The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Konseptualisasi Pikiran Bawah Sadar

9 Mei 2023

Konseptualisasi pikiran bawah sadar datang dalam tiga gelombang besar formulasi teoretis. Gelombang pertama adalah identifikasi pikiran bawah sadar oleh Sigmund Freud lebih dari 100 tahun lalu. 

Ini adalah teori pertama kepribadian proses ganda (melibatkan pikiran sadar dan bawah sadar) dan mewakili "penemuan" pikiran bawah sadar. 

Pentingnya pikiran bawah sadar lebih lanjut ditekankan ketika Freud berhipotesis bahwa banyak pengalaman dan perilaku manusia sebenarnya adalah hasil/akibat pengaruh pikiran bawah sadar daripada proses pikiran sadar. 

Menurut Freud, pikiran bawah sadar lebih primitif dan beroperasi sesuai dengan proses berpikir primer, dengan ciri dan mekanisme utama berupa fantasi, pemenuhan keinginan, pemindahan, kondensasi, representasi simbolik, dan asosiasi (Epstein, 1994). Sebaliknya, pikiran sadar bekerja menggunakan proses berpikir sekunder, yaitu aturan logika dan rasionalitas. 

Konsep pemrosesan ganda informasi di luar kesadaran, seperti yang diajukan Freud, diterima secara luas. Namun, deskripsi Freud tentang pikiran bawah sadar sebagai sumber motivasi telah dipertanyakan karena dinilai kurang komprehensif. 

Gelombang kedua pemahaman tentang pikiran bawah sadar dikembangkan dari perspektif kognitif, bukan psikoanalitik (Epstein, 1994). Dari perspektif ini, pikiran bawah sadar dikonseptualisasikan sebagai ketidaksadaran kognitif dan tidak terkait dengan psikoanalisis. 

Sebaliknya, model kognisi bawah sadar ini menyatakan bahwa informasi diproses secara otomatis tanpa upaya sadar dan di luar kesadaran, sebagai mode operasi alami. Kihlstrom (1990) menggambarkan konseptualisasi pikiran bawah sadar ini sebagai ketidaksadaran yang “lebih baik dan lembut” dibandingkan dengan konseptualisasi psikoanalitik. 

Keterbatasan konsep ketidaksadaran kognitif adalah bahwa ia tidak mampu menjelaskan dengan baik persepsi dan perilaku yang didorong oleh emosi. Meskipun konsep ini dengan benar mengidentifikasi bahwa kognisi terjadi di luar kesadaran, ia gagal menjelaskan sepenuhnya bagaimana pikiran bawah sadar beroperasi atau memproses informasi. Oleh karena itu, berkenaan dengan hipnoterapi, konsep ketidaksadaran kognitif belum sepenuhnya memuaskan. 

Gelombang ketiga pemahaman tentang pikiran bawah sadar terjadi saat Epstein (CEST; Epstein, 1973; 1994; 2003) mengajukan teori kepribadian Cognitive-Experiential Self Theory. 

Dalam formulasi teoretis yang diajukan Epstein (1973) dinyatakan bahwa manusia memiliki dua sistem pikiran: sistem rasional dan sistem pengalaman. 

Sistem Rasional

Sistem rasional aktif bekerja karena upaya sadar, disengaja, penuh usaha, lebih lambat, logis dan beroperasi terutama melalui penggunaan bahasa. Karenanya, individu paling sadar akan sistem rasional saat dalam kondisi sadar normal (bangun). 

Sistem rasional juga berusaha menemukan hubungan sebab-akibat pada sebagian besar rangsangan yang ditemui dalam situasi sehari-hari (Epstein, 2003, 2008, 2014). 

Sistem rasional/sadar bertindak sesuai dengan seperangkat prinsip analitis dan dipengaruhi oleh nalar dan logika. Ia beroperasi sejalan dengan pemahaman seseorang tentang aturan penalaran dan bukti, serta gagasan yang dapat ditransmisikan secara budaya. Tindakannya sadar, analitis, penuh usaha, relatif lambat, bebas pengaruh, dan sangat menuntut sumber daya kognitif. 

Sistem rasional menyandikan memori melalui semantik atau bahasa, simbol abstrak, angka, huruf, dan kata-kata. Melalui sistem inilah orang dapat memecahkan masalah (rumit) secara efektif, efisien, dan mengambil prinsip-prinsip yang dipelajari dan menerapkannya di seluruh konteks. 

Sistem Pengalaman 

CEST memperkenalkan pemahaman baru dan lebih komprehensif tentang pikiran bawah sadar. Teori ini secara unik mengidentifikasi pikiran bawah sadar beroperasi sebagai sistem pengalaman yang dipengaruhi oleh emosi dan memproses informasi secara otomatis, cepat, dan mudah. 

Menurut teori ini, peristiwa-peristiwa terutama diwakili secara konkret dan imajinatif (Epstein, 1994), dan melalui penggunaan pemikiran, metafora, narasi, skrip, prototipe, dan gambar, sistem pengalaman / bawah sadar melakukan generalisasi dan merespon informasi. 

Sistem pengalaman bekerja dengan dorongan emosi dan beradaptasi berdasar pengalaman daripada dengan logika (Epstein, 2008). 

Sistem ini telah berkembang selama jutaan tahun, dan telah digunakan untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan sosial dan tuntutan situasi yang berubah dari waktu ke waktu. 

Sistem ini beroperasi sebagai sistem kognitif yang sangat dipengaruhi oleh emosi dan juga sangat memengaruhi emosi individu. Ia juga meregulasi perilaku, menjadikan pemenuhan rasa senang sebagai tujuan utama dan menghindari rasa sakit, baik secara fisik maupun emosi. 

Sistem ini bertindak cepat, berdasar pengalaman, dan tidak disadari, bersifat holistik, asosiatif, dan didorong oleh emosi (Epstein, 1994). 

Sistem ini dapat dengan cepat membuat koneksi, terutama jika asosiasi langsung bersifat menyenangkan. Ia lebih lambat berubah karena asosiasi otomatis ini berkembang secara bertahap melalui paparan berulang, atau secara akut melalui pengalaman emosional intens. Ia menyandikan informasi dengan ingatan, gambar konkret, metafora, atau narasi dengan cepat dan sering dihubungkan dengan proses bercirikan getaran, intuisi, naluri, atau firasat (Epstein, 2003, 2013). 

CEST menyatakan sistem pengalaman memengaruhi perilaku dan pemikiran individu sehari-hari hampir secara tidak sadar. Melalui sistem ini, individu mengembangkan dan memelihara skema tentang dunia, diri, dan orang lain (Epstein, 2003). 

Meskipun sistem rasional mungkin membantu mempertahankan atau membenarkan skema ini, sistem pengalamanlah yang bertanggung jawab atas penerapan otomatis dan penyesuaian skema di seluruh konteks. Sistem pengalaman kurang terorganisir daripada sistem rasional karena terdapat banyak jalur pemrosesan informasi yang dibedakan oleh kondisi afeksi diskrit. Ia juga juga dapat dikelola dengan menyelaraskan pola pemikiran dan perilaku untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem pengalaman berperan besar dalam mendorong kepercayaan terhadap takhayul, munculnya ketakutan irasional, teori konspirasi, dll. (Epstein, 2014). 

Semua informasi diproses oleh dua sistem independen namun saling berinteraksi. Walau sistem rasional (pikiran sadar) dan sistem pengalaman (pikiran bawah sadar) berinteraksi secara sinergis, kedua sistem ini sangat berbeda dalam sifat dan cara kerjanya.

Pengaruh Sistem Pengalaman terhadap Sistem Rasional

Sistem pengalaman bersifat prasadar dan bereaksi cepat terhadap situasi, yang kemudian diikuti oleh sistem pemrosesan rasional. 

Karena sistem pengalaman bereaksi secara otomatis dan dipengaruhi oleh emosi, sistem pemrosesan rasional individu dapat mengalami bias akibat respons emosional individu. Proses individu berusaha memahami sistem pemrosesan bawah sadar menggunakan sistem pemrosesan sadar disebut rasionalisasi (Epstein, 2003). 

Sistem pengalaman memproses informasi secara holistik untuk tujuan generalisasi dan beroperasi pada level yang berbeda, tinggi dan rendah. Tingkat operasi yang lebih rendah melalui pengkondisian klasik, sedangkan tingkat operasi yang lebih tinggi dari sistem pengalaman adalah pemrosesan heuristik. Pemrosesan heuristik dalam sistem pengalaman memerlukan penalaran asosiatif yang lebih mendasar dibandingkan dengan penalaran kausal yang lebih kompleks secara atribusi seperti sistem rasional. Pengolahan heuristik pengalaman telah ditemukan, meskipun tidak selalu, menjadi sumber irasionalitas (Epstein, 2003). 

Pengaruh Sistem Rasional terhadap Sistem Pengalaman

Karena sistem rasional beroperasi pada kecepatan yang lebih lambat daripada sistem pengalaman, ia berada pada posisi yang memungkinkan untuk bisa mengoreksi banyak proses yang dilakukan sistem pengalaman (Epstein, 2003). 

Sistem rasional tidak hanya dapat memahami cara kerja sistem pengalaman tetapi juga dapat memahami skema yang mendasarinya. Pemrosesan rasional seperti ini dapat mencakup aspek kesadaran diri dan pengendalian diri, di mana pemikiran analitis memungkinkan seseorang mengesampingkan dorongan atau impuls dan membuat keputusan berbeda. Melalui kejadian berulang seperti ini, pemikiran dan perilaku rasional dapat menjadi kebiasaan atau prosedural. 

Cara lain yang memungkinkan sistem rasional dapat memengaruhi sistem pengalaman adalah dengan mengidentifikasi dan memahami aspek sistem pengalaman yang tidak logis dan melakukan tindakan korektif untuk menyesuaikan dan mendorong hasil yang lebih baik. Jenis proses seperti ini dapat lebih mudah dilihat saat menguji penerapan CEST dalam konteks terapi. 

Meskipun sistem pengalaman tidak dapat memahami sistem rasional, sistem rasional dapat memahami proses sistem pengalaman. Dengan demikian, pikiran, emosi, dan perilaku maladaptif dapat diperbaiki melalui terapi. 

Menurut CEST, terdapat tiga cara menghasilkan perubahan dalam pemrosesan informasi sistem pengalaman. 

Pertama, individu dapat dibuat sadar akan pemrosesan pengalaman mereka, dengan cara yang memungkinkan mereka mengakui asal mula irasionalitas dan terlibat dalam pemikiran dan perilaku korektif. Ini kemudian membuka jalan untuk mengubah dan melatih sistem pengalaman sesuai yang diinginkan. 

Kedua, pengalaman koreksi diri dapat menyebabkan perubahan dalam sistem pengalaman. Ini dapat berasal dari pengalaman negatif yang dialami atau belajar dari pengalaman secara lebih umum. 

Dalam hal ini, idenya adalah bahwa sistem pengalaman akan menghindari emosi negatif, rasa tidak nyaman, dan mengejar emosi positif (selama pengalaman tersebut dapat diterima dan sehat). 

Ketiga, perubahan dalam sistem pengalaman kemungkinan besar terjadi ketika individu berusaha belajar melalui narasi, gambaran mental, atau fantasi. Semua cara ini sejalan dengan sistem pengalaman dan dengan demikian memberikan fenomena seperti berbicara dalam bahasa yang sama (Epstein, 2003). 

Berikut ini perbandingan kedua sistem, seperti yang dikemukakan Epstein (dalam Weiner, 2013): 

Sistem Rasional (Pikiran Sadar)

  1. Analitis
  2. Logis: Berorientasi pada alasan dan akurasi, beroperasi dengan prinsip realitas.
  3. Hubungan sebab-akibat.
  4. Lebih berorientasi pada proses.
  5. Perilaku dimediasi oleh penilaian kejadian secara sadar.
  6. Mengkodekan realitas dalam simbol, kata, dan angka abstrak.
  7. Pemrosesan lebih lambat: Mampu melakukan tindakan yang tertunda lama.
  8. Berubah lebih cepat: Bisa berubah seturut kecepatan berpikir.
  9. Diferensiasi lebih tinggi: Pemikiran yang berdimensi dan bernuansa.
  10. Lebih terintegrasi: Terorganisir menurut generalisasi lintas situasi.
  11. Berpengalaman secara aktif dan sadar: Individu percaya bahwa ia mengendalikan pikiran sadarnya.
  12. Membutuhkan pembenaran melalui logika atau bukti.

Sistem Pengalaman (Pikiran Bawah Sadar):

  1. Holistik
  2. Emosional: Berorientasi rasa senang-sakit, beroperasi dengan prinsip hedonis.
  3. Hubungan asosiatif.
  4. Lebih berorientasi pada hasil.
  5. Perilaku yang dimediasi oleh “getaran” dan emosi dari pengalaman masa lalu.
  6. Menyandikan realitas dalam gambaran konkret, generalisasi primer, metafora, dan narasi.
  7. Pemrosesan lebih cepat: Berorientasi pada tindakan segera.
  8. Lebih lambat berubah: Perubahan dengan pengalaman berulang atau intens.
  9. Diferensiasi lebih kasar: Gradien generalisasi luas; berpikir kategoris.
  10. Terintegrasi lebih kasar: Disosiatif, terorganisir dalam bagian oleh kompleks emosional (modul kognitif-afektif).
  11. Dialami secara pasif dan prasadar: Kita merasa dikuasai oleh emosi kita.
  12. Yakin dengan sendirinya: “Mengalami adalah percaya”

 

Baca Selengkapnya

Luka Batin

31 Maret 2023

Luka batin adalah pengalaman atau kejadian hidup, bermuatan emosi negatif (sangat) intens dan belum tuntas terselesaikan, mengendap di pikiran bawah sadar, mengganggu kestabilan sistem psikis dan hidup individu. 

Ada yang menyebutnya dengan pengalaman traumatik atau akar kepahitan. Kejadiannya bisa berawal sejak masa di dalam kandungan ibu.

Apa pun label yang diberikan pada kejadian-kejadian ini, semuanya memiliki ciri sama. Terdapat emosi negatif dengan intensitas tertentu yang lekat pada memori.  

Bila ditulis dalam bentuk persamaan, LUKA BATIN = MEMORI x EMOSI NEGATIF INTENS.

Sekarang, pertanyaannya, dari mana muncul emosi negatif?

Saat individu mengalami pengalaman atau kejadian tertentu, melalui proses yang sangat cepat, pikiran bawah sadar (PBS) memberi makna pada kejadian ini. Ada tiga kemungkinan makna yang tercipta: positif, netral, negatif. Seturut makna kejadian, muncul emosi: positif, netral, negatif. 

Emosi-emosi ini selanjutnya lekat pada memori kejadian. Bila emosinya positif atau netral, ini tidak menimbulkan masalah. Bila emosi yang lekat pada memori kejadian adalah emosi negatif, ini disebut luka batin. 

Saya beri catatan sedikit. Emosi positif intens, pada kondisi tertentu bisa jadi sumber masalah. Saya tidak bahas dalam tulisan ini karena fokus pada topik luka batin. 

Ada banyak cara menyembuhkan luka batin. Apapun caranya, selalu ada yang sama. Luka batin hanya bisa sembuh bila salah satu atau dua kondisi berikut terpenuhi. 

Pertama, memori kejadian dihilangkan atau dihapus. Kedua, emosi yang lekat pada memori berhasil dinetralisir secara tuntas. 

Kembali pada persamaan LUKA BATIN = MEMORI x EMOSI NEGATIF INTENS. Bila MEMORI = 0, atau EMOSI NEGATIF INTENS = 0, atau MEMORI dan EMOSI NEGATIF INTENS keduanya = 0, maka LUKA BATIN = 0. Dengan kata lain, tidak ada luka batin, individu sembuh. 

Dalam praktik, memori tidak bisa dihilangkan permanen, tapi dengan teknik tertentu ia bisa disembunyikan atau direpresi sehingga sulit atau tidak bisa diakses. 

Strategi ini tidak dianjurkan, dalam konteks terapi, karena dengan memori tidak bisa diakses, seolah memori = 0. 

Dengan demikian, persamaan LUKA BATIN menjadi:

LUKA BATIN = MEMORI x EMOSI NEGATIF INTENS
                   = 0 x EMOSI NEGATIF INTENS
                   = 0

Secara matematis, saat Luka Batin = 0, ini artinya tidak ada luka batin, atau individu sembuh. 

Benarkah demikian? Tidak. 

Memori yang tidak bisa diakses tetap menyimpan bara api emosi negatif intens yang sangat destruktif. Emosi ini akan terus mengganggu sistem psikis. Dan ini justru sangat berbahaya. 

Memori ini sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan, bisa karena kekuatan yang menekan (represi) memori ini lemah atau hilang, bisa karena terpicu oleh situasi atau kondisi tertentu, bisa juga karena PBS memutuskan memunculkannya kembali karena alasan dan tujuan tertentu. 

Memori tetap perlu bisa diakses sepenuhnya, karena memori ini berisi pesan atau pelajaran hidup untuk kebaikan individu. Jadi, opsi "menghilangkan" memori bukan pilihan baik, aman, dan bijak. 

Sekarang, untuk opsi kedua, menetralisir emosi negatif. Emosi negatif = 0. 

LUKA BATIN  = MEMORI x EMOSI NEGATIF INTENS
                      = MEMORI x 0 
                      = 0

Bila ini yang terjadi, luka batin benar sembuh karena emosi negatif telah dinetralisir, sementara memori tetap utuh. 

Saat individu ingat kembali kejadian masa lalu, yang sebelumnya mengganggu hidupnya, perasaannya netral. Inilah yang dimaksud dengan sembuh. Ini yang dimaksud Forgive bu Not Forget, atau Memaafkan tapi tidak melupakan 

Bila dicermati, apapun cara yang digunakan untuk menyembuhkan luka batin, pasti masuk ke dalam salah satu dari dua kelompok berikut: tanpa memproses akar masalah dan memproses akar masalah. 

Pada kelompok pertama, tanpa memproses akar masalah, bisa digunakan sugesti, doa, laku atau ritual tertentu, teknik-teknik berbasis proyeksi, respon ideomotor, energi tubuh, sistem meridian, cakra, medan morfik, kesadaran, mindfulness, dll. 

Cara ini lebih mudah, sederhana, dan tidak butuh keterampilan tinggi. Dari pengalaman dan temuan kami, upaya menyembuhkan luka batin tanpa memproses akar masalah, langsung menetralisir emosi negatif, bisa hanya butuh satu atau dua sesi, dan bisa juga sampai lebih dari sepuluh sesi.

Butuh satu dua sesi bila luka batin ini berasal dari kejadian tunggal. Bila luka batin adalah akibat dari akumulasi banyak kejadian yang dialami dalam rentang waktu tertentu, di mana pada setiap kejadian lekat emosi-emosi negatif intens, ini butuh waktu jauh lebih lama untuk bisa sembuh. 

Kondisi menjadi lebih rumit karena emosi bisa tinggal di satu atau beberapa lokasi tubuh. Bila proses pembersihan emosi tidak tuntas, luka batin tidak sembuh sepenuhnya. 

Intinya, emosi negatif yang menjadi sumber masalah, tuntas dikeluarkan dari sistem psikis / tubuh sehingga sistem psikis / tubuh kembali pada keseimbangan (ekuilibrium) yang sehat. 

Upaya menyembuhkan luka batin dengan memproses akar masalah butuh keterampilan terapeutik tinggi dan perlu dilakukan dengan sangat hati-hati dan cermat, dan biasanya hanya butuh satu atau dua sesi untuk sembuhkan luka batin. 

Yang dimaksud akar masalah adalah kejadian paling awal, biasanya diperkuat oleh satu atau beberapa kejadian lanjutan, yang menjadi dasar terciptanya luka batin.  

Melalui proses rekonstruksi memori, edukasi, persuasi, dan pengalaman emosional korektif PBS, terjadi pelepasan emosi negatif pada akar masalah. Dan mengingat yang diproses adalah memori kejadian dan emosi negatif maka kesembuhan luka batin bersifat tuntas. 

Baca Selengkapnya

Standar AWGI dan Revisi Standar Pelatihan Hipnoterapi Tingkat Dasar ASCH

26 Februari 2023

Hipnosis adalah kondisi kesadaran melibatkan perhatian terfokus dan berkurangnya kesadaran periferal yang bercirikan peningkatan kapasitas respons terhadap sugesti. Sementara hipnoterapi (atau hipnosis klinis) adalah pemanfaatan hipnosis dalam penanganan masalah medis atau psikologis. Kedua definisi ini ditetapkan APA Divisi 30 tahun 2014 (Elkins dkk, 2015, p.6-7).

Hipnosis, menurut AWGI, adalah kondisi kesadaran bercirikan pikiran sadar rileks, fungsi kritis analitis pikiran sadar menurun, disertai meningkatnya fokus dan konsentrasi, sehingga individu menjadi sangat responsif terhadap pesan atau informasi yang diberikan kepada pikiran bawah sadar. Hipnoterapi adalah terapi, menggunakan teknik atau metode apa saja, yang dilakukan di dalam kondisi hipnosis, untuk mencapai tujuan terapeutik spesifik (Gunawan, 2017).

Di sini sangat jelas bahwa dalam hipnoterapi, hipnosis adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi. Tanpa (kondisi) hipnosis, apapun yang dilakukan untuk membantu klien mengatasi masalah medis atau psikologis bukan hipnoterapi. 

Dalam hipnoterapi, klien perlu dituntun, menggunakan teknik induksi sesuai situasi, kondisi, dan kebutuhan, masuk ke kedalaman hipnosis dalam (profound somnambulism) sebelum terapi dilakukan.

Kedalaman ini dibutuhkan agar trance logic pikiran bawah sadar aktif, klien menjadi sangat responsif terhadap pesan atau informasi yang diberikan padanya, dan mampu mengalami berbagai fenomena mental yang sangat dibutuhkan untuk kelancaran dan keberhasilan terapi, seperti hipermnesia, revivifikasi, halusinasi positif atau negatif baik secara visual, auditori, atau kinestetik, dan regresi. 

Menyadari betapa penting kondisi hipnosis sebagai syarat keberhasilan hipnoterapi, di kelas 𝐒𝐜𝐢𝐞𝐧𝐭𝐢𝐟𝐢𝐜 𝐄𝐄𝐆 & 𝐂𝐥𝐢𝐧𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐲® (SECH) selama tiga hari pertama, dari total sepuluh hari pelatihan tatap muka, peserta didik mendapat penjelasan mendalam tentang teori, cara kerja, sifat, fungsi pikiran bawah sadar, kedalaman hipnosis seturut Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale, fenomena-fenomena mental, latar belakang dan teknologi di balik Adi W. Gunawan (AWG) Induction, dan praktik induksi secara intensif tersupervisi. 

Selama di kelas, peserta menyaksikan demo praktik induksi, pendalaman, dan tuntunan keluar dari kondisi hipnosis. Setelahnya, dilakukan diskusi dan tanya jawab intens. Baru setelah mereka benar mengerti, masing-masing peserta diberi kesempatan praktik induksi lengkap tersupervisi kepada empat peserta lainnya. 

Selama melakukan praktik induksi, mereka juga belajar mengenali ciri-ciri kondisi hipnosis yang dialami temannya. Ini penting untuk memastikan klien benar telah masuk kondisi hipnosis dalam. 

Setelah tiga hari pelatihan, peserta pulang ke rumah dan mendapat tugas melakukan praktik induksi lengkap kepada minimal 10 (sepuluh) klien. Mereka wajib melaporkan setiap induksi yang dilakukan beserta hasilnya. 

Rata-rata peserta melakukan induksi kepada 10 hingga 20 klien. Bahkan ada yang melakukan kepada 40 klien. Kompetensi yang dibangun melalui praktik induksi sangat penting untuk tahap belajar selanjutnya. 

Bila dihitung waktu belajar dan praktik induksi di kelas, dan praktik induksi secara mandiri kepada 15 klien, setiap peserta telah menginvestasikan waktu minimal 25 jam atau 1.500 menit untuk membangun kompetensi melakukan induksi. 

Ini penting dikemukakan karena standar pendidikan hipnoterapis AWGI mengacu pada dua lembaga hipnoterapi terkemuka dunia, 𝐀𝐦𝐞𝐫𝐢𝐜𝐚𝐧 𝐂𝐨𝐮𝐧𝐜𝐢𝐥 𝐨𝐟 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐭𝐢𝐬𝐭 𝐄𝐱𝐚𝐦𝐢𝐧𝐞𝐫𝐬 (ACHE) dan 𝐓𝐡𝐞 𝐀𝐦𝐞𝐫𝐢𝐜𝐚𝐧 𝐒𝐨𝐜𝐢𝐞𝐭𝐲 𝐨𝐟 𝐂𝐥𝐢𝐧𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐬𝐢𝐬(ASCH). 

Di tahun 2019, ASCH melakukan revisi standar pelatihan level 1 (dasar) mereka. Dalam revisi terbaru ini ASCH menambah jumlah jam yang didedikasikan khusus untuk pengajaran dan pembelajaran berbasis pengalaman pada praktik induksi, pendalaman kondisi hipnosis, dan tuntunan keluar dari kondisi hipnosis. 

Standar baru ASCH mewajibkan 120 menit belajar teknik-teknik induksi dan menuntun subjek keluar kondisi hipnosis, dan 60 menit untuk mengulas dan demonstrasi aplikasi teknik pendalaman kondisi hipnosis. 

Syarat ini terlihat sangat ringan, namun ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk proses belajar tatap muka di kelas. 

Syarat ini masih perlu ditindaklanjuti dengan pembelajaran kelompok, di mana peserta bertemu, berlatih, mengulas dan mengenali karakteristik kondisi hipnosis, dan melakukan praktik induksi dengan total waktu 435 menit. 

Dengan demikian, para calon hipnoterapis mendapat tambahan paparan dan penguatan akan pentingnya penguasan teknik-teknik induksi, pendalaman, dan tuntunan keluar dari kondisi hipnosis. 

Di sini tampak jelas bahwa setiap praktisi hipnoterapi wajib memiliki kompetensi tinggi dalam melakukan induksi hipnotik dengan prosedur yang benar dan efektif.  

Sebelum revisi ini, standar pendidikan hipnoterapi yang digunakan untuk level dasar dan menengah ASCH dijelaskan dalam buku manual berjudul 𝐋𝐞𝐚𝐫𝐧𝐢𝐧𝐠 𝐂𝐥𝐢𝐧𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐬𝐢𝐬 : 𝐀𝐧 𝐄𝐝𝐮𝐜𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 𝐑𝐞𝐬𝐨𝐮𝐫𝐜𝐞𝐬 𝐂𝐨𝐦𝐩𝐞𝐧𝐝𝐢𝐮𝐦 yang ditulis oleh 𝐃. 𝐂𝐨𝐫𝐲𝐝𝐨𝐧 𝐇𝐚𝐦𝐦𝐨𝐧𝐝, 𝐏𝐡.𝐃., diterbitkan oleh 𝐓𝐡𝐞 𝐀𝐦𝐞𝐫𝐢𝐜𝐚𝐧 𝐒𝐨𝐜𝐢𝐞𝐭𝐲 𝐨𝐟 𝐂𝐥𝐢𝐧𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐬𝐢𝐬. 

Dalam manual ini sangat detil dijelaskan apa yang perlu diajarkan pada level dasar (basic) dan level menengah (intermediate), lengkap dengan alokasi waktu untuk setiap topik bahasan. 

Dengan revisi terbaru ASCH ini tersampaikan pesan bahwa kompetensi melakukan induksi hipnotik, pendalaman, dan tuntunan keluar dari kondisi hipnosis adalah kompetensi penting dan sangat mendasar untuk setiap hipnoterapis. 

Bila mengacu pada standar ASCH terbaru, dalam konteks waktu belajar dan praktik untuk membangun kompetensi induksi, standar waktu AWGI hampir dua setengah kali lebih banyak dari waktu yang ditetapkan ASCH untuk para anggotanya. 

Baca Selengkapnya

Definisi Hipnosis dan Hipnoterapi Terkini

18 Februari 2023

American Psychological Association (APA) Divisi 30, Society of Psychological Hypnosis, telah tiga kali merumuskan definisi hipnosis, tahun 1993, 2003, dan terakhir 2014, sebagai acuan para praktisi dan peneliti pengguna hipnosis dalam kegiatan mereka. 

Definisi hipnosis yang dirumuskan APA, tahun 1993, menggambarkan posisi sejumlah peneliti yang mendukung perbedaan perspektif teoretis namun terutama mengidentifikasi hipnosis sebagai prosedur di mana seorang penyembuh profesional atau peneliti memberi sugesti pada klien atau pasien, atau subjek penelitian untuk mengalami perubahan sensasi, persepsi, pikiran atau perilaku (Kirsch, 1994b, p.143). 

Definisi ini juga meliputi daftar beberapa kegunaan hipnosis dan menyatakan hipnosis telah digunakan dalam penanganan rasa sakit, depresi, kecemasan, stres, gangguan kebiasaan, dan banyak masalah psikologis dan medis lainnya (Kirsch, 1994b, p.143).

Setelah publikasi definisi resmi hipnosis pada tahun 1994, muncul keprihatinan dan kritik karena definisi ini tidak memuaskan banyak pihak. Definisi ini mendapat kritik karena terlalu panjang dan memiliki keterbatasan teoretis signifikan.

Segera setelah publikasi definisi hipnosis pada tahun 1994, komite eksekutif APA Divisi 30 mulai menangani masalah ini. Namun upaya revisi ternyata menjadi tugas yang tidak mudah. Walau definisi tahun 1994 ini belum memuaskan, ia berlaku selama lebih dari satu dekade.

Kesulitan dari perumusan definisi disebabkan oleh dua faktor. Pertama, mekanisme yang menjadi dasar terjadinya efek hipnosis belum sepenuhnya teridentifikasi. Kondisi ini mengakibatkan sulit tercapai konsensus atas definisi hipnosis. Kedua, alasan timbul ketidaksetujuan atas definisi hipnosis karena argumentasi tentang akurasi suatu definisi pasti terjadi bila definisi ini melibatkan bias teoretis (Elkins dkk, 2015).

Teori-teori hipnosis yang dimaksud antara lain teori neodisosiasi (Hilgard, 1973), teori sosiokognitif (Spanos, 1991), teori pengharapan respon (Kirsch, 1985), dan teori kendali terdisosiasi (Woody dan Bower, 1994). 

Setelah melalui proses yang cukup panjang, di tahun 2003, APA Divisi 30 mengumumkan definisi hipnosis, yang dibatasi pada prosedur yang digunakan dalam penelitian dan praktik klinis (Green et al., 2005, p.262).

Definisi hipnosis ini panjangnya dua paragraf: 

Hipnosis biasanya melibatkan pengenalan prosedur di mana subjek diberitahu tentang pemberian  sugesti untuk pengalaman imajinatif. Induksi hipnotik adalah kelanjutan dari sugesti awal untuk menggunakan imajinasi seseorang, dan dapat berisi penjelasan lebih lanjut dari penjelasan awal. Prosedur hipnosis digunakan untuk mendorong dan menilai respons terhadap sugesti. Saat menggunakan hipnosis, satu orang (subjek) dituntun oleh orang lain (hipnotis) untuk merespon sugesti perubahan pada pengalaman subjektif, perubahan persepsi, sensasi, emosi, pemikiran, atau perilaku. Orang juga dapat belajar swahipnosis, yaitu tindakan melakukan prosedur hipnosis pada diri sendiri. Jika subjek merespon sugesti hipnotik, umumnya disimpulkan telah terjadi hipnosis. Banyak yang percaya bahwa respons dan pengalaman hipnotik adalah karakteristik kondisi hipnosis. Beberapa orang berpikir bahwa tidak perlu menggunakan kata hipnosis sebagai bagian dari induksi hipnotik, sementara yang lain memandang ini sebagai hal penting. 

Rincian prosedur dan sugesti hipnotik akan berbeda bergantung pada tujuan praktisi dan tujuan upaya klinis atau penelitian. Secara tradisional, prosedur hipnosis melibatkan sugesti untuk menjadi rileks, meskipun rileksasi bukan keharusan untuk hipnosis, dan berbagai macam sugesti dapat digunakan termasuk sugesti untuk menjadi lebih waspada. Sugesti yang memungkinkan sejauh mana hipnosis dinilai dengan membandingkan respons terhadap skala standar dapat digunakan baik dalam ranah klinis maupun penelitian. Sementara mayoritas individu responsif terhadap setidaknya beberapa sugesti, skor pada skala standar berkisar dari tinggi hingga dapat diabaikan. Secara tradisional, skor dikelompokkan ke dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi. Seperti halnya dengan ukuran konstruk psikologis skala positif lainnya seperti perhatian dan kesadaran, arti penting bukti untuk mencapai kondisi hipnosis meningkat seturut skor individu. (Green dkk., 2005, p.262-2633).

Definisi hipnosis tahun 2003 telah mengalami kemajuan berarti, namun kurangnya kehati-hatian dan pembatasan pada prosedur dipandang sebagai kekurangan signifikan. 

Di tahun 2013, Dr. Arreed Barabasz selaku presiden Divisi 30 APA menunjuk komite baru, Hypnosis Definition Committee (HDC) untuk merevisi definisi hipnosis. HDC beranggotakan Gary R. Elkins (Ketua), David Spiegel, James R. Council, dan Arreed F. Barabasz.

Untuk mencapai tujuan ini, HDC mengacu pada pedoman berikut:

• Definisi harus berupa deskripsi singkat yang mengidentifikasi objek yang dimaksud dan karakteristiknya.

• Definisi harus bersifat heuristik dan mengakomodir teori-teori alternatif terkait mekanisme hipnosis.

Setelah mendapat banyak saran dan masukan dari berbagai pihak, akhirnya pada tanggal 24 Maret 2014 HDC (APA Divisi 30) berhasil merumuskan dan mencapai konsensus definisi hipnosis yang baru: 

"Hipnosis adalah kondisi kesadaran melibatkan perhatian terfokus dan berkurangnya kesadaran periferal yang bercirikan peningkatan kapasitas respons terhadap sugesti (Elkins dkk, 2015, p.6).

Dan definisi hipnoterapi (atau hipnosis klinis) adalah pemanfaatan hipnosis dalam penanganan masalah medis atau psikologis (p.7).

Kami (AWGI) mendefinisikan hipnosis sebagai kondisi kesadaran bercirikan pikiran sadar rileks, fungsi kritis analitis pikiran sadar menurun, disertai meningkatnya fokus dan konsentrasi, sehingga individu menjadi sangat responsif terhadap pesan atau informasi yang diberikan kepada pikiran bawah sadar (Gunawan, 2017).

Definisi hipnosis versi AWGI dan APA Divisi 30 sama-sama menyatakan bahwa hipnosis adalah kondisi kesadaran, karena memang demikianlah adanya, sesuai dengan yang kami temukan dan alami di ruang praktik saat menangani klien. 

Sementara definisi hipnoterapi, menurut AWGI, adalah terapi, menggunakan teknik atau metode apa saja, yang dilakukan di dalam kondisi hipnosis, untuk mencapai tujuan terapeutik (Gunawan, 2017).

Baca Selengkapnya

Fenomena Pull Effect

3 November 2022

Beberapa waktu lalu saya menulis tentang fenomena Dapikin. Dalam kesempatan ini, saya akan bahas fenomena menarik lainnya, fenomena Pull Effect.

Pull Effect adalah istilah yang saya ciptakan untuk menjelaskan fenomena unik yang ditemukan dalam proses hipnoterapi.

Ceritanya begini. Dalam proses terapi, seturut protokol AWGI, hipnoterapis melakukan hipnoanalisis, menelusuri labirin pikiran bawah sadar (PBS) klien, tentu atas izin klien, untuk menemukan akar masalah atau kejadian paling awal penyebab simtom.

Dalam beberapa kasus yang kami tangani, dan ini juga terjadi di salah satu sesi live therapy yang saya lakukan minggu lalu di kelas SECH, PBS tidak mengizinkan klien diregresi ke masa lalunya. Yang terjadi adalah PBS menghentikan proses regresi di satu kejadian tertentu, yang kami tahu tidak mungkin adalah akar dari masalah klien.

Klien yang saya terapi punya masalah mudah marah. Emosinya mudah terpicu bahkan untuk hal-hal sepele. Klien sadar ia tidak perlu marah. Namun, saat ada kejadian pemicu, emosi marah klien muncul dan sangat sulit dikendalikan.

Usia klien 35 tahun. Dari pengalaman kami selama ini, biasanya akar masalah terjadi terutama dalam rentang usia antara 0 hingga 10 tahun. Ada ditemukan akar masalah terjadi di usia remaja.

Hasil hipnoanalisis membawa klien mundur ke masa enam bulan lalu, saat ia mengalami kejadian yang membuatnya sangat marah, emosinya benar-benar intens.

Dari hasil verifikasi, diketahui bahwa sumber emosi marah ini bukan di kejadian ini, tapi ada di kejadian pada waktu yang lebih awal lagi.

Saya kembali menggunakan teknik penelusuran PBS untuk menemukan kejadian paling awal. Dua kali upaya penelusuran dilakukan, dua kali PBS memblok dan tidak mengizinkan klien mundur ke masa lalunya.

Apa yang perlu dilakukan dalam situasi ini? Seturut protokol AWGI, hambatan penelusuran ini terjadi dalam dua bentuk. Dan berdasar jenis hambatan yang dilakukan PBS, terapis memutuskan apakah akan tetap mengupayakan regresi lagi atau cukup berhenti sampai di kejadian yang diungkap PBS.

Saya memutuskan untuk berhenti melakukan penelusuran lanjutan, karena kriteria dan jenis hambatan yang dilakukan PBS mengindikasikan kejadian ini, walau baru berselang enam bulan dari saat klien menjalani sesi hipnoterapi, adalah kejadian yang dapat menghasilkan Pull Effect atau Efek Tarikan.

Saya proses kejadian ini hingga tuntas dengan teknik rekonstruksi dan atau rekonsiliasi yang sesuai, tentu menggunakan protokol Dual-Layer Therapy seperti yang diajarkan di kelas SECH.

Hasilnya? Saat dilakukan dua kali pengujian hasil terapi, klien tidak lagi reaktif, atau mudah terpicu emosinya saat mengalami kejadian yang sebelumnya mudah membuat ia marah.

Pertanyaannya, mengapa hanya dengan memproses kejadian yang terjadi dalam waktu dekat, bukan kejadian di masa lalu yang jauh, masalah klien berhasil diatasi?

Kasus terapi lain dilakukan peserta SECH, dalam proses sertifikasi hipnoterapis di AWGI, juga menunjukkan dampak dari Pull Effect.

Peserta ini membantu klien dengan masalah tidak percaya diri bila tampil di depan umum. Saat sesi wawancara, klien cerita bahwa ia merasa marah pada ayahnya. Mestinya, terapis fokus pada masalah utama yang klien sampaikan di Intake Form, tidak percaya diri.

Peserta ini, karena sedang dalam proses belajar, menerapi klien untuk masalah kemarahan pada ayah, bukan tidak percaya diri.

Hasilnya? Kemarahan pada ayah berhasil diatasi, dan bonusnya, rasa tidak percaya diri tampil di depan umum juga turut teratasi. Padahal, terapis tidak secara khusus memproses masalah tidak percaya diri klien.

Pertanyaannya, mengapa walau terapis salah memproses masalah klien, masalah A tapi yang diproses B, masalah A turut terselesaikan? Inilah dampak dari Pull Effect.

Hipotesis saya, Pull Effect hanya terjadi bila klien memenuhi beberapa syarat: klien siap dan bersedia diterapi atas kesadarannya sendiri, klien mendapat edukasi mendalam dan mengerti dinamika kerja PBS, terapis matang menyiapkan PBS untuk proses yang akan klien jalani, kejadian bermuatan emosi negatif intens dan tuntas diproses, dan terapi dilakukan dalam kondisi hipnosis dalam.

Saya katakan hipotesis karena untuk pembuktiannya perlu eksplorasi lebih lanjut. Walau kami sangat ingin tahu lebih jauh tentang Pull Effect, seturut kode etik AWGI / AHKI kami dilarang secara sengaja bereksperimen dengan klien.

Klien datang untuk dibantu mengatasi masalahnya, bukan sebagai subjek eksperimen, walau dampak terapeutik positif bisa dicapai.

Harapan saya, di masa depan, akan ada hipnoterapis AWGI yang melakukan penelitian mendalam tentang Pull Effect dan menuliskannya sebagai disertasi.

Walau Pull Effect berdampak terapeutik positif, kami tidak boleh sengaja melakukannya, karena ini tidak seturut protokol AWGI.

Demikianlah adanya...

Demikianlah kenyataannya...

Baca Selengkapnya

Depresi: Diagnosa & Pandangan AWGI

3 Oktober 2022

𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐃𝐞𝐩𝐫𝐞𝐬𝐢

Kami, hipnoterapis AWGI, sering diminta membantu menangani klien dengan masalah depresi. Sesuai aturan AWGI / AHKI, kami tidak boleh menangani kasus berat seperti depresi karena ini adalah ranah psikater atau psikolog klinis, bukan hipnoterapis (layman hypnotherapist). 

Pertanyaan pertama yang kami tanyakan pada calon klien yang menyatakan dirinya depresi, "Siapa yang mendiagnosa anda mengalami depresi?"

Jawabannya sangat beragam. Ada yang melakukan diagnosa sendiri. Ada yang berdasar pendapat teman atau keluarganya. Ada juga yang bertanya pada Prof. Dr. Google. Dan ada yang telah ke profesional seperti psikiater atau psikolog. 

Apa itu depresi?

Depresi adalah gangguan suasana hati yang menyebabkan perasaan sedih dan kehilangan minat yang berkelanjutan. Juga disebut gangguan depresi mayor atau depresi klinis. Ia memengaruhi bagaimana seseorang merasa, berpikir dan berperilaku, dan dapat menyebabkan berbagai masalah emosional dan fisik. 

Orang yang mengalami depresi bisa mengalami kesulitan melakukan aktivitas normal sehari-hari, kehilangan minat pada kegiatan yang sebelumnya mereka nikmati, dan kadang bisa merasa seolah-olah hidup tidak layak untuk dijalani.

Selain masalah emosional yang disebabkan oleh depresi, individu juga dapat mengalami gejala fisik seperti sakit kronis atau masalah pencernaan. 

Menurut DSM-5, untuk didiagnosis mengalami depresi, individu harus mengalami lima atau lebih gejala berikut selama periode dua minggu yang sama, dan setidaknya salah satu gejala harus berupa (1) suasana hati yang tertekan atau (2) kehilangan minat atau kesenangan:

1. Suasana hati yang tertekan hampir sepanjang hari, hampir setiap hari.

2. Berkurangnya minat atau kesenangan secara nyata pada semua, atau hampir semua, aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari.

3. Penurunan berat badan signifikan saat tidak berdiet atau penambahan berat badan, atau penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari.

4. Perlambatan pemikiran dan pengurangan gerakan fisik (dapat diamati oleh orang lain, bukan hanya perasaan subjektif dari kegelisahan atau melambat).

5. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.

6. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak pantas hampir setiap hari.

7. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau keragu-raguan, hampir setiap hari.

8. Pikiran kematian yang berulang, ide bunuh diri yang berulang tanpa rencana khusus, atau usaha bunuh diri atau rencana khusus untuk bunuh diri.

Walau gejala depresi telah dijelaskan di atas, penegakkan diagnosa hanya boleh dilakukan oleh profesional seperti psikiater atau psikolog.

 

𝐀𝐩𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐲𝐞𝐛𝐚𝐛 𝐃𝐞𝐩𝐫𝐞𝐬𝐢?

Penyebab depresi sering digambarkan sebagai multifaktor dan tidak ada konsensus tentang penyebab tunggal. Semakin banyak peneliti menghubungkan depresi dengan faktor biologis seperti kerentanan genetik, dan bahwa onset sering dipicu oleh berbagai peristiwa kehidupan (Goldberg, 2006; Levinson, 2006). Sementara dokter lebih sering menjelaskan penyebab depresi dari perspektif biologis dan lebih menyarankan penggunaan obat antidepresan (Ogden dkk., 1999).

Juga ada penelitian yang menunjukkan persepsi publik lebih percaya bahwa depresi disebabkan oleh faktor sosial dan stres daripada karena faktor biologis (Jorm et al., 1997; Link dkk., 1999).

Berdasar analisis keyakinan pasien tentang penyebab depresi, terdapat 16 penyebab depresi, yang selanjutnya dikelomppokkan ke dalam tiga tema besar: stresor kehidupan saat ini, peristiwa kehidupan masa lalu, dan faktor konstitusional. Stres terkait pekerjaan adalah penyebab yang paling sering disebutkan, diikuti oleh kepribadian dan situasi keluarga saat ini. Hanya 3,6% yang menyatakan alasan biologis (Hansson dkk., 2009).

Yang dimaksud faktor konstitusional adalah kecenderungan fisiologis dasar yang diyakini berkontribusi pada kepribadian, temperamen, dan etiologi gangguan mental dan fisik tertentu.

 

𝐏𝐚𝐧𝐝𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐀𝐖𝐆𝐈?

Berdasar pengalaman saya dan hpnoterapis AWGI menangani klien-klien yang mengalami masalah emosi dan perilaku, kami menemukan fakta-fakta penting dan sampai pada satu pemahaman yang menjadi landasan teori yang digunakan sebagai dasar penciptaan protokol hipnoterapi AWGI dan praktik yang kami lakukan. 

Menurut teori AWGI, sejatinya setiap insan beroperasi dengan kondisi psikis seimbang. Masalah muncul saat keseimbangan sistem psikis mulai terganggu akibat keberadaan dan akumulasi emosi negatif dalam sistem. 

Emosi-emosi negatif ini bisa berasal dari kejadian apapun. Bisa dari kejadian di masa lalu, kejadian di masa kini, kejadian di masa depan, atau kejadian bermuatan emosi negatif yang sering diingat dan diceritakan ulang oleh individu (pseudo-SSE). 

Emosi-emosi negatif yang tidak dapat dinetralisir atau dikeluarkan dari sistem psikis individu, cepat atau lambat akan mengganggu keseimbangan dan kinerja sistem. Ini tercermin dari perubahan pola pikir, sikap, perilaku, dan suasana hati. 

Untuk memudahkan pemahaman, berikut ini saya jelaskan dengan sebuah analogi. Misal, energi sistem psikis maksimal adalah 100. Dan untuk beroperasi secara normal, sehat, nyaman, individu butuh ketersediaan suplai energi pada kisaran antara 80 hingga 100. 

Saat individu mengalami dan merasakan emosi negatif pada intensitas tertentu, energi dari emosi ini tidak serta merta bisa hilang atau mengalami disipasi. Ia perlu dinetralisir secara sadar. 

Bila tidak, ia, bersama emosi-emosi negatif lainnya dari berbagai kejadian yang pernah individu alami, akan terus terakumulasi di dalam sistem psikis individu. 

Masalah (mulai) muncul karena untuk bisa bertahan hidup, emosi-emosi ini butuh energi. Mereka akan mengambil energi dari sistem psikis invididu, dan mengakibatkan energi yang bisa digunakan oleh individu semakin hari semakin berkurang. 

Saat suplai energi yang bisa digunakan individu turun hingga di bawah ambang batas minimal, di bawah 80, kinerja individu mulai terganggu. Semakin rendah suplai energi yang bisa digunakan, semakin terganggu individu. 

Energi psikis yang harusnya tersedia untuk menjalankan diri secara nornal, kini tidak lagi cukup, karena telah digunakan oleh emosi negatif dalam dirinya. Kondisi ini mengakibatkan individu secara otomatis masuk dalam mode pasif.

Depresi, dalam teori ini, disebabkan oleh (sangat) minimnya suplai energi yang bisa digunakan oleh individu untuk bisa beroperasi secara normal dan optimal. 

Kami secara khusus menarget emosi-emosi negatif utama yang mengganggu keseimbangan sistem psikis klien. Untuk mencapai tujuan ini kami menggunakan hipnoanalisis yang dilanjut dengan rekonstruksi memori untuk resolusi kejadian traumatik. 

Setelah klien berhasil dibantu menghilangkan atau menetralisir berbagai emosi negatif, yang sebelumnya menyedot begitu banyak energi psikisnya, suplai energi yang dapat ia gunakan kini kembali ke kondisi normal. Ini otomatis diikuti dengan perubahan pola pikir, sikap, suasana hati, level energi, dst, kembali ke kondisi normal.

Baca Selengkapnya

Tentang Hypno-Selling

8 September 2022

Beberapa kali saya dapat permintaan untuk mengajar materi hipnosis untuk penjualan di perusahaan. Saat saya tanya ke perusahaan yang berminat mengundang saya, jawaban mereka kurang lebih sama yaitu ingin para penjual mereka dapat meningkatkan omzet penjualan secara signifikan dalam waktu singkat. 

Perusahaan berharap setelah belajar teknik-teknik hipnosis, para penjual mereka bisa langsung membuat calon pembeli "terhipnosis" dan membeli apapun yang ditawarkan. 

Rupanya mereka punya persepsi yang salah tentang hipnosis karena pernah menyaksikan acara hipnosis di televisi. 

Mereka berpikir, setelah menjentikkan jari, seperti yang dilihat di televisi, calon pembeli bisa langsung terhipnosis dan menuruti apa maunya si penjual. 

Ada lagi yang berharap setelah belajar hipnosis, para penjualnya bisa terampil dalam berkomunikasi sehingga dapat menghipnosis calon pembeli tanpa diketahui dan akhirnya membeli produk atau jasa yang ditawarkan. 

Saya menolak permintaan mengajar materi hipnosis untuk penjualan dengan beberapa alasan. Pertama, benar, saya menguasai dengan baik dan juga mengajar materi hipnoterapi. Namun kelas ini khusus ditujukan untuk mendidik dan mensertifikasi hipnoterapis klinis, bukan untuk penjual.

Kedua, untuk menjual kepada orang lain secara efektif kita perlu menjual kepada diri sendiri lebih dulu. Ini yang sering tidak orang lakukan. 

Menjual kepada diri sendiri bermakna seberapa yakin kita pada produk atau jasa yang kita tawarkan, seberapa tahu kita keunggulan dan kelemahan produk atau jasa yang kita tawarkan, dan seberapa percaya diri kita dalam melakukan penjualan. 

Ketiga, bila calon pembeli memang tidak atau belum butuh produk yang ditawarkan, atau harga produknya tidak sesuai anggaran atau daya belinya, apapun cara yang dilakukan pasti akan menemui resistensi yang besar. 

Keempat, ini yang sangat prinsip, walau saya sangat suka dengan bidang penjualan, karena latarbelakang saya sebagai pengusaha, saya belum punya rekam jejak yang bagus melakukan penjualan langsung, karena saya memang tidak bergerak di bidang penjualan langsung. 

Ada dua kategori pengajar. Kategori pertama, "teacher", yaitu mereka yang mengajarkan sesuatu yang telah mereka pelajari sebelumnya. Kategori kedua, "educator", yaitu mereka yang mengajarkan sesuatu yang telah mereka praktikkan dengan hasil yang baik dalam hidup mereka. Saya tahu di mana posisi saya dalam konteks aplikasi hipnosis dalam penjualan. 

Yang saya lakukan di pelatihan adalah mengajari peserta mengenali kekuatan dan kelemahan mereka. Baru setelahnya pengetahuan ini diterapkan dalam bidang kerja masing-masing untuk meningkatkan kinerja.

Saat penjual yakin pada dirinya, yakin pada produknya, bersikap ramah, fokus pada manfaat dan kebaikan yang bisa diperoleh konsumen bila menggunakan produknya, melayani dengan baik dan tulus, ini semua sifatnya hipnotik. 

Adalah jauh lebih baik dan lebih mudah, menurut hemat saya, bila para penjual mampu menjual pada diri mereka sendiri terlebih dahulu, yakin dengan produk yang ditawarkan pada konsumen karena berkualitas tinggi, dan menggunakan hukum daya tarik (The Law of Attraction) untuk jumpa konsumen yang memang butuh produk yang mereka tawarkan. 

Dalam kondisi ini mereka tidak perlu susah payah harus menggunakan teknik yang ribet untuk memengaruhi atau meyakinkan konsumen agar membeli produk mereka. 

Bila konsumen memang butuh produk yang ditawarkan, kualitas produk bagus, harga sesuai anggaran, sangat besar kemungkinan konsumen beli produk ini. 

Demikianlah adanya...

Demikianlah kenyataannya...

Baca Selengkapnya

Hipnoanalisis dan Hipnoterapi Dinamis

16 Agustus 2022

Perkembangan dan kemajuan hipnoterapi berjalan seiring berkembangnya praktik, pengetahuan, dan penelitian di bidang hipnoterapi. Sebelum tahun 1960 dikenal tiga pendekatan dalam hipnoterapi: (1) pendekatan simtomatik, fokus pada simtom atau kebiasan, (2) pendekatan suportif, fokus pada relaksasi dan meningkatkan rasa percaya diri klien, dan (3) hipnoterapi dinamis dan atau hipnoanalisis (Breuer dan Freud, 1893-1895/1955; Wolberg, 1945; Watkins, 1949; Gill dan Brenman, 1959; Freytag, 1965; Klemperer, 1965).

Hipnoterapi pendekatan simtomatik dan pendekatan suportif keduanya menggunakan sugesti sebagai sarana utama dalam mencapai tujuan terapeutik. Sementara hipnoterapi dinamis atau hipnoanalisis menggunakan teknik pengungkapan informasi pikiran bawah sadar sebagai sarana resolusi masalah.

Hipnoterapi dinamis sejatinya berbeda dengan hipnoanalisis, walau keduanya menggunakan metode yang sama dalam mengungkap akar masalah (Brown dan Fromm, 1986). Hipnoterapi dinamis berdurasi lebih singkat dibanding hipnoanalisis (Fromm, 1987).

Perbedaan hipnoterapi dinamis dan hipnoanalisis terletak pada jumlah sesi perlakuan dan cara terapis menangani transferen. Dalam hipnoterapi dinamis, jumlah sesi perlakuan berkisar antara lima hingga dua puluh sesi, sementara dalam hipnoanalisis berkisar antara beberapa bulan hingga satu setengah tahun. Ada literatur yang menyatakan durasi lebih lama.

Tujuan hipnoanalisis adalah reorganisasi total kepribadian, sementara tujuan hipnoterapi dinamis adalah sebatas mengatasi masalah yang dialami individu yang berhubungan dengan emosi dan perilaku.

Hipnoterapi yang dipraktikkan oleh para hipnoterapis Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI) adalah hipnoterapi dinamis dengan fokus perlakuan berkisar antara satu hingga empat sesi. Masing-masing sesi berdurasi antara tiga hingga empat jam.

Berbeda dengan definisi yang ada di literatur, AWGI mendifinisikan hipnoanalisis sebagai strategi mengungkap memori dan emosi kejadian paling awal, akar masalah dan dasar tercipta simtom, yang berhubungan dengan emosi atau perilaku tertentu, dilakukan dalam kondisi hipnosis dalam, dengan sarana eksplorasi vertikal dan horizontal.

Di tahun 1965 Hartland, hipnoterapis Inggris, menggagas teknik penguatan ego, bertujuan meningkatkan kekuatan diri dan kemampuan koping.

Sejak tahun 1981, bertambah dua pendekatan dalam praktik hipnoterapi, pendekatan defisit perkembangan (Baker, 1981; Brown, 1985; Brown dan Fromm, 1986, Copeland, 1986) dan pendekatan behavioral medicine (Brown dan Fromm, 1986).

Hipnoterapi dinamis dan hipnoterapi perkembangan adalah bagian dari hipnoanalisis. Sementara pendekatan simtomatik dan suportif, hipnoterapi perilaku, dan behavioral medicine bukan bagian dari hipnoanalisis.

Teknik-tekik hipnoanalitik adalah prosedur rumit, dipraktikkan dalam modalitas hipnotik dengan tujuan rekonstruksi pikiran bawah sadar klien pada tataran lebih dalam dan mendasar.

Aplikasi teknik hipnoanalitik bertujuan meringankan atau menghilangkan simtom melalui restrukturisasi kognisi dan emosi, akibat konflik intrapsikis, bukan sekadar pemanfaatan sugesti untuk manipulasi simtom.

Dalam praktik aktual, pemanfaatan sugesti, khususnya bila diterapkan seturut pemahaman psikodinamika, dapat dikategorikan sebagai bagian dari strategi penanganan hipnoanalitik. Terapi menjadi hipnoanalitik saat aspek sugesti hanya sebagai pelengkap tujuan utama mencapai pemahaman rekonstruktif.

Dalam hampir semua kasus, simtom klien berhubungan dengan memori dan afek terepresi yang tidak diketahui asal mula kejadiannya. Dalam situasi ini, terapis tidak dapat meregresi klien ke kejadian yang diperkirakan sebagai kejadian paling awal, dan perlu menggunakan strategi regresi lain seturut kondisi dan situasi yang dihadapi.

Strategi yang umum digunakan dalam hipnoanalisis untuk mengungkap akar masalah adalah strategi hipnoprojektif, mengandalkan gambar mental dan visualisasi, dan strategi berdasar ekspresi motor.

Beberapa teknik dalam hipnoprojektif antara lain teknik awan, teknik menatap cermin atau bola kristal, teknik anagram, teknik teater, teknik televisi, teknik lukisan tua, teknik naik perahu, teknik buku kehidupan, teknik karpet ajaib, teknik imajinasi terbimbing, dan teknik mimpi hipnotik.

Sementara teknik dalam strategi berdasar ekspresi motor adalah teknik pendulum, teknik jari, teknik menulis otomatis, dan teknik menggambar otomatis.

Teknik pengungkapan penting dalam hipnoanalisis, selain yang telah dijelaskan di atas, adalah regresi hipnotik dan revivifikasi. Keduanya adalah fenomena yang saling berhubungan dan mewakili derajat respon klien sepanjang kontinum regresi.

Revivifikasi adalah mengalami kembali, saat ini, dalam kondisi hipnosis, pengalaman masa lalu dengan cara yang kuat dan literal (Sheehan dan McConkey, 1982).

Regresi hipnotik lebih kuat dan literal. Walau sering hanya bersifat parsial, regresi hipnotik membawa klien kembali pada fungsi perseptual, kognisi, dan perilaku seturut pengalaman dan emosi yang seturut usia regresi (Reiff dan Sheerer, 1959).

Regresi atau pergerakan mundur dari masa sekarang ke masa lalu, dalam upaya mencari dan menemukan kejadian paling awal yang mendasari simtom, dapat dilakukan melalui dua jalur utama.

Pertama, melalui rangkaian ide saling terhubung, jembatan kognitif (cognitive bridge), yang menghubungkan satu ide dengan ide lain karena terdapat tumpang-tindih antara kedua ide pada satu ide penghubung. Regresi jembatan kognitif dilakukan dalam kondisi sadar normal, namun tidak efektif dalam mengungkap akar masalah.

Kedua, melalui jalur kesamaan afek yang menghubungkan antara satu memori dengan memori lain. Dalam hal ini, afek berlaku sebagai jembatan penghubung (affect bridge). Regresi jembatan afek hanya bisa dilakukan dalam kondisi hipnosis dalam dengan persyaratan tertentu.

Teknik jembatan afek diciptakan dan diujicobakan oleh John Watkins pertama kali di tahun 1958. Artikel ilmiah tentang teknik ini terbit pertama kali dalam bahasa Spanyol (Watkins, 1961), dan selanjutnya dalam bahasa Inggris (Watkins, 1971). 

Regresi jembatan afek mengandalkan gambar mental untuk mengakses emosi spesifik, yang selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar regresi (Gunawan, 2008). Ini sejalan dengan yang dinyatakan Singer (1966) bahwa gambar mental dan pengalaman afektif saling terhubung..

Dengan demikian gambar mental adalah sarana langsung untuk mendapatkan akses ke dunia emosi. Gambar mental merupakan teknik pengungkapan sangat efektif karena ia adalah representasi simbolis dari aktivitas dunia internal individu, berbagai emosi bentuk pikiran, dan konflik yang tidak sadari (Reyher, 1963; Shorr, 1972). Gambar mental mengungkapkan arus bawah ini secara jauh lebih jelas daripada pemikiran logis rasional berorientasi pada realitas.

Teknik hipnoanalitik lainnya, yang juga sangat efektif dalam mengungkap akar masalah adalah teknik ego state. Untuk dapat mengerti dan melakukan teknik ego state dengan benar dan efektif butuh pemahaman berdasar landasan teoretik baru.

Teknik ego state bermula dari konsep psikoanalisis yang digagas Federn (1952), dan selanjutnya dielaborasi oleh Weiss (1960). Teori ini menjadi operasional berkat modifikasi dan pengembangan lebih lanjut oleh Watkins (1978), Watkins dan Watkins (1979, 1981, 1982, 1986). Gunawan (2008) mengembangkan lebih lanjut teknik ego state berdasar berbagai informasi yang diperoleh melalui artikel jurnal, dikuatkan dengan temuan di ruang praktik, dan menggunakan nama baru, ego personality.

Satu hal yang sangat perlu dipahami, berbagai artikel jurnal dan literatur lain, pada umumnya mendiskusikan teknik-teknik hipnoanalisis pada tataran konsep. Sangat jarang membahas hingga ke tingkat operasional, menjelaskan langkah demi langkah penerapan di ruang praktik.

Berbagai teknik yang telah dijelaskan di atas, benar efektif dalam mengungkap akar masalah, namun dalam praktik klinis, ini hanya langkah awal. Informasi yang berhasil diungkap, baik berupa kejadian dan juga emosi, perlu diproses menggunakan teknik lanjutan yang tepat, efektif, aman, dan mampu berdampak terapeutik positif, signifikan, dan bertahan lama. 

Baca Selengkapnya

Pentingnya Uji Hasil Terapi

9 Juli 2022

Dalam setiap upaya peningkatan kesejahteraan mental, terutama melalui hipnoterapi, seyogyanya hasil terapi bisa langsung dirasakan atau dialami klien, dan terlihat usai terapi dilakukan, tidak perlu menunggu waktu lama, misal satu atau dua minggu kemudian. 

Dalam setiap proses hipnoterapi, menurut pemahaman saya,  terapis wajib melakukan uji hasil terapi melalui dua tahap, untuk semua kasus yang ditangani. 

Tahap pertama dilakukan saat klien masih dalam kondisi hipnosis, saat terapi usai dilakukan, sebelum klien dituntun ke kondisi sadar normal. Tahap uji hasil terapi kedua terjadi saat klien kembali ke lingkungan kehidupannya. 

Teknik terapi yang digunakan bisa berupa pemberian sugesti atau hipnoanalisis. Untuk lebih memperjelas, saya beri contoh kasus. 

Misal, seorang klien datang ke terapis karena masalah trauma. Ia dulu pernah mengalami kejadian yang sangat membekas. Setiap kali ia teringat atau diingatkan kembali kejadian ini, emosinya pasti bergejolak hebat dan ia menjadi sulit kendalikan diri. 

Terapis bisa melakukan salah satu dari dua opsi terapi berikut. Pertama, terapis memberi sugesti agar klien sembuh. Kedua, terapis melakukan hipnoanalisis, mencari dan menemukan, dan memroses tuntas akar masalahnya, dengan harapan klien sembuh. 

Setelah klien diterapi, baik dengan sugesti atau hipnoanalisis, terapis segera melakukan uji hasil terapi. Caranya?

Terapis minta klien mengingat kembali kejadian yang, sebelum terapi dilakukan, membuat emosi klien bergejolak hebat. 

Logikanya, bila memang terapi yang dilakukan efektif, berdampak terapeutik positif, harusnya klien sembuh. Kesembuhan ini ditandai dengan indikator berupa klien saat diminta mengingat kembali kejadian traumatik itu, ia tidak lagi menunjukkan reaksi negatif seperti sebelumnya. Klien tetap tenang, karena kejadian itu tidak lagi berpengaruh pada dirinya. 

Cara uji hasil terapi lainnya, klien ditempatkan di situasi atau kondisi yang sebelumnya memunculkan gejolak emosi negatif intens. Tentunya ini dilakukan di dalam pikiran bawah sadarnya, semacam simulasi. 

Bila hasil terapi efektif, klien tetap tenang dan tidak lagi terpengaruh dengan situasi atau kondisi yang sama atau serupa dengan yang sebelumnya ia alami. 

Sebelum terapi diakhiri, terapis wajib melakukan pemeriksaan akhir untuk memastikan semua bagian diri atau PBS klien mendukung hasil terapi, tidak ada penolakan dalam bentuk apapun. Bila ada penolakan, ini harus dinetralisir saat itu juga, tidak boleh menunggu sesi berikutnya. 

Usai terapi klien pulang ke rumah dan kembali ke lingkungannya. Di sini hasil terapi kembali diuji. Bagaimana sikap dan kondisi klien pascaterapi? Ada perubahan, seperti hasil uji terapi di ruang praktik, ataukah tetap sama seperti sebelum terapi?

Dalam hampir semua kasus, hasil uji terapi di lingkungan kehidupan klien selalu sejalan dengan hasil uji terapi di ruang praktik. Namun untuk beberapa kasus, saat klien kembali ke lingkungannya, masih ada perasaan kurang nyaman. Bila ini yang terjadi, klien perlu lanjut ke sesi berikutnya. 

Apakah sisa perasaan tidak nyaman yang klien alami menandakan terapi tidak efektif? 

Tidak demikian. Ini seturut dengan kerja PBS. Dalam beberapa kondisi, PBS tidak serta merta bersedia mengeluarkan semua emosi yang klien alami dalam satu sesi terapi. PBS mengeluarkan seturut mekanisme dan kehendaknya. Ini di luar kendali klien atau terapis. 

Bisa jadi, simtom yang klien alami memiliki lebih dari satu akar masalah. PBS mengungkap akar masalah menurut waktu yang ia rasa tepat. 

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List