The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Membangun Kompetensi Induksi Hipnotik

21 Juni 2024

Saya membaca laporan proses dan hasil induksi yang dilakukan oleh peserta SECH 2024 dengan sangat antusias. Hanya dalam beberapa hari saja, masing-masing peserta telah melakukan induksi kepada 5, 7, 9, dan 11 klien dengan sangat baik. Mereka semua berhasil menuntun klien masuk kondisi profound somnambulism atau lebih dalam lagi.

Kompetensi melakukan induksi berawal dari proses belajar yang mereka jalani di kelas SECH. Mereka belajar tentang cara kerja, sifat, dan hukum-hukum pikiran secara mendalam, lapisan kesadaran, mulai sadar normal hingga kondisi tidur, indikasi kondisi hipnosis dalam yang digunakan sebagai parameter, berlatih membaca skrip dengan benar di bawah supervisi ketat, mendapat masukan perbaikan dan peningkatan.

Merujuk pada pengalaman pribadi saya saat awal belajar hipnoterapi, saya memahami suasana batin para peserta yang baru pertama kali belajar hipnoterapi. Banyak yang masih kurang percaya dengan kemampuan mereka karena ini adalah hal baru bagi mereka.

Saya melakukan pengecekan di pikiran bawah sadar (PBS) setiap peserta untuk menemukan mental block yang menghambat mereka melakukan induksi: tidak percaya diri, merasa sulit atau tidak mampu, takut gagal. Setelahnya, saya lakukan terapi untuk menetralisir mental block ini dengan cepat.

Di kelas SECH saya juga jelaskan apa yang bisa terjadi atau klien alami saat mereka masuk kondisi hipnosis dalam (profound somnambulism). Semua saya sampaikan agar para peserta ini siap sedia bila jumpa hal-hal tersebut, antara lain:

- Klien bisa mengalami abreaksi spontan, muncul emosi intens, meski tujuan induksi adalah menuntun klien masuk kondisi hipnosis dalam, memberi pengalaman relaksasi tubuh dan pikiran.

Saya jelaskan, berdasar hasil pengukuran gelombang otak yang saya lakukan, menggunakan mesin Mind Mirror, saat individu masuk kondisi hipnosis dalam, gelombang otak dominan adalah theta, yang adalah tempat memori.

Klien bisa bertemu banyak memori, baik positif maupun negatif, yang sebelumnya tidak disadari. Klien bisa bertemu memori traumatik dari masa lalu yang belum terselesaikan, memicu emosi yang terlihat dalam pola gelombang delta dengan amplitudo tinggi.

Saya ajarkan teknik khusus untuk mengatasi situasi ini karena para peserta belum mendapat materi teknik intervensi klinis. Materi ini baru diajarkan di pertemuan minggu kedua.

- Klien bisa mengalami kondisi seluruh tubuhnya kaku, yang disebut catatonia, atau tidak merasakan sebagian atau seluruh tubuhnya, sebagai indikasi kedalaman ekstrem.

- Klien tidak mau keluar dari kondisi hipnosis. Ini sangat jarang terjadi, tapi bisa dan pernah terjadi. Saya jelaskan apa yang sebenarnya klien alami, yang membuat ia tidak mau keluar dari kondisi hipnosis. Saya mengajari peserta cara cepat, mudah, dan aman untuk menuntun klien keluar dari situasi ini.

- Saat dituntun keluar dari kondisi hipnosis, klien bisa mengalami pusing. Saya menjelaskan apa yang terjadi pada klien dan teknik untuk menghilangkan pusing yang klien alami dengan cepat dan mudah.

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa membangun kompetensi melakukan induksi bukan sekadar memberikan skrip induksi kepada peserta untuk dibacakan kepada klien. Kompetensi melakukan induksi hanya bisa dicapai bila peserta telah mendapatkan pengetahuan yang cukup, pengalaman praktik yang tersupervisi, serta bimbingan berkelanjutan saat mereka praktik mandiri. Hal ini penting untuk memastikan mereka melakukan induksi dengan benar dan mencapai hasil yang diharapkan, yaitu klien masuk kondisi hipnosis dalam.

Para peserta bisa bertanya kepada saya tentang pengalaman induksi mereka dan hal-hal yang belum mereka pahami sepenuhnya melalui grup Telegram. Saya menjawab semua pertanyaan mereka, baik dengan pesan tulisan maupun pesan suara jika diperlukan penjelasan panjang dan mendalam.

Mengapa setiap peserta SECH harus bisa menuntun klien masuk kondisi hipnosis dalam (profound somnambulism)?

Alasan pertama, yang mereka pelajari adalah hipnoterapi. Hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis, sehingga kondisi hipnosis adalah syarat mutlak untuk bisa melakukan hipnoterapi.

Alasan kedua, teknik-teknik intervensi klinis yang diajarkan di kelas SECH mensyaratkan kondisi hipnosis dalam untuk bekerja secara efektif. Dalam kondisi sadar normal, hipnosis dangkal (light trance), dan hipnosis menengah (medium trance), kami tidak bisa melakukan hipnoanalisis secara akurat, mencari, menemukan, dan menyelesaikan trauma dengan efektif dan tuntas.

Berikut ini beberapa pengalaman klien setelah diinduksi dengan skrip 𝐀𝐝𝐢 𝐈𝐧𝐝𝐮𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧:

- Klien bercerita telah didiagnosis ADHD, sudah pernah dua kali melakukan relaksasi dengan terapis berbeda dan tidak berhasil, selalu tidak fokus dan pikirannya loncat ke sana kemari. Saat dinduksi, pada awal pikirannya masih loncat ke sana kemari, tapi selanjutnya bisa mengikuti dan fokus, masuk kondisi hipnosis sangat dalam, sangat relaks, dan nyaman. Saat keluar dari kondisi hipnosis, klien merasa sangat takjub karena baru kali ini ia bisa sangat fokus, relaks, dan sangat nyaman.

- Klien berniat untuk buka mata dan mengatakan ‘Hi’ saat diinduksi, tapi tidak mampu buka mata saking rileksnya.

- Sebelumnya klien sedang dalam kondisi cemas berlebihan. Saat diinduksi badan terasa ngantuk, nyaman, relaks dan setelahnya rasa cemas hilang.

- Klien merasa sangat relaks. Baru kali ini merasakan tubuh dan pikiran bisa serelaks ini, badan segar, enteng.

- Klien merasa tenang, nyaman, badan lebih ringan, pikiran terasa lebih plong tidak ada beban.

- Klien rileks, pikirannya tenang, damai, dan mengantuk, klien diberi sugesti Money Magnet dan ini memunculkan bentuk pikiran ia sedang berdagang dan ada banyak tumpukan uang di depan.

- Saat awal datang klien gelisah, selalu melukai bagian jari jari dengan kukunya. Saat mulai induksi badannya masih gelisah, setelah beberapa saat, klien tenang, merasa nyaman, relaks, dan bahagia sampai merasa tidak mau selesai karena baru pertama kali merasakan hal seperti ini.

- Badan terasa hangat, mengantuk, rileks. Pada saat sugesti Money Magnet, membayangkan uang dan angka di rekening tabungan bertambah, harga crypto naik terus. Setelah keluar dari induksi, merasa uang segera akan datang ke dia, keberuntungan akan datang ke dia segera, percaya diri sekali.

Peserta yang berhasil melakukan induksi pada banyak klien, selain membangun kompetensi induksi, juga mengalami peningkatan rasa percaya diri signifikan. Mereka kini siap masuk ke tahap berikutnya, membangun kompetensi terapeutik yang akan digunakan dalam ruang praktik membantu para klien.

Saya bertanya kepada para peserta tentang perasaan mereka setelah melakukan praktik induksi pada klien. Mereka menjawab bahwa setelah melakukan banyak praktik induksi, mereka menjadi sangat percaya diri, mampu menjiwai cara membaca skrip dengan benar, serta mampu mengatur intonasi dan tempo saat membaca skrip.

Kompetensi tinggi tidak dapat dibangun hanya melalui partisipasi dalam pelatihan atau kehadiran di kelas. Mencapai kompetensi tinggi tidak mungkin dicapai dalam waktu singkat. Pencapaian ini memerlukan waktu dan konsistensi. Kompetensi tinggi hanya dapat dibangun melalui proses yang tepat, upaya gigih, sungguh-sungguh, dan berkelanjutan, disertai dengan semangat dan antusiasme yang tinggi, serta bimbingan dan pengawasan oleh pengajar yang berpengalaman.

Demikianlah adanya...
Demikianlah kenyataannya...

Baca Selengkapnya

Tiga Tahap Kritis Menjadi Hipnoterapis Profesional

18 Juni 2024

Di saat istirahat makan siang, saya berbincang dengan beberapa peserta di meja makan. Saya tanya mereka, bagaimana mereka tahu tentang pelatihan hipnoterapi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH)

Ada yang tahu SECH dari membaca tulisan dan video yang saya tayangkan di media sosial. Ada yang mendapat informasi dari anggota keluarga atau teman yang telah belajar SECH dan berpraktik sebagai hipoterapis aktif. Ada beberapa yang sebelumnya telah menjalani hipnoterapi dengan hipnoterapis AWGI, merasakan manfaat, dan memutuskan untuk belajar agar juga bisa membantu orang lain. Ada yang mendapat referensi dari sejawat ilmuwan psikologi.

Ada yang memang sudah lama berniat belajar hipnoterapi, tidak tahu harus belajar ke mana, dan mencari informasi di internet. Pencarian ini mengantarkan mereka pada beberapa nama pengajar dan lembaga. Setelah mereka mempelajari dengan cermat rekam jejak pengajar atau lembaga yang mengajar hipnoterapi, melakukan pembandingan, akhirnya memutuskan belajar hipnoterapi di AWGI.

Saya berbagi kisah dan pengalaman saya belajar hipnoterapi dengan para peserta. Saya ceritakan betapa sulit saya bisa mendalami hipnoterapi yang efektif dan ilmiah. Saya sampai harus beli sangat banyak buku dan video dari luar negeri. Dan saya harus benar-benar jeli mencari dan menemukan guru-guru hipnoterapi terbaik di dunia. Saya akhirnya memutuskan belajar hipnoterapi langsung ke beberapa pakar hipnoterapi terbaik di Amerika.

Mereka bertanya kepada saya, apa kriteria yang saya gunakan untuk menentukan kualitas guru sebagai tempat belajar saya.

Saya menjelaskan bahwa sebelum menetapkan kriteria untuk guru, saya perlu terlebih dahulu menetapkan tujuan saya dalam mempelajari hipnoterapi. Apakah saya hanya ingin mendapatkan gelar CHt tanpa mempermasalahkan kualitas pelatihan yang diikuti? Apakah saya sekadar ingin mengetahui apa itu hipnoterapi? Apakah saya ingin bisa berpraktik hipnoterapi? Kompetensi seperti apa yang ingin saya capai? Apakah saya ingin bisa menangani kasus ringan, sedang, atau berat?

Saya memilih menjadi hipnoterapis dengan kompetensi terapeutik tinggi, menjadi hipnoterapis terbaik yang saya bisa menjadi. Bagi saya, gelar tidak penting, yang penting adalah kompetensi. Saat saya melakukan terapi, yang dibutuhkan adalah kompetensi, bukan gelar. Oleh karena itu, saya menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh pengajar hipnoterapi yang akan saya datangi.

Kriteria ini meliputi, antara lain:

1. 𝐑𝐞𝐤𝐚𝐦 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐑𝐞𝐩𝐮𝐭𝐚𝐬𝐢: Pengajar harus memiliki rekam jejak sebagai hipnoterapis aktif, cakap, andal, berpengalaman, dengan kredibilitas dan reputasi yang baik.

2. 𝐏𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢: Pengajar telah menulis minimal satu buku berkualitas yang membahas hipnoterapi.

3. 𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢: Nama pengajar sering disebut atau menjadi rujukan penulis atau praktisi hipnoterapi lainnya.

4. 𝐊𝐨𝐦𝐩𝐞𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐓𝐞𝐫𝐛𝐮𝐤𝐭𝐢: Pengajar bersedia menunjukkan kompetensinya melalui live therapy di depan murid-muridnya, membuktikan teori, strategi, dan teknik terapi yang diajarkan.

5. 𝐀𝐥𝐮𝐦𝐧𝐢 𝐁𝐞𝐫𝐤𝐮𝐚𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬: Alumni pelatihannya terbukti memiliki kompetensi terapeutik tinggi dan aktif berpraktik.

6. 𝐏𝐞𝐥𝐚𝐭𝐢𝐡𝐚𝐧 𝐓𝐚𝐭𝐚𝐩 𝐌𝐮𝐤𝐚: Pelatihannya harus diselenggarakan secara tatap muka.

7. 𝐏𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢 𝐈𝐥𝐦𝐢𝐚𝐡: Menulis artikel jurnal tentang hipnoterapi (opsional).

Dengan menggunakan kriteria ini, saya bertemu dengan guru-guru hipnoterapi terbaik dunia seperti Gil Boyne, Randal Churchill, Gerald Kein, John Butler, Tom Silver, dan Anna Wise. Semua guru ini melakukan live therapy di kelas, menangani klien dengan masalah riil, bukan sekadar simulasi. Ini memungkinkan kami sebagai murid melihat, belajar, dan memahami proses hipnoterapi yang benar dan efektif dari awal hingga akhir.

Pengalaman belajar dengan guru-guru saya ini menginspirasi saya untuk melakukan hal yang sama. Sejak pertama saya menyelenggarakan pelatihan hipnoterapi profesional di tahun 2008, saya melakukan live therapy sebagai bagian dari proses pendidikan untuk menghasilkan hipnoterapis profesional berkompetensi terapeutik tinggi.

Untuk memastikan setiap peserta didik SECH mampu menumbuhkembangkan kompetensi terapeutik tertinggi yang bisa mereka capai, saya memutuskan menaikkan standar proses pendidikan hipnoterapis lebih tinggi lagi, dengan memberikan bimbingan dan supervisi pada setiap praktik yang dilakukan para peserta didik SECH.

Ini bukan hal mudah karena sangat menyita waktu, menguras energi dan pikiran saya. Saya membaca setiap laporan kasus terapi yang dilakukan para peserta SECH, menilai, dan memberi saran, masukan untuk perbaikan dan peningkatan kompetensi mereka.

Keputusan ini didasarkan pada pengalaman pribadi saya. Saya tahu betapa sulitnya mencapai kompetensi tinggi tanpa bimbingan dan supervisi ketat yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan berkelanjutan oleh pengajar berpengalaman.

Berdasar pengalaman saya, ada tiga tahap kritis yang harus dilalui setiap peserta didik untuk menjadi hipnoterapis kompeten:

1. 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐓𝐞𝐨𝐫𝐢: Peserta harus memahami landasan teori yang kuat, pengetahuan yang mendalam tentang cara kerja pikiran, pendekatan, metode, strategi, dan teknik-teknik terapi yang telah teruji, terbukti aman, dan efektif. Tahap ini sangat penting karena menjadi landasan untuk tahap-tahap berikutnya.

2. 𝐈𝐧𝐝𝐮𝐤𝐬𝐢 𝐇𝐢𝐩𝐧𝐨𝐬𝐢𝐬: Peserta harus mampu melakukan induksi dan berhasil menuntun klien masuk ke kedalaman kondisi hipnosis yang tepat untuk melakukan terapi. Keberhasilan induksi membangun rasa percaya diri yang sangat penting dalam praktik hipnoterapi. Di kelas SECH, selain menjelaskan landasan teori dari skrip induksi yang digunakan, saya juga menunjukkan cara penggunaan skrip yang benar dengan melakukan induksi pada peserta.

3. 𝐏𝐫𝐚𝐤𝐭𝐢𝐤 𝐌𝐚𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢: Peserta harus mampu melakukan praktik mandiri yang efektif dan sukses membantu klien, karena keberhasilan pada tahap awal ini sangat penting untuk menguatkan kepercayaan diri mereka. Ini hanya bisa dicapai jika peserta memiliki pengetahuan dan pemahaman yang benar dan mendalam tentang hipnoterapi, mampu melakukan induksi dengan berhasil, dan telah melihat secara langsung bagaimana terapi dilakukan. Saya memberikan kesempatan kepada peserta untuk mempelajari empat video rekaman live therapy yang saya lakukan di angkatan SECH sebelumnya dan melakukan empat live therapy di depan kelas.

Peserta juga diberi basis data dan pengalaman terapi sejak minggu pertama hingga hari terakhir pendidikan. Saya menceritakan berbagai kasus yang pernah saya dan hipnoterapis AWGI tangani, strategi dan teknik yang digunakan, dan hasil terapi yang dicapai.

Dengan pendekatan ini peserta dapat menjadi hipnoterapis profesional dengan kompetensi terapeutik tinggi, mampu membantu klien secara efektif, dan berkontribusi positif dalam masyarakat.

Baca Selengkapnya

Otak Tidak Bisa Menerima Kata Negatif: Kata Siapa?

9 Juni 2024
Saya sering mendapat pertanyaan dari pembaca buku dan peserta pelatihan, "Pak, katanya otak atau pikiran tidak bisa menerima kata negatif (negasi) seperti tidak, jangan, tanpa, tidak boleh, dan sejenisnya. Apa benar seperti ini?"
 
Jawaban singkat, "Ini tidak sepenuhnya benar". Saya ingat pertama kali menulis tentang hal ini di dinding FB saya tanggal 18 Desember 2012. Dan dalam beberapa kesempatan, saya juga telah mengulas tentang ini.
 
Pemahaman awam dan juga sering saya temukan di berbagai buku memang mengatakan bahwa otak atau pikiran tidak bisa menerima kata yang bersifat negasi. Dasar pemikirannya adalah saat seseorang diminta "Jangan memikirkan gajah" maka yang terjadi ia justru memikirkan gajah.
 
Prosesnya adalah untuk bisa "jangan memikirkan" maka harus ada "gajah" terlebih dahulu dimunculkan di pikiran. Begitu "gajah" ini muncul maka "jangan memikirkan" sudah tidak lagi bisa bekerja karena gambar ini akan tetap ada di pikiran.
 
Pemahaman ini benar namun tidak semuanya benar. Bagaimana bila kita menggunakan kalimat "Saya tidak kaya"? Dengan pemahaman atau logika pada contoh di atas, berarti otak/pikiran akan "menghilangkan" kata "tidak" dan akan hanya menjalankan kalimat "Saya kaya".
 
Bila logika di atas adalah senantiasa benar, kita dapat menggunakan kalimat sugesti atau afirmasi dengan kata negatif seperti "Saya tidak rajin", "Saya tidak bahagia", "Saya tidak cerdas", "Saya tidak cantik", "Saya tidak pintar", "Saya tidak beruntung", "Saya tidak sehat", atau sejenisnya dan, sekali lagi, berdasar logika di atas, yang akan diterima oleh otak atau pikiran adalah kalimat positif karena kata "tidak" diabaikan atau tidak diterima.
 
Pertanyaan saya, beranikah kita memberi sugesti pada diri sendiri menggunakan kalimat-kalimat di atas dan berharap hasil positif? Jawabannya pasti tidak.
 
Lalu, pemahaman yang benar seperti apa?
 
Saya mendapat pemahaman yang berbeda saat mempelajari hipnoterapi klinis khususnya mengenai mekanisme, cara kerja, hukum, dan sifat pikiran bawah sadar. Dalam dunia hipnoterapi klinis, dalam konteks menyusun sugesti untuk klien, ada terminologi "pharsing". Pharsing adalah kecenderungan pikiran bawah sadar untuk menolak kata-kata yang bersifat negasi (tidak, jangan, atau sejenisnya) saat seseorang berada dalam kondisi relaksasi pikiran yang dalam (deep trance).
 
Kata kunci pada definisi di atas adalah "kecenderungan" dan "relaksasi pikiran yang dalam". Cenderung berarti tidak selalu. Relaksasi pikiran yang dalam berarti seseorang berada dalam kondisi hipnosis yang dalam.
Memang sebaiknya, diusahakan, untuk selalu menggunakan kata-kata positif. Misal "jangan malas" diganti dengan "rajin", "jangan telat" diganti dengan "datang tepat waktu", "jangan lupa" diganti dengan "ingat".
Namun bila ternyata tidak ada kata positif pengganti, misal untuk sugesti berhenti merokok, "Saya bukan perokok", maka gunakan sugesti ini walau ada kata negatif. Otak atau pikiran kita dapat memahami apa yang diinginkan.
Baca Selengkapnya

Live Therapy Sebagai Landasan Kompetensi Terapeutik

5 Juni 2024

Salah satu sejawat hipnoterapis AWGI, alumnus SECH tahun 2023, kirim pesan melaporkan kasus yang ia tangani. Kasus pertama, fobia terbang dengan pesawat. Kasus ini di permukaan tampak sederhana, namun di baliknya terdapat akar masalah serius. Kasus kedua, klien dengan kecenderungan melakukan tindakan bunuh diri. Ia mampu menangani keduanya dengan sangat baik dan tuntas, masing-masing dalam satu sesi terapi. Hasil tindak lanjut pada kedua klien ini, sebulan kemudian, didapatkan hasil bahwa keduanya sangat baik dan stabil kondisinya.

Sejawat ini secara khusus menyampaikan terima kasih karena saat mengikuti pendidikan hipnoterapis di AWGI, ia berkesempatan tidak hanya menonton dan mempelajari video rekaman live therapy, juga terutama ia menyaksikan langsung live therapy yang saya lakukan di depan kelas.

Menurutnya, dengan menyaksikan live therapy ia belajar cara cepat membangun relasi terapeutik yang kuat, membangun rasa percaya dan aman dalam diri klien sehingga klien bersedia terbuka dan menceritakan masalahnya.

Ia menjadi lebih cermat dan teliti saat mendengar cerita klien dan mengamati bahasa tubuh dan ekspresi wajah klien sebagai bentuk komunikasi nonverbal. Ia mendapat "feel" bagaimana sikap, perhatian, keyakinan dan hati terapis saat membantu klien di ruang praktik.

Dan yang juga sangat penting, ia menyaksikan langsung, belajar, dan mengerti cara efektif dan efisien dalam menggunakan strategi dan teknik terapi seturut dinamika yang terjadi di ruang praktik. Menurutnya, ia mengerti bagaimana menjadi peka, tanggap, dan lentur dalam membantu klien. Pembelajaran ini berdampak signifikan dan memampukan dirinya bekerja optimal membantu klien.

Saya menyadari bahwa proses hipnoterapi sangat kompleks. Sejak pertama kali saya mengajar hipnoterapi di tahun 2008, hingga saat ini, saya menetapkan live therapy di depan kelas sebagai salah satu syarat mutlak untuk membangun kompetensi terapeutik setiap peserta didik.

Berdasar pengalaman saya belajar dan membangun kecakapan terapi, terapis pemula tidak akan bisa membangun kompetensi terapeutik tinggi hanya dengan mendapat pelajaran di kelas, baca workbook, nonton video, dan kemudian langsung praktik mandiri. Bila ini yang terapis pemula lakukan, sama seperti saya dulu, yang terjadi adalah kebingungan, tak tahu arah, dan akhirnya mengalami kegagalan berulang.

Hipnoterapis pemula sangat butuh melihat langsung proses terapi yang benar agar mereka memilik basis data yang kuat sebagai acuan dan tolok ukur (benchmark). Mereka juga butuh mendapat bimbingan berkelanjutan hingga akhirnya mencapai standar kompentensi yang ditetapkan.

Di kelas SECH saya menunjukkan langsung aplikasi ilmu yang diajarkan di kelas ke dalam praktik nyata. Masalah yang saya tangani tidak boleh masalah ringan atau sederhana seperti fobia. Masalahnya harus cukup kompleks sehingga teknik yang diajarkan di kelas dapat dipraktikkan dan ditunjukkan dengan segala dinamikanya.

Saat peserta didik melihat langsung teknik yang mereka pelajari berhasil membantu klien mengatasi masalah, pengalaman dan bukti ini menumbuhkan rasa percaya diri kuat bahwa mereka pun pasti bisa.

Saya melakukan total empat sesi live therapy di depan kelas, dengan klien yang berasal dari luar peserta. Jika klien adalah peserta workshop, proses terapinya tidak dapat menunjukkan dinamika yang terjadi di ruang praktik, karena peserta mengenal saya sebagai pengajar dan figur otoritas. Sebaliknya, jika klien berasal dari luar dan tidak mengenal saya, proses terapi berjalan persis seperti yang terjadi di ruang praktik saya.

Di kelas SECH saya hanya mengajarkan teknik yang saya gunakan di ruang praktik. Teknik-teknik ini telah teruji aman dan efektif mengatasi masalah klien dengan cepat dan tuntas. Saya tidak mengajarkan teknik yang belum pernah saya gunakan, walau di berbagai literatur diklaim efektif. Teknik yang saya ajarkan adalah intisari dari hasil belajar, praktik, dan temuan kami sejak tahun 2005 hingga kini.

Di awal karir saya sebagai hipnoterapis, saya punya banyak sekali teknik untuk kasus berbeda. Misal, untuk menangani klien yang mengalami fobia, saya gunakan teknik A. Untuk masalah kecemasan, teknik B. Masalah adiksi, teknik C. Untuk insomnia, teknik D. Kebiasaan menunda, teknik E, dan seterusnya.

Karena ada banyak teknik yang harus saya ingat, saya sering mengalami kebingungan. Setiap kali menangani klien, saya tidak dapat fokus mendengarkan dan memahami masalah mereka, karena pikiran saya justru sibuk memikirkan teknik mana yang akan saya gunakan.

Kondisi ini menjadi semakin rumit bila ternyata masalah klien bersifat multilayer atau berlapis. Misal klien mengalami adiksi rokok. Dari hasil wawancara diketahui klien merokok karena stres. Ia stres karena sedang ada masalah di pekerjaan. Bila seperti ini kondisinya, teknik apa yang akan digunakan?

Akhirnya, saya memutuskan untuk menyederhanakan proses terapi. Melalui proses yang tidak mudah, selama tiga tahun saya mengamati dan mempelajari setiap masalah klien untuk menemukan pola. Saya juga membaca buku dan artikel jurnal. Dengan memahami pola-pola tersebut, penanganan setiap masalah dapat menggunakan protokol yang sama, meskipun dengan dinamika yang berbeda.

Pola yang saya temukan, untuk setiap masalah (simtom) pasti ada sebab (akar masalah). Bila ada asap, pasti ada api. Cari, temukan, dan padamkan apinya, maka asap dengan sendirinya pasti hilang.

Dengan logika yang sama, jika saya bisa membantu klien mencari, menemukan, dan menyelesaikan akar masalahnya, maka masalah klien akan berhasil diatasi. Setelah hati-hati dan cermat menelaah serta mengujicobakan berbagai teknik, merujuk pada buku teks, artikel jurnal, serta pengalaman dan temuan di ruang praktik, saya akhirnya memutuskan untuk fokus hanya pada dua teknik utama. Semua teknik lainnya, yang sebelumnya cukup merepotkan, saya tinggalkan.

Dua teknik ini, dengan varian strateginya, telah diterapkan dalam lebih dari 130.000 sesi konseling dan terapi selama hampir 20 tahun dengan hasil yang sangat baik. Teknik-teknik ini terus diperbarui dan ditingkatkan berdasarkan temuan dan pembelajaran kami, para hipnoterapis AWGI.

Mengingat proses pendidikan yang sangat intensif, saya mewajibkan setiap peserta didik untuk hadir dan mengikuti program pendidikan hipnoterapis SECH secara lengkap dan utuh selama 110 jam tatap muka atau 10 hari. Jika ada peserta yang, karena alasan tertentu, tidak dapat hadir meskipun hanya setengah hari, sesuai ketentuan, mereka harus mengundurkan diri.

Seluruh proses pendidikan SECH dilaksanakan secara tatap muka dan tidak dapat dilakukan secara daring (online), karena proses belajar tidak hanya sekadar melihat atau mendengar apa yang disampaikan oleh pengajar seperti yang terjadi dalam pembelajaran daring.

Proses belajar yang baik dan benar melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Ada perbedaan yang signifikan dalam hal pengalaman dan dampak antara pembelajaran daring dan tatap muka. Hal ini juga berlaku untuk menyaksikan live therapy, baik secara daring maupun langsung di kelas.

Hipnoterapis pemula, yang dibekali dengan rasa percaya diri yang tinggi, mampu melaksanakan praktik sesuai protokol dengan hasil yang sangat baik. Ini tidak hanya membangun kompetensi terapeutik mereka tetapi juga semakin meningkatkan dan memperkuat rasa percaya diri mereka.

Sebaliknya, hipnoterapis yang kurang percaya diri atau meragukan kemampuan dan kompetensinya karena tidak menerima pendidikan dan bimbingan yang tepat, tidak akan mampu melaksanakan hipnoterapi dengan benar dan efektif. Semakin mereka tidak percaya diri, semakin tidak efektif terapi yang mereka lakukan.

Hipnoterapis tidak kompeten bisa saja mendapat klien lewat promosi yang dilakukan di media sosial. Namun, bila ia berulang kali gagal membantu klien-kliennya, rasa percaya dirinya pasti akan terdampak hingga akhirnya ia memutuskan berhenti praktik. Tentunya ini sangat disayangkan, mengingat investasi waktu, tenaga, dan biaya yang telah ia keluarkan, dan terutama jumlah hipnoterapis profesional masih sangat sedikit di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Terapi Singkat

30 Mei 2024
Bila bisa cepat, aman, dan tuntas, mengapa harus lama? Ini adalah pemikiran saya dulu saat pertama kali belajar hipnoterapi, terinspirasi dari salah satu buku yang saya baca di tahun 1993, Awaken The Giant Within karya Anthonny Robbins (1992).
 
Salah satu bab buku ini berjudul Can Change Happen In An Instant? Toni Robbins menjelaskan bahwa perubahan perilaku dapat terjadi secara instan. Tentu, yang dimaksud instan bukan dalam sekejap mata, tetap butuh proses. Intinya, perubahan yang dimaksud terjadi dalam waktu jauh lebih singkat daripada bila menggunakan terapi konvensional.
 
Dalam upaya menemukan jawaban apakah benar perubahan, lewat proses terapi, bisa terjadi dalam waktu singkat, saya berusaha mendapatkan informasi dengan membaca banyak literatur, khususnya tentang psikoterapi. Umumnya, untuk mengubah perilaku dengan psikoterapi konvensional membutuhkan waktu lama, belasan hingga puluhan sesi, dan biaya yang tidak sedikit. Ini tentu sangat membebani klien.
 
Para pelopor psikoterapi sesungguhnya sadar akan kondisi ini. Mereka ingin bisa memberikan layanan terapi efektif berdurasi singkat. James Gustafson, dalam bukunya berjudul The Complex Secret of Brief Psychotherapy (1986), memberikan tinjauan komprehensif atas kerja para pelopor psikoterapi singkat.
 
Tiga Gelombang Psikoterapi Singkat
 
Jeffrey Magnavinta (1993) mengindentifikasi tiga gelombang dalam perkembangan psikoterapi singkat. Gelombang pertama diawali oleh terapi singkat yang dilakukan Sigmund Freud. Freud menyembuhkan impotensi yang dialami komposer Gustav Mahler lewat perbincangan yang mereka lakukan sambil jalan kaki di sore hari. Masuk dalam gelombang pertama, nama besar seperti Otto Rank dan Sándor Ferenczi. Demikian pula Franz Alexander and Thomas French di tahun 1940an. Alexander dan French mengenalkan konsep pengalaman emosional korektif, dan menganjurkan terapi yang fokus pada tujuan terapi.
 
Gelombang kedua pelopor psikoterapi singkat bercirikan fokus yang lebih kuat pada manajemen pertahanan psikologis. Tokoh yang berpengaruh di era ini adalah Wilhelm Reich. Tulisannya dalam buku Character Analysis (1949) berdampak besar terhadap para pemikir di zamannya, karena ide untuk menembus "baju besi" karakter (character armor), atau pertahanan psikologis, dominan dalam model terapi ini.
 
Gelombang ketiga psikoterapi dipengaruhi mekanisme fundamental psikoterapi singkat yang digagas Gustafson (1984) dengan prinsip kerja berfokus pada tema utama yang mendasari masalah, penanganan resistensi, dan penyediaan kecakapan yang dibutuhkan klien.
 
Psikoterapi Masa Kini
 
Danny Wedding dan Raymond, J. Corsini, dalam Current Psychotherapies 11th ed.,(2019), menyatakan terdapat empat belas jenis psikoterapi yang umum dipraktikkan saat ini: psikoterapi psikodinamika, psikoterapi Adlerian, terapi berpusat pada klien (client centered therapy), terapi rasional emotif, terapi perilaku (cognitive therapy), terapi kognitif (cognitive therapy), psikoterapi eksistensial, terapi Gestalt, psikoterapi interpersonal, terapi keluarga, terapi berbasis mindfulness, psikoterapi positif, psikoterapi integratif, dan psikoterapi multikultural.
 
Selain jenis psikoterapi di atas, masih terdapat psikoterapi lain yang sangat disarankan untuk didalami, terapi penerimaan dan komitmen (Acceptance and Commitment Therapy / ACT) dan terapi perilaku dialektis (Dialectic Behavior Therapy / DBT).
 
Setiap jenis psikoterapi memiliki sejarah, landasan teori, paradigma, pendekatan, strategi dan tekniknya sendiri untuk membantu klien mengatasi masalah. Masing-masing digunakan sesuai kondisi dan kebutuhan untuk memberi hasil dan dampak terapeutik optimal pada klien.
 
Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan untuk Mengubah Perilaku?
 
Perubahan perilaku ternyata bukanlah hal yang mudah. Penelitian yang dilakukan oleh James Prochaska mengungkapkan bahwa perubahan perilaku memerlukan waktu yang panjang (Prochaska, Rossi, dan Wilcox, 1991).
 
Secara khusus, dalam kasus adiksi, berdasarkan sampel yang beragam dari individu yang berhasil mengubah perilaku mereka, dibutuhkan waktu rata-rata tujuh tahun dengan dua hingga tiga kali kambuh sebelum perubahan perilaku tersebut menjadi stabil dan permanen (Prochaska, DiClemente, dan Norcross, 1992).
 
Data klasik menunjukkan bahwa sekitar 70% individu yang telah berhasil mengubah perilaku seperti berhenti merokok, berhenti menggunakan obat terlarang, atau berhenti minum minuman beralkohol kembali ke perilaku lama mereka dalam waktu satu tahun (Hunt dkk., 1971). Penelitian lebih baru menunjukkan hasil yang serupa (Hughes dkk., 2004; Kirshenbaum dkk., 2009).
 
Untuk perilaku lain seperti fobia dan kesedihan mendalam, waktu yang diperlukan untuk berubah sangat bervariasi. Secara umum, individu sering membutuhkan waktu satu hingga dua tahun untuk mengenali masalah, mengambil tindakan untuk berubah, dan mempertahankan perubahan yang telah dicapai.
 
Penelitian tentang perubahan perilaku yang dilakukan selama tiga puluh tahun menyimpulkan dua temuan penting yang menjelaskan mengapa perubahan perilaku sulit dilakukan. Pertama, mengubah atau mengganti perilaku lama dengan perilaku baru tidak serta-merta menghapus perilaku lama. Kedua, perubahan perilaku bisa sangat spesifik tergantung pada konteks di mana perubahan itu terjadi (Bouton, 2014).
 
Apa yang Dimaksud Terapi Singkat?
 
Menurut James Mann (1973), terapi singkat adalah terapi yang berlangsung maksimal 12 sesi. Sementara ada pula yang menyatakan bahwa terapis tidak bisa menentukan jumlah sesi yang harus dijalani klien karena setiap masalah bersifat unik dan butuh penanganan berbeda.
 
Jeffrey Binder, William Henry, dan Hans Strupp (1987) lebih menekankan pentingnya sikap sadar waktu (time-limited attitude) daripada menetapkan jumlah sesi secara kaku. Menurut mereka, terapis perlu senantiasa menyadari pentingnya membatasi terapi untuk waktu sesingkat mungkin yang dapat dicapai. Dengan kata lain, terapis bertujuan memberikan hasil terbaik kepada sebanyak mungkin orang dalam waktu sesingkat-singkatnya (Lazarus dan Messer, 1991, p.153).
 
Terapi singkat, menurut hemat saya, mengacu pada bentuk layanan di mana terapis memiliki kesadaran terhadap waktu dan hasil, dengan fokus pada tujuan terapeutik yang spesifik. Terapis berpartisipasi secara aktif dalam proses terapi yang aman dan efektif, serta berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan terapi dalam waktu sesingkat mungkin dengan hasil yang bertahan lama. Jumlah sesi bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi klien. Dengan definisi ini, sejatinya psikoterapi apa pun dapat menjadi terapi singkat.
 
Terapi singkat tidak berarti terapis mendesak klien untuk berubah dengan layanan terapi yang sengaja dibuat singkat, misal hanya berdurasi 60 menit, sehingga klien terburu-buru dan menjadi tidak nyaman menjalani proses terapi. Terapi singkat artinya tidak satu sesi lebih dari yang diperlukan klien untuk berubah.
 
Hipnoterapi Singkat
 
Setiap proses terapi merupakan bentuk kerja sama yang setara antara terapis dan klien. Terapis, dengan persetujuan klien, memfasilitasi proses yang diperlukan agar klien dapat berubah, sementara klien harus siap, bersedia, dan sepenuh hati mengikuti arahan yang diberikan oleh terapis.
 
Untuk mencapai hasil terapi terbaik dalam waktu singkat, diperlukan dua komponen utama: kompetensi terapeutik terapis dan kesiapan serta kesediaan klien untuk berubah.
 
Dari sisi terapis, efektivitas terapi sangat dipengaruhi oleh jenis hipnoterapi yang dipraktikkan. Terdapat dua mazhab utama dalam hipnoterapi: hipnoterapi berbasis sugesti dan hipnoterapi berbasis hipnoanalisis.
 
Secara umum, hipnoterapis yang mengandalkan sugesti sebagai sarana untuk mencapai perubahan biasanya memerlukan jumlah sesi yang cukup banyak, bisa melebihi 10 sesi, untuk membantu klien berubah. Durasi setiap sesi berkisar antara 60 hingga 90 menit.
 
Semakin kompleks masalah klien, semakin banyak sesi yang dibutuhkan. Jenis hipnoterapi ini kurang efektif dalam menangani masalah berat dan kompleks, yang melibatkan emosi negatif yang intens seperti luka batin, trauma, kesedihan mendalam, pelecehan seksual, kemarahan yang ditekan, stres kronis, dan sebagainya.
 
Sebaliknya, hipnoterapi berbasis hipnoanalisis jauh lebih efektif dan efisien dalam mengatasi masalah klien karena metode ini bekerja dengan prinsip mencari, menemukan, dan menyelesaikan akar masalah secara tuntas.
 
Hipnoterapi singkat, sesuai standar Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology® (AWGI), menggunakan pendekatan hipnoanalisis yang membutuhkan antara satu hingga empat sesi perlakuan. Durasi setiap sesi berkisar antara tiga hingga empat jam.
 
Untuk dapat menjalankan hipnoterapi singkat ini, kami hanya bekerja dengan klien yang siap dan bersedia berubah. Untuk menilai kesiapan dan kesediaan klien berubah, kami menggunakan The Transtheoretical Model (Stages of Change) yang diperkenalkan pada akhir tahun 1970-an oleh peneliti James Prochaska dan Carlo DiClemente (1994, pp. 38-50).
 
The Transtheoretical Model menjelaskan enam tahap perubahan yang dilalui seseorang untuk berubah:
 
Tahap 1. Prakontemplasi
Tahap 2. Kontemplasi
Tahap 3. Determinasi
Tahap 4. Aksi
Tahap 5. Pemeliharaan
Tahap 6. Terminasi
 
Di tahap satu, Prakontemplasi, individu tidak mengetahui, tidak menyadari, atau menyangkal keberadaan masalah. Di tahap dua, Kontemplasi, individu tahu dan bersedia menerima keberadaan masalah. Namun ia masih belum merasa perlu berubah atau tidak tahu apa yang sebaiknya ia lakukan dengan kondisi yang ia alami.
 
Individu di tahap satu dan dua tidak bisa dibantu berubah karena mereka tidak siap dan tidak (belum) bersedia berubah.
 
Bila klien yang telah berada di tahap kedua, Kontemplasi, datang jumpa kami, hipnoterapis AWGI, untuk konsultasi, kami tidak akan langsung melakukan terapi. Kami akan bantu dan siapkan pikiran bawah sadar klien untuk berubah dengan strategi khusus. Dengan demikian klien secara sadar dan sukarela berpindah dari tahap dua ke tahap tiga.
 
Saat individu berada di tahap tiga, Determinasi, ia membuat keputusan dan siap berubah. Ia membuat perencanaan apa yang harus dilakukan untuk berubah, misal, mencari informasi dengan membaca buku, menghadiri pelatihan, menonton video YouTube, mencari pihak yang bisa membantunya, seperti dokter, psikiater, psikolog, terapis, konselor, pendoa, life coach, atau yang lain.
 
Di tahap empat, Aksi, individu melakukan upaya perubahan seturut yang telah ia putuskan. Di sini ia jelas akan tujuan yang hendak dicapai dan komit menjalani prosesnya dengan sungguh-sungguh.
 
Tahap lima, Pemeliharaan, adalah tahap individu secara sadar bertanggung jawab melakukan upaya pemeliharaan dan penguatan perubahan yang telah ia capai.
Tahap enam, Terminasi, adalah tahap di mana individu tidak lagi perlu melakukan upaya apa pun untuk menjaga perubahan yang telah ia capai karena perubahan ini telah stabil, menetap, dan menjadi dirinya yang baru.
 
Dari pengalaman dan temuan kami di ruang praktik, terapi yang menggunakan pendekatan, teknik, atau strategi apa pun dapat menjadi terapi singkat apabila klien, saat bertemu dengan terapis, berada pada tahap tiga, yaitu Determinasi.
 
Ini sebabnya, dalam protokol hipnoterapi AWGI, sangat ditekankan pentingnya menyiapkan klien, khususnya pikiran bawah sadarnya, untuk mendukung proses terapi yang akan dijalani, dengan memberi edukasi yang cukup dan dibutuhkan klien, membangun kesadaran klien, menjalin relasi terapeutik yang kuat antara terapis dan klien, dan membangun kepercayaan dan rasa aman dalam diri klien.
Baca Selengkapnya

Resistensi dalam Hipnoterapi

12 Mei 2024

Hipnoterapi adalah kerjasama hipnoterapis dan klien dalam upaya pemberdayaan diri, peningkatan kualitas hidup, dan kesejahteraan klien. Kita tentu berharap proses hipnoterapi berjalan dengan mudah, lancar, dan efektif. Namun, pada kenyataannya, tidak semua proses terapi berlangsung semulus yang diharapkan. Salah satu hambatan utama dalam hipnoterapi adalah resistensi.

Resistensi, dalam banyak literatur tentang hipnosis dan hipnoterapi, merujuk pada sikap dan perilaku klien yang kurang kooperatif atau cenderung menentang proses terapi yang sedang dijalani. Perilaku ini dapat menghambat efektivitas terapi dan mempersulit pencapaian hasil yang diharapkan.

Berdasar pengalaman dan temuan kami, para hipnoterapis AWGI, resistensi terjadi tidak hanya pada klien, juga pada terapis. Dalam proses terapi, resistensi dapat terjadi hanya pada klien, hanya pada terapis, atau pada keduanya secara bersamaan.

𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐓𝐞𝐫𝐚𝐩𝐢𝐬

Resistensi pada terapis, sering tidak disadari karena terapis lebih fokus pada resistensi klien. Resistensi ini menghambat terapis mencapai kinerja optimal. 

Resistensi pada terapis dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk, misalnya: terapis mampu melakukan terapi dengan efektif, tetapi kesulitan mendapatkan klien-klien baru; terapi yang dilakukan tidak efektif; terapis jarang mendapatkan klien meskipun telah berusaha mempromosikan diri melalui berbagai cara; klien sering membatalkan janji atau tidak muncul untuk sesi terapi; atau terapis merasa tidak nyaman menetapkan biaya jasa profesi yang sejalan dengan pengalaman dan kompetensinya. 

Jika ditelisik lebih dalam, resistensi pada hipnoterapis seringkali bersumber dari kepercayaan negatif yang menghambat (limiting belief). Kepercayaan negatif ini, perasaan tidak cakap, tidak mampu, tidak percaya diri, takut gagal, takut salah, tercipta karena hipnoterapis tidak mendapatkan pendidikan, bimbingan, dan supervisi yang memadai untuk menjadi hipnoterapis profesional berkompetensi terapeutik tinggi. 

Selain itu, resistensi juga bisa muncul karena terapis merasa dirinya tidak layak atau tidak pantas menerima biaya jasa profesi (fee) yang sesuai dengan kualitas layanan yang diberikan.

Terapis bisa beralasan terapi yang ia lakukan semata untuk tujuan kemanusiaan, membantu sesama. Namun dalam hati, sejujurnya, ia berharap mendapat penghargaan yang layak berupa biaya jasa profesi yang sepadan. Alasannya terkesan mulia, namun sesungguhnya ia merasa dirinya tidak layak dan tidak berharga. Kondisi ini sering tidak disadari atau diakui oleh terapis. 

Sangat penting bagi setiap hipnoterapis untuk mengidentifikasi resistensi dalam diri mereka dan segera menetralisirnya. Hanya dengan cara ini mereka mampu dan dimampukan membangun dan mengembangkan diri menjadi hipnoterapis profesional yang mampu memberi dampak positif dan nyata bagi masyarakat. 

𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐊𝐥𝐢𝐞𝐧

Resistensi pada klien bisa bersumber dari pikiran sadar (PS), pikiran bawah sadar (PBS), atau keduanya. Dalam konteks tahapan terapi, resistensi dapat muncul pada salah satu atau beberapa tahap, yaitu: wawancara, induksi, pendalaman, intervensi, dan terminasi.

Resistensi yang bersumber dari PS biasanya mudah dikenali karena klien menunjukkan sikap tidak kooperatif sejak awal. 

Resistensi yang bersumber dari PBS jauh lebih kompleks karena berkaitan dengan proses dan dinamika yang terjadi di PBS klien selama proses terapi berlangsung. Bentuk resistensi ini bisa sangat halus dan tidak terlihat secara langsung, tetapi bisa memengaruhi respons klien terhadap terapi, termasuk reaksi yang tidak terduga atau penolakan terhadap sugesti atau arahan yang diberikan oleh terapis. 

Resistensi klien yang terjadi di tahap wawancara mengakibatkan ia tidak terbuka atau jujur dalam menyampaikan masalah atau kondisinya. Mereka juga membatasi informasi yang diberikan kepada terapis dengan menjawab pertanyaan secara singkat atau seadanya, membuat proses wawancara menjadi kurang efektif.

Jika resistensi terjadi pada tahap induksi atau pendalaman, klien akan kesulitan atau tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis dalam. Biasanya, terapis akan mengganti strategi, teknik, atau menggunakan skrip lain untuk membantu klien masuk kondisi hipnosis. Namun, berdasarkan pengalaman kami, pendekatan ini sering kali tidak efektif. 

Resistensi pada tahap intervensi mengakibatkan strategi atau teknik terapi yang digunakan menjadi tidak efektif. Bentuk resistensi ini bisa berupa penolakan terhadap sugesti yang diberikan, PBS menjadi tidak responsif, klien tidak bersedia mengikuti arahan terapis, atau klien keluar dari kondisi hipnosis. 

Ketika ini terjadi, terapis harus mengevaluasi pendekatan mereka dan perlu mengambil langkah lain untuk mengatasi resistensi dan membangun hubungan terapeutik yang lebih kuat dengan klien.

Terapi yang mengandalkan sugesti biasanya didasarkan pada asumsi bahwa PBS adalah satu unit yang utuh. Sugesti diberikan kepada PBS dengan harapan akan mengubah kontennya dan menghasilkan perubahan pada perilaku atau kondisi klien. Namun, dalam kenyataannya, PBS terdiri dari unit-unit kepribadian independen yang memiliki pemikiran dan tujuan yang berbeda-beda. Kami menyebutnya sebagai Ego Personality (EP).

Ketika sugesti yang diberikan ke PBS tidak sesuai dengan tujuan atau agenda dari satu atau beberapa EP dominan, sugesti tersebut akan ditolak atau diabaikan. Ini adalah salah satu bentuk resistensi atau perlawanan PBS yang bisa terjadi saat terapi.

Selain itu, resistensi juga dapat muncul dalam bentuk gejala emosional atau fisik yang mengganggu proses terapi, hingga akhirnya terapi harus dihentikan. Contohnya, klien bisa mengalami kecemasan yang meningkat, serangan panik, sakit kepala, napas sesak, atau rasa tidak nyaman fisik signifikan lainnya saat menjalani terapi. 

Oleh karena itu, terapis perlu berhati-hati dan fleksibel dalam pendekatannya, memahami bahwa resistensi berasal dari dinamika internal dalam PBS, dan berupaya menemukan cara untuk mengatasi hambatan ini agar terapi dapat berlangsung secara efektif.

Bentuk resistensi pada tahap terminasi, salah satunya, adalah ketika klien sulit atau enggan keluar dari kondisi hipnosis. Ini juga merupakan bentuk resistensi yang bersumber dari PBS. Klien mungkin merasa nyaman berada dalam kondisi hipnosis, atau mungkin ada aspek dari pengalaman hipnoterapi yang membuat mereka enggan kembali ke kondisi sadar normal. Resistensi ini bisa menjadi tantangan bagi terapis saat mengakhiri sesi terapi.

Untuk mengatasi resistensi di tahap terminasi, terapis perlu memiliki strategi yang efektif untuk memastikan klien dapat keluar dari kondisi hipnosis dengan aman dan nyaman. 

𝐄𝐬𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢

Resistensi, apa pun bentuk dan variannya, baik yang terjadi pada terapis maupun klien, sebenarnya memiliki basis emosi yang sama: rasa takut.

Ada cara mudah untuk mengidentifikasi sumber rasa takut ini dan menghilangkannya, tetapi ini di luar cakupan pembahasan dalam tulisan ini. Namun, begitu rasa takut ini dinetralisir, proses terapi menjadi lebih mudah dan lancar.

Memahami bahwa resistensi seringkali berasal dari rasa takut dapat membantu terapis untuk lebih sensitif terhadap kebutuhan klien dan mengatasi hambatan dengan pendekatan yang lebih empatik. Terapi yang efektif membutuhkan kepercayaan dan rasa aman, sehingga mengatasi rasa takut menjadi langkah penting untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam terapi.

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢

Di awal karir saya sebagai hipnoterapis sekitar 20 tahun lalu, saya memelajari banyak teknik untuk mengatasi resistensi klien. Teknik-teknik ini tersimpan rapi di dalam "kotak peralatan terapi" saya dan siap digunakan bila dibutuhkan. Namun, pada masa itu, saya belum menyadari bahwa resistensi utama yang harus diatasi adalah resistensi pada diri saya sebagai terapis.

Seiring berjalannya waktu, dengan semakin banyak belajar dan praktik, saya akhirnya menemukan cara mudah mengatasi resistensi, baik pada diri saya sebagai terapis maupun pada klien. 

Resistensi pada terapis harus diatasi secara internal, bisa dengan menggunakan teknik swaterapi yang sesuai atau dengan bantuan terapis lainnya.

Sementara untuk klien, saya mengadopsi strategi berbeda dari yang umumnya dijelaskan dalam literatur. Biasanya, terapis mengatasi resistensi klien dengan mengarahkan pikiran klien untuk fokus pada resistensinya, terutama pada tahap induksi. Strategi ini memang efektif dan saya juga pernah menggunakannya.

Namun, resistensi juga sering muncul di tahap intervensi, yang berasal dari PBS klien. Hal ini tentu saja mengganggu proses terapi, menjadikannya lebih panjang dan melelahkan, baik bagi klien maupun bagi terapis.

Saya akhirnya menyadari bahwa cara terbaik mengatasi resistensi klien adalah dengan menyiapkan klien secara menyeluruh, baik di aspek PS maupun PBS, agar siap dan bersedia menjalani proses terapi sepenuh hati.

Persiapan ini dilakukan melalui edukasi terstruktur dan sistematis kepada klien, dimulai jauh sebelum mereka bertemu dengan terapis, dan dilanjutkan hingga pertemuan di ruang praktik.

Di ruang praktik kami, dengan memberikan edukasi yang tepat kepada klien, mereka mendapatkan pemahaman yang benar dan memberdayakan, serta menjadi siap dan bersedia menjalani sesi terapi dengan sungguh-sungguh. 

Seringkali, dengan pemahaman ini, kesadaran klien meningkat, memampukan mereka untuk melihat masalahnya dari sudut pandang yang lebih konstruktif, memberdayakan, dan akhirnya masalah klien luruh dan terselesaikan dengan sendirinya tanpa perlu intervensi dari terapis.

Baca Selengkapnya

Kondisi Hipnosis Sebagai Syarat Hipnoterapi

6 Mei 2024

Hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis untuk menangani masalah medis atau psikologis. Sementara hipnosis adalah kondisi kesadaran melibatkan perhatian terfokus dan berkurangnya kesadaran periferal yang bercirikan peningkatan kapasitas respons terhadap sugesti. Kedua definisi ini ditetapkan American Psychological Association (APA) Divisi 30 di tahun 2014 (Elkins dkk, 2015, p.6-7).

Hipnoterapi adalah terapi, menggunakan teknik atau metode apa saja, dilakukan di dalam kondisi hipnosis, untuk mencapai tujuan terapeutik spesifik. Hipnosis adalah kondisi kesadaran bercirikan pikiran sadar rileks, fungsi kritis analitis pikiran sadar menurun, disertai meningkatnya fokus dan konsentrasi, sehingga individu menjadi sangat responsif terhadap pesan atau informasi yang diberikan kepada pikiran bawah sadar (Gunawan, 2017).

Seturut definisi di atas, salah satu syarat hipnoterapi adalah klien harus berada dalam kondisi hipnosis selama proses terapi berlangsung. Ada empat cara umum untuk memasuki kondisi hipnosis: dilakukan sendiri, dibantu orang lain, menggunakan obat atau zat kimia tertentu, dan secara spontan.

Dalam konteks hipnoterapi, proses klien beralih dari kondisi kesadaran normal ke kondisi hipnosis disebut induksi. Terdapat banyak varian teknik induksi. Namun secara umum, terbagi menjadi empat kategori: induksi instan, induksi cepat, induksi panjang, dan induksi berbasis emosi.

Di kalangan hipnoterapis terdapat pemahaman salah bahwa hipnosis adalah sesuatu yang terapis lakukan pada klien. Klien masuk kondisi hipnosis karena kerja atau upaya terapis menggunakan skrip atau teknik tertentu. Klien hanya pasif dan semuanya adalah tanggung jawab terapis. Pemahaman salah ini juga saya alami dulu di awal karir saya sebagai hipnoterapis.

Berdasar pengalaman dan temuan di ruang praktik, saya merevisi pemahaman ini. Pemahaman yang benar, menjadi landasan praktik saya dan diajarkan di kelas pendidikan dan sertifikasi hipnoterapis profesional, 𝐒𝐜𝐢𝐞𝐧𝐭𝐢𝐟𝐢𝐜 𝐄𝐄𝐆 & 𝐂𝐥𝐢𝐧𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐲® (𝐒𝐄𝐂𝐇), yaitu hipnosis adalah sesuatu yang klien lakukan pada dirinya sendiri, atas persetujuan dan izin klien, dengan mengikuti tuntunan terapis. Klien aktif dan ikut serta dalam proses induksi yang difasilitasi terapis. 

Agar dicapai hasil terapi optimal, terapis selain wajib mampu melakukan induksi dengan efektif, juga perlu memahami kondisi, kedalaman, pendalaman, kestabilan, dan fenomena hipnosis. 

Terapis profesional tidak sekadar baca skrip induksi. Setiap induksi yang terapis lakukan bertujuan menuntun klien mencapai kedalaman hipnosis spesifik, seturut masalah yang hendak diselesaikan dan teknik terapi yang digunakan. 

Dari temuan kami, para hipnoterapis AWGI, bila syarat dan kondisinya terpenuhi, klien dengan sangat mudah masuk dan bertahan di kondisi hipnosis, sedalam yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalahnya. Sebaliknya, klien akan bertahan sedangkal yang dibutuhkan, demi mempertahankan keselamatan dan kesejahteraan hidupnya. 

Terapis pemula biasanya melengkapi dirinya dengan banyak skrip atau teknik induksi untuk "menghadapi" klien mereka. Pendekatan ini sangat tidak disarankan karena bisa mengakibatkan terapis bingung dalam memilih skrip dan tidak fokus. 

Sementara terapis profesional dan berpengalaman mengandalkan dan menggunakan satu atau dua skrip induksi yang telah teruji efektif menuntun klien masuk kondisi hipnosis dalam. 

Pendalaman adalah teknik yang terapis gunakan untuk menuntun klien masuk ke kondisi hipnosis yang lebih dalam lagi. Terdapat tiga teknik pendalaman yang biasanya digunakan dalam praktik hipnoterapi: verbal, visual, dan gabungan keduanya. 

Teknik pendalaman verbal adalah dengan melakukan penghitungan, bisa dengan hitungan naik atau turun. Sementara pendalaman visual adalah dengan meminta klien membayangkan ia menuruni tangga, naik eskalator, atau lift. Cara lain, klien diminta membayangkan berada di tempat kedamaian. Teknik pendalaman berbasis visual sering tidak efektif dan bisa kontraproduktif. 

Dalam penentuan kedalaman kondisi hipnosis, mayoritas hipnoterapis menggunakan fenomena fisik yang klien alami sebagai parameter, seperti napas melambat dan ritmik, wajah datar, tubuh rileks, tangan terasa berat bila diangkat, atau ada jeda dalam menjawab.  

Fenomena fisik ini tidak akurat karena hanya berlaku bagi klien dengan tipe sugestibilitas fisik, tidak untuk klien dengan tipe sugestibilitas emosi atau intelektual. Terapis profesional menggunakan parameter yang bersifat universal, berlaku untuk klien bertipe sugestibilitas fisik maupun emosi. 

Untuk menentukan kedalaman kondisi hipnosis, terapis perlu melakukan uji kedalaman, baik yang sifatnya terbuka (overt) atau tersamar (covert), dengan merujuk pada skala kedalaman. Terdapat banyak skala kedalaman hipnosis yang disusun oleh pakar hipnoterapi atau lembaga riset terkemuka, masing-masing menggunakan skala berbeda. 

Dari hasil penelusuran literatur diketahui sejauh ini terdapat 25 skala kedalaman hipnosis. Beberapa di antaranya: Davis-Husband Scale, Friedlander-Sarbin Scale, Lecron-Bordeaux Scale, The Stanford Scales of Hypnotic Susceptibility, Children Hypnotic Susceptibility Scale, Standford Clinical Case for Adults, Standford Clinical Scale for Children, Barber Suggestibility Scale, Barber Creative Imagination Scale, Heron Depth Scale, Hartman Depth Scale, The Arons Scale, Harvard Group Scale, Long Standford Scale, dan Hypnotic Induction Profile. 

Dari 25 skala hipnosis yang dijelaskan di atas, dalam dunia hipnosis dan hipnoterapi, terutama di Indonesia, yang paling dikenal adalah skala Davis dan Husband yang terdiri 30 kedalaman, terbagi menjadi lima jenjang: insusceptible, hypnoidal, light trance, medium trance, dan deep trance (profound somnambulism).

Dalam praktik membantu klien, dari pengalaman kami, hipnoterapis perlu menggunakan satu skala kedalaman sebagai acuan, tidak bisa menggunakan bebeberapa skala sekaligus, karena setiap skala, yang disusun oleh pakar atau lembaga berbeda, menggunakan jumlah kedalaman dan fenomena hipnosis berbeda. 

Seorang terapis tidak hanya harus terampil dalam membimbing klien masuk ke kondisi hipnosis dalam, tetapi juga perlu mampu menjaga klien dalam kondisi hipnosis ini selama terapi berlangsung. Hipnosis bukanlah kondisi yang statis, melainkan dinamis. Klien dapat mengalami fluktuasi pada tingkat kedalaman tertentu. Oleh karena itu, terapis harus cermat dalam mengamati dan menilai kedalaman hipnosis yang sedang dialami klien.

Kegagalan dalam proses terapi sering terjadi bukan karena teknik terapinya tidak efektif, tetapi karena kedalaman dan kestabilan kondisi hipnosis yang dialami klien tidak memenuhi syarat untuk terapi yang efektif.

Baca Selengkapnya

Wawasan Sebagai Determinan Keefektifan Hipnoterapi

22 April 2024

Tujuan utama setiap hipnoterapis adalah ia mengalami perkembangan dan pemberdayaan diri, melalui pendidikan hipnoterapi yang ia jalani, sehingga mampu membantu klien-kliennya, melalui proses konseling dan atau terapi yang aman, nyaman, relatif singkat, efektif, berdampak positif signifikan dan bertahan lama. 

Terapis pemula fokus pada teori, teknik, strategi yang digunakan dalam membantu klien mencapai tujuan terapi. Pada tahap selanjutnya, terapis yang telah berkembang wawasannya menyadari bahwa semua teknik dalam hipnoterapi harus dipraktikkan dalam hubungan interpersonal yang konstruktif, dan bahwa dalam analisis akhir, keberhasilan atau kegagalan terapi lebih ditentukan oleh sikap, kepedulian, kasih, dan hati terapis saat berhubungan dengan klien daripada apa yang ia lakukan pada klien. 

Ini menjelaskan mengapa dua praktisi menggunakan teknik yang identik namun yang satu mencapai hasil yang jauh lebih baik daripada yang lain. 

Walau tujuan hipnoterapi adalah membantu klien mengatasi masalah emosi atau perilaku, dalam hipnoterapi sejatinya terdapat dua strategi penanganan masalah, menggunakan sugesti dan hipnoanalisis. 

Hipnoterapi berbasis sugesti mengandalkan pemberian sugesti kepada klien dalam kondisi hipnosis. Pemberian sugesti dilakukan saat klien jumpa terapis di ruang praktik, dan ada pula yang direkam dan klien diminta mendengarnya berulang kali di rumah, dengan harapan sugesti ini akan memberi dampak positif dan masalah klien berhasil diatasi. Hipnoterapi berbasis sugesti bersifat "memasukkan" (putting-in). 

Hipnoterapi berbasis hipnoanalisis cukup kompleks dan butuh kecakapan tinggi agar dapat dilakukan dengan benar dan efektif. Ia mengandalkan kejelian dan rangkaian strategi untuk menelisik pikiran bawah sadar (PBS), mencari, menemukan, dan melakukan resolusi akar masalah. Hipnoterapi jenis ini bersifat "menarik keluar" (pulling-out). 

Terlepas dari jenis hipnoterapi yang dipraktikkan, syarat mutlak agar proses hipnoterapi berjalan lancar, klien harus berada dalam kondisi hipnosis dengan kedalaman tertentu, bergantung teknik yang digunakan dan tujuan terapi yang hendak dicapai. 

Untuk itu, terapis harus mampu menuntun klien masuk kondisi hipnosis, melakukan uji kedalaman dan memvalidasi kondisi hipnonis yang klien capai, serta mampu mempertahankan klien di rentang kedalaman optimal selama proses terapi berlangsung, dengan durasi antara satu hingga empat jam dalam satu sesi.  

Untuk uji kedalaman dan validasi kondisi hipnosis yang dicapai para klien, hipnoterapis AWGI menggunakan tiga uji kedalaman spesifik mengacu pada Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale, skala kedalaman hipnosis yang yang disusun tahun 2010. 

Hipnoterapi berbasis hipnoanalisis, selain mampu mengungkap materi memori yang tersembunyi atau direpresi jauh di kedalaman PBS, juga mampu melakukan resolusi akar masalah hingga akhirnya klien mencapai pemahaman mendalam tentang apa yang ia alami, wawasan (insight) konstruktif, resolutif, integratif, dan bersifat memberdayakan dirinya. 

Wawasan inilah kunci pengikat semua proses yang klien alami selama sesi terapi dan membuat hasil terapi menjadi sangat kuat dan mampu bertahan lama. Wawasan selain bersifat meningkatkan kesadaran juga menguatkan klien sehingga di masa mendatang bila klien mengalami hal serupa atau sama dengan yang dulu ia alami, kejadian serupa ini tidak lagi berdampak negatif pada klien. 

Wawasan ini tidak bisa diberikan oleh terapis pada klien, dalam bentuk sugesti. Wawasan terbaik muncul sebagai hasil proses terapi yang berpusat pada klien (client centered), setelah klien mengalami pengalaman emosional korektif tuntas. 

Dari temuan kami di ruang praktik, agar benar efektif dan berdampak optimal bagi kebaikan dan kesejahteraan klien, wawasan harus tercipta pada diri individu di usia dan momen kejadian akar masalah, tidak hanya di tataran intelektual, namun ia harus berdasarkan pengalaman, melibatkan respon afektif, motorik serta kognitif sebagai satu kesatuan.  

Baca Selengkapnya

Belajar Untuk Menjadi Cerah Dan Bijak

23 Januari 2024
Salah satu kegiatan yang sangat saya nikmati adalah sarapan pagi bersama istri dan anak-anak kami. Di kesempatan ini kami biasanya diskusi ringan membahas topik-topik hangat.
 
Saya gunakan kesempatan ini untuk cerita tentang hidup, kehidupan, sukses, nilai-nilai kebaikan, kemoralan, spiritualitas, terapi, dan hal-hal lain yang bermanfaat.
 
Pagi ini kami diskusi tentang sikap dan proses belajar yang baik dan benar. Saya sampaikan pada putri kami bahwa sejatinya ilmu itu sangat luas dan tiada batas. Apa yang kita tahu saat ini, hanya seperti sebutir pasir di hamparan pantai nan luas.
 
Untuk bisa terus maju, berkembang, dan menjadi diri terbaik, proses belajar harus berlanjut, tidak boleh berhenti. Kita harus menjadi pembelajar seumur hidup. Dan ini tentu belajar yang terarah, selektif, terstruktur, dan konsisten.
 
Saya jelaskan, ada begitu banyak pakar dan ilmuwan menghasilkan pemikiran, pengetahuan, dan teori. Kita perlu sungguh-sungguh belajar dan memutuskan untuk mendalami pemikiran pakar atau teori yang sejalan dan dibutuhkan untuk kegiatan praktis guna mencapai tujuan spesifik.
 
Kita, tidak bisa belajar semua atau sekadar menggabungkan satu teori dengan teori lain tanpa memiliki landasan pengetahuan yang benar dan kuat.
 
Bila suatu teori yang dijadikan acuan ternyata tidak bisa memberi hasil seperti yang diharapkan, atau justru menghambat upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, karena teorinya sudah usang dan ada teori baru yang lebih valid, teori lama ini harus segera ditinggalkan dan kita belajar teori baru. Bila perlu, kita membangun teori baru.
 
Yang jadi masalah adalah bila orang sudah belajar satu teori, kemudian ia merasa pintar, hebat, paling benar dan menutup diri dari informasi lain yang bisa jadi adalah informasi benar, berharga, bermanfaat.
 
Orang ini berpikiran sempit dan berhenti bertumbuh. Apalagi bila ia mulai menghakimi orang lain yang tidak sejalan dengan dirinya sebagai orang yang salah.
 
Kebenaran ilmu pengetahuan sifatnya relatif, tentatif, tidak mutlak. Artinya, kebenaran ini bisa berubah. Hal yang saat ini diyakini benar, suatu saat nanti bisa salah.
 
Sangat naif bila seseorang yang belajar teori tertentu, memperlakukan teori ini sebagai kebenaran mutlak, dan menghakimi teori lain salah, padahal ia belum mendalami teori lain ini.
 
Lebih memprihatinkan lagi bila ia tidak memiliki pengetahuan yang cukup di satu bidang tertentu, dengan keterbatasan pengetahuannya, menolak atau menghakimi hal yang bukan bidang keahliannya.
 
Penolakan seseorang terhadap hal baru atau yang tidak sejalan dengan teori yang ia pegang, yang ia yakini benar, sangat bisa dipahami dan dijelaskan dari persepektif ilmu pikiran, khususnya terkait sifat dan cara kerja pikiran bawah sadar (PBS).
 
Salah satu kebutuhan utama manusia adalah konsistensi. Bila ia menerima hal baru, yang tidak sejalan dengan teori yang ia yakini benar, maka dalam hal ini ia telah bertindak tidak konsisten. Dan ini sangat mengganggu dirinya dan dianggap bisa meruntuhkan eksistensi dirinya.
 
Ia tidak meyadari bahwa teori yang ia pelajari, yang ia yakini benar, sejatinya hanyalah ide atau produk pikiran. Teori bukan dirinya dan dirinya bukan teori.
 
Satu pernyataan Andrew Greeley sangat perlu direnungkan, "Science is a faith-based system with gatekeepers ever ready to persecute its heretics" atau "Sains adalah sebuah sistem berbasis keyakinan dengan para penjaga gerbang yang senantiasa siap menganiaya para bidah / orang sesat."
 
Harusnya, pola pikir ilmuwan sejati adalah mengikuti data, bahkan bila ternyata data ini tidak sejalan dengan teori. Saya beri beberapa contoh, bagaimana seringkali pionir atau orang yang berbeda pemikiran atau karya mendapat cemooh atau dirundung oleh sejawat atau komunitas, karena sesungguhnya karya atau pemikiran mereka jauh melampaui zamannya.
 
Di tahun 1890an, Willem Einthoven, seorang dokter Belanda, mulai mengukur medan elektromagnetik jantung manusia. Ia mulai membuat alat yang disebut galvanometer. Einthoven menghadapi banyak skeptisisme dan pertentangan dari rekan sejawat dan komunitasnya.
 
Bagi banyak rekan medisnya, yang terbiasa melihat hanya pada materi, gagasan tentang medan energi yang tak terlihat, tampak sebagai sesuatu yang mencurigakan.
 
Percobaan pertamanya tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Mesinnya berbobot 270 kg dan membutuhkan lima orang untuk mengoperasikannya. Sistem radiator berisi air diperlukan untuk mendinginkan elektromagnet kuat yang menjadi tumpuannya.
 
Setelah bertahun-tahun bekerja keras, Einthoven berhasil mengembangkan galvanometer yang jauh lebih sensitif daripada galvanometer manapun yang ada pada saat itu. Ia mampu menghubungkan subjek dan mengukur detak jantung mereka. Dia akhirnya membangun teori substansial tentang bagaimana jantung berfungsi dan apa arti pembacaan elektrokardiogram (EKG) untuk diagnosis dan pengobatan.
 
Einthoven mengabaikan para pengkritiknya dan terus bekerja. Ia memenangkan hadiah Nobel di bidang kedokteran pada tahun 1924. Ia mengilhami pencarian medan energi otak, yang ditemukan pada tahun 1926. Para peneliti kemudian dapat memetakan medan energi bahkan pada satu sel.
 
Kisah lain, dokter Hans Berger. Pada tahun 1929, setelah menyempurnakan peralatan dan keterampilannya, Hans Berger mendeskripsikan dua gelombang otak pertama yang pernah ditemukan: alfa dan beta.
 
Sayangnya, karya Berger ini bertentangan dengan teori otak yang lazim dalam pengobatan saat itu, dan karyanya ditolak oleh sebagian besar sejawatnya.
 
Ilmuwan Inggris dan Amerika percaya bahwa apa yang Berger ukur hanyalah artefak listrik. Salah satu ilmuwan menulis bahwa ia sangat skeptis terhadap kemungkinan merekam sesuatu yang penting dari permukaan otak.
 
Hans Berger dipaksa pensiun dari jabatan profesor di universitas dan kesehatannya memburuk. Ia mengalami depresi dan akhirnya bunuh diri di tahun 1941.
 
Baru setelah para peneliti kesadaran mulai menyelidiki hubungan antara pikiran dan otak pada tahun 1960an, mesin EEG mulai digunakan secara luas. Saat ini mesin EEG digunakan untuk memetakan kondisi kesadaran, fungsi otak, dan menemukan gelombang-gelombang baru, antara lain gamma.
 
Contoh lain adalah yang terjadi di tahun-tahun awal Gary Craig mengajar teknik ciptaannya, Emotional Freedom Technique (EFT). EFT adalah teknik terapi berbasis energi, menggunakan ketukan pada titik-titik meridian, sangat efektif mengatasi banyak masalah emosi.
 
Saat itu, saya ingat betul dan mengalami sendiri, para pihak "arus utama" menolak keras EFT dan menyatakan bahwa EFT tidak efektif, klien sembuh hanya karena kebetulan, hanya karena efek plasebo, tidak ilmiah, dan hanya berdasar pseudosains. Walau sudah ada begitu banyak data, hasil yang memvalidasi keefektifan EFT, tetap saja para pihak "arus utama" bergeming menolak keras.
 
Namun, masyarakat atau pengguna teknik ini, yang merasakan manfaat atau hasilnya, tetap menggunakan EFT karena memang hasilnya sangat fenomenal.
 
Saat itu saya pernah diskusi dengan sejawat pengajar di salah satu universitas, yang mengambil posisi menolak EFT. Ia beralasan bahwa cara kerja EFT tidak bisa dijelaskan dengan teori yang ia pelajari.
 
Saya tanya sejawat ini, bila memang teori yang ia pelajari tidak bisa menjelaskan cara kerja EFT, mengapa ia masih berpegang teguh pada teorinya, mengapa tidak belajar teori baru. Ia tidak menjawab pertanyaan saya dan tetap bergeming bahwa EFT adalah pseudosains.
 
Sejawat ini mengalami refleks Semmelweis, yaitu kecenderungan refleks untuk menolak bukti atau pengetahuan baru yang bertentangan dengan norma, keyakinan, atau paradigma yang sudah ada. Orang yang mengalami refleks Semmelweis sebenarnya terpenjara oleh pikirannya sendiri.
 
Saat ini, EFT diterima dan diakui sebagai salah satu teknik terapi yang sangat efektif dan ilmiah. Ada banyak buku mengulas EFT. Ada banyak penelitian aplikasi EFT untuk mengatasi banyak masalah emosi dan perilaku. Hasil penelitian ini juga telah diterbitkan di banyak jurnal ilmiah.
 
Penolakan pada hal-hal baru, terutama yang sifatnya disruptif, mengganggu kestabilan tatanan yang telah ada, adalah hal yang lumrah dan pasti terjadi.
 
Walau perubahan adalah keniscayaan, orang sering menentang dan tidak bersedia berubah, karena untuk berubah butuh kesediaan dan kesiapan, proses, upaya, dan kita harus belajar lagi. Ini yang seringkali membuat orang tidak nyaman.
 
Saya tutup diskusi pagi hari dengan pesan bahwa tujuan belajar bukan sekadar mendapat pengetahuan, menjadi pintar, tapi menjadi cerah dan bijak. Dan ciri orang cerah dan bijak adalah berpikiran terbuka, terus belajar, bertumbuh, dan tetap rendah hati.
 
Demikianlah adanya...
Demikianlah kenyataannya...
Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List