The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Hipnosis dan Memori

21 Juli 2010

Ide untuk menulis artikel ini muncul saat saya sedang berdiskusi (post hypnotic interview) tentang proses dan hasil terapi dengan seorang klien, usai melakukan hipnoterapi. Klien ini bertanya, “Pak Adi, tadi waktu dalam proses terapi, saat Bapak membantu mencari dan menemukan akar masalah yang saya alami, ternyata muncul memori dari masa kecil yang selama ini saya tidak ingat sama sekali. Memori ini apa memang benar seperti itu kejadiannya ataukah hanya fantasi saya saja?”

Pembaca, untuk menjawab pertanyaan di atas saya perlu menceritakan sekilas proses yang terjadi selama sesi hipnoterapi. Klien datang kepada hipnoterapis karena mengalami suatu masalah atau simtom tertentu.

Untuk membantu klien menemukan akar dari masalah atau simtom yang dialami klien, hipnoterapis akan menggunakan uncovering technique, ada major uncovering technique dan minor uncovering technique, yang dipilih untuk diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi klien.

Tebbetts, seorang maestro hipnoterapi,  menyatakan bahwa eliminasi simtom dengan menggunakan teknik uncovering meliputi empat hal:
1.Memori yang menjadi dasar munculnya simtom harus ditemukan/diketahui.
2.Perasaan yang terhubung dengan memori harus dialami kembali (revivification).
3.Relasi simtom ke memori harus terjalin.
4.Pembelajaran pada level pikiran bawah sadar atau emosi harus terjadi agar klien dapat membuat keputusan di masa depan tidak terpengaruh oleh materi yang direpres atau belum terselesaikan.  

Saat mencari akar masalah, seperti yang dinyatakan oleh Tebbets, klien akan mengalami regresi yang akhirnya membawa ia kembali ke kejadian awal yang menjadi sumber masalahnya. Dalam dunia hipnoterapi, kejadian awal ini disebut I.S.E atau Initial Sensitizing Event.

Pertanyaan yang selalu menggelitik hati adalah, “Apakah I.S.E ini benar-benar kejadian yang dialami klien ataukah hanya sekedar fantasinya?”

Bagi seorang hipnoterapis jawabannya adalah, “Tidak penting dan tidak peduli. Yang penting klien sembuh dari masalahnya.”
Lho, kok begitu?

Saya pribadi tidak pernah memusingkan apakah data yang tergali saat terapi adalah benar-benar data otentik/akurat atau hanya fantasi. Yang penting klien sembuh, titik. Namun tentu saja, bila berbicara mengenai penggalian data dari memori, seperti dalam forensic hypnosis, saya tidak bisa berkata seperti di atas. Untuk forensic hypnosis saya tentu akan lebih hati-hati dan harus didukung dengan riset mengenai hal ini. Namun untuk sesi terapi biasa, tidak jadi masalah apapun data yang muncul. Yang penting klien sembuh.

Nah, kembali ke pertanyaan awal, “Apakah data/memori yang tergali saat proses terapi adalah data yang akurat ataukah hanya fantasi? Kalau akurat, seberapa akuratkah data ini?”

Jawabannya adalah, “Tidak akurat.”

Ceritanya begini ya. Informasi yang berasal dari luar diri kita jumlahnya sangat banyak sekitar 2.000.000 bit informasi pada suatu saat. Karena banyaknya informasi yang harus diproses, agar kita tidak mengalami overload,  maka pikiran sadar akan melakukan filter berdasar kriteria berikut:

• Informasi yang paling kuat atau berpengaruh
• Informasi yang berhubungan dengan keselamatan hidup (menurut pemikiran pikiran bawah           
  sadar) atau
• Aspek yang sejalan dengan preferensi sistem sensori (visual, auditori, atau kinestetik) .
  Kita cenderung lebih memperhatikan salah satu aspek daripada yang lainnya.

Stimulus adalah informasi apa saja yang masuk melalui panca indera, atau yang dihasilkan oleh pikiran sendiri, bisa berasal dari suatu memori atau suatu skenario pemikiran. Setelah proses saringan awal selesai dilakukan, informasi tiba di bagian otak yang dinamakan thalamus. Thalamus bertugas mengirim “bahan mentah” informasi ke bagian otak yang bertugas memproses informasi sesuai dengan komponennya, misalnya warna, kontras, gerakan, suara, dan lain sebagainya.

Satu hal menarik yaitu saat bagian otak, setelah menerima dan memproses tiap komponen informasi, mengirimnya kembali ke thalamus, ternyata informasi ini telah bertambah sekitar 80% lebih banyak daripada saat pertama kali diterima. Otak ternyata telah menambahkan lebih banyak informasi daripada saat pertama kali informasi itu diterima. Hal ini berarti 80% dari persepsi kita terhadap suatu informasi adalah hasil rekayasa kita sendiri, bukan apa informasi itu adanya.

Sekarang anda pasti telah memahami mengapa saya mengatakan  bahwa data yang tergali saat sesi terapi adalah “tidak akurat”. Data ini bukannya salah namun sudah terdistorsi oleh persepsi kita, telah kita beri makna, plus disertai dengan emosi tertentu. Jadi, bisa dikatakan data yang ada di memori adalah fakta + pemaknaan + emosi. 

Freud pada mulanya juga berkeyakinan bahwa data yang tergali dalam sesi terapi adalah data yang akurat, apa adanya. Namun di kemudian hari Freud menyadari bahwa memori yang tergali dalam proses terapi ternyata mengandung emosi yang kuat, campuran antara perasaan takut, fakta, dan persepsi.

Panel yang dibentuk oleh AMA (American Medical Association) yang terdiri dari delapan pakar, antara lain Martion Orne, Bernard Diamond, Herbert Spiegel, dan David Spiegel, sepakat pada satu hal yaitu bahwa dalam age regression pengalaman subjektif mengalami kembali pengalaman di masa kecil walaupun seakan-akan nyata dan benar demikian adanya – tidak berarti sama persis dengan kejadian sesungguhnya (Council on Scientific Affairs, 1985, p. 1919)

Memori bersifat interaktif dan dinamis, tidak statis. Hasil riset membuktikan bahwa teori yang menyatakan pikiran merekam secara objektif kejadian atau pengalaman ,apa adanya seperti yang terjadi, seperti sebuah kamera video, tidaklah benar.

Informasi yang masuk ke pikiran bawah sadar dan disimpan di memori, mengalami distorsi baik saat pertama kali data diterima dan disimpan, saat telah berada di memori, saat pemanggilan data (retrieval), saat data keluar dari memori dan diungkapkan secara verbal maupun non verbal. 

Walaupun data yang tergali adalah data yang subjektif, data yang telah mengalami distorsi, namun bila data ini tergali dalam kondisi profound somnambulism, akurasinya jauh lebih tinggi daripada bila digali dalam kondisi sadar normal.

Akurasi yang dimaksud di sini adalah minimnya distorsi yang terjadi akibat tercampurnya data yang berasal dari pikiran bawah sadar dengan “data” yang berasal dari pikiran sadar, saat proses penggalian di memori.

Kondisi hipnosis, khususnya very deep hypnosis atau profound somnambulism, adalah kondisi yang sangat kondusif untuk menggali data di pikiran bawah sadar. Dalam kondisi ini pikiran sadar, khususnya critical factor, tidak bekerja sehingga data, dari pikiran bawah sadar, bisa dengan sangat mudah naik ke pikiran sadar.

Di pelatihan QHI, Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy, saya menjelaskan mekanisme komunikasi pikiran sadar dan bawah sadar , naiknya data dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar secara real time.

Saat seseorang berada dalam kondisi profound somnambulism pikirannya menjadi sangat terkonsentrasi dan kesadarannya, seperti yang dikatakan oleh Dave Elman, meningkat hingga 2.000%.

Informasi apapun yang tergali saat sesi terapi digunakan sepenuhnya untuk membantu klien mengatasi masalahnya, bukan melakukan pengecekan dan validasi data seperti yang dilakukan dalam forensic hypnosis.  Jadi, hipnoterapis dalam hal ini tidak akan mempermasalahkan akurasi data itu. Yang penting klien sembuh. 

Saat data tergali dari pikiran bawah sadar klien akan ada dua skenario yang bisa terjadi, bergantung  pada level kedalaman hipnosis yang berhasil dicapai klien. Pertama, klien hanya akan mengingat kejadian itu. Kondisi ini disebut hypermnesia atau pseudo revivification yang akan dialami klien yang berada dalam kondisi medium trance. Kedua, pada kedalaman deep trance, klien mengalami kembali kejadian atau pengalaman itu sama seperti dulu ia mengalaminya. Kondisi ini disebut dengan revivification.

Hal yang yang juga sangat penting diperhatikan adalah pertanyaan yang diajukan terapis kepada klien, apakah bersifat leading ataukah guiding. Pertanyaan yang bersifat leading akan mengakibatkan terciptanya false memory yang akan sangat merugikan klien dan malah bisa membuat kondisi klien menjadi semakin parah. Sedangkan pertanyaan yang bersifat guiding bersifat netral dan objektif.

Saya pernah diminta membantu menangani satu kasus yang, katanya, akibat dari penggunaan hipnoterapi secara tidak bertanggung jawab. “Korban”, juga menurut informasi yang saya dapatkan, telah menjalani beberapa sesi terapi dengan terapis lain untuk mengatasi masalahnya.

Setelah saya pertimbangkan dengan saksama akhirnya saya putuskan untuk tidak menangani kasus ini. Saya tidak yakin bila saya melakukan forensic hypnosis pada “korban”, untuk menggali informasi mengenai apa yang telah terjadi, akan bisa mendapatkan data yang otentik. Tidak bermaksud meragukan apa yang telah dilakukan terapis lainnya, yang juga telah membantu menangani “korban”, saya tidak tahu teknik apa yang telah digunakan. Selain itu, terapis yang membantu “korban” ternyata datang dari beberapa disiplin ilmu yang berbeda.

Berikut saya berikan contoh bahaya false memory. Misalnya seorang klien wanita mengaku merasa mengalami pelecehan seksual oleh pamannya, saat ia masih kecil. Terapis yang tidak profesional dan tidak mengerti bahaya pertanyaan leading akan melakukan hal berikut, setelah klien diregresi ke “kejadian” pelecehan itu terjadi:

Terapis : Kamu sekarang berada di mana?
Klien    : Di kamar.
Terapis : Berapa usia kamu saat ini?
Klien    : Lima tahun.
Terapis : Apakah Om ada di dalam kamar?
Klien    : Ya.
Terapis : Apa yang Om lakukan padamu?

Pembaca, ini sangat berbahaya. Saat seseorang berada dalam kondisi deep hypnosis apa yang dikatakan atau ditanyakan oleh terapis akan memunculkan gambaran mental yang seakan-akan merupakan kejadian yang sesungguhnya. Pada contoh di atas yang terjadi sebenarnya adalah belum tentu Om itu ada di dalam kamar. Om menjadi berada di dalam kamar karena sugesti, dalam bentuk pertanyaan, yang diberikan oleh si terapis.

_PRINT