The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Dari Teknologi Pikiran ke Teknologi Kesadaran

23 Maret 2025
Dalam perjalanan menuju pemahaman diri dan transformasi, terdapat dua pendekatan utama yang dapat digunakan: teknologi pikiran dan teknologi kesadaran. Keduanya memiliki tujuan yang sama—membantu individu mencapai keseimbangan, pertumbuhan, dan kebebasan dari belenggu mental serta emosional—tetapi bekerja dengan cara yang berbeda.
 
Teknologi pikiran beroperasi dalam ranah pikiran bawah sadar, di mana pola pikir, belief, perilaku, dan emosi seseorang terbentuk. Melalui teknik seperti hipnoterapi, The Heart Technique (THT), NLP (Neuro-Linguistic Programming), dan berbagai metode reprogramming pikiran, individu dapat mengidentifikasi dan mengubah pola-pola yang menghambat mereka.
 
Pendekatan ini telah terbukti sangat efektif dalam menyelesaikan trauma, mengatasi mental block, emotional block, dan menggantikan belief negatif dengan belief yang lebih mendukung. Dengan kata lain, teknologi pikiran membantu seseorang menata ulang isi pikiran bawah sadarnya agar lebih selaras dengan tujuan hidupnya.
 
Sementara itu, teknologi kesadaran melampaui pikiran dan bekerja langsung pada level pengalaman batin yang lebih dalam. Pendekatan ini tidak menggunakan manipulasi kognitif atau teknik berbasis analisis, tetapi mengandalkan keheningan, meditasi, resonansi dengan medan morfik, dan penyelarasan energi untuk menciptakan transformasi yang lebih alami dan mendalam.
 
Dalam kondisi kesadaran murni, seseorang dapat mengalami pemahaman intuitif tanpa perlu intervensi pikiran analitis, memungkinkan perubahan terjadi bukan karena rekayasa pikiran, tetapi karena keterhubungan langsung dengan sumber kesadaran itu sendiri.
 
Dengan teknologi pikiran, seseorang bisa menyusun kembali narasi hidupnya, mengganti keyakinan yang menghambat, dan menciptakan realitas yang lebih positif. Dengan teknologi kesadaran, seseorang tidak hanya memahami, tetapi mengalami langsung hakikat keberadaannya, menemukan jawaban tanpa perlu mencarinya, dan mencapai pemahaman yang lebih luas tentang dirinya serta kehidupan.
 
Keduanya bukanlah pilihan yang saling bertentangan, melainkan dua jalan yang dapat digunakan secara bersamaan, tergantung pada kebutuhan individu. Ada kalanya seseorang memerlukan teknologi pikiran untuk menata ulang aspek psikologisnya, dan ada saatnya ia perlu teknologi kesadaran untuk mencapai kedalaman pemahaman yang tidak bisa dicapai hanya dengan berpikir.
 
Selama lebih dari dua puluh tahun saya belajar dan mendalami teknologi pikiran, mencipta protokol, mengembangkan dan menyempurnakan beragam teknik dan strategi terapi yang telah berhasil membantu sangat banyak orang mengatasi berbagai kondisi emosi dan perilaku yang tidak kondusif, dan bertumbuh menjadi diri mereka yang lebih baik lagi.
 
Sejak delapan tahun terakhir saya sangat intens mendalami teknologi kesadaran. Saya berusaha menyusun protokol untuk aplikasi teknologi kesadaran dalam membantu sesama mengatasi kondisi mental, emosi, dan perilaku yang menghambat.
 
Saya jarang bisa mendapat kesempatan untuk menggunakan protokol ini, mengingat klien datang bertemu saya di ruang praktik untuk menjalani hipnoterapi, bukan untuk uji coba teknik kesadaran.
 
Namun, sesekali kesempatan emas datang tanpa direncanakan dan saya mendapat peluang menggunakan teknologi kesadaran dalam membantu sesama.
 
 
Kisah Ibu Pauline
 
Bulan lalu, dalam suatu kesempatan, saya tidak sengaja bertemu dengan seorang sahabat lama, sebut saja Ibu Pauline, 72 tahun. Beliau tampak sehat dan sangat senang saat bertemu saya, dan menyampaikan hal penting.
 
Ibu Pauline menyimpan kesedihan mendalam akibat perpisahan mendadak dengan suaminya. Suaminya berpulang ketika ia berusia 26 tahun. Menurutnya, suaminya adalah cinta pertamanya, dan kepergian ini begitu mengguncangkan jiwanya.
 
Saat menceritakan kejadian yang telah terjadi 46 tahun lalu, matanya menerawang jauh, air matanya bercucuran. Ia masih menyimpan luka dan kesedihan yang terus ia bawa selama puluhan tahun.
 
Selain itu, Ibu Pauline juga memendam rasa marah, kecewa, dan dendam yang cukup intens terhadap salah satu sahabatnya. Sewaktu Ibu Pauline menceritakan hal ini, tampak wajahnya berubah menjadi merah. Emosi-emosi ini telah lama ia simpan dalam hidupnya. Ia menyadari bahwa semua itu tidak baik bagi dirinya, tetapi selama ini ia tidak tahu cara untuk melepaskannya.
 
Karena pertemuan kami terjadi di luar ruang praktik, saya memanfaatkan kesempatan ini untuk membantunya melepaskan semua kepahitan dan emosi negatif yang membelenggu dirinya, bukan dengan hipnoterapi atau teknik berbasis teknologi pikiran, melainkan dengan teknologi kesadaran.
 
Saya menuntunnya menggunakan protokol teknologi kesadaran yang saya kembangkan. Dengan cepat, Ibu Pauline masuk ke dalam kondisi keheningan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Saya kemudian membimbingnya untuk meningkatkan dan memperluas kesadarannya, sebelum memproses pengalaman perpisahan dengan suaminya.
 
Tanpa perlu melakukan apa pun secara aktif, dalam kondisi kesadaran yang telah diperluas ini, hanya dengan niat yang tulus, keikhlasan, dan kepasrahan, semua emosi negatif dari kenangan masa lalu serta keterikatannya dengan suaminya mulai luruh dengan sendirinya hingga tuntas. Dengan kata lain, Ibu Pauline mengonstruksi realitas baru.
 
Setelahnya, saya meminta ia untuk mengingat kembali kejadian tersebut. Namun kali ini, wajahnya tampak tenang, bahkan tersenyum bahagia. Dengan lembut, ia berkata:
 
"Ini sudah selesai. Suami saya menjalani kehidupannya sendiri sesuai rencana Yang Kuasa. Sementara saya juga demikian. Tidak ada lagi yang perlu disesali atau disedihkan. Semua baik adanya."
 
Hal yang sama terjadi pada emosi negatif yang ia rasakan terhadap sahabatnya. Ia tidak lagi melihatnya sebagai masalah. Menurutnya, tidak ada yang perlu dipermasalahkan, karena sejatinya memang tidak pernah ada masalah.
 
 
Harapan ke Depan
 
Saya sungguh berharap protokol terapi berbasis teknologi kesadaran ini dapat segera diajarkan kepada publik. Tentu saja, setelah melewati rangkaian uji coba dan penyempurnaan yang diperlukan.
 
Saya melihat dampak yang sangat positif dan signifikan yang dapat kita capai melalui teknologi kesadaran—bukan hanya dalam membantu meningkatkan kualitas hidup sesama, tetapi yang lebih penting, dalam meningkatkan kesadaran kolektif kita menuju kehidupan yang lebih baik, lebih selaras, dan lebih bermakna.
 
 
Baca Selengkapnya

Memahami Simtom, Bukan Label: Paradigma Hipnoterapis AWGI dalam Menangani Klien

16 Maret 2025

Saya mendapat pertanyaan dari seorang sahabat, "Pak Adi apa bisa menangani pasien dengan masalah gangguan kejiwaan?"

Sebelum memberi jawaban, saya meminta sahabat ini untuk menjelaskan lebih lanjut apa yang ia maksud dengan gangguan kejiwaan, agar saya dapat memahami dengan benar konteks pertanyaannya.

Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan gangguan kejiwaan adalah kondisi emosi yang tidak terkendali, berbicara dari hati sampai besok pagi, sering mengenang hal yang sudah berlalu dan tidak relevan, serta mengalami depresi.

Di lain kesempatan, dari sahabat yang lain, saya mendapat pertanyaan, "Pak Adi, apakah NPD bisa disembuhkan dengan hipnoterapi?"

Saya juga meminta sahabat ini untuk menjelaskan apa yang ia maksud dengan NPD agar saya mendapat pemahaman yang benar mengenai maksudnya.

Sahabat ini kemudian memberikan uraian cukup panjang mengenai NPD (Narcissistic Personality Disorder) atau Gangguan Kepribadian Narsistik, mencakup definisi, ciri-ciri, sikap, perilaku, kondisi emosi, dampak, dan jenis-jenis NPD. Saya tahu bahwa informasi ini ia ambil dari internet.

Saya kemudian bertanya lebih lanjut tentang kondisi emosi dan perilaku calon klien, agar lebih memahami situasinya. Kembali ia mengutip informasi dari internet dan memberi uraian panjang lebar tentang apa yang dimaksud dengan NPD.

Saya sampaikan kepada sahabat ini bahwa saya tahu apa yang dimaksud dengan NPD. Saya mempelajari buku DSM-5 dan Psikologi Abnormal. Yang saya butuhkan adalah kondisi riil yang dialami calon klien.

Ia menjelaskan bahwa calon klien mengalami kondisi suka marah, tidak bisa dikritik, suka membanggakan dirinya hebat padahal menggunakan sumber daya orang lain, suka memotong pembicaraan orang lain, suka dipuji, arogan, tidak punya teman, dan tidak punya empati.

Di beberapa kesempatan lain, ada calon klien bertanya apakah hipnoterapi bisa menyembuhkan trypophobia, trikotilomania, cognitive anxiety, bipolar, BDD (Body Dysmorphic Disorder), BPD (Borderline Personality Disorder), OCD (Obsessive Compulsive Disorder), Gender Dysphoria, Histrionic Personality Disorder, dan Frotteuristic Disorder.

Saya selalu meminta mereka melupakan label-label ini dan menjelaskan secara rinci kondisi emosi dan simtom perilaku yang dialami.

Mengapa hipnoterapis AWGI memerlukan detail simtom klien?

Alasan saya selalu meminta sahabat yang bertanya pada saya untuk menjelaskan secara detail simtom, kondisi emosi, dan perilaku calon klien adalah karena kami, hipnoterapis AWGI, bekerja dengan paradigma yang berbeda dari psikiater dan psikolog klinis.

Kami bekerja mengikuti standar layanan, aturan, dan kode etik yang tegas dan jelas. Kami tidak dapat dan tidak boleh menangani kasus-kasus berat yang berada di luar ranah keilmuan dan kompetensi terapeutik kami.

Kami tidak menggunakan terminologi psikiatri atau psikologi klinis dan tidak melakukan penegakan diagnosis, karena itu bukan bidang kami. Bahkan jika seorang hipnoterapis AWGI kebetulan memiliki latar belakang sebagai psikiater atau psikolog klinis, ketika ia menjalankan hipnoterapi dengan protokol AWGI, ia tidak perlu melakukan penegakan diagnosis.

Kami bekerja dengan memanfaatkan simtom sebagai landasan untuk menyelesaikan masalah klien. Melalui hipnoanalisis, kami menggunakan simtom untuk menelusuri pikiran bawah sadar klien, menjangkau dan mengungkap akar masalah klien.

Kami sering kali bertemu dengan klien yang memberikan label tertentu atas kondisinya setelah mencari informasi di internet atau bertanya kepada orang lain.

Berdasarkan label atau informasi ini, ada di antara mereka kemudian meyakini bahwa kondisinya sulit atau bahkan tidak bisa pulih. Hal ini tentu sangat merugikan diri mereka sendiri dan menghambat proses terapi.

Dengan tidak menggunakan label tertentu dan lebih fokus pada simtom emosi serta perilaku, kami dapat menjelaskan kepada klien—berdasarkan teori PBS yang menjadi acuan kami—apa yang sebenarnya ia alami, mengapa ia mengalami kondisi ini, dan bagaimana kondisinya dapat, sampai tahap tertentu, dibantu melalui hipnoterapi.

Pendekatan ini juga merupakan bagian dari edukasi terapeutik yang kami lakukan, bertujuan untuk memberikan informasi, pengetahuan, dan wawasan yang lebih objektif kepada klien, serta memberikan harapan bahwa kondisinya masih dapat dibantu dengan hipnoterapi.

Tujuan kami melakukan hipnoterapi adalah membantu klien yang mengalami disorder untu kembali menjadi order, sesuai orderan yang kami terima. 

Apakah hipnoterapis perlu mempelajari buku DSM-5 dan Psikologi Abnormal?

Jawabannya tergantung pada kebutuhan dan tujuan yang hendak dicapai. Hipnoterapis tentu sangat boleh mempelajari kedua buku ini, karena sangat informatif dan kaya informasi. Namun, keduanya sama sekali tidak menjelaskan teknik atau strategi secara rinci untuk menangani setiap kondisi psikologis yang dibahas.

Dulu, dalam upaya menambah pengetahuan dan memperluas wawasan, saya membaca dan mempelajari kedua buku ini dengan serius. Setiap kali saya akan menangani klien, saya selalu merujuk kepada kedua buku ini untuk memperoleh penjelasan lebih mendalam.

Namun, pada akhirnya, saya memutuskan untuk tidak lagi fokus pada kedua buku ini. Paradigma dan protokol hipnoterapi yang saya kembangkan, praktikkan, dan ajarkan, serta pengalaman dan temuan di ruang praktik para hipnoterapis AWGI—yang hingga saat ini telah melakukan lebih dari 130.000 sesi konseling dan terapi dengan hasil yang sangat baik dan optimal—sama sekali tidak membutuhkan label atau diagnosis.

Kami hanya fokus pada simtom klien. Simtom, menurut paradigma hipnoterapi AWGI, adalah pesan yang disampaikan oleh PBS kepada individu atau pikiran sadar bahwa ada sesuatu—yaitu akar masalah—di PBS yang perlu diselesaikan.

Dan memang demikianlah adanya. Saat akar masalah ini berhasil diungkap dan diselesaikan, simtom akan hilang dengan sendirinya, masalah klien terselesaikan, dan ia sembuh.

Bagaimana dengan orang yang mengalami gangguan kejiwaan?

Bagi seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan, langkah yang paling tepat bukan menemui hipnoterapis, tetapi berkonsultasi langsung dengan psikiater atau dokter spesialis jiwa, karena mereka memiliki kompetensi dalam menangani kondisi ini.

Sementara untuk kondisi emosi yang tidak terkendali atau kebiasaan mengenang hal yang sudah terjadi, biasanya berupa kejadian yang mengandung emosi negatif intens, ini bisa dibantu dengan hipnoterapi.

Bagaimana dengan orang yang mengalami gangguan psikologis lainnya?

Berdasarkan penjelasan calon klien mengenai kondisi emosi dan simtom yang mereka alami, hipnoterapis AWGI akan memutuskan apakah kondisi ini bisa dibantu dengan hipnoterapi atau tidak.

Bila kondisi ini di luar kompetensi terapeutik kami, kami tidak boleh menanganinya. Kami menyarankan klien untuk meminta bantuan psikiater atau psikolog klinis.

Baca Selengkapnya

Unconscious Menurut Sigmund Freud, Timothy D. Wilson, dan Adi W. Gunawan

7 Maret 2025

Konsep unconscious atau pikiran bawah sadar (PBS) telah menjadi salah satu topik utama dalam studi psikologi dan hipnoterapi. Banyak tokoh atau pakar mengutarakan pemikiran atau gagasan yang berbeda tentang unconscious. 

Tulisan berikut bermaksud menjelaskan secara ringkas perbedaan konsep unconscious menurut Sigmund Freud, Timothy D. Wilson, dan Adi W. Gunawan. Meskipun ketiganya sepakat bahwa unconscious memiliki pengaruh besar terhadap pikiran, emosi, dan perilaku manusia, masing-masing memiliki perspektif yang berbeda mengenai cara kerja, sifat, dan dampaknya terhadap kehidupan individu. 

Unconscious Menurut Sigmund Freud

Sigmund Freud (1856–1939), pencetus psikoanalisis, melihat unconscious sebagai tempat penyimpanan dorongan primitif, impuls seksual, agresi, dan konflik yang direpresi. Dalam pandangannya, pikiran sadar tidak mampu menangani pengalaman traumatis atau dorongan yang tidak dapat diterima, sehingga unconscious bertindak sebagai tempat penyimpanan yang tersembunyi.

Menurut Freud, struktur pikiran manusia terbagi menjadi tiga lapisan utama:

1. Conscious (Pikiran Sadar): Bagian pikiran yang aktif dan dapat diakses dengan mudah, seperti pemikiran logis dan kesadaran sehari-hari.
2. Preconscious (Pikiran Pra-Sadar): Informasi yang tidak selalu disadari, tetapi dapat dengan mudah diakses jika diperlukan, seperti ingatan atau pengalaman yang bisa diingat kembali.
3. Unconscious (Pikiran Bawah Sadar): Tempat penyimpanan konflik psikologis, trauma, dan dorongan naluriah yang direpresi karena tidak dapat diterima oleh kesadaran.

Freud berpendapat bahwa unconscious memiliki pengaruh besar terhadap kepribadian dan perilaku individu, bahkan jika individu tersebut tidak menyadari keberadaannya.

Misalnya, seseorang yang memiliki trauma masa kecil mungkin mengalami fobia terhadap suatu objek tanpa memahami alasan di balik ketakutannya. Hal ini terjadi karena trauma tersebut telah direpresi ke dalam unconscious, tetapi tetap mempengaruhi respons emosional dan perilaku.

Selain itu, Freud juga mengembangkan konsep mekanisme pertahanan ego, yaitu strategi bawah sadar yang digunakan untuk melindungi individu dari kecemasan akibat konflik batin. Beberapa mekanisme pertahanan ini meliputi:

• Represi: Menghapus ingatan traumatis dari kesadaran.
• Proyeksi: Menyalahkan orang lain atas perasaan atau keinginan yang tidak dapat diterima.
• Rasionalisasi: Membuat alasan logis untuk membenarkan perilaku yang tidak rasional.
• Sublimasi: Mengalihkan dorongan agresif atau seksual menjadi aktivitas yang lebih dapat diterima secara sosial.

Dalam konteks terapi, menurut Freud, unconscious dapat diakses dan diproses melalui teknik tertentu, seperti:

• Asosiasi bebas: Pasien berbicara secara spontan tentang segala sesuatu yang muncul dalam pikirannya, tanpa sensor atau filter.
• Analisis mimpi: Menginterpretasikan simbol dalam mimpi sebagai manifestasi dari konflik bawah sadar.
• Hipnosis: Digunakan dalam terapi awal Freud untuk mengakses trauma yang tersembunyi dalam unconscious.

Dengan memahami konflik yang ada di unconscious, Freud meyakini bahwa individu dapat melepaskan ketegangan psikologis dan mencapai keseimbangan emosional yang lebih baik. 

Unconscious Menurut Timothy D. Wilson

Timothy D. Wilson, seorang psikolog sosial, memperkenalkan konsep Adaptive Unconscious dalam bukunya Strangers to Ourselves: Discovering the Adaptive Unconscious (2002). Berbeda dengan Freud, Wilson melihat unconscious bukan sebagai sumber konflik psikodinamis, melainkan sebagai sistem otomatis yang membantu manusia beradaptasi dengan lingkungan dan membuat keputusan cepat.

Wilson berargumen bahwa sebagian besar aktivitas mental kita terjadi tanpa disadari, dan banyak keputusan yang kita buat sehari-hari dipengaruhi oleh Adaptive Unconscious. Misalnya, ketika seseorang bertemu dengan orang baru, ia secara otomatis menilai kepribadian orang tersebut dalam hitungan detik tanpa berpikir secara sadar. Proses ini terjadi karena unconscious mengandalkan pola dan pengalaman masa lalu untuk membuat penilaian cepat.

Ciri utama Adaptive Unconscious menurut Wilson:

1. Bekerja secara otomatis: Tanpa perlu melibatkan pikiran sadar, seperti saat mengemudi atau berbicara dalam bahasa ibu.
2. Memproses informasi dengan cepat: Misalnya, kita dapat menilai suasana hati seseorang hanya dari ekspresi wajahnya dalam hitungan detik.
3. Membantu pengambilan keputusan: Seperti memilih pasangan, pekerjaan, atau produk dalam situasi yang tidak memungkinkan analisis mendalam.
4. Belajar secara implisit: Adaptive Unconscious memungkinkan individu belajar dari pengalaman tanpa harus menyadari proses belajarnya, seperti saat anak kecil belajar berbicara.

Berbeda dengan teori Freud yang menekankan perlunya teknik terapi khusus untuk mengakses unconscious, Wilson menyatakan bahwa unconscious dapat diidentifikasi melalui refleksi dan pengujian kognitif.

Beberapa metode yang bisa digunakan untuk mengenali pola bawah sadar seseorang meliputi:
• Journaling (Menulis Jurnal): Membantu seseorang mengamati pola pikir dan emosinya.
• Mindfulness (Kesadaran Penuh): Memungkinkan individu menyadari kebiasaan dan pola pikir yang muncul secara otomatis.
• Eksperimen Kognitif: Menggunakan teknik psikologi eksperimental untuk mengungkap pola bawah sadar.

Dalam terapi, pendekatan Wilson sering digunakan dalam terapi perilaku-kognitif (CBT), di mana pasien diajarkan untuk mengenali kebiasaan berpikir otomatis yang tidak produktif dan menggantinya dengan pola pikir yang lebih adaptif. 

Unconscious Menurut Adi W. Gunawan

Adi W. Gunawan (AWG) mengembangkan konsep Protective Unconscious, yang menekankan bahwa unconscious atau pikiran bawah sadar (PBS) adalah bagian dominan dari sistem pikiran manusia. PBS bertanggung jawab atas pola pikir, emosi, dan perilaku individu, serta mengendalikan sekitar 95-99% dari aktivitas mental, menjadikannya faktor paling berpengaruh dalam kehidupan seseorang.

Fungsi dan Cara Kerja PBS

Fungsi utama PBS adalah melindungi individu dari hal-hal yang dirasakan, diyakini, atau dipersepsikan sebagai ancaman terhadap keselamatan dan kesejahteraan. PBS bekerja secara otomatis dalam membangun mekanisme perlindungan, terlepas dari apakah ancaman tersebut nyata atau hanya persepsi individu.

Sebagai contoh, seseorang yang pernah mengalami pengalaman buruk dalam berbicara di depan umum mungkin akan mengalami ketakutan berbicara di depan banyak orang di masa depan. Hal ini terjadi karena PBS telah menyimpan pengalaman tersebut sebagai sesuatu yang harus dihindari.

PBS bekerja dengan logikanya sendiri, yang terpisah dari logika pikiran sadar. Ini berarti bahwa sesuatu yang dianggap tidak rasional oleh pikiran sadar bisa dianggap sangat nyata oleh unconscious. Oleh karena itu, meskipun seseorang secara rasional mengetahui bahwa berbicara di depan umum tidak berbahaya, PBS tetap dapat menciptakan respons ketakutan ekstrem karena mengacu pada pengalaman masa lalu yang tersimpan dalam sistemnya.

PBS sebagai Penyimpan Program Mental

PBS menyimpan program mental yang telah tertanam sejak lahir dan terus terbentuk dari pengalaman hidup, baik positif maupun negatif. Jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi dengan keyakinan negatif tentang uang, misalnya, PBS akan membentuk pola yang menghambat keberlimpahan finansialnya.

Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh kualitas program pikiran yang tersimpan dalam PBS. Jika program tersebut positif, konstruktif, dan mendukung, individu memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mencapai kesuksesan, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program dalam PBS bersifat negatif, penuh ketakutan, atau mengandung limiting beliefs, individu akan mengalami hambatan dalam berbagai aspek kehidupan.

PBS juga memproteksi program pikiran agar tidak mudah diubah atau berubah. Setiap usaha untuk mengubah program pikiran akan mendapatkan perlawanan dari PBS, karena dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas individu. Inilah sebabnya mengapa seseorang sering mengalami kesulitan dalam mengubah kebiasaan, pola pikir, atau mengatasi mental block tanpa intervensi yang tepat, seperti hipnoterapi.

PBS dan Mekanisme Stimulus-Respons

PBS bekerja berdasarkan strategi stimulus-respons, sesuai dengan program yang ada di dalamnya. Untuk setiap stimulus spesifik, PBS akan memberikan respons spesifik, dan pola ini akan terus berulang hingga terjadi perubahan pada program pikiran yang mendasarinya.

Sebagai contoh, seseorang yang memiliki trauma terhadap anjing akibat pengalaman buruk di masa kecil mungkin secara otomatis merasa cemas setiap kali melihat anjing, meskipun secara sadar ia memahami bahwa tidak semua anjing berbahaya. Ini terjadi karena PBS menjalankan program perlindungan yang telah tertanam sebelumnya.

PBS sebagai Sistem Satu Unit atau Multi Sub-Sistem

Menurut AWG, PBS dapat dipandang sebagai satu unit utuh atau sebagai sistem yang terdiri dari banyak sub-sistem. Pemahaman ini memiliki implikasi penting dalam terapi:

• Jika PBS dipandang sebagai satu unit, maka terapi dilakukan secara global dan menyasar keseluruhan PBS, untuk mengubah program yang menghambat individu.
• Jika PBS dipandang sebagai sistem dengan banyak sub-sistem, maka terapi dapat difokuskan pada bagian spesifik yang menyimpan trauma, mental block, atau program tertentu yang perlu diubah.

Pendekatan yang digunakan akan sangat bergantung pada cara pandang terapis, serta kondisi dan kebutuhan spesifik dari individu yang menjalani terapi.

PBS dalam perspektif Adi W. Gunawan adalah mekanisme perlindungan utama individu, yang bekerja secara otomatis, menyimpan program mental, dan mengontrol pola pikir serta emosi. Dengan logikanya sendiri yang berbeda dari pikiran sadar, PBS memainkan peran besar dalam menentukan kehidupan seseorang.

Karena sifatnya yang protektif, PBS cenderung mempertahankan program yang ada dan memberikan perlawanan terhadap perubahan, yang menjelaskan mengapa mengatasi mental block atau mengubah kebiasaan lama sering kali membutuhkan intervensi khusus seperti hipnoterapi.

Dengan memahami bagaimana PBS bekerja dan bagaimana cara mengaksesnya secara efektif, individu dapat mengatasi hambatan bawah sadar dan memprogram ulang dirinya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. 

Perbandingan Unconscious Menurut Freud, Wilson, dan Adi W. Gunawan 

AspekFreudWilsonAWG
Fokus utama Konflik batin akibat trauma dan dorongan bawah sadar Pemrosesan otomatis dan kebiasaan adaptif Sistem perlindungan dan pembentuk program mental
Aksesibilitas Sulit diakses, perlu psikoanalisis Bisa diidentifikasi melalui refleksi dan pengujian kognitif Bisa diakses melalui hipnoterapi dan reprogramming PBS
Cara kerja Berisi dorongan dan keinginan terlarang yang direpresi Mengolah informasi cepat tanpa kesadaran Menyimpan program mental dan bertindak sebagai mekanisme perlindungan
Fungsi utama Menekan konflik emosional agar tidak mengganggu pikiran sadar Membantu manusia beradaptasi dengan lingkungan Melindungi individu dari hal yang dianggap berbahaya atau mengancam
Implikasi terhadap kepribadian Kepribadian ditentukan oleh konflik bawah sadar dan pengalaman masa lalu Kepribadian berkembang dari kebiasaan, intuisi, dan respons adaptif terhadap lingkungan Kepribadian ditentukan oleh program mental yang tertanam di PBS, yang bisa direprogram untuk mendukung pertumbuhan individu

 Kesimpulan

Ketiga perspektif ini menawarkan pemahaman yang berbeda tentang bagaimana unconscious bekerja dalam kehidupan manusia. Freud melihatnya sebagai gudang konflik yang harus diselesaikan, Wilson sebagai sistem adaptasi otomatis, dan Adi W. Gunawan sebagai mekanisme perlindungan yang bisa diprogram ulang untuk mendukung pertumbuhan individu. Dengan memahami perbedaan ini, kita dapat memilih pendekatan yang paling sesuai untuk mengoptimalkan potensi unconscious dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik.

 

Baca Selengkapnya

Tingkat Kesadaran Menentukan Realitas: Makna dan Implikasinya

4 Maret 2025
Realitas yang dialami seseorang tidak bersifat mutlak dan objektif, melainkan merupakan konstruksi yang sangat bergantung pada tingkat kesadaran individu. Dengan kata lain, bagaimana seseorang mengonstruksi realitas, memahami dunia, dan bereaksi terhadapnya ditentukan oleh seberapa tinggi kesadarannya. Konsep ini tidak hanya relevan dalam ranah psikologi, tetapi juga dalam filosofi, spiritualitas, dan pengembangan diri.
 
Kesadaran memainkan peran sentral dalam menentukan pengalaman manusia. Semakin tinggi tingkat kesadaran seseorang, semakin luas pemahamannya terhadap realitas, semakin objektif ia menilai suatu peristiwa, dan semakin besar kemampuannya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya, kesadaran yang rendah dapat membuat seseorang terjebak dalam pola pikir negatif, keterbatasan, dan ketakutan yang menghambat pertumbuhan dirinya.
 
 
Kesadaran Rendah dan Perspektif Terbatas terhadap Realitas
 
Ketika seseorang memiliki kesadaran rendah, cara ia melihat dan mengalami realitas menjadi terbatas, penuh keterbatasan, dan dipengaruhi oleh ketakutan. Ini terjadi karena kesadaran rendah membuat seseorang lebih cenderung bereaksi secara otomatis, berdasarkan keyakinan, emosi negatif, dan pola pikir yang sudah terbentuk sebelumnya, tanpa melihat kemungkinan lain yang lebih luas.
 
Seseorang dengan kesadaran rendah tidak menyadari bahwa pikirannya bekerja berdasarkan pola lama yang sering kali berasal dari trauma, pengalaman negatif, atau kepercayaan yang membatasi (limiting belief). Mereka melihat dunia melalui filter ketakutan dan keterbatasan, sehingga sulit menerima kemungkinan bahwa realitas bisa berubah atau diperluas.
 
Mereka cenderung melihat hambatan lebih dulu daripada peluang. Mereka sering berpikir dalam pola seperti: “Saya tidak bisa”, “Dunia tidak adil”, “Orang lain lebih beruntung”, atau “Hidup ini sulit”. Fokus mereka lebih kepada kesulitan dan hambatan, bukan pada cara mengatasi atau mengubah situasi.
 
Kesadaran rendah sering dikaitkan dengan emosi negatif seperti ketakutan, kecemasan, kemarahan, dan kebencian. Orang yang terjebak dalam emosi ini sering merasa bahwa mereka adalah korban keadaan, dan sulit melihat bahwa mereka bisa menciptakan perubahan dalam hidup mereka sendiri. Kesadaran rendah sering kali dikaitkan dengan rasa identitas yang kaku, di mana seseorang merasa bahwa dirinya harus mempertahankan citra tertentu.
 
Orang dengan kesadaran rendah cenderung bereaksi impulsif terhadap situasi tanpa berpikir panjang. Mereka mudah tersinggung, mudah marah, atau cepat merasa tersakiti karena belum memiliki kesadaran diri yang cukup untuk memahami bahwa emosi hanyalah reaksi terhadap persepsi mereka sendiri. Mereka juga lebih rentan terhadap manipulasi dari luar, seperti berita negatif, propaganda, atau pengaruh lingkungan yang penuh ketakutan.
 
Kesadaran rendah membuat seseorang hanya melihat realitas dari sudut pandang sempit. Mereka sulit memahami bahwa segala sesuatu saling terhubung, bahwa tantangan yang mereka alami bisa menjadi peluang untuk bertumbuh, atau bahwa keadaan yang mereka hadapi sering kali merupakan refleksi dari pola pikir mereka sendiri.
 
Di tempat kerja, seseorang dengan kesadaran rendah mungkin merasa terjebak dalam pekerjaannya, percaya bahwa ia tidak bisa berkembang karena “bosnya tidak adil” atau “rekan-rekannya lebih pintar”.
 
Sementara dalam konteks relasi interpersonal, orang dengan kesadaran rendah sering merasa orang lain harus berubah lebih dulu, tanpa menyadari bahwa cara mereka berpikir dan bereaksi juga berpengaruh terhadap dinamika hubungan.
 
Dalam menghadapi tantangan, ketika menghadapi kegagalan, mereka lebih cenderung menyalahkan keadaan atau orang lain, daripada melihatnya sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang.
 
 
Kesadaran Tinggi dan Perspektif Luas terhadap Realitas
 
Orang dengan kesadaran tinggi memahami bahwa realitas bukanlah sesuatu yang tetap, tetapi dapat berubah berdasarkan pola pikir, keyakinan, dan tindakan seseorang. Mereka memahami bahwa realitas adalah hasil konstruksi dan tidak permanen.
 
Orang dengan kesadaran tinggi tidak merasa bahwa hidup mereka sudah ditentukan oleh masa lalu, tetapi percaya bahwa mereka selalu memiliki kesempatan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
 
Mereka memiliki pemahaman yang lebih mendalam dan luas terhadap realitas. Mereka tidak hanya melihat dunia berdasarkan pengalaman pribadi dan emosi sesaat, tetapi juga memahami bagaimana berbagai aspek kehidupan saling terhubung dan bagaimana pikiran mereka sendiri memengaruhi realitas yang dialami.
 
Orang dengan kesadaran tinggi tidak terjebak dalam bias kognitif atau persepsi yang sempit. Mereka mampu melihat fakta dengan jernih, tanpa terlalu terpengaruh oleh emosi atau pola pikir lama yang menghambat. Saat menghadapi konflik, mereka tidak langsung bereaksi dengan emosi, tetapi melihat situasi dari berbagai perspektif. Mereka memahami bahwa setiap orang memiliki latar belakang dan pengalaman berbeda, sehingga mereka lebih sabar dan tidak mudah menghakimi.
 
Kesadaran tinggi memungkinkan seseorang untuk mengamati pikirannya sendiri tanpa larut dalam emosi negatif. Mereka tidak dikendalikan oleh ketakutan, kecemasan, atau kemarahan, tetapi mampu mengelola emosi dengan bijaksana.
 
Ketika mengalami kegagalan, mereka tidak menyalahkan diri sendiri atau keadaan, tetapi mencari pelajaran berharga dari pengalaman tersebut. Mereka memahami bahwa emosi hanyalah respons sementara, dan mereka tidak harus bertindak berdasarkan emosi sesaat.
 
Orang dengan kesadaran tinggi memahami bahwa tidak ada yang terjadi secara kebetulan, dan setiap peristiwa dalam hidup memiliki keterkaitan dengan pola yang lebih besar. Mereka menyadari bahwa pola pikir dan keyakinan mereka memengaruhi pengalaman hidup yang mereka alami. Mereka melihat tantangan bukan sebagai hambatan, tetapi sebagai kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang.
 
Orang dengan kesadaran tinggi tidak terikat pada ego, sehingga mereka lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan. Mereka tidak merasa perlu untuk selalu benar atau memenangkan perdebatan, karena mereka lebih menghargai pemahaman yang lebih dalam daripada sekadar membuktikan diri. Mereka mampu melepaskan keterikatan pada hal-hal yang tidak lagi bermanfaat, baik itu hubungan, pekerjaan, atau pola pikir lama yang membatasi mereka.
 
Kesadaran tinggi membuat seseorang lebih sadar akan keajaiban hidup, sehingga mereka lebih sering bersyukur dan merasakan cinta kasih yang tulus terhadap diri sendiri dan orang lain. Mereka tidak hanya fokus pada apa yang kurang dalam hidup mereka, tetapi lebih menghargai apa yang sudah mereka miliki. Mereka lebih peduli terhadap sesama, memahami bahwa setiap orang sedang menjalani perjalanan hidupnya sendiri, sehingga mereka lebih mudah berempati.
 
Orang dengan kesadaran tinggi tidak terjebak dalam pola pikir korban, tetapi selalu mencari solusi atas tantangan yang mereka hadapi. Mereka percaya bahwa setiap masalah memiliki jalan keluar, dan bahwa mereka memiliki kendali atas hidup mereka.
 
Jika menghadapi kesulitan keuangan, mereka tidak hanya mengeluh, tetapi mulai mencari cara baru untuk meningkatkan keterampilan atau peluang. Jika ada konflik dalam hubungan, mereka tidak menyalahkan orang lain, tetapi mencari cara untuk memperbaiki komunikasi dan membangun pemahaman.
 
Bagaimana Meningkatkan Kesadaran agar Realitas Tidak Terbatas?
 
1. Mengenali Pola Pikiran dan Keyakinan yang Menghambat
Sadari bahwa pola pikir yang membatasi bukan realitas sejati, tetapi hanya interpretasi yang dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu.
 
2. Melatih Kesadaran Diri (Mindfulness)
Dengan lebih sering mengamati pikiran dan emosi tanpa bereaksi secara otomatis, seseorang dapat mulai memahami bagaimana pikirannya menciptakan realitasnya sendiri.
 
3. Mengubah Fokus dari Ketakutan ke Kemungkinan
Alih-alih hanya melihat hambatan, coba tanyakan: "Apa peluang yang bisa saya temukan dalam situasi ini?"
 
4. Berlatih Melepaskan dan Mempercayai Proses Hidup
Menyadari bahwa hidup terus berubah dan berkembang, serta melepaskan keterikatan terhadap ketakutan atau pola lama yang tidak lagi mendukung pertumbuhan diri.
 
 
Kesimpulan:
 
Orang dengan kesadaran rendah melihat realitas melalui lensa keterbatasan dan ketakutan, sehingga sulit melihat peluang, makna yang lebih dalam, dan keterhubungan antara berbagai aspek kehidupan. Meningkatkan kesadaran berarti melatih diri untuk melihat lebih luas, lebih terbuka terhadap kemungkinan baru, dan lebih sadar akan cara pikiran memengaruhi realitas yang dialami.
 
Ketika kesadaran meningkat, seseorang akan mulai melihat dunia dengan lebih jernih, memahami bahwa realitas bukan sesuatu yang tetap, dan menyadari bahwa mereka memiliki kendali lebih besar terhadap hidup mereka daripada yang mereka kira.
 
Orang dengan kesadaran tinggi memiliki perspektif luas terhadap realitas, yang memungkinkan mereka untuk hidup dengan lebih damai, bijaksana, dan penuh makna. Mereka mampu melihat situasi secara objektif, mengelola emosi dengan baik, memahami keterhubungan dalam hidup, dan fokus pada solusi daripada masalah.
 
Meningkatkan kesadaran tidak hanya membawa kedamaian batin, tetapi juga membuka kemungkinan baru dalam hidup. Dengan terus memperluas kesadaran, seseorang dapat mengakses realitas yang lebih luas dan menciptakan kehidupan yang lebih selaras dengan potensi terbaiknya.
Baca Selengkapnya

Teori Sintergi dan Konstruksi Realitas

15 Maret 2025

Teori Sintergi yang dikemukakan oleh Jacobo Grinberg dalam bukunya, La Teoría Sintérgica (1991), merupakan konsep revolusioner yang menggabungkan ilmu neurofisiologi, fisika kuantum, dan tradisi mistik. Dalam teorinya, Grinberg, seorang neurofisiolog, psikolog, dan peneliti kesadaran asal Mexico, menjelaskan bahwa realitas yang kita alami sehari-hari bukanlah representasi objektif dari dunia luar, melainkan konstruksi subjektif yang bergantung pada pola sinergi antara kesadaran dan aktivitas otak dalam berinteraksi dengan Lattice.

 

Lattice: Jaringan Energi dan Informasi

Lattice, menurut Grinberg, adalah jaringan energi dan informasi murni yang menghubungkan dan membentuk segala sesuatu di alam semesta. Lattice bukan hanya bahan dasar konstruksi bagi dunia fisik tetapi juga bagi kesadaran, pikiran, dan pengalaman subjektif manusia.

Lattice dapat dianalogikan sebagai “kode sumber” dari eksistensi yang mengandung potensi realitas dalam bentuk murni. Dalam keadaan dasarnya yang tidak terdistorsi, Lattice adalah Kesadaran Murni (Pure Consciousness)— kondisi non-dualitas, tanpa batas, tanpa objek, dan tanpa persepsi individu.

Namun, ketika informasi dari Lattice difilter oleh otak manusia, maka terbentuklah realitas subjektif yang berbeda-beda pada setiap individu.

Teori ini juga memiliki kesamaan dengan ajaran mistik Timur, seperti dalam filsafat Vedanta, Kabbalah, dan Buddhisme Zen, yang menyatakan bahwa realitas adalah proyeksi dari kesadaran yang lebih tinggi.

 

Peran Kesadaran, Otak, Intensi, dan Emosi dalam Konstruksi Realitas

Proses konstruksi realitas dalam Teori Sintergi melibatkan empat elemen utama: kesadaran, otak, intensi, dan emosi.

Kesadaran

Kesadaran merupakan elemen utama yang terhubung langsung dengan Lattice. Melalui kesadaran, manusia dapat mengakses potensi tak terbatas dari Lattice. Semakin tinggi tingkat kesadaran seseorang, semakin mampu ia mengakses Lattice tanpa distorsi.

Orang yang berlatih meditasi mendalam atau memiliki peningkatan kesadaran, sering kali mengalami realitas yang lebih luas dan berbeda dari yang biasa orang alami. Ini terjadi karena otak mereka mengalami korelasi sinergis yang lebih tinggi, memungkinkan mereka mengakses informasi yang lebih luas dari Lattice.

Otak

Otak manusia tidak semata-mata “menghasilkan” kesadaran secara terisolasi, melainkan berfungsi seperti pemancar sekaligus penerima dalam jaringan energi. Aktivitas 86 miliar neuron menciptakan suatu medan energi kompleks yang disebut medan neuronal di sekeliling otak.

Dalam Teori Sintergi, realitas yang kita alami adalah konstruksi dari korelasi sinergis antara otak (medan neuronal) dengan Lattice. Sinergi terjadi ketika pola aktivitas neuron dalam otak bekerja secara harmonis untuk menciptakan pengalaman kesadaran yang spesifik. Jika kita mengubah pola korelasi otak (frekuensi vibrasi pikiran dan perasaan kita), maka pengalaman yang kita alami pun berubah.

Otak memancarkan medan elektromagnetik yang kaya informasi (neuronal field), bukan hanya sinyal listrik internal. Grinberg mengibaratkan otak sebagai pesawat radio atau tuner yang menangkap frekuensi dari medan universal; otak menyelaraskan diri dengan medan kesadaran luas dan “mereduksi” (meng-collapse) kontinuum kemungkinan di medan itu menjadi persepsi spesifik.

Otak bertindak sebagai pemfilter realitas. Ia mengubah informasi dari Lattice menjadi pengalaman dan realitas subjektif yang dapat dipahami. Namun, otak juga bisa menciptakan distorsi negatif. Ketika otak bebas dari filter negatif, informasi dari Lattice dapat diterjemahkan menjadi pengalaman hidup yang lebih harmonis dan sesuai dengan keinginan individu.

Semakin tinggi sinergi medan neuronal, otak akan semakin mampu menyelaraskan frekuensinya dengan struktur Lattice. Dengan kata lain, kondisi koheren dan harmonis dalam aktivitas neuronal memungkinkan otak untuk "tuning" atau beresonansi dengan Lattice dalam keadaan fundamentalnya.

Intensi

Intensi adalah mekanisme pengarah perhatian dan energi seseorang ke aspek tertentu dari Lattice. Dengan menetapkan intensi yang jelas dan disertai dengan emosi positif, seseorang dapat memengaruhi Lattice dan mencipta realitas yang diinginkan.

Dalam prosesnya, seseorang menetapkan intensi atau tujuan tertentu, seperti kesuksesan, kesehatan, atau kebahagiaan. Melalui praktik-praktik seperti meditasi, visualisasi, atau hipnosis, individu dapat mengubah kondisi kesadaran mereka, untuk mengurangi distorsi yang dihasilkan oleh otak. Dengan demikian, mereka dapat lebih mudah mengakses Lattice dan menciptakan realitas sesuai dengan intensi mereka.

Emosi

Emosi memiliki frekuensi vibrasi tertentu yang memengaruhi resonansi seseorang dengan Lattice. Emosi positif seperti syukur, cinta, dan kebahagiaan meningkatkan resonansi dengan realitas yang diinginkan. Sebaliknya, emosi negatif seperti takut, cemas, benci, dan marah menciptakan distorsi yang menghambat manifestasi realitas yang positif.

Dalam konteks ini, emosi berperan sebagai "penggerak" dalam proses manifestasi. Jika kesadaran adalah kapal dan Lattice adalah lautan energi, maka emosi adalah angin yang mendorong kapal tersebut menuju tujuan. Semakin selaras emosi seseorang dengan realitas yang diinginkan, semakin cepat ia mencapai tujuan tersebut.

Ketika seseorang menetapkan intensi yang jelas dan memperkuatnya dengan emosi positif, ia menciptakan interferensi konstruktif dalam Lattice.


Pikiran Bawah Sadar dan Limiting Belief: Penghalang Menuju Realitas yang Lebih Luas

Dalam proses konstruksi realitas, pikiran bawah sadar (PBS) memegang peranan sangat penting. PBS menyimpan program dan kepercayaan (belief) yang membentuk cara seseorang memandang dunia. Limiting belief atau kepercayaan yang bersifat menghambat, disebut sebagai mental block, membatasi seseorang dalam mengakses potensi penuh dari Lattice, dan mengakibatkan tercipta realitas yang lebih sempit dan terbatas.

Misalnya, seseorang yang memiliki limiting belief “Saya tidak layak sukses” atau "Saya tidak berharga" akan terus mengalami kegagalan meskipun Lattice menawarkan berbagai potensi keberhasilan. Keyakinan negatif ini menciptakan filter tambahan dalam otak yang menghambat korelasi sinergis, mempersempit interpretasi realitas, dan menghalangi manifestasi realitas yang diinginkan, sehingga informasi dari Lattice yang terkait dengan keberlimpahan tidak dapat diakses.


Kepasrahan: Melepaskan dan Membiarkan Lattice Bekerja

Setelah seseorang menggunakan kesadaran, otak, dan pikiran dalam menetapkan intensi, mengakses Lattice, dan menyelaraskan emosi, langkah terakhir adalah melepaskan semua ekspektasi dan membiarkan Lattice bekerja. Konsep pasrah atau letting go, ada yang menyebutnya sebagai kondisi non-attachement (tanpa keterikatan), bukan berarti menyerah, tetapi menunjukkan keyakinan penuh bahwa Lattice akan mewujudkan realitas yang diinginkan sesuai dengan vibrasi yang telah ditetapkan.

Dalam kondisi batin yang stabil, yakin, dan pasrah, seseorang membiarkan Lattice bekerja tanpa hambatan dan kelekatan dari ego dan ketakutan. Kondisi ini menciptakan aliran energi yang lebih harmonis dan memungkinkan konstruksi realitas terjadi secara alami.

 

Kesimpulan

Teori Sintergi Jacobo Grinberg menawarkan pemahaman mendalam tentang bagaimana realitas terbentuk melalui interaksi antara kesadaran, otak, dan intensi. Lattice sebagai sumber energi dan informasi murni menjadi dasar dari segala kemungkinan realitas. Dengan menyelaraskan kesadaran, emosi, dan melepaskan limiting belief, seseorang dapat mengakses potensi tak terbatas dari Lattice dan membentuk realitas sesuai dengan tujuan hidupnya.

Pada akhirnya, memahami dan menerapkan teori sintergi dalam kehidupan sehari-hari dapat membantu seseorang tidak hanya mencapai tujuan-tujuannya, tetapi juga mengalami dimensi eksistensi yang lebih luas dan mendalam. Dengan demikian, seseorang tidak hanya hidup dalam realitas yang terbatas oleh pikiran dan persepsi lama, tetapi juga mampu menciptakan realitas baru yang lebih selaras dengan potensi sejatinya, dan mengalami kehidupan yang lebih bermakna.

 

 

Baca Selengkapnya

Kesadaran, Kesadaran Diri, Pikiran, Berpikir, Perhatian, Konsentrasi, Perhatian Penuh, dan Realitas: Sebuah Eksplorasi Pengalaman Manusia

2 Maret 2025
Hidup manusia adalah tenun yang kaya warna dan rumit, dikonstruksi dari berbagai elemen, masing-masing memberikan kontribusi pada pengalaman kita. Elemen-elemen yang menjadi pusat dari tenun ini adalah kesadaran, kesadaran diri, pikiran, berpikir, perhatian, konsentrasi, perhatian penuh, dan realitas.
 
Konsep-konsep ini, meskipun berbeda, saling terkait erat dan membentuk dasar dari pemahaman kita tentang diri sendiri dan dunia di sekitar kita. Mengeksplorasi elemen-elemen ini memungkinkan kita memahami kompleksitas pengalaman manusia dan proses yang membentuk persepsi kita tentang realitas.
 
Kesadaran (awareness) adalah tingkat pengalaman manusia yang paling mendasar. Ini mengacu pada kemampuan dasar untuk merasakan atau mengetahui rangsangan dari lingkungan dan keadaan internal (batin). Persepsi ini bisa sesederhana merasakan hangatnya sinar matahari di kulit kita atau mendengar suara burung berkicau di dekat kita.
 
Kesadaran tidak selalu bersifat analitis; ini adalah pengakuan langsung dan segera terhadap sensasi, pikiran, atau emosi. Kesadaran berfungsi sebagai dasar bagi semua proses kognitif lainnya.
 
Kesadaran memungkinkan kita untuk hadir, untuk mengamati peristiwa yang berlangsung di dalam dan di luar diri kita. Ini adalah langkah awal dalam proses persepsi, menyediakan data mentah yang diproses oleh pikiran kita untuk membangun pemahaman kita tentang realitas.
 
Kesadaran adalah langkah pertama dalam rantai persepsi, pendahulu dari kesadaran diri yang lebih kompleks. Tanpa kesadaran, kesadaran diri tidak dapat berfungsi, karena kesadaran adalah jembatan yang menghubungkan dunia batin kita dengan alam semesta luar. Tanpa kesadaran, kita tidak akan memiliki kapasitas untuk berinteraksi dengan dunia atau diri kita sendiri.
 
 
Kesadaran Diri (consciousness) dibangun di atas kesadaran, mewakili tingkat eksistensi yang lebih tinggi, dengan menambahkan lapisan interpretasi dan refleksi. Sementara kesadaran memungkinkan kita untuk menyadari atau mengetahui, kesadaran diri memberi kita kemampuan untuk menafsirkan, merenungkan, dan menciptakan makna dari persepsi tersebut.
 
Kesadaran diri adalah arena di mana pikiran, perasaan, ingatan, dan identitas diri bertemu. Kesadaran diri adalah keadaan di mana kita tidak hanya menyadari rangsangan eksternal tetapi juga dunia batin kita, memberi kita kemampuan untuk merenungkan pengalaman kita, merencanakan masa depan, dan melakukan introspeksi.
 
Kapasitas reflektif ini memungkinkan hubungan yang lebih dalam dengan lingkungan kita dan rasa kehadiran diri di dunia. Kesadaran diri adalah apa yang membuat kita tidak hanya merasakan hangatnya sinar matahari tetapi juga mampu merenungkan signifikansinya dan bagaimana hal itu memengaruhi suasana hati dan kesejahteraan kita.
 
Para filsuf dan ilmuwan telah lama memperdebatkan hakikat kesadaran diri, seringkali menganggapnya sebagai "masalah sulit" karena sifatnya yang sangat sulit dipahami dan subjektif. Melalui kesadaran diri inilah kita mengembangkan rasa identitas, sebuah narasi berkelanjutan yang mendefinisikan siapa kita dan bagaimana kita berhubungan dengan realitas.
 
Pikiran (mind)
 
Pikiran (mind) adalah wadah di mana kesadaran dan kesadaran diri terwujud. Ini adalah jaringan proses kognitif yang kompleks yang mencakup persepsi, memori, imajinasi, dan penalaran. Pikiran tidak hanya memproses informasi sensori tetapi juga membangun model mental yang kompleks tentang realitas. Pikiran adalah tempat buah pikir (thought) dihasilkan, keyakinan terbentuk, dan pengetahuan disintesis.
 
Pikiran memungkinkan kita untuk membangun model mental yang kompleks tentang realitas, mensintesis informasi, dan menerapkan pengalaman masa lalu pada situasi saat ini. Pikiran bukanlah entitas statis; pikiran bersifat dinamis, terus berinteraksi dengan kesadaran dan kesadaran diri kita untuk membentuk pengalaman kita tentang realitas. Melalui pikiran, kita menciptakan narasi dan kerangka kerja yang membantu kita menavigasi dunia.
 
Dalam banyak tradisi filosofis, pikiran dipandang sebagai tempat bersemayamnya jiwa, esensi non-fisik yang melampaui fungsi biologis belaka. Pikiran juga merupakan panggung bagi interaksi antara alam sadar dan bawah sadar, di mana lapisan terdalam dari jiwa kita mempengaruhi pengalaman sadar kita secara halus namun mendalam.
 
 
Berpikir (thinking) adalah aktivitas pikiran yang memungkinkan kita untuk menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi informasi. Ini adalah proses menghubungkan berbagai elemen dari pengalaman kita, merumuskan ide, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. Berpikir bisa menjadi proses yang sadar dan disengaja maupun proses otomatis dan intuitif.
 
Melalui berpikir, kita mengeksplorasi kemungkinan, membayangkan alternatif, dan membangun narasi yang membantu kita memahami pengalaman kita. Berpikir adalah alat yang membentuk persepsi kita, membimbing bagaimana kita berinteraksi dengan realitas. Namun, berpikir juga dibatasi oleh kerangka kerja dan bias pikiran; pikiran kita sering kali diwarnai oleh pengalaman pribadi, kondisi budaya, dan pola kognitif bawaan.
 
Berpikir adalah mekanisme yang memampukan kita memahami kesadaran dan kesadaran diri kita, mengubah persepsi mentah menjadi pengetahuan yang terstruktur. Berpikir tidak terbatas pada aktivitas intelektual yang abstrak; itu juga bersifat praktis, membimbing keputusan dan tindakan kita. Berpikir membantu kita menafsirkan pengalaman kita, memahami dunia di sekitar kita, dan mengantisipasi hasil di masa depan.
 
 
Perhatian (attention) memainkan peran penting dalam proses kognitif dengan bertindak sebagai penyaring bagi kesadaran kita. Perhatian adalah fokus selektif pada rangsangan atau pikiran tertentu sambil mengabaikan yang lain. Perhatian menentukan aspek-aspek kesadaran kita yang masuk ke dalam wilayah kesadaran diri.
 
Dalam dunia yang penuh dengan stimuli sensori, perhatian memungkinkan kita memprioritaskan apa yang penting pada saat tertentu, meningkatkan kapasitas kita untuk memproses dan memahami informasi yang relevan. Tanpa perhatian, kesadaran kita akan menjadi tersebar, dan kemampuan kita untuk terlibat secara bermakna dengan lingkungan kita akan terganggu.
 
 
Konsentrasi (concentration) memperpanjang perhatian dengan mempertahankan fokus dalam jangka waktu yang lama. Konsentrasi melibatkan pengarahan energi mental pada tugas, objek, atau pikiran tertentu, mempertahankan keterlibatan meskipun ada potensi gangguan. Konsentrasi membutuhkan upaya dan disiplin, karena melibatkan perlawanan terhadap kecenderungan alami pikiran untuk mengembara.
 
Melalui konsentrasi, kita dapat memperdalam pemahaman dan penguasaan kita terhadap suatu subjek, tugas, atau pengalaman. Konsentrasi sangat penting untuk pemecahan masalah yang kompleks, pembelajaran, dan mencapai keadaan aliran di mana kita menjadi sepenuhnya tenggelam dalam suatu aktivitas.
 
 
Perhatian Penuh (mindfulness) menambah dimensi lain pada interaksi ini dengan mendorong keadaan kesadaran yang terbuka dan tidak menghakimi terhadap momen saat ini. Perhatian penuh melibatkan perhatian pada pikiran, perasaan, dan sensasi kita dengan sikap ingin tahu dan penerimaan.
 
Tidak seperti konsentrasi, yang mempersempit fokus, perhatian penuh mendorong kesadaran yang lebih luas yang mencakup spektrum penuh pengalaman kita tanpa terlalu melekat pada pikiran, emosi, atau pengalaman tertentu. Perhatian penuh meningkatkan kesadaran diri dengan memungkinkan kita mengamati proses mental kita saat mereka terjadi, menumbuhkan pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri dan hubungan kita dengan realitas. Perhatian penuh membantu kita melepaskan diri dari reaksi otomatis dan hidup lebih sadar dan sengaja.
 
 
Reality (reality) adalah kanvas di mana kesadaran, kesadaran diri, pikiran, berpikir, perhatian, konsentrasi, dan perhatian penuh melukis kesan mereka. Realitas bukanlah entitas tetap dan objektif; itu dibentuk oleh interaksi antara kesadaran, kesadaran diri, dan pikiran kita.
 
Pikiran, keyakinan, dan perhatian kita memengaruhi bagaimana kita melihat realitas, menciptakan pengalaman dunia yang dipersonalisasi. Meskipun ada realitas eksternal, proses internal kita menentukan bagaimana kita menafsirkan dan berinteraksi dengannya.
 
Realitas sejatinya adalah konstruksi subjektif, sebuah representasi yang diciptakan oleh pikiran berdasarkan masukan yang diterimanya dan interpretasi yang dibuatnya. Oleh karena itu, realitas dialami bukan sebagai kebenaran absolut melainkan sebagai fenomena relatif yang dibentuk oleh kesadaran individu dan kolektif.
 
Sifat subjektif realitas ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang hakikat keberadaan dan sejauh mana kita benar-benar dapat mengetahui dunia apa adanya. Dan di sinilah pentingnya menumbuhkan perhatian penuh dan kesadaran untuk menavigasi kompleksitas keberadaan.
 
Dalam tarian rumit ini, kesadaran, kesadaran diri, pikiran, berpikir, perhatian, konsentrasi, perhatian penuh, dan realitas bukanlah entitas yang terisolasi melainkan aspek saling memengaruhi dari pengalaman yang terpadu.
 
Kesadaran membuka pintu menuju kesadaran diri, yang pada gilirannya membentuk fungsi pikiran. Pikiran, melalui proses berpikir, didukung perhatian, konsentrasi, dan perhatian penuh mencipta narasi yang terus berkembang dan mendefinisikan persepsi kita tentang realitas. Interaksi dinamis ini adalah inti dari keberadaan kita, mendorong pencarian kita akan pengetahuan, pemahaman, dan makna.
 
Eksplorasi konsep-konsep ini bukan hanya upaya intelektual, tetapi juga perjalanan ke kedalaman pengalaman manusia. Ini mengundang kita untuk mempertanyakan asumsi kita, untuk melihat melampaui permukaan persepsi kita, dan untuk menjelajahi keluasan dunia batin kita.
 
Dengan melakukannya, kita menyadari bahwa realitas yang kita alami adalah cerminan dari kesadaran yang memahaminya. Kesadaran, pikiran, dan keyakinan kita membentuk dunia tempat kita hidup, menjadikan kita peserta aktif dalam penciptaan realitas kita.
 
Pada akhirnya, semua ini bermuara pada perjalanan menuju pemahaman diri. Ini adalah eksplorasi misteri keberadaan yang mendalam, pencarian untuk mengungkap kebenaran yang lebih dalam yang ada di dalam diri kita dan dunia di sekitar kita.
 
Melalui eksplorasi ini, kita mulai mengenali keterhubungan segala sesuatu, keseimbangan yang rumit antara dunia batin dan luar, serta kemungkinan tak terbatas yang muncul ketika kita memperluas kesadaran kita dan merangkul potensi penuh dari kesadaran kita.
Baca Selengkapnya

Dominasi Pikiran Bawah Sadar: Fakta Ilmiah di Balik Klaim 95% vs 5%

28 Februari 2025

Klaim bahwa pikiran sadar hanya mengendalikan antara 1–5% dari diri kita, sedangkan 95–99% dikendalikan oleh pikiran bawah sadar, sering muncul dalam konteks psikologi populer dan hipnoterapi. Ide ini sejalan dengan model “gunung es” Freud, di mana bagian pikiran yang disadari hanyalah puncak kecil, dan sebagian besar proses mental berlangsung di bawah permukaan kesadaran. Tulisan ini berusaha menelaah kebenaran klaim ini dengan merujuk pada temuan penelitian lintas disiplin – mulai dari hipnosis/hipnoterapi hingga psikologi kognitif dan neurosains – baik yang mendukung maupun mengkritisinya.

Perspektif Hipnosis dan Hipnoterapi

Dalam dunia hipnoterapi, umum dikatakan bahwa sebagian besar perilaku dan respons kita dikendalikan oleh pikiran bawah sadar. Misalnya, pakar hipnoterapi sering mengutip estimasi bahwa pikiran sadar hanya berperan sekitar 5–10%, sedangkan 90–95% sisanya dijalankan secara bawah sadar.

Penelitian klasik oleh Ernest Hilgard mendukung adanya “bagian tersembunyi” dari pikiran saat individu berada dalam kondisi hipnosis. Hilgard menemukan bahwa subjek yang dihipnosis (misalnya diberi sugesti analgesia untuk tidak merasakan sakit) masih memiliki “pengamat tersembunyi” yang secara tidak sadar merasakan dan dapat melaporkan rasa sakit itu, meskipun secara sadar subjek mengaku tidak sakit.

Ini menunjukkan adanya pemisahan dalam kesadaran: bagian pikiran bawah sadar dapat memproses pengalaman tanpa diketahui pikiran sadar. Selain itu, eksperimen modern menunjukkan betapa kuatnya pengaruh bawah sadar saat hipnosis. Amir Raz dkk. (2005) mendemonstrasikan bahwa sugesti hipnotik dapat menghilangkan efek Stroop – yaitu mengubah respons otomatis membaca kata berwarna – sehingga peserta tidak lagi terjebak konflik membaca warna vs kata.

Dengan kata lain, perintah pada pikiran bawah sadar mampu “mematikan” proses otomatis yang biasanya tak terkendalikan secara sadar. Temuan seperti ini mendukung gagasan bahwa pikiran bawah sadar memiliki kendali besar atas perilaku dan respons tubuh, melebihi kendali pikiran sadar sehari-hari.

Bukti dari Psikologi Kognitif

Penelitian kognitif juga menyimpulkan bahwa sebagian besar pemrosesan informasi terjadi di luar kesadaran. Banyak keterampilan yang awalnya membutuhkan fokus sadar (misalnya mengemudi, mengetik) akan menjadi otomatis melalui latihan, dan dijalankan tanpa pikir sadar (Kihlstrom, 1987).

Bahkan, studi psikologi menunjukkan betapa terbatasnya kapasitas pikiran sadar dibanding total informasi yang ditangani otak. Sebuah perhitungan oleh psikolog Timothy Wilson mengestimasikan bahwa otak menerima 11 juta bit informasi per detik dari pancaindra, namun pikiran sadar hanya mampu memproses sekitar 40 bit per detik​.

Ini berarti mayoritas mutlak (99% lebih) pemrosesan terjadi tanpa kesadaran – selaras dengan klaim bahwa porsi pikiran sadar sangat kecil. Selain itu, riset di psikologi sosial/kognitif (misalnya oleh John Bargh) menegaskan bahwa banyak keputusan dan tindakan kita dipandu oleh proses otomatis tanpa niat sadar. Bargh dan Morsella (2008) menyimpulkan bahwa pikiran bawah sadar tidak kalah fleksibel atau kompleks dari pikiran sadar dalam mengendalikan perilaku.

Sebagai contoh, priming atau bias implisit dapat memengaruhi penilaian dan pilihan seseorang tanpa disadari. Demikian pula, Dijksterhuis dan koleganya menemukan dalam beberapa kasus, pikiran bawah sadar bisa membuat keputusan kompleks lebih baik daripada pikiran sadar, misalnya ketika banyak variabel yang harus dipertimbangkan​.

Secara keseluruhan, psikologi kognitif modern mengakui peran dominan cognitive unconscious – proses kognitif bawah sadar – dalam kehidupan mental kita sehari-hari.

Temuan dari Neurosains

Neurosains eksperimental memberikan bukti kuat bahwa tindakan kita sering dimulai secara tidak sadar sebelum kita sadar akan niat tersebut. Eksperimen terkenal oleh Libet dkk (1983) menunjukkan bahwa sinyal otak untuk gerakan, muncul ratusan milisekon sebelum subjek melaporkan keputusan sadar untuk bergerak.

Libet dkk mencatat potensi kesiapan (readiness potential) di otak mendahului kesadaran niat sekitar 350 ms secara rata-rata​. Disimpulkan bahwa inisiasi gerakan volunter dapat dimulai secara tidak sadar, memberi batasan pada peran kemauan sadar dalam mengendalikan tindakan.

Temuan ini diperkuat oleh studi fMRI yang lebih mutakhir. Soon dkk (2008) meminta partisipan memilih menekan tombol dengan tangan kiri/kanan secara bebas; hasil pemindaian menunjukkan pola aktivitas di korteks frontoparietal yang mengungkap pilihan peserta hingga 7–10 detik sebelum mereka menyadari keputusan tersebut​.

Dengan kata lain, peneliti bisa memprediksi keputusan jauh sebelum subjek merasa telah memutuskannya. Ini menunjukkan jaringan otak bawah sadar menyiapkan dan pada praktiknya “mengambil keputusan” terlebih dahulu, baru kemudian pikiran sadar mengetahuinya. Contoh lain adalah fenomena klinis seperti blindsight, di mana pasien buta secara sadar masih dapat tanpa sadar merespons rangsang visual. Kasus-kasus ini semuanya mendukung ide bahwa sebagian besar aktivitas otak yang menentukan persepsi maupun perilaku terjadi di luar ranah sadar.

Kritik dan Nuansa

Meskipun banyak ahli setuju bahwa pikiran bawah sadar memegang peran sangat besar, angka spesifik seperti “95% vs 5%” bukanlah ukuran yang pasti dan universal. Beberapa pakar menyebut angka itu lebih bersifat kiasan untuk menekankan dominasi proses tak sadar, daripada hasil pengukuran presisi​.

Dr. Emmanuel Donchin (Univ. of Illinois) misalnya, berkomentar bahwa porsi aktivitas kognitif yang tidak disadari itu “sangat besar, secara kiasan mungkin 99 persen; dan kita mungkin tidak akan pernah tahu secara tepat berapa banyak yang berada di luar kesadaran”.

Jadi, Donchin mengakui dominasi pikiran tidak sadar namun juga menekankan ketidakpastian angka pastinya. Para ilmuwan umumnya sepakat bahwa sebagian besar proses neurologis memang berjalan otomatis. Contoh konkritnya: pengaturan napas, detak jantung, emosi spontan, pemahaman bahasa secara intuitif, dll, terjadi tanpa kontrol pikiran sadar​.

Selain itu, penting diingat bahwa kendali bawah sadar yang dominan tidak berarti pikiran sadar tidak penting. Pikiran sadar – meski kecil kapasitasnya – berperan unik dalam penalaran abstrak, perencanaan jangka panjang, belajar hal baru, dan terutama dalam memodifikasi kebiasaan atau respons otomatis kita. Contohnya, terapi kognitif menunjukkan bahwa dengan upaya sadar berulang (misalnya mengganti self-talk negatif), seseorang dapat secara perlahan mengubah keyakinan bawah sadarnya. Jadi, pikiran sadar bisa dianggap “pengarah” yang lambat tapi mampu mengubah jalannya “kapal besar” bawah sadar.

Kesimpulan

Berbagai penelitian lintas bidang cenderung mendukung premis dasar bahwa bagian terbesar dari aktivitas mental dan kontrol perilaku kita bersifat tidak disadari. Bukti eksperimental dari hipnosis (mis. fenomena “hidden observer” Hilgard dan penghilangan efek Stroop oleh sugesti) hingga psikologi kognitif (pemrosesan otomatis, bias implisit, kapasitas perhatian sangat terbatas) dan neurosains (keputusan yang dicetuskan otak sebelum sadar, dll.) konsisten menunjukkan dominannya peran pikiran bawah sadar.

Namun, klaim numerik seperti “hanya 5-10% dikendalikan pikiran sadar” perlu dipandang sebagai perkiraan kasar yang menggambarkan skala perbandingan, bukan nilai eksak yang mudah diukur​.

Para ahli sepakat bahwa sebagian besar dari diri kita memang dijalankan oleh proses di luar kesadaran, tapi menekankan bahwa pikiran sadar tetap memiliki fungsi penting dan dapat memengaruhi pikiran bawah sadar melalui introspeksi, pembelajaran, dan intervensi psikologis.

Dengan kata lain, “autopilot” bawah sadar kita mungkin mendominasi sehari-hari, tetapi kemudi masih dapat dipegang dan diarahkan oleh kesadaran ketika diperlukan – meskipun upaya sadar itu sering harus berulang dan intens untuk mengubah arah kebiasaan bawah sadar yang sudah tertanam. Semua temuan ini memperkaya pemahaman kita tentang hubungan kompleks antara pikiran sadar dan bawah sadar, serta mengingatkan kita untuk tidak menyepelekan peran masing-masing.

 

 

Baca Selengkapnya

Jika Tidak Rusak, Jangan Perbaiki

18 Februari 2025

Saya cukup sering dihubungi oleh orang tua yang bertanya, "Pak Adi, saya sekarang sadar bahwa cara saya mendidik anak selama ini ternyata salah. Saya dulu keras terhadap anak saya. Sekarang saya khawatir apa yang saya lakukan di masa lalu mengakibatkan trauma pada dirinya. Apa yang harus saya lakukan untuk bisa membantu anak saya?"

Saya pun menanyakan, "Bagaimana kondisi anak Ibu saat ini? Apakah ada masalah dalam aspek perilaku atau emosinya?"

"Oh, anak saya baik-baik saja, Pak. Namun, saya khawatir ia mengalami trauma akibat tindakan atau sikap saya di masa lalu. Apa bisa Pak Adi membantu melihat anak saya, dan bila perlu, melakukan terapi agar ia bisa berkembang secara optimal?" jawab Ibu tersebut penuh harap.

Sahabat, apa yang sebaiknya dilakukan terhadap anak ini? Apakah saya perlu melakukan observasi dan menerapi anak tersebut, ataukah tidak perlu ditangani?

Saya menjelaskan kepada Ibu tersebut bahwa jika kondisi anaknya baik-baik saja, maka tidak ada alasan untuk khawatir berlebihan. Terlepas dari apa yang pernah dialami di masa lalu, yang perlu dilakukan saat ini adalah mengubah cara mendidik dan memperlakukan anaknya dengan lebih baik.

Tidak semua pengalaman yang dianggap "buruk" menyebabkan trauma atau berdampak negatif pada anak.

 

Definisi Trauma

Menurut American Psychological Association (APA), trauma didefinisikan sebagai respons emosional terhadap peristiwa mengerikan, seperti kecelakaan, kejahatan, atau bencana alam. Reaksi awal dapat berupa syok dan penyangkalan, sementara respons jangka panjang dapat mencakup emosi yang tidak terduga, kilas balik, hubungan yang tegang, serta gejala fisik seperti sakit kepala atau mual.

APA juga mengategorikan trauma ke dalam tiga jenis utama:

- Trauma akut: Terjadi akibat satu peristiwa yang sangat mengganggu.

- Trauma kronis: Timbul akibat paparan berulang dan berkepanjangan terhadap peristiwa yang sangat stres, seperti pelecehan anak, perundungan, atau kekerasan dalam rumah tangga.

- Trauma kompleks: Melibatkan paparan terhadap beberapa peristiwa traumatis.

Selain itu, ada juga trauma sekunder atau vicarious trauma, yang terjadi ketika seseorang mengalami gejala trauma akibat kontak erat dengan individu yang mengalami peristiwa traumatis. Hal ini umum terjadi pada anggota keluarga, profesional kesehatan mental, dan orang-orang yang merawat individu yang terdampak trauma.

Saya mendefinisikan trauma sebagai jejak atau rekaman peristiwa masa lalu yang mengandung emosi negatif intens dan tersimpan dalam memori pikiran bawah sadar (PBS).

Emosi yang muncul dari suatu peristiwa sepenuhnya bergantung pada makna yang diberikan terhadap kejadian tersebut, baik secara sadar, tidak sadar, maupun makna yang berasal dari orang lain.

Trauma terbentuk ketika seseorang mengalami peristiwa yang melampaui kapasitas mental dan emosionalnya untuk mengatasinya saat itu. Keberadaan trauma dapat memicu terbentuknya program negatif dalam pikiran bawah sadar, yang pada akhirnya memengaruhi pola pikir, emosi, dan perilaku seseorang dalam jangka panjang.

Trauma bukan hanya berasal dari kejadian besar atau ekstrem, tetapi juga bisa muncul dari pengalaman yang tampaknya sepele namun memiliki dampak emosional mendalam bagi individu.

Saya menjelaskan kepada Ibu ini bahwa kami, para hipnoterapis AWGI, bekerja berdasarkan protokol spesifik dengan proses dan alur yang logis. Kami memanfaatkan gejala (simtom) sebagai titik awal penelusuran untuk mencari dan menemukan akar masalah di PBS klien.

Kami tidak dapat dan tidak diperbolehkan untuk melakukan ramalan atau analisis hanya berdasarkan informasi kejadian masa lalu seseorang dan kemudian memprediksi dampaknya terhadap kehidupan mereka saat ini.

Sebagai contoh:

Jika seseorang pernah mengalami perundungan, pelecehan, kehilangan orang yang dikasihi, penolakan, atau bahkan hampir diaborsi, apakah pengalaman ini pasti berdampak buruk terhadap kehidupannya?

Jawabannya adalah bisa ya, bisa tidak.

Dampak dari pengalaman masa lalu sangat bergantung pada individu itu sendiri, dukungan keluarga, makna yang ia berikan terhadap kejadian tersebut, serta faktor-faktor lainnya.

Tidak selalu individu yang mengalami kejadian "buruk" pasti mengalami trauma.

Bila hipnoterapis secara sengaja menggali informasi tentang kejadian traumatis di masa lalu klien dan kemudian memprediksi dampak negatifnya terhadap kehidupan klien, ini sangat berisiko dan tidak etis.

Hal ini dapat menyebabkan imprint negatif yang berpotensi menciptakan masalah baru yang sebelumnya tidak ada. Fenomena ini dikenal sebagai implan sugesti negatif, di mana klien mengalami masalah karena percaya bahwa dirinya memang bermasalah setelah mendengar pernyataan dari hipnoterapis.

 

Hubungan ACEs dan Kesehatan Mental di Masa Dewasa

Penelitian telah menunjukkan bahwa Adverse Childhood Experiences (ACEs)—pengalaman traumatis pada masa kanak-kanak—memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan mental dan emosional seseorang di masa dewasa.

Berbagai studi mengindikasikan bahwa individu yang mengalami ACEs, seperti pelecehan atau kekerasan, memiliki risiko lebih tinggi untuk menghadapi berbagai masalah psikologis saat dewasa.

Benar, banyak penelitian menunjukkan bahwa pengalaman buruk di masa lalu dapat berdampak pada kualitas hidup individu.

Namun, saya belum pernah menemukan hasil penelitian yang secara tegas menyatakan bahwa seseorang yang mengalami kejadian X di masa kecil pasti akan mengalami kondisi Y saat dewasa.

Trauma dapat bermanifestasi melalui berbagai gejala emosional dan fisik, dengan dampak yang bervariasi pada setiap individu. Jika gejala trauma terus berlanjut atau mengganggu kehidupan sehari-hari, disarankan untuk mencari bantuan profesional, salah satunya hipnoterapis.

 

Proses Penyembuhan Trauma dengan Hipnoterapi

Penyembuhan trauma dengan hipnoterapi adalah metode yang sangat cepat, efektif, dan tuntas dengan menggunakan hipnoanalisis.

Proses ini mencakup:

- Identifikasi akar masalah: Menggali penyebab trauma yang tersimpan dalam pikiran bawah sadar.

- Reaktivasi ingatan traumatis dalam kondisi aman: Memunculkan kembali pengalaman masa lalu tanpa menyebabkan penderitaan ulang.

- Restrukturisasi makna atau emosi yang terkait dengan pengalaman tersebut: Mengubah persepsi individu terhadap peristiwa traumatis agar tidak lagi menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan mereka.

Trauma bukan sesuatu yang harus diprediksi, tetapi harus ditangani jika sudah menimbulkan dampak negatif yang nyata dalam kehidupan seseorang.

Oleh karena itu, jika anak baik-baik saja, tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan. Fokuslah untuk memberikan pola asuh yang lebih baik di masa kini daripada terlalu terjebak dalam rasa bersalah terhadap masa lalu.

Baca Selengkapnya

Protokol Hipnoterapi AWGI Divalidasi Temuan Modern Neurosains

4 Februari 2025
Sejawat hipnoterapis AWGI, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ., membagikan, di grup Hipnoterapis AWGI, artikel jurnal berjudul: Memory Reconsolidation and the Crisis of Mechanism in Pyschotherapy (Rekonsolidasi Memori dan Krisis Mekanisme dalam Psikoterapi) oleh Bruce Ecker dan Alexander Vaz. 
 
Artikel setebal 11 halaman ini membahas rekonsolidasi memori, sangat sejalan, dan memvalidasi proses dan hasil terapi yang telah dilakukan oleh para hipnoterapis AWGI selama ini.
 
Selama ini, kami berhasil membantu klien mengatasi masalah emosi dan/atau perilaku dalam waktu relatif singkat—rata-rata hanya dalam satu atau dua sesi. Dari sudut pandang ilmu pikiran, kami memahami dengan jelas mengapa terapi yang kami lakukan dapat menghasilkan dampak terapeutik yang signifikan seperti ini.
 
Hipnoterapi yang dipraktikkan oleh para hipnoterapis AWGI berfokus pada perubahan transformasional (transformational change), bukan sekadar perubahan bertahap (incremental change).
 
Protokol hipnoterapi AWGI, khususnya pendekatan Dual Layer Therapy, selaras dengan konsep Empirical Confirmation Process of Annulment (ECPA) yang dijelaskan dalam artikel ini, disusun berdasar teori, pemikiran para pakar, teknik dan strategi yang telah teruji dan terbukti efektif, dan diperkuat dengan temuan penting di ruang praktik kami.
 
Berikut ini ringkasan dari artikel Memory Reconsolidation and the Crisis of Mechanism in Pyschotherapy:
 
Artikel ini membahas tantangan dalam memahami mekanisme internal perubahan terapeutik yang bertahan lama dalam psikoterapi. Meskipun penelitian selama beberapa dekade menunjukkan efektivitas psikoterapi, belum ada mekanisme internal yang secara empiris diidentifikasi sebagai penyebab utama perubahan tersebut.
 
1. Tantangan dalam Mengidentifikasi Mekanisme Perubahan
 
Banyak pendekatan dalam psikoterapi menghasilkan hasil yang positif, tetapi hubungan kausal antara teknik yang digunakan dan perubahan yang terjadi masih belum dapat dipastikan secara ilmiah. Penelitian sebelumnya lebih bersifat korelasional, bukan kausal, sehingga belum mampu menjelaskan secara pasti bagaimana terapi bekerja.
 
2. Peran Memory Reconsolidation (MR) dalam Psikoterapi 
 
Memory Reconsolidation (MR) adalah mekanisme neurobiologis yang memungkinkan revisi mendalam terhadap memori emosional yang tersimpan di otak subkortikal.
 
MR mampu "menghapus" atau meniadakan pembelajaran emosional yang tidak diinginkan, sehingga memberikan kemungkinan perubahan yang lebih permanen dibandingkan dengan pendekatan psikoterapi lainnya.
 
MR membutuhkan pengalaman tertentu agar proses ini dapat terjadi, terutama pengalaman yang menantang atau bertentangan dengan keyakinan atau memori emosional sebelumnya.
 
3. Perbedaan antara Perubahan Bertahap dan Transformasional
 
Perubahan Bertahap (Incremental Change): Perubahan psikoterapi yang terjadi secara perlahan dan memerlukan usaha berulang, sering kali rentan terhadap kambuh (relapse).
 
Perubahan Transformasional: Perubahan yang mendadak dan permanen di mana gejala atau pola perilaku negatif benar-benar lenyap tanpa perlu upaya berkelanjutan.
 
4. Empirical Confirmation Process of Annulment (ECPA)
 
ECPA adalah proses berbasis MR yang dapat menghapus pembelajaran emosional dengan mengaktifkan pengalaman yang bertentangan dengan keyakinan lama seseorang.
 
Proses ini terdiri dari tiga tahapan:
1. Mengaktifkan kembali pembelajaran emosional lama.
2. Menghadapkan individu pada pengalaman yang bertentangan (prediction error).
3. Mengulang pengalaman ini untuk menulis ulang atau menghapus pembelajaran lama.
 
Studi laboratorium telah menunjukkan bahwa pengalaman ini bisa menghilangkan respons emosional negatif secara permanen.
 
5. Dampak terhadap Psikoterapi
 
Jika mekanisme MR melalui ECPA dikonfirmasi secara empiris dalam sesi terapi, ini akan menjadi terobosan dalam memahami bagaimana psikoterapi menghasilkan perubahan yang langgeng.
 
MR dapat menyatukan berbagai pendekatan terapi yang saat ini terfragmentasi dengan memberikan mekanisme umum bagi perubahan terapeutik.
 
Kesimpulan
 
Penelitian tentang Memory Reconsolidation berpotensi menjelaskan mekanisme perubahan dalam psikoterapi yang selama ini belum ditemukan.
 
Dengan membuktikan bahwa MR adalah penyebab utama perubahan terapeutik, efektivitas psikoterapi dapat ditingkatkan, dan pendekatan yang berbeda dapat disatukan dalam kerangka kerja yang lebih jelas.
 
Jika studi klinis dapat mengonfirmasi bahwa ECPA terjadi sebelum perubahan transformasional, maka hal ini akan menjadi landasan baru dalam ilmu psikoterapi.
 
Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List