Konseptualisasi pikiran bawah sadar datang dalam tiga gelombang besar formulasi teoretis. Gelombang pertama adalah identifikasi pikiran bawah sadar oleh Sigmund Freud lebih dari 100 tahun lalu.
Ini adalah teori pertama kepribadian proses ganda (melibatkan pikiran sadar dan bawah sadar) dan mewakili "penemuan" pikiran bawah sadar.
Pentingnya pikiran bawah sadar lebih lanjut ditekankan ketika Freud berhipotesis bahwa banyak pengalaman dan perilaku manusia sebenarnya adalah hasil/akibat pengaruh pikiran bawah sadar daripada proses pikiran sadar.
Menurut Freud, pikiran bawah sadar lebih primitif dan beroperasi sesuai dengan proses berpikir primer, dengan ciri dan mekanisme utama berupa fantasi, pemenuhan keinginan, pemindahan, kondensasi, representasi simbolik, dan asosiasi (Epstein, 1994). Sebaliknya, pikiran sadar bekerja menggunakan proses berpikir sekunder, yaitu aturan logika dan rasionalitas.
Konsep pemrosesan ganda informasi di luar kesadaran, seperti yang diajukan Freud, diterima secara luas. Namun, deskripsi Freud tentang pikiran bawah sadar sebagai sumber motivasi telah dipertanyakan karena dinilai kurang komprehensif.
Gelombang kedua pemahaman tentang pikiran bawah sadar dikembangkan dari perspektif kognitif, bukan psikoanalitik (Epstein, 1994). Dari perspektif ini, pikiran bawah sadar dikonseptualisasikan sebagai ketidaksadaran kognitif dan tidak terkait dengan psikoanalisis.
Sebaliknya, model kognisi bawah sadar ini menyatakan bahwa informasi diproses secara otomatis tanpa upaya sadar dan di luar kesadaran, sebagai mode operasi alami. Kihlstrom (1990) menggambarkan konseptualisasi pikiran bawah sadar ini sebagai ketidaksadaran yang “lebih baik dan lembut” dibandingkan dengan konseptualisasi psikoanalitik.
Keterbatasan konsep ketidaksadaran kognitif adalah bahwa ia tidak mampu menjelaskan dengan baik persepsi dan perilaku yang didorong oleh emosi. Meskipun konsep ini dengan benar mengidentifikasi bahwa kognisi terjadi di luar kesadaran, ia gagal menjelaskan sepenuhnya bagaimana pikiran bawah sadar beroperasi atau memproses informasi. Oleh karena itu, berkenaan dengan hipnoterapi, konsep ketidaksadaran kognitif belum sepenuhnya memuaskan.
Gelombang ketiga pemahaman tentang pikiran bawah sadar terjadi saat Epstein (CEST; Epstein, 1973; 1994; 2003) mengajukan teori kepribadian Cognitive-Experiential Self Theory.
Dalam formulasi teoretis yang diajukan Epstein (1973) dinyatakan bahwa manusia memiliki dua sistem pikiran: sistem rasional dan sistem pengalaman.
Sistem Rasional
Sistem rasional aktif bekerja karena upaya sadar, disengaja, penuh usaha, lebih lambat, logis dan beroperasi terutama melalui penggunaan bahasa. Karenanya, individu paling sadar akan sistem rasional saat dalam kondisi sadar normal (bangun).
Sistem rasional juga berusaha menemukan hubungan sebab-akibat pada sebagian besar rangsangan yang ditemui dalam situasi sehari-hari (Epstein, 2003, 2008, 2014).
Sistem rasional/sadar bertindak sesuai dengan seperangkat prinsip analitis dan dipengaruhi oleh nalar dan logika. Ia beroperasi sejalan dengan pemahaman seseorang tentang aturan penalaran dan bukti, serta gagasan yang dapat ditransmisikan secara budaya. Tindakannya sadar, analitis, penuh usaha, relatif lambat, bebas pengaruh, dan sangat menuntut sumber daya kognitif.
Sistem rasional menyandikan memori melalui semantik atau bahasa, simbol abstrak, angka, huruf, dan kata-kata. Melalui sistem inilah orang dapat memecahkan masalah (rumit) secara efektif, efisien, dan mengambil prinsip-prinsip yang dipelajari dan menerapkannya di seluruh konteks.
Sistem Pengalaman
CEST memperkenalkan pemahaman baru dan lebih komprehensif tentang pikiran bawah sadar. Teori ini secara unik mengidentifikasi pikiran bawah sadar beroperasi sebagai sistem pengalaman yang dipengaruhi oleh emosi dan memproses informasi secara otomatis, cepat, dan mudah.
Menurut teori ini, peristiwa-peristiwa terutama diwakili secara konkret dan imajinatif (Epstein, 1994), dan melalui penggunaan pemikiran, metafora, narasi, skrip, prototipe, dan gambar, sistem pengalaman / bawah sadar melakukan generalisasi dan merespon informasi.
Sistem pengalaman bekerja dengan dorongan emosi dan beradaptasi berdasar pengalaman daripada dengan logika (Epstein, 2008).
Sistem ini telah berkembang selama jutaan tahun, dan telah digunakan untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan sosial dan tuntutan situasi yang berubah dari waktu ke waktu.
Sistem ini beroperasi sebagai sistem kognitif yang sangat dipengaruhi oleh emosi dan juga sangat memengaruhi emosi individu. Ia juga meregulasi perilaku, menjadikan pemenuhan rasa senang sebagai tujuan utama dan menghindari rasa sakit, baik secara fisik maupun emosi.
Sistem ini bertindak cepat, berdasar pengalaman, dan tidak disadari, bersifat holistik, asosiatif, dan didorong oleh emosi (Epstein, 1994).
Sistem ini dapat dengan cepat membuat koneksi, terutama jika asosiasi langsung bersifat menyenangkan. Ia lebih lambat berubah karena asosiasi otomatis ini berkembang secara bertahap melalui paparan berulang, atau secara akut melalui pengalaman emosional intens. Ia menyandikan informasi dengan ingatan, gambar konkret, metafora, atau narasi dengan cepat dan sering dihubungkan dengan proses bercirikan getaran, intuisi, naluri, atau firasat (Epstein, 2003, 2013).
CEST menyatakan sistem pengalaman memengaruhi perilaku dan pemikiran individu sehari-hari hampir secara tidak sadar. Melalui sistem ini, individu mengembangkan dan memelihara skema tentang dunia, diri, dan orang lain (Epstein, 2003).
Meskipun sistem rasional mungkin membantu mempertahankan atau membenarkan skema ini, sistem pengalamanlah yang bertanggung jawab atas penerapan otomatis dan penyesuaian skema di seluruh konteks. Sistem pengalaman kurang terorganisir daripada sistem rasional karena terdapat banyak jalur pemrosesan informasi yang dibedakan oleh kondisi afeksi diskrit. Ia juga juga dapat dikelola dengan menyelaraskan pola pemikiran dan perilaku untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem pengalaman berperan besar dalam mendorong kepercayaan terhadap takhayul, munculnya ketakutan irasional, teori konspirasi, dll. (Epstein, 2014).
Semua informasi diproses oleh dua sistem independen namun saling berinteraksi. Walau sistem rasional (pikiran sadar) dan sistem pengalaman (pikiran bawah sadar) berinteraksi secara sinergis, kedua sistem ini sangat berbeda dalam sifat dan cara kerjanya.
Pengaruh Sistem Pengalaman terhadap Sistem Rasional
Sistem pengalaman bersifat prasadar dan bereaksi cepat terhadap situasi, yang kemudian diikuti oleh sistem pemrosesan rasional.
Karena sistem pengalaman bereaksi secara otomatis dan dipengaruhi oleh emosi, sistem pemrosesan rasional individu dapat mengalami bias akibat respons emosional individu. Proses individu berusaha memahami sistem pemrosesan bawah sadar menggunakan sistem pemrosesan sadar disebut rasionalisasi (Epstein, 2003).
Sistem pengalaman memproses informasi secara holistik untuk tujuan generalisasi dan beroperasi pada level yang berbeda, tinggi dan rendah. Tingkat operasi yang lebih rendah melalui pengkondisian klasik, sedangkan tingkat operasi yang lebih tinggi dari sistem pengalaman adalah pemrosesan heuristik. Pemrosesan heuristik dalam sistem pengalaman memerlukan penalaran asosiatif yang lebih mendasar dibandingkan dengan penalaran kausal yang lebih kompleks secara atribusi seperti sistem rasional. Pengolahan heuristik pengalaman telah ditemukan, meskipun tidak selalu, menjadi sumber irasionalitas (Epstein, 2003).
Pengaruh Sistem Rasional terhadap Sistem Pengalaman
Karena sistem rasional beroperasi pada kecepatan yang lebih lambat daripada sistem pengalaman, ia berada pada posisi yang memungkinkan untuk bisa mengoreksi banyak proses yang dilakukan sistem pengalaman (Epstein, 2003).
Sistem rasional tidak hanya dapat memahami cara kerja sistem pengalaman tetapi juga dapat memahami skema yang mendasarinya. Pemrosesan rasional seperti ini dapat mencakup aspek kesadaran diri dan pengendalian diri, di mana pemikiran analitis memungkinkan seseorang mengesampingkan dorongan atau impuls dan membuat keputusan berbeda. Melalui kejadian berulang seperti ini, pemikiran dan perilaku rasional dapat menjadi kebiasaan atau prosedural.
Cara lain yang memungkinkan sistem rasional dapat memengaruhi sistem pengalaman adalah dengan mengidentifikasi dan memahami aspek sistem pengalaman yang tidak logis dan melakukan tindakan korektif untuk menyesuaikan dan mendorong hasil yang lebih baik. Jenis proses seperti ini dapat lebih mudah dilihat saat menguji penerapan CEST dalam konteks terapi.
Meskipun sistem pengalaman tidak dapat memahami sistem rasional, sistem rasional dapat memahami proses sistem pengalaman. Dengan demikian, pikiran, emosi, dan perilaku maladaptif dapat diperbaiki melalui terapi.
Menurut CEST, terdapat tiga cara menghasilkan perubahan dalam pemrosesan informasi sistem pengalaman.
Pertama, individu dapat dibuat sadar akan pemrosesan pengalaman mereka, dengan cara yang memungkinkan mereka mengakui asal mula irasionalitas dan terlibat dalam pemikiran dan perilaku korektif. Ini kemudian membuka jalan untuk mengubah dan melatih sistem pengalaman sesuai yang diinginkan.
Kedua, pengalaman koreksi diri dapat menyebabkan perubahan dalam sistem pengalaman. Ini dapat berasal dari pengalaman negatif yang dialami atau belajar dari pengalaman secara lebih umum.
Dalam hal ini, idenya adalah bahwa sistem pengalaman akan menghindari emosi negatif, rasa tidak nyaman, dan mengejar emosi positif (selama pengalaman tersebut dapat diterima dan sehat).
Ketiga, perubahan dalam sistem pengalaman kemungkinan besar terjadi ketika individu berusaha belajar melalui narasi, gambaran mental, atau fantasi. Semua cara ini sejalan dengan sistem pengalaman dan dengan demikian memberikan fenomena seperti berbicara dalam bahasa yang sama (Epstein, 2003).
Berikut ini perbandingan kedua sistem, seperti yang dikemukakan Epstein (dalam Weiner, 2013):
Sistem Rasional (Pikiran Sadar)
- Analitis
- Logis: Berorientasi pada alasan dan akurasi, beroperasi dengan prinsip realitas.
- Hubungan sebab-akibat.
- Lebih berorientasi pada proses.
- Perilaku dimediasi oleh penilaian kejadian secara sadar.
- Mengkodekan realitas dalam simbol, kata, dan angka abstrak.
- Pemrosesan lebih lambat: Mampu melakukan tindakan yang tertunda lama.
- Berubah lebih cepat: Bisa berubah seturut kecepatan berpikir.
- Diferensiasi lebih tinggi: Pemikiran yang berdimensi dan bernuansa.
- Lebih terintegrasi: Terorganisir menurut generalisasi lintas situasi.
- Berpengalaman secara aktif dan sadar: Individu percaya bahwa ia mengendalikan pikiran sadarnya.
- Membutuhkan pembenaran melalui logika atau bukti.
Sistem Pengalaman (Pikiran Bawah Sadar):
- Holistik
- Emosional: Berorientasi rasa senang-sakit, beroperasi dengan prinsip hedonis.
- Hubungan asosiatif.
- Lebih berorientasi pada hasil.
- Perilaku yang dimediasi oleh “getaran” dan emosi dari pengalaman masa lalu.
- Menyandikan realitas dalam gambaran konkret, generalisasi primer, metafora, dan narasi.
- Pemrosesan lebih cepat: Berorientasi pada tindakan segera.
- Lebih lambat berubah: Perubahan dengan pengalaman berulang atau intens.
- Diferensiasi lebih kasar: Gradien generalisasi luas; berpikir kategoris.
- Terintegrasi lebih kasar: Disosiatif, terorganisir dalam bagian oleh kompleks emosional (modul kognitif-afektif).
- Dialami secara pasif dan prasadar: Kita merasa dikuasai oleh emosi kita.
- Yakin dengan sendirinya: “Mengalami adalah percaya”