The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Setidaknya hingga awal abad 19, telah diketahui bahwa setiap individu memiliki keunikan dan perbedaan dalam derajat respon terhadap sugesti hipnotik. Di tahun 1950an dan 1960an, Weitzenhoffer dan Hilgard (1959, 1962) melanjutkan kerja pendahulu, antara lain Friedlander dan Sarbin (1938), mengembangkan skala terstandar guna mengukur hipnotisabilitas.
Skala ini dan skala-skala serupa lainnya yang dikembangkan peneliti lain (Barber, 1965; Shor dan Orne, 1962; Spanos dkk., 1983) segera menjadi populer dan digunakan, dan ditemukan bahwa hipnotisabilitas adalah karakter pribadi bersifat relatif stabil. Dengan kata lain, setiap individu cenderung mencatat skor sama pada dua kesempatan pengukuran berbeda, menggunakan tes hipnotisabilitas yang sama, walau kedua tes dilakukan dalam interval waktu cukup lama (Hilgard, 19765a; Piccione, Hilgard, dan Zimbardo, 1989).
Dalam konteks hipnosis, faktor hipnotisabilitas inilah yang sering disebut memengaruhi dan bertanggung-jawab atas perbedaan antara individu yang sangat mudah mengalami fenomena hipnotik seturut sugesti yang diberikan oleh operator kepadanya, dan mereka yang hanya mampu mengalami sedikit atau bahkan sama sekali tidak bisa merespon sugesti (Lynn dan Rhue, 1991).
Para pakar sepakat bahwa hipnotisabilitas setiap individu berbeda. Namun, hingga sejauh mana respon hipnotik dapat dimodifikasi masih menjadi perdebatan hingga saat ini (Diamond, 1977; Bertrand, 1989; Spanos dan Flynn, 1989; Bates, 1990; Gorassini, 2004).
Secara konseptual, hipnotisabilitas adalah peningkatan sugestibilitas sebagai dampak hipnosis. Secara praktis, hipnotisabilitas diukur berdasar peningkatan sugestibiltas setelah dilakukan induksi hipnotik. Sementara sugestibilitas adalah derajat kecenderungan individu dalam menerima dan bertindak atas dasar sugesti hipnotik yang diberikan padanya.
Menurut American Psychological Association (2014) hipnotisabilitas adalah kemampuan individu mengalami perubahan fisiologis, sensasi, emosi, pikiran, atau perilaku seturut dengan sugesti yang diberikan padanya, saat ia berada dalam kondisi hipnosis.
Terdapat dua paradigma, dengan pendukungnya masing-masing, tentang sejauh mana respon hipnotik dapat dimodifikasi atau ditingkatkan. Satu perspektif, dinamakan pandangan proses khusus (special process view), menyatakan respon hipnotik mencerminkan kemampuan secara pasif mengalami disosiasi di antara beragam subsistem kognisi (Hilgard, 1977, 1979).
Kemampuan disosiatif ini bertanggung jawab atas hampir semua fenomena hipnotik, termasuk analgesia hipnotik, amnesia hipnotik, dan perasaan bahwa respon terhadap sugesti hipnotik terjadi dengan sendirinya, tanpa perlu upaya sadar.
Kapasitas disosiasi, khususnya yang tampak pada individu dengan hipnotisabilitas tinggi, dipandang sebagai karakter statis dalam diri individu dan tidak dapat dimodifikasi, walau dengan upaya gigih. Pendukung paradigma ini sering menggunakan data hasil penelitian respon hipnotik yang dilakukan dalam kurun waktu 10 tahun (1960-1970), 15 tahun (1970-1985), dan 25 tahun (1960–1985), masing-masing menunjukkan korelasi uji dan uji ulang sebesar 0.64, 0.82, dan 0.71 sebagai bukti bahwa hipnotisabilitas adalah karakter yang bersifat statis (Piccione, Hilgard, dan Zimbardo, 1989).
Walau hasil penelitian ini menunjukkan hipnotisabilitas relatif bersifat stabil, sugesti yang digunakan sebagai dasar untuk menghasilkan respon hipnotik patut mendapat perhatian. Banyak subjek penelitian gagal merespon sugesti bukan disebabkan mereka kurang dalam keterampilan imajinatif atau memiliki sikap negatif terhadap hipnosis, namun lebih disebabkan sugesti hipnotik yang diberikan bersifat ambigu dan cenderung salah dimengerti. Sugesti-sugesti ini disusun menggunakan kalimat pasif dan mengakibatkan banyak subjek penelitian berasumsi respon hipnotik akan terjadi secara otomatis (Spanos, 1986c).
Dengan demikian, banyak subjek dengan sikap, motivasi, dan pengharapan positif terhadap hipnosis, dan memiliki keterampilan yang baik dalam menggunakan gambaran mental, gagal menghasilkan respon hipnotik karena sugesti yang digunakan, disusun dengan kata atau kalimat pasif, yang membuat mereka hanya menunggu secara pasif untuk efek sugesti terjadi dengan sendirinya (Katsanis, Barnard, dan Spanos, 1988).
Sementara perspektif satunya, dinamakan model keterampilan kognitif sosial (social-cognitive skills model) memandang respon hipnotik sebagai hasil dari kemampuan yang dipengaruhi oleh banyak faktor intrapersonal, interpersonal, dan kontekstual.
Faktor-faktor ini meliputi pengharapan dan sikap terhadap hipnosis, keterampilan kognisi, seperti kejelasan dan ketajaman gambar yang muncul di pikiran dan ketercerapan dalam imajinasi; dan variabel interpersonal, meliputi derajat rasa percaya dan relasi dengan operator. Setiap faktor ini diyakini dapat dimodifikasi, setidaknya hingga batas tertentu.
Model keterampilan kognitif sosial menyatakan hipnotisabilitas dapat ditingkatkan secara signifikan bila individu diberi informasi dan pelatihan yang mendukung faktor-faktor ini.
Hipnosis telah digunakan dalam upaya mengatasi beragam masalah atau kondisi, antara lain gangguan kecemasan (Crawford dan Barabasz, 1993; Spiegel, 1994; Schoenberger dkk., 1997; Cardena dkk., 2002), gangguan suasana hati (Yapko, 2001; Hensel dkk., 2001; Gravitz, 2001), mengatasi rasa sakit (Eimer, 2000; Gravitz, 2002; Whalley dan Oakley, 2003; Liossi dan Hatura, 2003), penyembuhan tubuh fisik melalui pendekatan keterhubungan pikiran dan tubuh (Rossi, 1993; Heap dkk., 1994; Breuer, 2000; Gruzelier, 2002), mengatasi gangguan tidur (Kingsbury, 1993; Perlstrom, 1998), membantu mengurangi atau menyembuhkan masalah kuli (Shenefelt, 2000; Ewin dan Eimer, 2006; Goldstein, 2005), gangguan psikofisiologis, termasuk asma (Neinstein dan Dash, 1982; Brown, 2007), mengurangi gangguan IBS / irritable bowel syndrome (Palsson, 2006; Palsson, Turner, Johnson, Burnett, dan Whitehead, 2006; Whitehead, 2006), menyembuhkan migrain (Kukuruzovic, 2004), menghentikan kebiasaan merokok (Neufeld dan Lynn, 1988), dan menangani obesitas (Levitt, 1992).
Literatur empiris mengindikasikan hipnotisabilitas berpengaruh terhadap hasil terapi. Namun kadang hipnotisabilitas sama sekali tidak dapat memprediksi keberhasilan terapi (Lynn, Boycheva, dan Barnes 2008). Dari beberapa temuan, walau tidak selalu konsisten, diketahui bahwa keberhasilan terapi atau penanganan terhadap kasus berikut ini dipengaruhi hipnotisabilitas: kondisi yang berhubungan dengan rasa sakit, berhenti merokok, obesitas, kutil, kecemasan, somatisasi, gangguan konversi, dan asma (Lynn, Shindler, dan Meyer, 2003).
Hipnotisablitas sangat relevan dan berpengaruh dalam menentukan hasil penanganan atau terapi bila keberhasilan intervensi dicapai melalui perubahan pengalaman subjektif klien (Wadden dan Anderton, 1982; Soskis, 1986). Contoh kondisi di mana perubahan persepsi dan pengalaman subjektif seseorang dapat menghasilkan perubahan positif termasuk yang melibatkan memori traumatik dan kondisi psikofisiologis, seperti sakit disfungsional dan gangguan konversi.
Apakah hipnotisabilitas bisa ditingkatkan?
Penelitian-penelitian terdahulu respon hipnotik berdasar model keterampilan kognitif sosial menemukan peningkatan berarti pada tingkat sugestibilitas perilaku dan subjektif setelah pelatihan modifikasi (Sachs dan Anderson, 1967; Diamond, 1972; Kinney & Sachs, 1974; Springer, Sachs, & Morrow, 1977).
Ini sejalan dengan hasil penelitian lebih awal, bahwa 55% subjek yang semula tidak dapat dihipnosis, setelah mendapat pelatihan interpersonal tinggi meliputi faktor-faktor kognisi, peningkatan relasi antara operator dan subjek, dan pengurangan hambatan respon hipnotik, berubah menjadi sugestibilitas tinggi mengacu pada Harvard Group Scale of Hypnotic Susceptibility (Shor dan Orne (1962).
Hasil paling mengesankan dari peningkatan tersebut tampak dalam sejumlah penelitian yang dilakukan oleh Spanos dan rekan-rekannya (Spanos, dkk., 1985; Gorassini & Spanos, 1986). Penelitian ini menunjukkan lebih dari 50% subjek mengalami peningkatan hipnotisabilitas, dari rendah menjadi tinggi, setelah menjalani pelatihan keterampilan kognitif. Temuan penelitian ini menguatkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya.
Aplikasi Klinis
Telah dijelaskan bahwa respon hipnotik sangat relevan dan berpengaruh pada penanganan kasus atau kondisi di mana hasil terapeutik positif bergantung pada perubahan pengalaman subjektif dan persepsi klien, termasuk yang melibatkan memori traumatik.
Peningkatan hipnotisabilitas dapat dicapai dengan memberi klien pelatihan, edukasi, atau penjelasan mendalam dan relevan dengan konteks terapi, sebelum terapi dilakukan. Selain bertujuan memberi informasi dan inspirasi, pelatihan dan edukasi subjek juga untuk meningkatkan motivasi, pengharapan, mengatasi keraguan, membangun kepercayaan dan sikap mental positif dalam diri subjek terhadap operator dan proses yang akan dijalani, memberi pemahaman subjek bahwa ia perlu aktif terlibat dalam merespon, serta menjalin relasi terapeutik. Sebagaimana dalam semua konteks terapi, membangun kerjasama terapeutik positif penting untuk memfasilitasi keberhasilan aplikasi kemampuan hipnotik mereka (Sheehan, 1980; Gfeller dkk, 1987)
Model keterampilan kognitif sosial memandang relasi terapeutik sebagai proses kolaboratif dengan menempatkan operator sebagai partisipan pengamat yang membantu klien dalam memahami sifat hipnosis, dan menelusuri faktor-faktor yang dapat menghambat dan meningkatkan kemampuan hipnotik klien. Dengan demikian, intervensi hipnotik tidak boleh dilakukan hingga terbangun rasa percaya yang kuat dari klien terhadap operator.
Dalam upaya mengatasi masalahnya, klien perlu menjalani pengalaman emosional korektif yang sesuai untuk memperbaiki pengaruh dari pengalaman-pengalaman traumatik sebelumnya (Alexander, French, dkk., 1946).
Sejalan dengan hal ini, Watkins (1978) menyatakan untuk mencapai hasil terapeutik maksimal dan bertahan lama, klien perlu mengalami modifikasi memori traumatik, tidak cukup hanya sekadar mengalami kembali pengalaman traumatiknya. Dan adalah lebih baik secara permanen menetralisir memori patologis dan menggantinya dengan memori sehat (Watkins dan Barabasz (2008).
Kemudahan dalam mengakses dan memodifikasi pengalaman traumatik hingga klien mencapai pengalaman emosional korektif, selain tentunya dipengaruhi kompetensi klinis operator, juga sangat terbantu oleh peningkatan hipnotisabilitas klien.