The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel
Kedalaman Hipnosis: Konsep, Skala, dan Peran Klien
18 April 2025

Hipnoterapi adalah upaya peningkatan kualitas diri individu melalui proses pemberdayaan pikiran bawah sadar, dilakukan dalam kondisi hipnosis, menggunakan teknik yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi klien.

Sesuai dengan definisi di atas, kondisi hipnosis mutlak dibutuhkan sebagai sarana untuk menembus faktor kritis pikiran sadar (PS) dan menjangkau kedalaman pikiran bawah sadar (PBS). Keaktifan faktor kritis PS berbanding terbalik dengan kedalaman kondisi hipnosis yang berhasil dicapai individu.

Penggunaan kata “dalam” atau "lebih dalam" untuk menunjukkan kondisi hipnosis sebenarnya kurang tepat. Subjek tidak benar-benar “masuk” lebih dalam, melainkan menjadi semakin responsif terhadap sugesti yang disampaikan oleh hipnoterapis. Respons ini berkaitan erat dengan kesediaan dan partisipasi klien dalam proses yang dijalani.

Dalam konteks hipnosis, kita mengenal tiga istilah yang penting: suggestibility, susceptibility, dan hypnotizability. Ketiganya sama-sama berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menerima pengaruh atau sugesti, namun memiliki perbedaan makna dan konteks:

• Suggestibility adalah kecenderungan umum seseorang untuk menerima dan merespons sugesti, baik dalam kondisi sadar (normal suggestibility) maupun dalam kondisi hipnosis (hypnotic suggestibility).
Misalnya, seseorang yang mudah terpengaruh oleh iklan atau kata-kata motivasi menunjukkan tingkat suggestibility yang tinggi dalam kondisi sadar.

• Susceptibility mengacu pada kerentanan atau tingkat keterpengaruhan secara umum terhadap pengaruh luar, termasuk sugesti, tekanan sosial, atau manipulasi, dan tidak terbatas pada konteks hipnosis. Misalnya, orang yang mudah terbawa suasana dalam keramaian menunjukkan susceptibility yang tinggi.

• Hypnotizability adalah kemampuan atau tingkat kemudahan seseorang untuk masuk ke kondisi hipnosis dan merespons sugesti hipnotik secara efektif. Ini merupakan subkategori dari suggestibility dan sering diukur secara sistematis dalam setting klinis atau riset.

Perlu dicatat bahwa seseorang bisa memiliki normal suggestibility yang tinggi, namun hypnotizability yang rendah—dan sebaliknya.


Skala Kedalaman Hipnosis

Untuk mengukur tingkat kemudahan individu dalam mengalami kondisi hipnosis, para ahli telah mengembangkan berbagai skala, di antaranya:

• Skala Liébeault (1866, 1889)
• Skala Bernheim (1884)
• Skala White (1930)
• Skala Davis dan Husband (1931)
• Skala Friedlander dan Sarbin (1938)
• Skala LeCron dan Bordeaux (1947)
• Stanford Scales of Hypnotic Susceptibility, Forms A, B, dan C
• Stanford Profile Scales of Hypnotic Susceptibility (Weitzenhoffer dan Hilgard, 1959–1967)
• Harvard Group Scales of Hypnotic Susceptibility (Shor dan Orne, 1962)
• Waterloo-Stanford Group C Scale (Bowers, 1993/1998)

Model turunan lainnya termasuk London’s Children’s Hypnotic Susceptibility Scale (CHSS) dan dua skala klinis tambahan dari Stanford, yakni:

• Stanford Clinical Scale for Adults
• Stanford Clinical Scale for Children

Selain itu, juga terdapat:

• Stanford Hypnotic Arm Levitation Induction and Test (SHALT)
• Barber Suggestibility Scale (1962)
• Barber Creative Imagination Scale (1978–1979)
• LeCron Subjective Depth Estimation Scale (LSDES)
• Tart Scales (1972, 1978/1979)

 

Skala Davis-Husband

Skala kedalaman hipnosis Davis-Husband dikembangkan pada tahun 1931 sebagai alat standar untuk mengukur sejauh mana kedalaman hipnosis yang dicapai oleh subjek.

Skala ini sangat populer dan banyak digunakan oleh praktisi serta pengajar hipnoterapi. Tujuannya adalah membantu hipnoterapis mengenali sejauh mana kondisi hipnosis yang dialami klien, sehingga teknik intervensi yang dipilih menjadi tepat dan efektif.

Skala ini terdiri atas lima kategori, yang mencakup tiga puluh angka dari 1 sampai 30. Setiap angka mewakili uji dan respons sugesti tertentu.

Lima kategori dalam skala ini adalah Insusceptible (0), Hipnoidal (1–5), Light Trance (6–12), Medium Trance (13–20), dan Deep Trance (21–30).

Rinciannya sebagai berikut: 0 = tidak merespons, 1 = relaksasi, 2 = mata berkedip, 3 = menutup mata, 4 = relaksasi fisik total, 5 = katalepsi mata, 6 = katalepsi tungkai, 7 = katalepsi seluruh tubuh, 8/9/10 = anestesi "sarung tangan", 11/12 = amnesia pascahipnosis parsial, 13/14 = amnesia pascahipnosis, 15/16 = perubahan kepribadian, 17/18/19/20 = delusi kinestetik, 21/22 = mampu buka mata tanpa memengaruhi trance, 23/24 = somnambulisme lengkap, 25 = halusinasi visual positif, 26 = halusinasi auditori positif, 27 = amnesia pascahipnosis sistematis, 28 = halusinasi auditori negatif, 29 = halusinasi visual negatif, dan 30 = hiperestesia.

Dalam praktik hipnoterapi, baik berbasis sugesti maupun hipnoanalisis, kedalaman deep trance sangat disarankan sebelum intervensi dilakukan.

Sebagian besar hipnoterapis menggunakan indikator seperti: mata tertutup, gerakan mata cepat (REM), tubuh rileks, napas teratur, dan ketidakmampuan membuka mata sebagai tanda bahwa klien telah berada dalam kondisi hipnosis. Meskipun benar, indikator tersebut belum cukup untuk menyatakan bahwa klien telah mencapai kedalaman deep trance.

Berdasarkan skala Davis-Husband, indikator-indikator di atas menunjukkan kedalaman hipnoidal dan light trance, bukan medium atau deep trance.

Indikator kedalaman deep trance (somnambulism), menurut skala Davis-Husband, adalah munculnya halusinasi, baik positif maupun negatif, secara visual atau auditori. Oleh karena itu, uji kedalaman diperlukan untuk memastikan apakah klien telah mampu mengalami halusinasi sugestif. Inilah barometer yang lebih objektif.

Sangat disayangkan, para hipnoterapis sangat jarang melakukan uji kedalaman dalam praktik klinis. Padahal ini adalah cara paling akurat untuk menilai apakah klien telah mencapai kondisi deep trance. Tanpa uji ini, intervensi yang diberikan bisa tidak optimal karena pikiran sadar masih memberikan resistensi.

Yang sering hipnoterapis lakukan adalah uji sugestibilitas, bukan uji kedalaman. Uji sugestibilitas bertujuan untuk mengetahui seberapa mudah seseorang menerima dan merespons sugesti yang diberikan. Sementara uji kedalaman adalah untuk mengetahui kedalaman yang telah berhasil dicapai oleh individu.

Uji kedalaman adalah prosedur penting yang tidak boleh diabaikan bila ingin memastikan efektivitas proses hipnoterapi yang dijalankan.

 

Alasan Saya Meninggalkan Skala Davis-Husband

Di tahun-tahun awal saya berpraktik sebagai hipnoterapis, saya juga menggunakan skala Davis–Husband sebagai acuan. Namun, saya menemui banyak kendala dan sering gagal dalam memastikan kedalaman yang telah dicapai klien. Berdasarkan pengalaman praktik saat itu, saya menyadari ada yang kurang dari skala ini, meskipun saya belum tahu apa.

Akhirnya, setelah mendapat pengetahuan dari beberapa literatur lain, saya menemukan jawabannya. Skala Davis–Husband, khususnya indikator kondisi hipnoidal dan light trance, tidak berlaku untuk semua orang, melainkan hanya untuk individu dengan tipe sugestibilitas fisik (physical suggestibility). Indikator ini tidak berlaku untuk individu dengan tipe sugestibilitas emosi (emotional suggestibility).

Klien dengan tipe sugestibilitas emosi tidak selalu mengalami REM, napas dalam dan ritmik, tubuh terasa berat, atau lengan terasa berat atau kaku (catalepsy). Ketidaktahuan saya saat itu, karena masih minim pengetahuan dan pengalaman, mengakibatkan kegagalan dalam menilai kedalaman yang dicapai klien.

Kendala lainnya, saya tidak menemukan literatur yang menjelaskan cara melakukan uji kedalaman, khususnya untuk tingkat medium trance dan deep trance. Indikator kedalaman hipnoidal dan light trance memang lebih mudah digunakan karena berupa pengamatan aspek fisik. Sementara itu, indikator kedalaman medium trance dan deep trance lebih sulit karena berupa fenomena mental.

Untuk memudahkan saya dalam mengukur kedalaman kondisi hipnosis yang dicapai klien, saya akhirnya memutuskan menyusun skala kedalaman versi saya sendiri. Ini bukan pekerjaan mudah. Saya mempelajari banyak skala kedalaman yang sudah ada, melakukan analisis dan sintesis, mencocokkannya dengan pengalaman dan temuan di ruang praktik, serta menggabungkannya dengan pemahaman saya tentang kondisi pikiran, kesadaran, meditasi, dan hasil pengukuran gelombang otak menggunakan mesin EEG Mind Mirror.

Akhirnya, setelah melalui proses yang cukup panjang, pada September 2010, saya berhasil menyusun Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale, yang terdiri dari 40 kedalaman, dengan rincian fenomena baik fisik maupun mental pada setiap kedalaman.

AWG Hypnotic Depth Scale ini kini digunakan oleh para hipnoterapis AWGI sebagai acuan dalam praktik hipnoterapi kami.


Klien Tidak Bisa Dihipnosis?

Di kalangan hipnoterapis, terdapat dua kubu yang berseberangan dalam hal pemahaman mengenai kemampuan klien untuk masuk dan mencapai kondisi hipnosis (dalam). Satu kubu menyatakan bahwa ada kategori klien yang memang tidak bisa dihipnosis, apa pun upaya atau teknik yang dilakukan oleh hipnoterapis, klien tetap tidak akan bisa masuk ke kondisi hipnosis.

Sementara itu, kubu lainnya berpendapat bahwa setiap klien dapat masuk ke kondisi hipnosis jika ia bersedia dan mengizinkan dirinya untuk masuk ke kondisi tersebut.

Berdasarkan pengalaman praktik para hipnoterapis di AWGI, kami menemukan beberapa fakta penting:

• Semua klien bisa masuk ke kondisi hipnosis.

• Satu-satunya faktor yang menyebabkan klien tidak bisa masuk kondisi hipnosis (dalam) adalah rasa takut.

• Klien akan masuk sedalam yang ia butuhkan untuk menyelesaikan masalahnya, dan bertahan pada kedalaman yang paling dangkal untuk mempertahankan rasa aman atau keselamatan dirinya.

• Klien yang tampak tidak sugestif sejatinya adalah individu yang belum terlatih untuk menjadi lebih responsif.

• Kemampuan untuk merespons sugesti secara hipnotik dapat dilatih dan dikembangkan.

• Hipnoterapis tidak pernah bisa “menghipnosis” klien—hipnosis bukan sesuatu yang dilakukan kepada seseorang.

• Peran hipnoterapis adalah sebagai fasilitator, bukan pelaku hipnosis.

• Klien masuk ke kondisi hipnosis karena ia siap, bersedia, dan mengizinkan dirinya untuk mengalami proses tersebut.

Mengukur dan memahami kedalaman hipnosis bukanlah aspek tambahan, melainkan fondasi penting dalam praktik hipnoterapi yang efektif.

Dengan memahami bahwa tidak ada klien yang “tidak bisa dihipnosis,” hipnoterapis akan lebih fokus pada membangun rasa aman, membimbing klien menuju kedalaman yang ia izinkan, dan menggunakan teknik yang tepat berdasarkan kedalaman yang terukur.

 

Baca Selengkapnya

Video

𝐒𝐜𝐢𝐞𝐧𝐭𝐢𝐟𝐢𝐜 𝐄𝐄𝐆 & 𝐂𝐥𝐢𝐧𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐲® (𝐒𝐄𝐂𝐇)
Informasi Hasil Regresi, Valid?
Cara Mudah Menanam Impian ke Pikiran Bawah Sadar

Artikel

Kedalaman Hipnosis: Konsep, Skala, dan Peran Klien
18 April 2025

Hipnoterapi adalah upaya peningkatan kualitas diri individu melalui proses pemberdayaan pikiran bawah sadar, dilakukan dalam kondisi hipnosis, menggunakan teknik yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi klien.

Sesuai dengan definisi di atas, kondisi hipnosis mutlak dibutuhkan sebagai sarana untuk menembus faktor kritis pikiran sadar (PS) dan menjangkau kedalaman pikiran bawah sadar (PBS). Keaktifan faktor kritis PS berbanding terbalik dengan kedalaman kondisi hipnosis yang berhasil dicapai individu.

Penggunaan kata “dalam” atau "lebih dalam" untuk menunjukkan kondisi hipnosis sebenarnya kurang tepat. Subjek tidak benar-benar “masuk” lebih dalam, melainkan menjadi semakin responsif terhadap sugesti yang disampaikan oleh hipnoterapis. Respons ini berkaitan erat dengan kesediaan dan partisipasi klien dalam proses yang dijalani.

Dalam konteks hipnosis, kita mengenal tiga istilah yang penting: suggestibility, susceptibility, dan hypnotizability. Ketiganya sama-sama berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menerima pengaruh atau sugesti, namun memiliki perbedaan makna dan konteks:

• Suggestibility adalah kecenderungan umum seseorang untuk menerima dan merespons sugesti, baik dalam kondisi sadar (normal suggestibility) maupun dalam kondisi hipnosis (hypnotic suggestibility).
Misalnya, seseorang yang mudah terpengaruh oleh iklan atau kata-kata motivasi menunjukkan tingkat suggestibility yang tinggi dalam kondisi sadar.

• Susceptibility mengacu pada kerentanan atau tingkat keterpengaruhan secara umum terhadap pengaruh luar, termasuk sugesti, tekanan sosial, atau manipulasi, dan tidak terbatas pada konteks hipnosis. Misalnya, orang yang mudah terbawa suasana dalam keramaian menunjukkan susceptibility yang tinggi.

• Hypnotizability adalah kemampuan atau tingkat kemudahan seseorang untuk masuk ke kondisi hipnosis dan merespons sugesti hipnotik secara efektif. Ini merupakan subkategori dari suggestibility dan sering diukur secara sistematis dalam setting klinis atau riset.

Perlu dicatat bahwa seseorang bisa memiliki normal suggestibility yang tinggi, namun hypnotizability yang rendah—dan sebaliknya.


Skala Kedalaman Hipnosis

Untuk mengukur tingkat kemudahan individu dalam mengalami kondisi hipnosis, para ahli telah mengembangkan berbagai skala, di antaranya:

• Skala Liébeault (1866, 1889)
• Skala Bernheim (1884)
• Skala White (1930)
• Skala Davis dan Husband (1931)
• Skala Friedlander dan Sarbin (1938)
• Skala LeCron dan Bordeaux (1947)
• Stanford Scales of Hypnotic Susceptibility, Forms A, B, dan C
• Stanford Profile Scales of Hypnotic Susceptibility (Weitzenhoffer dan Hilgard, 1959–1967)
• Harvard Group Scales of Hypnotic Susceptibility (Shor dan Orne, 1962)
• Waterloo-Stanford Group C Scale (Bowers, 1993/1998)

Model turunan lainnya termasuk London’s Children’s Hypnotic Susceptibility Scale (CHSS) dan dua skala klinis tambahan dari Stanford, yakni:

• Stanford Clinical Scale for Adults
• Stanford Clinical Scale for Children

Selain itu, juga terdapat:

• Stanford Hypnotic Arm Levitation Induction and Test (SHALT)
• Barber Suggestibility Scale (1962)
• Barber Creative Imagination Scale (1978–1979)
• LeCron Subjective Depth Estimation Scale (LSDES)
• Tart Scales (1972, 1978/1979)

 

Skala Davis-Husband

Skala kedalaman hipnosis Davis-Husband dikembangkan pada tahun 1931 sebagai alat standar untuk mengukur sejauh mana kedalaman hipnosis yang dicapai oleh subjek.

Skala ini sangat populer dan banyak digunakan oleh praktisi serta pengajar hipnoterapi. Tujuannya adalah membantu hipnoterapis mengenali sejauh mana kondisi hipnosis yang dialami klien, sehingga teknik intervensi yang dipilih menjadi tepat dan efektif.

Skala ini terdiri atas lima kategori, yang mencakup tiga puluh angka dari 1 sampai 30. Setiap angka mewakili uji dan respons sugesti tertentu.

Lima kategori dalam skala ini adalah Insusceptible (0), Hipnoidal (1–5), Light Trance (6–12), Medium Trance (13–20), dan Deep Trance (21–30).

Rinciannya sebagai berikut: 0 = tidak merespons, 1 = relaksasi, 2 = mata berkedip, 3 = menutup mata, 4 = relaksasi fisik total, 5 = katalepsi mata, 6 = katalepsi tungkai, 7 = katalepsi seluruh tubuh, 8/9/10 = anestesi "sarung tangan", 11/12 = amnesia pascahipnosis parsial, 13/14 = amnesia pascahipnosis, 15/16 = perubahan kepribadian, 17/18/19/20 = delusi kinestetik, 21/22 = mampu buka mata tanpa memengaruhi trance, 23/24 = somnambulisme lengkap, 25 = halusinasi visual positif, 26 = halusinasi auditori positif, 27 = amnesia pascahipnosis sistematis, 28 = halusinasi auditori negatif, 29 = halusinasi visual negatif, dan 30 = hiperestesia.

Dalam praktik hipnoterapi, baik berbasis sugesti maupun hipnoanalisis, kedalaman deep trance sangat disarankan sebelum intervensi dilakukan.

Sebagian besar hipnoterapis menggunakan indikator seperti: mata tertutup, gerakan mata cepat (REM), tubuh rileks, napas teratur, dan ketidakmampuan membuka mata sebagai tanda bahwa klien telah berada dalam kondisi hipnosis. Meskipun benar, indikator tersebut belum cukup untuk menyatakan bahwa klien telah mencapai kedalaman deep trance.

Berdasarkan skala Davis-Husband, indikator-indikator di atas menunjukkan kedalaman hipnoidal dan light trance, bukan medium atau deep trance.

Indikator kedalaman deep trance (somnambulism), menurut skala Davis-Husband, adalah munculnya halusinasi, baik positif maupun negatif, secara visual atau auditori. Oleh karena itu, uji kedalaman diperlukan untuk memastikan apakah klien telah mampu mengalami halusinasi sugestif. Inilah barometer yang lebih objektif.

Sangat disayangkan, para hipnoterapis sangat jarang melakukan uji kedalaman dalam praktik klinis. Padahal ini adalah cara paling akurat untuk menilai apakah klien telah mencapai kondisi deep trance. Tanpa uji ini, intervensi yang diberikan bisa tidak optimal karena pikiran sadar masih memberikan resistensi.

Yang sering hipnoterapis lakukan adalah uji sugestibilitas, bukan uji kedalaman. Uji sugestibilitas bertujuan untuk mengetahui seberapa mudah seseorang menerima dan merespons sugesti yang diberikan. Sementara uji kedalaman adalah untuk mengetahui kedalaman yang telah berhasil dicapai oleh individu.

Uji kedalaman adalah prosedur penting yang tidak boleh diabaikan bila ingin memastikan efektivitas proses hipnoterapi yang dijalankan.

 

Alasan Saya Meninggalkan Skala Davis-Husband

Di tahun-tahun awal saya berpraktik sebagai hipnoterapis, saya juga menggunakan skala Davis–Husband sebagai acuan. Namun, saya menemui banyak kendala dan sering gagal dalam memastikan kedalaman yang telah dicapai klien. Berdasarkan pengalaman praktik saat itu, saya menyadari ada yang kurang dari skala ini, meskipun saya belum tahu apa.

Akhirnya, setelah mendapat pengetahuan dari beberapa literatur lain, saya menemukan jawabannya. Skala Davis–Husband, khususnya indikator kondisi hipnoidal dan light trance, tidak berlaku untuk semua orang, melainkan hanya untuk individu dengan tipe sugestibilitas fisik (physical suggestibility). Indikator ini tidak berlaku untuk individu dengan tipe sugestibilitas emosi (emotional suggestibility).

Klien dengan tipe sugestibilitas emosi tidak selalu mengalami REM, napas dalam dan ritmik, tubuh terasa berat, atau lengan terasa berat atau kaku (catalepsy). Ketidaktahuan saya saat itu, karena masih minim pengetahuan dan pengalaman, mengakibatkan kegagalan dalam menilai kedalaman yang dicapai klien.

Kendala lainnya, saya tidak menemukan literatur yang menjelaskan cara melakukan uji kedalaman, khususnya untuk tingkat medium trance dan deep trance. Indikator kedalaman hipnoidal dan light trance memang lebih mudah digunakan karena berupa pengamatan aspek fisik. Sementara itu, indikator kedalaman medium trance dan deep trance lebih sulit karena berupa fenomena mental.

Untuk memudahkan saya dalam mengukur kedalaman kondisi hipnosis yang dicapai klien, saya akhirnya memutuskan menyusun skala kedalaman versi saya sendiri. Ini bukan pekerjaan mudah. Saya mempelajari banyak skala kedalaman yang sudah ada, melakukan analisis dan sintesis, mencocokkannya dengan pengalaman dan temuan di ruang praktik, serta menggabungkannya dengan pemahaman saya tentang kondisi pikiran, kesadaran, meditasi, dan hasil pengukuran gelombang otak menggunakan mesin EEG Mind Mirror.

Akhirnya, setelah melalui proses yang cukup panjang, pada September 2010, saya berhasil menyusun Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale, yang terdiri dari 40 kedalaman, dengan rincian fenomena baik fisik maupun mental pada setiap kedalaman.

AWG Hypnotic Depth Scale ini kini digunakan oleh para hipnoterapis AWGI sebagai acuan dalam praktik hipnoterapi kami.


Klien Tidak Bisa Dihipnosis?

Di kalangan hipnoterapis, terdapat dua kubu yang berseberangan dalam hal pemahaman mengenai kemampuan klien untuk masuk dan mencapai kondisi hipnosis (dalam). Satu kubu menyatakan bahwa ada kategori klien yang memang tidak bisa dihipnosis, apa pun upaya atau teknik yang dilakukan oleh hipnoterapis, klien tetap tidak akan bisa masuk ke kondisi hipnosis.

Sementara itu, kubu lainnya berpendapat bahwa setiap klien dapat masuk ke kondisi hipnosis jika ia bersedia dan mengizinkan dirinya untuk masuk ke kondisi tersebut.

Berdasarkan pengalaman praktik para hipnoterapis di AWGI, kami menemukan beberapa fakta penting:

• Semua klien bisa masuk ke kondisi hipnosis.

• Satu-satunya faktor yang menyebabkan klien tidak bisa masuk kondisi hipnosis (dalam) adalah rasa takut.

• Klien akan masuk sedalam yang ia butuhkan untuk menyelesaikan masalahnya, dan bertahan pada kedalaman yang paling dangkal untuk mempertahankan rasa aman atau keselamatan dirinya.

• Klien yang tampak tidak sugestif sejatinya adalah individu yang belum terlatih untuk menjadi lebih responsif.

• Kemampuan untuk merespons sugesti secara hipnotik dapat dilatih dan dikembangkan.

• Hipnoterapis tidak pernah bisa “menghipnosis” klien—hipnosis bukan sesuatu yang dilakukan kepada seseorang.

• Peran hipnoterapis adalah sebagai fasilitator, bukan pelaku hipnosis.

• Klien masuk ke kondisi hipnosis karena ia siap, bersedia, dan mengizinkan dirinya untuk mengalami proses tersebut.

Mengukur dan memahami kedalaman hipnosis bukanlah aspek tambahan, melainkan fondasi penting dalam praktik hipnoterapi yang efektif.

Dengan memahami bahwa tidak ada klien yang “tidak bisa dihipnosis,” hipnoterapis akan lebih fokus pada membangun rasa aman, membimbing klien menuju kedalaman yang ia izinkan, dan menggunakan teknik yang tepat berdasarkan kedalaman yang terukur.

 

Baca Selengkapnya
Pola Asuh yang Salah, Harga Diri yang Runtuh, dan Hidup yang Rapuh
7 April 2025
(Berikut ini sharing penting, informatif, edukatif, dan sangat bernas dari Ibu 𝐖𝐢𝐝𝐲𝐚 𝐒𝐚𝐫𝐚𝐬𝐰𝐚𝐭𝐢, 𝐂𝐂𝐇®., hipnoterapis senior AWGI, yang berpraktik hipnoterapi sejak tahun 2011, dan telah melakukan lebih dari 6.000 (enam ribu) sesi konseling dan terapi.)
 
 
Selamat siang Pak Adi yang saya hormati. Salam sehat dan bahagia.
 
Selama ini, tanpa kenal lelah, Bapak selalu menekankan dan mengajarkan—baik melalui tulisan, seminar, workshop, maupun video—tentang pentingnya nilai-nilai kehidupan dan kehadiran orangtua dalam proses keorangtuaan (parenting) yang terjadi di rumah. Memang demikian adanya, bahwa ini sungguh sangat penting.
 
Dalam praktik saya sebagai hipnoterapis, saya sering menjumpai klien dewasa yang bergulat dengan harga diri yang rendah. Akar masalahnya sering kali kembali pada pola pengasuhan yang tidak kondusif di masa kecil.
 
Salah satu fenomena yang cukup sering saya temukan adalah klien yang mengalami kebingungan identitas atau ketidaknyamanan dalam menempatkan diri secara sosial, karena dalam kesehariannya di rumah, ia lebih banyak menghabiskan waktu dan diinternalisasi oleh pola asuh dari asisten rumah tangga (ART) atau sopir keluarga—bukan dari orangtuanya langsung.
 
Bukan berarti peran mereka tidak penting atau tidak layak dihormati—justru mereka sangat berjasa dalam mendampingi tumbuh kembang anak. Namun, ketidakhadiran orangtua secara emosional dan fungsional telah menciptakan kondisi di mana anak menyerap nilai, sikap, dan cara memandang dunia dari figur yang tidak dirancang atau dibekali untuk membentuk struktur identitas anak sesuai latar belakang sosial-emosionalnya.
 
Berikut ini adalah beberapa contoh kasus yang pernah saya tangani, yang akar masalahnya adalah perasaan diri tidak berharga:
 
 
Kasus#1
 
Seorang mahasiswi fakultas kedokteran, putri dari pasangan pengusaha sukses, datang menjumpai saya untuk menjalani terapi. Saat itu, ia menjalin hubungan dengan seorang buruh bangunan. Sebelumnya, ia juga pernah berpacaran dengan pria dari berbagai latar belakang ekonomi dan pendidikan yang jauh berbeda darinya—anak sopir angkutan umum, anak satpam, bahkan pekerja lepas.
 
Dalam proses terapi saya melakukan hipnoanalisis, dan ditemukan akar dari kecenderungan ini adalah rasa keterikatan emosional yang terbentuk dengan ART, karena ibunya sering menolak ajakannya untuk berbicara, bercerita, atau sekadar ditemani.
 
Ibunya selalu mengatakan sedang sibuk, sementara satu-satunya orang yang konsisten hadir dan mendengarkan adalah ART ini. Anak ini pun merasa lebih diterima dan dihargai oleh figur tersebut.
 
Harga dirinya tumbuh tidak sejalan dengan realitas sosial yang ia miliki.
 
 
Kasus#2
 
Seorang mahasiswi jurusan seni rupa di Australia tidak mampu menggambar selama satu tahun, meskipun sejak kecil dikenal sangat berbakat. Ia menjadi pasien psikiater dan menjalani terapi karena mengalami depresi berat. Ia tinggal di apartemen mewah, tetapi merasa tidak nyaman dan terus-menerus rindu pada sopir yang selama ini menemaninya sejak kecil.
 
Saat menjalani sesi hipnoterapi di Jakarta, ia berkata, “Bu, nanti aku kenalin ayahku yang sebenarnya ya.”
 
Ia tidak sedang bercanda. Yang dimaksud adalah sopir keluarga—bukan ayah biologisnya. Karena hanya sopir itulah yang selalu hadir dalam hari-harinya. Sang sopir yang selama ini merawat, mengantar, dan menemani ke dokter saat sakit. Dalam keseharian, sosok inilah yang hadir sebagai figur pengasuh penuh kasih.
 
Ia juga menjalin hubungan dengan pria yang tinggal di lingkungan yang sangat jauh berbeda dari latar belakangnya. Ketika ditanya mengapa ia tertarik, jawabannya sederhana: “Kami sama-sama suka anime.”
 
Padahal jutaan orang menyukai anime. Yang membedakan adalah harga diri yang terbentuk sejak kecil: bahwa dirinya merasa setara dengan lingkungan itu karena tidak pernah merasa cukup berharga dari dalam keluarga sendiri.
 
 
Kasus#3
 
Seorang manajer bank swasta asing, lulusan S2 dari luar negeri, telah lima kali melakukan percobaan bunuh diri. Pemicunya adalah cinta yang ditolak oleh seorang wanita. Saat ditelusuri lebih dalam, sejak kecil ia kerap mengalami kekerasan fisik dan verbal dari orangtuanya, terutama sang ibu yang sering menyebutnya “anak bodoh” dan “bikin malu.”
 
Sebaliknya, satu-satunya tempat aman baginya adalah ART. Di kantor, ia pun merasa tidak dihargai, dan secara tidak sadar terus mencari rasa diterima dari figur di luar lingkungan setara. Ia terobsesi dengan wanita yang secara sosial dan pendidikan sangat jauh berbeda dengannya—karena rasa dirinya pun terbentuk dari ruang yang tidak seharusnya.
 
Sang ibu, saking malu dan frustrasi akibat kondisi anaknya ini, bahkan sampai berkata, “Saya rela kalau dia benar-benar mati, daripada terus begini,” menunjukkan betapa relasi batin antara ibu dan anak ini telah hancur jauh sebelum peristiwa itu terjadi.
 
 
Kasus#4
 
Seorang wanita berpendidikan tinggi, lulusan S2 bidang keuangan dari luar negeri, bekerja di bank besar dan berasal dari keluarga pengusaha mapan. Namun, ia selalu menolak promosi jabatan yang ditawarkan kepadanya, hingga atasannya bingung. Ia merasa tidak layak.
 
Masa kecilnya penuh tekanan dari orangtua yang keras dan sering merendahkan. Ruang aman satu-satunya baginya adalah dapur dan kamar ART. Di situlah ia merasa diterima dan bertumbuh secara emosi.
 
Ia kemudian menikah dengan pria yang bekerja sebagai pengemudi, merasa tenang dan nyaman. Namun, tubuhnya mulai menunjukkan gejala psikosomatis. Setelah berbagai upaya medis dan konseling tidak membuahkan hasil, proses hipnoanalisis menemukan bahwa pikiran bawah sadarnya menyimpan kemarahan, karena ia terus “menurunkan diri” demi menyesuaikan dengan pasangannya, bukan karena cinta, tetapi karena rasa kasihan.
 
Setelah proses terapi, harga dirinya pulih. Beberapa bulan kemudian, ia mulai bertanya-tanya: “Kenapa dulu saya bisa menikah dengan orang yang begitu jauh berbeda dan tidak bisa saya ajak bicara dari hati ke hati?”
 
 
Antara Menjadi Orangtua dan Sekadar Ayah-Ibu
 
Belakangan ini, saya cukup sering menjumpai pasangan muda yang secara peran biologis adalah ayah dan ibu, namun belum sungguh-sungguh hadir sebagai orangtua bagi anak-anak mereka.
 
Kesibukan karier, tuntutan pekerjaan, dan ritme hidup yang cepat sering kali membuat mereka tidak memiliki cukup ruang dan waktu untuk terhubung dengan anak secara emosional.
 
Hampir seluruh kebutuhan anak—baik fisik maupun emosional—ditangani oleh ART atau suster. Bahkan saat keluarga pergi ke mal atau restoran bersama, anak tetap lebih dekat dan diurus oleh pengasuh.
 
Jika dilakukan pengecekan koneksi emosional antara orangtua dan anak, sering kali ditemukan bahwa jembatan batin itu rapuh atau bahkan belum terbentuk. Tidak ada percakapan dari hati ke hati. Tidak ada pelukan yang penuh makna. Tidak ada tatapan mata yang membuat anak merasa, "Aku dilihat. Aku penting."
 
Dalam situasi seperti ini, mereka telah menjadi ayah dan ibu secara status, namun belum sungguh menjadi orangtua secara kehadiran.
 
Karena menjadi orangtua sejati bukan hanya soal memberi nafkah atau menyediakan fasilitas, tapi tentang hadir secara utuh, menjadi ruang aman tempat anak merasa diterima, didengar, dan dipeluk—bukan hanya secara fisik, tetapi secara jiwa.
 
 
Kasus#5
 
Seorang anak laki-laki kelas 1 SMP datang ke tempat praktik saya, diantar oleh mbak ART dan sopir keluarga. Saya tentu menolak melakukan terapi tanpa kehadiran orangtua. Ketika dihubungi, ibunya menjelaskan bahwa ia sangat sibuk dengan pekerjaan dan merasa tanggung jawabnya sudah dipenuhi dengan membuatkan jadwal terapi serta bersedia membayar biayanya.
 
Menurut sang ibu, anak tunggalnya dianggap bermasalah karena melanggar aturan penggunaan ponsel dan tidak disiplin bangun pukul 04.00 pagi setiap hari untuk latihan renang. Anak ini juga tidak memiliki teman di sekolah internasionalnya, cenderung menarik diri, merasa minder, dan dianggap "berbeda" oleh teman-temannya.
 
Di rumahnya yang sangat besar di kawasan elite, ia justru menghabiskan waktu lebih banyak di area belakang—bersama ART. Bahkan saat tidur pun, ia ditemani oleh ART, sementara kedua orangtua biasanya baru pulang larut malam, saat anak sudah tertidur. Kehidupan anak ini dipenuhi jadwal padat, tapi kosong dari koneksi emosional yang hangat.
 
 
Kasus#6
 
Seorang ibu muda berkisah bahwa balitanya selalu diam saja setiap kali dia berkata, “Come, hug Mommy… hug Mommy…”
 
Sang anak justru lebih asyik bermain dengan suster. Sejak lahir, anak ini memang tidur bersama suster. “Memang seharusnya begitu ‘kan, Bu, kayak di film?” katanya polos.
 
Anak ini juga kerap menyingkir saat kakek, nenek, atau kerabat keluarga datang berkunjung. Di rumah kakek-nenek pun, ia terlihat canggung dan bersembunyi di belakang ibunya. Meskipun sudah diajarkan cara bersikap percaya diri, tetap tidak berhasil. Tapi anehnya, ia bisa dengan lantang dan percaya diri berseru, “Halo Om Anton!” ketika bertemu dengan sopir keluarga.
 
Anak ini mengenali dan merasa nyaman dengan orang-orang yang hadir dalam keseharian emosionalnya, bukan sekadar dalam struktur keluarga.
 
 
Kasus#7
 
Sepasang suami istri yang kini sukses secara finansial—dengan penghasilan miliaran per bulan—pernah menitipkan anak mereka ke orang lain saat masih merintis usaha. Anak dititipkan sejak usia satu tahun kepada seorang wanita yang bekerja sebagai buruh cuci dan sangat ingin memiliki anak, meski bukan keluarga berada.
 
Seiring usaha mereka membaik, mereka memberikan dukungan finansial lebih kepada ibu asuh tersebut. Anak tetap tinggal di sana hingga kelas 5 SD. Setelah itu, mereka memutuskan untuk “menarik pulang” anak tersebut ke rumah.
 
Namun, sejak saat itulah mereka menyadari betapa besar perbedaan dalam karakter dan emosi anak. Anak menjadi sangat pemalu, tidak percaya diri, emosional, dan sulit mengelola ledakan perasaan. Ia tidak nyaman tidur sendiri di kamar, mudah tersinggung karena hal kecil, dan sering bicara kasar. “Padahal dia selalu berkunjung ke rumah kalau libur sekolah,” kata si ibu.
 
Ia juga mengalami gangguan alergi yang tak kunjung sembuh. Kini ia bahkan ingin bersekolah di pesantren agar bisa tinggal jauh dari rumah. “Dia tidak mau tinggal di rumah,” kata sang ayah. Padahal, rumah itu adalah rumah orangtuanya sendiri.
 
 
Kasus#8
 
Seorang ibu bercerita dengan malu dan bingung saat mengetahui anaknya hafal lagu-lagu dangdut dan nama-nama artis, padahal ia sendiri tidak pernah menonton acara seperti itu. Ia juga tidak suka sinetron atau musik dangdut. Namun, anaknya sangat akrab dengan semua itu.
 
Setiap kali dimarahi karena sesuatu, anak ini selalu lari ke dapur atau ke kamar ART. Ia menjadi sangat rewel, tidak mau makan, dan sulit tidur setiap kali ART pulang kampung. Bahkan pernah sampai sakit berhari-hari, dan langsung sembuh ketika ART kembali ke rumah.
 
Meski orangtua mencoba mengganti ART lain, anak tetap lebih nurut dan dekat dengan mereka dibandingkan dengan orangtuanya sendiri.
 
Ketika ditanya, sang ibu menjelaskan, “Kami memang sibuk, sering ke luar kota, bahkan kadang keluar negeri. Tapi kalau pergi lama, biasanya saya minta ibu saya atau mertua menemani anak di rumah.”
 
Namun kenyataannya, kedua orangtua memang absen dalam kehidupan anak. Anak tidak merasa ditemani oleh siapa pun yang benar-benar hadir secara batin.
 
 
Refleksi
 
Semua kasus ini bukan tentang profesi siapa pun. Ini bukan soal siapa lebih tinggi atau lebih rendah. Setiap pekerjaan adalah mulia dan berharga. Namun, yang menjadi perhatian adalah ketika anak tidak mendapatkan kehadiran emosional dari orangtua, dan justru belajar mengenal dunia dari figur yang tidak memiliki kapasitas untuk membentuk identitas dan struktur nilai sesuai tempat tumbuhnya.
 
Ketidakhadiran orangtua bukan hanya soal fisik, tapi batin. Dan saat batin anak tidak merasa terlihat, dihargai, dan diterima, ia bisa mengembara dalam hidup dengan rasa diri yang tidak utuh—meski dari luar tampak sangat “berhasil.”
 
 
Fenomena yang Mengkhawatirkan
 
Apa yang saya paparkan hanyalah sebagian kecil dari kenyataan yang saya temui, dan terus terang, semua ini membuat saya sangat prihatin. Banyak orangtua masa kini begitu sibuk, hingga gagal meletakkan prioritas yang tepat dalam kehidupan berkeluarga.
 
Nilai-nilai kehidupan yang dulu diajarkan lewat interaksi hangat dan penuh keteladanan, kini nyaris hilang. Anak-anak tumbuh dalam limpahan informasi, tetapi miskin panduan hidup. Mereka tumbuh dengan gizi yang baik, otak yang cerdas, dan terpapar berbagai teknologi modern. Tapi jiwa mereka kering—karena kasih sayang dan perhatian yang seharusnya didapatkan, tidak hadir secara nyata.
 
Dan ketika mereka tumbuh remaja atau dewasa, orangtua berharap mereka menjadi anak yang baik, berprestasi, dan berbakti—karena merasa sudah memberikan fasilitas, sekolah terbaik, dan kemewahan hidup.
 
Padahal yang anak butuhkan sejak dulu hanyalah kehadiran. Bukan hanya fisik, tapi juga hati yang benar-benar terhubung. Konflik antara orangtua dan anak pun sering kali tidak bisa dihindari, karena kedekatan emosional tidak pernah dibangun sejak awal.
 
 
Tentang Indentitas dan Arah Hidup
 
Menurut pengamatan saya, ketidakhadiran emosional orangtua dalam kehidupan anak berkontribusi cukup besar terhadap banyak aspek perkembangan, termasuk dalam pembentukan identitas diri yang sehat—baik secara sosial, emosional, maupun seksual.
 
Saat ini, saya semakin sering menjumpai remaja yang mengalami kebingungan identitas, termasuk pergulatan dalam memahami orientasi seksualnya. Mereka datang dengan perasaan tidak utuh. Mereka tidak tahu siapa diri mereka. Dan lebih menyakitkan lagi, mereka tidak tahu kepada siapa harus bertanya. Hal ini sangat berbeda dengan generasi kita dahulu, yang hidup dalam suasana batin yang lebih hangat dan terhubung.
 
Di masa lalu, banyak dari kita tumbuh dalam keluarga besar (extended family). Saat ayah dan ibu tidak bisa hadir, masih ada kakek, nenek, paman, atau bibi yang bisa menggantikan peran emosional mereka.
 
Anak tetap memiliki figur pengikat kasih sayang yang konsisten dan dapat diandalkan. Kehangatan rumah terisi oleh pelukan, cerita sebelum tidur, tatapan penuh perhatian, dan interaksi batin yang memupuk rasa diri yang sehat.
 
Kini, dalam sistem keluarga inti (nuclear family) yang sering kali berjalan di tengah tekanan ekonomi dan tuntutan karier, anak tumbuh dalam ruang yang sepi secara emosional. Orangtua sibuk bekerja, bahkan ketika sedang di rumah, perhatian tersita oleh layar dan jadwal.
 
Anak-anak pun lebih banyak diasuh oleh pengasuh atau figur pendamping, yang meskipun penuh kasih, tidak memiliki otoritas dan kapasitas untuk membentuk struktur nilai, identitas, dan arah hidup anak sebagaimana seharusnya dilakukan oleh orangtua.
 
 
Identitas Seksual dan Kekosongan Batin
 
Dalam dunia psikologi perkembangan, orientasi seksual bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh satu faktor tunggal. Ia adalah hasil kompleks dari kombinasi biologis, lingkungan, dan pengalaman hidup—terutama pengalaman relasional di masa awal kehidupan.
 
Ketika anak tidak memiliki figur kelekatan primer (primary attachment figure) yang stabil, penuh kasih, dan konsisten dalam mendampingi pertumbuhannya, ia bisa mengalami distorsi rasa diri, termasuk dalam memahami peran dan relasi antarjenis kelamin.
 
Banyak remaja yang datang dalam terapi menyatakan bahwa mereka merasa "tidak tahu siapa mereka sebenarnya", "bingung harus menyukai siapa", atau "takut membentuk hubungan dekat" karena pengalaman masa kecil yang kosong secara emosional.
 
Saya tidak bermaksud menyederhanakan atau menghakimi orientasi seksual apa pun—karena setiap manusia berhak menjalani hidup dengan utuh dan bermartabat. Tapi dari sisi praktik klinis, saya melihat bahwa banyak anak yang mengalami perubahan orientasi atau ketertarikan tidak berdasarkan pilihan sadar, tetapi sebagai bentuk adaptasi batin terhadap rasa sepi, kekosongan, atau kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi.
 
 
Kebutuhan Terbesar Anah: Bukan Pengasuh, Tapi Orangtua
 
Kita perlu menyadari bahwa anak tidak hanya butuh diurus, tetapi perlu dihubungkan—dengan batin orangtua, dengan nilai-nilai kehidupan, dan dengan rasa bahwa dirinya dicintai tanpa syarat. Anak yang tumbuh dalam pelukan kehadiran akan lebih mudah membentuk identitas yang kuat, stabil, dan sehat.
 
Dalam banyak kasus, pengasuh rumah tangga kini menggantikan peran yang seharusnya dijalankan oleh ayah dan ibu. Anak merasa lebih terikat secara emosional dengan pengasuh daripada dengan orangtua kandungnya.
 
Dan ketika anak tumbuh dengan attachment utama pada figur yang tidak punya kapasitas menyelaraskan nilai-nilai batin dengan realitas sosialnya, maka muncullah kegamangan: dalam identitas, dalam relasi, bahkan dalam orientasi hidup.
 
 
Ruang Hadir yang Dirindukan Anak
 
Anak tidak menuntut kemewahan. Mereka hanya ingin ditemani saat belajar, ditemani saat kecewa, ditemani saat tidak tahu harus jadi siapa. Mereka tidak butuh rumah besar jika hatinya kosong. Mereka tidak butuh fasilitas terbaik jika batinnya tidak merasa dilihat, tidak dihargai, dan tidak diterima.
 
Dan di tengah semua perubahan zaman ini, peran orangtua yang hadir sepenuhnya—secara fisik, emosional, dan spiritual—tetap menjadi pondasi utama pembentukan rasa diri yang sehat.
 
Saya menulis ini bukan untuk menghakimi siapa pun. Saya hanya mengetuk pelan—pada pintu hati yang sudah lama tidak ditengok. Sebuah ajakan untuk kembali pulang, bukan ke rumah yang berdinding mewah, tapi ke ruang batin yang hangat.
Tempat anak-anak merasa diterima, dipercaya, dan dicintai... tanpa syarat.
 
Terima kasih, Bapak tidak pernah lelah mengingatkan kami semua—baik para murid maupun masyarakat luas—tentang pentingnya menjadi orangtua yang hadir, yang sadar, dan yang mengasuh dengan sepenuh jiwa.
 
Terima kasih banyak, Bapak, atas segala ilmu, nasihat, dan keteladanan yang terus mengalir tanpa henti.
 
Matur sembah nuwun sudah berkenan membaca sharing kasus, keprihatinan, curahan hati, dan harapan saya ini.
 
Hormat dan kasih kami selalu,
Widya Saraswati, CCH®

 

(Catatan AWG:
Foto di atas adalah saat Ibu Widya selesai mengikuti pendidikan hipnoterapi profesional 100 jam tatap muka di kelas, 𝐒𝐜𝐢𝐞𝐧𝐭𝐢𝐟𝐢𝐜 𝐄𝐄𝐆 & 𝐂𝐥𝐢𝐧𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐲® (𝐒𝐄𝐂𝐇), dan mendapat gelar nonakademik CHt® (Certified Hypnotherapist) di tahun 2011.
 
Selanjutnya, setelah konsisten berpraktik selama dua tahun, Beliau melanjutkan pendidikan hipnoterapi ke tingkat lanjut (advanced) di AWGI dengan lama pendidikan 100 jam tatap muka di kelas, hingga akhirnya berhak menyandang gelar nonakademik CCH® (Certified Clinical Hypnotherapy) di tahun 2013.
 
Baca Selengkapnya
Hidup, Luka, dan Pilihan untuk Bebas
6 April 2025

Dalam kebijaksanaan timur yang telah diwariskan berabad-abad, penderitaan manusia sering diibaratkan seperti dua anak panah yang meluncur kencang ke arah kita. Anak panah pertama adalah 𝐩𝐚𝐢𝐧—rasa sakit fisik atau emosional yang muncul akibat pengalaman hidup: kehilangan, kegagalan, penolakan, luka hati. Anak panah ini tidak bisa dihindari. Ia pasti datang dalam perjalanan siapa pun yang hidup di dunia ini.

Namun setelah anak panah pertama menancap, datanglah anak panah kedua: 𝐬𝐮𝐟𝐟𝐞𝐫𝐢𝐧𝐠 atau penderitaan batiniah. Tidak seperti yang pertama, anak panah ini tidak selalu harus menancap—ia bersifat opsional. Kita bisa memilih apakah akan membiarkan anak panah ini mengenai kita, menancap lebih dalam ke hati, atau membiarkannya meluncur lewat begitu saja.

Suffering muncul dari cara kita memaknai rasa sakit. Bila kita menyikapi peristiwa menyakitkan dengan kesadaran dan penerimaan, penderitaan bisa tidak terjadi, atau hanya menyentuh sebentar lalu pudar. Tetapi jika kita menolak kenyataan, mengutuk kejadian, atau menggenggam terlalu erat kenyamanan yang telah berlalu, maka kita sendirilah yang mengizinkan anak panah kedua itu melukai lebih dalam.

Antara Pain dan Suffering

Dalam kehidupan, pain adalah sesuatu yang tak bisa kita hindari. Ia adalah bagian dari kodrat manusia. Namun suffering—penderitaan batiniah yang memperpanjang rasa sakit—adalah sesuatu yang bisa kita pahami, kita kelola, bahkan kita hindari.

Suffering muncul bukan karena rasa sakit itu sendiri, melainkan karena kita tidak tahu, tidak menyadari, tidak mengakui, atau tidak bersedia menerima satu hukum paling mendasar dari alam semesta: bahwa tidak ada yang kekal kecuali ketidakkekalan itu sendiri.

Saat kita kehilangan sesuatu yang kita cintai—orang, jabatan, status, materi, kenyamanan—kita sering lupa bahwa semua itu hanyalah bagian dari arus kehidupan yang bergerak. Kita bersikeras ingin hidup tetap nyaman, tetap stabil, kalau bisa bahkan semakin menyenangkan. Kita ingin menggenggam yang enak dan menolak yang pahit.

Di sinilah penderitaan lahir. Semakin kuat kita menolak perubahan, semakin kita ingin mempertahankan hal-hal menyenangkan yang telah lewat, semakin dalam penderitaan yang kita alami. Kita terseret dalam kemarahan, kesedihan, kebencian, dan penyesalan. Bukan karena kenyataan itu sendiri, tetapi karena kita tidak ingin menerima kenyataan sebagaimana adanya.

Kelekatan—bahkan terhadap emosi positif—jika tidak disertai kesadaran akan ketidakkekalan, akan melahirkan penderitaan yang dalam. Dan semakin besar intensitas emosi yang melandasi kelekatan itu, semakin besar pula penderitaan yang dirasakan ketika harus melepaskannya.

Semua ini sejatinya bekerja mengikuti sifat alamiah pikiran: yaitu cenderung mencari, mengejar, serta berusaha mempertahankan atau mengulangi perasaan senang, sekaligus secara otomatis menghindari hal-hal yang tidak nyaman.

Ketika kita mengalami sesuatu yang menyenangkan, pikiran secara naluriah ingin menggenggam dan mengulang pengalaman itu. Namun, saat kita tidak mampu mempertahankannya—karena hidup selalu bergerak dan berubah—pikiran mulai bereaksi: memunculkan emosi negatif seperti marah, kecewa, benci, terluka, atau perasaan bersalah.

Inilah awal dari penderitaan yang kita ciptakan sendiri. Bukan karena hidup bersalah, tetapi karena kita tidak menyadari permainan batin yang terjadi di dalam diri.

Jalan Menuju Kebebasan

Namun kabar baiknya adalah: kita bisa belajar untuk tidak menambah penderitaan dalam rasa sakit yang kita alami. Kita bisa memilih untuk menyikapi pain dengan kesadaran, bukan dengan reaksi otomatis. Ada beberapa jalan yang bisa ditempuh:

1. Diam yang jernih
Saat kita hadir sepenuhnya, menyadari apa yang kita rasakan tanpa menambah cerita, kita mulai melihat bahwa rasa sakit hanyalah sensasi hidup yang bergerak. Ia datang, dan ia akan pergi. Kita adalah saksi, bukan pelaku mutlak dari peristiwa.

2. Penerimaan terhadap perubahan
Penerimaan bukan kelemahan. Ia adalah keberanian untuk melihat hidup sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita inginkan. Dengan menerima ketidakkekalan, kita belajar melepas.

3. Berhenti menuntut kenyataan tunduk pada keinginan pribadi
Kita tidak menderita karena hidup berubah, tetapi karena kita menolak perubahan. Semakin kita memaksa kenyataan untuk sesuai dengan keinginan kita, semakin kita menjauh dari damai yang hakiki.

4. Memberi makna atas rasa sakit
Rasa sakit bisa menjadi batu loncatan menuju pemahaman yang lebih dalam, jika kita mengizinkannya membentuk hati yang lebih lembut, lebih bijak, lebih sadar.

“Suffering ceases to be suffering at the moment it finds a meaning.”
—Viktor E. Frankl

Ketenangan dalam Keheningan

Rasa sakit adalah bagian dari hidup. Ia tidak dapat dihindari, tetapi penderitaan bisa dicegah. Suffering is optional.

Ketika kita mulai menyadari bahwa segala sesuatu yang muncul pasti akan berlalu, bahwa kenyamanan pun bukan milik selamanya, kita tidak lagi menggenggam terlalu erat. Kita belajar mengalir. Kita belajar menerima.

Maka, saat luka datang mengetuk pintu, izinkan ia masuk sebagai guru.
Resapi kehadirannya.
Dengarkan pesannya.
Belajarlah darinya.
Dan ketika waktunya tiba, lepaskan ia dengan kesadaran penuh dan cinta.

Dan di sanalah, dalam ruang batin yang sunyi namun utuh, kita temukan kebebasan yang sesungguhnya—bukan karena rasa sakit tidak ada, tetapi karena kita tidak lagi menambahkan penderitaan di dalamnya.

Baca Selengkapnya
Alpha Blocking: Penghalang Neurofisiologis dalam Proses Hipnoanalisis
4 April 2025

Dalam hipnoterapi berbasis hipnoanalisis, sangatlah penting untuk dapat mengungkap kejadian paling awal (ISE - Initial Sensitizing Event) dan kejadian-kejadian lanjutan (SSE - Subsequent Sensitizing Event) yang menjadi akar masalah—penyebab utama muncul, bertahan, dan berkembangnya simtom yang dialami klien. Saat ISE dan SSE berhasil diproses tuntas, simtom hilang dengan sendirinya.

Setiap hipnoterapis tentu berharap bahwa proses pengungkapan informasi dari Pikiran Bawah Sadar (PBS) dapat berjalan secara mudah dan lancar. Namun faktanya, dalam praktik klinis, sering dijumpai situasi di mana informasi yang seharusnya dapat diakses justru tertahan—sulit muncul, bahkan tidak terungkap sama sekali. Ketika diberikan pertanyaan eksploratif, klien berulang kali menjawab, “Tidak tahu.”

Ada banyak faktor yang mengakibatkan kondisi ini, antara lain:

- Klien tidak berada di kedalaman hipnosis yang menjadi syarat dilakukan hipnoanalisis secara efektif dan optimal,

- Klien, karena alasan tertentu, merasa tidak nyaman atau takut dengan terapis atau proses hipnoterapi yang ia jalani,

- PBS memilih untuk "mengubur" data tersebut demi menjaga keberlangsungan keseimbangan psikologis klien, terutama jika data itu berkaitan dengan pengalaman yang secara moral, sosial, atau emosional dianggap sangat tidak dapat diterima.

- PBS secara aktif menahan akses terhadap memori karena adanya emosi intens seperti rasa bersalah, malu, takut, atau trauma yang belum terselesaikan,

- Klien analitis atau overthinking, tidak mengizinkan dirinya untuk rileks sehingga PS (Pikiran Sadar) terus aktif dan menghambat proses pengungkapan informasi,

- Klien memiliki kepercayaan (belief) yang membatasi, seperti keyakinan bahwa masa lalu tidak relevan, atau bahwa mengungkap masa lalu justru berbahaya,

- Adanya trauma berat yang menciptakan disosiasi, sehingga memori kejadian terekam dan terputus dari akses normal,

- Protokol penggalian data tidak disesuaikan dengan struktur pengalaman subjektif klien, sehingga tidak membangun jembatan komunikasi yang efektif dengan PBS.

- Dan masih banyak lagi alasan PBS menolak mengungkap data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah klien.

Selain faktor-faktor yang telah dijelaskan di atas, bila ditilik dari pola gelombang otak, terdapat kondisi khusus yang juga bersifat menghambat proses pengungkapan data dari PBS: alpha blocking.

Saya pertama kali mendengar dan belajar tentang alpha blocking dari guru saya, alm. Anna Wise, tahun 2009 di Berkeley, Amerika, saat saya mendalami The Awakened Mind menggunakan mesin EEG khusus Mind Mirror.

Selanjutnya, saya menggunakan Mind Mirror untuk melakukan uji coba dan pengukuran gelombang otak pada banyak subjek di Indonesia, dan memvalidasi pola gelombang otak yang mengakibatkan alpha blocking.

Alpha blocking adalah kondisi neurofisiologis di mana amplitudo gelombang alfa (8–12 Hz) menurun drastis atau bahkan terhambat total. Gelombang alfa berperan sebagai jembatan antara pikiran sadar (beta) dan pikiran bawah sadar (theta–delta). Ketika gelombang alfa terhambat, proses transfer dan integrasi informasi dari level bawah sadar ke pikiran sadar menjadi terganggu.

Varian dari alpha blocking adalah pola gelombang otak yang dinamakan repressed content. Pada pola ini, gelombang theta sangat aktif–menandakan ada konten PBS yang sedang berusaha naik, tapi terhambat oleh jembatan alfa yang menyempit atau menutup.

Dalam konteks hipnoterapi, terutama yang menggunakan pendekatan hipnoanalisis, alpha blocking menjadi tantangan serius. Walaupun klien terlihat berada dalam kondisi hipnosis dalam, namun dalam kenyataannya akses terhadap memori atau data bawah sadar menjadi tertutup atau terblokir, sehingga proses penggalian informasi yang dibutuhkan untuk penyembuhan menjadi sangat terbatas.

Bila saya tidak belajar The Awakened Mind dan tidak memiliki mesin EEG Mind Mirror, saya tidak akan pernah tahu tentang alpha blocking. Dari sekian banyak buku yang saya pelajari, berbagai pelatihan yang telah saya ikuti di luar negeri, tidak pernah sekalipun ada yang membahas tentang alpha blocking, kecuali di kelas The Awakened Mind.

Biasanya, bila sampai terjadi klien menjawab "Tidak tahu" berulang kali, kami, hipnoterapis AWGI, akan melakukan beberapa teknik khusus untuk dapat menjangkau lebih dalam dan menarik keluar data dari PBS. Bila segala cara telah diupayakan dan klien tetap menjawab "Tidak tahu", sangat perlu dicurigai klien mengalami alpha blocking.

Alpha blocking sejatinya adalah manifestasi dari resistensi PBS. Terdapat dua strategi yang bisa dilakukan untuk membuka alpha blocking, yaitu melalui edukasi PBS untuk mengatasi resistensi, dan melalui jalur fisik.

Proses edukasi PBS untuk menurunkan resistensi sehingga data bisa diungkap membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Ini tentunya akan sangat menyita waktu yang telah dialokasikan untuk terapi. Untuk itu, saya lebih memilih menggunakan jalur fisik, yaitu dengan memanfaatkan keterhubungan antara tubuh fisik dan PBS, kami bisa membuka jalur alpha dengan cepat sehingga data bisa segera terungkap.

Walau alpha blocking sangat jarang ditemukan di ruang praktik, saya tetap mengajarkan teknik khusus untuk membuka blocking ini kepada para hipnoterapis AWGI. Ini sebagai antisipasi bila suatu saat mereka bertemu kondisi ini di ruang praktik, mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk membuka alpha blocking guna menarik keluar data yang dibutuhkan dari PBS.

Beberapa hipnoterapis AWGI melaporkan bahwa ada klien mereka yang mengalami alpha blocking. Setelah mereka menggunakan teknik untuk membuka blocking ini, data yang tadinya tidak bisa naik karena terhambat oleh rendahnya amplitudo alpha—sehingga klien selalu menjawab "tidak tahu"—tiba-tiba langsung bisa diketahui oleh klien. Selanjutnya proses pengungkapan data menjadi lancar, ISE dan SSE berhasil ditemukan dengan mudah.

Bila proses pengungkapan informasi dari PBS terhambat, ISE dan SSE tidak berhasil ditemukan, maka sesi hipnoterapi yang dilakukan bisa dikatakan mengalami hambatan serius dan belum tuntas secara terapeutik.

Baca Selengkapnya