The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Istilah hypnotic contract saat ini sering disebut dan cukup banyak digunakan dalam dunia hipnoterapi. Namun apa sih sebenarnya hypnotic contract ini? Siapa yang menciptakan istilah ini dan apa maksudnya?
Hypnotic contract pertama kali disebut oleh Ernest Hilgard dalam bukunya yang berjudul Divided Consciousness: Multiple Controls in Human Thought and Actions (1977). Hilgard, melalui penelitiannya, hidden-observer experiment, menemukan bahwa pada pikiran manusia terdapat dua fungsi yang ia sebut dengan fungsi eksekutif (executive) dan pengawasan (monitoring). Kedua fungsi ini berhubungan dengan konsep pusat kendali (central control) yang dibentuk oleh dua subsystem.
Pada manusia normal, kedua subsystem ini diasumsikan berada di bawah suatu pusat kendali. Namun bila teraktivasi maka masing-masing subsystem bisa bekerja secara independen.
Fungsi eksekutif meliputi perencanaan tujuan, memulai tindakan untuk mencapai tujuan, dan mempertahankan tindakan untuk mengatasi berbagai hambatan. Fungsi pengawasan adalah berupa umpan balik yang selalu mengamati dan mengawasi apa yang sedang terjadi.
Pengawas, atau bagian dari pikiran yang melakukan fungsi pengawasan, mengamati secara selektif, memilih hanya mengamati hal tertentu saja dan mengabaikan hal lain. Fungsi pengawasan juga bersifat kritis (critical) dan memberi penilaian (judgement).
Kedua fungsi ini tidak dapat dipisahkan secara tegas karena tindakan atau upaya untuk memisahkan fungsi ini akan langsung mendapat pengawasan, dengan catatan, si individu berfungsi normal dan harmonis.
Namun, dalam waktu dan kondisi tertentu kedua fungsi ini bisa bekerja tidak seimbang, fungsi pengawasan konflik dengan fungsi eksekutif, mengakibatkan disonansi kognitif dan disosiasi, fungsi yang satu tidak tahu apa yang sedang terjadi dan dilakukan oleh fungsi yang lain.
Saat seseorang mengalami kondisi hipnosis terjadi disosiasi yang memungkinkan proses kognisi berjalan simultan pada beberapa level dan dalam arah yang berbeda. Dalam kondisi ini terjadi pemisahan yang tegas dan jelas antara fungsi eksekutif dan fungsi pengawasan.
Pengalaman ini terjadi dalam hubungan interpersonal antara terapis dan klien dan disebut sebagai hypnotic contract.
Apa yang sebenarnya terjadi saat terapis dan klien sepakat menjalin hypnotic contract?
Saat hypnotic contract disetujui para pihak, terapis dan klien, maka klien “setuju” untuk sementara waktu “menghentikan” fungsi pengawasan terhadap berbagai perilaku yang diciptakan atau dihasilkan oleh fungsi eksekutif. Dengan demikian fungsi pengawasan ini tidak akan mempertanyakan, menganalisis, atau memprotes hal-hal yang terjadi atau muncul selama proses hipnosis dan terapi berlangsung, yang tidak sejalan dengan logika umum.
Hipnotis modern memandang hypnotic contract sebagai pembagian fungsi eksekutif tanggung jawab bersama, antara terapis dan klien. Hal ini berbeda dengan pandangan sebelumnya yang menyatakan bahwa hipnosis adalah penguasaan pikiran klien / subjek oleh hipnotis.
Saat klien telah setuju “menandatangani” hypnotic contract maka ia setuju untuk melepas sebagai kendali, mengurangi fungsi pengawasan, sehingga memungkinkan terjadinya pemrosesan data yang terpisah dan berlangsung pararel, yang secara kognitif inkonsisten satu dengan yang lain bila pemrosesan ini dilakukan dalam kondisi normal.
Kondisi inilah yang oleh Orne (1959,1979) disebut dengan trance logic, yaitu kemampuan klien, dalam kondisi hipnosis, untuk secara bebas mencampur /menggabungkan, dan memanipulasi persepsi yang berasal dari kondisi riil dan persepsi yang berasal dari imajinasinya.
Contoh konkritnya begini. Saat seseorang dalam kondisi hipnosis maka pada level kedalaman tertentu ia bisa mengalami kondisi positive visual hallucination. Hipnotis bisa memberikan sugesti yang bila dijalankan oleh pikiran klien, akan bisa membuat klien melihat ada dua hipnotis yang duduk di depannya. Hipnotis yang satu adalah yang riil dan yang satunya lagi adalah hasil imajinasi (halusinasi) klien. Dan klien menerima hal ini sebagai hal yang wajar dan benar karena pikirannya mengijinkan hal ini terjadi.
Abreaction adalah topik yang sangat menarik untuk dibahas. Setiap hipnoterapis dalam praktik membantu klien mengatasi masalahnya pasti pernah mengalami klien yang meledak emosinya. Nah, ledakan emosi ini yang disebut dengan abreaction atau catharsis.
Saya pernah membahas abreaction di artikel sebelumnya dengan judul “How to Handle Abreaction and Catharsis”. Jika anda belum membacanya saya sarankan untuk mengunjungi http://adiwgunawan.com/index.php?pid=dtl_artikel&id=60.
Materi yang saya tulis di artikel ini adalah materi update, hasil penelitian, pengujian, dan pengembangan yang dilakukan oleh Tim Advanced Research & Development Quantum Hypnosis Indonesia, dan saya ajarkan di kelas 100 jam sertifikasi hipnoterapis melalui pelatihan Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy.
Penggunaan abreaction dalam terapi bukanlah hal baru. Freud juga menggunakan teknik ini dan menemukan bahwa simtom histeria pada klien hilang seketika dan tidak bisa muncul lagi jika klien berhasil secara menyeluruh membangkitkan kembali memori-memori beserta emosi yang menjadi penyebab histeria.
Freud dan kawannya Breuer menyimpulkan bahwa simtom muncul sebagai akibat dari represi memori yang berhubungan pengalaman yang sangat traumatik. Hal ini mengakibatkan terjadinya blocking energi. Freud menggunakan hipnosis dan sugesti untuk melakukan release terhadap blok energi dan berhasil menyembuhkan kliennya. Temuan ini mereka tulis dalam buku Studien Uber Hysterie di tahun 1895.
Namun dalam perjalanan karirnya Freud menemukan bahwa simtom yang telah berhasil dihilangkan ternyata muncul lagi. Inilah sebabnya mengapa Freud merasa bahwa kemajuan terapi yang dialami klien, bila menggunakan teknik abreaction, hanya bersifat temporer.
Penelitian literatur menghasilkan satu temuan menarik. Freud hanya melakukan single abreaction pada kliennya. Padahal, untuk kasus berat akibat pengalaman yang sangat traumatik, emosi yang tertekan di bawah sadar sangatlah intens. Single abreaction umumnya tidak mampu secara tuntas menguras habis semua emosi ini. Untuk bisa benar-benar mengeluarkan semua emosi klien, untuk kasus yang berat, perlu dilakukan multiple abreactions, dan ini yang tidak dilakukan oleh Freud.
Penelitian manfaat teknik abreaction secara sangat terkontrol dilakukan oleh William Brown (1920) yang melakukan terapi pada ribuan mantan tentara yang mengalami masalah mental setelah pulang dari medan perang. Brown menggunakan abreaction untuk mengeluarkan emosi yang tertekan di bawah sadar dan berhasil membantu klien-kliennya pulih. Brown mengatakan bahwa agar efektif maka abreation harus intens, tuntas, dan diulangi. Baru setelah itu dilakukan rekonstruksi psikologis agar kesembuhan bersifat permanen.
Penelitian pemanfaatan abreaction selanjutnya dilakukan oleh Grinker dan H. Spiegel pada masa perang dunia kedua. Teknik ini selanjutnya disempurnakan oleh John G. Watkins dan berkembang hingga saat ini dengan banyak pendalaman dan penajaman teknik.
Abreaction sebenarnya adalah hal yang normal dan terjadi secara spontan dengan tujuan untuk melepas tekanan (mental atau emosi) atau stimulasi berlebihan yang mengganggu keseimbangan sistem diri manusia. Abreaction adalah bagian dari proses pemeliharaan diri, upaya penyesuaian individu untuk mencapai atau mempertahankan keseimbangan (equilibrium) yang diinginkan.
Untuk lebih memudahkan anda memahami abreaction, bayangkan sebuah tungku yang terbuat dari tanah liat. Tungku ini berisi air dan dalam kondisi normal ada api yang menyala dan membakar dasar tungku.
Bila api ini terus dibiarkan membakar tungku maka temperatur air di dalamnya akan naik dan akhirnya akan mendidih atau menguap. Ini adalah proses alamiah dan normal. Air yang bergolak dan mendidih ini adalah sama dengan abreaction yang terjadi secara alamiah pada diri manusia.
Namun apa yang terjadi bila tungkunya ditutup rapat?
Api yang terus membakar tungku akan membuat isi tungku semakin panas dan tekanan uap semakin tinggi. Bila ini diteruskan maka suatu saat nanti tungku akan meledak dan hancur.
Agar tidak hancur maka perlu dibuat lobang atau retakan kecil di dinding tungku untuk melepas uap yang terperangkap di dalamnya. Uap yang keluar akan muncul dalam bentuk simtom baik berupa perasaan tidak nyaman atau sakit fisik (psikosomatis).
Lebih jelas mengenai Teori Tungku Mental bisa anda baca di http://adiwgunawan.com/index.php?pid=dtl_artikel&id=48.
Dalam kondisi tertentu, biasanya saat seseorang dalam kondisi deep trance, maka pikiran bawah sadar bisa membuat retakan besar sehingga uap air keluar dengan sangat deras dan banyak. Bila ini terjadi maka klien akan mengalami spontaneous hypnotic abreaction yang hebat.
Kita perlu membedakan antara hypnotic abreaction, abreaction yang terjadi baik secara spontan atau karena disengaja melalui provokasi terencana dan terstruktur saat subjek dalam kondisi deep trance, dan abreaction yang terjadi dalam kondisi kesadaran normal. Beda dua abreaction ini ada pada kondisi kesadaran saat abreaction terjadi, intensitas, dan tujuannya.
Jadi, bila melihat penyebab terjadinya maka abreaction dibagi menjadi dua jenis. Pertama, abreaction yang disengaja. Abreaction jenis ini memang sengaja dilakukan oleh terapis terhadap klien dengan menggunakan tenik tertentu dan telah direncanakan dengan sangat hati-hati dan terstruktur. Terapis benar-benar tahu apa dan mengapa ia melakukan hal yang ia lakukan.
Kedua, abreaction yang tidak direncanakan atau bersifat spontan. Abreaction ini dapat terjadi sewaktu-waktu saat sesi terapi berlangsung. Terapis yang andal akan mampu memfasilitasi dengan baik abreaction yang disengaja maupun yang spontan karena secara teknis penanganannya sebenarnya sama saja.
Abreaction bila ditinjau dari siapa yang mengalaminya terbagi menjadi dua jenis yaitu abreaction yang dialami oleh (total) individu dan yang kedua, abreaction yang hanya dialami oleh Ego State. Dua jenis abreaction ini secara teknis sama namun berbeda pada proses penanganannya. Masing-masing mengikuti aturan main yang berbeda namun dengan tujuan akhir yang sama.
Bila ditinjau dari metode untuk mengeluarkan emosi, kami di Quantum Hypnosis Indonesia, mengenal ada enam teknik abreaction. Dua dari total enam teknik abreaction yang diajarkan di kelas QHI adalah fractionated abreaction dan borrowed abreaction. Teknik borrowed abreaction adalah hasil riset dan pengembangan yang dilakukan oleh alumnus QHI Bpk. Sjahsjam Susilo.
Seringkali terjadi klien tidak bisa, lebih tepatnya tidak bersedia, mengeluarkan emosinya karena pertimbangan tertentu dan tidak terjadi abreaction, walaupun ia berada dalam kondisi profound somnambulism. Terapis perlu menggunakan strategi lain untuk membantu klien mengalami abreaction. Dari pengalaman , dua teknik yang saya sebutkan di atas sangat efektif untuk bisa mengatasi resistensi klien dan membuat klien bersedia melepaskan emosinya.
Ditinjau dari jenis emosi yang dikeluarkan, pada satu waktu tertentu, maka abreaction terbagi menjadi 3 (tiga): Mixed Emotion Abreaction, Anger Based Abreaction, dan Hate Based Abreaction. Untuk setiap jenis abreaction ini dibutuhkan teknik yang sangat spesifik agar dicapai hasil yang optimal dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Abreaction memang sangat ampuh untuk membantu klien mengeluarkan tekanan emosi yang selama ini tersimpan atau ditekan di bawah sadar. Namun abreaction sendiri tidak bersifat terapeutik. Benar, dengan mengalami abreaction klien akan merasakan kelegaan yang luar biasa. Namun kelegaan ini hanya bersifat sementara. Tanpa penanganan lanjutan, setelah abreaction, maka klien akan kembali ke kondisi awal. Itu sebabnya ada pakar yang mengatakan, “Revivification is not healing.”
Saat yang paling kritis untuk melakukan abreaction adalah saat terapis memutuskan apakah ia akan melakukan prosedur hypnotic abreaction atau tidak. Pilihannya hanya satu, “Ya atau tidak.” Tidak bisa ragu atau setengah-setengah. Begitu proses abreaction dimulai maka klien dan terapis masuk ke wilayah Point of No Return. Abreaction harus dilakukan hingga benar-benar tuntas.
Bila abreaction terjadi, apalagi abreaction yang bersifat spontan akibat emosi yang terpendam dan selama ini tidak disadari oleh klien, dan tidak dituntaskan penanganannya maka ini akan sangat riskan dan merugikan klien. Klien bisa mengalami goncangan emosi dan bahkan bisa mengakibatkan klien menjadi tidak stabil.
Menangani abreaction sebenarnya mudah. Sehebat apapun abreaction yang dialami klien, bila terapisnya siap secara mental, tanggap, percaya diri, dan telah membekali diri dengan teknik penanganan abreaction yang efektif maka klien tetap bisa dengan mudah dibawa keluar dari kondisi ini.
Kesulitan penanganan abreaction sebenarnya bukan pada diri klien namun lebih pada diri terapis. Terapis yang tidak siap mental akan kaget atau bahkan ketakutan saat melihat kliennya abreaction.
Saat klien berada dalam kondisi deep trance dan mengalami abreaction maka adalah tugas terapis untuk membantu klien melakukan navigasi pikiran dan emosi untuk melewati pengalaman traumatik itu, mengeluarkan emosinya hingga tuntas, dan melakukan pembelajaran ulang baik secara kognitif maupun afektif.
Pada umumnya untuk membawa klien keluar dari kondisi abreaction digunakan teknik “Tempat Kedamaian” atau Peaceful Place. Teknik ini dilakukan dengan cara meminta klien, sebelum proses hypnoanalysis dilakukan, membayangkan dirinya berada di tempat yang tenang, aman, dan nyaman. Klien diminta berada di tempat ini beberapa saat dan diminta untuk berjanji bahwa bila terapis meminta ia kembali ke tempat ini, kapanpun dan apapun situasinya, maka klien langsung kembali ke tempat ini.
Ini adalah emergency exit yang paling banyak digunakan oleh hipnoterapis pada umumnya namun dengan dua kelemahan yang sering tidak disadari.
Pertama, secara statistik diketahui bahwa orang yang modalitas utamanya visual hanya sekitar 27%. Berarti sisanya yang auditori dan kinestetik tidak akan bisa melakukan visualisasi tempat kedamaian.
Kedua, bila energi psikis klien lemah karena telah banyak terkuras dalam proses terapi maka besar kemungkinan klien tidak bisa menjalankan permintaan terapis untuk segera kembali ke tempat kedamaiannya, walaupun ia sangat ingin melakukannya.
Saya pernah mengalami hal ini. Saat seorang klien yang fobia terhadap benda tajam seperti pisau atau pedang, mengalami abreaction, dan saya perintahkan keluar dari situasi yang membuatnya “meledak” , ternyata ia hanya bisa keluar sesaat dan setelah itu “tersedot” masuk kembali ke kejadian traumatiknya. Kembali saya meminta klien keluar dari pengalaman traumatik dan ia kembali “tersedot” masuk. Ini terjadi berulang kali.
Dalam melakukan terapi saya tidak menggunakan teknik “Tempat Kedamaian”. Ada teknik lain yang jauh lebih praktis dan powerful yang selama ini saya gunakan dan selalu berhasil membawa klien keluar dari abreaction, sehebat apapun abreaction yang ia alami, hanya dalam waktu 2 - 3 detik.
Namun pada kasus di atas teknik ini tidak efektif. Hingga akhirnya saya terpaksa menggunakan teknik lain yang lebih advanced untuk membawa klien keluar dan akhirnya berhasil.
Saat saya tanyakan kepada klien, “Mengapa tadi kok tidak bisa berhenti abreactionnya?” Klien menjawab, “Saya sudah mengikuti bimbingan Pak Adi. Sempat keluar sesaat tapi setelah itu tersedot masuk kembali. Beberapa kali seperti itu.”
Abreaction yang efektif dan mampu memberikan hasil terapi yang permanen adalah yang dilakukan pada Initial Sensitizing Event (ISE), bukan pada Subsequent Sensitizing Event (SSE). Bila affect yang dikeluarkan berasal dari SSE maka release tidak bersifat menyeluruh dan cepat atau lambat klien pasti akan relapse. Ibarat memadamkan api, tidak langsung ke sumbernya.
ISE adalah kejadian yang menjadi awal atau akar masalah klien. Sedangkan SSE adalah kejadian lanjutan, yang dialami klien, yang memberikan kontribusi emosi dan memperkuat efek ISE hingga suatu saat muncul sebagai simtom.
Untuk menemukan ISE digunakan hypnoanalysis yang harus dilakukan secara cermat. Bila tidak, seringkali, terapis mengira telah berhasil menemukan ISE padahal masih SSE. Seringkali untuk bisa menemukan ISE harus melewati beberapa SSE. Dari pengalaman biasanya dibutuhkan penelusuran melalui antara satu hingga lima SSE untuk akhirnya bisa menemukan ISE.
ISE adalah memori yang berisi data mengenai kejadian yang dialami klien, plus pemaknaan dan emosi. Dalam melakukan penelusuran untuk mencari ISE bisa dilakukan dengan dua cara.
Cara pertama adalah dengan menggunakan cognitive bridge. Dalam hal ini terapis berusaha menemukan ISE melalui rangkaian pertanyaan yang diajukan pada klien dalam kondisi sadar normal. Prinsip kerja cognitive bridge adalah setiap memori saling terhubung. Dengan mengajukan pertanyaan yang tepat maka penelusuran data atau memori bisa dilakukan secara bertahap dan diharapkan, suatu saat nanti, berhasil mengungkapkan ISE.
Contohnya begini. Misalnya ada 3 data yang saling berhubungan, A, B, dan C. Kita bisa mencapai C, dengan titik awal A, melalui B. Dalam hal ini B adalah cognitive bridge yang menghubungkan A dan C.
Penggalian data menggunakan cognitive bridge bisa mengungkap ISE namun membutuhkan upaya yang tidak sedikit dan waktu yang lama. Biasanya kegagalan analytic therapy seperti ini terjadi karena data yang muncul lebih sering berasal dari pikiran sadar yang tidak mengakses perasaan atau emosi.
Dalam hipnoterapi ada cara yang jauh lebih efektif untuk mengungkapkan ISE yaitu dengan menggunakan affect bridge. Affect bridge bekerja berdasar prinsip bahwa semua memori atau kelompok memori yang ada di pikiran bawah sadar saling terhubung dengan emosi tertentu.
Dengan prinsip ini maka emosi yang dirasakan oleh klien saat sekarang, pada suatu kejadian atau situasi tertentu, dapat dilacak sumbernya di masa lalu klien, hingga ditemukan memori paling awal atau ISE. Syarat untuk bisa melakukan affect bridge yang efektif adalah menggunakan bantuan kondisi hipnosis, terutama pada level kedalaman profound somnambulism, dan intensitas emosi yang tinggi.
Apakah affect bridge adalah satu-satunya teknik yang efektif untuk bisa menemukan ISE?
Di pelatihan saya mengajarkan beberapa teknik lain yang sangat efektif untuk menemukan ISE. Affect bridge hanya salah satunya. Ada satu teknik yang sangat efektif yang mampu langsung membawa klien ke ISE, tanpa harus melewati rangkaian SSE. Teknik lain ini akan saya bahas di kesempatan lain karena akan cukup teknis dan panjang.
Nah, pembaca, saya akhiri artikel ini dengan hal penting yang perlu diperhatikan bila hendak melakukan proses abreaction:
1.Ego Strength terapis dan klien (cukup) kuat untuk menjalani proses abreaction.
2.Terapis menguasai dengan baik teknik penanganan abreaction.
3.Klien dibimbing masuk hingga ke kedalaman profound somnambulism.
4.Abreaction paling optimal bila dilakukan dengan klien mengalami kembali pengalaman traumatik (revivification) yang dulunya tidak bisa/berhasil ia hadapi sepenuhnya.
5.Melalui kerjasama dan bantuan terapis, klien mampu menghadapi situasi traumatik, kembali mengalaminya, melepas emosi yang tertekan, dan mengalami pembelajaran ulang baik pada aspek kognitif maupun afektif.
6.Dalam kasus kekerasan yang dilakukan pada anak, klien bersama terapisnya berhadapan dengan pelaku kekerasan, mengatasi, dan membawa anak melewati pengalaman traumatik.
7.Jika dirasa perlu dilakukan proses abreaction maka abreaction dilakukan hingga emosi yang selama ini tertekan di bawah sadar keluar semuanya hingga tuntas.
8.Saat emosi yang tertekan telah berhasil dikeluarkan semuanya, terapis membantu klien melakukan pemaknaan ulang atas kejadian itu.
9.Abreaction melibatkan prinsip counter-conditioning atau systematic desensitization.
Hari Minggu, 31 Januari 2010, saya berbicara di Gereja Maria Bunda Karmel, Jakarta, membahas materi hipnoterapi dalam seminar sehari “Hipnotrerapi : Berkat atau Kuasa Kegelapan?” yang dimulai pukul 08.15 sampai 15.00.
Pembahasan materi hipnoterapi kali ini sungguh menarik karena hipnosis/hipnoterapi dibahas oleh tiga orang dengan sudut pandang yang berbeda.
Pembicara pertama adalah Ibu Ratih A. Ibrahim, seorang psikolog, pembicara topik psikolog, pendidikan, wanita, dan keluarga. Pembicara kedua, saya sendiri, Adi W. Gunawan, mengulas materi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy. Pembicara ketiga adalah Romo DR. BS. Mardiatmadja SJ, rohaniwan, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat DRIYARKARA Jakarta, yang mengulas hipnoterapi menurut pandangan agama Katolik.
Dalam pembahasannya Bu Ratih menjelaskan mengenai apa itu hipnosis, sejarah hipnosis, sugesti, stage hypnosis, beda hipnosis dan gendam, dan aplikasi hipnosis untuk membantu klien mengatasi masalah. Bu Ratih juga menjelaskan bagaimana menggunakan pendulum untuk membantu klien mengendalikan pikiran mereka.
Pembahasan teknik terapi oleh Bu Ratih lebih menekankan penggunaan sugesti positif untuk membantu klien berubah. Level kedalaman hipnosis yang biasa digunakan, oleh Bu Ratih untuk membantu kliennya masih di level light trance. Jika ada kasus yang berat dan membutuhkan kondisi kedalaman hipnosis yang dalam atau sangat dalam maka Bu Ratih akan mengirim klien ke psikiater untuk terapi lanjutan.
Ibu Ratih membawakan materi mulai jam 08.30 sampai 10.00, sudah termasuk tanya jawab yang cukup intens dengan audiens. Banyak pertanyaan menarik seputar hipnosis/hipnoterapi yang sebenarnya menggambarkan kebingungan masyarakat akibat tayangan di televisi yang kurang tepat, bila tidak mau dikatakan salah, tentang hipnosis dan hipnoterapi.
Melalui sesi tanya jawab ini Bu Ratih meluruskan banyak hal dan memberikan wawasan yang benar mengenai hipnosis dan hipnoterapi pada audiens.
Sesi kedua, jam 10.00 sampai 12.30, saya memaparkan materi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy yang sebenarnya adalah intisari dari pelatihan 100 jam yang saya selenggarakan. Sudah tentu materinya sudah saya sederhanakan agar tidak terlalu teknis sehingga mudah dimengerti oleh audiens.
Materi yang saya bahas antara lain:
1.Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy
2.Sejarah hipnosis/hipnoterapi
3.Jenis-jenis hipnosis
4.Manfaat hipnoterapi
5.Teori Tungku Mental
6.Teori Pikiran
7.Prosedur hipnoterapi
8.Berbagai teknik hipnoterapi
Agar terdapat kesamaan persepsi dan pemahaman maka saya menggunakan definisi hipnosis yang menjadi acuan para hipnoterapis dunia yaitu definisi yang dikeluarkan oleh US. Dept. of Education, Human Services Division. Saya juga memberikan definisi hipnosis yang baru menurut Scientific EEG Hypnotherapy.
Dari sini saya melanjutkan pembahasan mengenai manfaat hipnoterapi dalam menangani sangat banyak masalah yang berhubungan dengan mental atau emosi. Saya juga memaparkan hasil survei mengenai efektivitas hipnoterapi dibandingkan dengan psikoterapi dan behavior therapy. Survei ini dilakukan oleh Psychotherapy Literature dan dimuat di American Health Magazine.
Materi selanjutnya adalah mengenai pandangan yang salah mengenai hipnosis. Masyarakat umumnya meyakini bahwa hipnosis adalah praktik supranatural, menggunakan kekuatan makhluk lain, bisa untuk menguasai pikiran orang seperti yang mereka lihat di televisi. Ini semua tidak benar. Dan saya jelaskan apa sebenarnya hipnosis yang modern dan ilmiah.
Selanjutnya saya menjelaskan bahwa hipnosis/hipnoterapi telah mendapat pengakuan internasional oleh British Medical Association (1955), American Medical Association (1958), dan American Psychological Association (1960).
Gereja Katolik, menurut riset literatur yang saya lakukan, ternyata telah menerima penggunaan hipnosis. Hal ini tampak pada pernyataan Gereja Katolik, pada tahun 1847, pernah mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa penggunaan magnetisme hewani (sebutan untuk hipnosis di jaman Mesmer) sebenarnya hanyalah suatu tindakan yang menggunakan media fisik yang secara hukum dibenarkan, dan oleh sebab itu secara moral tidak dilarang, dengan catatan penggunaannya tidak ditujukan untuk sesuatu yang melanggar hukum atau melanggar kemoralan.
Aplikasi hipnosis untuk anestesi, dalam hal ini membantu wanita melahirkan, juga telah diterima. Paus Pius XII, melalui pernyataan yang dipublikasi di tahun 1956 dan 1957, juga dengan sangat hati-hati memberikan persetujuan terhadap penggunaan hipnosis untuk terapi. Sikap Gereja Katolik terhadap hipnosis, hingga saat ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.Hipnosis adalah pengetahuan ilmiah yang serius, dan bukan sesuatu yang dilakukan asal-asalan.
2.Dalam pemanfaatan hipnosis secara ilmiah harus dengan memperhatikan kehati-hatian dan tanggung jawab keilmuan dan kemoralan.
3.Pemanfaatan hipnosis untuk anestesi mengikuti prinsip yang sama yang berlaku untuk anestesi lainnya.
Saya juga menjelaskan bahwa ada dua buku yang sangat bagus yang bisa dibaca oleh audiens. Buku pertama sebenarnya berisi tentang teknik inner child dan ditulis oleh seorang pastor. Buku kedua, bicara tentang kekuatan pikiran bawah sadar, diterbitkan oleh Keuskupan Denpasar.
Seperti biasa, saya pasti menjelaskan mengenai teori dan mekanisme pikiran dengan detil, beda pikiran sadar dan bawah sadar, cara masuk ke pikiran bawah sadar dengan menembus critical factor, teknik dasar induksi, jenis induksi, dan level kedalaman trance/hipnosis.
Saya menjelaskan sangat detil level kedalaman trance beserta demo untuk menunjukkan fenomena yang bisa muncul dalam kedalaman tertentu.
Mengacu pada skala Davis Husband, saya membawa seorang peserta, yang bersedia menjadi subjek hipnosis, turun sangat cepat, hanya sekitar 2 menit, hingga ke level 29 dari 30 level kedalaman. Yang terjadi di level 29 adalah negative visual hallucination.
Dalam demo ini saya jelaskan juga apa sebenarnya yang dilakukan oleh stage hypnotist, bagaimana mereka memilih subjek, apa yang boleh dilakukan, tidak boleh dilakukan, bagaimana seorang stage hypnotist seharusnya bersikap yaitu tetap menghargai harkat dan martabat subjek, tetap menghargai dan tidak boleh mempermalukan subjek, sugesti yang seakan positif namun sebenarnya berbahaya bagi keselamatan subjek, dan masih banyak hal lain lagi.
Audiens melihat saya melakukan demo hanya dengan menggunakan kekuatan kata melalui teknik komunikasi baik verbal dan nonverbal, dan sama sekali tidak menggunakan mantra atau ilmu tertentu. Kalaupun ada ilmu yang gunakan ya ilmu hipnosis atau hipnoterapi.
Untuk lebih membuka wawasan audiens, bahwa hipnoterapi bukan sekedar sugesti seperti yang diyakini kebanyakan orang, saya juga menjelaskan mengenai berbagai teknik yang digunakan dalam hipnoterapi, termasuk beberapa teknik advanced.
Sesi saya akhiri dengan melakukan demo pengukuran gelombang otak salah satu peserta dengan menggunakan DBSA. Melalui pengukuran ini tampak bagaimana perubahan gelombang otak saat seseorang berpindah dari kondisi sadar normal ke kondisi relaksasi pikiran yang dalam atau deep trance.
Setelah sesi saya selesai kita break untuk makan siang selama kurang lebih satu jam.
Sesi selanjutnya diisi oleh Romo Mardi. Beliau mengatakan bahwa hipnosis dan hipnoterapi yang dijelaskan oleh Bu Ratih dan saya, bila digunakan dengan hati-hati, bertanggung jawab, tetap menghargai kehendak bebas (free will) klien, dan digunakan dalam upaya membantu klien mengatasi masalah mental atau emosi maka hal ini dibenarkan dan tidak bertentangan dengan aturan gereja Katolik.
Dalam pandangan Beliau hipnosis atau hipnoterapi hanyalah salah satu cabang dari psikologi dan pemanfaatannya bersifat horizontal, yaitu membantu sesama. Sama seperti ilmu kedokteran yang digunakan membantu pasien mengatasi masalah sakit fisik, hipnoterapi digunakan untuk membantu klien yang mengalami masalah mental. Sama-sama bertujuan meneymbuhkan namun yang disentuh aspeknya berbeda. Yang satu sistem tubuh, yang satu sistem pikiran atau mental.
Masih menurut Romo Mardi, Tuhan berkarya, campur tangan, dalam membantu manusia melalui banyak cara, salah satunya namun tidak selalu atau harus , bisa dengan bantuan kondisi hipnosis. Doa, dalam hal tertentu juga menggunakan kondisi hipnosis yaitu kondisi pikiran yang tenang, terkonsentrasi, dan hati yang damai.
Kesimpulang yang didapat setelah mendengar apa yang disampaikan Romo Mardi yaitu bahwa pemanfaatan hipnosis/hipnoterapi boleh dan tidak melanggar aturan gereja asalkan benar-benar memperhatikan kepentingan klien seutuhnya. Konsultasi atau terapi hanya terbatas untuk mengatasi masalah pikiran atau emosi klien. Bila masalahnya sudah berhubungan dengan keimanan maka ini tidak boleh dilakukan, apapun alasannya, karena ini adalah wilayah yang hanya dimengerti oleh seorang pembimbing spiritual yang seiman dengan klien.
Ide untuk menulis artikel ini muncul saat saya sedang berdiskusi (post hypnotic interview) tentang proses dan hasil terapi dengan seorang klien, usai melakukan hipnoterapi. Klien ini bertanya, “Pak Adi, tadi waktu dalam proses terapi, saat Bapak membantu mencari dan menemukan akar masalah yang saya alami, ternyata muncul memori dari masa kecil yang selama ini saya tidak ingat sama sekali. Memori ini apa memang benar seperti itu kejadiannya ataukah hanya fantasi saya saja?”
Pembaca, untuk menjawab pertanyaan di atas saya perlu menceritakan sekilas proses yang terjadi selama sesi hipnoterapi. Klien datang kepada hipnoterapis karena mengalami suatu masalah atau simtom tertentu.
Untuk membantu klien menemukan akar dari masalah atau simtom yang dialami klien, hipnoterapis akan menggunakan uncovering technique, ada major uncovering technique dan minor uncovering technique, yang dipilih untuk diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi klien.
Tebbetts, seorang maestro hipnoterapi, menyatakan bahwa eliminasi simtom dengan menggunakan teknik uncovering meliputi empat hal:
1.Memori yang menjadi dasar munculnya simtom harus ditemukan/diketahui.
2.Perasaan yang terhubung dengan memori harus dialami kembali (revivification).
3.Relasi simtom ke memori harus terjalin.
4.Pembelajaran pada level pikiran bawah sadar atau emosi harus terjadi agar klien dapat membuat keputusan di masa depan tidak terpengaruh oleh materi yang direpres atau belum terselesaikan.
Saat mencari akar masalah, seperti yang dinyatakan oleh Tebbets, klien akan mengalami regresi yang akhirnya membawa ia kembali ke kejadian awal yang menjadi sumber masalahnya. Dalam dunia hipnoterapi, kejadian awal ini disebut I.S.E atau Initial Sensitizing Event.
Pertanyaan yang selalu menggelitik hati adalah, “Apakah I.S.E ini benar-benar kejadian yang dialami klien ataukah hanya sekedar fantasinya?”
Bagi seorang hipnoterapis jawabannya adalah, “Tidak penting dan tidak peduli. Yang penting klien sembuh dari masalahnya.”
Lho, kok begitu?
Saya pribadi tidak pernah memusingkan apakah data yang tergali saat terapi adalah benar-benar data otentik/akurat atau hanya fantasi. Yang penting klien sembuh, titik. Namun tentu saja, bila berbicara mengenai penggalian data dari memori, seperti dalam forensic hypnosis, saya tidak bisa berkata seperti di atas. Untuk forensic hypnosis saya tentu akan lebih hati-hati dan harus didukung dengan riset mengenai hal ini. Namun untuk sesi terapi biasa, tidak jadi masalah apapun data yang muncul. Yang penting klien sembuh.
Nah, kembali ke pertanyaan awal, “Apakah data/memori yang tergali saat proses terapi adalah data yang akurat ataukah hanya fantasi? Kalau akurat, seberapa akuratkah data ini?”
Jawabannya adalah, “Tidak akurat.”
Ceritanya begini ya. Informasi yang berasal dari luar diri kita jumlahnya sangat banyak sekitar 2.000.000 bit informasi pada suatu saat. Karena banyaknya informasi yang harus diproses, agar kita tidak mengalami overload, maka pikiran sadar akan melakukan filter berdasar kriteria berikut:
• Informasi yang paling kuat atau berpengaruh
• Informasi yang berhubungan dengan keselamatan hidup (menurut pemikiran pikiran bawah
sadar) atau
• Aspek yang sejalan dengan preferensi sistem sensori (visual, auditori, atau kinestetik) .
Kita cenderung lebih memperhatikan salah satu aspek daripada yang lainnya.
Stimulus adalah informasi apa saja yang masuk melalui panca indera, atau yang dihasilkan oleh pikiran sendiri, bisa berasal dari suatu memori atau suatu skenario pemikiran. Setelah proses saringan awal selesai dilakukan, informasi tiba di bagian otak yang dinamakan thalamus. Thalamus bertugas mengirim “bahan mentah” informasi ke bagian otak yang bertugas memproses informasi sesuai dengan komponennya, misalnya warna, kontras, gerakan, suara, dan lain sebagainya.
Satu hal menarik yaitu saat bagian otak, setelah menerima dan memproses tiap komponen informasi, mengirimnya kembali ke thalamus, ternyata informasi ini telah bertambah sekitar 80% lebih banyak daripada saat pertama kali diterima. Otak ternyata telah menambahkan lebih banyak informasi daripada saat pertama kali informasi itu diterima. Hal ini berarti 80% dari persepsi kita terhadap suatu informasi adalah hasil rekayasa kita sendiri, bukan apa informasi itu adanya.
Sekarang anda pasti telah memahami mengapa saya mengatakan bahwa data yang tergali saat sesi terapi adalah “tidak akurat”. Data ini bukannya salah namun sudah terdistorsi oleh persepsi kita, telah kita beri makna, plus disertai dengan emosi tertentu. Jadi, bisa dikatakan data yang ada di memori adalah fakta + pemaknaan + emosi.
Freud pada mulanya juga berkeyakinan bahwa data yang tergali dalam sesi terapi adalah data yang akurat, apa adanya. Namun di kemudian hari Freud menyadari bahwa memori yang tergali dalam proses terapi ternyata mengandung emosi yang kuat, campuran antara perasaan takut, fakta, dan persepsi.
Panel yang dibentuk oleh AMA (American Medical Association) yang terdiri dari delapan pakar, antara lain Martion Orne, Bernard Diamond, Herbert Spiegel, dan David Spiegel, sepakat pada satu hal yaitu bahwa dalam age regression pengalaman subjektif mengalami kembali pengalaman di masa kecil walaupun seakan-akan nyata dan benar demikian adanya – tidak berarti sama persis dengan kejadian sesungguhnya (Council on Scientific Affairs, 1985, p. 1919)
Memori bersifat interaktif dan dinamis, tidak statis. Hasil riset membuktikan bahwa teori yang menyatakan pikiran merekam secara objektif kejadian atau pengalaman ,apa adanya seperti yang terjadi, seperti sebuah kamera video, tidaklah benar.
Informasi yang masuk ke pikiran bawah sadar dan disimpan di memori, mengalami distorsi baik saat pertama kali data diterima dan disimpan, saat telah berada di memori, saat pemanggilan data (retrieval), saat data keluar dari memori dan diungkapkan secara verbal maupun non verbal.
Walaupun data yang tergali adalah data yang subjektif, data yang telah mengalami distorsi, namun bila data ini tergali dalam kondisi profound somnambulism, akurasinya jauh lebih tinggi daripada bila digali dalam kondisi sadar normal.
Akurasi yang dimaksud di sini adalah minimnya distorsi yang terjadi akibat tercampurnya data yang berasal dari pikiran bawah sadar dengan “data” yang berasal dari pikiran sadar, saat proses penggalian di memori.
Kondisi hipnosis, khususnya very deep hypnosis atau profound somnambulism, adalah kondisi yang sangat kondusif untuk menggali data di pikiran bawah sadar. Dalam kondisi ini pikiran sadar, khususnya critical factor, tidak bekerja sehingga data, dari pikiran bawah sadar, bisa dengan sangat mudah naik ke pikiran sadar.
Di pelatihan QHI, Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy, saya menjelaskan mekanisme komunikasi pikiran sadar dan bawah sadar , naiknya data dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar secara real time.
Saat seseorang berada dalam kondisi profound somnambulism pikirannya menjadi sangat terkonsentrasi dan kesadarannya, seperti yang dikatakan oleh Dave Elman, meningkat hingga 2.000%.
Informasi apapun yang tergali saat sesi terapi digunakan sepenuhnya untuk membantu klien mengatasi masalahnya, bukan melakukan pengecekan dan validasi data seperti yang dilakukan dalam forensic hypnosis. Jadi, hipnoterapis dalam hal ini tidak akan mempermasalahkan akurasi data itu. Yang penting klien sembuh.
Saat data tergali dari pikiran bawah sadar klien akan ada dua skenario yang bisa terjadi, bergantung pada level kedalaman hipnosis yang berhasil dicapai klien. Pertama, klien hanya akan mengingat kejadian itu. Kondisi ini disebut hypermnesia atau pseudo revivification yang akan dialami klien yang berada dalam kondisi medium trance. Kedua, pada kedalaman deep trance, klien mengalami kembali kejadian atau pengalaman itu sama seperti dulu ia mengalaminya. Kondisi ini disebut dengan revivification.
Hal yang yang juga sangat penting diperhatikan adalah pertanyaan yang diajukan terapis kepada klien, apakah bersifat leading ataukah guiding. Pertanyaan yang bersifat leading akan mengakibatkan terciptanya false memory yang akan sangat merugikan klien dan malah bisa membuat kondisi klien menjadi semakin parah. Sedangkan pertanyaan yang bersifat guiding bersifat netral dan objektif.
Saya pernah diminta membantu menangani satu kasus yang, katanya, akibat dari penggunaan hipnoterapi secara tidak bertanggung jawab. “Korban”, juga menurut informasi yang saya dapatkan, telah menjalani beberapa sesi terapi dengan terapis lain untuk mengatasi masalahnya.
Setelah saya pertimbangkan dengan saksama akhirnya saya putuskan untuk tidak menangani kasus ini. Saya tidak yakin bila saya melakukan forensic hypnosis pada “korban”, untuk menggali informasi mengenai apa yang telah terjadi, akan bisa mendapatkan data yang otentik. Tidak bermaksud meragukan apa yang telah dilakukan terapis lainnya, yang juga telah membantu menangani “korban”, saya tidak tahu teknik apa yang telah digunakan. Selain itu, terapis yang membantu “korban” ternyata datang dari beberapa disiplin ilmu yang berbeda.
Berikut saya berikan contoh bahaya false memory. Misalnya seorang klien wanita mengaku merasa mengalami pelecehan seksual oleh pamannya, saat ia masih kecil. Terapis yang tidak profesional dan tidak mengerti bahaya pertanyaan leading akan melakukan hal berikut, setelah klien diregresi ke “kejadian” pelecehan itu terjadi:
Terapis : Kamu sekarang berada di mana?
Klien : Di kamar.
Terapis : Berapa usia kamu saat ini?
Klien : Lima tahun.
Terapis : Apakah Om ada di dalam kamar?
Klien : Ya.
Terapis : Apa yang Om lakukan padamu?
Pembaca, ini sangat berbahaya. Saat seseorang berada dalam kondisi deep hypnosis apa yang dikatakan atau ditanyakan oleh terapis akan memunculkan gambaran mental yang seakan-akan merupakan kejadian yang sesungguhnya. Pada contoh di atas yang terjadi sebenarnya adalah belum tentu Om itu ada di dalam kamar. Om menjadi berada di dalam kamar karena sugesti, dalam bentuk pertanyaan, yang diberikan oleh si terapis.
Baru-baru in saya mendapat klien, seorang pria, sebut saja Pak Rudi, yang mengeluh sakit kepala sebelah yang sudah berlangsung sekitar 6 bulan. Pak Rudi telah berobat ke dokter, telah melakukan cek darah lengkap, dan bahkan telah menjalani CT Scan dan MRI. Hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan Pak Rudi sehat, sama sekali tidak ada masalah.
Tidak puas dengan hasil pemeriksaan lab dalam negeri, Pak Rudi memutuskan berobat ke negeri jiran dan kembali menjalani pemeriksaan menyeluruh. Hasilnya? Sama, Pak Rudi dinyatakan sepenuhnya sehat. Dokter tidak bisa menemukan apa yang menyebabkan sakit kepala Pak Rudi.
Dokter di dalam negeri dan di negeri jiran sama-sama mengatakan bahwa sakit kepala Pak Rudi ini disebabkan karena pikiran, bukan karena masalah fisik. Mereka menyarankan Pak Rudi untuk tidak banyak pikiran, hidup lebih santai, berolahraga, dan kalau perlu mengambil cuti dan berlibur untuk menenangkan pikiran.
Pembaca, apa yang dialami oleh Pak Rudi dikenal sebagai penyakit psikosomatis. Psiko artinya pikiran dan soma artinya tubuh. Jadi, penyakit psikosomatis artinya penyakit yang timbul atau disebabkan oleh kondisi mental atau emosi seseorang. Penyakit ini juga disebut dengan penyakit akibat stress. Penyakit psikosomatis sekarang sering disebut dengan penyakit psikofisologis. Namanya saja yang sedikit berbeda namun maknanya sama.
Salah satu hipnoterapis alumnus Quantum Hypnosis Indonesia juga pernah menangani klien, seorang wanita, yang alergi gula atau makanan yang manis. Jika ia makan permen atau minum minuman yang manis maka seluruh tubuhnya akan gatal dan bengkak. Yang aneh adalah bila ia makan nasi atau roti tidak apa-apa. Padahal yang namanya gula itu kan glukosa. Bukankah karbohidrat setelah masuk ke tubuh akan diubah menjadi glukosa? Secara logika, harusnya kalau ia makan nasi atau roti maka reaksi tubuhnya akan sama dengan makan permen atau minum minuman yang manis.
Banyak orang menderit penyakit psikosomatis namun tidak menyadarinya. Mereka biasanya akan terus berusaha sembuh dari sakit yang dideritanya dengan terus berobat namun tidak bisa sembuh. Kalaupun ada perubahan biasanya intensitas penyakitnya saja yang menurun tapi tidak bisa sembuh total. Selang beberapa saat biasanya akan kambuh lagi dan bisa lebih parah dari sebelumnya.
Baik Pak Rudi dan klien wanita ini sembuh hanya dalam satu sesi terapi setelah akar masalah yang mengakibatkan penyakit psikosomatisnya berhasil ditemukan dan dibereskan.
Apa saja sakit yang masuk kategori psikosomatis? Semua sakit fisik yang disebabkan oleh kondisi mental atau emosi penderitanya; mulai sakit kepala, sesak napas, badan lemas lunglai tak bertenaga, jantung berdebar, sulit tidur, sakit maag, mata berkunang-kunang, bahkan lumpuh, dan masih banyak lagi.
Bagaimana Terjadinya?
Untuk memahami terjadinya penyakit psikosomatis kita perlu mencermati hukum pikiran dan pengaruh emosi terhadap tubuh. Ada banyak hukum yang mengatur cara kerja pikiran, salah duanya adalah:
• Setiap pikiran atau ide mengakibatkan reaksi fisik.
• Simtom yang muncul dari emosi cederung akan mengakibatkan perubahan pada tubuh fisik bila simtom ini bertahan cukup lama.
Hukum pertama mengatakan setiap pikiran atau ide mengakibatkan reaksi fisik. Bila seseorang berpikir, secara konsisten, dan meyakinkan dirinya bahwa ia sakit jantung, maka cepat atau lambat ia akan mulai merasa tidak nyaman di daerah dada, yang ia yakini sebagai gejala sakit jantung. Bila ide ini terus menerus dipikirkan dan akhirnya ia menjadi sangat yakin, menjadi belief, karena gejalanya memang “benar” adalah gejala sakit jantung maka, sesuai dengan bunyi hukum yang kedua, ia akan benar-benar sakit jantung.
Biasanya orang tidak akan secara sadar menginginkan mengalami sakit tertentu. Umunya yang mereka rasakan adalah suatu perasaan tidak nyaman, secara emosi. Sayangnya mereka tidak mengerti bahwa perasaan tidak nyaman ini sebenarnya adalah salah satu bentuk komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar.
Ada lima cara pikiran bawah sadar berkomunikasi dengan pikiran sadar. Bisa melalui perasaan, kondisi fisik, intuisi, mimpi, dan dialog internal. Umumnya pikiran bawah sadar menyampaikan pesan melalui perasaan atau emosi tertentu. Bila emosi ini tidak ditanggapi atau diperhatikan maka ia akan menaikkan level intensitas pesannya menjadi suatu bentuk gangguan fisik dan terjadilah yang disebut dengan penyakit psikosomatis.
David Cheek M.D., dan Leslie LeCron menulis dalam buku mereka, Clinical Hypotherapy (1968), terdapat 7 hal yang bisa mengakibatkan penyakit psikosomatis:
-Internal Conflict : konflik diri yang melibatkan minimal 2 Part atau Ego State.
-Organ Language : bahasa yang digunakan oleh seseorang dalam mengungkapkan perasaannya. Misalnya, “Ia bagaikan duri dalam daging yang membuat tubuh saya sakit sekali.” Bila pernyataan ini sering diulang maka pikiran bawah sadar akan membuat bagian tubuh tertentu menjadi sakit sesuai dengan semantik yang digunakan oleh klien.
-Motivation / Secondary Gain: keuntungan yang bisa didapat seseorang dengan sakit yang dideritanya, misalnya perhatian dari orangtua, suami, istri, atau lingkungannya, atau menghindar dari beban tanggung jawab tertentu.
-Past Experience : pengalaman di masa lalu yang bersifat traumatik yang mengkibatkan munculnya emosi negatif yang intens dalam diri seseorang.
-Identification : penyakit muncul karena klien mengidentifikasi dengan seseorang atau figur otoritas yang ia kagumi atau hormati. Klien akan mengalami sakit seperti yang dialami oleh figur otoritas itu.
-Self Punishment : pikiran bawah sadar membuat klien sakit karena klien punya perasaan bersalah akibat dari melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai hidup yang klien pegang.
-Imprint : program pikiran yang masuk ke pikiran bawah sadar saat seseorang mengalami emosi yang intens. Salah satu contohnya adalah orangtua menanam program ke pikiran bawah sadar anak dengan berkata, “Jangan sampai kehujanan, nanti bisa flu, pilek, dan demam."
Sedangkan Tebbets, pakar hipnoterapi terkemuka, mengatakan bahwa kebanyakan penyakit bersifat psikosomatik dan dipilih (untuk dimunculkan) pada level pikiran bawah sadar untuk lari dari suatu situasi yang dipersepsikan sebagai suatu tekanan mental yang berlebihan (overload) yang disebabkan oleh emosi destruktif seperti marah, benci, dendam, takut, dan perasaan bersalah.
Bagaimana Mengatasinya?
Karena yang menjadi sumber masalah sebenarnya adalah emosi maka terapis harus mampu membantu klien memproses emosi terpendam yang menjadi sumber masalah.
Tebbets mengatakan bahwa ada 4 langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi penyakit psikosomatis dan menghilangkan simtomnya melalui teknik uncovering:
1.Memori yang menyebabkan munculnya simtom harus dimunculkan dan dibawa ke level pikiran sadar sehingga diketahui.
2.Perasaan atau emosi yang berhubungan dengan memori ini harus kembali dialami dan dirasakan oleh klien.
3.Menemukan hubungan antara simtom dan memori.
4.Harus terjadi pembelajaran pada secara emosi atau pada level pikiran bawah sadar, sehingga memungkinkan seseorang membuat keputusan, di masa depan, yang mana keputusannya tidak lagi dipengaruhi oleh materi yang ditekan (repressed content) di pikiran bawah sadar.
Mencari tahu apa yang menjadi sumber masalah dilakukan dengan hypnoanalysis mendalam. Ada banyak teknik hipnoterapi yang bisa digunakan untuk melakukan hypnoanalysis. Setelah itu, emosi yang berhubungan dengan memori dialami kembali, dikeluarkan, diproses, dan di-release. Dan yang paling penting adalah kita mengerti pesan yang selama ini berusaha disampaikan oleh pikiran bawah sadar dengan membuat klien mengalami penyakit psikosomatis. Baru setelah itu proses kesembuhan bisa terjadi.
Pada saat alasan untuk terciptanya penyakit psikosomatis telah berhasil dihilangkan maka pikiran bawah sadar tidak lagi punya alasan untuk mempertahankan penyakit itu atau memunculkannya lagi di masa mendatang.
Saya akhiri artikel ini dengan kalimat bijak yang disampaikan oleh Dr. Raymond Charles Barker, “When there is a problem, there is not something to do. There is something to know.”
Ide menulis artikel ini muncul saat membaca respon seorang rekan di Facebook. Saat itu saya memposting tulisan “Apakah engkau sudah memaafkan orang yang menyakitimu? "Belum." Musuh kita bukanlah mereka yang menyakiti kita, melainkan sifat membenci yang ada pada diri kita.”
Rekan ini menulis, “Pak kenapa kok saya belum bisa memaafkan juga ya? Padahal saya sudah diterapi berkali-kali, mengapa masih ada sisa perasaan jengkel? Apanya yang salah nih? Saya sangat tersiksa dengan rasa dendam ini.”
Selanjutnya ia menambahkan, “ Saya sudah menerapkan Hypno-EFT yang ada di buku Quantum Life Transformation. Sudah pake pertanyaan kritis di buku The Secret of Mindset, padahal saya orang yang mudah trance. Dan tiap sesi terapi saya dibantu suami. Kebetulan suami saya praktisi hipnoteapi (CHt) dan sudah banyak membantu orang lain. Tiap hari saya dicintai seorang hipnoterapis. Saya juga bingung Pak kenapa ya saya ini? Saya lalu curhat sama hipnoterapis lain. Katanya sebaiknya saya menerapi diri sendiri, jangan dibantu suami. Waktu saya menerapi diri sendiri dengan Hypno-EFT, belum satu putaran saya mual dan muntah-muntah. Tiap kali saya menerapi diri sendiri selalu terjadi seperti ini. Sepertinya bawah sadar saya memberi sinyal menolak diterapi.Sepertinya bawah sadar saya sangat mencintai dendam di hati saya. Seperti ingin melindungi saya dan ingin saya bahagia dengan memelihara luka di hati saya. Saya dari keluarga broken-home dan ini sangat mengganggu perasaan cinta saya pada suami, walaupun suami sangat baik dan setia.”
Saya menjawab, “Sebaiknya Ibu minta bantuan terapis lain. Ada satu hukum tak tertulis dalam dunia terapi, khususnya hipnoterapi. Seorang hipnoterapis tidak bisa menjadi terapis bagi pasangan atau anggota keluarganya sendiri. Pikiran bawah sadar seseorang sangat cerdas. Ia bisa menahan informasi yang dia tidak ingin diketahui oleh terapisnya (baca: pasangannya).”
Pembaca, saat menjawab pertanyaan rekan ini saya tentu tidak bisa menjelaskan secara lebih detil alasan di balik jawaban singkat yang saya berikan. Melalui artikel ini saya akan melakukan eksplorasi lebih jauh untuk menjawab pertanyaan “Bisakah Hipnoterapis Menerapi Keluarganya Sendiri?”
Jawaban singkat untuk pertanyaan di atas: Bisa.
Efektifkah? Nah, ini jawabannya, “May…. may be yes… may be no.” Lho, kok?
Ceritanya begini ya. Teknik terapi yang digunakan untuk menerapi klien atau anggota keluarga, termasuk pasangan, sebenarnya sama saja. Dalam hal ini saya berasumsi hipnoterapis memiliki kecakapan dan jam terbang yang cukup. Yang membuat proses terapi terhadap anggota keluarga, apalagi terhadap pasangan, menjadi berbeda adalah hal-hal yang berhubungan dengan:
1. Tingkat kepercayaan
2. Keterbukaan
3. Kesiapan mental klien dan hipnoterapis
4. Keterlibatan emosi
Sekarang mari kita bahas poin di atas. Pertama, tingkat kepercayaan. Saat melakukan terapi pertanyaan yang sangat menentukan adalah apakah klien, misalnya istri, mempercayai sepenuhnya kecakapan terapisnya (suami)? Apakah istri merasa aman? Hal ini sangat penting untuk dijawab dengan jujur. Bila seorang klien tidak percaya sepenuhnya pada kemampuan terapisnya atau tidak merasa aman mengungkapkan informasi yang ada di pikiran bawah sadarnya maka terapi telah gagal bahkan sebelum dimulai. Umumnya bila terapisnya adalah suami dan kliennya adalah istri tidak terlalu jadi masalah. Yang menjadi masalah adalah bila terapisnya adalah istri dan yang menjadi klien adalah si suami. Suami biasanya, walau tidak semuanya, tidak mengijinkan istri menerapi dirinya. Ini karena ego suami yang merasa dirinya lebih hebat dari istrinya.
Poin kedua adalah keterbukaan. Ini yang cukup sulit dilakukan. Seringkali masalah yang dialami ada hubungannya dengan pasangan, atau orangtua pasangan. Bila situasinya seperti ini saya meragukan klien cukup berani untuk berkata jujur.
Saat seseorang berada dalam kondisi hipnosis, sedalam apapun level hipnosisnya, ia tetap sadar sesadar-sadarnya dan mampu mengendalikan sepenuhnya baik pikiran, ucapan, dan responnya. Dengan demikian klien bisa berkata tidak jujur atau menyembunyikan informasi yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menuntaskan masalahnya. Jika klien tidak mengungkapkan informasi tertentu dengan berbagai pertimbangan atau alasan, mungkin sungkan, tidak berani, atau takut, dan oleh karenanya informasi ini tidak bisa diproses maka terapi yang dilakukan pasti tidak efektif.
Ada kemungkinan akar masalah klien adalah kejadian yang sangat traumatik, yang dalam pandangan klien merupakan aib yang sangat memalukan, yang selama ini tidak pernah ia ceritakan kepada siapapun. Bila tidak siap maka klien tidak akan mengungkapkan hal ini kepada terapisnya yang notabene adalah pasangannya. Ini berhubungan dengan rasa aman secara psikis.
Poin ketiga adalah kesiapan mental baik pada diri klien maupun terapis dalam menyikapi berbagai data yang terungkap selama sesi terapi, khususnya data yang berasal dari memori yang ditekan selama ini (repressed memory). Bila misalnya klien mengungkapkan informasi yang sangat sensitif dan terapisnya tidak siap mendengar hal ini, karena yang menerapi kan pasangannya sendiri, maka ini bisa jadi masalah besar. Bisa-bisa setelah selesai melakukan terapi, terapisnya yang butuh diterapi karena mengalami goncangan psikis yang hebat. Contohnya?
Misalnya yang menjadi klien adalah si istri dan terapisnya adalah si suami. Bagaimana bila, walaupun sudah disepakati di awal, sebelum menjalani sesi terapi, bahwa baik klien maupun terapis akan sangat terbuka dan bisa memaklumi informasi apapun yang akan tergali saat terapi, klien menyampaikan bahwa ia dulu pernah mengalami pelecehan seksual atau sudah tidak gadis lagi saat menikah dengan pasangannya?
Bagaimana bila sekarang yang menjadi klien adalah si suami dan terapisnya adalah si istri dan saat proses terapi terungkap bahwa si suami punya PIL eh salah…maksud saya, WIL? Apakah terapis siap mendengar informasi ini dan melanjutkan sesi terapis secara profesional?
Contoh kasus di atas adalah kasus yang memang ekstrim. Saya sengaja menyampaikan hal ini sebagai bahan pemikiran. Bukan berarti ini tidak mungkin terjadi, lho. Jika, misalnya, yang saya ceritakan di atas sungguh-sungguh terjadi, apakah baik klien maupun terapisnya siap?
Dan ini membawa kita ke poin keempat yaitu keterlibatan emosi. Hipnoterapis yang baik, menurut hemat saya, adalah mereka yang mampu melakukan terapi tanpa sama sekali terlibat secara emosi atas apa yang dialami oleh klien. Saat emosi terlibat maka terapis sudah tidak lagi bisa netral dalam bersikap dan memproses berbagai informasi yang terungkap. Terapi sangat membutuhkan sikap dan emosi yang netral. Ini untuk menghindari terjadinya countertransference.
Keterlibatan emosi bisa juga terjadi pada terapis saat menangani klien, yang bukan pasangannya, bila ternyata apa yang dialami klien mirip atau sama dengan pengalaman traumatik yang dulu dialami si terapis, namun belum berhasil ia atasi.
Saya pernah membaca ada terapis, wanita, yang ternyata punya masalah dengan suaminya, dan saat ia menerapi kliennya yang juga seorang wanita, untuk masalah yang berhubungan dengan suami klien, tidak bisa bersikap netral. Hasil terapi justru semakin memperburuk hubungan klien dan suaminya karena terapis, saat klien dalam kondisi somnambulism, mensugestikan hal-hal atau pandangan yang sebenarnya mencerminkan kemarahan terapis pada suaminya. Ini sangat riskan.
Nah, bagaimana bila ternyata baik klien maupun terapisnya, ingat ya saya sedang membahas hipnoterapis yang menerapi pasangannya, ternyata mampu mengatasi keempat poin di atas?
Wah, kalau ini yang terjadi maka hasilnya akan sangat luar biasa. Selain klien sembuh dari masalahnya, hubungan mereka akan menjadi semakin erat, hangat, dan kuat. Pembelajaran yang dilakukan pada level pikiran bawah sadar klien, yang mendapat dukungan penuh dari (pikiran bawah sadar) terapis akan membawa mereka ke level kesadaran yang sangat tinggi yang meningkatkan kedewasaan sikap, mental, dan spiritual mereka secara luar biasa. Mereka sadar bahwa apa yang dialami di masa lalu adalah pembelajaran dan kebijaksanaan yang sangat berharga untuk kehidupan mereka. Pembelajaran ini hanya bisa didapatkan setelah luka batin itu diproses.
“Apakah pernah ada yang mengalami hal ini?”
“Hal yang mana?”
“Itu lho, baik yang positif maupun yang negatif?”
“Pernah.”
Pernah ada seorang rekan menghubungi saya minta terapi. Saat saya tanya apa yang terjadi ternyata ia menerapi klien yang mengalami kepahitan di masa kecilnya yang berhubungan dengan orangtuanya. Dan kasus klien ini mirip dengan yang ia alami saat kecil. Yang terjadi selanjutnya adalah saat klien mengalami ledakan emosi (abreaction), eh.. rekan terapis ini juga ikut menangis dan mengalami kembali pengalaman dan emosi negatif yang dulu ia alami. Jadi, baik klien maupun terapis sama-sama abreaction.
Sedangkan yang positif juga ada. Seorang rekan terapis saat memproses trauma istrinya dan mengetahui berbagai kepahitan yang dialami si istri saat kecil, tidak saja berhasil membantu istrinya sembuh, justru membuat ia semakin cinta pada istrinya dan memutuskan untuk membuat istrinya bahagia lahir dan batin. Mereka,suami istri, sepakat bahwa pengalaman buruk yang dulu dialami sang istri tidak boleh terjadi pada anak mereka. Mereka juga menyadari sepenuhnya walaupun anak masih kecil, anak tetap punya perasaan dan pemikiran yang harus dihargai dan dihormati.
Contoh di atas adalah kalau hipnoterapis menerapi pasangannya. Bagaimana kalau hipnoterapis, misalnya ayah atau ibu, menerapi anaknya?
Sama saja. Keempat poin di atas sangat perlu diperhatikan. Pada kasus yang anak alami, dari pengalaman saya menerapi banyak anak dan keluarga, saya mendapatkan hampir semua, sekitar 98%, masalah anak terjadi karena pola asah, asih, dan asuh yang salah yang anak alami di rumah. Dengan kata lain yang menjadi sumber masalah sebenarnya adalah orangtua.
Akan sulit bagi anak untuk secara terbuka mengungkapkan isi hatinya dan mengatakan bahwa orangtuanya adalah sumber masalahnya. Anak tentu merasa takut atau tidak aman. Sebaliknya bila orangtua tidak siap maka sebaik apapun ia berusaha emosinya pasti akan terlibat dan ia menjadi tidak objektif. Apapun kondisinya, terapi tidak akan bisa efektif.
Jadi, apa saran Pak Adi? Saran saya bagi anda, rekan sejawat saya, sesama hipnoterapis, sebaiknya bila anggota keluarga kita ada masalah, mintalah bantuan rekan hipnoterapis lain untuk mengatasi masalahnya.
Hipnoterapi, walaupun sangat efektif dalam membantu menangani dan mengatasi banyak masalah yang berhubungan dengan emosi, dalam pandangan saya pribadi, akan menjadi satu tool terapi yang sangat powerful bila ditambahkan satu unsur lagi di dalamnya.
Umumnya orang hanya mengenal hipnoterapi sebagai salah satu teknik terapi. Saya juga seperti ini di saat awal mendalami hipnoterapi. Seiring waktu berjalan, dengan semakin banyaknya klien yang saya bantu dan tangani, saya melihat satu pola konsisten pada perubahan diri klien. Ada klien yang masuk ke ruang terapi dengan beban yang begitu berat, muka murung, menjalani terapi, dan saat mereka keluar dari ruang terapi mereka bukanlah pribadi yang sama. Benar, mereka telah berubah. Mereka telah berhasil mengatasi masalahnya. Ada juga klien yang menjalani proses terapi yang serupa namun level perubahannya jauh lebih sangat dalam.
Semula saya kurang memperhatikan hal ini. Namun semakin lama saya semakin penasaran dan saya mulai melakukan analisa terhadap berbagai kasus yang pernah saya tangani, yang mirip, namun ternyata hasil terapinya berbeda secara signifikan.
Dari mempelajari ulang record terapi berbagai klien saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan penting. Kesimpulannya adalah hipnoterapi jika hanya diaplikasikan sebagai suatu teknik terapi untuk membantu klien mengatasi masalahnya maka hasilnya walaupun memuaskan tidak akan bisa mencapai level perubahan yang benar-benar mendasar.
Yang saya maksudkan dengan perubahan yang mendasar adalah tidak hanya masalah emosi klien terselesaikan namun klien juga mengalami transformasi belief, value, dan pergeseran paradigma yang mengubah hidupnya secara signifikan dan permanen.
Hipnoterapi yang mampu memberikan hasil seperti ini tidak hanya bersifat terapeutik namun juga transendental saya sebut dengan Transcendental Therapy.
Apa maksudnya?
Biar jelas saya beri contoh ya. Ceritanya begini. Seorang klien wanita, sebut saja, Ibu Rini, 40 tahun, datang ke saya untuk minta diterapi. Masalahnya adalah ia mengalami kepahitan yang luar biasa akibat perlakuan orangtuanya saat ia masih kecil. Saat masih dalam kandungan saja ibunya pernah mencoba menggugurkannya. Selanjutnya ia dilahirkan, menggunakan istilah Bu Rini, ala kadarnya dan dibesarkan dengan penuh kekerasan dan tanpa cinta kasih orangtua. Ia bahkan pernah dihajar ayahnya, yang stress berat, saat Rini berusia 6 tahun, hingga pingsan selama 2 hari. Ibunya juga pernah menghajar Rini saat ia SMP kelas 2 karena dianggap “nakal” dan ini dilakukan di depan teman-temannya di sekolah. Bisa dibayangkan bagaimana luka batin yang dialami Rini.
Kasus seperti ini sebenarnya bukan kasus yang berat. Jangan salah mengerti. Kasus ini tentunya sangat berat bagi klien namun tidak bagi terapis karena secara standar dan prosedur terapi kita sudah tahu apa yang harus dilakukan dan sudah sering menangani berbagai kasus yang kurang lebih sama. Bahkan ada yang lebih berat lagi dari ini.
Jika hipnoterapi digunakan untuk mengobati luka batinnya maka Ibu Rini bisa dengan cepat sembuh dan tidak lagi akan terpengaruh oleh kejadian di masa lampaunya. Namun sungguh sayang bila terapi hanya berhenti sampai di sini saja.
Untuk kasus yang berat seperti ini saya biasanya melakukan sesuatu yang lebih, tidak sekedar hipnoterapi. Saya melakukan reedukasi pikiran bawah sadar, tentunya ini dilakukan dalam kondisi profound somnambulism, agar klien bisa memetik hikmah, pesan, pembelajaran, dan kebijaksanaan yang terkandung kejadian yang dialami klien. Sudah tentu dalam melakukan hal ini saya tetap berpegang teguh pada prinsip client centered dan hanya akan menggunakan belief system dan value klien sebagai dasar pembelajarannya.
Reedukasi untuk bisa membawa klien mencapai tahap pembelajaran ini harus dilakukan dengan hati-hati dan menggunakan teknik yang sesuai. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar klien, secara pikiran bawah sadar, bersedia dan bisa mengalami pembelajaran ulang ini. Bila hal ini tidak dipenuhi maka hasilnya bisa sangat kontraproduktif.
Bila proses pembelajaran ini berhasil dilakukan dengan baik maka klien tidak hanya berhasil sembuh dari masalahnya, klien juga akan belajar banyak hal mengenai hidup, kehidupan, keterbatasan orangtua, kekuatan dan kelemahan orangtua, ketergantungan anak terhadap orangtuanya, bagaimana seharusnya orangtua mencintai anaknya, pentingnya memaafkan, membangun keluarga yang baik, sikap dan perilaku anak terhadap orangtua dan orangtua terhadap anak, bersyukur telah mengalami kejadian yang begitu pahit, berterima kasih kepada Tuhan untuk semua yang telah ia alami, dan malah semakin cinta kepada kedua orangtuanya, dan masih banyak lagi.
Pemahaman dan kebijaksanaan yang diperoleh melalui pembelajaran ulang secara pikiran bawah sadar inilah yang akhirnya mampu klien mengalami peningkatan dan ekspansi kesadaran dengan sangat cepat. Dengan level kesadaran baru klien akan menjalani hidupnya dengan cara yang berbeda.
Beberapa waktu lalu saya sempat bertemu dengan Ibu Rini dan sungguh luar biasa perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Dari caranya berbicara, bahasa tubuh, tatapan mata, dan juga rona wajahnya saya bisa menangkap keyakinan dirinya yang sangat tinggi, perasaan bahwa ia adalah makhluk Tuhan yang sangat berharga dan berhak serta layak untuk mencapai sukses di bidang apa saja. Ia menggunakan pemahaman yang diperoleh melalui proses terapi sebagai landasan untuk melakukan karya nyata kehidupannya yang akan mampu mengubah hidup sangat banyak orang.
Ini juga salah satu alasan mengapa, untuk kasus yang berat, saya tidak menggunakan teknik yang hanya bertujuan mengeliminir emosi yang melekat pada suatu memori. Walaupun klien bisa disembuhkan dengan teknik ini namun klien tidak akan mendapat hikmah dari kejadian yang dulu ia alami.
Di artikel sebelumnya saya telah menjelaskan kriteria yang saya gunakan untuk menentukan suatu teknik itu efektif dan akan saya ajarkan di kelas Quantum Hypnosis Indonesia. Membaca penjelasan ini, seorang rekan kembali bertanya, “Pak Adi, mengapa penjelasan Bapak mengenai teknik , dasar teori, dan pendekatan terapi berbeda dengan yang saya baca di buku-buku, internet, dan juga berbeda dengan pendapat beberapa pakar hipnosis/hipnoterapi? Bahkan kalau saya bandingkan, pendapat dan pemikiran Bapak terkesan keluar dari pakem yang umum digunakan.”
Pembaca, dulu saat saya pertama kali belajar teknologi pikiran, lebih spesifik lagi hipnosis dan hipnoterapi saya menggunakan acuan materi yang saya dapatkan dari trainer saya untuk membangun pemahaman saya mengenai hipnosis/hipnoterapi. Selain belajar kepada seorang pakar hipnosis/hipnoterapi terkemuka di Indonesia saya juga sempat belajar kepada Marleen Moulder saat ia mengadakan pelatihan di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, beberapa tahun lalu.
Setelah mengerti basicnya, saya melanjutkan pembelajaran saya dengan membaca lebih banyak buku, menonton DVD, mendengarkan program audio tentang pikiran, melakukan surfing internet, menjadi member pada situs pakar tertentu, tentunya ini nggak murah bayarnya, dan juga belajar langsung ke para pakar hipnoterapi dan mind technology terbaik di Amerika. Semakin saya banyak baca dan belajar semakin saya bingung.
Lho, kok bingung?
Bagaimana nggak bingung karena ternyata pendapat para pakar itu sama tapi berbeda. Mereka menjelaskan menurut pemahaman mereka sendiri. Apa yang benar menurut pakar yang satu ternyata belum tentu benar menurut pakar lainnya. Demikian sebaliknya.
Saya membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menemukan benang merah dari apa yang saya pelajari. Semuanya semakin jelas setelah saya banyak melakukan terapi. Ternyata dasar teori yang kita gunakan sebagai dasar melakukan terapi sangat menentukan hasil terapi kita.
Pemahaman saya tentunya berbeda dengan orang lain. Setiap teknik atau pendekatan terapi yang dilakukan tentunya punya konsekuensi hasil yang spesifik. Ada banyak jalan menuju Roma. Tinggal kita menetapkan mau menggunakan jalan yang mana yang dirasa paling pas untuk diri kita.
Saya mengembangkan Quantum Hypnotherapeutic Procedure (QHP) sebagai acuan alur terapi yang diajarkan di Quantum Hypnosis Indonesia (QHI). Semua alumni QHI menggunakan QHP sebagai landasan untuk melakukan terapi.
Dasar teori yang digunakan sebagai landasan pijak teknik terapi dalam QHP juga selalu saya update seiring dengan pemahaman dan pengalaman saya dan juga diperkaya dengan berbagai sharing kasus klinis yang ditangani para alumni QHI.
Ini saya beri contoh ya. Dulu waktu pertama kali belajar hipnosis saya menggunakan Stanford Hypnotic Susceptibility Scale (SHSS) yang diciptakan oleh Ernest Hilgard sebagai acuan untuk mengenal tipe subjek. SHSS menyatakan bahwa klien terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, 10% yang mudah dihipnosis. Kedua, 85% yang moderat. Sedangkan sisanya, sebesar 5% masuk kategori yang sulit atau tidak bisa dihipnosis.
Berdasar SHSS, saat itu, jika saya bertemu dengan klien yang sulit masuk kondisi trance maka saya akan menyimpulkan, “Oh, saya lagi apes karena bertemu klien yang masuk kategori 5%.” Dengan mindset seperti ini maka setiap kali saya tidak bisa menghipnosis klien maka yang salah adalah si klien. Salahnya sendiri kok masuk kategori yang 5%?” Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah saya yang tidak mampu, bukan klien yang tidak bisa trance.
Pembelajaran saya selanjutnya mengenai tipe sugestibilitas memberikan pemahaman baru bahwa sebenarnya ada dua tipe sugestibilitas yaitu yang bersifat fisik (physical suggestibility) dan yang bersifat emosi (emotional suggestibility). Dari ratusan buku tentang terapi, pikiran, hipnosis atau hipnoterapi, hanya satu buku yang bicara tentang hal ini. Ini adalah hasil riset mendalam dari seorang pakar yang sangat terkenal di Amerika.
Orang tipe physical suggestible ini sangat mudah dihipnosis. Sedangkan yang emotional suggestible lebih sulit karena lebih menggunakan perasaan dan analitikal. Dengan pemahaman ini maka tingkat keberhasilan saya menginduksi subjek atau klien meningkat sangat tinggi.
Selanjutnya, dengan mempelajari berbagai riset terkini, ditunjang dengan pengalaman praktik dan semakin bertambahnya jam terbang, mengajarkan saya satu hal penting. Ternyata semua orang bisa masuk kondisi hipnosis dengan sangat mudah dan cepat asalkan tahu caranya.
Saat ini, jika hendak menghipnosis seseorang, saya tidak perlu tahu tipe sugestibilitasnya. Saya sudah tidak lagi menggunakan pendekatan ini. Yang saya lakukan adalah menyiapkan pikiran klien. Selanjutnya, dengan sangat mudah saya bisa membawa klien, tipe apa saja, masuk ke kondisi hipnosis yang sangat dalam, profound somnambulism.
Pemahaman saya mengenai cara kerja pikiran, dinamika dan proses terapi, hubungan gelombang otak dan kesadaran, serta berbagai teknik terapi semakin dipertajam dengan update pengetahuan yang saya dapatkan dari Anna Wise dan Tom Silver.
Update ini juga yang kini saya ajarkan di kelas 100 jam QHI (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy). Dengan pemahaman ini murid saya tidak perlu bingung mempelajari berbagai teknik induksi yang sangat beragam. Mereka mampu dengan sangat mudah membawa siapa saja masuk kondisi deep trance. Dengan demikian mereka hanya perlu konsentrasi mendalami berbagai teknik terapi yang saya ajarkan. Ini sudah tentu sangat membantu peningkatan kecakapan terapi mereka.
Selama belajar di QHI para peserta pelatihan hanya belajar 3 (tiga) teknik induksi yang telah saya pilih secara sangat hati-hati dan telah saya modifikasi. Semua alumni QHI menggunakan salah satu dari tiga teknik induksi ini, bergantung situasi dan kondisi klien, saat melakukan terapi dan hasilnya sangat luar biasa. Bahkan ada peserta yang baru belajar selama 3 hari telah mampu membawa 10 orang subjek masuk ke profound somnambulism dengan begitu mudah.
Untuk sampai pada tiga teknik ini saya membutuhkan waktu hampir 3 tahun setelah melakukan berbagai kesalahan dan kegagalam dalam induksi. Sebelumnya saya telah mencoba sangat banyak teknik induksi. Pengalaman mengajarkan saya bahwa ada banyak teknik induksi yang sebenarnya tidak perlu dipelajari karena tidak digunakan dalam proses terapi.
Pemahaman saya lainnya yang terkesan agak berbeda adalah tentang sugesti. Saya sangat tidak menganjurkan murid saya melakukan terapi hanya dengan mengandalkan sugesti. Saya sampai pada kesimpulan ini setelah melakukan riset literatur dan diperkuat dengan hasil praktik saya sendiri. Saya hanya akan menggunakan sugesti sebagai finishing touch, bukan sebagai teknik utama.
Untuk memperdalam pemahaman saya mengenai sugesti baru-baru ini saya mempelajari hasil riset yang dilakukan oleh seorang pakar yang telah mengujicobakan sugesti pada 8.000 (delapan ribu) subjek hipnosis di The Pathological Institute of The New York State Hospitals. Informasi yang saya dapatkan tentunya semakin mempertajam pemahaman saya tentang cara kerja sugesti, apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan dengan sugesti, jenis atau tipe hasil sugesti, dan masih banyak lagi hal lain yang sangat bermanfaat.
Mengapa jika hanya menggunakan sugesti biasanya kurang efektif?
Menurut pemahaman dan pengalaman saya sugesti hanya akan bekerja maksimal dengan beberapa syarat. Pertama, otoritas terapis dalam pandangan pikiran bawah sadar klien haruslah sangat tinggi. Tanpa level otoritas yang tinggi maka sugesti tidak punya power yang optimal karena sulit menembus critical factor pikiran sadar.
Bisa saja seorang klien, secara pikiran sadar, merasa bahwa terapisnya adalah orang yang mumpuni. Namun secara pikiran bawah sadar tidak demikian. Ada banyak faktor yang menentukan level otoritas seorang terapis di mata klien.
Kedua, kesiapan dan kesediaan klien untuk berubah. Jika keinginan berubah tidak terlalu kuat maka sudah pasti teknik apapun yang digunakan, termasuk dengan menggunakan sugesti, tidak bisa bekerja optimal. Ini yang biasa disebut dengan “You are not ready for change until you are ready for change”.
Ketiga, level kedalaman trance. Umumnya sugesti diberikan dalam kondisi light trance atau maksimal di level medium trance. Sugesti yang diberikan pada kondisi ini tidak akan bisa bekerja maximal. Agar sugesti bekerja maksimal maka dibutuhkan kedalaman profound somnambulism.
Keempat, adanya penolakan dari Ego State tertentu. Baru-baru ini di Quantum Life Transformation workshop saya memberikan sugesti kepada seorang peserta. Hasilnya? Sugesti saya tidak bekerja. Kalaupun bekerja, pengaruhnya hanya sangat sebentar. Sudah saya coba beberapa kali hasilnya tetap sama. Saya bahkan sengaja mengulang sugesti beberapa kali dengan tujuan meningkatkan powernya namun tetap saja tidak efektif. Saya lalu menetralisir resistensi Ego State ini dan selanjutnya semuanya jadi sangat mudah. Sugesti apapun yang saya berikan langsung bekerja dengan optimal. Bahkan untuk membawa subjek mengalami negative visual hallucination saya hanya butuh waktu tidak lebih dari 2 menit.
Kelima, semantik yang digunakan untuk menyusun sugesti tidak pas dengan kebutuhan dan kondisi subjek. Sugesti akan semakin sulit bekerja, jika tidak mau dikatakan sama sekali tidak bias bekerja, bila tidak bisa menembus 4 filter mental yang ada di pikiran bawah sadar.
Pemahaman ini juga yang mendasari pendapat saya yang mengatakan bahwa teknik terapi berbasis sugesti yang digabungkan dengan kinesiologi yang diciptakan oleh seorang pakar di Amerika tidak efektif, walaupun di situsnya ia mengatakan tekniknya sangat dahsyat bahkan lebih efektif daripada EFT.
Nah pembaca, inilah beberapa alasan yang membuat saya menolak peserta yang hanya ingin mengikuti kelas advanced QHI. Untuk bisa melakukan QHP peserta perlu menguasai tidak hanya dasar teori namun juga pemahaman dan alasan mengapa saya akhirnya sampai pada teknik yang diajarkan di QHI.
Kemarin, saat berdiskusi dengan seorang rekan di rumah saya, ia mengajukan pertanyaan menarik, “Pak Adi, bagaimana Bapak tahu teknik terapi yang anda kembangkan sudah benar, sesuai jalur terapi yang seharusnya?”
“Mudah sekali. Yang dilihat adalah hasil terapinya. Jika apa yang saya lakukan tidak ada hasilnya maka saya perlu jujur dan berbesar hati mengakui dan menerima bahwa apa yang saya kembangkan ternyata tidak efektif” jawab saya.
Saya memeriksa efektivitas teknik terapi, lebih spesifik lagi Quantum Hypnotherapeutic Proedure, dengan meminta masukan dan saran dari alumni saya. Dari laporan mereka saya tahu apakah saya telah on-track atau masih perlu melakukan berbagai perbaikan.
Saya menulis artikel ini sebagai jawaban atas permintaan dan pertanyaan calon peserta pelatihan, Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy. Calon peserta ini, sebut saja Pak Budi, mengaku telah belajar ke banyak lembaga hipnoterapi, membaca banyak buku, serta juga aktif sebagai hipnoterapis.
Saat saya tanyakan apa yang ia ingin pelajari dari saya, jawabnya, “Saya mau belajar hanya materi advanced QHI.”
“Maksud, Bapak?” tanya saya.
“Begini Pak Adi, saya kan sudah pernah mengikuti pelatihan di lembaga X, lembaga Y, dengan trainer ini, trainer itu (Pak Budi menyebut beberapa nama lembaga dan trainer hipnosis dan hipnoterapi). Jadi saya sudah tahu banyak mengenai hipnosis dan hipnoterapi. Saya hanya mau belajar teknik advanced QHI. Kan, seperti yang Bapak jelaskan, teknik advanced QHI baru diajarkan di minggu kedua. Jadi saya ikut yang minggu kedua dan ketiga saja” jawabnya lancar dan tegas.
“Pak, kalau mau belajar di QHI maka Bapak perlu mengikuti materi mulai dari hari pertama, penjelasan teori selama 3 hari, baru setelah itu ke materi advanced di minggu kedua dan ketiga” jawab saya.
“Maaf Pak, bukannya saya meremehkan materi QHI. Seperti yang telah saya jelaskan tadi, saya kan sudah ikut banyak pelatihan. Saya juga sudah banyak baca buku hipnosis dan hipnoterapi. Selain itu saya juga seorang hipnoterapis aktif. Jadi, yang saya butuhkan hanya materi advanced, bukan yang basic” jawabnya lagi.
Pembaca, setelah berdiskusi beberapa saat saya tahu bahwa saya tidak bisa mengajarkan materi QHI kepada Pak Budi. His cup is full. Gelasnya sudah penuh. Lha, kalau sudah penuh bagaimana mungkin saya bisa mengisinya?
Materi QHI didesain sedemikian rupa sehingga alumnus nantinya mampu melakukan hipnoterapi dengan benar, efektif, efisien, dan dengan hasil terapi yang permanen. Inti materi QHI adalah Quantum Hypnotherapeutic Procedure (QHP). Namun untuk bisa benar-benar mampu melakukan QHP seperti yang saya lakukan, untuk bisa mencapai hasil terapi seperti yang saya capai di ruang praktik saya, maka dibutuhkan pemahaman mendalam mengenai cara kerja pikiran, dinamika dan proses terapi, pemahaman cara kerja teknik secara mendalam, dan masih banyak hal lain lagi.
Saya mengajarkan teori yang melandasi QHP di tiga hari pertama. Bila ada peserta yang tidak hadir satu hari saja, dari tiga hari pertama ini, maka saya akan meminta peserta ini mundur. Mengapa? Kalau tidak mengerti dasar teorinya lalu bagaimana mau belajar yang lebih advanced?
Setelah tiga hari pertama, di sesi selanjutnya, peserta masih terus mendapatkan tambahan dasar teori dan berbagai update pengetahuan terkini.
Setiap tahap pelatihan diikuti dengan tugas praktik yang disusun secara sangat sistematis dan hati-hati agar peserta pasti mampu melakukannya dengan berhasil. Sesederhana apapun praktik yang diminta untuk dilakukan, peserta pelatihan harus melakukannya. Ini bertujuan sebagai batu fondasi pemahaman untuk teknik yang lebih advanced. Bila tahap ini tidak dilakukan dengan benar maka saya jamin peserta pasti akan mengalami kesulitan saat belajar teknik advanced.
Penasaran dengan “luasnya” pengetahuan Pak Budi yang tetap bersikeras hanya mau ikut materi advanced saya akhirnya mengajukan pertanyaan, “Sebagai sesama hipnoterapis aktif, kalau berkenan, boleh tahu dalam satu minggu Bapak menerapi berapa orang klien?”
“Ya, kalau sempat saya terima satu hari satu klien” jawabnya.
“Rata-rata dalam satu minggu berapa klien, Pak?” tanya saya lagi.
“Ya, kadang dua, kadang tiga. Nggak mesti lah. Kalau Pak Adi, dalam satu hari terima berapa klien?” Pak Budi balik bertanya.
“Rata-rata saya terima dua klien. Bahkan pernah tiga orang dalam sehari” jawab saya.
“Pak, kalau boleh share, apakah Bapak pernah menerapi klien yang moditas utamanya visual, dan saat Bapak minta klien membayangkan sesuatu, gambarnya nggak bisa keluar?” tanya saya lagi.
“Pernah. Beberapa kali saya mengalaminya” jawab Pak Budi.
“Dari pengalaman Bapak apa yang menyebabkan hal ini terjadi?”
“Oh, ini karena klien kurang deep.”
“Apa yang Bapak lakukan agar gambar atau imajinasi klien bisa muncul?”
“Saya lakukan deepening lagi.”
“Hasilnya?”
“Nggak tahu kenapa tapi tetap nggak bisa muncul gambarnya. Padahal saya yakin klien sebenarnya sudah sangat deep. Kayaknya klien nggak siap diterapi. Ada resistensi. Orangnya visual tapi gambarnya nggak bisa muncul.”
Dari jawaban Pak Budi saya tahu bahwa sebenarnya ada pemahaman yang kurang pas mengenai hubungan antara level kedalaman trance dan kemampuan memunculkan gambar mental atau imajinasi.
“Karena gambarnya tetap nggak bisa muncul, dan klien sudah sangat deep, apa yang Bapak lakukan?” kejar saya.
“Saya kasih sugesti saja. Dan saya terminate. Lha, bagaimana mau terapi, gambarnya nggak bisa muncul” jawabnya.
Pembaca, hal-hal yang tampak sangat sepele ini sebenarnya adalah hal yang sangat penting dalam proses terapi. Bagaimana mungkin Pak Budi bisa melakukan teknik advanced dalam QHP secara benar bila dasar teorinya saja dia kurang atau tidak menguasai.
“Kalau menurut Pak Adi, apa yang menyebabkan orang visual tidak bisa membayangkan sesuatu dalam kondisi trance?” tanya Pak Budi.
Saya hanya tertawa saja mendengar pertanyaan ini dan menjawab, “Nah, Pak, inilah yang saya ajarkan di tiga hari pertama QHI. Filosofi terapi yang saya kembangkan tentunya tidak sama dengan rekan-rekan trainer lain. Untuk bisa memahami apa yang saya lakukan Bapak perlu memahami dasar teori dan alur berpikir saya saat menciptakan QHP. Dengan pemahaman ini barulah Bapak bisa melakukan hipnoterapi versi QHI secara benar. Itulah sebabnya saya tetap meminta Bapak mengikuti kelas QHI secara penuh. Saya mengajarkan dasar teori mengapa gambar mental orang visual nggak bisa muncul dan bagaimana cara mengatasi hal ini. Juga bagaimana membuat orang yang auditori dan kinestetik bisa dengan mudah melakukan visualisasi. Kalau Bapak mencopot sedikit dari trainer ini, sedikit dari trainer satunya, tanpa dilandasi satu alur terapi utama maka Bapak pasti akan bingung.”
Walaupun telah mendapat penjelasan panjang lebar dari saya, Pak Budi tetap hanya ingin ikut kelas advanced QHI. Ya, sudah, saya nggak bisa apa-apa. Tentu saja saya tidak bisa mengabulkan permintaannya. His cup is full. When the cup is full, it is full.