The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Di artikel sebelumnya saya telah menjelaskan kriteria yang saya gunakan untuk menentukan suatu teknik itu efektif dan akan saya ajarkan di kelas Quantum Hypnosis Indonesia. Membaca penjelasan ini, seorang rekan kembali bertanya, “Pak Adi, mengapa penjelasan Bapak mengenai teknik , dasar teori, dan pendekatan terapi berbeda dengan yang saya baca di buku-buku, internet, dan juga berbeda dengan pendapat beberapa pakar hipnosis/hipnoterapi? Bahkan kalau saya bandingkan, pendapat dan pemikiran Bapak terkesan keluar dari pakem yang umum digunakan.”
Pembaca, dulu saat saya pertama kali belajar teknologi pikiran, lebih spesifik lagi hipnosis dan hipnoterapi saya menggunakan acuan materi yang saya dapatkan dari trainer saya untuk membangun pemahaman saya mengenai hipnosis/hipnoterapi. Selain belajar kepada seorang pakar hipnosis/hipnoterapi terkemuka di Indonesia saya juga sempat belajar kepada Marleen Moulder saat ia mengadakan pelatihan di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, beberapa tahun lalu.
Setelah mengerti basicnya, saya melanjutkan pembelajaran saya dengan membaca lebih banyak buku, menonton DVD, mendengarkan program audio tentang pikiran, melakukan surfing internet, menjadi member pada situs pakar tertentu, tentunya ini nggak murah bayarnya, dan juga belajar langsung ke para pakar hipnoterapi dan mind technology terbaik di Amerika. Semakin saya banyak baca dan belajar semakin saya bingung.
Lho, kok bingung?
Bagaimana nggak bingung karena ternyata pendapat para pakar itu sama tapi berbeda. Mereka menjelaskan menurut pemahaman mereka sendiri. Apa yang benar menurut pakar yang satu ternyata belum tentu benar menurut pakar lainnya. Demikian sebaliknya.
Saya membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menemukan benang merah dari apa yang saya pelajari. Semuanya semakin jelas setelah saya banyak melakukan terapi. Ternyata dasar teori yang kita gunakan sebagai dasar melakukan terapi sangat menentukan hasil terapi kita.
Pemahaman saya tentunya berbeda dengan orang lain. Setiap teknik atau pendekatan terapi yang dilakukan tentunya punya konsekuensi hasil yang spesifik. Ada banyak jalan menuju Roma. Tinggal kita menetapkan mau menggunakan jalan yang mana yang dirasa paling pas untuk diri kita.
Saya mengembangkan Quantum Hypnotherapeutic Procedure (QHP) sebagai acuan alur terapi yang diajarkan di Quantum Hypnosis Indonesia (QHI). Semua alumni QHI menggunakan QHP sebagai landasan untuk melakukan terapi.
Dasar teori yang digunakan sebagai landasan pijak teknik terapi dalam QHP juga selalu saya update seiring dengan pemahaman dan pengalaman saya dan juga diperkaya dengan berbagai sharing kasus klinis yang ditangani para alumni QHI.
Ini saya beri contoh ya. Dulu waktu pertama kali belajar hipnosis saya menggunakan Stanford Hypnotic Susceptibility Scale (SHSS) yang diciptakan oleh Ernest Hilgard sebagai acuan untuk mengenal tipe subjek. SHSS menyatakan bahwa klien terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, 10% yang mudah dihipnosis. Kedua, 85% yang moderat. Sedangkan sisanya, sebesar 5% masuk kategori yang sulit atau tidak bisa dihipnosis.
Berdasar SHSS, saat itu, jika saya bertemu dengan klien yang sulit masuk kondisi trance maka saya akan menyimpulkan, “Oh, saya lagi apes karena bertemu klien yang masuk kategori 5%.” Dengan mindset seperti ini maka setiap kali saya tidak bisa menghipnosis klien maka yang salah adalah si klien. Salahnya sendiri kok masuk kategori yang 5%?” Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah saya yang tidak mampu, bukan klien yang tidak bisa trance.
Pembelajaran saya selanjutnya mengenai tipe sugestibilitas memberikan pemahaman baru bahwa sebenarnya ada dua tipe sugestibilitas yaitu yang bersifat fisik (physical suggestibility) dan yang bersifat emosi (emotional suggestibility). Dari ratusan buku tentang terapi, pikiran, hipnosis atau hipnoterapi, hanya satu buku yang bicara tentang hal ini. Ini adalah hasil riset mendalam dari seorang pakar yang sangat terkenal di Amerika.
Orang tipe physical suggestible ini sangat mudah dihipnosis. Sedangkan yang emotional suggestible lebih sulit karena lebih menggunakan perasaan dan analitikal. Dengan pemahaman ini maka tingkat keberhasilan saya menginduksi subjek atau klien meningkat sangat tinggi.
Selanjutnya, dengan mempelajari berbagai riset terkini, ditunjang dengan pengalaman praktik dan semakin bertambahnya jam terbang, mengajarkan saya satu hal penting. Ternyata semua orang bisa masuk kondisi hipnosis dengan sangat mudah dan cepat asalkan tahu caranya.
Saat ini, jika hendak menghipnosis seseorang, saya tidak perlu tahu tipe sugestibilitasnya. Saya sudah tidak lagi menggunakan pendekatan ini. Yang saya lakukan adalah menyiapkan pikiran klien. Selanjutnya, dengan sangat mudah saya bisa membawa klien, tipe apa saja, masuk ke kondisi hipnosis yang sangat dalam, profound somnambulism.
Pemahaman saya mengenai cara kerja pikiran, dinamika dan proses terapi, hubungan gelombang otak dan kesadaran, serta berbagai teknik terapi semakin dipertajam dengan update pengetahuan yang saya dapatkan dari Anna Wise dan Tom Silver.
Update ini juga yang kini saya ajarkan di kelas 100 jam QHI (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy). Dengan pemahaman ini murid saya tidak perlu bingung mempelajari berbagai teknik induksi yang sangat beragam. Mereka mampu dengan sangat mudah membawa siapa saja masuk kondisi deep trance. Dengan demikian mereka hanya perlu konsentrasi mendalami berbagai teknik terapi yang saya ajarkan. Ini sudah tentu sangat membantu peningkatan kecakapan terapi mereka.
Selama belajar di QHI para peserta pelatihan hanya belajar 3 (tiga) teknik induksi yang telah saya pilih secara sangat hati-hati dan telah saya modifikasi. Semua alumni QHI menggunakan salah satu dari tiga teknik induksi ini, bergantung situasi dan kondisi klien, saat melakukan terapi dan hasilnya sangat luar biasa. Bahkan ada peserta yang baru belajar selama 3 hari telah mampu membawa 10 orang subjek masuk ke profound somnambulism dengan begitu mudah.
Untuk sampai pada tiga teknik ini saya membutuhkan waktu hampir 3 tahun setelah melakukan berbagai kesalahan dan kegagalam dalam induksi. Sebelumnya saya telah mencoba sangat banyak teknik induksi. Pengalaman mengajarkan saya bahwa ada banyak teknik induksi yang sebenarnya tidak perlu dipelajari karena tidak digunakan dalam proses terapi.
Pemahaman saya lainnya yang terkesan agak berbeda adalah tentang sugesti. Saya sangat tidak menganjurkan murid saya melakukan terapi hanya dengan mengandalkan sugesti. Saya sampai pada kesimpulan ini setelah melakukan riset literatur dan diperkuat dengan hasil praktik saya sendiri. Saya hanya akan menggunakan sugesti sebagai finishing touch, bukan sebagai teknik utama.
Untuk memperdalam pemahaman saya mengenai sugesti baru-baru ini saya mempelajari hasil riset yang dilakukan oleh seorang pakar yang telah mengujicobakan sugesti pada 8.000 (delapan ribu) subjek hipnosis di The Pathological Institute of The New York State Hospitals. Informasi yang saya dapatkan tentunya semakin mempertajam pemahaman saya tentang cara kerja sugesti, apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan dengan sugesti, jenis atau tipe hasil sugesti, dan masih banyak lagi hal lain yang sangat bermanfaat.
Mengapa jika hanya menggunakan sugesti biasanya kurang efektif?
Menurut pemahaman dan pengalaman saya sugesti hanya akan bekerja maksimal dengan beberapa syarat. Pertama, otoritas terapis dalam pandangan pikiran bawah sadar klien haruslah sangat tinggi. Tanpa level otoritas yang tinggi maka sugesti tidak punya power yang optimal karena sulit menembus critical factor pikiran sadar.
Bisa saja seorang klien, secara pikiran sadar, merasa bahwa terapisnya adalah orang yang mumpuni. Namun secara pikiran bawah sadar tidak demikian. Ada banyak faktor yang menentukan level otoritas seorang terapis di mata klien.
Kedua, kesiapan dan kesediaan klien untuk berubah. Jika keinginan berubah tidak terlalu kuat maka sudah pasti teknik apapun yang digunakan, termasuk dengan menggunakan sugesti, tidak bisa bekerja optimal. Ini yang biasa disebut dengan “You are not ready for change until you are ready for change”.
Ketiga, level kedalaman trance. Umumnya sugesti diberikan dalam kondisi light trance atau maksimal di level medium trance. Sugesti yang diberikan pada kondisi ini tidak akan bisa bekerja maximal. Agar sugesti bekerja maksimal maka dibutuhkan kedalaman profound somnambulism.
Keempat, adanya penolakan dari Ego State tertentu. Baru-baru ini di Quantum Life Transformation workshop saya memberikan sugesti kepada seorang peserta. Hasilnya? Sugesti saya tidak bekerja. Kalaupun bekerja, pengaruhnya hanya sangat sebentar. Sudah saya coba beberapa kali hasilnya tetap sama. Saya bahkan sengaja mengulang sugesti beberapa kali dengan tujuan meningkatkan powernya namun tetap saja tidak efektif. Saya lalu menetralisir resistensi Ego State ini dan selanjutnya semuanya jadi sangat mudah. Sugesti apapun yang saya berikan langsung bekerja dengan optimal. Bahkan untuk membawa subjek mengalami negative visual hallucination saya hanya butuh waktu tidak lebih dari 2 menit.
Kelima, semantik yang digunakan untuk menyusun sugesti tidak pas dengan kebutuhan dan kondisi subjek. Sugesti akan semakin sulit bekerja, jika tidak mau dikatakan sama sekali tidak bias bekerja, bila tidak bisa menembus 4 filter mental yang ada di pikiran bawah sadar.
Pemahaman ini juga yang mendasari pendapat saya yang mengatakan bahwa teknik terapi berbasis sugesti yang digabungkan dengan kinesiologi yang diciptakan oleh seorang pakar di Amerika tidak efektif, walaupun di situsnya ia mengatakan tekniknya sangat dahsyat bahkan lebih efektif daripada EFT.
Nah pembaca, inilah beberapa alasan yang membuat saya menolak peserta yang hanya ingin mengikuti kelas advanced QHI. Untuk bisa melakukan QHP peserta perlu menguasai tidak hanya dasar teori namun juga pemahaman dan alasan mengapa saya akhirnya sampai pada teknik yang diajarkan di QHI.
Kemarin, saat berdiskusi dengan seorang rekan di rumah saya, ia mengajukan pertanyaan menarik, “Pak Adi, bagaimana Bapak tahu teknik terapi yang anda kembangkan sudah benar, sesuai jalur terapi yang seharusnya?”
“Mudah sekali. Yang dilihat adalah hasil terapinya. Jika apa yang saya lakukan tidak ada hasilnya maka saya perlu jujur dan berbesar hati mengakui dan menerima bahwa apa yang saya kembangkan ternyata tidak efektif” jawab saya.
Saya memeriksa efektivitas teknik terapi, lebih spesifik lagi Quantum Hypnotherapeutic Proedure, dengan meminta masukan dan saran dari alumni saya. Dari laporan mereka saya tahu apakah saya telah on-track atau masih perlu melakukan berbagai perbaikan.