The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel
Teori Sintergi dan Konstruksi Realitas
15 Maret 2025

Teori Sintergi yang dikemukakan oleh Jacobo Grinberg dalam bukunya, La Teoría Sintérgica (1991), merupakan konsep revolusioner yang menggabungkan ilmu neurofisiologi, fisika kuantum, dan tradisi mistik. Dalam teorinya, Grinberg, seorang neurofisiolog, psikolog, dan peneliti kesadaran asal Mexico, menjelaskan bahwa realitas yang kita alami sehari-hari bukanlah representasi objektif dari dunia luar, melainkan konstruksi subjektif yang bergantung pada pola sinergi antara kesadaran dan aktivitas otak dalam berinteraksi dengan Lattice.

 

Lattice: Jaringan Energi dan Informasi

Lattice, menurut Grinberg, adalah jaringan energi dan informasi murni yang menghubungkan dan membentuk segala sesuatu di alam semesta. Lattice bukan hanya bahan dasar konstruksi bagi dunia fisik tetapi juga bagi kesadaran, pikiran, dan pengalaman subjektif manusia.

Lattice dapat dianalogikan sebagai “kode sumber” dari eksistensi yang mengandung potensi realitas dalam bentuk murni. Dalam keadaan dasarnya yang tidak terdistorsi, Lattice adalah Kesadaran Murni (Pure Consciousness)— kondisi non-dualitas, tanpa batas, tanpa objek, dan tanpa persepsi individu.

Namun, ketika informasi dari Lattice difilter oleh otak manusia, maka terbentuklah realitas subjektif yang berbeda-beda pada setiap individu.

Teori ini juga memiliki kesamaan dengan ajaran mistik Timur, seperti dalam filsafat Vedanta, Kabbalah, dan Buddhisme Zen, yang menyatakan bahwa realitas adalah proyeksi dari kesadaran yang lebih tinggi.

 

Peran Kesadaran, Otak, Intensi, dan Emosi dalam Konstruksi Realitas

Proses konstruksi realitas dalam Teori Sintergi melibatkan empat elemen utama: kesadaran, otak, intensi, dan emosi.

Kesadaran

Kesadaran merupakan elemen utama yang terhubung langsung dengan Lattice. Melalui kesadaran, manusia dapat mengakses potensi tak terbatas dari Lattice. Semakin tinggi tingkat kesadaran seseorang, semakin mampu ia mengakses Lattice tanpa distorsi.

Orang yang berlatih meditasi mendalam atau memiliki peningkatan kesadaran, sering kali mengalami realitas yang lebih luas dan berbeda dari yang biasa orang alami. Ini terjadi karena otak mereka mengalami korelasi sinergis yang lebih tinggi, memungkinkan mereka mengakses informasi yang lebih luas dari Lattice.

Otak

Otak manusia tidak semata-mata “menghasilkan” kesadaran secara terisolasi, melainkan berfungsi seperti pemancar sekaligus penerima dalam jaringan energi. Aktivitas 86 miliar neuron menciptakan suatu medan energi kompleks yang disebut medan neuronal di sekeliling otak.

Dalam Teori Sintergi, realitas yang kita alami adalah konstruksi dari korelasi sinergis antara otak (medan neuronal) dengan Lattice. Sinergi terjadi ketika pola aktivitas neuron dalam otak bekerja secara harmonis untuk menciptakan pengalaman kesadaran yang spesifik. Jika kita mengubah pola korelasi otak (frekuensi vibrasi pikiran dan perasaan kita), maka pengalaman yang kita alami pun berubah.

Otak memancarkan medan elektromagnetik yang kaya informasi (neuronal field), bukan hanya sinyal listrik internal. Grinberg mengibaratkan otak sebagai pesawat radio atau tuner yang menangkap frekuensi dari medan universal; otak menyelaraskan diri dengan medan kesadaran luas dan “mereduksi” (meng-collapse) kontinuum kemungkinan di medan itu menjadi persepsi spesifik.

Otak bertindak sebagai pemfilter realitas. Ia mengubah informasi dari Lattice menjadi pengalaman dan realitas subjektif yang dapat dipahami. Namun, otak juga bisa menciptakan distorsi negatif. Ketika otak bebas dari filter negatif, informasi dari Lattice dapat diterjemahkan menjadi pengalaman hidup yang lebih harmonis dan sesuai dengan keinginan individu.

Semakin tinggi sinergi medan neuronal, otak akan semakin mampu menyelaraskan frekuensinya dengan struktur Lattice. Dengan kata lain, kondisi koheren dan harmonis dalam aktivitas neuronal memungkinkan otak untuk "tuning" atau beresonansi dengan Lattice dalam keadaan fundamentalnya.

Intensi

Intensi adalah mekanisme pengarah perhatian dan energi seseorang ke aspek tertentu dari Lattice. Dengan menetapkan intensi yang jelas dan disertai dengan emosi positif, seseorang dapat memengaruhi Lattice dan mencipta realitas yang diinginkan.

Dalam prosesnya, seseorang menetapkan intensi atau tujuan tertentu, seperti kesuksesan, kesehatan, atau kebahagiaan. Melalui praktik-praktik seperti meditasi, visualisasi, atau hipnosis, individu dapat mengubah kondisi kesadaran mereka, untuk mengurangi distorsi yang dihasilkan oleh otak. Dengan demikian, mereka dapat lebih mudah mengakses Lattice dan menciptakan realitas sesuai dengan intensi mereka.

Emosi

Emosi memiliki frekuensi vibrasi tertentu yang memengaruhi resonansi seseorang dengan Lattice. Emosi positif seperti syukur, cinta, dan kebahagiaan meningkatkan resonansi dengan realitas yang diinginkan. Sebaliknya, emosi negatif seperti takut, cemas, benci, dan marah menciptakan distorsi yang menghambat manifestasi realitas yang positif.

Dalam konteks ini, emosi berperan sebagai "penggerak" dalam proses manifestasi. Jika kesadaran adalah kapal dan Lattice adalah lautan energi, maka emosi adalah angin yang mendorong kapal tersebut menuju tujuan. Semakin selaras emosi seseorang dengan realitas yang diinginkan, semakin cepat ia mencapai tujuan tersebut.

Ketika seseorang menetapkan intensi yang jelas dan memperkuatnya dengan emosi positif, ia menciptakan interferensi konstruktif dalam Lattice.


Pikiran Bawah Sadar dan Limiting Belief: Penghalang Menuju Realitas yang Lebih Luas

Dalam proses konstruksi realitas, pikiran bawah sadar (PBS) memegang peranan sangat penting. PBS menyimpan program dan kepercayaan (belief) yang membentuk cara seseorang memandang dunia. Limiting belief atau kepercayaan yang bersifat menghambat, disebut sebagai mental block, membatasi seseorang dalam mengakses potensi penuh dari Lattice, dan mengakibatkan tercipta realitas yang lebih sempit dan terbatas.

Misalnya, seseorang yang memiliki limiting belief “Saya tidak layak sukses” atau "Saya tidak berharga" akan terus mengalami kegagalan meskipun Lattice menawarkan berbagai potensi keberhasilan. Keyakinan negatif ini menciptakan filter tambahan dalam otak yang menghambat korelasi sinergis, mempersempit interpretasi realitas, dan menghalangi manifestasi realitas yang diinginkan, sehingga informasi dari Lattice yang terkait dengan keberlimpahan tidak dapat diakses.


Kepasrahan: Melepaskan dan Membiarkan Lattice Bekerja

Setelah seseorang menggunakan kesadaran, otak, dan pikiran dalam menetapkan intensi, mengakses Lattice, dan menyelaraskan emosi, langkah terakhir adalah melepaskan semua ekspektasi dan membiarkan Lattice bekerja. Konsep pasrah atau letting go, ada yang menyebutnya sebagai kondisi non-attachement (tanpa keterikatan), bukan berarti menyerah, tetapi menunjukkan keyakinan penuh bahwa Lattice akan mewujudkan realitas yang diinginkan sesuai dengan vibrasi yang telah ditetapkan.

Dalam kondisi batin yang stabil, yakin, dan pasrah, seseorang membiarkan Lattice bekerja tanpa hambatan dan kelekatan dari ego dan ketakutan. Kondisi ini menciptakan aliran energi yang lebih harmonis dan memungkinkan konstruksi realitas terjadi secara alami.

 

Kesimpulan

Teori Sintergi Jacobo Grinberg menawarkan pemahaman mendalam tentang bagaimana realitas terbentuk melalui interaksi antara kesadaran, otak, dan intensi. Lattice sebagai sumber energi dan informasi murni menjadi dasar dari segala kemungkinan realitas. Dengan menyelaraskan kesadaran, emosi, dan melepaskan limiting belief, seseorang dapat mengakses potensi tak terbatas dari Lattice dan membentuk realitas sesuai dengan tujuan hidupnya.

Pada akhirnya, memahami dan menerapkan teori sintergi dalam kehidupan sehari-hari dapat membantu seseorang tidak hanya mencapai tujuan-tujuannya, tetapi juga mengalami dimensi eksistensi yang lebih luas dan mendalam. Dengan demikian, seseorang tidak hanya hidup dalam realitas yang terbatas oleh pikiran dan persepsi lama, tetapi juga mampu menciptakan realitas baru yang lebih selaras dengan potensi sejatinya, dan mengalami kehidupan yang lebih bermakna.

 

 

Baca Selengkapnya

Video

𝐒𝐜𝐢𝐞𝐧𝐭𝐢𝐟𝐢𝐜 𝐄𝐄𝐆 & 𝐂𝐥𝐢𝐧𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐲® (𝐒𝐄𝐂𝐇)
Informasi Hasil Regresi, Valid?
Cara Mudah Menanam Impian ke Pikiran Bawah Sadar

Artikel

Teori Sintergi dan Konstruksi Realitas
15 Maret 2025

Teori Sintergi yang dikemukakan oleh Jacobo Grinberg dalam bukunya, La Teoría Sintérgica (1991), merupakan konsep revolusioner yang menggabungkan ilmu neurofisiologi, fisika kuantum, dan tradisi mistik. Dalam teorinya, Grinberg, seorang neurofisiolog, psikolog, dan peneliti kesadaran asal Mexico, menjelaskan bahwa realitas yang kita alami sehari-hari bukanlah representasi objektif dari dunia luar, melainkan konstruksi subjektif yang bergantung pada pola sinergi antara kesadaran dan aktivitas otak dalam berinteraksi dengan Lattice.

 

Lattice: Jaringan Energi dan Informasi

Lattice, menurut Grinberg, adalah jaringan energi dan informasi murni yang menghubungkan dan membentuk segala sesuatu di alam semesta. Lattice bukan hanya bahan dasar konstruksi bagi dunia fisik tetapi juga bagi kesadaran, pikiran, dan pengalaman subjektif manusia.

Lattice dapat dianalogikan sebagai “kode sumber” dari eksistensi yang mengandung potensi realitas dalam bentuk murni. Dalam keadaan dasarnya yang tidak terdistorsi, Lattice adalah Kesadaran Murni (Pure Consciousness)— kondisi non-dualitas, tanpa batas, tanpa objek, dan tanpa persepsi individu.

Namun, ketika informasi dari Lattice difilter oleh otak manusia, maka terbentuklah realitas subjektif yang berbeda-beda pada setiap individu.

Teori ini juga memiliki kesamaan dengan ajaran mistik Timur, seperti dalam filsafat Vedanta, Kabbalah, dan Buddhisme Zen, yang menyatakan bahwa realitas adalah proyeksi dari kesadaran yang lebih tinggi.

 

Peran Kesadaran, Otak, Intensi, dan Emosi dalam Konstruksi Realitas

Proses konstruksi realitas dalam Teori Sintergi melibatkan empat elemen utama: kesadaran, otak, intensi, dan emosi.

Kesadaran

Kesadaran merupakan elemen utama yang terhubung langsung dengan Lattice. Melalui kesadaran, manusia dapat mengakses potensi tak terbatas dari Lattice. Semakin tinggi tingkat kesadaran seseorang, semakin mampu ia mengakses Lattice tanpa distorsi.

Orang yang berlatih meditasi mendalam atau memiliki peningkatan kesadaran, sering kali mengalami realitas yang lebih luas dan berbeda dari yang biasa orang alami. Ini terjadi karena otak mereka mengalami korelasi sinergis yang lebih tinggi, memungkinkan mereka mengakses informasi yang lebih luas dari Lattice.

Otak

Otak manusia tidak semata-mata “menghasilkan” kesadaran secara terisolasi, melainkan berfungsi seperti pemancar sekaligus penerima dalam jaringan energi. Aktivitas 86 miliar neuron menciptakan suatu medan energi kompleks yang disebut medan neuronal di sekeliling otak.

Dalam Teori Sintergi, realitas yang kita alami adalah konstruksi dari korelasi sinergis antara otak (medan neuronal) dengan Lattice. Sinergi terjadi ketika pola aktivitas neuron dalam otak bekerja secara harmonis untuk menciptakan pengalaman kesadaran yang spesifik. Jika kita mengubah pola korelasi otak (frekuensi vibrasi pikiran dan perasaan kita), maka pengalaman yang kita alami pun berubah.

Otak memancarkan medan elektromagnetik yang kaya informasi (neuronal field), bukan hanya sinyal listrik internal. Grinberg mengibaratkan otak sebagai pesawat radio atau tuner yang menangkap frekuensi dari medan universal; otak menyelaraskan diri dengan medan kesadaran luas dan “mereduksi” (meng-collapse) kontinuum kemungkinan di medan itu menjadi persepsi spesifik.

Otak bertindak sebagai pemfilter realitas. Ia mengubah informasi dari Lattice menjadi pengalaman dan realitas subjektif yang dapat dipahami. Namun, otak juga bisa menciptakan distorsi negatif. Ketika otak bebas dari filter negatif, informasi dari Lattice dapat diterjemahkan menjadi pengalaman hidup yang lebih harmonis dan sesuai dengan keinginan individu.

Semakin tinggi sinergi medan neuronal, otak akan semakin mampu menyelaraskan frekuensinya dengan struktur Lattice. Dengan kata lain, kondisi koheren dan harmonis dalam aktivitas neuronal memungkinkan otak untuk "tuning" atau beresonansi dengan Lattice dalam keadaan fundamentalnya.

Intensi

Intensi adalah mekanisme pengarah perhatian dan energi seseorang ke aspek tertentu dari Lattice. Dengan menetapkan intensi yang jelas dan disertai dengan emosi positif, seseorang dapat memengaruhi Lattice dan mencipta realitas yang diinginkan.

Dalam prosesnya, seseorang menetapkan intensi atau tujuan tertentu, seperti kesuksesan, kesehatan, atau kebahagiaan. Melalui praktik-praktik seperti meditasi, visualisasi, atau hipnosis, individu dapat mengubah kondisi kesadaran mereka, untuk mengurangi distorsi yang dihasilkan oleh otak. Dengan demikian, mereka dapat lebih mudah mengakses Lattice dan menciptakan realitas sesuai dengan intensi mereka.

Emosi

Emosi memiliki frekuensi vibrasi tertentu yang memengaruhi resonansi seseorang dengan Lattice. Emosi positif seperti syukur, cinta, dan kebahagiaan meningkatkan resonansi dengan realitas yang diinginkan. Sebaliknya, emosi negatif seperti takut, cemas, benci, dan marah menciptakan distorsi yang menghambat manifestasi realitas yang positif.

Dalam konteks ini, emosi berperan sebagai "penggerak" dalam proses manifestasi. Jika kesadaran adalah kapal dan Lattice adalah lautan energi, maka emosi adalah angin yang mendorong kapal tersebut menuju tujuan. Semakin selaras emosi seseorang dengan realitas yang diinginkan, semakin cepat ia mencapai tujuan tersebut.

Ketika seseorang menetapkan intensi yang jelas dan memperkuatnya dengan emosi positif, ia menciptakan interferensi konstruktif dalam Lattice.


Pikiran Bawah Sadar dan Limiting Belief: Penghalang Menuju Realitas yang Lebih Luas

Dalam proses konstruksi realitas, pikiran bawah sadar (PBS) memegang peranan sangat penting. PBS menyimpan program dan kepercayaan (belief) yang membentuk cara seseorang memandang dunia. Limiting belief atau kepercayaan yang bersifat menghambat, disebut sebagai mental block, membatasi seseorang dalam mengakses potensi penuh dari Lattice, dan mengakibatkan tercipta realitas yang lebih sempit dan terbatas.

Misalnya, seseorang yang memiliki limiting belief “Saya tidak layak sukses” atau "Saya tidak berharga" akan terus mengalami kegagalan meskipun Lattice menawarkan berbagai potensi keberhasilan. Keyakinan negatif ini menciptakan filter tambahan dalam otak yang menghambat korelasi sinergis, mempersempit interpretasi realitas, dan menghalangi manifestasi realitas yang diinginkan, sehingga informasi dari Lattice yang terkait dengan keberlimpahan tidak dapat diakses.


Kepasrahan: Melepaskan dan Membiarkan Lattice Bekerja

Setelah seseorang menggunakan kesadaran, otak, dan pikiran dalam menetapkan intensi, mengakses Lattice, dan menyelaraskan emosi, langkah terakhir adalah melepaskan semua ekspektasi dan membiarkan Lattice bekerja. Konsep pasrah atau letting go, ada yang menyebutnya sebagai kondisi non-attachement (tanpa keterikatan), bukan berarti menyerah, tetapi menunjukkan keyakinan penuh bahwa Lattice akan mewujudkan realitas yang diinginkan sesuai dengan vibrasi yang telah ditetapkan.

Dalam kondisi batin yang stabil, yakin, dan pasrah, seseorang membiarkan Lattice bekerja tanpa hambatan dan kelekatan dari ego dan ketakutan. Kondisi ini menciptakan aliran energi yang lebih harmonis dan memungkinkan konstruksi realitas terjadi secara alami.

 

Kesimpulan

Teori Sintergi Jacobo Grinberg menawarkan pemahaman mendalam tentang bagaimana realitas terbentuk melalui interaksi antara kesadaran, otak, dan intensi. Lattice sebagai sumber energi dan informasi murni menjadi dasar dari segala kemungkinan realitas. Dengan menyelaraskan kesadaran, emosi, dan melepaskan limiting belief, seseorang dapat mengakses potensi tak terbatas dari Lattice dan membentuk realitas sesuai dengan tujuan hidupnya.

Pada akhirnya, memahami dan menerapkan teori sintergi dalam kehidupan sehari-hari dapat membantu seseorang tidak hanya mencapai tujuan-tujuannya, tetapi juga mengalami dimensi eksistensi yang lebih luas dan mendalam. Dengan demikian, seseorang tidak hanya hidup dalam realitas yang terbatas oleh pikiran dan persepsi lama, tetapi juga mampu menciptakan realitas baru yang lebih selaras dengan potensi sejatinya, dan mengalami kehidupan yang lebih bermakna.

 

 

Baca Selengkapnya
Unconscious Menurut Sigmund Freud, Timothy D. Wilson, dan Adi W. Gunawan
7 Maret 2025

Konsep unconscious atau pikiran bawah sadar (PBS) telah menjadi salah satu topik utama dalam studi psikologi dan hipnoterapi. Banyak tokoh atau pakar mengutarakan pemikiran atau gagasan yang berbeda tentang unconscious. 

Tulisan berikut bermaksud menjelaskan secara ringkas perbedaan konsep unconscious menurut Sigmund Freud, Timothy D. Wilson, dan Adi W. Gunawan. Meskipun ketiganya sepakat bahwa unconscious memiliki pengaruh besar terhadap pikiran, emosi, dan perilaku manusia, masing-masing memiliki perspektif yang berbeda mengenai cara kerja, sifat, dan dampaknya terhadap kehidupan individu. 

Unconscious Menurut Sigmund Freud

Sigmund Freud (1856–1939), pencetus psikoanalisis, melihat unconscious sebagai tempat penyimpanan dorongan primitif, impuls seksual, agresi, dan konflik yang direpresi. Dalam pandangannya, pikiran sadar tidak mampu menangani pengalaman traumatis atau dorongan yang tidak dapat diterima, sehingga unconscious bertindak sebagai tempat penyimpanan yang tersembunyi.

Menurut Freud, struktur pikiran manusia terbagi menjadi tiga lapisan utama:

1. Conscious (Pikiran Sadar): Bagian pikiran yang aktif dan dapat diakses dengan mudah, seperti pemikiran logis dan kesadaran sehari-hari.
2. Preconscious (Pikiran Pra-Sadar): Informasi yang tidak selalu disadari, tetapi dapat dengan mudah diakses jika diperlukan, seperti ingatan atau pengalaman yang bisa diingat kembali.
3. Unconscious (Pikiran Bawah Sadar): Tempat penyimpanan konflik psikologis, trauma, dan dorongan naluriah yang direpresi karena tidak dapat diterima oleh kesadaran.

Freud berpendapat bahwa unconscious memiliki pengaruh besar terhadap kepribadian dan perilaku individu, bahkan jika individu tersebut tidak menyadari keberadaannya.

Misalnya, seseorang yang memiliki trauma masa kecil mungkin mengalami fobia terhadap suatu objek tanpa memahami alasan di balik ketakutannya. Hal ini terjadi karena trauma tersebut telah direpresi ke dalam unconscious, tetapi tetap mempengaruhi respons emosional dan perilaku.

Selain itu, Freud juga mengembangkan konsep mekanisme pertahanan ego, yaitu strategi bawah sadar yang digunakan untuk melindungi individu dari kecemasan akibat konflik batin. Beberapa mekanisme pertahanan ini meliputi:

• Represi: Menghapus ingatan traumatis dari kesadaran.
• Proyeksi: Menyalahkan orang lain atas perasaan atau keinginan yang tidak dapat diterima.
• Rasionalisasi: Membuat alasan logis untuk membenarkan perilaku yang tidak rasional.
• Sublimasi: Mengalihkan dorongan agresif atau seksual menjadi aktivitas yang lebih dapat diterima secara sosial.

Dalam konteks terapi, menurut Freud, unconscious dapat diakses dan diproses melalui teknik tertentu, seperti:

• Asosiasi bebas: Pasien berbicara secara spontan tentang segala sesuatu yang muncul dalam pikirannya, tanpa sensor atau filter.
• Analisis mimpi: Menginterpretasikan simbol dalam mimpi sebagai manifestasi dari konflik bawah sadar.
• Hipnosis: Digunakan dalam terapi awal Freud untuk mengakses trauma yang tersembunyi dalam unconscious.

Dengan memahami konflik yang ada di unconscious, Freud meyakini bahwa individu dapat melepaskan ketegangan psikologis dan mencapai keseimbangan emosional yang lebih baik. 

Unconscious Menurut Timothy D. Wilson

Timothy D. Wilson, seorang psikolog sosial, memperkenalkan konsep Adaptive Unconscious dalam bukunya Strangers to Ourselves: Discovering the Adaptive Unconscious (2002). Berbeda dengan Freud, Wilson melihat unconscious bukan sebagai sumber konflik psikodinamis, melainkan sebagai sistem otomatis yang membantu manusia beradaptasi dengan lingkungan dan membuat keputusan cepat.

Wilson berargumen bahwa sebagian besar aktivitas mental kita terjadi tanpa disadari, dan banyak keputusan yang kita buat sehari-hari dipengaruhi oleh Adaptive Unconscious. Misalnya, ketika seseorang bertemu dengan orang baru, ia secara otomatis menilai kepribadian orang tersebut dalam hitungan detik tanpa berpikir secara sadar. Proses ini terjadi karena unconscious mengandalkan pola dan pengalaman masa lalu untuk membuat penilaian cepat.

Ciri utama Adaptive Unconscious menurut Wilson:

1. Bekerja secara otomatis: Tanpa perlu melibatkan pikiran sadar, seperti saat mengemudi atau berbicara dalam bahasa ibu.
2. Memproses informasi dengan cepat: Misalnya, kita dapat menilai suasana hati seseorang hanya dari ekspresi wajahnya dalam hitungan detik.
3. Membantu pengambilan keputusan: Seperti memilih pasangan, pekerjaan, atau produk dalam situasi yang tidak memungkinkan analisis mendalam.
4. Belajar secara implisit: Adaptive Unconscious memungkinkan individu belajar dari pengalaman tanpa harus menyadari proses belajarnya, seperti saat anak kecil belajar berbicara.

Berbeda dengan teori Freud yang menekankan perlunya teknik terapi khusus untuk mengakses unconscious, Wilson menyatakan bahwa unconscious dapat diidentifikasi melalui refleksi dan pengujian kognitif.

Beberapa metode yang bisa digunakan untuk mengenali pola bawah sadar seseorang meliputi:
• Journaling (Menulis Jurnal): Membantu seseorang mengamati pola pikir dan emosinya.
• Mindfulness (Kesadaran Penuh): Memungkinkan individu menyadari kebiasaan dan pola pikir yang muncul secara otomatis.
• Eksperimen Kognitif: Menggunakan teknik psikologi eksperimental untuk mengungkap pola bawah sadar.

Dalam terapi, pendekatan Wilson sering digunakan dalam terapi perilaku-kognitif (CBT), di mana pasien diajarkan untuk mengenali kebiasaan berpikir otomatis yang tidak produktif dan menggantinya dengan pola pikir yang lebih adaptif. 

Unconscious Menurut Adi W. Gunawan

Adi W. Gunawan (AWG) mengembangkan konsep Protective Unconscious, yang menekankan bahwa unconscious atau pikiran bawah sadar (PBS) adalah bagian dominan dari sistem pikiran manusia. PBS bertanggung jawab atas pola pikir, emosi, dan perilaku individu, serta mengendalikan sekitar 95-99% dari aktivitas mental, menjadikannya faktor paling berpengaruh dalam kehidupan seseorang.

Fungsi dan Cara Kerja PBS

Fungsi utama PBS adalah melindungi individu dari hal-hal yang dirasakan, diyakini, atau dipersepsikan sebagai ancaman terhadap keselamatan dan kesejahteraan. PBS bekerja secara otomatis dalam membangun mekanisme perlindungan, terlepas dari apakah ancaman tersebut nyata atau hanya persepsi individu.

Sebagai contoh, seseorang yang pernah mengalami pengalaman buruk dalam berbicara di depan umum mungkin akan mengalami ketakutan berbicara di depan banyak orang di masa depan. Hal ini terjadi karena PBS telah menyimpan pengalaman tersebut sebagai sesuatu yang harus dihindari.

PBS bekerja dengan logikanya sendiri, yang terpisah dari logika pikiran sadar. Ini berarti bahwa sesuatu yang dianggap tidak rasional oleh pikiran sadar bisa dianggap sangat nyata oleh unconscious. Oleh karena itu, meskipun seseorang secara rasional mengetahui bahwa berbicara di depan umum tidak berbahaya, PBS tetap dapat menciptakan respons ketakutan ekstrem karena mengacu pada pengalaman masa lalu yang tersimpan dalam sistemnya.

PBS sebagai Penyimpan Program Mental

PBS menyimpan program mental yang telah tertanam sejak lahir dan terus terbentuk dari pengalaman hidup, baik positif maupun negatif. Jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi dengan keyakinan negatif tentang uang, misalnya, PBS akan membentuk pola yang menghambat keberlimpahan finansialnya.

Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh kualitas program pikiran yang tersimpan dalam PBS. Jika program tersebut positif, konstruktif, dan mendukung, individu memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mencapai kesuksesan, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program dalam PBS bersifat negatif, penuh ketakutan, atau mengandung limiting beliefs, individu akan mengalami hambatan dalam berbagai aspek kehidupan.

PBS juga memproteksi program pikiran agar tidak mudah diubah atau berubah. Setiap usaha untuk mengubah program pikiran akan mendapatkan perlawanan dari PBS, karena dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas individu. Inilah sebabnya mengapa seseorang sering mengalami kesulitan dalam mengubah kebiasaan, pola pikir, atau mengatasi mental block tanpa intervensi yang tepat, seperti hipnoterapi.

PBS dan Mekanisme Stimulus-Respons

PBS bekerja berdasarkan strategi stimulus-respons, sesuai dengan program yang ada di dalamnya. Untuk setiap stimulus spesifik, PBS akan memberikan respons spesifik, dan pola ini akan terus berulang hingga terjadi perubahan pada program pikiran yang mendasarinya.

Sebagai contoh, seseorang yang memiliki trauma terhadap anjing akibat pengalaman buruk di masa kecil mungkin secara otomatis merasa cemas setiap kali melihat anjing, meskipun secara sadar ia memahami bahwa tidak semua anjing berbahaya. Ini terjadi karena PBS menjalankan program perlindungan yang telah tertanam sebelumnya.

PBS sebagai Sistem Satu Unit atau Multi Sub-Sistem

Menurut AWG, PBS dapat dipandang sebagai satu unit utuh atau sebagai sistem yang terdiri dari banyak sub-sistem. Pemahaman ini memiliki implikasi penting dalam terapi:

• Jika PBS dipandang sebagai satu unit, maka terapi dilakukan secara global dan menyasar keseluruhan PBS, untuk mengubah program yang menghambat individu.
• Jika PBS dipandang sebagai sistem dengan banyak sub-sistem, maka terapi dapat difokuskan pada bagian spesifik yang menyimpan trauma, mental block, atau program tertentu yang perlu diubah.

Pendekatan yang digunakan akan sangat bergantung pada cara pandang terapis, serta kondisi dan kebutuhan spesifik dari individu yang menjalani terapi.

PBS dalam perspektif Adi W. Gunawan adalah mekanisme perlindungan utama individu, yang bekerja secara otomatis, menyimpan program mental, dan mengontrol pola pikir serta emosi. Dengan logikanya sendiri yang berbeda dari pikiran sadar, PBS memainkan peran besar dalam menentukan kehidupan seseorang.

Karena sifatnya yang protektif, PBS cenderung mempertahankan program yang ada dan memberikan perlawanan terhadap perubahan, yang menjelaskan mengapa mengatasi mental block atau mengubah kebiasaan lama sering kali membutuhkan intervensi khusus seperti hipnoterapi.

Dengan memahami bagaimana PBS bekerja dan bagaimana cara mengaksesnya secara efektif, individu dapat mengatasi hambatan bawah sadar dan memprogram ulang dirinya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. 

Perbandingan Unconscious Menurut Freud, Wilson, dan Adi W. Gunawan 

AspekFreudWilsonAWG
Fokus utama Konflik batin akibat trauma dan dorongan bawah sadar Pemrosesan otomatis dan kebiasaan adaptif Sistem perlindungan dan pembentuk program mental
Aksesibilitas Sulit diakses, perlu psikoanalisis Bisa diidentifikasi melalui refleksi dan pengujian kognitif Bisa diakses melalui hipnoterapi dan reprogramming PBS
Cara kerja Berisi dorongan dan keinginan terlarang yang direpresi Mengolah informasi cepat tanpa kesadaran Menyimpan program mental dan bertindak sebagai mekanisme perlindungan
Fungsi utama Menekan konflik emosional agar tidak mengganggu pikiran sadar Membantu manusia beradaptasi dengan lingkungan Melindungi individu dari hal yang dianggap berbahaya atau mengancam
Implikasi terhadap kepribadian Kepribadian ditentukan oleh konflik bawah sadar dan pengalaman masa lalu Kepribadian berkembang dari kebiasaan, intuisi, dan respons adaptif terhadap lingkungan Kepribadian ditentukan oleh program mental yang tertanam di PBS, yang bisa direprogram untuk mendukung pertumbuhan individu

 Kesimpulan

Ketiga perspektif ini menawarkan pemahaman yang berbeda tentang bagaimana unconscious bekerja dalam kehidupan manusia. Freud melihatnya sebagai gudang konflik yang harus diselesaikan, Wilson sebagai sistem adaptasi otomatis, dan Adi W. Gunawan sebagai mekanisme perlindungan yang bisa diprogram ulang untuk mendukung pertumbuhan individu. Dengan memahami perbedaan ini, kita dapat memilih pendekatan yang paling sesuai untuk mengoptimalkan potensi unconscious dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik.

 

Baca Selengkapnya
Dominasi Pikiran Bawah Sadar: Fakta Ilmiah di Balik Klaim 95% vs 5%
28 Februari 2025

Klaim bahwa pikiran sadar hanya mengendalikan antara 1–5% dari diri kita, sedangkan 95–99% dikendalikan oleh pikiran bawah sadar, sering muncul dalam konteks psikologi populer dan hipnoterapi. Ide ini sejalan dengan model “gunung es” Freud, di mana bagian pikiran yang disadari hanyalah puncak kecil, dan sebagian besar proses mental berlangsung di bawah permukaan kesadaran. Tulisan ini berusaha menelaah kebenaran klaim ini dengan merujuk pada temuan penelitian lintas disiplin – mulai dari hipnosis/hipnoterapi hingga psikologi kognitif dan neurosains – baik yang mendukung maupun mengkritisinya.

Perspektif Hipnosis dan Hipnoterapi

Dalam dunia hipnoterapi, umum dikatakan bahwa sebagian besar perilaku dan respons kita dikendalikan oleh pikiran bawah sadar. Misalnya, pakar hipnoterapi sering mengutip estimasi bahwa pikiran sadar hanya berperan sekitar 5–10%, sedangkan 90–95% sisanya dijalankan secara bawah sadar.

Penelitian klasik oleh Ernest Hilgard mendukung adanya “bagian tersembunyi” dari pikiran saat individu berada dalam kondisi hipnosis. Hilgard menemukan bahwa subjek yang dihipnosis (misalnya diberi sugesti analgesia untuk tidak merasakan sakit) masih memiliki “pengamat tersembunyi” yang secara tidak sadar merasakan dan dapat melaporkan rasa sakit itu, meskipun secara sadar subjek mengaku tidak sakit.

Ini menunjukkan adanya pemisahan dalam kesadaran: bagian pikiran bawah sadar dapat memproses pengalaman tanpa diketahui pikiran sadar. Selain itu, eksperimen modern menunjukkan betapa kuatnya pengaruh bawah sadar saat hipnosis. Amir Raz dkk. (2005) mendemonstrasikan bahwa sugesti hipnotik dapat menghilangkan efek Stroop – yaitu mengubah respons otomatis membaca kata berwarna – sehingga peserta tidak lagi terjebak konflik membaca warna vs kata.

Dengan kata lain, perintah pada pikiran bawah sadar mampu “mematikan” proses otomatis yang biasanya tak terkendalikan secara sadar. Temuan seperti ini mendukung gagasan bahwa pikiran bawah sadar memiliki kendali besar atas perilaku dan respons tubuh, melebihi kendali pikiran sadar sehari-hari.

Bukti dari Psikologi Kognitif

Penelitian kognitif juga menyimpulkan bahwa sebagian besar pemrosesan informasi terjadi di luar kesadaran. Banyak keterampilan yang awalnya membutuhkan fokus sadar (misalnya mengemudi, mengetik) akan menjadi otomatis melalui latihan, dan dijalankan tanpa pikir sadar (Kihlstrom, 1987).

Bahkan, studi psikologi menunjukkan betapa terbatasnya kapasitas pikiran sadar dibanding total informasi yang ditangani otak. Sebuah perhitungan oleh psikolog Timothy Wilson mengestimasikan bahwa otak menerima 11 juta bit informasi per detik dari pancaindra, namun pikiran sadar hanya mampu memproses sekitar 40 bit per detik​.

Ini berarti mayoritas mutlak (99% lebih) pemrosesan terjadi tanpa kesadaran – selaras dengan klaim bahwa porsi pikiran sadar sangat kecil. Selain itu, riset di psikologi sosial/kognitif (misalnya oleh John Bargh) menegaskan bahwa banyak keputusan dan tindakan kita dipandu oleh proses otomatis tanpa niat sadar. Bargh dan Morsella (2008) menyimpulkan bahwa pikiran bawah sadar tidak kalah fleksibel atau kompleks dari pikiran sadar dalam mengendalikan perilaku.

Sebagai contoh, priming atau bias implisit dapat memengaruhi penilaian dan pilihan seseorang tanpa disadari. Demikian pula, Dijksterhuis dan koleganya menemukan dalam beberapa kasus, pikiran bawah sadar bisa membuat keputusan kompleks lebih baik daripada pikiran sadar, misalnya ketika banyak variabel yang harus dipertimbangkan​.

Secara keseluruhan, psikologi kognitif modern mengakui peran dominan cognitive unconscious – proses kognitif bawah sadar – dalam kehidupan mental kita sehari-hari.

Temuan dari Neurosains

Neurosains eksperimental memberikan bukti kuat bahwa tindakan kita sering dimulai secara tidak sadar sebelum kita sadar akan niat tersebut. Eksperimen terkenal oleh Libet dkk (1983) menunjukkan bahwa sinyal otak untuk gerakan, muncul ratusan milisekon sebelum subjek melaporkan keputusan sadar untuk bergerak.

Libet dkk mencatat potensi kesiapan (readiness potential) di otak mendahului kesadaran niat sekitar 350 ms secara rata-rata​. Disimpulkan bahwa inisiasi gerakan volunter dapat dimulai secara tidak sadar, memberi batasan pada peran kemauan sadar dalam mengendalikan tindakan.

Temuan ini diperkuat oleh studi fMRI yang lebih mutakhir. Soon dkk (2008) meminta partisipan memilih menekan tombol dengan tangan kiri/kanan secara bebas; hasil pemindaian menunjukkan pola aktivitas di korteks frontoparietal yang mengungkap pilihan peserta hingga 7–10 detik sebelum mereka menyadari keputusan tersebut​.

Dengan kata lain, peneliti bisa memprediksi keputusan jauh sebelum subjek merasa telah memutuskannya. Ini menunjukkan jaringan otak bawah sadar menyiapkan dan pada praktiknya “mengambil keputusan” terlebih dahulu, baru kemudian pikiran sadar mengetahuinya. Contoh lain adalah fenomena klinis seperti blindsight, di mana pasien buta secara sadar masih dapat tanpa sadar merespons rangsang visual. Kasus-kasus ini semuanya mendukung ide bahwa sebagian besar aktivitas otak yang menentukan persepsi maupun perilaku terjadi di luar ranah sadar.

Kritik dan Nuansa

Meskipun banyak ahli setuju bahwa pikiran bawah sadar memegang peran sangat besar, angka spesifik seperti “95% vs 5%” bukanlah ukuran yang pasti dan universal. Beberapa pakar menyebut angka itu lebih bersifat kiasan untuk menekankan dominasi proses tak sadar, daripada hasil pengukuran presisi​.

Dr. Emmanuel Donchin (Univ. of Illinois) misalnya, berkomentar bahwa porsi aktivitas kognitif yang tidak disadari itu “sangat besar, secara kiasan mungkin 99 persen; dan kita mungkin tidak akan pernah tahu secara tepat berapa banyak yang berada di luar kesadaran”.

Jadi, Donchin mengakui dominasi pikiran tidak sadar namun juga menekankan ketidakpastian angka pastinya. Para ilmuwan umumnya sepakat bahwa sebagian besar proses neurologis memang berjalan otomatis. Contoh konkritnya: pengaturan napas, detak jantung, emosi spontan, pemahaman bahasa secara intuitif, dll, terjadi tanpa kontrol pikiran sadar​.

Selain itu, penting diingat bahwa kendali bawah sadar yang dominan tidak berarti pikiran sadar tidak penting. Pikiran sadar – meski kecil kapasitasnya – berperan unik dalam penalaran abstrak, perencanaan jangka panjang, belajar hal baru, dan terutama dalam memodifikasi kebiasaan atau respons otomatis kita. Contohnya, terapi kognitif menunjukkan bahwa dengan upaya sadar berulang (misalnya mengganti self-talk negatif), seseorang dapat secara perlahan mengubah keyakinan bawah sadarnya. Jadi, pikiran sadar bisa dianggap “pengarah” yang lambat tapi mampu mengubah jalannya “kapal besar” bawah sadar.

Kesimpulan

Berbagai penelitian lintas bidang cenderung mendukung premis dasar bahwa bagian terbesar dari aktivitas mental dan kontrol perilaku kita bersifat tidak disadari. Bukti eksperimental dari hipnosis (mis. fenomena “hidden observer” Hilgard dan penghilangan efek Stroop oleh sugesti) hingga psikologi kognitif (pemrosesan otomatis, bias implisit, kapasitas perhatian sangat terbatas) dan neurosains (keputusan yang dicetuskan otak sebelum sadar, dll.) konsisten menunjukkan dominannya peran pikiran bawah sadar.

Namun, klaim numerik seperti “hanya 5-10% dikendalikan pikiran sadar” perlu dipandang sebagai perkiraan kasar yang menggambarkan skala perbandingan, bukan nilai eksak yang mudah diukur​.

Para ahli sepakat bahwa sebagian besar dari diri kita memang dijalankan oleh proses di luar kesadaran, tapi menekankan bahwa pikiran sadar tetap memiliki fungsi penting dan dapat memengaruhi pikiran bawah sadar melalui introspeksi, pembelajaran, dan intervensi psikologis.

Dengan kata lain, “autopilot” bawah sadar kita mungkin mendominasi sehari-hari, tetapi kemudi masih dapat dipegang dan diarahkan oleh kesadaran ketika diperlukan – meskipun upaya sadar itu sering harus berulang dan intens untuk mengubah arah kebiasaan bawah sadar yang sudah tertanam. Semua temuan ini memperkaya pemahaman kita tentang hubungan kompleks antara pikiran sadar dan bawah sadar, serta mengingatkan kita untuk tidak menyepelekan peran masing-masing.

 

 

Baca Selengkapnya
Jika Tidak Rusak, Jangan Perbaiki
18 Februari 2025

Saya cukup sering dihubungi oleh orang tua yang bertanya, "Pak Adi, saya sekarang sadar bahwa cara saya mendidik anak selama ini ternyata salah. Saya dulu keras terhadap anak saya. Sekarang saya khawatir apa yang saya lakukan di masa lalu mengakibatkan trauma pada dirinya. Apa yang harus saya lakukan untuk bisa membantu anak saya?"

Saya pun menanyakan, "Bagaimana kondisi anak Ibu saat ini? Apakah ada masalah dalam aspek perilaku atau emosinya?"

"Oh, anak saya baik-baik saja, Pak. Namun, saya khawatir ia mengalami trauma akibat tindakan atau sikap saya di masa lalu. Apa bisa Pak Adi membantu melihat anak saya, dan bila perlu, melakukan terapi agar ia bisa berkembang secara optimal?" jawab Ibu tersebut penuh harap.

Sahabat, apa yang sebaiknya dilakukan terhadap anak ini? Apakah saya perlu melakukan observasi dan menerapi anak tersebut, ataukah tidak perlu ditangani?

Saya menjelaskan kepada Ibu tersebut bahwa jika kondisi anaknya baik-baik saja, maka tidak ada alasan untuk khawatir berlebihan. Terlepas dari apa yang pernah dialami di masa lalu, yang perlu dilakukan saat ini adalah mengubah cara mendidik dan memperlakukan anaknya dengan lebih baik.

Tidak semua pengalaman yang dianggap "buruk" menyebabkan trauma atau berdampak negatif pada anak.

 

Definisi Trauma

Menurut American Psychological Association (APA), trauma didefinisikan sebagai respons emosional terhadap peristiwa mengerikan, seperti kecelakaan, kejahatan, atau bencana alam. Reaksi awal dapat berupa syok dan penyangkalan, sementara respons jangka panjang dapat mencakup emosi yang tidak terduga, kilas balik, hubungan yang tegang, serta gejala fisik seperti sakit kepala atau mual.

APA juga mengategorikan trauma ke dalam tiga jenis utama:

- Trauma akut: Terjadi akibat satu peristiwa yang sangat mengganggu.

- Trauma kronis: Timbul akibat paparan berulang dan berkepanjangan terhadap peristiwa yang sangat stres, seperti pelecehan anak, perundungan, atau kekerasan dalam rumah tangga.

- Trauma kompleks: Melibatkan paparan terhadap beberapa peristiwa traumatis.

Selain itu, ada juga trauma sekunder atau vicarious trauma, yang terjadi ketika seseorang mengalami gejala trauma akibat kontak erat dengan individu yang mengalami peristiwa traumatis. Hal ini umum terjadi pada anggota keluarga, profesional kesehatan mental, dan orang-orang yang merawat individu yang terdampak trauma.

Saya mendefinisikan trauma sebagai jejak atau rekaman peristiwa masa lalu yang mengandung emosi negatif intens dan tersimpan dalam memori pikiran bawah sadar (PBS).

Emosi yang muncul dari suatu peristiwa sepenuhnya bergantung pada makna yang diberikan terhadap kejadian tersebut, baik secara sadar, tidak sadar, maupun makna yang berasal dari orang lain.

Trauma terbentuk ketika seseorang mengalami peristiwa yang melampaui kapasitas mental dan emosionalnya untuk mengatasinya saat itu. Keberadaan trauma dapat memicu terbentuknya program negatif dalam pikiran bawah sadar, yang pada akhirnya memengaruhi pola pikir, emosi, dan perilaku seseorang dalam jangka panjang.

Trauma bukan hanya berasal dari kejadian besar atau ekstrem, tetapi juga bisa muncul dari pengalaman yang tampaknya sepele namun memiliki dampak emosional mendalam bagi individu.

Saya menjelaskan kepada Ibu ini bahwa kami, para hipnoterapis AWGI, bekerja berdasarkan protokol spesifik dengan proses dan alur yang logis. Kami memanfaatkan gejala (simtom) sebagai titik awal penelusuran untuk mencari dan menemukan akar masalah di PBS klien.

Kami tidak dapat dan tidak diperbolehkan untuk melakukan ramalan atau analisis hanya berdasarkan informasi kejadian masa lalu seseorang dan kemudian memprediksi dampaknya terhadap kehidupan mereka saat ini.

Sebagai contoh:

Jika seseorang pernah mengalami perundungan, pelecehan, kehilangan orang yang dikasihi, penolakan, atau bahkan hampir diaborsi, apakah pengalaman ini pasti berdampak buruk terhadap kehidupannya?

Jawabannya adalah bisa ya, bisa tidak.

Dampak dari pengalaman masa lalu sangat bergantung pada individu itu sendiri, dukungan keluarga, makna yang ia berikan terhadap kejadian tersebut, serta faktor-faktor lainnya.

Tidak selalu individu yang mengalami kejadian "buruk" pasti mengalami trauma.

Bila hipnoterapis secara sengaja menggali informasi tentang kejadian traumatis di masa lalu klien dan kemudian memprediksi dampak negatifnya terhadap kehidupan klien, ini sangat berisiko dan tidak etis.

Hal ini dapat menyebabkan imprint negatif yang berpotensi menciptakan masalah baru yang sebelumnya tidak ada. Fenomena ini dikenal sebagai implan sugesti negatif, di mana klien mengalami masalah karena percaya bahwa dirinya memang bermasalah setelah mendengar pernyataan dari hipnoterapis.

 

Hubungan ACEs dan Kesehatan Mental di Masa Dewasa

Penelitian telah menunjukkan bahwa Adverse Childhood Experiences (ACEs)—pengalaman traumatis pada masa kanak-kanak—memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan mental dan emosional seseorang di masa dewasa.

Berbagai studi mengindikasikan bahwa individu yang mengalami ACEs, seperti pelecehan atau kekerasan, memiliki risiko lebih tinggi untuk menghadapi berbagai masalah psikologis saat dewasa.

Benar, banyak penelitian menunjukkan bahwa pengalaman buruk di masa lalu dapat berdampak pada kualitas hidup individu.

Namun, saya belum pernah menemukan hasil penelitian yang secara tegas menyatakan bahwa seseorang yang mengalami kejadian X di masa kecil pasti akan mengalami kondisi Y saat dewasa.

Trauma dapat bermanifestasi melalui berbagai gejala emosional dan fisik, dengan dampak yang bervariasi pada setiap individu. Jika gejala trauma terus berlanjut atau mengganggu kehidupan sehari-hari, disarankan untuk mencari bantuan profesional, salah satunya hipnoterapis.

 

Proses Penyembuhan Trauma dengan Hipnoterapi

Penyembuhan trauma dengan hipnoterapi adalah metode yang sangat cepat, efektif, dan tuntas dengan menggunakan hipnoanalisis.

Proses ini mencakup:

- Identifikasi akar masalah: Menggali penyebab trauma yang tersimpan dalam pikiran bawah sadar.

- Reaktivasi ingatan traumatis dalam kondisi aman: Memunculkan kembali pengalaman masa lalu tanpa menyebabkan penderitaan ulang.

- Restrukturisasi makna atau emosi yang terkait dengan pengalaman tersebut: Mengubah persepsi individu terhadap peristiwa traumatis agar tidak lagi menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan mereka.

Trauma bukan sesuatu yang harus diprediksi, tetapi harus ditangani jika sudah menimbulkan dampak negatif yang nyata dalam kehidupan seseorang.

Oleh karena itu, jika anak baik-baik saja, tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan. Fokuslah untuk memberikan pola asuh yang lebih baik di masa kini daripada terlalu terjebak dalam rasa bersalah terhadap masa lalu.

Baca Selengkapnya