The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Mengenal Suara Hati Yang Sesungguhnya

30 Juli 2011

Di salah satu seminar saya mendapat pertanyaan yang membuat saya merenung cukup lama, “Pak, apa sih sebenarnya suara hati itu? Apakah suara hati selalu baik untuk kita? Apa suara hati harus selalu kita ikuti? Apa parameter yang digunakan sehingga kita tahu bahwa yang kita “dengar” adalah benar-benar suara hati nurani kita dan bukan “suara” yang lain?”

Karena keterbatasan waktu saya hanya bisa memberikan jawaban singkat. Namun pertanyaan ini terus bermain di benak saya seolah-olah berkata, “Hei, jawaban yang tadi kamu berikan ke peserta itu belum tuntas. Ayo dong… mikir yang lebih keras. Masa jawabannya hanya seperti itu.”

Nah, malam hari sebelum tidur saya mulai berpikir dan berpikir. Hasil pemikiran saya cross-check dengan beberapa literatur yang pernah saya baca sebelumnya. Setelah itu saya bandingkan dengan berbagai pengalaman hidup yang telah saya alami. Nah, dalam kesempatan ini ijinkan saya untuk bebagi pengalaman dan pemahaman saya yang mengkristal dalam bentuk jawaban atas pertanyaan di atas.

Di buku Hypnotherapy : The Art of Subconscious Restructuring saya menjelaskan mengenai salah satu teknik terapi yang dikenal dengan nama Ego State Therapy atau ada juga yang menyebutnya sebagai Parts Therapy.

Inti dari teknik ini adalah kita berkomunikasi dengan “Bagian” (Ego State atau Parts) dari diri kita yang selama ini menghambat kemajuan kita. Teknik ini sangat efektif untuk menyelesaikan konflik diri (inner conflict).

Bagi terapis yang telah menjalani pelatihan intensif dan mengerti betul teorinya maka akan sangat mudah melakukan teknik ini. Namun bagaimana dengan orang yang tidak mendapat pelatihan ini?

Parts / Ego State

Sebelum saya meneruskan uraian ijinkan saya untuk sedikit membahas mengenai Parts atau Ego State. Ada juga yang menyebutnya sebagai Sub Personality. Untuk mudahnya saya akan menggunakan istilah “Bagian”.

Di dalam diri kita ada banyak “Bagian”. Setiap bagian ini menyerupai “seseorang” dengan kepribadian, karakter, memori, rule, belief, value, dan tujuan masing-masing. Saat mereka bekerja secara harmonis, saat hubungan sesama “Bagian” ini baik maka hidup kita akan sangat lancar. Namun saat ada di antara mereka yang konflik, dan biasanya ini bisa melibatkan lebih dari 2 “Bagian”, maka kita mengalami konflik diri.

Cara “Bagian” ini berkomunikasi dengan kita biasanya dengan menggunakan perasaan dan self talk atau inner dialogue/voice. Apakah hanya dengan dua cara ini saja? Oh tidak. Masih ada cara lain yang jarang atau tidak kita sadari, walaupun sebenarnya kita telah mengalaminya. Nanti di bagian akhir artikel ini akan saya membahas secara lebih mendalam. Untuk saat ini kita fokus pada self talk dan perasaan.

Saat paling mudah untuk mengamati “Bagian” ini saling berkomunikasi adalah saat kita baru bangun tidur. Biasanya ada 2 “Bagian” yang saling berbicara. Satu “Bagian” mau kita segera bangun. Dan satu “Bagian” lagi ingin kita tetap berbaring dan tidur lebih lama lagi. Masing-masing “Bagian” memberikan argumentasi masing-masing. Yang umumnya terjadi seperti ini:

Bagian 1 : Hei.. bangun. Sudah siang nih. Sudah waktunya masuk kerja.
Bagian 2 : Nggak usah bangun dulu. Santai aja kenapa sih. Kan tadi malam dia tidurnya malam sekali. Jadi dia butuh waktu sedikit lagi untuk istirahat.
Bagian 1: Lho, kalau nggak bangun sekarang nanti terlambat masuk kantor. Bos bisa marah besar. Kan dia ada janji sama pelanggannya.
Bagian 2 : Ala… lima menit saja kenapa sih. Nggak bisa lihat orang senang ya?

Nah pembaca anda pernah kan mengalami self talk seperti ini? Saat 2 “Bagian” ini saling beradu argumentasi kita hanya menjadi pengamat. Sampai satu saat kita memutuskan untuk mengikuti salah satu “saran” yang diberikan. Kita bangun… atau terus tidur. Masing-masing “Bagian” punya “kepentingan” sendiri yang mereka pikir baik untuk kita. Mana yang benar-benar baik? Ini membutuhkan kejelian kita untuk menganalisa.

Berguru Pada Hingar Bingar Keheningan

Pembaca, mengapa saat mau bangun tidur kita mudah sekali mengamati self talk kita? Mengapa saat baru bangun tidur kita dapat dengan sangat mudah, bahkan tanpa perlu upaya, bisa mengikuti dialog internal yang terjadi di dalam diri kita? Mengapa kalau sudah bangun dan mulai aktif menjalani hari kita malah sulit sekali mendengar suara itu?

Jawabannya sebenarnya sangat mudah. Saat kita baru bangun tidur pikiran kita masih tenang. Saat itu kita masih “hening”. Belum banyak hal, buah pikir, masalah, atau thought yang kita pikirkan. Dengan demikian pikiran kita masih tenang dan hening. Setenang air di danau saat pagi hari. Kalau sudah siang, saat air (baca: pikiran) sudah bergejolak dan banyak riak maka kita akan sangat sulit untuk bisa melihat ke dalam atau dasar danau.

Nah, justru saat pikiran berada dalam kondisi tenang atau hening kita justru akan “mendengar” hingar bingar yang selama ini tidak kita dengar. Justu saat pikiran hening kita bisa belajar dengan melakukan pengamatan terhadap dialog internal yang terjadi, tanpa perlu melibatkan diri di dalam dialog itu. Kita hanya akan melibatkan diri bila dirasa perlu dan untuk tujuan tertentu.

Membedakan Suara Hati Nurani dan Suara Ego Yang Sakit

Sebelum menulis bagian ini saya teringat satu klien yang pernah saya tangani. Saat itu saya berdialog dengan 4 (empat) “Bagian” dari diri klien. Klien ini mengalami kecemasan yang sangat tinggi dan sudah delapan tahun lebih berobat ke luar negeri.

Setiap satu setengah bulan sekali ia harus menemui dokter di rumah sakit, di luar negeri, mendapat injeksi obat tertentu dan sekaligus membeli tambahan obat yang harus ia minum secara rutin. Begitu tingginya kecemasannya sampai si klien, selama delapan tahun terakhir, setiap hari mendengar berbagai suara.

Suara ini memberikan perintah yang aneh-aneh, bahkan yang merugikan dan membahayakan hidup klien. Ada suara yang memberikan perintah yang seakan-akan demi kebaikan dan kebahagian klien namun bila dianalisa secara hati-hati, membandingkannya dengan sifat suara Hati Nurani yang saya jelaskan di bawah, ternyata sangat bertolak belakang.

Dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas mengenai klien ini. Yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana kita, sebagai orang biasa, bisa mengenali dan membedakan suara yang sungguh-sungguh berasal dari Hati Nurani dan suara yang berasal dari “Bagian” atau Ego yang sakit.

Saya percaya bahwa Hati Nurani setiap manusia bersifat bersih dan tulus. Hati Nurani ini adalah selalu baik adanya. Ada rekan saya yang mengatakan bahwa Hati Nurani mewakili sifat-sifat Illahi di dalam diri manusia. Dan masih menurut kawan saya ini, saat seseorang berdoa kepada Tuhan maka jawaban dari Tuhan datang melalui suara Hati Nurani.

Nah, berangkat dari pemahaman ini maka saya menyimpulkan bahwa suara Hati Nurani pasti mempunyai sifat-sifat berikut:
•Berdasarkan cinta kasih yang tulus tanpa pamrih
•Selalu ingin yang terbaik untuk diri kita
•Berlandaskan nilai-nilai Kebenaran Universal
•Jujur, tulus, dan apa adanya, walau kadang terasa menyakitkan perasaan kita.
•Menghargai diri kita dan juga orang lain
•Penuh kelembutan dan ketenangan namun sangat kuat
•Penuh pengertian dan toleransi
•Memberikan perspektif atau pemahaman baru terhadap suatu kejadian atau peristiwa sehingga meningkatkan level kesadaran kita.

Memahami Komunikasi Suara Hati Nurani

Banyak orang yang telah mengalami, tidak hanya mendengar, suara hati namun mereka tidak menyadarinya. Mengapa mereka tidak menyadarinya? Karena mereka tidak mengerti cara Hati Nurani berkomunikasi.

Nah, bagaimana sih bentuk komunikasi yang biasa digunakan oleh Hati Nurani?

Ada beberapa cara. Pertama, seperti yang telah saya jelaskan di awal artikel ini yaitu dengan menggunakan self talk atau inner dialogue. Saat pikiran hening kita bisa mendengar suara Hati Nurani dengan jelas. Kita bahkan bisa berdialog dengan Hati Nurani.

Kedua, melalui perasaan atau yang sering disebut sebagai gut feeling. Seringkali saat akan melakukan sesuatu ada perasaan tertentu yang memberikan sinyal apakah kita bisa terus atau harus berhenti. Nah, perasaan atau gut feeling ini sebenarnya juga bentuk komunikasi dari Hati Nurani kepada kita.

Jika anda cukup tanggap, seringkali perasaan ini memberikan sinyal yang cukup jelas. Saat anda mengabaikan perasaan ini, misalnya saat anda ingin melakukan sesuatu tiba-tiba muncul perasaan yang meminta anda untuk tidak melakukannya, dan anda tetap melakukan yang anda inginkan ternyata hasilnya justru sangat merugikan diri anda.

Nah, saat itu anda berkata, “Coba tadi saya mengikuti suara hati saya. Pasti nggak akan mengalami kerugian seperti ini.”

Ada banyak contoh kasus mengenai gut feeling. Seorang klien pernah bercerita mengenai hal ini kepada saya. Saat hendak memulai satu bisnis dengan kawan dekatnya ia mendapat gut feeling yang mengatakan bahwa ia tidak boleh melakukan kerja sama ini. Gut feeling-nya mendapat dukungan dari gut feeling istrinya yang juga kurang setuju dengan rencananya. Tapi tetap ia abaikan.

Apa yang terjadi?

Bisnis yang semula berjalan baik akhirnya harus dihentikan karena mereka berbeda visi dan misi. Pada awalnya klien saya merasa ia dan kawannya sudah benar-benar sehati, satu visi, satu misi, dan satu nilai. Namun ternyata setelah bisnis semakin berkembang tampak jelas perbedaannya. Yang satu tetap fokus pada tujuan semula, yang satu lagi hanya fokus pada uang dan uang. Sehingga keputusan yang dibuat seringkali tidak sesuai dengan tujuan semula.

Ketiga, melalui ide yang bersifat menginspirasi. Saya yakin anda pasti pernah mengalami saat berdoa meminta petunjuk dari Tuhan, eh.. tanpa disangka-sangka muncul satu ide kreatif yang menginspirasi anda melakukan sesuatu. Ternyata saat anda melaksanakan ide ini masalah anda selesai. Jadi, ide ini adalah jawaban yang anda butuhkan.

Ide ini bisa muncul tiba-tiba, bisa juga muncul setelah dipicu oleh faktor lain. Faktor lain ini bisa berupa informasi dari buku yang sedang anda baca, bisa dari televisi, bisa saat mendengar kisah orang lain, bisa dari mana saja. Tapi intinya, kita mendapat jawaban dalam bentuk ide.

Keempat, pergeseran persepsi. Yang dimaksud dengan pergeseran persepsi ini begini. Misalnya ada seseorang, katakanlah salah satu saudara kita, yang telah kita bantu dengan tulus, saat ia mengalami kesulitan hidup, kita beri kepercayaan dan kesempatan untuk berkembang, ternyata setelah ia agak “kuat”, ia menghianati kepercayaan kita.

Bagaimana perasaan kita? Ya, sudah tentu marah dan kecewa. Namun seiring berjalannya waktu perasaan kita berubah. Dari yang tadinya marah, kecewa, sakit hati, jengkel, dendam, dan berbagai emosi negatif lainnya, kita kini malah merasa kasihan dan prihatin dengan saudara kita ini.

Mengapa berubah dari sakit hati menjadi kasihan dan prihatin?

Karena pemahaman kita semakin berkembang, semakin bijaksana, mendapat insight yang mengakibatkan terjadinya peningkatan level kesadaran.

Kita kasihan dan prihatin bahwa saudara kita ini akan mengalami banyak kesulitan hidup bila ia tidak menyadari bahwa apa yang ia lakukan itu adalah hal yang salah dan justru akan sangat merugikan dirinya di masa mendatang.

Kita kasihan dan prihatin karena bisa saja sebenarnya saudara kita ini tidak menyadari apa yang ia lakukan. Bisa jadi ini adalah salah satu bentuk sabotase diri yang sangat halus yang tidak disadari oleh saudara kita. Kemarahan dan kekecewaan sekarang telah berganti dengan perasaan prihatin, kasihan, dan bahkan perasaan sayang ingin membantu saudara kita ini.

Kelima, melalui kebetulan yang tidak kebetulan. Seringkali kita mengalami suatu kejadian, yang kita rasa suatu kebetulan, yang sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, bukan kebetulan, maka disebutlah dengan kebetulan yang tidak kebetulan, yang kebetulan membuat anda bingung. Nah, kebetulan ini sebenarnya bentuk komunikasi Hati Nurani dengan kita. Namun seringkali kita mengabaikannya.

Ada satu contoh nih. Seorang pria ingin membayar lunas hutangnya sebelum ia pindah kerja ke kota lain. Bosnya tahu rencana ia pindah kota. Akibatnya malah bosnya mempercepat proses “berhenti” kerja sehingga pria ini tidak punya penghasilan untuk membayar utangnya.

Pria ini marah sekali pada bosnya. Ia merasa bosnya telah menghancurkan hidupnya. Pria ini juga berdoa agar bisa mendapat bantuan keluar dari kesulitannya ini. Saat ia membuka kitab sucinya, eh.. tiba-tiba matanya terpaku pada ayat yang berbunyi, “Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang ………………….”.

Pria ini memutuskan untuk memaafkan mantan bosnya dengan tulus. Ia malah mendoakan agar usaha mantan bosnya ini bisa semakin maju dan berkembang.

Apa yang terjadi kemudian?

Di hari yang sama ada seorang famili yang mampir ke rumahnya dan menyerahkan amplop berisi uang. Jumlahnya persis sama seperti yang ia butuhkan untuk melunasi utangnya.

Saat ditanya mengapa familinya kok menyerahkan uang kepadanya, ia mendapat jawaban yang justru lebih aneh lagi, “ Minggu lalu ada dorongan di hati saya untuk melihat kembali perhitungan keuntungan yang kita dapatkan saat mengerjakan proyek beberapa waktu lalu. Nah, tiba-tiba saya lihat ada kesalahan perhitungan. Setelah saya hitung ulang maka kamu seharusnya dapat lebih. Saya sudah mau ke rumahmu. Tapi selalu saja repot nggak bisa. Baru hari ini saya ada waktu luang. Inipun setelah ada satu janji yang dibatalkan secara mendadak oleh si customer.”

Pria ini langsung teringat bahwa benar ia mulai berdoa mohon bantuan sejak minggu lalu. Rupanya kemarahannya ini yang membuat “bantuan” yang ia butuhkan tidak kunjung tiba. Dan setelah ia memaafkan mantan bosnya, eh.. tiba-tiba bantuan datang.

Apakah ini kebetulan? Tentu tidak.

Keenam, melalui mimpi. Seringkali saat kita sangat membutuhkan jawaban untuk mengatasi masalah yang sedang kita hadapi, setelah kita cari ke mana-mana tetap nggak dapat jawabannya, eh.. saat tidur kita mendapat mimpi yang merupakan jawaban atas pertanyaan kita. Anda pernah mengalaminya?

Nah, pembaca, setelah membaca sejauh ini, saya berharap anda sekarang bisa lebih jelas mengenai suara Hati Nurani. Apapun “jawaban” yang anda dapatkan harus anda cross check dengan sifat-sifat Hati Nurani yang saya jelaskan di atas.

Pada kasus klien saya, ia berkata bahwa suara hatinya mengatakan bahwa sebaiknya ia mati. Suara hatinya mengatakan bahwa ia tidak akan bisa bahagia hidup di dunia ini.

Nah, ini benar-benar suara Hati Nurani atau suara Ego yang sakit?

_PRINT