The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Hipnoterapis dan Relasi Ganda: Sebuah Tinjauan Etis

28 Juni 2025

Seorang sahabat, setelah membaca tulisan saya sebelumnya berjudul “Mengapa Hipnoterapis Tidak Dianjurkan Menangani Anggota Keluarga”, menyampaikan pendapat serta ketidaksetujuannya terhadap isi tulisan tersebut.

Ia berargumen bahwa dengan kapasitas dan kematangan terapeutik yang mumpuni, seorang hipnoterapis seharusnya mampu menangani siapa pun—termasuk anggota keluarga—selama ia dapat menjaga profesionalisme dan jarak emosional. Baginya, kedekatan emosional justru bisa menjadi modal yang kuat untuk membangun kepercayaan serta mengurangi resistensi klien.

Menurutnya, tidak logis jika seorang dokter tidak boleh mengobati anaknya, atau seorang guru tidak boleh mengajar anaknya. Ia juga menyatakan bahwa hipnoterapis yang tidak bisa menghipnosis atau menghipnoterapi pasangan atau keluarga dekatnya adalah hipnoterapis dengan keilmuan yang sudah usang (jadul).

Dari komentarnya tersebut, saya menyadari bahwa kemungkinan besar ia tidak memahami isi tulisan saya secara menyeluruh. Mungkin ia hanya membaca judulnya tanpa mencermati uraian yang saya jelaskan dengan hati-hati di dalamnya.

Dalam tulisan tersebut, saya menegaskan bahwa hipnoterapis AWGI dilarang atau sangat tidak dianjurkan menangani anggota keluarganya—bukan karena ketidakmampuan atau kurangnya kompetensi, tetapi karena pertimbangan etis dan psikologis yang mendalam.

Secara teknis, hipnoterapis AWGI memiliki kompetensi terapeutik yang tinggi dan mampu menangani beragam kasus yang kompleks dengan tingkat keberhasilan yang sangat baik.

Saya menyayangkan pernyataannya yang menutup ruang dialog dan menunjukkan sikap superioritas intelektual. Dengan menyebut keilmuan hipnoterapis lain sebagai usang, ia tidak hanya mengabaikan prinsip penghargaan terhadap perbedaan pendapat, tetapi juga gagal menunjukkan sikap ilmiah yang terbuka terhadap diskusi.

Dalam ranah keilmuan, ketidaksepakatan seharusnya diungkapkan melalui argumen rasional, bukan dengan labelisasi yang meremehkan atau mengecilkan pandangan lain. Pemikiran yang dianggap keliru selayaknya ditanggapi dengan pemikiran pula, dengan semangat saling belajar dan membelajarkan—bukan penghakiman.

Meskipun (kemungkinan) telah membaca tulisan saya sebelumnya, sahabat ini tetap bertahan pada keyakinannya bahwa hipnoterapis sah-sah saja melakukan terapi kepada anggota keluarga karena dianggap memiliki keuntungan dari sisi kedekatan emosional, tingginya tingkat kepercayaan, serta rendahnya resistensi klien—yang menurutnya berdampak pada meningkatnya efektivitas sugesti.

Benarkah demikian?

Saya memahami perspektif sahabat ini. Kondisi idealnya, memang seorang terapis yang matang seharusnya mampu berlaku profesional dalam situasi apa pun. Namun, dalam konteks praktik psikoterapi, terutama hipnoterapi berbasis hipnoanalisis, ada pertimbangan mendalam yang membuat larangan tersebut tidak sekadar relevan, melainkan esensial. Mari kita bahas secara sistematis.

 

Dua Pendekatan dalam Hipnoterapi

Secara umum, pendekatan hipnoterapi dapat dikelompokkan menjadi dua:

1. Hipnoterapi Berbasis Sugesti:

Terapis memberikan sugesti terstruktur kepada klien dalam kondisi hipnosis dalam, dengan harapan pikiran bawah sadar (PBS) akan menerima dan menjalankan sugesti tersebut. Pendekatan ini cukup banyak digunakan karena relatif cepat dan tidak menggali masalah secara mendalam.

2. Hipnoterapi Berbasis Hipnoanalisis (yang digunakan AWGI):

Terapi tidak berhenti pada pemberian sugesti, tetapi menggali akar masalah sampai tuntas. Terapis memfasilitasi eksplorasi PBS, membuka lapisan-lapisan memori terdalam, dan memproses pengalaman traumatis dengan sangat hati-hati dan sistematis.

Pendekatan kedua membutuhkan kompetensi yang jauh lebih tinggi karena menyentuh inti luka emosional klien—bukan menutupi gejalanya dengan afirmasi positif.

 

Batas Profesional dan Relasi Ganda

Dalam kode etik profesi kesehatan mental APA (American Psychological Association) disebutkan bahwa "multiple relationships" atau hubungan ganda, termasuk relasi dengan anggota keluarga, harus dihindari jika berpotensi mengganggu objektivitas, kompetensi, atau membahayakan klien (APA, Ethical Principles of Psychologists and Code of Conduct, Standard 3.05).

Dukungan terhadap pandangan ini juga dijelaskan dalam kajian oleh Borys dan Pope (1989) yang menyatakan bahwa hubungan ganda, termasuk yang non-seksual seperti keluarga, dapat mengganggu netralitas terapeutik dan merugikan klien secara psikologis. Black (2017) menambahkan bahwa menjaga batas profesional dalam relasi ganda adalah tantangan besar yang sering kali tidak realistis diimplementasikan dalam praktik.

 

Risiko Jika Terapis Adalah Anggota Keluarga

Mari kita bahas secara langsung beberapa kesalahan berpikir (logical fallacy) yang menyatakan bahwa "terapis tetap bisa menangani anggota keluarga", khususnya dalam konteks pendekatan hipnoterapi berbasis hipnoanalisis.

1. Hubungan Emosional adalah Faktor Risiko, Bukan Aset

Memang benar bahwa kedekatan bisa membangun kepercayaan. Namun dalam konteks hipnoanalisis, kedekatan emosional justru membuat proses terapi menjadi bias, tidak netral, dan berisiko tinggi. Klien menjadi tidak bebas mengungkapkan hal sensitif—terutama jika masalahnya berkaitan langsung dengan si terapis.

Tidak semua kepercayaan (trust) itu sehat. Kepercayaan dalam relasi keluarga sering kali tercampur dengan harapan, ketergantungan, atau dinamika kuasa yang tidak disadari.

2.Hipnoterapi Bukan Konseling Biasa

Dalam kondisi hipnosis dalam, klien bisa mengalami katarsis emosional spontan, bahkan mengakses memori yang selama ini terblokir atau terepresi. Bila informasi ini sangat sensitif—misalnya kejadian traumatik masa kecil atau relasi tersembunyi yang selama ini disimpan rapat—terungkapnya informasi tersebut kepada pasangan, orang tua, atau saudara kandung bisa sangat merusak relasi, bahkan menimbulkan trauma baru.

3. Menjaga Peran Itu Tidak Semudah Teori

Pendapat bahwa terapis bisa “tetap profesional dan menjaga peran” saat menangani keluarga adalah pernyataan normatif, bukan realistis. Banyak konflik keluarga justru terjadi karena masing-masing individu sudah terjebak dalam peran yang tidak disadari. Ketika peran terapeutik disisipkan ke dalam sistem ini, hasilnya bisa menjadi kontraproduktif.

Dalam sistem keluarga, peran bukan bisa dijaga—tapi sudah terbentuk dan menetap. Itulah sebabnya netralitas hampir mustahil dicapai dalam konteks ini.

4. Persepsi Otoritas Tidak Terbangun

Dalam hipnoterapi berbasis hipnoanalisis, kepercayaan klien terhadap otoritas dan kompetensi terapis sangat menentukan efektivitas terapi. Dalam hubungan keluarga, persepsi ini sering kali tidak hadir. Seorang anak belum tentu menganggap orang tuanya sebagai terapis yang objektif. Seorang pasangan belum tentu percaya pasangannya bisa menolongnya tanpa membawa dinamika rumah tangga ke dalam sesi terapi.

Tanpa persepsi otoritas yang sehat, tidak ada transferensi yang efektif. Dan tanpa transferensi, proses terapi menjadi kosong.

 

Mengapa Analogi Dokter dan Guru Tidak Relevan?

Salah satu argumen populer adalah membandingkan hipnoterapis dengan profesi dokter atau guru: “Jika dokter boleh mengobati anaknya, mengapa hipnoterapis tidak boleh?”

Jawabannya sederhana: hipnoterapi bekerja langsung di ranah bawah sadar dan emosi terdalam manusia. Ini bukan tindakan medis yang bersifat fisik, atau proses belajar akademik yang terukur dan netral. Hipnoterapi adalah pekerjaan memfasilitasi transformasi di level pikiran bawah sadar, menggali luka emosional, dan membangun ulang persepsi kehidupan seseorang.

Ketika klien membuka lapisan terdalam dirinya, ia membutuhkan ruang aman, netral, bebas penilaian. Ruang ini tidak mungkin hadir jika terapis adalah bagian dari kehidupan sehari-hari mereka, terutama bila ternyata terapis justru adalah bagian dari atau penyebab masalahnya.

 

Penutup: Kompetensi Bukan Sekadar Keterampilan

Seorang hipnoterapis profesional bukan hanya terampil secara teknis, tetapi juga mampu menjaga ruang kesadaran yang utuh, bersih dari afiliasi emosional pribadi. Keputusan untuk tidak menangani anggota keluarga bukanlah karena “tidak kompeten”, “kurang dewasa,” atau 'tidak mampu menjaga peran", melainkan justru karena memahami risiko terapeutik secara utuh.

Etika bukan tentang kemampuan, tetapi tentang keberanian untuk menetapkan batas demi menjaga kehormatan profesi dan keselamatan klien.

Hipnoterapis sejati tahu kapan harus membantu dan kapan harus mundur demi kebaikan yang lebih besar.

Jika Anda sepakat bahwa keberhasilan terapi lebih penting daripada ego terapis, maka pilihan paling etis adalah merujuk anggota keluarga ke terapis lain yang objektif, kompeten, dan profesional.

Bukan siapa yang menerapi yang penting—tetapi bagaimana kita menjaga prosesnya tetap murni dan aman bagi klien.

 

Baca Selengkapnya

Powered by Compassion and Intuition, Proven by Science

25 Juni 2025

Dalam dunia hipnoterapi, keberhasilan proses penyembuhan tidak semata ditentukan oleh skrip induksi, teknik, atau strategi yang digunakan. Di balik efektivitas metode, terdapat sesuatu yang jauh lebih penting, mendasar, dan menentukan: siapa yang hadir untuk membantu, dan bagaimana ia hadir.

Inilah alasan utama mengapa Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI) memilih tagline “Powered by Compassion and Intuition, Proven by Science” sebagai representasi filosofi kerja, semangat pelayanan, serta fondasi keilmuan yang menjadi napas lembaga ini.

 

Powered by Compassion

Compassion—dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai welas asih—adalah kualitas diri untuk hadir dengan hati terbuka, kepedulian tulus, dan niat murni untuk membantu sesama keluar dari penderitaan. Compassion melampaui sekadar empati; ia mengandung dorongan aktif untuk meringankan beban orang lain, berlandaskan kasih, tanpa menghakimi ataupun merasa lebih tinggi.

Dalam praktik hipnoterapi, compassion adalah fondasi utama. Klien datang dengan luka emosional, ketakutan, bahkan kehilangan harapan. Mereka tidak membutuhkan belas kasihan, melainkan pendampingan yang penuh penghormatan dan penerimaan. Compassion menjadikan sesi terapi bukan sekadar prosedur teknis, tetapi ruang aman—sebuah sanctuary—tempat klien merasa diterima sepenuhnya, tanpa syarat.

Di AWGI, compassion ditanamkan sejak hari pertama pelatihan. Para calon hipnoterapis dilatih untuk mengembangkan kualitas ini melalui refleksi diri, keheningan, peningkatan kesadaran, wawasan, dan kebijaksanaan, serta keberanian untuk menyentuh sisi paling manusiawi dari profesi mereka.

Bagi hipnoterapis AWGI, compassion bukanlah relasi antara penyembuh dan yang terluka, melainkan interaksi bermakna antara dua insan yang setara—yang saling belajar, saling menumbuhkan, dan bersama-sama bertumbuh menuju keutuhan dan kemuliaan sebagai insan paripurna.

 

Powered by Intuition

Selain compassion, intuisi adalah kekuatan kedua yang menopang kehadiran seorang hipnoterapis. Intuisi bukan sekadar “perasaan” atau dugaan, melainkan bentuk kecerdasan halus—gabungan dari ketajaman persepsi, kepekaan emosional, dan kebijaksanaan praktis—yang tumbuh dari keheningan, perenungan, pengalaman, dan keterhubungan mendalam dengan klien.

Dalam praktik hipnoterapi, intuisi terwujud dalam kepekaan membaca dinamika bawah sadar klien, menentukan intervensi yang tepat, serta merespons perubahan emosi yang tidak selalu tampak secara eksplisit. Terapis yang intuitif bukanlah terapis yang merasa serba tahu, melainkan seseorang yang hadir dengan kesadaran penuh, mampu menangkap pesan yang tersirat, bahkan terhadap hal-hal yang tidak terucapkan.

Intuisi tidak menggantikan ilmu; justru, intuisi menyempurnakan penerapan ilmu dalam konteks yang kompleks, unik, dan sangat personal bagi setiap klien.

 

Proven by Science

Namun compassion dan intuition saja tidak cukup. Di AWGI, semua pendekatan, protokol, dan teknik yang diajarkan kepada peserta pelatihan wajib memiliki dasar ilmiah yang sahih, valid secara teoritis, serta terbukti aman dan efektif melalui praktik lapangan.

Sejak tahun 2005, sebagai pendiri AWGI, saya telah mendedikasikan hidup untuk mengembangkan praktik hipnoterapi klinis yang ilmiah dan berbasis bukti. Dalam upaya membangun fondasi keilmuan yang kokoh, saya menempuh jalur pembelajaran yang sangat serius, mendalam, dan berkelanjutan.

Saya belajar langsung dari berbagai lembaga dan pakar terbaik dunia di luar negeri dalam bidang hipnoterapi, terapi neurofeedback, penanganan trauma, penyembuhan berbasis kecerdasan tubuh, energi dan medan morfik, meditasi, serta kesadaran. Saya juga secara aktif menghadiri berbagai konferensi hipnoterapi internasional di Amerika, mempelajari ribuan buku teks dan artikel jurnal ilmiah yang relevan, serta menelaah beragam pendekatan dari berbagai aliran dalam hipnoterapi.

Seluruh pengetahuan dan wawasan terkini yang saya peroleh diekstraksi menjadi intisari yang padat dan bernilai tinggi, kemudian diintegrasikan secara sistematis ke dalam materi pelatihan dan protokol hipnoterapi yang diajarkan di AWGI.

Saya tidak hanya mengadaptasi teori-teori dari Barat, tetapi juga menciptakan teori serta protokol intervensi yang dikembangkan secara induktif melalui temuan lapangan (grounded theory) berdasarkan lebih dari 130.000 sesi terapi yang dijalankan secara konsisten dan terukur oleh para hipnoterapis AWGI selama lebih dari dua dekade.

Beberapa pencapaian yang menjadikan pendekatan AWGI proven by science antara lain:

• Merancang protokol hipnoterapi yang terstruktur dan sistematis untuk berbagai jenis kasus.
• Mengembangkan teori berbasis dinamika pikiran bawah sadar, bukan berdasarkan asumsi semata.
• Menguji validitas protokol secara longitudinal dengan tingkat keberhasilan yang tinggi.
• Menyelenggarakan pelatihan intensif berdurasi 110 jam tatap muka, disertai praktik langsung, pengawasan ketat, serta evaluasi tertulis dan lisan.
• Menjalin kerja sama dengan tujuh universitas ternama dalam penelitian terapan di bidang hipnoterapi, dan hasil dari penelitian ini telah dipublikasi di jurnal internasional.

Semua ini menjadikan AWGI bukan hanya lembaga pelatihan, tetapi juga pusat pengembangan ilmu dan validasi praktik hipnoterapi yang sangat dihormati dan disegani.


AWGI dalam Kancah Nasional

Dengan pendekatan yang mengintegrasikan fokus, kesadaran, dan ketajaman intelektual, AWGI telah melahirkan ratusan hipnoterapis profesional dari berbagai latar belakang akademik dan profesi. Reputasi AWGI di Indonesia bukan hanya sebagai pelopor, tetapi juga sebagai lembaga sangat kredibel yang konsisten dan terkemuka dalam menjaga standar etika, integritas, profesionalisme, dan keilmuan di ranah hipnoterapi klinis di Indonesia.

Kami percaya bahwa masa depan dunia penyembuhan bergantung pada pendekatan holistik: menyentuh jiwa dengan kasih, menavigasi pikiran dengan intuisi, dan melandaskan praktik pada ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan.

 

Penutup

Inilah makna mendalam dari tagline “Powered by Compassion and Intuition, Proven by Science.” Bagi kami di AWGI, ini bukan sekadar slogan, melainkan arah kompas dalam melayani, mendidik, dan memulihkan.

Bersama AWGI, mari kita bangun generasi hipnoterapis yang hadir dengan hati, bertindak dengan intuisi, dan berkarya dengan ilmu.

Baca Selengkapnya

Mengapa Hipnoterapis Tidak Dianjurkan Menangani Anggota Keluarga

23 Juni 2025

Para peserta SECH, setelah mempelajari materi minggu kedua yang berfokus pada protokol hipnoterapi AWGI berbasis Dual Layer Therapy, mendapat tugas untuk melakukan praktik hipnoterapi kepada minimal lima klien.

Terdapat sejumlah syarat dan ketentuan yang perlu diperhatikan dan ditaati dalam pelaksanaan tugas ini. Salah satunya adalah larangan untuk menerapi anggota keluarga. Ketentuan ini juga berlaku bagi para hipnoterapis AWGI secara umum. Berikut penjelasan logis di balik aturan tersebut.

Dalam praktik hipnoterapi profesional, menjaga batas dan jarak emosional antara terapis dan klien adalah prinsip dasar yang mutlak dijaga. Salah satu wujud konkret dari prinsip ini adalah larangan atau anjuran kuat untuk tidak melakukan terapi kepada anggota keluarga sendiri, seperti pasangan, anak, orang tua, atau saudara kandung.

Meskipun seorang hipnoterapis memiliki keahlian teknis yang mumpuni, kedekatan emosional dan relasi personal dengan klien keluarga justru menjadi faktor risiko yang sangat besar. Situasi ini dapat mengganggu keberhasilan terapi, menimbulkan bias dalam penilaian, dan berpotensi merusak dinamika hubungan keluarga itu sendiri.

Berikut adalah penjelasan menyeluruh mengenai alasan-alasan profesional di balik larangan ini:

 

1. Kehilangan Objektivitas dan Netralitas

Hipnoterapi membutuhkan kondisi pikiran yang jernih dari terapis. Saat terapis berhadapan dengan anggota keluarga sendiri, objektivitas akan mudah terganggu oleh emosi, harapan, luka masa lalu, atau konflik yang belum tuntas. Penilaian bisa menjadi bias, dan intervensi yang diberikan rentan dipengaruhi oleh keinginan pribadi, bukan kebutuhan klien. Ini bertentangan dengan esensi kerja terapeutik yang berlandaskan netralitas.

 

2. Konflik Peran: Keluarga atau Terapis?

Setiap orang menjalankan peran tertentu dalam keluarga: sebagai pasangan, orang tua, anak, atau saudara. Ketika salah satu peran itu bercampur dengan peran sebagai terapis, timbul kebingungan relasional. Klien bisa merasa tidak nyaman membuka diri secara utuh, dan terapis bisa kehilangan kejelasan dalam menetapkan batas peran.

Misalnya, ketika seorang ibu menjadi terapis bagi anaknya, ia akan kesulitan memisahkan naluri keibuan dari pendekatan terapeutik yang menuntut ketegasan dan objektivitas. Ini bisa merusak efektivitas intervensi.

 

3. Hambatan Keterbukaan dari Klien

Keterbukaan adalah kunci keberhasilan dalam hipnoterapi. Namun, klien yang adalah anggota keluarga sering kali menyensor ceritanya karena takut melukai perasaan terapis, merasa malu, atau khawatir hubungan keluarga menjadi renggang. Akibatnya, eksplorasi pikiran bawah sadar menjadi dangkal dan target perubahan tidak tercapai.

 

4. Risiko Retaknya Relasi Keluarga

Hipnoterapi bisa menggali luka lama, konflik terpendam, atau trauma masa kecil yang mungkin melibatkan keluarga itu sendiri. Bila terapis adalah bagian dari sistem tersebut, penggalian ini bisa memunculkan konflik baru atau memperburuk hubungan lama. Alih-alih menyembuhkan, terapi justru bisa menjadi sumber ketegangan emosional.

 

5. Tidak Adanya Ruang Aman bagi Klien

Salah satu fungsi terpenting dalam terapi adalah menyediakan ruang aman dan netral di mana klien merasa bebas untuk membuka diri, tanpa penilaian atau tekanan. Bila terapis adalah bagian dari kehidupan sehari-hari klien, seperti pasangan atau orang tua, ruang aman ini tidak pernah benar-benar ada. Klien akan cenderung menyaring informasi, merasa diawasi, atau menghindari pembicaraan yang sensitif, sehingga tidak bebas untuk mengekspresikan diri secara utuh.

 

6. Persepsi Otoritas yang Tidak Kuat

Relasi keluarga sering membentuk persepsi psikologis yang bersifat “setara” atau bahkan timpang. Klien yang lebih tua mungkin memandang hipnoterapis yang lebih muda (namun anggota keluarga) sebagai kurang kredibel, dan sebaliknya. Ketika klien tidak memandang terapis sebagai figur yang otoritatif dan layak dipercaya, kekuatan sugesti terapeutik akan berkurang drastis. Tanpa transferensi yang sehat, terapi menjadi lemah dan tidak efektif.

 

7. Kerentanan terhadap Burnout dan Beban Ganda

Menangani klien keluarga menciptakan beban ganda bagi terapis. Di satu sisi, ia terlibat secara profesional, tetapi di sisi lain ia juga merasa bertanggung jawab secara emosional sebagai anggota keluarga. Ini adalah lahan subur bagi kelelahan emosional, frustasi, bahkan kegagalan relasi. Ketika terapi tidak membuahkan hasil, relasi keluarga bisa ikut retak.

 

Alternatif yang Lebih Sehat dan Etis

Praktik profesional di seluruh dunia menyarankan: jika klien adalah anggota keluarga, rujuklah ke terapis lain yang profesional, netral, dan tidak memiliki relasi personal. Ini bukan karena hipnoterapis tidak mampu, tetapi karena ia memahami pentingnya menjaga integritas relasi dan keberhasilan proses terapi.

Dengan merujuk klien keluarga kepada pihak ketiga yang netral, terapis tetap menjaga peran keluarga secara sehat, dan klien mendapat kesempatan pulih dalam ruang yang benar-benar aman.

 

Penutup: Antara Profesionalisme dan Cinta Keluarga

Keputusan untuk tidak menerapi keluarga bukanlah bentuk penolakan, melainkan wujud cinta dan tanggung jawab yang lebih dalam. Terapis yang profesional tahu kapan harus mundur, dan tahu bahwa menyembuhkan tidak selalu berarti “saya yang melakukannya.”

Hipnoterapi bukan sekadar teknik, melainkan seni mendampingi. Dan kadang, cara terbaik mendampingi adalah dengan mempercayakan yang kita sayangi kepada tangan yang lebih objektif.

Baca Selengkapnya

Simpati dan Empati: Menemukan Keseimbangan dalam Praktik Hipnoterapi

18 Juni 2025

Dalam praktik hipnoterapi, keberhasilan tidak semata ditentukan oleh teknik atau protokol terapi yang digunakan, melainkan juga oleh kualitas kehadiran terapis dalam mendampingi klien. Salah satu kualitas penting yang harus dimiliki oleh seorang hipnoterapis adalah kemampuan merespons emosi klien secara tepat. Dalam konteks ini, penting untuk memahami secara mendalam perbedaan antara simpati dan empati, serta bagaimana keduanya berdampak terhadap proses terapi.

Asal Usul dan Definisi

Secara etimologis, simpati berasal dari bahasa Yunani syn (bersama) dan pathos (perasaan). Simpati merujuk pada perasaan iba atau kasihan terhadap penderitaan orang lain, tanpa perlu turut merasakannya secara langsung. Dalam simpati, seseorang menyadari perasaan orang lain, namun tetap menjaga jarak emosional.

Sebaliknya, empati berasal dari bahasa Yunani em (di dalam) dan pathos (perasaan), yang bermakna kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, seolah-olah berada dalam posisi mereka. Empati mencakup dimensi yang lebih dalam dan lebih personal dibanding simpati.

 

Tiga Jenis Empati

Dalam kajian psikologi modern (Goleman, 2006; Ekman, 2008), empati diklasifikasikan ke dalam tiga jenis:

- Empati Kognitif: kemampuan memahami perasaan dan pikiran orang lain secara intelektual. Jenis empati ini bersifat rasional dan tidak melibatkan emosi secara mendalam.

- Empati Emosional: kemampuan untuk turut merasakan emosi orang lain. Empati ini dapat memperkuat ikatan emosional, tetapi bila tidak dikelola dengan baik, berisiko menyebabkan kelelahan emosional (emotional burnout) pada terapis.

- Empati Berwelas Asih (Compassionate Empathy): bentuk empati yang paling ideal, karena selain memahami dan merasakan emosi orang lain, terapis juga terdorong untuk membantu dengan tulus, namun tetap menjaga keseimbangan emosional pribadi. Ini adalah bentuk empati yang sehat dan berkelanjutan dalam praktik hipnoterapi.

 

Simpati vs. Empati dalam Praktik Hipnoterapi

Dalam sesi hipnoterapi, simpati yang berlebihan justru dapat menimbulkan jarak psikologis antara terapis dan klien. Simpati sering kali menempatkan terapis pada posisi superior, merasa kasihan tanpa benar-benar memahami kedalaman emosi klien. Hal ini dapat menghambat terbentuknya rasa aman dan keterbukaan.

Empati emosional yang tak terkendali juga dapat menimbulkan persoalan. Ketika terapis terlalu larut dalam emosi klien, batas antara diri dan klien menjadi kabur. Ini mengurangi objektivitas, mengganggu penilaian terapeutik, bahkan dapat menguras energi psikis terapis dalam jangka panjang.

Sebaliknya, empati berwelas asih adalah bentuk yang ideal. Terapis hadir secara utuh: terbuka secara batin, peka terhadap emosi klien, namun tetap stabil, jernih, dan tidak larut. Dalam keadaan ini, terapis berperan sebagai cermin yang tenang dan netral, tempat klien bisa melihat, mengenali, dan menyembuhkan dirinya sendiri.

Jenis Empati

Definisi

Hubungan dengan Simpati

1. Cognitive Empathy

Kemampuan memahami pikiran dan perasaan orang lain secara mental (tanpa ikut merasakan).

Mirip simpati, karena ada jarak emosional. Namun empati kognitif lebih analitis dan digunakan untuk memahami, bukan merasa iba.

2. Emotional/Affective Empathy

Kemampuan merasakan secara langsung emosi yang dirasakan orang lain (emosinya menular).

Berbeda dari simpati. Ini lebih dalam. Dalam simpati, Anda merasa "kasihan", dalam empati emosional Anda ikut merasa sedih, takut, atau marah seperti orang itu.

3. Compassionate Empathy (Empati Welas Asih)

Empati yang mendorong tindakan untuk membantu. Anda merasa dan memahami, lalu bertindak.

Simpati bisa mendorong bantuan, tapi empati welas asih didasarkan pada pemahaman dan rasa yang lebih utuh. Ini bentuk empati tertinggi dan paling sehat.

 

Dampak terhadap Emosi dan Kehidupan Individu

Empati yang sehat, khususnya empati berwelas asih, memberikan dampak positif dalam pertumbuhan pribadi dan relasi interpersonal. Individu yang mampu hadir dengan empati semacam ini cenderung lebih sabar, bijak, dan penuh pengertian. Sebaliknya, simpati yang tidak disertai pemahaman, maupun empati emosional yang berlebihan, bisa mengakibatkan kelelahan batin, ketegangan psikologis, atau bahkan keterputusan relasi.

Dalam praktik hipnoterapi, hal ini sangat krusial. Terapis bukan hanya fasilitator perubahan, tetapi juga penjaga ruang kesadaran. Dengan empati yang tepat, terapis dapat membantu klien menavigasi emosi kompleks, menjangkau ingatan terdalam, serta membentuk ulang persepsi dan makna hidup secara adaptif dan konstruktif.

Seperti yang dinyatakan oleh Pema Chödrön, “Compassion is not a relationship between the healer and the wounded. It’s a relationship between equals.” Welas asih bukanlah relasi antara penyembuh dan yang terluka, melainkan hubungan antara dua insan yang setara.

Pernyataan ini menekankan bahwa dalam hubungan terapeutik yang sehat, tidak ada posisi superior. Terapis tidak menolong dari tempat yang lebih tinggi, melainkan hadir sebagai sahabat kesadaran—yang menemani klien menjelajahi batin dan menemukan kembali keutuhan dirinya.

Dengan sikap ini, ruang terapi menjadi tempat yang aman dan hangat, di mana klien tidak merasa dihakimi atau dikasihani, melainkan dihormati dan didampingi. Inilah bentuk kehadiran terapeutik yang memungkinkan penyembuhan sejati terjadi: dua manusia yang setara, berjalan bersama dalam kejujuran, kesadaran, dan kasih.

 

Kesimpulan

Hipnoterapis perlu melatih kepekaan emosional tanpa kehilangan keseimbangan diri. Simpati harus dihindari bila menjebak dalam rasa iba tanpa kedalaman pengertian. Empati emosional perlu dikelola agar tidak menyedot energi batin. Empati berwelas asih adalah bentuk paling ideal, karena memadukan pemahaman, kehadiran, dan keutuhan batin dalam mendampingi klien menuju pemulihan.

Inilah seni hadir secara utuh sebagai hipnoterapis: merasakan tanpa larut, memahami tanpa melemah, dan membantu dengan kasih yang tidak menguras diri.

 

 

Baca Selengkapnya

Reputasi Hipnoterapis: Pilar Kepercayaan dan Pertumbuhan Profesional

13 Juni 2025

Dalam dunia terapi yang begitu personal dan menyentuh sisi terdalam kehidupan klien, reputasi seorang hipnoterapis bukanlah sekadar label atau nama baik semata. Ia adalah fondasi kepercayaan, pintu masuk relasi terapeutik yang mendalam, dan landasan pertumbuhan profesional yang berkelanjutan. Di balik reputasi yang kuat, terdapat konsistensi dalam integritas, keahlian, sikap welas asih, serta ketekunan dalam melayani klien dari hati ke hati.

Reputasi bukan dibentuk oleh janji-janji kosong atau pencitraan semu. Ia dibangun dari hasil nyata, dari satu sesi ke sesi berikutnya, dari testimoni diam-diam yang terucap melalui perubahan hidup klien, bukan hanya melalui kata-kata. Klien datang dengan luka, kebingungan, atau harapan. Ketika mereka merasa dipahami, ditolong, dan dihargai, mereka membagikan pengalaman itu, baik dalam bentuk rekomendasi, ulasan, maupun kepercayaan yang makin dalam. Di sinilah reputasi tumbuh secara organik dan otentik.

Dalam artikel "Reputation is Vital to Survival in Turbulent Markets", Geoffrey Jones dan Tarun Khanna menjelaskan bahwa reputasi terdiri atas tiga unsur utama:

  1. Prominence – keterkenalan yang diperoleh melalui jam terbang, kontribusi nyata, dan rekomendasi klien yang puas.
  2. Perceived Quality – persepsi dan pengalaman kualitas layanan yang benar-benar dirasakan klien, bukan hanya dipromosikan.
  3. Resilience – ketahanan reputasi terhadap tekanan, tantangan, dan perubahan zaman karena adanya kemampuan refleksi, evaluasi, dan pembaruan diri secara terus-menerus.

Dalam konteks hipnoterapi, ketiga unsur ini sangat relevan. Ketika hipnoterapis berkomitmen tinggi untuk memperdalam ilmunya, menumbuhkan empati, serta menyelaraskan etika dan kompetensinya, maka kehadirannya akan memberikan dampak yang nyata. Dampak inilah yang akan menanamkan reputasi kuat dan tahan lama.

Namun, reputasi tidak berhenti pada titik dikenalnya nama atau banyaknya klien yang datang. Reputasi sejati menuntut pemeliharaan berkelanjutan. Ini artinya, seorang hipnoterapis harus senantiasa:

  • Menjaga etika profesional dalam setiap sesi, termasuk dalam penggunaan metode, penanganan informasi klien, dan cara berkomunikasi.
  • Menghindari klaim yang bombastis dan menjanjikan hasil instan.
  • Jujur dalam menyampaikan kapasitas diri, batas pendekatan yang digunakan, serta kesiapan untuk merujuk klien ke praktisi lain bila dibutuhkan.

Seorang hipnoterapis juga perlu memiliki keberanian untuk terus belajar. Dunia berubah. Klien pun semakin sadar, cerdas, dan kritis. Praktisi yang tidak memperbarui pendekatannya akan tertinggal. Oleh karena itu, reputasi juga berkaitan erat dengan budaya belajar, kemampuan refleksi diri, serta kemauan untuk memperbaiki kesalahan.

Kita juga tidak bisa mengabaikan bahwa satu kesalahan kecil, satu tindakan tidak etis, atau satu respons yang tidak empatik dapat menghancurkan reputasi yang telah dibangun bertahun-tahun. Seperti yang diingatkan oleh Benjamin Franklin: "It takes many good deeds to build a good reputation, and only one bad one to lose it."

Di balik segala hal teknis, reputasi adalah soal karakter. Seorang hipnoterapis yang rendah hati, mendengarkan tanpa menghakimi, hadir sepenuh hati, dan berani mengatakan “saya belum tahu” atau “saya belum mampu”, justru akan dihargai dan dipercaya lebih dalam.

Hipnoterapi adalah profesi pelayanan yang menyentuh inti kemanusiaan. Karena itu, reputasi sejati bukan hanya tentang keahlian dan sertifikat, tetapi tentang bagaimana kita hadir sebagai manusia untuk manusia lain. Reputasi adalah gema dari integritas dan kasih yang terus diberikan.

Karena pada akhirnya, kepercayaan tidak dibeli—ia dihadiahkan oleh klien kepada praktisi yang sungguh-sungguh layak menerimanya.

 

Baca Selengkapnya

"Godaan Setan" dari Perspektif Hipnoterapi Klinis

16 Juni 2025

Sangat sering kita mendengar orang berkata, "Saya sebenarnya tidak mau melakukan hal ini. Namun apa daya, setan terus menggoda, mendorong, dan membisikkan saya. Akhirnya saya tidak sadar melakukan perbuatan ini."

Bila kita hanya mendengar pernyataan ini secara apa adanya, seolah-olah benar bahwa orang tersebut didorong oleh makhluk halus—yang disebut sebagai setan—hingga ia terjerumus dalam perbuatan yang tidak baik. Benarkah demikian?

Tulisan ini bertujuan menjelaskan cara kerja "setan" berdasarkan perspektif hipnoterapi klinis. Harapannya, setelah Anda membaca tulisan ini, Anda memahami apa yang sesungguhnya terjadi di dalam diri dan mengerti cara mengalahkan "setan" yang selama ini menggoda dan mendorong orang untuk berbuat tidak baik.

 

Dua Pikiran

Manusia memiliki dua pikiran: Pikiran Sadar (PS) dan Pikiran Bawah Sadar (PBS). Saat terjadi pembuahan, PBS aktif dan akan terus aktif hingga individu meninggal. PS baru aktif saat individu berusia kurang lebih tiga tahun, dan akan terus menguat seiring bertambahnya usia, pengetahuan, dan pelatihan dalam menggunakan pikiran secara efektif. Dari usia nol hingga tiga tahun, anak sepenuhnya berada dalam kondisi hipnosis dan beroperasi menggunakan PBS-nya.

Kekuatan dan pengaruh PS terhadap individu berkisar antara 1–5%, sementara PBS 95–99%. Dengan demikian, bila terjadi konflik antara PS dan PBS, apa pun situasi dan kondisinya, yang selalu menang adalah PBS.

Fungsi utama pikiran sadar adalah menyaring dan memproses informasi yang masuk secara sadar, berpikir logis dan rasional, serta membuat keputusan berdasarkan informasi tersebut. Selain itu, pikiran sadar mengendalikan fokus secara sadar, berperan dalam membuat pilihan, menetapkan tujuan, dan merencanakan tindakan.

Fungsi PBS, antara lain, adalah sebagai tempat penyimpanan informasi, seperti hard disk (HD) komputer. Untuk mudahnya, kita asumsikan, saat anak lahir, HD-nya dalam kondisi kosong, belum berisi data apa pun.

HD ini diisi data melalui proses tumbuh kembang dan interaksi anak dengan lingkungannya, terutama dengan pengasuh utamanya, saat ia masih kecil. Saat anak masih kecil, usia nol hingga tujuh tahun, data diisikan oleh lingkungan melalui apa yang dikatakan padanya, apa yang ia lihat, dengar, alami, dan rasakan. Di atas usia tujuh tahun, HD diisi terutama melalui proses pengulangan atau repetisi.

Fungsi lain PBS adalah memproteksi individu dari hal-hal yang ia—PBS—rasakan, yakini, pikirkan, atau asumsikan berbahaya atau berdampak negatif bagi keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan individu di berbagai aspek kehidupan.

Sejalan dengan fungsi proteksi, PBS bekerja berdasarkan prinsip mengejar kesenangan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain): apa pun yang dirasa menyenangkan akan digenggam dan diulang, sedangkan apa pun yang dirasa menyakitkan akan dihindari atau bila perlu dihilangkan. Semua ini bertujuan demi "kebaikan" individu. Penilaian atas apa yang menyenangkan atau menyakitkan, baik atau tidak baik, sepenuhnya berdasar persepsi PBS. Ia tidak beroperasi berdasarkan logika, melainkan berdasarkan asosiasi emosi, pengalaman masa lalu, dan pengulangan.

Kekuatan dorongan untuk mengulang dan mengalami kembali hal yang menyenangkan atau menghindari hal yang menyakitkan berbanding lurus dengan akumulasi dan intensitas emosi yang melekat pada memori. Semakin intens emosinya, semakin kuat daya dorongnya, semakin kuat cengkeraman PBS terhadap individu.

Selama individu tidak menyadari bahwa dorongan kuat yang muncul dalam dirinya berasal dari memori masa lalu dan emosi akumulatif di PBS, ia akan terus hidup dalam siklus pengulangan. Ia mungkin mencoba mengontrol perilaku secara sadar, namun gagal karena yang ia lawan bukan godaan eksternal, melainkan program internal yang telah tertanam kuat. Kesadaran akan mekanisme ini adalah langkah awal menuju kebebasan sejati.

 

Data Menyenangkan dan Menyakitkan

Dalam proses tumbuh kembang, individu mengalami banyak kejadian. Ada yang menyenangkan, dan tentu ada pula yang menyakitkan. Kejadian yang dimaknai sebagai menyenangkan tersimpan di memori PBS dan dilekati emosi positif. Sementara kejadian yang tidak menyenangkan atau menyakitkan tersimpan di memori PBS dan dilekati emosi negatif.

Bila individu mengalami kejadian yang sama atau serupa, maka memori-memori sejenis tersimpan di memori PBS dalam satu kelompok, dan emosi dari masing-masing memori akan bergabung membentuk intensitas emosi akumulatif.

Berdasarkan emosi akumulatif inilah PBS akan mengarahkan individu: mengulang hal yang menyenangkan atau menghindari hal yang menyakitkan.

Semakin hal yang menyenangkan diulang, semakin intens emosi akumulatif, semakin kuat dorongan untuk hal yang sama atau serupa. Sementara untuk hal yang menyakitkan, PBS akan mendorong individu untuk sebisa mungkin menghindari atau bila perlu melenyapkannya.

 

Lima Jalur Komunikasi PBS

PBS menggunakan lima jalur untuk berkomunikasi dengan pikiran sadar (individu). Pertama, ia menggunakan perasaan atau emosi. Saat individu merasakan emosi tertentu, pada saat itu sejatinya PBS sedang mengirim pesan spesifik yang perlu dipahami.

Kedua, PBS berkomunikasi menggunakan sensasi fisik. Sering terjadi, individu tidak merasakan emosi namun ia merasakan sensasi fisik tertentu seperti perasaan nyaman di dada, badan terasa ringan, napas lega, leher terasa kaku, kepala terasa berat, atau punggung kaku.

Ketiga, PBS berkomunikasi dengan mengirim pesan melalui suara yang terdengar di dalam pikiran. Orang sering menyebutnya dengan suara hati (inner talk, self-talk). Suara ini bisa satu, dua, atau banyak.

Keempat, PBS berkomunikasi lewat mimpi. Mimpi yang dimaksud adalah mimpi berulang dengan tema yang sama. Mimpi sejatinya adalah bahasa simbolik dari PBS, di mana pesan-pesan kompleks disampaikan melalui media berupa gambar, cerita, dan simbol.

Kelima, PBS berkomunikasi lewat intuisi, yaitu kemampuan memahami sesuatu secara langsung tanpa melalui proses pemikiran logis.

 

Ada Banyak Bagian Diri

Manusia bukan entitas tunggal. Di dalam diri kita terdapat lebih dari satu Bagian Diri yang disebut Ego Personality (EP). Terdapat 15 (lima belas) jenis EP sesuai dengan proses terciptanya. Jumlah EP dalam diri manusia cukup banyak. Dalam keseharian, dalam kondisi normal, manusia dijalankan oleh lima hingga tujuh EP secara bergantian, bergantung pada situasi dan kondisi.

EP-EP ini disebut sebagai EP eksekutif. Masih banyak EP lain yang aktif di kedalaman PBS, disebut underlying EP, yang hanya aktif dalam situasi atau kondisi tertentu, atau terpicu oleh sesuatu.

Setiap EP memiliki memori, emosi, vibrasi, energi, nilai hidup, kepercayaan, kebiasaan, pola berpikir, dan tujuan. Untuk mencapai tujuannya, EP mengekspresikan dirinya dengan menggunakan tubuh individu dan bertindak sebagai individu. Tujuan EP bisa selaras dan bermanfaat bagi individu, atau sebaliknya, bertentangan dan merugikan.

Salah satu jenis EP yang memiliki pengaruh besar terhadap individu adalah introject, yaitu persepsi tentang seseorang yang terinternalisasi ke dalam PBS. Introject bisa berasal dari tokoh penting, figur otoritas, atau seseorang yang memiliki ikatan emosional kuat dengan individu tersebut, baik itu secara positif maupun negatif.

Bila introject aktif, ia akan menjalankan, menguasai, dan bahkan menjadi individu itu sendiri. Individu akan bersikap, berpikir, berucap, bertindak, dan berperilaku persis seperti introject, yakni figur eksternal yang telah terinternalisasi.

 

Apakah Sebenarnya Bisikan "Setan"?

Saat PBS menggunakan jalur komunikasi berupa pesan suara di dalam pikiran, yang terjadi sesungguhnya adalah ada satu atau beberapa EP yang aktif dan berbicara.

Karena individu tidak mengerti apa yang sedang terjadi di dalam pikirannya, ia tidak tahu cara berbicara langsung dengan EP ini. Yang individu dengar hanyalah suara di dalam dirinya yang berbicara atau menyampaikan sesuatu padanya. Bisa berupa pernyataan, permintaan, saran, masukan, kritik, cemoohan, atau perintah dan dorongan untuk melakukan sesuatu.

Saat individu menyadari adanya suara yang berbicara padanya, sejatinya pada saat itu minimal ada dua EP yang aktif. Satu, EP yang berperan sebagai individu dan satu lagi, EP yang berperan sebagai suara yang tidak dikenal sumbernya.

Jika kita letakkan penjelasan di atas dalam konteks perbuatan tidak baik, misalnya perbuatan korupsi, maka yang terjadi di dalam pikiran pelaku adalah sebagai berikut:

Di memori PBS ada data berupa satu, beberapa, atau banyak pengalaman yang pernah dialami pelaku, yang memberinya perasaan senang dan nikmat, berhubungan dengan uang. Pelaku ingin mendapatkan banyak uang dengan mudah agar bisa mengulang perasaan senang yang sebelumnya telah ia alami, misalnya dengan hidup mewah, membeli barang-barang mahal, atau pamer harta untuk mendapatkan pengakuan.

Maka, pada saat ia bertemu dengan kegiatan yang melibatkan banyak uang, PBS mendorong ia untuk menggunakan cara apa pun agar bisa mendapatkan uang tersebut, walau ia tahu ini adalah perbuatan tercela, melanggar hukum, dan ia bisa masuk penjara.

Pasti ada satu EP dalam diri pelaku yang tidak setuju dengan korupsi, menyadari risiko ini, dan berusaha mencegahnya melakukan korupsi. Namun, ada EP lain yang jauh lebih kuat dan dominan, yang konsisten membisikkan dan mendorong pelaku untuk terus maju, pantang mundur melakukan korupsi. Dan akhirnya ia melakukannya.

Pada saat si pelaku ditangkap KPK, ia berkata, "Saya khilaf. Ini ujian. Saya tidak sadar mengikuti bisikan, rayuan, dan dorongan setan."

Demikian juga halnya dengan pelaku pelecehan seksual. Pasti di dalam memori PBS-nya ada banyak data yang berhubungan dengan aktivitas seksual, bisa berupa pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, atau dari tontonan dan fantasi yang ia himpun sekian tahun. Emosi intens yang terakumulasi di PBS mendapat penguatan dari imajinasi liar yang tidak terkendali.

Akibatnya, saat ia melihat wanita—bahkan yang berpakaian rapi dan sopan, menutup seluruh tubuh—pikiran si pelaku tetap liar berfantasi. Apalagi bila ia bertemu dengan wanita yang berpakaian minim atau ketat sehingga lekuk tubuh terungkap jelas. Ia mendengar suara yang mendorongnya untuk melakukan pelecehan pada wanita ini.

Jika si pelaku akhirnya melakukan pelecehan dan kemudian tertangkap, ia akan berkata, "Saya khilaf. Saya tidak bermaksud melakukan perbuatan ini. Tapi, ada setan lewat dan membisiki saya, memengaruhi saya."

Hal yang sangat berbeda terjadi saat saudara-saudara kita, umat Hindu di Bali, sedang melakukan upacara di pantai. Mereka menjalankan ibadah atau ritual agamanya dengan sangat fokus dan penuh kesadaran, sementara di sekeliling mereka ada banyak wisatawan mancanegara—terutama wanita—yang hanya menggunakan bikini dan menyaksikan serta mengabadikan kegiatan mereka. Mereka sama sekali tidak terganggu. Ini semua karena pikiran mereka bersih dari sampah-sampah yang tidak bermanfaat.

Dengan memahami cara kerja pikiran bawah sadar (PBS), kita dapat menjelaskan fenomena yang tampak serupa namun menghasilkan respons yang sangat berbeda di dua tempat berbeda.

Dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, misalnya, ketika sebuah mobil pengangkut barang terguling dan muatannya jatuh berserakan di jalan, reaksi masyarakat bisa sangat kontras. Di satu tempat, alih-alih membantu mengamankan barang-barang tersebut, sebagian warga justru memanfaatkan situasi untuk menjarah. Barang-barang diambil begitu saja, tanpa rasa bersalah, seolah tindakan tersebut adalah hal yang wajar dilakukan.

Sementara itu, di tempat lain, ketika kecelakaan serupa terjadi, masyarakat justru menunjukkan sikap bertanggung jawab. Mereka sigap membantu mengamankan barang-barang yang tercecer, tanpa ada niat untuk mengambil atau memiliki barang yang bukan milik mereka. Tidak satu pun dari mereka yang melakukan penjarahan.

Apa yang membedakan dua respons ini bukanlah peristiwa itu sendiri, melainkan isi dan struktur PBS masing-masing individu. Pola pikir, nilai, dan rekaman pengalaman yang tersimpan dalam PBS membentuk persepsi dan dorongan yang memengaruhi tindakan seseorang, bahkan tanpa ia sadari. 

Dalam perspektif hipnoterapi klinis, tidak ada ruang untuk menyalahkan faktor eksternal atas keputusan personal. Setiap individu bertanggung jawab atas program yang tertanam di dalam dirinya dan pilihan yang ia buat. Namun, kabar baiknya: semua program itu bisa dikenali, dipahami, dan diubah. Inilah inti dari transformasi—membangkitkan kesadaran, mengambil alih kendali, dan membebaskan diri dari jerat "setan" yang sebenarnya adalah bagian dari diri sendiri yang belum dipahami dan disembuhkan.

Yang dimaksud dengan "setan" dalam konteks yang dibahas di tulisan ini sejatinya adalah EP, yang merupakan bagian dari struktur PBS. Dalam kitab suci, EP yang mendorong individu melakukan perbuatan buruk disebut sebagai setan, dosa, atau kuasa daging. 

"Setan" ini tidak bisa dikalahkan atau diusir keluar dari diri individu dengan membaca doa atau dengan ritual keagamaan, karena ia bukan entitas yang berasal dari luar diri. "Setan" ini harus dijumpai, dihadapi, diajak bicara, dan diedukasi agar berubah menjadi "malaikat" yang baik dan mendukung hidup dan kehidupan kita. 

Jadi, apakah “setan” itu benar-benar ada? Jawabannya tidak terletak di luar diri, melainkan di dalam pola pikir, luka batin, dan kebiasaan mental yang selama ini tidak kita kenali. Dengan pemahaman dan kesadaran yang tepat, kita bisa berdamai dengan diri sendiri dan berhenti menyalahkan “setan” atas pilihan-pilihan yang sebenarnya adalah milik kita sepenuhnya.

 

Baca Selengkapnya

Akibat Godaan Setan?

13 Juni 2025
Beberapa waktu lalu, seorang klien mengajukan pertanyaan yang cukup menarik, “Pak Adi, apakah hipnoterapi bisa digunakan untuk mengalahkan kuasa setan?”
 
Terus terang, saya sempat bingung. Sebagai hipnoterapis, saya tidak boleh langsung berasumsi atau menarik kesimpulan sepihak. Maka saya tanyakan kembali, “Maksud Anda, kuasa setan itu seperti apa?”
 
Klien kemudian menjelaskan bahwa ia kerap melakukan masturbasi, menonton video porno, dan setiap kali melihat perempuan, pikirannya dipenuhi oleh fantasi seksual. Ia merasa ini adalah dosa, dan yakin bahwa dorongan-dorongan itu muncul karena godaan setan.
 
Ia mengaku sudah berusaha keras menahan diri, tetapi selalu gagal. Dorongan itu terlalu kuat. Saya pun kembali bertanya, “Sebelum Anda melakukan hal-hal yang menurut Anda tidak baik itu, apa yang biasanya muncul di pikiran? Apa yang Anda rasakan?”
 
Klien menjawab, ketika ia sedang santai dan tidak ada kegiatan, dorongan untuk menonton video porno muncul. Ia bahkan mengaku mendengar “suara setan” di dalam kepalanya—suara yang seolah-olah terus mendorong, merayu, dan membujuknya. Akhirnya, ia pun menyerah. Menonton video porno dan bermasturbasi, sambil tentu saja berfantasi.
 
Apakah benar ini karena godaan setan?
 
Sebagai hipnoterapis, saya telah beberapa kali menangani dan berhadapan dengan she Tan. Ada juga yang she Liem, she Go, dan she-she lainnya. Tapi kalau berhadapan langsung dengan setan, belum pernah.
Saya jelaskan kepadanya bahwa apa yang ia alami, dari sudut pandang ilmu pikiran, khususnya hipnoterapi klinis, tidak ada hubungannya dengan setan.
 
Namun klien bersikeras. “Tapi Pak Adi, setan itu kan ada. Setan memang menggoda manusia untuk berbuat dosa. Saya yakin, saya ini dipengaruhi setan.”
 
Sebagai terapis, saya tidak memasuki ranah teologi. Tugas saya adalah membantu klien menyelesaikan masalahnya. Maka saya edukasi klien tentang cara kerja pikiran.
 
Apa yang dialaminya bermula dari kontak antara indera dan objek. Dalam hal ini, antara indera penglihatan dan pendengaran dengan objek berupa video porno. Saat melihat dan mendengar isi video tersebut, muncullah makna, sensasi, dan perasaan menyenangkan. Perasaan inilah yang diperkuat oleh daya imajinasi dalam Pikiran Bawah Sadar (PBS).
 
Rasa senang itu menciptakan keinginan untuk mengulang pengalaman yang sama. Ini adalah prinsip kerja pikiran yang didasari loba atau keserakahan. Semakin sering diulang, dorongannya semakin kuat—seperti bola salju yang terus membesar.
 
Apa yang tidak disadari klien adalah bahwa semua ini telah terekam sangat kuat di PBS-nya. Dalam hal pengaruh terhadap perilaku, kekuatan PBS dibanding Pikiran Sadar (PS) adalah 99 banding 1. Jadi, saat PBS berkata “ya,” sekuat apa pun PS menolak, hasilnya tetap kalah.
 
PBS mendorong individu bertindak melalui emosi, sensasi, bahkan bisikan. Dalam hipnoterapi klinis, suara ini bukanlah suara setan, melainkan ekspresi dari Bagian Diri tertentu—disebut juga Ego Personality.
 
Semakin sering suatu tindakan atau perilaku diulang, ia menjadi semakin kuat, emosi yang menyertainya menjadi semakin intens, daya dorong, kendali, dan kelekatannya juga menjadi semakin kuat membelenggu seseorang. Tanpa kesadaran dan kendali diri yang kuat adalah mustahil untuk bisa mengalahkan dorongan hawa nafsu.
 
Lalu bagaimana cara membantu klien ini?
 
Saya melakukan hipnoanalisis, mencari dan menemukan kejadian paling awal yang mendasari perilakunya, momen saat bola salju ini pertama kali mulai menggelinding. Saya menelusuri akar masalah di dalam PBS-nya dan melakukan proses netralisasi, termasuk terhadap rasa nikmat dari masturbasi yang sebelumnya menjadi “hadiah” dari perilaku tersebut.
 
Hasilnya, dorongan untuk menonton video porno hilang total. Bersamaan dengan itu, dorongan untuk masturbasi juga lenyap, begitu pula fantasi seksual yang biasanya muncul setiap kali melihat perempuan.
 
Saya menyarankan klien untuk menyibukkan diri dengan aktivitas positif serta memperkuat nilai-nilai agama dan kemoralan. Ini menjadi benteng yang kuat untuk mencegah perilaku yang tidak bermanfaat.
 
Saya cukup prihatin ketika mendengar seseorang menyatakan bahwa mereka berbuat dosa atau melanggar nilai agama karena “godaan setan.” Ungkapan ini seringkali menjadi bentuk pelimpahan tanggung jawab. Mereka mencari “kambing hitam” untuk sesuatu yang seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi. Akibatnya, mereka beroperasi dengan mentalitas korban.
 
Ketika seseorang bermental korban, ia merasa tidak berdaya. Ia menyerahkan kendali hidupnya pada faktor luar—bukan dirinya sendiri. Dan saat itu terjadi, perubahan menjadi sesuatu yang sangat sulit dicapai.
.
.
(Credit photo: Jetrel)
Baca Selengkapnya

Reseat SECH, Shock Induction, Diskon dan Bonus

12 Juni 2025

Seorang sahabat yang berminat mengikuti kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH) menghubungi saya dan mengajukan beberapa pertanyaan. Ia bertanya apakah AWGI memberikan fasilitas kepada alumni berupa kesempatan mengulang kelas SECH.

Saya sampaikan bahwa AWGI memberikan fasilitas ini sebagai bentuk layanan dan dukungan berkelanjutan bagi para alumni yang ingin terus belajar, berkembang, dan memperbarui pengetahuan mereka sesuai materi terkini yang diajarkan dalam kelas SECH.

Terdapat dua skema reseat yang kami sediakan. Pertama, kelas reseat SECH berdurasi 4 (empat) hari, khusus bagi hipnoterapis AWGI yang masih aktif menjalankan praktik terapi. Kedua, kelas reseat penuh selama 10 hari, ditujukan bagi alumni yang sudah sangat lama tidak aktif sebagai hipnoterapis dan perlu menyegarkan kembali seluruh materi dari awal.

Ia kemudian bertanya, apakah reseat ini diberikan secara gratis. Saya jawab, tidak. Setiap peserta, termasuk alumni, tetap diwajibkan membayar biaya pendidikan sesuai ketentuan yang berlaku.

Sahabat ini lalu membandingkan kebijakan AWGI dengan beberapa lembaga lain yang, menurutnya, memberikan fasilitas reseat seumur hidup secara gratis bagi semua alumni.

Saya jelaskan kepadanya bahwa hal tersebut tidak berlaku di AWGI. Sejak pertama kali saya mengajar hipnoterapi pada tahun 2008, saya memperlakukan AWGI setara dengan lembaga pendidikan tinggi terkemuka yang menghasilkan lulusan di bidang kesehatan seperti dokter, psikiater, atau psikolog klinis.

Saya belum pernah mendengar ada dokter atau psikolog yang meminta untuk mengulang perkuliahan secara penuh, kembali ke kampus, dan belajar dari awal. Hal yang sama berlaku di AWGI.

Untuk alumni yang mengikuti kelas reseat 4 hari, mereka tetap dikenakan biaya pendidikan tertentu. Sedangkan bagi yang mengikuti kelas SECH secara penuh selama 10 hari, mereka diperlakukan sebagai peserta baru.

Sejak awal, saya telah menanamkan dalam pikiran bawah sadar setiap peserta SECH bahwa mereka perlu belajar dengan sungguh-sungguh dan membangun kompetensi terapeutik yang tinggi. Jika mereka tidak berniat belajar secara serius, maka lebih baik tidak mengikuti kelas ini karena hanya akan membuang waktu, tenaga, dan biaya.

Kelas SECH hanya diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar serius dan merasa terpanggil untuk menjadi penyembuh—seorang hipnoterapis profesional yang ingin berkarya nyata dan memberikan kontribusi bagi masyarakat.

Sahabat ini juga bertanya apakah saya masih mengajarkan teknik shock induction atau induksi kejut. Saya jelaskan bahwa dahulu saya memang mengajarkannya, sebelum akhirnya saya menciptakan Adi W. Gunawan Induction (Adi Induction). Sejak saat itu, saya tidak lagi mengajarkan shock induction.

Dulu, saya tidak hanya mengajarkan cara melakukan shock induction, tetapi juga menjelaskan secara detail bagaimana teknik ini bekerja, proses yang terjadi di aspek fisik dan mental klien, serta risiko-risiko yang mungkin timbul.

Ada beberapa alasan saya berhenti mengajarkan teknik ini. Pertama, shock induction bersifat agresif dan sangat dominatif, yang dapat membuat klien merasa tidak nyaman bahkan terintimidasi. Bila terapis tidak cermat dan hati-hati, teknik ini dapat menimbulkan reaksi kejut yang berdampak negatif pada klien, baik secara psikologis maupun fisik. Kedua, banyak terapis wanita merasa tidak nyaman melakukannya. Ketiga, teknik ini juga sulit diterapkan jika klien duduk di kursi terapi, karena keterbatasan posisi dan ruang gerak.

Pertanyaan lain yang ia ajukan: apakah AWGI memberikan diskon atau bonus? Saya jawab dengan tegas, AWGI tidak menawarkan diskon maupun bonus materi dalam bentuk e-book, audio, video, skrip, atau bentuk lainnya.

Namun sesungguhnya, peserta kelas SECH memperoleh “bonus” yang jauh lebih berharga—yaitu materi ajar yang selalu diperbarui, pengetahuan terkini, strategi intervensi terbaru, teknik-teknik klinis yang terus saya kembangkan, serta kesempatan untuk mendapatkan bimbingan dan supervisi yang personal serta berkelanjutan dari pengajar yang merupakan hipnoterapis aktif dengan pengalaman lebih dari dua puluh tahun. Saya sendiri terus belajar dan menyempurnakan keilmuan hipnoterapi yang saya ajarkan.

Kebijakan ini telah saya terapkan secara konsisten sejak kelas SECH pertama diselenggarakan pada tahun 2008. Saya ingin peserta datang ke AWGI karena mereka sungguh ingin belajar dan memperoleh pendidikan yang berkualitas tinggi—bukan karena tergiur oleh diskon atau bonus.

Sahabat ini kemudian menanyakan kapan kelas SECH diselenggarakan. Saya jawab bahwa kelas SECH saat ini sedang berlangsung. Kelas berikutnya akan diselenggarakan pada pertengahan tahun depan.

Ia tampak kecewa karena tidak bisa mengikuti kelas tahun ini. Ia mengatakan bahwa bila harus menunggu sampai tahun depan, ia tidak lagi berminat.

Saya menanggapinya dengan santai. Saya katakan, "Tidak apa-apa bila sudah tidak berminat. Anda tidak harus belajar hipnoterapi di AWGI. Silakan belajar di lembaga lain. Bila memang ada jodoh, kita akan bertemu. Kalau tidak ada jodoh, sekeras apa pun upaya kita, pertemuan itu tak akan terjadi. Jadi, santai saja. Semua akan indah pada waktunya."

Demikianlah adanya...
Demikianlah kenyataannya...

Baca Selengkapnya

Penyembuhan adalah Proses Spiritual yang Mendalam

13 Juni 2025

Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis, kata “penyembuhan” sering kali diasosiasikan dengan hilangnya gejala atau perbaikan fungsi fisik. Namun, semakin banyak orang menyadari bahwa penyembuhan sejati tidak hanya terjadi di tingkat tubuh atau pikiran, melainkan menyentuh dimensi yang lebih dalam—dimensi spiritual.

Ketika seseorang mengalami luka, terlebih luka batin yang mendalam seperti kehilangan, pengkhianatan, atau trauma masa kecil, yang terguncang bukan hanya pikiran atau emosi, tetapi juga identitas terdalam dan makna hidupnya.

Rasa aman, kepercayaan, bahkan eksistensi diri bisa ikut retak. Dalam kondisi seperti ini, penyembuhan tidak lagi cukup bila hanya diarahkan pada aspek biologis atau kognitif. Ia harus menjangkau, merawat, dan memulihkan inti terdalam keberadaan manusia.

Lebih dari Sekadar Menghilangkan Gejala

Penyembuhan sejati bukan sekadar hilangnya rasa sakit. Ia adalah pemulihan makna, penerimaan terhadap masa lalu, dan rekonsiliasi dengan diri sendiri. Dalam proses ini, seseorang akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial:

- Mengapa ini terjadi pada saya?
- Apa makna dari penderitaan ini?
- Apa yang perlu saya pelajari dan lepaskan?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah wilayah farmakologi atau terapi perilaku semata. Mereka adalah panggilan jiwa—sebuah perjalanan batin yang menuntun seseorang kembali ke pusat dirinya.

Ruang Keheningan dan Kesadaran

Penyembuhan spiritual berlangsung dalam keheningan, tidak tergesa, tidak ramai, berjalan secara alamiah. Ia menuntut keberanian untuk duduk bersama luka, merasakan yang tak ingin dirasa, dan menatap yang selama ini dihindari. Meditasi, doa, refleksi, dan praktik-praktik kesadaran menjadi jembatan menuju keutuhan kembali.

Melalui perjalanan ini, seseorang mulai menyadari bahwa ia bukan sekadar kumpulan luka, melainkan pribadi yang tetap utuh meski pernah retak. Ada kekuatan di dalam diri yang tidak hancur oleh trauma. Dan dari sanalah, penyembuhan sejati bermula.

Dari Keterpecahan Menuju Keutuhan

Trauma memecah. Ia menciptakan jarak antara pikiran dan tubuh, antara sekarang dan masa lalu, antara diri yang tampak dan jiwa yang terluka. Penyembuhan spiritual adalah proses penyatuan kembali. Saat emosi yang selama ini direpresi akhirnya mampu dilepaskan, saat makna yang hilang ditemukan, dan saat luka yang tersembunyi diakui tanpa penolakan—di situlah benih penyembuhan tumbuh.

Penyembuhan bukan berarti menjadi seperti semula. Melainkan menjadi pribadi baru yang lebih utuh, lebih sadar, dan lebih berbelas kasih—termasuk kepada diri sendiri.

Jalan Sunyi yang Menguatkan

Penyembuhan adalah proses spiritual yang mendalam. Ia tak selalu riuh. Ia tak menuntut sorotan. Namun, justru di dalam keheningan yang utuh, pemulihan yang paling sejati terjadi. Dan bagi jiwa-jiwa yang berani menempuh jalan ini, akan ditemukan tidak hanya kesembuhan, tetapi juga kedamaian, keutuhan, dan kebijaksanaan hidup yang tidak dapat diberikan oleh dunia luar.

Sembuh Adalah Pulang ke Diri

Sembuh bukan berarti melupakan apa yang telah terjadi. Bukan pula menutup luka dengan berpura-pura kuat, sementara diri luruh dalam kerapuhan.

Sembuh adalah keberanian untuk menatap masa lalu tanpa gentar—dengan mata yang baru, dengan hati yang telah melembut oleh kasih dan kearifan.

Sembuh adalah kembali ke fitrah—menyadari bahwa diri kita sejatinya baik adanya. Bahwa semua yang kita alami, termasuk luka dan keterpurukan, adalah bagian dari kurikulum jiwa.

Sebuah jalan pembelajaran dan pertumbuhan yang membawa kita menuju versi terbaik dari diri: insan yang sadar, bijaksana, mulia, dan paripurna.

Tidak ada peristiwa yang sia-sia. Bahkan luka sekalipun, bila diolah dengan kasih dan kesadaran, bisa menjadi pintu masuk untuk pulang ke rumah terdalam: rumah batin yang damai, rumah jiwa yang utuh.

Luka adalah bagian dari perjalanan, bukan inti dari siapa kita. Di balik semua itu, ada kesadaran—yang lembut, jernih, dan tetap utuh—menunggu untuk dikenali sebagai rumah sejati diri kita.

 

 

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List