The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Hipnoterapi, Epigenetika, dan Psikoneuroimunologi: Dari Resolusi Emosi Menuju Penyembuhan Fisik

8 Oktober 2025
Hipnoterapi, Epigenetika, dan Psikoneuroimunologi: Dari Resolusi Emosi Menuju Penyembuhan Fisik

Selama berabad-abad, manusia memahami bahwa pikiran dan tubuh saling berhubungan. Namun, baru dalam beberapa dekade terakhir ilmu pengetahuan mampu menjelaskan bagaimana perasaan (emosi), keyakinan (belief), dan pengalaman batin benar-benar dapat memengaruhi sel, gen, dan sistem imun tubuh. Penjelasan modern mengenai hubungan ini lahir dari dua cabang ilmu yang berkembang pesat: epigenetika dan psikoneuroimunologi (PNI).

Kedua bidang ini memberi dasar ilmiah yang kuat untuk menjelaskan mengapa hipnoterapi, khususnya yang menggunakan pendekatan hipnoanalisis, mampu membantu klien pulih dari gangguan emosional maupun fisik melalui resolusi trauma dan perubahan keadaan emosi di tingkat pikiran bawah sadar.

 

Epigenetika: Gen Bukan Takdir, Melainkan Respons yang Dapat Berubah

Istilah epigenetics diperkenalkan pertama kali oleh Conrad Waddington melalui karya klasik The Epigenotype (1942), yang menjelaskan bagaimana gen berinteraksi dengan lingkungan dalam membentuk fenotipe (Waddington, 1942). Namun, epigenetika baru berkembang pesat sejak tahun 1990-an ketika para ilmuwan mulai memahami bahwa ekspresi gen dapat berubah tanpa mengubah urutan DNA itu sendiri (Bird, 2007; Weinhold, 2006).

Setiap sel tubuh mengandung DNA yang sama, tetapi hanya sebagian gen yang “menyala” sementara yang lain “padam”. Epigenetika bekerja seperti sistem on–off switch yang mengatur kapan suatu gen aktif atau tidak, melalui mekanisme seperti metilasi DNA, modifikasi histon, dan regulasi RNA non-koding.

Yang menarik, ekspresi gen tidak hanya dipengaruhi oleh nutrisi atau toksin lingkungan, tetapi juga oleh pikiran, emosi, dan pengalaman psikologis. Penelitian menunjukkan bahwa stres kronis dapat meningkatkan metilasi pada gen NR3C1, reseptor glukokortikoid yang mengatur respons stres, sehingga membuat tubuh lebih sensitif terhadap stres dan gangguan regulasi emosi (McGowan et al., 2009).

Sebaliknya, praktik meditasi, relaksasi, dan emosi positif seperti syukur terbukti menurunkan ekspresi gen proinflamasi serta meningkatkan gen perbaikan sel melalui mekanisme epigenetik, khususnya modifikasi histon dan penurunan aktivitas histone deacetylases (HDAC2, HDAC3, dan HDAC9) (Kaliman et al., 2014).

Epigenetika dengan demikian menegaskan bahwa gen bukanlah takdir, melainkan sistem adaptif yang merespons lingkungan internal dan eksternal. Pikiran, emosi, dan kesadaran termasuk di dalamnya.

 

Psikoneuroimunologi: Jaringan Komunikasi Pikiran, Saraf, dan Imun

Bidang psikoneuroimunologi (PNI) muncul pada akhir tahun 1970-an berkat temuan klasik Robert Ader dan Nicholas Cohen, yang menunjukkan bahwa respons imun dapat “dikondisikan” secara psikologis, artinya otak dan sistem imun berkomunikasi dua arah (Ader & Cohen, 1975).

Temuan ini membuka jalan bagi penelitian lanjutan yang menemukan hubungan langsung antara sistem saraf, hormon, dan kekebalan tubuh (Felten et al., 1987; Pert, 1997). Melalui studi anatomi dan fisiologi, David L. Felten dan rekan-rekannya memetakan jalur saraf simpatis yang terhubung langsung ke organ-organ imun seperti limpa dan kelenjar limfa, menunjukkan adanya komunikasi saraf-imun yang nyata (Immunological Reviews, 1987).

Melalui sumbu hipotalamus–pituitari–adrenal (HPA), stres psikologis menstimulasi pelepasan hormon kortisol. Dalam jangka pendek, kortisol membantu adaptasi terhadap stres. Namun, bila berlangsung kronis, kadar kortisol yang tinggi atau disregulasi justru menurunkan sensitivitas reseptor imun dan memicu peradangan sistemik (Sapolsky, 2004).

Sebaliknya, keadaan emosi yang tenang mengaktifkan sistem saraf parasimpatik dan meningkatkan tonus saraf vagus. Jalur ini menekan produksi sitokin proinflamasi, khususnya TNF-α, melalui mekanisme yang dikenal sebagai cholinergic anti-inflammatory reflex (Tracey, 2002).

Kajian lanjutan oleh Pavlov dan Tracey (2012) serta Koopman et al. (2016) memperluas temuan ini dengan menunjukkan bahwa jalur vagal juga menekan pelepasan sitokin lain seperti IL-6 dan IL-1β, yang berperan penting dalam inflamasi sistemik. Dengan kata lain, tubuh sembuh lebih cepat ketika pikiran damai dan hati tenang.

 

Emosi dan Trauma: Tubuh Menyimpan Apa yang Tidak Selesai

Dalam dua dekade terakhir, pemahaman mengenai hubungan emosi dan tubuh semakin diperdalam oleh tokoh-tokoh seperti Peter A. Levine, Bessel van der Kolk, dan Robert C. Scaer.

Levine (1997) dalam bukunya Waking the Tiger: Healing Trauma menjelaskan bahwa pengalaman traumatik yang tidak terselesaikan meninggalkan residu energi dalam sistem saraf. Energi ini tidak hilang, melainkan terjebak sebagai muatan fisiologis yang membuat tubuh tetap waspada seolah bahaya masih mengintai.

Van der Kolk (2014) menguatkan gagasan ini dalam bukunya The Body Keeps the Score. Menurutnya, trauma tidak hanya tersimpan dalam pikiran, tetapi juga dalam tubuh, dalam pola napas, ketegangan otot, dan respons refleks. Selama residu energi ini belum dilepaskan, otak bawah sadar terus menafsirkan kondisi tubuh sebagai ancaman yang belum selesai, sehingga sistem saraf tetap berada dalam mode fight, flight, atau freeze dan terus memicu produksi hormon stres.

Pemikiran ini kemudian dijabarkan lebih lanjut oleh Robert Scaer (2001, 2014) dalam The Body Bears the Burden: Trauma, Dissociation, and Disease. Ia menunjukkan bahwa trauma yang tidak terselesaikan menyebabkan respon pertahanan tubuh yang terjebak dalam keadaan “freeze”, menghasilkan disosiasi dan perubahan neurofisiologis yang nyata pada otak, sistem saraf otonom, serta sumbu HPA (hypothalamic–pituitary–adrenal axis). Energi pertahanan yang tidak terselesaikan ini menimbulkan ketidakseimbangan antara sistem saraf simpatetik dan parasimpatetik, sehingga tubuh tetap berada dalam mode siaga bahkan ketika bahaya sudah berlalu.

Scaer menegaskan bahwa reaksi trauma yang tidak selesai dapat termanifestasi sebagai berbagai gangguan psikosomatis dan penyakit kronis, mulai dari migrain, fibromialgia, gangguan pencernaan, hingga penyakit autoimun, karena tubuh secara harfiah “membawa beban” pengalaman emosional yang belum terselesaikan. Dengan kata lain, setiap trauma meninggalkan jejak biologis yang dapat diamati melalui perubahan pola saraf, hormon, dan imunologi.

Kondisi stres kronis semacam ini memiliki konsekuensi epigenetik dan imunologis yang nyata: gangguan keseimbangan hormon, penurunan sistem imun, peningkatan inflamasi, bahkan perubahan ekspresi gen yang mengatur emosi dan metabolisme.

Pandangan ini sejalan dengan temuan Candace B. Pert (1999), ilmuwan penemu reseptor opiat, yang menyatakan bahwa “the body is the subconscious mind.” Melalui penelitiannya mengenai jaringan neuropeptida dan reseptor yang tersebar di seluruh sistem saraf, endokrin, dan imun, Pert menjelaskan bahwa emosi tidak hanya terjadi di otak, tetapi juga termanifestasi di seluruh tubuh sebagai sinyal biokimia yang menyimpan memori emosional. Temuan ini menjadi fondasi bagi psikoneuroimunologi, memperlihatkan bahwa pengalaman emosional dapat mengubah fungsi seluler dan respons imun melalui jalur molekuler. Pandangan Pert menegaskan bahwa penyembuhan sejati menuntut keterlibatan tubuh dalam proses regulasi emosi dan kesadaran bawah sadar.

 

Bukti Ilmiah: Hipnosis dan Perubahan Biomarker

Sejumlah penelitian klinis menunjukkan bahwa hipnosis dan hipnoterapi berpengaruh langsung terhadap biomarker biologis yang berkaitan dengan stres, inflamasi, dan sistem imun.

  • Mawdsley et al. (2008) melaporkan bahwa gut-focused hypnotherapy pada pasien kolitis ulseratif aktif menurunkan kadar IL-6 serum hingga 53%, serta mengurangi pelepasan histamin, substance P, dan IL-13 pada mukosa usus.
  • Schoen & Nowack (2013) menemukan penurunan signifikan kadar IL-6 setelah peserta menjalani latihan self-hypnosis selama 12 minggu.
  • Kiecolt-Glaser et al. (2001) menunjukkan bahwa individu yang rutin melakukan hypnotic-relaxation training tidak mengalami penurunan fungsi imun (CD3+ dan CD4+) selama periode stres.
  • Ruzyla-Smith et al. (1995) menemukan bahwa hipnosis meningkatkan proporsi limfosit B dan T-helper pada individu dengan tingkat sugestibilitas tinggi.
  • Keefer et al. (2013) menemukan bahwa pasien kolitis ulseratif yang menjalani hipnoterapi mempertahankan durasi remisi klinis lebih panjang dibandingkan kelompok kontrol.
  • Rosenkranz et al. (2013) secara spesifik meneliti inflamasi neurogenik kulit dan menemukan bahwa intervensi berbasis perhatian penuh (mindfulness) mampu menurunkan reaksi inflamasi tersebut, memberikan bukti konkret hubungan antara proses mental dan fisiologi imun periferal.

Teknik yang digunakan dalam seluruh penelitian tersebut umumnya berbasis sugesti dan guided imagery, mencakup induksi relaksasi, visualisasi penyembuhan organ, serta pemberian sugesti positif terkait fungsi fisiologis. Pendekatan ini bersifat direktif dan simptomatik, dengan fokus pada reduksi stres serta modulasi fisiologis.

 

Hipnoterapi dan Hipnoanalisis: Mengakses dan Menyembuhkan di Pikiran Bawah Sadar

Pemahaman modern tentang keterhubungan antara pengalaman traumatis, emosi yang tidak terselesaikan secara tuntas dan tersimpan di tubuh, serta pengaruhnya terhadap sistem tubuh, seperti yang dinyatakan oleh Levine (1997), van der Kolk (2014), dan Scaer (2001, 2014) memberikan dasar ilmiah yang kuat bagi pendekatan hipnoterapi berbasis hipnoanalisis yang dikembangkan oleh Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI) melalui Quantum Hypnotherapeutic Protocol.

Dalam pendekatan ini, tubuh dipandang sebagai manifestasi dari dinamika pikiran bawah sadar. Melalui Dual Layer Therapy, terapis menuntun klien menemukan akar emosional yang belum terselesaikan di pikiran bawah sadar, kemudian menetralkannya hingga tubuh, pikiran, dan sistem saraf kembali ke keadaan homeostatik.

Dengan demikian, pandangan dan temuan Levine (1997), Pert (1999), van der Kolk (2014), Scaer (2001, 2014), dan pendekatan hipnoanalisis AWGI bertemu pada satu titik kebenaran: penyembuhan sejati hanya dapat terjadi ketika emosi yang tersimpan di tubuh dan pikiran bawah sadar diselesaikan hingga tuntas, bukan sekadar dikendalikan di permukaan kesadaran.

Berbeda dengan teknik yang digunakan dalam penelitian pengaruh hipnosis pada biomarker di atas, hipnoterapi berbasis hipnoanalisis memberikan jalan langsung untuk menjangkau lapisan terdalam dari pengalaman emosional manusia, yaitu pikiran bawah sadar (subconscious mind). Di sinilah tersimpan memori implisit, asosiasi emosional, engram, dan pola reaksi otomatis yang terbentuk sejak masa kanak-kanak.

Dalam kondisi hipnosis, fungsi faktor kritis pikiran sadar menurun drastis. Klien dapat menelusuri kembali peristiwa masa lalu yang mengandung muatan emosi kuat dan melihatnya dari sudut pandang baru yang lebih dewasa, aman, dan penuh penerimaan. Ketika emosi seperti marah, takut, benci, dendam, terluka, bersalah, atau sedih dihadirkan kembali dan dilepaskan dengan aman, dan engram bermasalah berhasil dinetralisir, sistem saraf memperoleh sinyal baru bahwa ancaman telah berakhir.

Proses ini bukan hanya perubahan psikologis, melainkan juga perubahan biologis. Resolusi emosi menormalkan aktivitas sumbu HPA, menurunkan kortisol, menenangkan sistem limbik, dan mengaktifkan sistem parasimpatik. Efek domino ini memengaruhi ekspresi gen melalui mekanisme epigenetik dan memperkuat respons imun tubuh sebagaimana dijelaskan dalam penelitian Rossi (2002). 

 

Temuan Empiris AWGI

Para hipnoterapis di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI), melalui pengalaman praktik klinis sejak tahun 2005 yang telah mencakup lebih dari 130.000 sesi terapi, menemukan pola yang konsisten.

Emosi-emosi negatif yang berasal dari pengalaman traumatis di masa lalu yang belum terproses secara tuntas, menetap atau berdiam di bagian tubuh tertentu, termasuk di organ. Terdapat dua lokasi tempat menetapnya emosi: primer dan sekunder.

Pada lokasi tertentu dapat berdiam hanya satu emosi negatif, tetapi bisa juga banyak emosi negatif (nesting), baik yang berasal dari satu kejadian maupun beberapa kejadian.

Di mana emosi-emosi ini menetap, di situ pula mereka memberi dampak negatif terhadap kondisi fisik atau fungsi organ. Selama emosi-emosi tersebut tetap berada di lokasi ini, mereka terus-menerus mengganggu.

Ketika emosi-emosi negatif yang intens dan tersimpan lama di pikiran bawah sadar berhasil diproses dan dilepaskan secara tuntas, banyak klien melaporkan terjadinya perbaikan signifikan pada kondisi fisik mereka. Hal ini juga diamati pada berbagai keluhan kronis yang sebelumnya telah mendapatkan penanganan medis, namun masih memerlukan dukungan tambahan dari sisi psikologis dan emosional.

Temuan lapangan ini sejalan dengan mekanisme ilmiah yang dijelaskan dalam kajian epigenetika dan psikoneuroimunologi: perubahan kondisi emosional di bawah sadar dapat memengaruhi sistem saraf, hormonal, dan imun, serta mendukung proses penyembuhan biologis secara menyeluruh.

Dengan demikian, hipnoanalisis bekerja di dua level sekaligus: psikologis, melalui restrukturisasi makna pengalaman; dan biologis, melalui penataan ulang sistem saraf, hormonal, serta imun.

 

Dari Pikiran ke Sel: Jalur Integratif Penyembuhan

Proses penyembuhan melalui hipnoterapi sejatinya berlangsung sebagai suatu rangkaian yang saling terjalin erat antara dimensi psikologis dan biologis. Ketika klien mengalami intervensi emosional dalam sesi hipnoterapi, terjadi pelepasan muatan emosi lama (abreaksi) disertai restrukturisasi makna terhadap pengalaman masa lalu, yang menghasilkan resolusi trauma. Pelepasan ini menandai perubahan mendalam pada tingkat pikiran bawah sadar: sistem saraf memperoleh sinyal baru bahwa peristiwa yang dahulu dianggap berbahaya kini telah selesai, aman, dan tidak lagi mengancam.

Ketika makna lama digantikan dengan persepsi baru yang lebih adaptif, sistem saraf otonom beralih dari dominasi simpatis, yang memicu respons fight or flight, menuju aktivasi sistem parasimpatik yang menenangkan. Pergeseran ini memulihkan keseimbangan fisiologis: napas melambat, detak jantung menurun, dan tubuh masuk ke keadaan relaksasi yang memfasilitasi regenerasi.

Dalam kondisi ini, perubahan juga terjadi pada tingkat hormonal dan biokimiawi. Kadar kortisol yang sebelumnya tinggi akibat stres menurun, sementara hormon seperti oksitosin dan DHEA meningkat, menciptakan keadaan internal yang mendukung perasaan aman, keterhubungan, dan pemulihan jaringan tubuh.

Sinyal biokimia yang tercipta melalui proses ini kemudian menjangkau inti sel, memengaruhi aktivitas gen melalui mekanisme epigenetik. Pola metilasi DNA dan modifikasi histon pada gen-gen yang terkait stres dan inflamasi dapat berubah, menonaktifkan ekspresi gen proinflamasi sekaligus mengaktifkan gen perbaikan sel dan homeostasis.

Efek dari perubahan ini kemudian meluas ke seluruh sistem tubuh melalui jalur psikoneuroimunologis. Sistem imun menjadi lebih seimbang, produksi sitokin proinflamasi menurun, dan proses perbaikan jaringan berjalan lebih efisien. Dengan demikian, penyembuhan yang berawal dari restrukturisasi emosi di tingkat pikiran bawah sadar berlanjut hingga ke tingkat seluler dan molekuler.

 

Kesimpulan

Epigenetika dan psikoneuroimunologi memberikan dasar ilmiah yang menjelaskan bagaimana hipnoterapi dapat bekerja secara mendalam dalam mendukung proses pemulihan fisik dan emosional. Melalui resolusi trauma serta pembentukan makna baru di pikiran bawah sadar, terjadi normalisasi sistem saraf, perbaikan regulasi hormon, dan perubahan ekspresi gen yang menurunkan inflamasi serta meningkatkan keseimbangan fisiologis tubuh.

Temuan empiris para hipnoterapis AWGI sejak tahun 2005 turut menunjukkan bahwa perubahan emosional yang mendalam sering kali disertai perbaikan kondisi fisik, menegaskan keterkaitan erat antara pikiran dan tubuh. Dengan demikian, hipnoterapi sejatinya dapat diposisikan sebagai pendekatan komplementer yang dijalankan secara selaras dengan penanganan medis, psikologis, dan spiritual, guna mewujudkan penyembuhan yang holistik dan berkelanjutan..

Dengan memahami hubungan ini, hipnoterapi tidak hanya menjadi seni transformasi psikologis, tetapi juga bagian dari ilmu penyelarasan biologis dan kesadaran manusia, yang berkontribusi pada terciptanya keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan kesejahteraan mental.

 

Referensi:  

  1. Ader, R., & Cohen, N. (1975). Behaviorally conditioned immunosuppression. Psychosomatic Medicine, 37(4), 333–340
    https://doi.org/10.1097/00006842-197507000-00007
  2. Bird, A. (2007). Perceptions of epigenetics. Nature, 447(7143), 396–398.
    https://doi.org/10.1038/nature05913
  3. Felten, D. L., Felten, S. Y., Bellinger, D. L., Carlson, S. L., Ackerman, K. D., Madden, K. S., Olschowka, J. A., & Livnat, S. (1987). Noradrenergic sympathetic neural interactions with the immune system: Structure and function. Immunological Reviews, 100(1), 225–260.
    https://doi.org/10.1111/j.1600-065X.1987.tb00534.x
  4. Kaliman, P., Álvarez-López, M. J., Cosín-Tomás, M., Rosenkranz, M. A., Lutz, A., & Davidson, R. J. (2014). Rapid changes in histone deacetylases and inflammatory gene expression in expert meditators. Psychoneuroendocrinology, 40, 96–107.
    https://doi.org/10.1016/j.psyneuen.2013.11.004
  5. Keefer, L., Kiebles, J. L., & Palsson, O. S. (2013). Hypnotherapy for ulcerative colitis: The road ahead. Alimentary Pharmacology & Therapeutics, 37(9), 902–910.
    https://doi.org/10.1111/apt.12289
  6. Kiecolt-Glaser, J. K., Marucha, P. T., Malarkey, W. B., Mercado, A. M., & Glaser, R. (2001). Slowing of wound healing by psychological stress. The Lancet, 337(8751), 1194–1196.
  7. Koopman, F. A., Chavan, S. S., Miljko, S., Grazio, S., Sokolovic, S., Schuurman, P. R., Mehta, A. D., Levine, Y. A., Faltys, M., Zitnik, R., Tracey, K. J., & Tak, P. P. (2016). Vagus nerve stimulation inhibits cytokine production and attenuates disease severity in rheumatoid arthritis. Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), 113(29), 8284–8289
    https://doi.org/10.1073/pnas.1605635113
  8. Levine, P. A. (1997). Waking the tiger: Healing trauma. Berkeley, CA: North Atlantic Books
  9. Mawdsley, J. E., Jenkins, D. G., Macey, M. G., Langmead, L., Rampton, D. S. (2008). The effect of hypnosis on systemic and rectal mucosal measures of inflammation in ulcerative colitis. American Journal of Gastroenterology, 103(6), 1460–1469. https://doi.org/10.1111/j.1572-0241.2008.01845.x
  10. McGowan, P. O., Sasaki, A., D’Alessio, A. C., Dymov, S., Labonté, B., Szyf, M., Turecki, G., & Meaney, M. J. (2009). Epigenetic regulation of the glucocorticoid receptor in human brain associates with childhood abuse. Nature Neuroscience, 12(3), 342–348
    https://doi.org/10.1038/nn.2270
  11. Pavlov, V. A., & Tracey, K. J. (2012). The vagus nerve and the inflammatory reflex—linking immunity and metabolism. Nature Reviews Endocrinology, 8(12), 743–754.
    https://doi.org/10.1038/nrendo.2012.189
  12. Pert, C. B. (1997). Molecules of emotion: The science behind mind–body medicine. New York, NY: Scribner / Simon & Schuster.
  13. Rosenkranz, M. A., Davidson, R. J., Maccoon, D. G., Sheridan, J. F., Kalin, N. H., & Lutz, A. (2013). A comparison of mindfulness-based stress reduction and an active control in modulating neurogenic inflammation. Brain, Behavior, and Immunity, 27(1), 174–184.
    https://doi.org/10.1016/j.bbi.2012.10.013
  14. Rossi, E. L. (2002). The psychobiology of gene expression: Neuroscience and neurogenesis in hypnosis and the healing arts. New York, NY: W. W. Norton & Company.
  15. Ruzyla-Smith, P., Barabasz, A., Barabasz, M., & Warner, D. (1995). Effects of hypnosis on immune response: B- and T-cell changes in high, medium, and low hypnotizable subjects. American Journal of Clinical Hypnosis, 38(2), 71–79.
    https://doi.org/10.1080/00029157.1995.10403185
  16. Sapolsky, R. M. (2004). Why zebras don’t get ulcers: An updated guide to stress, stress-related diseases, and coping (3rd ed.). New York, NY: Holt Paperbacks.
  17. Schoen, M. W., & Nowack, K. (2013). The role of hypnosis in modulating immune function: IL-6 reduction following self-hypnosis training. Complementary Therapies in Clinical Practice, 19(2), 76–80. https://doi.org/10.1016/j.ctcp.2012.12.004
  18. Tracey, K. J. (2002). The inflammatory reflex. Nature, 420(6917), 853–859.
    https://doi.org/10.1038/nature01321
  19. van der Kolk, B. A. (2014). The body keeps the score: Brain, mind, and body in the healing of trauma. New York, NY: Viking / Penguin Books.
  20. Waddington, C. H. (1942). The epigenotype. Endeavour, 1(1), 18–20.
    Reprint: International Journal of Epidemiology, 41(1), 10–13 (2012).
    https://doi.org/10.1093/ije/dyr184
  21. Weinhold, B. (2006). Epigenetics: The science of change. Environmental Health Perspectives, 114(3), A160–A167.
    https://doi.org/10.1289/ehp.114-a160

 

_PRINT