tinggal di ujung timur Indonesia, Papua. Kawan ini, sebut saja, Rini, bercerita bahwa ia baru menjalani terapi dengan seorang hipnoterapis terkenal di Jakarta dan telah mengalami PLR.

Sampai di sini saya masih tetap asyik mendengarkan kisahnya. Namun yang membuat saya terhenyak adalah saat ia berkata, "Pak, sekarang saya tahu dulunya saya ini siapa. Waktu saya diregresi ke kehidupan lampau ternyata saya adalah Nyi Roro Kidul, penguasa pantai laut selatan".

Wah.. saya kaget sekali. Ditambah lagi ia berkata bahwa ia sekarang juga tahu siap soul-mate-nya. Ternyata soul-mate-nya adalah seorang pria, profesinya sebagai guru, yang berusia jauh lebih tua darinya. Dan guru ini sudah menikah. Hati Rini hancur sekali karena tidak bisa merajut kembali hubungan kasih mereka di kehidupan ini. Saat menelpon saya Rini juga melaporkan bahwa kondisi emosinya labil sejak menjalani terapi di Jakarta.

Mengapa saya kaget mendengar cerita Rini?

Karena kisah Rini mengingatkan saya akan kisah seorang kawan yang juga mengalami hal "luar biasa" setelah mengalami PLR. Kawan ini, menurut hasil PLR, dulunya ternyata adalah orang-orang besar. Ia pernah hidup sebagai "Yesus", "Buddha", dan "Nabi Muhammad S.A.W". Kawan saya sempat mengalami goncangan mental yang cukup parah. Untung akhirnya ia bisa stabil dan normal kembali.

Kisah lainnya adalah kawan saya di Makassar yang mengalami PLR dan ternyata dulunya ia adalah "Ganesha".

Ada lagi kawan yang bercerita bahwa ia pernah ikut seminar PLR dan saat si pembicara melakukan PLR kepada para peserta, hampir semua tidak bisa mengalami PLR. Selanjutnya si pembicara dengan hakul yakin, mantap, dan dengan lantang berkata, "Anda yang tidak mengalami PLR adalah orang-orang yang tidak punya past life. Anda adalah keturunan makhluk UFO yang datang ke dunia ini dengan mengemban misi khusus." Ck.. ck...ck... betapa ngawur dan berbahaya kondisi ini.

Nah kembali ke Rini. Saat saya menggali lebih jauh dari mana Rini tahu mengenai soul mate, Rini menjawab bahwa ia baru saja selesai membaca buku mengenai PLR dan di dalamnya ada cerita tentang soul mate. Anda bisa melihat benang merah pengalaman Rini?

Pembaca yang budiman, maksud saya menulis artikel ini adalah untuk memberikan beberapa informasi penting mengenai PLR yang saya peroleh melalui pembelajaran dan pengalaman saya. Saya pun dulunya pernah melakukan beberapa kesalahan yang cukup serius. Kesalahan ini harus saya "bayar" dengan harga yang sangat mahal. Saya tidak dalam posisi atau kapasitas mengatakan bahwa past life itu ada atau tidak. Semua berpulang pada kepercayaan masing-masing.

"Apakah past life itu ada atau tidak?"

Saya tidak akan menjawab pertanyaan ini, sebab jawaban apapun yang saya berikan semua bersumber pada belief system saya. Dan belief system adalah sesuatu yang sangat personal dan subjektif.

"Apakah teknik Past Life Regression ada atau tidak?"

 Kalau ini dengan tegas, yakin, dan mantap saya akan menjawab, "Ada".

Jadi perlu dibedakan antara "Apakah past life itu ada atau tidak?" dan "Apakah teknik Past Life Regression ada atau tidak?".

"Lho, kalau past life itu nggak ada lalu ngapain repot-repot sampai ada teknik Past Life Regression/Therapy?"

Begini ya. Terlepas apakah past life itu ada atau tidak, suka atau tidak, percaya atau tidak, secara statistik, didapatkan data bahwa saat melakukan terapi, khususnya saat menggunakan teknik regresi untuk mencari akar masalah yang dialami seorang klien, sekitar 10%-20%  akan terjadi PLR spontan.

Nah, saat terjadi PLR spontan hipnoterapis harus tahu cara atau teknik untuk membantu klien mengatasi masalahnya. Bagi yang percaya dengan past life, it's ok. Bagi yang tidak percaya maka apa yang dialami klien adalah metafora yang dimunculkan oleh pikiran bawah sadar klien untuk membantu klien menyelesaikan suatu masalah. Yang penting klien sembuh. Titik. Terapis menggunakan apapun (baca: belief) yang dibawa oleh klien. Ini namanya teknik utilisasi.

So, secara teknis terapi, PLR hanyalah salah satu teknik dari sekian banyak teknik terapi yang harus tersedia di tool box seorang hipnoterapis profesional. Isi tool box plus jam terbang dan kualitas training yang pernah diikuti akan membedakan seorang hipnoterapis biasa-biasa dan yang andal.

Walaupun PLR cukup bermanfaat namun ada bahayanya. Apa itu?

Untuk bisa melakukan PLR dibutuhkan beberapa persyaratan dan kecakapan teknis. Pertama, terapis harus cakap, menguasai, dan mahir melakukan teknik regresi (regression). Secara teknis ada 8 (delapan) jenis regresi. Salah satunya adalah age regression atau regresi usia di kehidupan saat ini. Salah satu syarat mutlak untuk bisa melakukan age regression yaitu terapis harus mampu membantu subjek masuk ke kedalaman trance yang sesuai untuk teknik age regression, yaitu level full somnambulism. Akan lebih baik lagi jika mencapai level profound somnambulism.

Mengapa perlu mencapai kedalaman ini?

Jawabannya sederhana saja. Pada level kedalaman ini critical factor dari pikiran sadar (conscious mind) telah benar-benar off sehingga tidak akan mengganggu proses PLR.

Bagaimana kita bisa tahu bahwa seseorang telah berhasil mencapai level kedalaman somnambulism? Tentu ada caranya. Saya tidak bisa menjelaskan di artikel ini karena akan terlalu panjang dan teknis.

Dari beberapa kasus yang pernah saya dengar  kebanyakan subjek belum masuk ke level somnambulism saat PLR dilakukan.

Dari mana saya tahu?

Mudah kok. Pertama saya bertanya apakah dilakukan uji kedalaman level hipnosis atau depth level test? Ternyata tidak. Kedua, dari teknik induksi yang digunakan, yaitu progressive relaxation, saya tahu bahwa klien masih dalam kondisi light trance atau maksimal berada di medium trance. Banyak hipnoterapis yang berasumsi bahwa saat klien terlihat telah rileks, tubuhnya, setelah diinduksi dengan progressive relaxation, maka hal ini berarti klien telah mencapai level somnambulism.

Ini adalah asumsi yang salah dan bisa berakibat sangat fatal. Mengapa?

Karena kondisi tubuh yang rileks tidak sama dengan kondisi hipnosis. Kondisi hipnosis adalah kondisi mental yang rileks, bukan fisik yang rileks. Saat subjek atau klien belum mencapai level somnambulism maka saat itu pikiran sadarnya (critical factor) masih (cukup) aktif.

Bahaya PLR muncul karena dua hal. Pertama, saat pikiran sadar klien masih aktif, maka saat dilakukan PLR, yang muncul di pikirannya adalah apa yang diharapkan oleh klien. Bisa jadi berupa imajinasi, atau kisah atau cerita yang sangat berkesan bagi klien. Jadi, dalam hal ini pikiran sadar yang bermain.

Kedua, PLR akan berbahaya dan merugikan klien bila saat melakukan PLR hipnoterapis melakukan leading, bukan guiding. Leading maksudnya hipnoterapis mengarahkan pikiran klien dengan skenario atau alur cerita yang ada di benak si hipnoterapis atau seperti yang diinginkan klien. Sedangkan guiding artinya pertanyaan yang diajukan oleh hipnoterapis bersifat netral, tidak mengarah pada satu skenario tertentu.

Leading atau guiding semua bergantung pada semantik atau kata-kata yang digunakan hipnoterapis saat membawa klien atau subjek hipnosis mundur ke suatu masa baik di kehidupan saat ini maupun di kehidupan lampau klien.

Leading menjadi sesuatu yang sangat berbahaya dan merugikan klien karena saat dalam kondisi trance, apalagi bila deep trance atau somnambulism, apapun yang muncul dalam pikiran klien secara otomatis menjadi false memory yang diterima klien sebagai suatu kebenaran.

False memory juga bisa terjadi saat seorang klien datang ke seorang hipnoterapis dan minta dilakukan PLR. Artinya PLR yang dilakukan bukan terjadi secara spontan saat mencari akar masalah tapi dilakukan by order.

Saya sangat menghindari jenis PLR by order. Ada banyak yang meminta saya melakukan PLR namun saya tolak walaupun mereka bersedia memberikan imbalan materi yang cukup besar jumlahnya.

Mengapa saya menolak? Ya itu tadi. Bisa terjadi false memory.

Lho, kok bisa terjadi false memory?

Soalnya, saat klien bersiap-siap mau PLR, saat itu klien masuk dalam kondisi anticipatory mode. Klien mengharapkan regresi ini. Dengan sangat berharap atau ingin diregresi maka critical factor akan tetap aktif. Kondisi pikiran ini sungguh tidak kondusif untuk PLR karena klien pasti sangat sulit masuk kondisi somnambulism.

Nah, saat belum di somnambulism dan klien mengalami PLR maka yang muncul adalah apa yang ada di pikiran sadar klien. Ini jelas bukan PLR (Past Life Regression) tapi PLR dengan kepanjangan Pasti Langsung Rancu.

Seorang kawan juga pernah menanyakan pendapat saya mengenai seminar PLR. Menurut hemat saya sangat sulit melakukan PLR secara masal, dalam bentuk seminar. Alasannya, syarat awal subjek mencapai level kedalaman somnambulism saja sudah sangat sulit terpenuhi karena umumnya teknik induksi yang digunakan adalah progressive relaxation, yang nota bene adalah teknik induksi yang paling tidak efektif, kecuali jika dilakukan beberapa modifikasi semantik.

Apakah sulit untuk membawa klien masuk kondisi somnambulism? Tidak. Sangat mudah asal tahu tekniknya. Dari berbagai resource yang saya pelajari, baik itu berupa buku, jurnal, maupun kaset atau DVD pelatihan hipnoterapi, ternyata untuk membawa klien ke kondisi somnambulism tidak perlu mempelajari berbagai teknik induksi. Cukup menguasai dengan baik dua teknik saja. Dua teknik ini sangat dahsyat, telah teruji, dan terbukti tidak pernah gagal membawa subjek tipe apapun untuk masuk ke kondisi somnambulism.

Selain teknik yang kurang pas, subjek juga akan sangat sulit masuk ke kondisi somnambulism bila ada perasaan takut terhadap hipnosis.Level kedalaman trance berbanding terbalik dengan intensitas rasa takut. Jadi adalah sangat penting untuk bisa mengatasi rasa takut pada diri subjek hipnosis sebelum dilakukan induksi. Problem lainnya adalah belum tentu pikiran bawah sadar klien bersedia dan mengijinkan si klien untuk dihipnosis, apalagi sampai mengalami PLR.

Mengapa saya berkata begini? Karena saya pernah mengalami hal ini. Saat membantu seorang klien menemukan akar masalahnya, ternyata regresi membawa klien ini sampai ke masa ia masih di dalam kandungan ibunya. Namun sumber masalah sepertinya bukan terletak pada masa ini. Saya melanjutkan regresi. Besar kemungkinan akar masalah terletak di kehidupan lampaunya. Hasilnya? Tidak bisa. Apapun yang saya lakukan untuk membawa klien ini mundur tidak membuahkan hasil. Ternyata belief system klien tidak mengijinkan PLR karena menurut doktrin agamanya tidak ada past life. Pikiran sadar klien bersedia mengalami PLR namun pikiran bawah sadar menolak. Padahal klien sudah berada dalam kondisi profound somnambulism.

Pengalaman saya pribadi menunjukkan PLR paling ideal jika dilakukan one-on-one . Dalam setting ini si hipnoterapis dapat melakukan depth level test dan deepening untuk membantu klien mencapai kedalaman yang diinginkan. Jika dilakukan secara masal, rame-rame dalam suatu seminar, maka tidak mungkin bagi operator untuk memeriksa level kedalaman setiap peserta seminar.

Dengan pencapaian level kedalaman trance yang sangat beragam, dengan kondisi pikiran sadar masih aktif, dengan pengharapan yang sangat besar untuk bisa mengalami PLR, dengan perasaan antisipasi dan tidak mau rugi karena telah mengeluarkan uang untuk mengikuti seminar, maka saat operator melakukan regresi terhadap peserta seminar maka yang terjadi adalah rame-rame nggak bisa atau rame-rame mengalami false memory.

PLR adalah salah satu teknik terapi yang sangat ampuh untuk membantu klien sembuh dari masalah yang akar masalahya ada di "kehidupan lampau". Namun PLR akan sangat merugikan klien bila dilakukan dengan cara yang salah.

PLR yang sering saya alami saat membantu klien adalah PLR yang bersifat spontan. Jadi, tanpa direncanakan, saat mencari sumber atau akar masalah, klien mundur ke suatu masa yang tidak ia kenal, suatu masa yang disebut sebagai past life. Benar atau tidak klien mundur sampai ke past life? Saya tidak memusingkan hal ini. Yang penting klien sembuh.

Kasus terakhir, yang berhubungan dengan past life,  yang saya tangani adalah kasus di mana seorang klien wanita usia 30 tahun yang mengalami sesak napas luar biasa, ditambah dengan ketakutan yang hebat, saat ia mau masuk ke dalam tabung MRI (Magnetic Resonance  Imaging) untuk di-scan.

Saat saya membantu klien menemukan akar masalahnya, secara tiba-tiba klien mundur ke tahun 1902 saat ia di Sydney, Australia. Saat itu ia berusia 4 tahun dan terjebak di dalam tambang. Dengan teknik Past Life Therapy klien saya ini berhasil dibantu untuk sembuh.

Bagi anda, pembaca yang percaya bahwa past life itu ada, sebenarnya tidak penting untuk mencari tahu siapakah kita di kehidupan lampau kita. Kita tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Yang paling penting adalah kita hidup di saat ini. Kita fokus pada kehidupan saat ini, merancang dan menjalankan kehidupan dengan pandangan yang benar, pikiran yang benar, ucapan dan tindakan yang benar agar kita bisa bahagia dan sukses. 

Dengan kata lain kalau sudah tahu siapa diri kita di kehidupan lampau... trus... mau apa? So what gitu lho? Apakah kita akan menjadi orang yang lebih baik secara mental, emosi, dan spiritual?

Baca Selengkapnya

Quitters Can Win

21 Juli 2010

Pembaca, saya yakin anda pasti pernah mendengar ungkapan, "Winners never quit and quitters never win", yang jika diterjemahkan menjadi, "Pemenang tidak pernah berhenti (mencoba) dan pecundang tidak akan pernah menang (karena berhenti mencoba)".

Tahukah anda siapa tokoh terkenal yang mendeklarasikan pernyataan di atas? Benar sekali. Beliau adalah Vince Lombardi, pelatih sepakbola Amerika yang mashyur.

Mungkin anda juga pernah mendengar perdana menteri Inggris, saat perang dunia kedua, Sir Winston Churchill berkata, "Never, never, never quit".

Nah, pertanyaan saya sekarang adalah, "Apakah anda yakin dan percaya serta menerima sepenuhnya apa yang dikatakan oleh kedua tokoh ini?"

Saya dulu sangat percaya. Bahkan saya menambahkannya dengan pernyataan, "Sukses diukur bukan dari tingginya pencapaian. Sukses diukur lebih berdasarkan seberapa besar hambatan yang berhasil kita atasi dalam proses mencapai sukses" dan "Tidak penting berapa kali anda jatuh, yang penting adalah berapa kali anda bangkit kembali setelah anda jatuh".

Lengkaplah sudah keyakinan saya ini. Berbekal keyakinan ini saya membuat keputusan untuk terus maju tak gentar membela yang benar... eh salah.. tak gentar menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan dalam proses menuju sukses yang saya idamkan.

Setiap kali saya ingin berhenti, selalu tidak bisa. Mengapa? Ya itu tadi. Katanya, "Winners never quit and quitters never win". Jika saya berhenti maka saya menjadi seorang pecundang. Wah... siapa yang mau jadi pecundang? Karena tidak mau dikatakan sebagai pecundang inilah yang membuat saya terus maju tak gentar, selama tujuh tahun, mengejar impian tanpa melakukan analisis kritis terhadap situasi dan kondisi kehidupan pribadi saya. Saya menggunakan jurus "pokoke". Pokoke maju terus.

Semua ini diperparah lagi dengan kepercayaan "Tidak ada orang gagal. Semua orang pada dasarnya orang sukses. Mereka gagal karena mereka berhenti terlalu cepat". Ck.. ck.. ck... betapa berbahayanya kepercayaan ini.

Nah, pembaca, setelah mendengar sekilas kisah saya, dan melihat judul artikel ini saya yakin anda pasti tahu ke mana arah pembahasan yang akan saya lakukan. Sebelum saya teruskan saya ingin bertanya kepada anda. Anda jawab jujur ya. Apakah anda juga pernah atau sedang  mengalami hal yang sama seperti yang saya alami? Bersyukurlah bila anda belum. Bersyukurlah juga bila ternyata anda telah mengalaminya seperti saya. He..he..anda tidak sendirian.

Pertanyaan kritis yang seharusnya kita ajukan adalah, "Benarkah winners never quit and quitters never win?" Bagaimana kalau pernyataan Vince Lombardi di atas kita plesetkan sedikit menjadi "Quitters can win if they know the right reasons, the right way,and the right time to quit ".

Saya mendapat banyak email dan sms dari pembaca buku saya. Saya melihat satu pola yang sama yaitu umumnya mereka berkeluh kesah mengenai hidup mereka. Ada juga yang mengeluh mengenai bisnis yang sedang mereka jalankan. Bisnis ini telah dijalani selama beberapa tahun tapi belum membuahkan hasil seperti yang mereka inginkan. Mereka sangat ingin berhenti tapi nggak bisa. Alasannya nanggung nih... sudah dijalankan beberapa tahun. Kan sayang kalau berhenti di tengah jalan. Waktu saya kejar lebih jauh ternyata mereka meyakini apa yang telah saya uraikan di atas. Intinya, jika berhenti mereka akan menjadi pecundang. Benarkah seperti itu?

Keengganan berhenti atau quit  juga terjadi di aspek kehidupan lain. Ada seorang rekan yang telah menjalin hubungan dengan seseorang pria selama hampir sepuluh tahun, dan dia tahu hubungan ini tidak akan ke mana-mana, dan dia tahu pacarnya ini bukan tipe pria yang bertanggung jawab, namun ia tidak berani quit atau memutuskan untuk putus. Waktu saya tanya apa alasannya kok nggak berani putus dan cari pasangan lain yang lebih cocok, jawaban yang saya terima sungguh mengejutkan saya, "Lha, saya kan sudah pacaran hampir sepuluh tahun. Kalau harus memulai dari awal lagi rasanya berat bagi saya. Selain itu usia saya sekarang juga sudah hampir 30 tahun. Sulit mencari pasangan dengan usia saya sekarang ini. Rugi dong kalo saya berhenti sekarang".

Wah... ini jawaban yang kurang pas. Menikah kan untuk seterusnya. Lha, kalau ternyata waktu pacaran saja sudah begini modelnya trus.. mau jadi apa nanti waktu sudah menikah? Saya hanya bisa geleng-geleng kepala saja karena bingung. Kalau dilihat sepintas rekan saya ini tampaknya nggak mau rugi. Mungkin masa pacaran yang sudah sepuluh tahun ini dianggap sebagai masa investasi. Dengan demikian ia telah menghitung ROI (return on investment) dan berapa potential loss yang mungkin terjadi jika ia quit.

Pembaca, apakah kita boleh quit?

Tentu boleh. Siapa yang berhak melarang? Kan ini hidupnya kita sendiri. Kita mau quit atau terus itu urusan kita. Orang lain nggak boleh ikut campur. Satu hal yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh yaitu saat kita quit, kita harus quit dengan alasan yang tepat. Tidak asal quit.

Untuk yang ini saya serahkan sepenuhnya pada anda. Kita harus jujur pada diri sendiri. Apakah kita quit karena kita memang malas, tidak termotivasi, tidak tahan menderita, kurang ulet, ataukah kita quit karena kita, setelah bekerja sangat keras dan berusaha dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, melakukan whatever it takes, massive action dengan burning desire, sampai pada satu kesimpulan bahwa apa yang kita lakukan ternyata tidak sejalan dengan value atau nilai-nilai hidup kita.

Quit di sini jangan diartikan hanya untuk orang yang belum berhasil mencapai sesuatu. Quit yang saya uraikan di sini juga berlaku bagi mereka yang sebenarnya telah berhasil mencapai kesuksesan pada level tertentu namun merasa hambar dengan hidup mereka.

Saya pernah membaca kisah seorang financial consultant, di Jakarta, yang sangat sukses dengan karirnya, pada usia 40 tahun, memutuskan untuk quit dan banting setir menjadi seorang pelukis. Benar, anda tidak salah baca, menjadi seorang pelukis.

Tentu tidak mudah melakukan hal ini. Banyak kawannya yang berkata bahwa ia gila karena meninggalkan karir yang begitu cemerlang, karir yang telah memberikan hasil yang begitu besar, khususnya di aspek finansial. Namun apa jawaban si financial consultant ini? "Saya merasa jauh lebih tenang, damai, dan bahagia dengan menjadi seorang pelukis. Ini adalah impian yang saya kubur sekian lama. Sekarang saya telah menjadi orang yang bebas mengekspresikan diri saya sendiri" jawabnya lugas.

Nah, pembaca, pada contoh di atas, yang terjadi adalah seringkali seseorang mendaki tangga kesuksesan, dan setelah mencapai puncak tangga, ia baru sadar ternyata tangganya bersandar di tembok yang salah. Nah, kalau begitu apa yang harus dilakukan? Ya banting setir seperti si financial consultant ini.

Mengapa sampai bisa terjadi tangga bersandar di tembok yang salah dan kita tidak tahu atau menyadarinya? Jawabannya sangat sederhana.

Apa itu?

Kebanyakan kita tidak merancang hidup dengan hati-hati dan saksama. Manusia pada umumnya menjalani hidup asal-asalan. Mereka tidak punya peta kehidupan yang akan mereka jalani. Bagaimana caranya agar bisa punya peta kehidupan? Ya, kita rancang sendiri, dong.

Bagaimana cara merancang peta kehidupan?

Di berbagai buku pengembangan diri, seminar motivasi, seminar sukses, dan berbagai program video yang saya pernah pelajari, umumnya kita diminta untuk membuat daftar impian tertulis. Impian ini harus lengkap meliputi berbagai aspek kehidupan. Ada aspek spiritual, finansial, bisnis-karir, materi, sosial, keluarga, kesehatan fisik dan mental. Sayapun dulunya melakuan hal yang sama dengan yang dianjurkan.

Namun seiring dengan berkembangnya kesadaran diri melalui proses pembelajaran dan perjalanan hidup, saya akhirnya menyadari satu hal yang selama ini luput dari perhatian saya. Ternyata untuk menyusun impian tidak asal susun. Pemahaman yang saya dapatkan, dan ini yang sekarang saya bagikan kepada para peserta seminar, workshop, dan kepada khalayak ramai melakui buku-buku yang saya tulis, yaitu menyusun impian yang benar hanya bisa dilakukan dengan satu syarat. Dan syarat inilah yang selama ini tidak diperhatikan kebanyakan orang.

Apa itu?

Langkah awal menyusun impian adalah dengan mencari tahu, menetapkan, dan menyusun nilai-nilai hidup (value).

Lho, mengapa value? Kok bukan berdasar pendidikan yang kita jalani?

Value adalah apa yang kita yakini sebagai hal yang penting bagi hidup kita. Value berperan sebagai kompas yang mengarahkan perahu kehidupan kita. Jika dihubungkan dengan cerita mengenai "tembok yang salah" maka yang dimaksudkan dengan "tembok" sebenarnya value.

Dengan value sebagai fondasi maka impian yang disusun tidak akan menyimpang dari tujuan hidup kita. Dengan demikian saat kita mencapai puncak kesuksesan kita justru akan semakin semangat dan bahagia. Untuk mengukur pencapaian seseorang sebenarnya bisa dilihat dari seberapa bahagia kita saat kita mencapai impian.

Mengapa bukan berdasar pendidikan formal kita?

Karena ada begitu banyak orang yang salah jurusan, saat kuliah di perguruan tinggi. Saya pernah memberikan konseling pada seorang wanita, dokter umum usia 29 tahun, yang sedang mengambil spesialisasi menjadi dokter tulang (orthopedist). Wanita ini mengaku bahwa ia sebenarnya tidak suka dengan jurusan yang saat ini ia tempuh. Ia merasa letih sekali. Padahal ini baru di tahun pertamanya.

Waktu saya tanya, mengapa kok diteruskan, kok nggak berhenti saja?

Jawabannya, sama seperti jawaban yang biasa saya terima, "Sudah kepalang basah, Pak. Kalo berhenti sekarang, trus... ngapain saya kuliah di kedokteran umum?"

"Lho, dulu kok bisa milih masuk kedokteran?" tanya saya lagi.

"Ya, soalnya katanya Om saya, kalo jadi dokter, hidupnya enak" jawabnya.

"Trus... kenapa kok pilih tulang, kok bukan spesialis yang lain?" kejar saya.

"Sebenarnya saya lebih suka jadi spesialis anak. Tapi jurusan ini sangat sulit dimasuki. Saya sudah coba tapi nggak bisa. Saya hanya dapat kesempatan spesialisasi tulang. Daripada nggak bisa kuliah lagi, ya saya masuki saja", jawabnya enteng.

Kisah ini sangat berbeda dengan kisah kawan saya, Lan Fang, di Surabaya. Lan Fang dulunya adalah seorang agen asuransi yang sangat berhasil. Namun hatinya selalu gelisah. Ia merasa asuransi bukan dunia yang sesuai dengan panggilan hatinya. Lan Fang senang menulis. Sambil menjadi agen asuransi ia telah menulis beberapa novel yang ternyata sangat berhasil.

Cukup lama Lan Fang bimbang. Ia dipersimpangan jalan. Namun setelah menimbang-nimbang, setelah melakukan perenungan mendalam, Lan Fang akhirnya memutuskan untuk mengikuti suara hatinya, menjadi seorang penulis buku, full time.

Banyak yang menyayangkan Lan Fang berhenti sebagai agen asuransi mengingat potensinya yang sangat luar biasa. Namun Lan Fang memutuskan quit dengan alasan yang tepat, di saat yang tepat, dan dengan exit strategy yang tersusun dengan baik dan matang.

Sampai saat ini Lan Fang telah menulis delapan novel. Diantaranya Reinkarnasi, Laki-laki Yang Salah, Perempuan Kembang Jepun, dan Kota Tanpa Kelamin.

So... siapa bilang quitters never win? Seringkali the real winner adalah mereka yang berani quit. Dan the real loser justru mereka yang bersikeras berkata, "Never, never, never quit". Anda perlu hati-hati agar tidak menjadi winner di antara para loser karena anda adalah yang paling tidak mau quit.

Baca Selengkapnya

Mental Block ... Oh ... Mental Block

21 Juli 2010

Artikel ini saya tulis untuk menjawab banyak sekali pertanyaan yang diajukan kepada saya baik melalui email, sms, ataupun saat seminar. Ternyata masih banyak juga orang yang kurang jelas apa itu mental block, proses pembentukan, cara mengenali, dan yang lebih penting cara untuk mengatasi dan menghilangkan mental block.

Sebelum saya membahas apa itu mental block saya akan menjelaskan kembali proses pemrograman pikiran manusia.

Proses pemrograman pikiran sebenarnya telah terjadi sejak seorang anak masih di dalam kandungan ibunya, sejak ia berusia 3 bulan. Pada saat ini pikiran bawah sadar telah bekerja sempurna, merekam segala sesuatu yang dialami seorang anak dan ibunya. Semua peristiwa, pengalaman, suara, atau emosi masuk ke dan terekam dengan sangat kuat di pikiran bawah sadar dan menjadi program pikiran.

Saat kita lahir, kita lahir hanya dengan satu pikiran yaitu pikiran bawah sadar. Bekal lainnya adalah otak yang berfungsi sebagai hard disk yang merekam semua hal yang kita alami. Sejak lahir, dan sejalan dengan proses tumbuh kembang, kita mengalami pemrograman pikiran terus menerus, melalui interaksi kita dengan dunia di luar dan di dalam diri kita.

Pada anak kecil, yang memprogram pikirannya adalah terutama kedua orangtuanya, pengasuh, keluarga, lingkungan, guru, tv, dan siapa saja yang dekat dengan dirinya. Saat masih kecil pemrograman terjadi dengan sangat mudah karena pikiran anak belum bisa menolak informasi yang ia terima. Ketidakmampuan memfilter informasi ini disebabkan karena pada saat itu critical factor, atau faktor kritis, dari pikiran sadar belum terbentuk. Kalaupun sudah terbentuk critical factor masih lemah.

Pemrograman pikiran saat anak masih kecil terjadi melalui dua jalur utama yaitu melalui imprint dan misunderstanding. Definisi imprint adalah "a thought that has been registered at the subconscious level of the mind at a time of great emotion or stress, causing a change in behavior" atau imprint adalah apa yang terekam di pikiran bawah sadar saat terjadinya luapan emosi atau stress, mengakibatkan perubahan pada perilaku.

Misunderstanding adalah salah pengertian yang dialami seseorang saat memberikan makna kepada atau menarik simpulan dari suatu peristiwa atau pengalaman.

Baik imprint maupun misunderstanding, setelah terekam di pikiran bawah sadar, akan menjadi program pikiran yang selanjutnya mengendalikan hidup seseorang.

Satu hal yang perlu kita mengerti yaitu bahwa semua, saya ulangi... semua, program pikiran adalah baik. Program pikiran selalu bertujuan membahagiakan kita. Program pikiran diciptakan atau tercipta demi kebaikan kita berdasarkan level kesadaran dan kebijaksanaan kita saat itu.

Program pikiran menjadi mental block apabila bersifat menghambat kita dalam mencapai impian atau tujuan kita. Sebaliknya program pikiran akan menjadi stepping block, batu lompatan, bila bersifat mendukung kita.

Anda jelas sekarang? Atau masih bingung?

Ok, saya kasih contoh ya biar lebih jelas.

Ini dari kasus klinis yang pernah saya tangani. Ada seorang wanita, sebut saja Rosa, cantik, ramah, cerdas, pintar cari uang, dan mandiri tapi sampai saat bertemu saya, usianya saat itu 35 tahun, masih jomblo alias single, belum dapat jodoh.

Rosa juga bingung mengapa ia sulit dapat jodoh. Ada banyak pria yang suka padanya. Namun setiap kali pacaran dan jika sudah masuk ke rencana untuk menikah, selalu muncul masalah sehingga hubungan mereka akhirnya putus.

Setelah dicari akar masalahnya, saya menemukan program pikiran, di pikiran bawah sadarnya, yang sangat baik namun justru bersifat menghambat dirinya untuk bisa dapat jodoh.

Apa itu?

Ternyata ayah Rosa meninggal saat ia masih kecil, usia 7 tahun. Sejak saat itu ibunya yang bekerja keras menghidupi keluarga mereka. Bahkan pernah sampai jatuh sakit dan hampir meninggal.

Nah, pas saat ibunya sakit keras,Rosa berdoa dan mohon kesembuhan untuk ibunya. Dan dalam doanya ia berjanji bahwa ia akan membalas semua pengorbanan ibunya, setelah ia dewasa kelak, dengan selalu menyayangi dan mendampingi ibunya.

Janji ini ternyata masuk ke pikiran bawah sadarnya dan menjadi program. Benar, sejak saat itu dan hingga ia dewasa Rosa adalah anak yang begitu sayang pada ibunya. Selama ini program pikirannya telah sangat membantu Rosa dalam menjalani hidupnya. Rosa bekerja keras, menjadi anak yang sangat mencintai ibunya. Dan ibunya juga begitu bersyukur dan bahagia karena mempunyai anak yang begitu menyayanginya. Nah, program yang sangat positif ini tiba-tiba berubah menjadi program yang menghambat (baca: mental block) saat Rosa ingin berkeluarga.

Program ini mensabotase setiap upaya Rosa untuk mendapat pasangan hidup. Saat saya berdialog dengan "bagian" (baca: program) yang tidak setuju bila Rosa menikah, saya mendapat jawaban yang jelas dan lugas. Ternyata "bagian" ini khawatir Rosa tidak bisa menepati janjinya, menyayangi dan mendampingi ibunya karena bila menikah, menurut pemikiran "bagian" ini, Rosa harus mengikuti suaminya dan meninggalkan ibunya sendiri. "Bagian" ini tidak setuju dengan hal ini.

Nah, anda jelas sekarang?

Saya beri satu contoh lagi biar lebih jelas.

Saya mendapat email dari seorang pembaca buku, sebut saja Bu Asri, yang mengeluh bahwa ia telah berusaha keras untuk menaikkan penghasilannya namun selalu gagal. Setelah membaca buku The Secret of Mindset dan mendengarkan CD Ego State Therapy ia menemukan program pikiran yang menghambat dirinya, khususnya di aspek finansial.

Ternyata dulu, saat akan menikah, ia mendapat wejangan dari ibunya, "Nak, ingat ya... nanti waktu menjadi seorang istri, cintai suamimu dengan tulus, baik di kala suka mapun duka, layani dengan sepenuh hati, tempatkan suami sebagai kepala rumah tangga, jaga perasaan dan harga diri suami, jangan melebihi suamimu......."

Pembaca, wejangan (baca: program) ini tentu sangat baik. Namun menjadi masalah karena program ini justru menghambat upaya Bu Asri meningkatkan penghasilannya. Selidik punya selidik ternyata penghasilan Bu Asri saat ini sama dengan penghasilan suaminya. Makanya saat ia berusaha menaikkan income-nya selalu saja ada hambatan. Program ini yang menghambat dan tujuannya juga sangat "positif" yaitu agar Bu Asri bisa menjadi istri yang baik sesuai wejangan ibunya.

Bagaimana, jelas sekarang?

Suatu program, selama tidak bersifat menghambat diri kita maka jangan diotak-atik. Biarkan saja. Nggak usah bingung. Ada rekan yang, setelah membaca buku dan mengerti soal mental block, begitu giat mencari berbagai mental blocknya. Bahkan sampai mengeluh, "Pak, saya kok nggak menemukan mental block saya ya?".

Lha, kalo memang nggak ada trus apa harus dipaksakan ada? Bukankah lebih baik bila waktu yang ada digunakan untuk belajar dan mengembangkan diri? Kekhawatiran karena tidak menemukan mental block justru bisa menjadi mental block baru.

Lalu, bagaimana sikap yang benar?

Ya, santai saja lah. Nggak usah aneh-aneh. Kita harus netral saja. Selama hidup kita happy, usaha lancar, semua berjalan seperti yang kita rencanakan dan harapkan maka nggak usah pusing soal mental block.

Mental block akan kita rasakan saat ada penolakan atau hambatan untuk mencapai suatu target yang lebih tinggi. Penolakan ini juga timbul saat kita ingin berubah.

Ini saya kutip email yang baru saya terima dari seorang pembaca buku saya:

"Saya ingin lebih memahami dan  membaca buku-buku anda. Saya beli The Secret of Mindset. Saat baca ada aja perasaan yang membuat saya malas, ngantuk dsb. Padahal saya sungguh ingin membaca buku TSOM. Bagaimana solusinya?"

Perasaan malas, mengantuk, dan berbagai perasaan lain yang menghambat upaya untuk berubah ini adalah ulah nakal dari mental block kita. Nah, ini saatnya kita perlu menemukan dan mengenali mental block ini. Setelah ditemukan... ya dibereskan. Gitu aja kok repot.

Intinya, jika anda telah menetapkan target yang lebih tinggi, dari apa yang telah anda capai saat ini, dan anda merasa ada yang tidak enak di hati anda maka ini indikasi adanya mental block.

Atau jika anda mengalami kegagalan yang beruntun atau yang mempunyai pola kegagalan yang sama, maka ini indikasi sabotase diri alias mental block.

Mental block ini ada juga yang baik. Misalnya anda telah berkeluarga. Dan ada kesempatan untuk selingkuh namun anda tidak mau. Alasannya bisa macam-macam. Bisa takut dosa, takut masuk neraka, takut malu, takut ketahuan, bisa karena anda tidak ingin melukai hati pasangan anda, atau anda setia pada janji pernikahan anda, atau alasan apapun. Yang pasti, ada satu program pikiran yang menghambat anda melakukan sesuatu. Mental block ini tentunya perlu dipertahankan.

So... bersikaplah netral... jadilah orang yang Non Block. Artinya anda tidak neko-neko atau aneh-aneh. Cari mental block sesuai kebutuhan. Kalo sedikit-sedikit cari mental block ... sedikit-sedikit cari mental block...  maka saya khawatir anda akan menghabiskan waktu, tenaga, pikiran, dan resource yang anda miliki untuk sesuatu yang tidak produktif. Kalo seperti ini...anda masuk kategori Go Block.

Baca Selengkapnya

Rahasia Masuk Ke Level Deep Hypnosis

21 Juli 2010

Baru-baru ini saya mendapat email dari peserta roadshow The Secret of Mindset, di Jogjakarta, yang bertanya, "Pak, saya penasaran dengan yang Bapak lakukan. Bagaimana Pak Adi bisa begitu mudah membawa peserta seminar, yang jumlahnya ratusan, masuk hingga ke kedalaman profound somnambulism?"

Penasaran dengan pertanyaan ini, karena peserta ini menggunakan istilah yang sangat teknis, profound somnambulism, saya lalu menanyakan latar belakangnya. Peserta ini, sebut saja, Pak Anggoro, menerangkan bahwa ia juga mempelajari hipnosis dan hipnoterapi. Namun selama ini mengalami kesulitan membawa kliennya masuk ke kondisi very deep hypnosis atau yang dikenal dengan level profound somnambulism.

Bagi anda, pembaca, yang tidak menghadiri roadshow seminar saya mungkin bingung apa yang saya lakukan? Di seminar saya menjelaskan dan memeragakan cara untuk masuk ke pikiran bawah sadar dengan sangat cepat dan mudah. Pertama, saya akan memberikan contoh dengan meminta seorang peserta maju ke depan, ke atas panggung, untuk saya bimbing masuk ke kondisi deep hypnosis.

Dalam waktu yang sangat singkat dan sangat mudah, peserta ini, bisa masuk sangat dalam, hingga mencapai kondisi profound somnambulism. Untuk membuktikan bahwa subjek hipnosis saya ini telah masuk ke level yang sangat dalam saya melakukan uji kedalaman. Salah satu fenomena kondisi profound somnambulism adalah negative visual hallucination. Dan subjek saya ini memberikan respon yang sesuai dengan kedalaman hipnosis yang ia capai saat itu.

Setelah menjelaskan panjang lebar beserta contoh dan peragaan yang gamblang, saya selanjutnya membimbing semua peserta untuk masuk ke kondisi deep hypnosis atau profound somnambulism. Dan rupanya hal ini yang membuat Pak Anggoro penasaran.

Nah, mungkin anda juga bertanya, seperti Pak Anggoro, bagaimana cara saya melakukannya? Mengapa begitu mudah? Pake ilmu apa ya? Apa rahasianya?

Apakah memang ada rahasia di balik apa yang saya lakukan? Nggak ada rahasia.

Lho, kok nggak ada rahasia? Kalo begitu mengapa sulit untuk mencapai kondisi profound somnambulism? Lha, memang bukan rahasia, kok. Di berbagai buku, literatur, dan pelatihan hipnosis/hipnoterapi "rahasia" ini pasti dijelaskan atau diajarkan sebagai pengetahuan dasar. Namun sayangnya informasi ini kurang mendapat perhatian yang layak dan malah sering diabaikan. 

Ada beberapa hal yang selama ini menghambat seorang operator (baca: hipnotis atau hipnoterapis) untuk bisa membimbing subjek hipnosis atau klien masuk ke kondisi hipnosis yang sangat dalam.

Pertama, banyak operator yang berpikir bahwa hipnosis adalah sesuatu yang mereka lakukan terhadap subjek hipnosis, subjek masuk kondisi hipnosis karena hasil kerja si operator. Pemahaman ini kurang tepat. Yang benar adalah subjek masuk kondisi hipnosis karena subjek mau. Jadi, langkah awal adalah si subjek harus bersedia untuk dihipnosis.

Kedua, operator harus bisa menghilangkan perasaan takut ataupun mispersepsi subjek terhadap hipnosis. Ini faktor yang sangat-sangat penting. Mengapa? Karena pencapaian kedalaman hipnosis berbanding terbalik dengan intensitas perasaan takut.

Dengan kata lain, bila subjek sangat takut maka ia tidak akan bisa dihipnosis. Bila takutnya sedikit maka ia bisa masuk lebih dalam lagi. Jika sama sekali tidak ada rasa takut maka subjek bisa masuk dengan sangat mudah ke level hipnosis yang sangat dalam.  

Setelah klien tidak takut dan bersedia dihipnosis maka langkah selanjutnya adalah operator harus bisa mengembangkan imajinasi dan menciptakan pengharapan mental pada diri subjek.

Ketiga, banyak orang mempunyai pemahaman yang kurang tepat, jika tidak mau dikatakan salah, mengenai hipnosis. Banyak orang berpikir bahwa untuk bisa masuk ke kondisi hipnosis maka secara fisik subjek harus rileks. Dengan demikian, jika subjek mau dibawa ke kondisi hipnosis yang sangat dalam maka ia harus sangat-sangat rileks. Dengan kata lain, level relaksasi berbanding lurus dengan level kedalaman hipnosis.

Pemahaman ini, sekali lagi, kurang tepat. Benar, salah satu ciri orang yang berada dalam kondisi hipnosis adalah tubuhnya tampak rileks. Namun tubuh yang rileks tidak berarti orang dalam kondisi hipnosis.

Definisi hipnosis yang saat ini paling banyak digunakan dan diterima adalah definisi yang dilansir oleh U.S. Dept. of Education, Human Services Division, yaitu "Hypnosis is the by-pass of the critical factor of the conscious mind followed by the establishment of acceptable selective thinking" atau "hipnosis adalah penembusan faktor kritis pikiran sadar diikuti dengan diterimanya suatu pemikiran atau sugesti".

Bila dicermati dengan saksama maka dari definisi di atas tampak jelas bahwa hipnosis sama sekali tidak ada hubungannya dengan kondisi rileks, rileks secara fisik. Untuk bisa dikatakan sebagai kondisi hipnosis, menurut definisi di atas, maka ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, penembusan faktor kritis, dan kedua, diterimanya suatu sugesti oleh pikiran bawah sadar.

Faktor keempat, yang membuat seseorang sulit masuk ke kondisi hipnosis yang dalam adalah karena operator salah memilih teknik.  Ada sangat banyak teknik untuk menembus faktor kritis pikiran sadar. Akan terlalu teknis bila saya jelaskan di artikel ini. Namun secara umum, ada 6 (enam) teknik dasar yang biasa digunakan. Dari enam teknik dasar ini selanjutnya berkembang menjadi sangat banyak teknik.

Satu teknik yang paling umum dan paling banyak digunakan adalah progressive relaxation. Teknik ini paling banyak digunakan karena paling mudah dan paling "aman" untuk operator. Oh ya, sebenarnya nama progressive relaxation juga kurang tepat. Nama yang benar adalah fractional relaxation. Usahakan untuk tidak menggunakan teknik ini. Gunakan teknik lain yang lebih efektif.

Progressive relaxation tidak cocok untuk orang analitis, kritis, pemikir, melankolis, pengacara, pimpinan perusahaan, atau orang yang berada pada level otoritas tinggi.

Oh ya, banyak orang mengatakan bahwa orang analitis adalah orang yang sangat sulit untuk dihipnosis. Apa benar seperti itu? Ah, tidak. Tahukah anda bahwa sebenarnya orang analitis adalah orang yang sangat sugestif. Nah, bingung, kan?

Faktor kelima, dan ini juga sering diabaikan oleh banyak operator, adalah semantik atau pilihan kata. Banyak operator menggunakan kata yang mengandung makna si operator lah yang mencipta kondisi hipnosis pada diri subjek. Contohnya seperti ini, "Sekarang anda merasa diri anda semakin rileks dan lebih rileks lagi" atau "Sekarang anda menjadi 10 kali lebih rileks". Ini adalah perintah yang belum tentu akan dijalankan oleh subjek. Yang lebih tepat adalah dengan menggunakan kalimat yang lebih permisif, persuasif, dan bersifat himbauan.

Jika lima faktor di atas diperhatikan dengan sungguh-sungguh maka siapapun bisa dibimbing masuk ke kondisi hipnosis yang sangat dalam, dengan sangat mudah dan cepat.

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List