The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Konsep unconscious atau pikiran bawah sadar (PBS) telah menjadi salah satu topik utama dalam studi psikologi dan hipnoterapi. Banyak tokoh atau pakar mengutarakan pemikiran atau gagasan yang berbeda tentang unconscious.
Tulisan berikut bermaksud menjelaskan secara ringkas perbedaan konsep unconscious menurut Sigmund Freud, Timothy D. Wilson, dan Adi W. Gunawan. Meskipun ketiganya sepakat bahwa unconscious memiliki pengaruh besar terhadap pikiran, emosi, dan perilaku manusia, masing-masing memiliki perspektif yang berbeda mengenai cara kerja, sifat, dan dampaknya terhadap kehidupan individu.
Unconscious Menurut Sigmund Freud
Sigmund Freud (1856–1939), pencetus psikoanalisis, melihat unconscious sebagai tempat penyimpanan dorongan primitif, impuls seksual, agresi, dan konflik yang direpresi. Dalam pandangannya, pikiran sadar tidak mampu menangani pengalaman traumatis atau dorongan yang tidak dapat diterima, sehingga unconscious bertindak sebagai tempat penyimpanan yang tersembunyi.
Menurut Freud, struktur pikiran manusia terbagi menjadi tiga lapisan utama:
1. Conscious (Pikiran Sadar): Bagian pikiran yang aktif dan dapat diakses dengan mudah, seperti pemikiran logis dan kesadaran sehari-hari.
2. Preconscious (Pikiran Pra-Sadar): Informasi yang tidak selalu disadari, tetapi dapat dengan mudah diakses jika diperlukan, seperti ingatan atau pengalaman yang bisa diingat kembali.
3. Unconscious (Pikiran Bawah Sadar): Tempat penyimpanan konflik psikologis, trauma, dan dorongan naluriah yang direpresi karena tidak dapat diterima oleh kesadaran.
Freud berpendapat bahwa unconscious memiliki pengaruh besar terhadap kepribadian dan perilaku individu, bahkan jika individu tersebut tidak menyadari keberadaannya.
Misalnya, seseorang yang memiliki trauma masa kecil mungkin mengalami fobia terhadap suatu objek tanpa memahami alasan di balik ketakutannya. Hal ini terjadi karena trauma tersebut telah direpresi ke dalam unconscious, tetapi tetap mempengaruhi respons emosional dan perilaku.
Selain itu, Freud juga mengembangkan konsep mekanisme pertahanan ego, yaitu strategi bawah sadar yang digunakan untuk melindungi individu dari kecemasan akibat konflik batin. Beberapa mekanisme pertahanan ini meliputi:
• Represi: Menghapus ingatan traumatis dari kesadaran.
• Proyeksi: Menyalahkan orang lain atas perasaan atau keinginan yang tidak dapat diterima.
• Rasionalisasi: Membuat alasan logis untuk membenarkan perilaku yang tidak rasional.
• Sublimasi: Mengalihkan dorongan agresif atau seksual menjadi aktivitas yang lebih dapat diterima secara sosial.
Dalam konteks terapi, menurut Freud, unconscious dapat diakses dan diproses melalui teknik tertentu, seperti:
• Asosiasi bebas: Pasien berbicara secara spontan tentang segala sesuatu yang muncul dalam pikirannya, tanpa sensor atau filter.
• Analisis mimpi: Menginterpretasikan simbol dalam mimpi sebagai manifestasi dari konflik bawah sadar.
• Hipnosis: Digunakan dalam terapi awal Freud untuk mengakses trauma yang tersembunyi dalam unconscious.
Dengan memahami konflik yang ada di unconscious, Freud meyakini bahwa individu dapat melepaskan ketegangan psikologis dan mencapai keseimbangan emosional yang lebih baik.
Unconscious Menurut Timothy D. Wilson
Timothy D. Wilson, seorang psikolog sosial, memperkenalkan konsep Adaptive Unconscious dalam bukunya Strangers to Ourselves: Discovering the Adaptive Unconscious (2002). Berbeda dengan Freud, Wilson melihat unconscious bukan sebagai sumber konflik psikodinamis, melainkan sebagai sistem otomatis yang membantu manusia beradaptasi dengan lingkungan dan membuat keputusan cepat.
Wilson berargumen bahwa sebagian besar aktivitas mental kita terjadi tanpa disadari, dan banyak keputusan yang kita buat sehari-hari dipengaruhi oleh Adaptive Unconscious. Misalnya, ketika seseorang bertemu dengan orang baru, ia secara otomatis menilai kepribadian orang tersebut dalam hitungan detik tanpa berpikir secara sadar. Proses ini terjadi karena unconscious mengandalkan pola dan pengalaman masa lalu untuk membuat penilaian cepat.
Ciri utama Adaptive Unconscious menurut Wilson:
1. Bekerja secara otomatis: Tanpa perlu melibatkan pikiran sadar, seperti saat mengemudi atau berbicara dalam bahasa ibu.
2. Memproses informasi dengan cepat: Misalnya, kita dapat menilai suasana hati seseorang hanya dari ekspresi wajahnya dalam hitungan detik.
3. Membantu pengambilan keputusan: Seperti memilih pasangan, pekerjaan, atau produk dalam situasi yang tidak memungkinkan analisis mendalam.
4. Belajar secara implisit: Adaptive Unconscious memungkinkan individu belajar dari pengalaman tanpa harus menyadari proses belajarnya, seperti saat anak kecil belajar berbicara.
Berbeda dengan teori Freud yang menekankan perlunya teknik terapi khusus untuk mengakses unconscious, Wilson menyatakan bahwa unconscious dapat diidentifikasi melalui refleksi dan pengujian kognitif.
Beberapa metode yang bisa digunakan untuk mengenali pola bawah sadar seseorang meliputi:
• Journaling (Menulis Jurnal): Membantu seseorang mengamati pola pikir dan emosinya.
• Mindfulness (Kesadaran Penuh): Memungkinkan individu menyadari kebiasaan dan pola pikir yang muncul secara otomatis.
• Eksperimen Kognitif: Menggunakan teknik psikologi eksperimental untuk mengungkap pola bawah sadar.
Dalam terapi, pendekatan Wilson sering digunakan dalam terapi perilaku-kognitif (CBT), di mana pasien diajarkan untuk mengenali kebiasaan berpikir otomatis yang tidak produktif dan menggantinya dengan pola pikir yang lebih adaptif.
Unconscious Menurut Adi W. Gunawan
Adi W. Gunawan (AWG) mengembangkan konsep Protective Unconscious, yang menekankan bahwa unconscious atau pikiran bawah sadar (PBS) adalah bagian dominan dari sistem pikiran manusia. PBS bertanggung jawab atas pola pikir, emosi, dan perilaku individu, serta mengendalikan sekitar 95-99% dari aktivitas mental, menjadikannya faktor paling berpengaruh dalam kehidupan seseorang.
Fungsi dan Cara Kerja PBS
Fungsi utama PBS adalah melindungi individu dari hal-hal yang dirasakan, diyakini, atau dipersepsikan sebagai ancaman terhadap keselamatan dan kesejahteraan. PBS bekerja secara otomatis dalam membangun mekanisme perlindungan, terlepas dari apakah ancaman tersebut nyata atau hanya persepsi individu.
Sebagai contoh, seseorang yang pernah mengalami pengalaman buruk dalam berbicara di depan umum mungkin akan mengalami ketakutan berbicara di depan banyak orang di masa depan. Hal ini terjadi karena PBS telah menyimpan pengalaman tersebut sebagai sesuatu yang harus dihindari.
PBS bekerja dengan logikanya sendiri, yang terpisah dari logika pikiran sadar. Ini berarti bahwa sesuatu yang dianggap tidak rasional oleh pikiran sadar bisa dianggap sangat nyata oleh unconscious. Oleh karena itu, meskipun seseorang secara rasional mengetahui bahwa berbicara di depan umum tidak berbahaya, PBS tetap dapat menciptakan respons ketakutan ekstrem karena mengacu pada pengalaman masa lalu yang tersimpan dalam sistemnya.
PBS sebagai Penyimpan Program Mental
PBS menyimpan program mental yang telah tertanam sejak lahir dan terus terbentuk dari pengalaman hidup, baik positif maupun negatif. Jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi dengan keyakinan negatif tentang uang, misalnya, PBS akan membentuk pola yang menghambat keberlimpahan finansialnya.
Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh kualitas program pikiran yang tersimpan dalam PBS. Jika program tersebut positif, konstruktif, dan mendukung, individu memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mencapai kesuksesan, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program dalam PBS bersifat negatif, penuh ketakutan, atau mengandung limiting beliefs, individu akan mengalami hambatan dalam berbagai aspek kehidupan.
PBS juga memproteksi program pikiran agar tidak mudah diubah atau berubah. Setiap usaha untuk mengubah program pikiran akan mendapatkan perlawanan dari PBS, karena dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas individu. Inilah sebabnya mengapa seseorang sering mengalami kesulitan dalam mengubah kebiasaan, pola pikir, atau mengatasi mental block tanpa intervensi yang tepat, seperti hipnoterapi.
PBS dan Mekanisme Stimulus-Respons
PBS bekerja berdasarkan strategi stimulus-respons, sesuai dengan program yang ada di dalamnya. Untuk setiap stimulus spesifik, PBS akan memberikan respons spesifik, dan pola ini akan terus berulang hingga terjadi perubahan pada program pikiran yang mendasarinya.
Sebagai contoh, seseorang yang memiliki trauma terhadap anjing akibat pengalaman buruk di masa kecil mungkin secara otomatis merasa cemas setiap kali melihat anjing, meskipun secara sadar ia memahami bahwa tidak semua anjing berbahaya. Ini terjadi karena PBS menjalankan program perlindungan yang telah tertanam sebelumnya.
PBS sebagai Sistem Satu Unit atau Multi Sub-Sistem
Menurut AWG, PBS dapat dipandang sebagai satu unit utuh atau sebagai sistem yang terdiri dari banyak sub-sistem. Pemahaman ini memiliki implikasi penting dalam terapi:
• Jika PBS dipandang sebagai satu unit, maka terapi dilakukan secara global dan menyasar keseluruhan PBS, untuk mengubah program yang menghambat individu.
• Jika PBS dipandang sebagai sistem dengan banyak sub-sistem, maka terapi dapat difokuskan pada bagian spesifik yang menyimpan trauma, mental block, atau program tertentu yang perlu diubah.
Pendekatan yang digunakan akan sangat bergantung pada cara pandang terapis, serta kondisi dan kebutuhan spesifik dari individu yang menjalani terapi.
PBS dalam perspektif Adi W. Gunawan adalah mekanisme perlindungan utama individu, yang bekerja secara otomatis, menyimpan program mental, dan mengontrol pola pikir serta emosi. Dengan logikanya sendiri yang berbeda dari pikiran sadar, PBS memainkan peran besar dalam menentukan kehidupan seseorang.
Karena sifatnya yang protektif, PBS cenderung mempertahankan program yang ada dan memberikan perlawanan terhadap perubahan, yang menjelaskan mengapa mengatasi mental block atau mengubah kebiasaan lama sering kali membutuhkan intervensi khusus seperti hipnoterapi.
Dengan memahami bagaimana PBS bekerja dan bagaimana cara mengaksesnya secara efektif, individu dapat mengatasi hambatan bawah sadar dan memprogram ulang dirinya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Perbandingan Unconscious Menurut Freud, Wilson, dan Adi W. Gunawan
Aspek | Freud | Wilson | AWG |
---|---|---|---|
Fokus utama | Konflik batin akibat trauma dan dorongan bawah sadar | Pemrosesan otomatis dan kebiasaan adaptif | Sistem perlindungan dan pembentuk program mental |
Aksesibilitas | Sulit diakses, perlu psikoanalisis | Bisa diidentifikasi melalui refleksi dan pengujian kognitif | Bisa diakses melalui hipnoterapi dan reprogramming PBS |
Cara kerja | Berisi dorongan dan keinginan terlarang yang direpresi | Mengolah informasi cepat tanpa kesadaran | Menyimpan program mental dan bertindak sebagai mekanisme perlindungan |
Fungsi utama | Menekan konflik emosional agar tidak mengganggu pikiran sadar | Membantu manusia beradaptasi dengan lingkungan | Melindungi individu dari hal yang dianggap berbahaya atau mengancam |
Implikasi terhadap kepribadian | Kepribadian ditentukan oleh konflik bawah sadar dan pengalaman masa lalu | Kepribadian berkembang dari kebiasaan, intuisi, dan respons adaptif terhadap lingkungan | Kepribadian ditentukan oleh program mental yang tertanam di PBS, yang bisa direprogram untuk mendukung pertumbuhan individu |
Kesimpulan
Ketiga perspektif ini menawarkan pemahaman yang berbeda tentang bagaimana unconscious bekerja dalam kehidupan manusia. Freud melihatnya sebagai gudang konflik yang harus diselesaikan, Wilson sebagai sistem adaptasi otomatis, dan Adi W. Gunawan sebagai mekanisme perlindungan yang bisa diprogram ulang untuk mendukung pertumbuhan individu. Dengan memahami perbedaan ini, kita dapat memilih pendekatan yang paling sesuai untuk mengoptimalkan potensi unconscious dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Klaim bahwa pikiran sadar hanya mengendalikan antara 1–5% dari diri kita, sedangkan 95–99% dikendalikan oleh pikiran bawah sadar, sering muncul dalam konteks psikologi populer dan hipnoterapi. Ide ini sejalan dengan model “gunung es” Freud, di mana bagian pikiran yang disadari hanyalah puncak kecil, dan sebagian besar proses mental berlangsung di bawah permukaan kesadaran. Tulisan ini berusaha menelaah kebenaran klaim ini dengan merujuk pada temuan penelitian lintas disiplin – mulai dari hipnosis/hipnoterapi hingga psikologi kognitif dan neurosains – baik yang mendukung maupun mengkritisinya.
Perspektif Hipnosis dan Hipnoterapi
Dalam dunia hipnoterapi, umum dikatakan bahwa sebagian besar perilaku dan respons kita dikendalikan oleh pikiran bawah sadar. Misalnya, pakar hipnoterapi sering mengutip estimasi bahwa pikiran sadar hanya berperan sekitar 5–10%, sedangkan 90–95% sisanya dijalankan secara bawah sadar.
Penelitian klasik oleh Ernest Hilgard mendukung adanya “bagian tersembunyi” dari pikiran saat individu berada dalam kondisi hipnosis. Hilgard menemukan bahwa subjek yang dihipnosis (misalnya diberi sugesti analgesia untuk tidak merasakan sakit) masih memiliki “pengamat tersembunyi” yang secara tidak sadar merasakan dan dapat melaporkan rasa sakit itu, meskipun secara sadar subjek mengaku tidak sakit.
Ini menunjukkan adanya pemisahan dalam kesadaran: bagian pikiran bawah sadar dapat memproses pengalaman tanpa diketahui pikiran sadar. Selain itu, eksperimen modern menunjukkan betapa kuatnya pengaruh bawah sadar saat hipnosis. Amir Raz dkk. (2005) mendemonstrasikan bahwa sugesti hipnotik dapat menghilangkan efek Stroop – yaitu mengubah respons otomatis membaca kata berwarna – sehingga peserta tidak lagi terjebak konflik membaca warna vs kata.
Dengan kata lain, perintah pada pikiran bawah sadar mampu “mematikan” proses otomatis yang biasanya tak terkendalikan secara sadar. Temuan seperti ini mendukung gagasan bahwa pikiran bawah sadar memiliki kendali besar atas perilaku dan respons tubuh, melebihi kendali pikiran sadar sehari-hari.
Bukti dari Psikologi Kognitif
Penelitian kognitif juga menyimpulkan bahwa sebagian besar pemrosesan informasi terjadi di luar kesadaran. Banyak keterampilan yang awalnya membutuhkan fokus sadar (misalnya mengemudi, mengetik) akan menjadi otomatis melalui latihan, dan dijalankan tanpa pikir sadar (Kihlstrom, 1987).
Bahkan, studi psikologi menunjukkan betapa terbatasnya kapasitas pikiran sadar dibanding total informasi yang ditangani otak. Sebuah perhitungan oleh psikolog Timothy Wilson mengestimasikan bahwa otak menerima 11 juta bit informasi per detik dari pancaindra, namun pikiran sadar hanya mampu memproses sekitar 40 bit per detik.
Ini berarti mayoritas mutlak (99% lebih) pemrosesan terjadi tanpa kesadaran – selaras dengan klaim bahwa porsi pikiran sadar sangat kecil. Selain itu, riset di psikologi sosial/kognitif (misalnya oleh John Bargh) menegaskan bahwa banyak keputusan dan tindakan kita dipandu oleh proses otomatis tanpa niat sadar. Bargh dan Morsella (2008) menyimpulkan bahwa pikiran bawah sadar tidak kalah fleksibel atau kompleks dari pikiran sadar dalam mengendalikan perilaku.
Sebagai contoh, priming atau bias implisit dapat memengaruhi penilaian dan pilihan seseorang tanpa disadari. Demikian pula, Dijksterhuis dan koleganya menemukan dalam beberapa kasus, pikiran bawah sadar bisa membuat keputusan kompleks lebih baik daripada pikiran sadar, misalnya ketika banyak variabel yang harus dipertimbangkan.
Secara keseluruhan, psikologi kognitif modern mengakui peran dominan cognitive unconscious – proses kognitif bawah sadar – dalam kehidupan mental kita sehari-hari.
Temuan dari Neurosains
Neurosains eksperimental memberikan bukti kuat bahwa tindakan kita sering dimulai secara tidak sadar sebelum kita sadar akan niat tersebut. Eksperimen terkenal oleh Libet dkk (1983) menunjukkan bahwa sinyal otak untuk gerakan, muncul ratusan milisekon sebelum subjek melaporkan keputusan sadar untuk bergerak.
Libet dkk mencatat potensi kesiapan (readiness potential) di otak mendahului kesadaran niat sekitar 350 ms secara rata-rata. Disimpulkan bahwa inisiasi gerakan volunter dapat dimulai secara tidak sadar, memberi batasan pada peran kemauan sadar dalam mengendalikan tindakan.
Temuan ini diperkuat oleh studi fMRI yang lebih mutakhir. Soon dkk (2008) meminta partisipan memilih menekan tombol dengan tangan kiri/kanan secara bebas; hasil pemindaian menunjukkan pola aktivitas di korteks frontoparietal yang mengungkap pilihan peserta hingga 7–10 detik sebelum mereka menyadari keputusan tersebut.
Dengan kata lain, peneliti bisa memprediksi keputusan jauh sebelum subjek merasa telah memutuskannya. Ini menunjukkan jaringan otak bawah sadar menyiapkan dan pada praktiknya “mengambil keputusan” terlebih dahulu, baru kemudian pikiran sadar mengetahuinya. Contoh lain adalah fenomena klinis seperti blindsight, di mana pasien buta secara sadar masih dapat tanpa sadar merespons rangsang visual. Kasus-kasus ini semuanya mendukung ide bahwa sebagian besar aktivitas otak yang menentukan persepsi maupun perilaku terjadi di luar ranah sadar.
Kritik dan Nuansa
Meskipun banyak ahli setuju bahwa pikiran bawah sadar memegang peran sangat besar, angka spesifik seperti “95% vs 5%” bukanlah ukuran yang pasti dan universal. Beberapa pakar menyebut angka itu lebih bersifat kiasan untuk menekankan dominasi proses tak sadar, daripada hasil pengukuran presisi.
Dr. Emmanuel Donchin (Univ. of Illinois) misalnya, berkomentar bahwa porsi aktivitas kognitif yang tidak disadari itu “sangat besar, secara kiasan mungkin 99 persen; dan kita mungkin tidak akan pernah tahu secara tepat berapa banyak yang berada di luar kesadaran”.
Jadi, Donchin mengakui dominasi pikiran tidak sadar namun juga menekankan ketidakpastian angka pastinya. Para ilmuwan umumnya sepakat bahwa sebagian besar proses neurologis memang berjalan otomatis. Contoh konkritnya: pengaturan napas, detak jantung, emosi spontan, pemahaman bahasa secara intuitif, dll, terjadi tanpa kontrol pikiran sadar.
Selain itu, penting diingat bahwa kendali bawah sadar yang dominan tidak berarti pikiran sadar tidak penting. Pikiran sadar – meski kecil kapasitasnya – berperan unik dalam penalaran abstrak, perencanaan jangka panjang, belajar hal baru, dan terutama dalam memodifikasi kebiasaan atau respons otomatis kita. Contohnya, terapi kognitif menunjukkan bahwa dengan upaya sadar berulang (misalnya mengganti self-talk negatif), seseorang dapat secara perlahan mengubah keyakinan bawah sadarnya. Jadi, pikiran sadar bisa dianggap “pengarah” yang lambat tapi mampu mengubah jalannya “kapal besar” bawah sadar.
Kesimpulan
Berbagai penelitian lintas bidang cenderung mendukung premis dasar bahwa bagian terbesar dari aktivitas mental dan kontrol perilaku kita bersifat tidak disadari. Bukti eksperimental dari hipnosis (mis. fenomena “hidden observer” Hilgard dan penghilangan efek Stroop oleh sugesti) hingga psikologi kognitif (pemrosesan otomatis, bias implisit, kapasitas perhatian sangat terbatas) dan neurosains (keputusan yang dicetuskan otak sebelum sadar, dll.) konsisten menunjukkan dominannya peran pikiran bawah sadar.
Namun, klaim numerik seperti “hanya 5-10% dikendalikan pikiran sadar” perlu dipandang sebagai perkiraan kasar yang menggambarkan skala perbandingan, bukan nilai eksak yang mudah diukur.
Para ahli sepakat bahwa sebagian besar dari diri kita memang dijalankan oleh proses di luar kesadaran, tapi menekankan bahwa pikiran sadar tetap memiliki fungsi penting dan dapat memengaruhi pikiran bawah sadar melalui introspeksi, pembelajaran, dan intervensi psikologis.
Dengan kata lain, “autopilot” bawah sadar kita mungkin mendominasi sehari-hari, tetapi kemudi masih dapat dipegang dan diarahkan oleh kesadaran ketika diperlukan – meskipun upaya sadar itu sering harus berulang dan intens untuk mengubah arah kebiasaan bawah sadar yang sudah tertanam. Semua temuan ini memperkaya pemahaman kita tentang hubungan kompleks antara pikiran sadar dan bawah sadar, serta mengingatkan kita untuk tidak menyepelekan peran masing-masing.
Saya cukup sering dihubungi oleh orang tua yang bertanya, "Pak Adi, saya sekarang sadar bahwa cara saya mendidik anak selama ini ternyata salah. Saya dulu keras terhadap anak saya. Sekarang saya khawatir apa yang saya lakukan di masa lalu mengakibatkan trauma pada dirinya. Apa yang harus saya lakukan untuk bisa membantu anak saya?"
Saya pun menanyakan, "Bagaimana kondisi anak Ibu saat ini? Apakah ada masalah dalam aspek perilaku atau emosinya?"
"Oh, anak saya baik-baik saja, Pak. Namun, saya khawatir ia mengalami trauma akibat tindakan atau sikap saya di masa lalu. Apa bisa Pak Adi membantu melihat anak saya, dan bila perlu, melakukan terapi agar ia bisa berkembang secara optimal?" jawab Ibu tersebut penuh harap.
Sahabat, apa yang sebaiknya dilakukan terhadap anak ini? Apakah saya perlu melakukan observasi dan menerapi anak tersebut, ataukah tidak perlu ditangani?
Saya menjelaskan kepada Ibu tersebut bahwa jika kondisi anaknya baik-baik saja, maka tidak ada alasan untuk khawatir berlebihan. Terlepas dari apa yang pernah dialami di masa lalu, yang perlu dilakukan saat ini adalah mengubah cara mendidik dan memperlakukan anaknya dengan lebih baik.
Tidak semua pengalaman yang dianggap "buruk" menyebabkan trauma atau berdampak negatif pada anak.
Definisi Trauma
Menurut American Psychological Association (APA), trauma didefinisikan sebagai respons emosional terhadap peristiwa mengerikan, seperti kecelakaan, kejahatan, atau bencana alam. Reaksi awal dapat berupa syok dan penyangkalan, sementara respons jangka panjang dapat mencakup emosi yang tidak terduga, kilas balik, hubungan yang tegang, serta gejala fisik seperti sakit kepala atau mual.
APA juga mengategorikan trauma ke dalam tiga jenis utama:
- Trauma akut: Terjadi akibat satu peristiwa yang sangat mengganggu.
- Trauma kronis: Timbul akibat paparan berulang dan berkepanjangan terhadap peristiwa yang sangat stres, seperti pelecehan anak, perundungan, atau kekerasan dalam rumah tangga.
- Trauma kompleks: Melibatkan paparan terhadap beberapa peristiwa traumatis.
Selain itu, ada juga trauma sekunder atau vicarious trauma, yang terjadi ketika seseorang mengalami gejala trauma akibat kontak erat dengan individu yang mengalami peristiwa traumatis. Hal ini umum terjadi pada anggota keluarga, profesional kesehatan mental, dan orang-orang yang merawat individu yang terdampak trauma.
Saya mendefinisikan trauma sebagai jejak atau rekaman peristiwa masa lalu yang mengandung emosi negatif intens dan tersimpan dalam memori pikiran bawah sadar (PBS).
Emosi yang muncul dari suatu peristiwa sepenuhnya bergantung pada makna yang diberikan terhadap kejadian tersebut, baik secara sadar, tidak sadar, maupun makna yang berasal dari orang lain.
Trauma terbentuk ketika seseorang mengalami peristiwa yang melampaui kapasitas mental dan emosionalnya untuk mengatasinya saat itu. Keberadaan trauma dapat memicu terbentuknya program negatif dalam pikiran bawah sadar, yang pada akhirnya memengaruhi pola pikir, emosi, dan perilaku seseorang dalam jangka panjang.
Trauma bukan hanya berasal dari kejadian besar atau ekstrem, tetapi juga bisa muncul dari pengalaman yang tampaknya sepele namun memiliki dampak emosional mendalam bagi individu.
Saya menjelaskan kepada Ibu ini bahwa kami, para hipnoterapis AWGI, bekerja berdasarkan protokol spesifik dengan proses dan alur yang logis. Kami memanfaatkan gejala (simtom) sebagai titik awal penelusuran untuk mencari dan menemukan akar masalah di PBS klien.
Kami tidak dapat dan tidak diperbolehkan untuk melakukan ramalan atau analisis hanya berdasarkan informasi kejadian masa lalu seseorang dan kemudian memprediksi dampaknya terhadap kehidupan mereka saat ini.
Sebagai contoh:
Jika seseorang pernah mengalami perundungan, pelecehan, kehilangan orang yang dikasihi, penolakan, atau bahkan hampir diaborsi, apakah pengalaman ini pasti berdampak buruk terhadap kehidupannya?
Jawabannya adalah bisa ya, bisa tidak.
Dampak dari pengalaman masa lalu sangat bergantung pada individu itu sendiri, dukungan keluarga, makna yang ia berikan terhadap kejadian tersebut, serta faktor-faktor lainnya.
Tidak selalu individu yang mengalami kejadian "buruk" pasti mengalami trauma.
Bila hipnoterapis secara sengaja menggali informasi tentang kejadian traumatis di masa lalu klien dan kemudian memprediksi dampak negatifnya terhadap kehidupan klien, ini sangat berisiko dan tidak etis.
Hal ini dapat menyebabkan imprint negatif yang berpotensi menciptakan masalah baru yang sebelumnya tidak ada. Fenomena ini dikenal sebagai implan sugesti negatif, di mana klien mengalami masalah karena percaya bahwa dirinya memang bermasalah setelah mendengar pernyataan dari hipnoterapis.
Hubungan ACEs dan Kesehatan Mental di Masa Dewasa
Penelitian telah menunjukkan bahwa Adverse Childhood Experiences (ACEs)—pengalaman traumatis pada masa kanak-kanak—memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan mental dan emosional seseorang di masa dewasa.
Berbagai studi mengindikasikan bahwa individu yang mengalami ACEs, seperti pelecehan atau kekerasan, memiliki risiko lebih tinggi untuk menghadapi berbagai masalah psikologis saat dewasa.
Benar, banyak penelitian menunjukkan bahwa pengalaman buruk di masa lalu dapat berdampak pada kualitas hidup individu.
Namun, saya belum pernah menemukan hasil penelitian yang secara tegas menyatakan bahwa seseorang yang mengalami kejadian X di masa kecil pasti akan mengalami kondisi Y saat dewasa.
Trauma dapat bermanifestasi melalui berbagai gejala emosional dan fisik, dengan dampak yang bervariasi pada setiap individu. Jika gejala trauma terus berlanjut atau mengganggu kehidupan sehari-hari, disarankan untuk mencari bantuan profesional, salah satunya hipnoterapis.
Proses Penyembuhan Trauma dengan Hipnoterapi
Penyembuhan trauma dengan hipnoterapi adalah metode yang sangat cepat, efektif, dan tuntas dengan menggunakan hipnoanalisis.
Proses ini mencakup:
- Identifikasi akar masalah: Menggali penyebab trauma yang tersimpan dalam pikiran bawah sadar.
- Reaktivasi ingatan traumatis dalam kondisi aman: Memunculkan kembali pengalaman masa lalu tanpa menyebabkan penderitaan ulang.
- Restrukturisasi makna atau emosi yang terkait dengan pengalaman tersebut: Mengubah persepsi individu terhadap peristiwa traumatis agar tidak lagi menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan mereka.
Trauma bukan sesuatu yang harus diprediksi, tetapi harus ditangani jika sudah menimbulkan dampak negatif yang nyata dalam kehidupan seseorang.
Oleh karena itu, jika anak baik-baik saja, tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan. Fokuslah untuk memberikan pola asuh yang lebih baik di masa kini daripada terlalu terjebak dalam rasa bersalah terhadap masa lalu.
Hipnosis menarik minat dan perhatian khalayak karena proses dan fenomenanya sering tidak dimengerti, seolah diliputi misteri dan berhubungan dengan praktik supranatural. Padahal, hipnosis sebenarnya merupakan salah satu pendekatan psikoterapi tertua di dunia Barat yang kini telah diperkaya dengan pemahaman modern tentang hubungan antara fungsi otak dan kemampuan individu dalam mengelola proses fisiologis, seperti pengendalian rasa sakit, kecemasan, dan dampak penyakit tertentu (Spiegel, 2013).
Definisi dan Proses Hipnosis
Kata "hipnosis" mencakup spektrum luas fenomena yang ditandai oleh respons terhadap sugesti untuk memodulasi sensasi, gambaran, perilaku, emosi, dan makna dari pengalaman yang sedang dialami klien pada saat itu (Casula, 2018).
Hipnosis adalah kondisi kesadaran bercirikan pikiran sadar rileks, fungsi kritis analitis pikiran sadar menurun, disertai meningkatnya fokus dan konsentrasi, sehingga individu menjadi sangat responsif terhadap pesan atau informasi yang diberikan kepada pikiran bawah sadar (Gunawan, 2009).
Dalam kondisi hipnosis, terjadi perubahan aktivitas mental basal yang dipicu melalui prosedur induksi, yang terdiri dari instruksi verbal dan sugesti (Wawrziczny; Buquet; Picard, 2021). Klien mengalami penurunan pemikiran spontan dan kurangnya perhatian terhadap rangsangan luar, sambil fokus pada prosedur yang sedang dilakukan (Wawrziczny; Buquet; Picard, 2021).
Induksi ini menghasilkan keadaan relaksasi mendalam dan fokus yang intens. Hipnosis bukanlah keadaan tidur, melainkan kondisi kesadaran yang berubah (altered state of consciousness), di mana pikiran menjadi lebih terbuka terhadap sugesti. Ada berbagai teknik untuk menginduksi keadaan ini, seperti pemfokusan pandangan, sugesti verbal, dan visualisasi (Spiegel, 2013).
Komponen Utama Hipnosis
Hipnosis memiliki beberapa komponen utama:
- Absorpsi (absorption): Kemampuan atau kecenderungan untuk sepenuhnya terlibat dalam pengalaman perseptif, imajinatif, atau ideasional (Vanhaudenhuyse; Laureys; Faymonville, 2014).
- Keadaan sesadaran yang berubah (altered state of consciousness): Selama berada dalam kondisi hipnosis, individu berada dalam keadaan kesadaran yang dimodifikasi. Keadaan ini dapat berkisar dari relaksasi ringan hingga kondisi trance yang lebih dalam, di mana pikiran menjadi lebih reseptif terhadap sugesti.
Hipnosis diketahui dapat memicu perubahan kesadaran, yang terwujud melalui penyesuaian dalam aspek kesadaran diri fenomenal, seperti meningkatnya kemudahan mental (aliran pikiran yang terjadi secara alami), absorpsi, berkurangnya orientasi pada diri sendiri, dan otomatisasi (respons yang terjadi tanpa usaha atau pertimbangan sadar) (Vanhaudenhuyse; Laureys; Faymonville, 2014).
- Disosiasi (dissociation): Pemisahan mental dari komponen pengalaman yang biasanya diproses secara bersamaan (Vanhaudenhuyse; Laureys; Faymonville, 2014).
Studi neurobiologis menunjukkan bahwa keadaan disosiasi yang dipicu oleh hipnosis menciptakan kerenggangan konektivitas antara proses eksekutif dan proses pemantauan, sehingga memungkinkan sugesti melewati proses pengawasan dan bertindak langsung pada sistem eksekutif (Wawrziczny; Buquet; Picard, 2021). Akses ini ke sumber daya bawah sadar memungkinkan perubahan dilakukan sesuai dengan tujuan terapeutik yang ditetapkan oleh individu (Wawrziczny; Buquet; Picard, 2021).
Dua Jenis Penelitian Hipnosis
Sepanjang abad ke-20, hipnosis semakin mendapatkan pengakuan di komunitas ilmiah, dengan berbagai penelitian yang mengeksplorasi mekanisme dan aplikasi klinisnya. Hipnosis telah digunakan untuk mengatasi masalah emosi dan perilaku seperti trauma, fobia, kecanduan, dan gangguan psikologis lainnya, serta gangguan psikosomatis. Penelitian terkini tentang hipnosis terbagi ke dalam dua bidang utama.
Bidang pertama adalah penelitian intrinsik, yang berfokus pada penyelidikan hipnosis itu sendiri tanpa pengaruh sugesti tertentu, yang disebut sebagai "hipnosis netral" atau "hipnosis standar". Bidang ini mengeksplorasi mekanisme neurofisiologis yang mendasari pengalaman hipnosis dalam konteks dinamis (De Benedittis, 2015).
Bidang kedua adalah penelitian instrumental, atau studi ekstrinsik, yang melibatkan penggunaan hipnosis dan sugesti untuk mempelajari berbagai proses kognitif dan emosional, serta untuk menyelidiki korelasi neurodinamis dalam psikoterapi. Selain itu, hipnosis digunakan untuk menciptakan "analog virtual" dari kondisi neurologis dan psikopatologis, dengan tujuan memahami dasar-dasar kondisi tersebut secara lebih baik dan pada akhirnya meningkatkan cara penanganannya (De Benedittis, 2015).
Neurofisiologi Hipnosis
Penelitian dalam bidang neurofisiologi hipnosis terus berkembang dengan memanfaatkan teknik pencitraan saraf (neuroimaging) seperti functional magnetic resonance imaging (fMRI), positron emission tomography (PET Scan), fNIRS (near-infrared spectroscopy), SPECT (single photon emission computed tomography), CT (computed tomography), dan electroencephalography (EEG) untuk memetakan perubahan fungsional, metabolik, dan struktural di otak selama proses hipnosis (Wolf et al., 2022).
Studi-studi ini membantu memahami mekanisme yang mendasari hipnosis dan potensinya dalam terapi, meskipun masih banyak yang perlu dieksplorasi untuk memperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh dan mendalam mengenai proses neurofisiologis ini (Vanhaudenhuyse; Laureys; Faymonville, 2014).
Beberapa aspek neurofisiologis hipnosis meliputi (Vanhaudenhuyse; Laureys; Faymonville, 2014; Wolf et al., 2022):
- Modulasi aktivitas korteks prefrontal: Selama hipnosis, terjadi modulasi aktivitas di korteks prefrontal, area otak yang terlibat dalam penilaian, pengambilan keputusan, dan kesadaran diri. Pengurangan aktivitas ini dapat menjelaskan penangguhan sementara penilaian kritis dan peningkatan penerimaan terhadap sugesti.
- Peningkatan konektivitas fungsional: Studi neuroimaging menunjukkan peningkatan konektivitas fungsional antara berbagai area otak selama trance hipnosis. Ini menunjukkan komunikasi antararea otak yang lebih efisien, yang dapat memfasilitasi respons terhadap sugesti dan perubahan dalam pemrosesan kognitif.
- Perubahan persepsi sensori dan kontrol nyeri: Selama hipnosis, terdapat bukti modulasi persepsi sensorik, terutama dalam kaitannya dengan kontrol nyeri. Hipnosis dapat memengaruhi area otak yang terkait dengan persepsi nyeri, yang mengarah pada pengurangan intensitas nyeri yang dirasakan.
- Aktivasi area otak terkait imajinasi dan kontrol motorik: Selama hipnosis, area otak yang terlibat dalam imajinasi dan kontrol motorik tampak aktif. Ini dapat menjelaskan kemampuan individu dalam kondisi trance hipnosis untuk merespons sugesti untuk melakukan tindakan motorik tertentu atau membayangkan pengalaman tertentu.
Perubahan Persepsi dan Aktivitas Otak Akibat Hipnosis
Perubahan persepsi akibat hipnosis disertai dengan perubahan nyata di korteks sensorik yang relevan, serta pada area otak yang terlibat dalam pemantauan konteks (girus cingulate anterior dorsal) dan fungsi eksekutif (DLPFC). Hipnosis mengubah sensasi, bukan hanya respons terhadap rangsangan sensorik, sehingga menjadi alat yang kuat untuk memodulasi rasa sakit dan kecemasan (Spiegel, 2013).
Hipnosis memengaruhi kerja otak sehingga "attractor", pola aktivitas skala besar yang sangat sinkron, tidak dapat berkembang. Akibatnya, pengalaman sadar tentang gejala tertentu tidak muncul. Hipnosis menghambat proses ini dengan memodulasi berbagai mekanisme neurokognitif pada area kortikal dan subkortikal pasien (Bastek; van Vliet, 2023).
Hipnosis juga dikaitkan dengan perubahan aktivitas metabolik otak dan perfusi otak di berbagai area (Cheseaux; de Saint Lager; Walder, 2014). Neurosains kognitif mendukung hal ini dengan menunjukkan bahwa proses bawah sadar memengaruhi perilaku atau kesadaran (Weinberger; Brigante; Nissen, 2022).
𝐏𝐞𝐫𝐮𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐅𝐮𝐧𝐠𝐬𝐢 𝐎𝐭𝐚𝐤 𝐒𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚 𝐇𝐢𝐩𝐧𝐨𝐬𝐢𝐬
Selama hipnosis, terjadi perubahan fungsi otak, terutama di area yang terkait dengan perhatian, kesadaran, persepsi, dan kendali kognitif. Serangkaian studi yang berkembang menunjukkan bahwa pola osilasi otak yang berbeda terkait dengan respons terhadap hipnosis dan sugesti yang diberikan.
Secara khusus, hipnosis dikaitkan dengan peningkatan osilasi, sementara respons hipnosis terkait dengan perubahan pola osilasi gamma. Perubahan ini dapat berupa peningkatan, penurunan, atau modifikasi waktu osilasi gamma, tergantung pada beberapa faktor, termasuk sugesti yang diberikan selama hipnosis.
Osilasi gamma akan terlibat dalam pencatatan dan pengingatan memori deklaratif, yang berperan penting dalam beberapa respons hipnosis, menunjukkan adanya hubungan antara sirkuit limbik dan neokortikal (Jensen; Adachi; Hakimian, 2015).
Meskipun aktivitas di area otak tertentu (misalnya, korteks cingulate anterior, korteks prefrontal, dan insula) sering dilaporkan dalam studi pencitraan fungsional tentang hipnosis, terdapat beberapa perbedaan terkait peran spesifik area otak ini. Hal ini dapat disebabkan oleh variasi dalam instruksi hipnosis, konteks eksperimen, kekuatan studi, dan/atau sumber metodologi lainnya (DeSouza et al., 2020).
Peran Neurotransmiter dalam Hipnosis
Beberapa penelitian telah mulai memperjelas berbagai komponen sugestibilitas hipnotik serta mekanisme neurofisiologis dan neuropsikologis yang terlibat.
Neurotransmiter yang dianggap paling berperan dalam sugestibilitas hipnotik adalah dopamin, sementara studi farmakologis dengan psikotropika menunjukkan bahwa serotonin dapat meningkatkan sugestibilitas hipnotik (De Benedittis, 2021).
Respons hipnotik, di sisi lain, diduga dimediasi oleh glutamat, sedangkan asam gamma-aminobutirat (GABA), neurotransmiter penghambat yang dominan di otak, dikaitkan dengan sugestibilitas. GABA terlibat dalam respons hipnotik, sehingga semakin tinggi tingkat hipnotisabilitas seseorang, semakin tinggi konsentrasi GABA-nya (DeSouza et al., 2020).
Bukti yang tersedia terkait aksi oksitosin masih kontradiktif, meskipun diketahui bahwa oksitosin terlibat dalam berbagai domain psikologis (misalnya, perilaku sosial, empati) (De Benedittis, 2021).
Interaksi yang kompleks antara neurotransmiter dan neuromodulator serta variabel lainnya, termasuk kualitas desain eksperimen yang kurang baik, di antara faktor lain, merupakan isu-isu yang memengaruhi pemahaman menyeluruh mengenai mekanisme kerja yang terlibat dalam hipnosis (De Benedittis, 2021).
Penting untuk dicatat bahwa interpretasi yang tepat mengenai proses neurofisiologis ini dapat bervariasi antarstudi dan masih menjadi perdebatan dalam komunitas ilmiah.
Hipnosis adalah alat yang kuat dalam modifikasi kesadaran, yang memungkinkan klien mengakses sumber daya bawah sadar mereka untuk mencapai perubahan terapeutik. Dengan kemajuan teknologi neuroimaging dan penelitian terkini, pemahaman kita tentang hipnosis terus berkembang, membuka peluang baru untuk aplikasi klinis di masa depan yang lebih berdaya guna.
Tulisan ini terinspirasi dari diskusi saya dengan salah satu hipnoterapis AWGI beberapa waktu lalu. Sejawat ini gemar membaca tulisan pakar trauma dari luar negeri, salah satunya Bessel van der Kolk, MD. Dari bacaan-bacaan ini ia mulai terpapar dengan informasi tentang neurosains dan psikologi, dan tertarik untuk mempelajarinya. Ia bertanya apakah saya merekomendasi ia untuk mendalami neurosains. Bila saya merekomendasi, ia minta saran sebaiknya belajar ke siapa atau lembaga mana di luar negeri.
Kisah perjalanan pembelajaran sejawat ini membawa saya mundur ke masa awal saya dulu praktik hipnoterapi. Saya dulu juga sempat mendalami secara otodidak neuropsikologi.
Secara ringkas, bisa dijelaskan bahwa neurosains adalah ilmu yang mempelajari sistem saraf, termasuk struktur, fungsi, perkembangan, dan hubungannya dengan perilaku serta pikiran manusia. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku, pikiran, dan proses mental manusia serta bagaimana faktor biologis, sosial, dan lingkungan memengaruhinya.
Dengan demikian, neuropsikologi adalah cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara fungsi otak dan perilaku, termasuk bagaimana kerusakan atau gangguan pada otak memengaruhi emosi, kognisi, dan tindakan seseorang.
Tujuan saya belajar neuropsikologi adalah untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan kompetensi terapeutik saya. Dan setelah saya membaca cukup literatur yang membahas topik ini, saya akhirnya memutuskan untuk mundur dan kembali hanya fokus pada hipnoterapi. Meskipun demikian, sesekali saya masih membaca buku teks dan artikel jurnal tentang neuropsikologi untuk menambah pengetahuan dan wawasan.
Mengapa Saya Berhenti Mendalami Neuropsikologi?
Dalam berbagai literatur yang saya pelajari, memang dijelaskan bagian-bagian otak beserta fungsinya, serta apa yang terjadi pada otak seseorang saat ia mengalami kondisi mental atau gangguan psikologis tertentu. Saya belajar dengan penuh antusiasme dan berharap dapat mengaplikasikan pengetahuan ini ke dalam praktik hipnoterapi.
Saya berharap di dalam literatur ini juga dijelaskan teknik mengatasi gangguan psikologis berlandaskan neurosains. Saya membaca penjelasan tentang penyebab kondisi seperti PTSD, skizofrenia, gangguan kecemasan, bipolar, dan gangguan depresi mayor, yaitu adanya abnormalitas pada struktur, aliran darah, dan senyawa kimiawi otak.
Bergantung kondisi dan jenis gangguan, umumnya, solusi yang disarankan adalah dengan pemberian obat-obatan, pembedahan otak, stimulasi otak dalam (deep brain stimulation / DBS), terapi paparan realitas virtual (VR), electroconvulsive therapy (ECT), terapi cahaya terang (bright light therapy), neurofeedback, terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy / CBT), dan desensitisasi sistematis.
Berikut ini adalah ringkasan informasi tentang penyebab depresi, yang saya dapatkan dari mempelajari buku neuropsikologi terbitan tahun 2021 setebal 2548 halaman:
"Sebuah meta-analisis oleh Chuanjun Zhuo dan koleganya (2019) mengidentifikasi perubahan otak yang khas terkait dengan depresi, terutama pada area berikut:
Lobus frontal: Penurunan materi abu-abu (gray matter), khususnya pada orbitofrontal cortex (OFC).
Lobus temporal: Penurunan volume, terutama di hipokampus.
Lobus parietal: Termasuk posterior cingulate cortex, yang mengalami penurunan ketebalan kortikal.
Para penulis ini juga merangkum perubahan dalam jaringan otak yang berhubungan dengan depresi dan menemukan adanya penurunan koneksi antara korteks prefrontal dengan area kortikal temporal, korteks prefrontal dengan amigdala dan hipokampus.
Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun perubahan struktural atau fungsional tunggal pada otak yang dapat digunakan untuk mendiagnosis depresi.
Meskipun saat ini tidak lagi sepopuler studi MRI, penelitian menggunakan PET (Positron Emission Tomography) telah menunjukkan bahwa tingkat keparahan depresi mayor berkorelasi dengan penurunan aliran darah dan metabolisme di anterior cingulate cortex (ACC) dan ventromedial prefrontal cortex. Aliran darah di area ini meningkat pada pasien depresi yang telah sembuh.
Studi PET juga menunjukkan adanya peningkatan abnormal metabolisme glukosa di amigdala dan orbitofrontal cortex, yang berkorelasi dengan tingkat keparahan gejala depresi.
Amigdala bertugas memberikan makna emosional terhadap rangsangan. Aktivitas amigdala merangsang pelepasan kortisol, yang menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan aktivitas poros HPA (hipotalamus-pituitari-adrenal) pada depresi. Peningkatan aktivitas di orbital cortex berkaitan dengan upaya untuk memodulasi atau menghambat aktivitas amigdala."
Sebagai hipnoterapis, informasi di atas sama sekali tidak bisa saya aplikasikan ke dalam praktik hipnoterapi. Saya bukan dokter, psikiater, atau psikolog klinis. Saya tidak memiliki kompetensi melakukan prosedur yang disarankan, seperti pemberian obat, pembedahan, dan yang lainnya. Namun, satu hal yang menarik perhatian saya adalah bagaimana terapi psikologi bisa digunakan, sampai tahap tertentu, untuk membantu mengatasi gangguan psikologis.
Dan mengingat saya mendalami hipnoterapi, saya simpulkan, sampai tahap tertentu, hipnoterapi bisa membantu mengatasi kondisi tidak kondusif yang dialami individu, khususnya di aspek emosi dan perilaku.
Saya sempat belajar neurofeedback di Los Angeles, Amerika. Dua kali saya ke Amerika mendalami ilmu ini. Dan hasilnya, saya bisa membantu klien melalui stimulasi otak menggunakan mesin EEG yang dirancang khusus untuk tujuan ini. Namun ini juga saya tinggalkan karena saya menemukan bahwa untuk masalah emosi dan perilaku, penggunaan hipnoterapi memberi dampak jauh lebih cepat dan signifikan.
Saya menyadari, neurosains adalah disiplin ilmu yang sangat kompleks, dan tidak mungkin bisa saya kuasai sepenuhnya hanya dengan belajar secara otodidak atau sekadar ikut pelatihan. Jadi, daripada saya membuang waktu belajar sesuatu yang akhirnya juga tidak banyak manfaatnya, lebih baik saya fokus pada hipnoterapi.
Alasan utama saya tidak secara khusus mengajarkan neurosains hipnosis dan hipnoterapi di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH), yaitu saya tidak memiliki kompetensi di bidang keilmuan ini, dan pengetahuan terkait neuropsikologi tidak bisa saya integrasikan ke dalam protokol atau teknik-teknik hipnoterapi saya. Namun bagi peserta SECH yang berminat mendalami neuropsikologi, saya dengan senang hati memberi mereka judul-judul buku dan artikel jurnal untuk mereka pelajari sendiri. Dan tentunya, bila saya memiliki ebook atau file-nya, pasti saya berikan juga.
Berlandaskan fakta dan temuan di ruang praktik, di luar faktor genetik, saya percaya sepenuhnya bahwa abnormalitas pada struktur, aliran darah, dan senyawa kimiawi otak adalah akibat, bukan sebab.
Individu pada awalnya dalam kondisi baik. Dengan demikian, kondisi otaknya juga baik. Namun, dalam proses tumbuh kembang ia mengalami pengalaman atau kejadian traumatik yang akhirnya mengguncang kondisi otaknya, yang semula normal hingga akhirnya menjadi abnormal.
Dari perspektif hipnoterapi, kami bisa melakukan resolusi pada pengalaman traumatik ini. Hipotesis saya, bila ini berhasil dilakukan, kondisi otaknya akan kembali normal.
Kami, sebagai hipnoterapis, karena tidak memiliki piranti untuk menelisik kondisi otak, lebih fokus pada memerhatikan perubahan perilaku pascaterapi. Misalnya, ada klien datang pada kami dengan masalah serangan panik (panic attack), ledakan kemarahan (anger outburst), fobia yang tidak rasional, ketakutan berlebih dalam situasi sosial (social anxiety), trauma, atau gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Kondisi ini terjadi karena pembajakan amigdala (amydala hijack), yaitu saat amigdala, bagian otak yang bertanggung jawab atas respons emosional, "mengambil alih" kendali sebelum korteks prefrontal (bagian otak yang lebih rasional) memiliki kesempatan untuk memproses informasi secara logis.
Dengan hipnoterapi, kami bisa membantu klien mengatasi masalahnya dengan cara menemukan dan memproses tuntas akar masalah atau kejadian penyebab simtom. Saat klien sembuh, secara otomatis ia terbebas dari amygdala hijack .
Kembali pada pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini: Perlukah Hipnoterapis Belajar Neurosains?
Bila tujuannya untuk menambah pengetahuan atau wawasan, tentu sangat boleh. Namun bila yang diharapkan adalah setelah mendalami neuropsikologi, kompetensi hipnoterapi meningkat secara luar biasa, saran saya, tidak usah buang waktu belajar neurosains secara mendalam.
Masa libur menjelang akhir tahun saya manfaat untuk lebih banyak membaca dan belajar. Saya perlu mendapatkan penguatan dari hasil riset dan literatur terkait protokol terapi baru yang sedang saya susun.
Jadi ceritanya begini. Kita tahu bahwa pengaruh pikiran bawah sadar (PBS) terhadap diri kita sangat signifikan. Isi PBS termanifestasi dalam bentuk kualitas hidup dan juga kondisi fisik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Candace Pert, Ph.D., penulis buku Molecules of Emotion, dan audiobook Your Body Is Your Subconscious Mind, yang menjelaskan hubungan antara pikiran dan tubuh.
PBS memengaruhi kondisi fisik, ini tidak bisa dimungkiri atau dibantah. Kami menemukan, dalam praktik hipnoterapi, PBS bisa membuat individu sakit atau sembuh. Ini yang disebut psikosomatis. Pikiran atau psikis (pysche) memengaruhi kondisi tubuh soma (tubuh).
Saya berpikir, apakah bisa sebaliknya? Apakah bisa kita menggunakan fisik untuk memengaruhi PBS? Bila bisa, bagaimana caranya?
Artinya, untuk memasukkan data atau memberi perintah spesifik kepada PBS yang berdampak terapeutik, kita tidak perlu melakukan induksi hipnotik untuk menembus faktor kritis pikiran sadar (PS), seperti yang dilakukan dalam hipnoterapi. Dengan kata lain, ini semua dilakukan dalam kondisi sadar normal, tidak membutuhkan kondisi trance.
Lama saya mencari jawaban atas pertanyaan ini. Dan jujur, ini tidak mudah. Namun, secara intuitif, saya yakin ini bisa dilakukan.
Bila ini bisa dilakukan, muncul pertanyaan baru: Seberapa aman dan efektif strategi ini mampu mengatasi masalah klien? Apakah ini bisa untuk mengatasi masalah yang kompleks dan berat?
𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐒𝐮𝐥𝐢𝐭 𝐁𝐞𝐫𝐮𝐛𝐚𝐡?
Dalam upaya membantu klien berubah, hipnoterapis harus bisa menyampaikan pesan perubahan (sugesti) ke PBS. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Hipnoterapis harus bisa menembus faktor kritis PS. Ini adalah rintangan pertama yang harus diatasi dalam upaya membantu klien berubah. Fungsi faktor kritis adalah menjaga agar data di PBS tidak mudah diubah.
Jadi, bila dalam kondisi sadar normal, saat faktor kritis PS masih aktif, terapis memberi sugesti ke PBS klien, sebelum sugesti ini masuk ke PBS, ia akan diperiksa oleh faktor kritis. Bila ternyata data (sugesti) ini tidak sejalan dengan data yang telah ada di PBS, dengan serta merta sugesti ini akan ditolak. Semakin besar upaya terapis memasukkan sugesti, semakin kuat penolakan faktor kritis.
Tingkat keaktifan faktor kritis berbanding terbalik dengan tingkat kedalaman kondisi hipnosis (trance) yang berhasil dicapai klien. Semakin dalam kondisi hipnosis, semakin lemah faktor kritis.
Kondisi ideal atau terbaik yang sebaiknya dicapai adalah faktor kritis PS, untuk sementara waktu, berhenti bekerja atau tidak aktif. Ini hanya bisa terjadi dalam kondisi hipnosis (sangat) dalam.
Dalam kondisi ini, sugesti yang diberikan tidak lagi dikritisi oleh faktor kritis dan dengan leluasa bisa menjangkau PBS.
Apakah setelah sugesti berhasil menjangkau PBS, ia akan langsung dilaksanakan oleh PBS? Jawabannya, tidak.
Faktor kritis PS adalah rintangan pertama. Di dalam PBS sendiri terdapat empat filter mental yang juga berfungsi mengkritisi sugesti yang masuk. Hanya bila sugesti berhasil melewati empat filter ini, ia diterima oleh PBS dan siap dilaksanakan.
Namun, masih ada faktor lain yang harus diperhitungkan. Sugesti yang berhasil menjangkau PBS, setelah melewati faktor kritis PS dan empat filter mental PBS, harus bisa mengatasi penolakan dan perlawanan dari data lama (program) yang telah ada di PBS.
Misalnya klien adalah orang yang sangat tidak percaya diri. Ia tidak percaya diri sejak kecil. Dalam upaya membantu klien berubah, terapis memberi klien sugesti "Saya percaya diri".
Katakanlah sugesti "Saya percaya diri", setelah berhasil melewati faktor kritis PS dan empat filter mental PBS, berhasil menjangkau PBS, diterima sepenuhnya, dan akan dilaksanakan PBS. Bagaimana dengan data lama yang menyatakan "Saya tidak percaya diri", yang telah tersimpan di PBS klien selama puluhan tahun?
Temuan kami menyatakan bahwa setiap data ini memiliki kekuatan. Kami menggunakan angka 0 - 10, di mana 0 artinya sama sekali tidak ada kekuatan, dan 10 artinya kekuatan maksimal.
Sugesti "Saya percaya diri" yang baru masuk ke PBS, biasanya memiliki kekuatan yang masih kecil, lemah, tidak akan bisa bekerja optimal karena ia mendapat perlawanan atau ditolak, dan bahkan bisa dianulir oleh data "Saya tidak percaya diri" yang telah sangat lama berdiam di PBS dan berkekuatan 10.
Ini menjawab pertanyaan mengapa ada begitu banyak praktik hipnoterapi yang hanya mengandalkan sugesti, tidak efektif.
Hipoterapis pada umumnya hanya fokus pada upaya menembus faktor kritis, menggunakan teknik induksi dan skrip sugesti. Ada sangat banyak varian teknik induksi, namun tujuannya satu, menembus faktor kritis, menuntun klien berpindah dari kondisi sadar normal ke kondisi hipnosis (trance).
Upaya menembus faktor kritis akan sangat optimal bila terapis mengerti dan mampu melakukan uji kedalaman kondisi hipnosis secara akurat dan presisi, terutama menggunakan indikator mental yang menunjukkan kedalaman hipnosis dalam, bukan sekadar indikator fisik (napas melambat dan ritmik, tubuh rileks dan terasa berat, menelan ludah, REM, wajah datar, sklera mata merah) yang adalah indikasi kedalaman dangkal.
Kekuatan data lama di PBS dipengaruhi oleh beberapa faktor: siapa yang memasukkan data ini (imprint), pada usia berapa data ini dimasukkan atau masuk ke PBS, pengulangan dan penguatan, data-data tambahan yang bersifat mendukung kebenaran data, intensitas emosi yang menyertai data, dan Ego Personality yang terlibat.
𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐋𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐌𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐁𝐞𝐫𝐮𝐛𝐚𝐡?
Dengan menyadari dan memerhatikan benar dinamika PBS, saya berusaha merumuskan protokol terapi yang mampu menjangkau PBS melewati jalur fisik, tanpa harus berhadapan dengan faktor kritis PS, empat filter mental PBS, dan secara menyeluruh menetralisir kekuatan data lama sehingga perintah (sugesti) yang diberikan pada PBS berkekuatan penuh dan dilaksanakan tanpa mendapat hambatan.
Protokol ini telah saya ujicobakan pada peserta pelatihan Quantum Life Transformation® (QLT) akhir November 2024. Ada peserta yang menyampaikan keluhan pada saya. Masalahnya, sejak tahun 2020, setiap kali ia makan kenyang, ia langsung merasa mual dan mau muntah. Akibatnya, ia hanya berani makan dalam porsi kecil.
Saya tanya apa yang ia inginkan, dan ia menjawab ingin bisa makan kenyang tapi tetap nyaman. Saya menggunakan protokol baru ini dan memasukkan perintah ke PBS-nya berupa perintah: Saat saya makan dan kenyang, perut dan kondisi saya tetap nyaman.
Proses memasukkan sugesti ini ke PBS-nya berlangsung singkat. Hasilnya? Saat makan malam, ia bisa makan sampai kenyang dan perasaan mual atau ingin muntah tidak lagi ia alami atau rasakan.
Satu keberhasilan ini tentu sangat menggembirakan dan membuka peluang untuk penyempurnaan dan aplikasi untuk masalah lain.
Saya teringat saat dulu, di tahun 2015, merancang protokol The Heart Technique® (THT). Saya butuh waktu sekitar tiga tahun untuk melakukan ujicoba dan menyempurnakan protokolnya, hingga akhirnya THT diajarkan pada publik untuk pertama kali di Juni 2018.
THT saat ini telah berkembang menjadi tiga versi: THT 2.0 untuk publik, THT 3.0 khusus untuk hipnoterapis AWGI, dan THT 4.0 (The Ultimate Heart Technique) yang berbasis energi medan morfik. Saya pribadi lebih banyak menggunakan THT 2.0.
Besar harapan saya, protokol terapi ini nantinya bisa digunakan untuk membantu klien mengatasi masalah emosi, perilaku, dan fisik dengan cara yang mudah, efektif, aman, dan tuntas.
Pak Adi yang saya hormati. Melalui pesan ini, saya ingin menyampaikan ungkapan terima kasih karena beberapa waktu lalu saya melakukan hipnoterapi pada klien wanita berusia 21 tahun yang mengalami disorganized attachment.
Disorganized attachment adalah salah satu kondisi psikologis yang sangat sulit diatasi. Bahkan beberapa ahli menyatakan disorganized attachment adalah kondisi yang tidak bisa disembuhkan, harus diterima dan dijalani seumur hidup, di mana klien tetap perlu menanggung masalah ini dan belajar strategi coping.
Disorganized attachment adalah kondisi di mana seseorang mendorong orang lain menjauh dari dirinya saat orang tersebut ingin dekat dengannya. Namun, saat kehilangan orang ini, mereka malah mencarinya dan ingin mendekat. Jadi, dekat dengan seseorang, salah, tapi jauh dari orang ini, juga salah.
Klien telah merasakan masalah ini sejak di sekolah dasar. Ia telah mencoba mengatasi kondisi ini dengan bantuan profesional lain. Klien dirujuk ke saya untuk menjalani sesi hipnoterapi karena di area attachment belum ada perbaikan.
Saya melakukan hipnoterapi menggunakan protokol hipnoterapi AWGI. Di sesi pertama, saya jujur tidak menyangka, mengalami kejadian atau pengalaman luar biasa.
Saya menggunakan teknik hipnoanalisis untuk mencari dan menemukan akar masalah yang klien alami. Biasanya, dari pengalaman kita, hipnoterapis AWGI, umumnya kita menemukan satu akar masalah (ISE-Initial Sensitizing Event) dengan satu atau beberapa kejadian lanjutan sebagai penguat (SSE-Subsequent Sensitizing Event).
Kasus klien ini ternyata bersifat multi-ISE. Satu simtom, disorganized attachment, disebabkan oleh 7 (tujuh) ISE dan 10 (sepuluh) SSE.
Seingat saya, jumlah ISE paling banyak pada kasus multi-ISE yang pernah kita temukan adalah 3 ISE. Jadi bisa dibayangkan kerja yang harus dilakukan untuk resolusi traumanya.
Walau saya sudah memproses tuntas 7 ISE dan 10 SSE, ternyata kasus ini belum tuntas. Secara teknis terapi, saya menyadari bahwa proses yang saya lakukan tuntas. Namun, dari uji hasil terapi, saya tahu masalah klien belum tuntas.
Mengingat proses terapi yang telah berlangsung cukup lama, dan saya, selaku terapis, dan klien telah sama-sama lelah, demi kebaikan klien, saya memutuskan untuk mengakhiri sesi terapi ini.
Saya sempat berpikir bahwa hipnoterapi mungkin tidak cocok untuk klien ini karena kejadian yang mendasari simtomnya ternyata sangat banyak. Saya berpikir, klien mungkin tidak merasakan manfaat karena terapinya tidak tuntas dalam satu sesi.
Namun saya ingat bahwa seturut protokol AWGI, kita memberi klien kesempatan untuk melanjutkan terapi hingga empat sesi. Dengan demikian, saya memberi klien kesempatan bertemu di sesi kedua.
Menariknya, saat pertemuan kedua, klien mengungkapkan bahwa sejak selesai menjalani sesi pertama, ia mengalami perubahan signifikan. Perubahan ini tampak nyata dan terlihat oleh rekan-rekannya. Rekan-rekannya jadi tertarik mencoba hipnoterapi.
Yang menarik adalah bahkan sebelum akar masalahnya tuntas ditangani, klien telah mengalami perubahan nyata dan signifikan.
Sebelum sesi kedua, saya sempat berdiskusi dengan salah satu sejawat hipnoterapis AWGI perihal penanganan kasus ini. Sejawat ini memberi beberapa saran dan masukan untuk lebih memaksimalkan proses dan hasil terapi yang akan saya lakukan.
Pada sesi kedua, ditemukan lagi 5 (lima) ISE. Dan ternyata, ini adalah sisanya. Setelah 5 ISE ditemukan dan diproses tuntas, klien langsung merasa bahwa proses ini telah tuntas mengatasi masalahnya.
Seturut protokol, saya melakukan uji hasil terapi. Dan memang demikianlah adanya. Klien merasa nyaman, tidak lagi merasa terganggu dengan kedekatan ataupun jarak yang jauh, dalam konteks relasi dengan orang lain.
Jadi, untuk masalah klien ini, disorganized attachment, tuntas dalam dua sesi terapi, setelah saya membantu ia menemukan dan memproses tuntas 12 (dua belas) ISE dan 10 (sepuluh) SSE. Dari 12 ISE, tiga di antaranya berupa kejadian saat klien dalam kandungan.
Saya bersyukur bisa belajar hipnoterapi dengan Pak Adi, bukan hanya karena teknik hipnoterapinya yang terbukti aman dan efektif mengatasi masalah klien-klien saya, tetapi saya juga merasa memiliki komunitas untuk berdiskusi tentang apa yang sedang dijalani.
Dalam diskusi ini konstruktif, semua mencari jalan keluar terbaik bagi klien. Ini adalah kesempatan yang sangat baik bagi saya belajar dengan Pak Adi. Saya berharap lebih banyak lagi orang, dan mungkin psikiater lain juga, belajar hipnoterapi untuk menolong klien-klien yang membutuhkan.
Salam hormat,
dr. Jiemi Ardian, SpKj