The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Hipnoterapi adalah kerjasama hipnoterapis dan klien dalam upaya pemberdayaan diri, peningkatan kualitas hidup, dan kesejahteraan klien. Kita tentu berharap proses hipnoterapi berjalan dengan mudah, lancar, dan efektif. Namun, pada kenyataannya, tidak semua proses terapi berlangsung semulus yang diharapkan. Salah satu hambatan utama dalam hipnoterapi adalah resistensi.
Resistensi, dalam banyak literatur tentang hipnosis dan hipnoterapi, merujuk pada sikap dan perilaku klien yang kurang kooperatif atau cenderung menentang proses terapi yang sedang dijalani. Perilaku ini dapat menghambat efektivitas terapi dan mempersulit pencapaian hasil yang diharapkan.
Berdasar pengalaman dan temuan kami, para hipnoterapis AWGI, resistensi terjadi tidak hanya pada klien, juga pada terapis. Dalam proses terapi, resistensi dapat terjadi hanya pada klien, hanya pada terapis, atau pada keduanya secara bersamaan.
𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐓𝐞𝐫𝐚𝐩𝐢𝐬
Resistensi pada terapis, sering tidak disadari karena terapis lebih fokus pada resistensi klien. Resistensi ini menghambat terapis mencapai kinerja optimal.
Resistensi pada terapis dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk, misalnya: terapis mampu melakukan terapi dengan efektif, tetapi kesulitan mendapatkan klien-klien baru; terapi yang dilakukan tidak efektif; terapis jarang mendapatkan klien meskipun telah berusaha mempromosikan diri melalui berbagai cara; klien sering membatalkan janji atau tidak muncul untuk sesi terapi; atau terapis merasa tidak nyaman menetapkan biaya jasa profesi yang sejalan dengan pengalaman dan kompetensinya.
Jika ditelisik lebih dalam, resistensi pada hipnoterapis seringkali bersumber dari kepercayaan negatif yang menghambat (limiting belief). Kepercayaan negatif ini, perasaan tidak cakap, tidak mampu, tidak percaya diri, takut gagal, takut salah, tercipta karena hipnoterapis tidak mendapatkan pendidikan, bimbingan, dan supervisi yang memadai untuk menjadi hipnoterapis profesional berkompetensi terapeutik tinggi.
Selain itu, resistensi juga bisa muncul karena terapis merasa dirinya tidak layak atau tidak pantas menerima biaya jasa profesi (fee) yang sesuai dengan kualitas layanan yang diberikan.
Terapis bisa beralasan terapi yang ia lakukan semata untuk tujuan kemanusiaan, membantu sesama. Namun dalam hati, sejujurnya, ia berharap mendapat penghargaan yang layak berupa biaya jasa profesi yang sepadan. Alasannya terkesan mulia, namun sesungguhnya ia merasa dirinya tidak layak dan tidak berharga. Kondisi ini sering tidak disadari atau diakui oleh terapis.
Sangat penting bagi setiap hipnoterapis untuk mengidentifikasi resistensi dalam diri mereka dan segera menetralisirnya. Hanya dengan cara ini mereka mampu dan dimampukan membangun dan mengembangkan diri menjadi hipnoterapis profesional yang mampu memberi dampak positif dan nyata bagi masyarakat.
𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐊𝐥𝐢𝐞𝐧
Resistensi pada klien bisa bersumber dari pikiran sadar (PS), pikiran bawah sadar (PBS), atau keduanya. Dalam konteks tahapan terapi, resistensi dapat muncul pada salah satu atau beberapa tahap, yaitu: wawancara, induksi, pendalaman, intervensi, dan terminasi.
Resistensi yang bersumber dari PS biasanya mudah dikenali karena klien menunjukkan sikap tidak kooperatif sejak awal.
Resistensi yang bersumber dari PBS jauh lebih kompleks karena berkaitan dengan proses dan dinamika yang terjadi di PBS klien selama proses terapi berlangsung. Bentuk resistensi ini bisa sangat halus dan tidak terlihat secara langsung, tetapi bisa memengaruhi respons klien terhadap terapi, termasuk reaksi yang tidak terduga atau penolakan terhadap sugesti atau arahan yang diberikan oleh terapis.
Resistensi klien yang terjadi di tahap wawancara mengakibatkan ia tidak terbuka atau jujur dalam menyampaikan masalah atau kondisinya. Mereka juga membatasi informasi yang diberikan kepada terapis dengan menjawab pertanyaan secara singkat atau seadanya, membuat proses wawancara menjadi kurang efektif.
Jika resistensi terjadi pada tahap induksi atau pendalaman, klien akan kesulitan atau tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis dalam. Biasanya, terapis akan mengganti strategi, teknik, atau menggunakan skrip lain untuk membantu klien masuk kondisi hipnosis. Namun, berdasarkan pengalaman kami, pendekatan ini sering kali tidak efektif.
Resistensi pada tahap intervensi mengakibatkan strategi atau teknik terapi yang digunakan menjadi tidak efektif. Bentuk resistensi ini bisa berupa penolakan terhadap sugesti yang diberikan, PBS menjadi tidak responsif, klien tidak bersedia mengikuti arahan terapis, atau klien keluar dari kondisi hipnosis.
Ketika ini terjadi, terapis harus mengevaluasi pendekatan mereka dan perlu mengambil langkah lain untuk mengatasi resistensi dan membangun hubungan terapeutik yang lebih kuat dengan klien.
Terapi yang mengandalkan sugesti biasanya didasarkan pada asumsi bahwa PBS adalah satu unit yang utuh. Sugesti diberikan kepada PBS dengan harapan akan mengubah kontennya dan menghasilkan perubahan pada perilaku atau kondisi klien. Namun, dalam kenyataannya, PBS terdiri dari unit-unit kepribadian independen yang memiliki pemikiran dan tujuan yang berbeda-beda. Kami menyebutnya sebagai Ego Personality (EP).
Ketika sugesti yang diberikan ke PBS tidak sesuai dengan tujuan atau agenda dari satu atau beberapa EP dominan, sugesti tersebut akan ditolak atau diabaikan. Ini adalah salah satu bentuk resistensi atau perlawanan PBS yang bisa terjadi saat terapi.
Selain itu, resistensi juga dapat muncul dalam bentuk gejala emosional atau fisik yang mengganggu proses terapi, hingga akhirnya terapi harus dihentikan. Contohnya, klien bisa mengalami kecemasan yang meningkat, serangan panik, sakit kepala, napas sesak, atau rasa tidak nyaman fisik signifikan lainnya saat menjalani terapi.
Oleh karena itu, terapis perlu berhati-hati dan fleksibel dalam pendekatannya, memahami bahwa resistensi berasal dari dinamika internal dalam PBS, dan berupaya menemukan cara untuk mengatasi hambatan ini agar terapi dapat berlangsung secara efektif.
Bentuk resistensi pada tahap terminasi, salah satunya, adalah ketika klien sulit atau enggan keluar dari kondisi hipnosis. Ini juga merupakan bentuk resistensi yang bersumber dari PBS. Klien mungkin merasa nyaman berada dalam kondisi hipnosis, atau mungkin ada aspek dari pengalaman hipnoterapi yang membuat mereka enggan kembali ke kondisi sadar normal. Resistensi ini bisa menjadi tantangan bagi terapis saat mengakhiri sesi terapi.
Untuk mengatasi resistensi di tahap terminasi, terapis perlu memiliki strategi yang efektif untuk memastikan klien dapat keluar dari kondisi hipnosis dengan aman dan nyaman.
𝐄𝐬𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢
Resistensi, apa pun bentuk dan variannya, baik yang terjadi pada terapis maupun klien, sebenarnya memiliki basis emosi yang sama: rasa takut.
Ada cara mudah untuk mengidentifikasi sumber rasa takut ini dan menghilangkannya, tetapi ini di luar cakupan pembahasan dalam tulisan ini. Namun, begitu rasa takut ini dinetralisir, proses terapi menjadi lebih mudah dan lancar.
Memahami bahwa resistensi seringkali berasal dari rasa takut dapat membantu terapis untuk lebih sensitif terhadap kebutuhan klien dan mengatasi hambatan dengan pendekatan yang lebih empatik. Terapi yang efektif membutuhkan kepercayaan dan rasa aman, sehingga mengatasi rasa takut menjadi langkah penting untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam terapi.
𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢
Di awal karir saya sebagai hipnoterapis sekitar 20 tahun lalu, saya memelajari banyak teknik untuk mengatasi resistensi klien. Teknik-teknik ini tersimpan rapi di dalam "kotak peralatan terapi" saya dan siap digunakan bila dibutuhkan. Namun, pada masa itu, saya belum menyadari bahwa resistensi utama yang harus diatasi adalah resistensi pada diri saya sebagai terapis.
Seiring berjalannya waktu, dengan semakin banyak belajar dan praktik, saya akhirnya menemukan cara mudah mengatasi resistensi, baik pada diri saya sebagai terapis maupun pada klien.
Resistensi pada terapis harus diatasi secara internal, bisa dengan menggunakan teknik swaterapi yang sesuai atau dengan bantuan terapis lainnya.
Sementara untuk klien, saya mengadopsi strategi berbeda dari yang umumnya dijelaskan dalam literatur. Biasanya, terapis mengatasi resistensi klien dengan mengarahkan pikiran klien untuk fokus pada resistensinya, terutama pada tahap induksi. Strategi ini memang efektif dan saya juga pernah menggunakannya.
Namun, resistensi juga sering muncul di tahap intervensi, yang berasal dari PBS klien. Hal ini tentu saja mengganggu proses terapi, menjadikannya lebih panjang dan melelahkan, baik bagi klien maupun bagi terapis.
Saya akhirnya menyadari bahwa cara terbaik mengatasi resistensi klien adalah dengan menyiapkan klien secara menyeluruh, baik di aspek PS maupun PBS, agar siap dan bersedia menjalani proses terapi sepenuh hati.
Persiapan ini dilakukan melalui edukasi terstruktur dan sistematis kepada klien, dimulai jauh sebelum mereka bertemu dengan terapis, dan dilanjutkan hingga pertemuan di ruang praktik.
Di ruang praktik kami, dengan memberikan edukasi yang tepat kepada klien, mereka mendapatkan pemahaman yang benar dan memberdayakan, serta menjadi siap dan bersedia menjalani sesi terapi dengan sungguh-sungguh.
Seringkali, dengan pemahaman ini, kesadaran klien meningkat, memampukan mereka untuk melihat masalahnya dari sudut pandang yang lebih konstruktif, memberdayakan, dan akhirnya masalah klien luruh dan terselesaikan dengan sendirinya tanpa perlu intervensi dari terapis.