The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Sugesti adalah satu kata yang pasti akan dibicarakan saat kita membahas mengenai hipnosis/ hipnoterapi karena berhubungan dengan salah satu teknik yang digunakan untuk meng-instal program pikiran tertentu ke dalam harddisk biokomputer seseorang.
Sugesti penting untuk dibahas karena merupakan salah satu dari 4 teknik terapi, dalam konteks hipnoterapi, yang digunakan untuk membantu klien mengatasi masalah mereka yaitu:
1.Sugesti dan imajinasi pascahipnosis (posthypnotic suggestion and imagery)
2.Menemukan akar masalah (discovering the root cause)
3.Melepaskan (release)
4.Pemahaman baru / relearning (new understanding)
Sugesti berasal dari kata “suggestion” yang berarti saran, ide, atau pendapat yang, dalam konteks hipnoterapi, ditawarkan hipnoterapis kepada klien untuk dijalankan oleh pikiran bawah sadar klien sehingga terjadi perubahan perilaku seperti yang diharapkan dan diinginkan klien.
Dalam artikel ini saya akan membahas mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan saat menyusun dan memberikan sugesti agar hasil yang dicapai bisa maksimal dalam waktu singkat.
Untuk memudahkan pemahaman anda maka saya akan menggunakan komputer sebagai analogi pikiran bawah sadar.
Saat kita punya komputer baru maka yang pertama kita lakukan adalah menginstal operating system. Selanjutnya kita perlu menginstal berbagai program aplikasi yang dibutuhkan untuk membantu kerja kita. Setelah program diinstal dan dijalankan bila ternyata ada masalah maka ada dua hal yang bisa kita lakukan. Pertama kita bisa melakukan “repair” dan hanya memperbaiki bagian program yang bermasalah. Kedua, kita bisa melakukan complete uninstall dan setelah itu mengulangi instalasi program yang sama atau yang lebih up-to-date.
Hal yang sama berlaku untuk komputer mental kita. Program dominan yang mempengaruhi hidup kita adalah program yang diinstal sejak kita dalam kandungan ibu, usia 3 bulan, hingga usia 12 atau 13 tahun. Ini adalah program yang menentukan apakah seseorang akan gagal atau sukses dalam hidupnya.
Nah, bagaimana sih sebenarnya proses pemrograman komputer mental kita?
Model Neurological Level yang dikembangkan oleh Robert Dilts, yang sebenarnya berawal dari pemikiran Gregory Bateson, sangat membantu untuk bisa memahami proses programming pikiran manusia. Neurological Level terdiri atas lima jenjang yaitu Environment (lingkungan) , Behavior (perilaku), Capability (kecakapan), Beliefs/Values (kepercayaan/nilai), dan Indentity (identitas).
Proses programming pikiran, jika mengambil alur Neurological Level adalah sebagai berikut. Saat masih kecil interaksi kita dengan lingkungan (environment), terutama dengan orangtua atau pengasuh, akan menentukan perilaku (behavior) kita. Perilaku selanjutnya akan menentukan kecakapan (capability). Kecakapan menentukan kepercayaan/nilai (belief/value) yang akhirnya akan mengkristal menjadi identitas (identity).
Bingung?
Ini saya beri penjelasan yang lebih panjang. Misalnya anak, sebut saja Budi, saat masih kecil, sering diolok-olok oleh orangtua atau pengasuhnya (environment) saat ia menyanyi karena suaranya sumbang. Akibatnya Budi akan berperilaku takut (behavior) untuk menyanyi dan tidak mau mencoba untuk menyanyi lagi karena tidak ingin mendapat malu atau sakit hati karena diolok-olok. Akibat dari perilaku ini kecakapan (capability) Budi untuk menyanyi tidak berkembang karena tidak pernah dilatih. Karena tidak pernah dilatih dan tidak bisa menyanyi Budi akhirnya percaya bahwa menyanyi adalah kegiatan yang membahayakan dirinya secara emosi dan harus dihindari (belief/value). Ia tidak bisa menyanyi dan menilai menyanyi itu tidak penting dan perlu dihindari. Akhirnya saat Budi diminta menyanyi ia menolak dan menjawab, “Saya bodoh dan tidak bisa menyanyi”. Pada saat Budi menggunakan kalimat “Saya ……….” untuk menggambarkan dirinya maka ini adalah identitas dirinya (identity).
Anda jelas sekarang?
Setelah dewasa, saat diminta menyanyi, misalnya di acara ulang tahun atau pesta maka “anak kecil” yang ada di dalam Budi yang dewasa tidak akan mau menyanyi. Mengapa? Karena ia tidak mau disakiti lagi. Dengan kata lain Budi merasakan emosi negatif yang sangat kuat, yang berhubungan dengan menyanyi, dan menghindarinya.
Apa yang terjadi di dalam pikirannya?
Waktu Budi kecil mengalami diolok-olok saat ia menyanyi maka pikirannya menyimpan pengalaman ini plus emosi negatif yang menyertainya ke harddisk atau memorinya. Setelah Budi dewasa maka saat ia diminta menyanyi yang terjadi adalah pertama, pikirannya menangkap stimulus “diminta menyanyi’ dan segera mencari data yang cocok dengan input ini. Mengapa pikiran melakukan hal ini? Karena Budi, termasuk kita semua, selalu membutuhkan makna untuk suatu kejadian atau stimulus. Cara yang paling mudah adalah dengan membongkar arsip yang ada di memori.
Begitu ditemukan data yang sesuai, yang berasal dari masa kecilnya, maka emosi yang menyertai data ini menjadi aktif. Budi merasa tidak mampu. Selanjutnya Budi memberikan respon dalam bentuk menolak untuk menyanyi. Walaupun dipaksa Budi tetap akan menolak dengan segala cara. Setelah ia tidak lagi diminta menyanyi maka Budi keluar dari “situasi bahaya” dan melakukan evaluasi, “Untung tadi saya nggak nyanyi. Kalau nyanyi suara saya sumbang dan mereka pasti akan menertawakan saya”. Hasil evaluasi ini semakin memperkuat programnya.
Masalah muncul karena pikiran (bawah sadar) Budi melakukan salah satu dari dua hal berikut. Pertama, pikiran bawah sadar mencari data yang serupa dengan stimulus dan mengaktifkan emosi (negatif) yang melekat pada data itu. Kedua, pikiran bawah sadar memberikan makna, tanpa persetujuan Budi secara sadar, atas stimulus itu dan ternyata maknanya negatif, karena mengacu pada database yang ada di memori.
Nah, untuk bisa bekerja maksimal dan powerful maka sugesti harus bisa mengintervensi apa yang dilakukan oleh pikiran bawah sadar Budi. Dengan kata lain rangkaian proses sejak diterimanya suatu stimulus hingga terjadinya respon perlu diintervensi.
Anda jelas sekarang?
Proses mulai dari diterimanya suatu input atau stimulus hingga terjadinya suatu respon saya sebut dengan nama Matrix. Matrix berawal dari input data tertentu yang masuk melalui indera kita. Data ini selanjutnya masuk ke pikiran bawah sadar dan digunakan sebagai “key word” untuk melakukan searching data yang sama, atau serupa, atau mirip yang ada di data base/ memori. Begitu ditemukan data yang serupa maka informasi ini naik ke pikiran sadar beserta semua emosi yang menyertainya. Emosi, bergantung pada intensitasnya, selanjutnya menentukan respon yang kita putuskan untuk dilakukan. Setelah respon dilakukan kita masuk ke fase terminasi atau berhenti. Apakah hanya sampai di sini? Tidak. Setelah terminasi, pikiran kita, baik secara sadar maupun tidak sadar akan melakukan evaluasi terhadap apa yang baru terjadi. Hasil evaluasi ini bisa memperkuat atau melemahkan program pikiran yang telah ada.
Agar sugesti bisa mempunyai daya kerja yang tinggi dan cepat maka kita perlu mengamati dengan hati-hati bagian dari Matrix dan Neurological Level yang akan kita intervensi. Kita perlu tahu, tentunya ini melalui proses investigasi mendalam, bagian mana yang paling sering membuat masalah pada diri klien.
Misalnya klien merasa takut saat berada di ruang, tempat, atau situasi tertentu yang memicu program pikiran, dengan muatan emosi negatif, yang membuatnya tidak berdaya. Maka sugesti perlu disusun dengan tujuan yang spesifik sehingga trigger yang sama tidak lagi bisa mengaktifkan program negatif yang membuat klien tidak berdaya.
Bagaimana jika klien punya perilaku tertentu yang merugikan dirinya? Kita perlu menyusun sugesti yang akan melemahkan program yang mengendalikan perilaku ini dan mengalihkan energi dari program itu untuk melakukan atau membentuk perilaku baru yang konstruktif.
Demikian pula dengan level Capability, Belief/Value, dan Identity. Dengan menyusun sugesti yang spesifik, sesuai dengan kebutuhan pada Neurological Level, maka kita akan menghemat sangat banyak waktu dan tenaga dalam membantu klien kita. Saya tahu anda pasti penasaran bagaimana sih bentuk sugesti untuk tiap level itu? Sayang, karena keterbatasan ruang, saya tidak bisa memberikan penjelasan yang panjang dan detil.
Satu kelemahan yang sering dilakukan para hipnoterapis pemula saat menyusun sugesti yaitu mereka tidak jelas target yang akan “ditembak”. Dari pengalaman saya pribadi, dulu waktu baru pertama kali belajar hipnoterapi, umumnya kita tidak punya panduan yang jelas dalam menyusun sugesti. Hal ini menjadi lebih sulit dan kompleks karena kalaupun ada buku atau informasi yang bisa digunakan sebagai acuan ternyata dalam bahasa Inggris. Nah, karena sugesti berhubungan dengan kata atau semantik maka cukup sulit bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Inggris dengan baik untuk bisa mengerti dengan baik dan benar. Tanpa pengetahuan dan kemampuan bahasa yang tinggi, khususnya bahasa Inggris, seringkali sugesti yang seharusnya sangat powerful, yang berasal dari bahasa Inggris, saat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kehilangan makna dan daya.
Inilah sebabnya saya tidak menganjurkan murid-murid saya untuk menyusun sendiri sugesti atau script terapi saat mereka baru selesai pelatihan. Saya memberikan mereka sugesti atau script siap pakai untuk berbagai kasus yang umum dijumpai dalam setting klinis. Saya juga memberikan mereka semacam template untuk menyusun sugesti. Nanti kalau sudah punya jam terbang yang cukup barulah mereka bisa menyusun sendiri script sugesti sesuai kebutuhan.
Itu tadi sugesti yang disusun berdasar Neurological Level. Bagaimana dengan Matrix? Secara prinsip sebenarnya sama saja. Melalui indepth interview terapis bisa mengetahui tahap mana dari Matrix yang kontribusinya paling besar terhadap masalah klien. Apakah itu pada fase stimulus/input, memori, emosi, respon, terminasi, atau evaluasi?
Yang saya jelaskan di atas baru sebagian dari syarat untuk membuat sugesti bekerja dengan dahsyat. Masih ada syarat lain yang juga sering kurang diperhatikan. Pertama, level kedalaman trance. Untuk bisa membuat sugesti diterima dengan mudah maka klien perlu berada dalam kondisi very deep trance atau yang dikenal dengan profound somnambulism.
Satu hal lagi yang jarang diketahui atau disadari yaitu walaupun berada dalam kondisi profound somnambulism, yang berarti faktor kritis telah berhasil di-bypass, masih ada 4 (empat) filter mental di pikiran bawah sadar yang tetap aktif menjaga klien. Sugesti yang benar-benar efektif adalah sugesti yang mampu menembus keempat filter ini sehingga diterima dan dijalankan sepenuhnya oleh pikiran bawah sadar klien.
Sugesti yang baik adalah sugesti yang saat dijalankan klien merasa bahwa ia melakukannya karena memang ia menginginkannya dan bukan atas “perintah” terapisnya. Dengan kata lain tidak terjadi dualitas.