The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel
Dominasi Pikiran Bawah Sadar: Fakta Ilmiah di Balik Klaim 95% vs 5%
28 Februari 2025

Klaim bahwa pikiran sadar hanya mengendalikan antara 1–5% dari diri kita, sedangkan 95–99% dikendalikan oleh pikiran bawah sadar, sering muncul dalam konteks psikologi populer dan hipnoterapi. Ide ini sejalan dengan model “gunung es” Freud, di mana bagian pikiran yang disadari hanyalah puncak kecil, dan sebagian besar proses mental berlangsung di bawah permukaan kesadaran. Tulisan ini berusaha menelaah kebenaran klaim ini dengan merujuk pada temuan penelitian lintas disiplin – mulai dari hipnosis/hipnoterapi hingga psikologi kognitif dan neurosains – baik yang mendukung maupun mengkritisinya.

Perspektif Hipnosis dan Hipnoterapi

Dalam dunia hipnoterapi, umum dikatakan bahwa sebagian besar perilaku dan respons kita dikendalikan oleh pikiran bawah sadar. Misalnya, pakar hipnoterapi sering mengutip estimasi bahwa pikiran sadar hanya berperan sekitar 5–10%, sedangkan 90–95% sisanya dijalankan secara bawah sadar.

Penelitian klasik oleh Ernest Hilgard mendukung adanya “bagian tersembunyi” dari pikiran saat individu berada dalam kondisi hipnosis. Hilgard menemukan bahwa subjek yang dihipnosis (misalnya diberi sugesti analgesia untuk tidak merasakan sakit) masih memiliki “pengamat tersembunyi” yang secara tidak sadar merasakan dan dapat melaporkan rasa sakit itu, meskipun secara sadar subjek mengaku tidak sakit.

Ini menunjukkan adanya pemisahan dalam kesadaran: bagian pikiran bawah sadar dapat memproses pengalaman tanpa diketahui pikiran sadar. Selain itu, eksperimen modern menunjukkan betapa kuatnya pengaruh bawah sadar saat hipnosis. Amir Raz dkk. (2005) mendemonstrasikan bahwa sugesti hipnotik dapat menghilangkan efek Stroop – yaitu mengubah respons otomatis membaca kata berwarna – sehingga peserta tidak lagi terjebak konflik membaca warna vs kata.

Dengan kata lain, perintah pada pikiran bawah sadar mampu “mematikan” proses otomatis yang biasanya tak terkendalikan secara sadar. Temuan seperti ini mendukung gagasan bahwa pikiran bawah sadar memiliki kendali besar atas perilaku dan respons tubuh, melebihi kendali pikiran sadar sehari-hari.

Bukti dari Psikologi Kognitif

Penelitian kognitif juga menyimpulkan bahwa sebagian besar pemrosesan informasi terjadi di luar kesadaran. Banyak keterampilan yang awalnya membutuhkan fokus sadar (misalnya mengemudi, mengetik) akan menjadi otomatis melalui latihan, dan dijalankan tanpa pikir sadar (Kihlstrom, 1987).

Bahkan, studi psikologi menunjukkan betapa terbatasnya kapasitas pikiran sadar dibanding total informasi yang ditangani otak. Sebuah perhitungan oleh psikolog Timothy Wilson mengestimasikan bahwa otak menerima 11 juta bit informasi per detik dari pancaindra, namun pikiran sadar hanya mampu memproses sekitar 40 bit per detik​.

Ini berarti mayoritas mutlak (99% lebih) pemrosesan terjadi tanpa kesadaran – selaras dengan klaim bahwa porsi pikiran sadar sangat kecil. Selain itu, riset di psikologi sosial/kognitif (misalnya oleh John Bargh) menegaskan bahwa banyak keputusan dan tindakan kita dipandu oleh proses otomatis tanpa niat sadar. Bargh dan Morsella (2008) menyimpulkan bahwa pikiran bawah sadar tidak kalah fleksibel atau kompleks dari pikiran sadar dalam mengendalikan perilaku.

Sebagai contoh, priming atau bias implisit dapat memengaruhi penilaian dan pilihan seseorang tanpa disadari. Demikian pula, Dijksterhuis dan koleganya menemukan dalam beberapa kasus, pikiran bawah sadar bisa membuat keputusan kompleks lebih baik daripada pikiran sadar, misalnya ketika banyak variabel yang harus dipertimbangkan​.

Secara keseluruhan, psikologi kognitif modern mengakui peran dominan cognitive unconscious – proses kognitif bawah sadar – dalam kehidupan mental kita sehari-hari.

Temuan dari Neurosains

Neurosains eksperimental memberikan bukti kuat bahwa tindakan kita sering dimulai secara tidak sadar sebelum kita sadar akan niat tersebut. Eksperimen terkenal oleh Libet dkk (1983) menunjukkan bahwa sinyal otak untuk gerakan, muncul ratusan milisekon sebelum subjek melaporkan keputusan sadar untuk bergerak.

Libet dkk mencatat potensi kesiapan (readiness potential) di otak mendahului kesadaran niat sekitar 350 ms secara rata-rata​. Disimpulkan bahwa inisiasi gerakan volunter dapat dimulai secara tidak sadar, memberi batasan pada peran kemauan sadar dalam mengendalikan tindakan.

Temuan ini diperkuat oleh studi fMRI yang lebih mutakhir. Soon dkk (2008) meminta partisipan memilih menekan tombol dengan tangan kiri/kanan secara bebas; hasil pemindaian menunjukkan pola aktivitas di korteks frontoparietal yang mengungkap pilihan peserta hingga 7–10 detik sebelum mereka menyadari keputusan tersebut​.

Dengan kata lain, peneliti bisa memprediksi keputusan jauh sebelum subjek merasa telah memutuskannya. Ini menunjukkan jaringan otak bawah sadar menyiapkan dan pada praktiknya “mengambil keputusan” terlebih dahulu, baru kemudian pikiran sadar mengetahuinya. Contoh lain adalah fenomena klinis seperti blindsight, di mana pasien buta secara sadar masih dapat tanpa sadar merespons rangsang visual. Kasus-kasus ini semuanya mendukung ide bahwa sebagian besar aktivitas otak yang menentukan persepsi maupun perilaku terjadi di luar ranah sadar.

Kritik dan Nuansa

Meskipun banyak ahli setuju bahwa pikiran bawah sadar memegang peran sangat besar, angka spesifik seperti “95% vs 5%” bukanlah ukuran yang pasti dan universal. Beberapa pakar menyebut angka itu lebih bersifat kiasan untuk menekankan dominasi proses tak sadar, daripada hasil pengukuran presisi​.

Dr. Emmanuel Donchin (Univ. of Illinois) misalnya, berkomentar bahwa porsi aktivitas kognitif yang tidak disadari itu “sangat besar, secara kiasan mungkin 99 persen; dan kita mungkin tidak akan pernah tahu secara tepat berapa banyak yang berada di luar kesadaran”.

Jadi, Donchin mengakui dominasi pikiran tidak sadar namun juga menekankan ketidakpastian angka pastinya. Para ilmuwan umumnya sepakat bahwa sebagian besar proses neurologis memang berjalan otomatis. Contoh konkritnya: pengaturan napas, detak jantung, emosi spontan, pemahaman bahasa secara intuitif, dll, terjadi tanpa kontrol pikiran sadar​.

Selain itu, penting diingat bahwa kendali bawah sadar yang dominan tidak berarti pikiran sadar tidak penting. Pikiran sadar – meski kecil kapasitasnya – berperan unik dalam penalaran abstrak, perencanaan jangka panjang, belajar hal baru, dan terutama dalam memodifikasi kebiasaan atau respons otomatis kita. Contohnya, terapi kognitif menunjukkan bahwa dengan upaya sadar berulang (misalnya mengganti self-talk negatif), seseorang dapat secara perlahan mengubah keyakinan bawah sadarnya. Jadi, pikiran sadar bisa dianggap “pengarah” yang lambat tapi mampu mengubah jalannya “kapal besar” bawah sadar.

Kesimpulan

Berbagai penelitian lintas bidang cenderung mendukung premis dasar bahwa bagian terbesar dari aktivitas mental dan kontrol perilaku kita bersifat tidak disadari. Bukti eksperimental dari hipnosis (mis. fenomena “hidden observer” Hilgard dan penghilangan efek Stroop oleh sugesti) hingga psikologi kognitif (pemrosesan otomatis, bias implisit, kapasitas perhatian sangat terbatas) dan neurosains (keputusan yang dicetuskan otak sebelum sadar, dll.) konsisten menunjukkan dominannya peran pikiran bawah sadar.

Namun, klaim numerik seperti “hanya 5-10% dikendalikan pikiran sadar” perlu dipandang sebagai perkiraan kasar yang menggambarkan skala perbandingan, bukan nilai eksak yang mudah diukur​.

Para ahli sepakat bahwa sebagian besar dari diri kita memang dijalankan oleh proses di luar kesadaran, tapi menekankan bahwa pikiran sadar tetap memiliki fungsi penting dan dapat memengaruhi pikiran bawah sadar melalui introspeksi, pembelajaran, dan intervensi psikologis.

Dengan kata lain, “autopilot” bawah sadar kita mungkin mendominasi sehari-hari, tetapi kemudi masih dapat dipegang dan diarahkan oleh kesadaran ketika diperlukan – meskipun upaya sadar itu sering harus berulang dan intens untuk mengubah arah kebiasaan bawah sadar yang sudah tertanam. Semua temuan ini memperkaya pemahaman kita tentang hubungan kompleks antara pikiran sadar dan bawah sadar, serta mengingatkan kita untuk tidak menyepelekan peran masing-masing.

 

 

Baca Selengkapnya

Video

𝐒𝐜𝐢𝐞𝐧𝐭𝐢𝐟𝐢𝐜 𝐄𝐄𝐆 & 𝐂𝐥𝐢𝐧𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐲® (𝐒𝐄𝐂𝐇)
Informasi Hasil Regresi, Valid?
Cara Mudah Menanam Impian ke Pikiran Bawah Sadar

Artikel

Dominasi Pikiran Bawah Sadar: Fakta Ilmiah di Balik Klaim 95% vs 5%
28 Februari 2025

Klaim bahwa pikiran sadar hanya mengendalikan antara 1–5% dari diri kita, sedangkan 95–99% dikendalikan oleh pikiran bawah sadar, sering muncul dalam konteks psikologi populer dan hipnoterapi. Ide ini sejalan dengan model “gunung es” Freud, di mana bagian pikiran yang disadari hanyalah puncak kecil, dan sebagian besar proses mental berlangsung di bawah permukaan kesadaran. Tulisan ini berusaha menelaah kebenaran klaim ini dengan merujuk pada temuan penelitian lintas disiplin – mulai dari hipnosis/hipnoterapi hingga psikologi kognitif dan neurosains – baik yang mendukung maupun mengkritisinya.

Perspektif Hipnosis dan Hipnoterapi

Dalam dunia hipnoterapi, umum dikatakan bahwa sebagian besar perilaku dan respons kita dikendalikan oleh pikiran bawah sadar. Misalnya, pakar hipnoterapi sering mengutip estimasi bahwa pikiran sadar hanya berperan sekitar 5–10%, sedangkan 90–95% sisanya dijalankan secara bawah sadar.

Penelitian klasik oleh Ernest Hilgard mendukung adanya “bagian tersembunyi” dari pikiran saat individu berada dalam kondisi hipnosis. Hilgard menemukan bahwa subjek yang dihipnosis (misalnya diberi sugesti analgesia untuk tidak merasakan sakit) masih memiliki “pengamat tersembunyi” yang secara tidak sadar merasakan dan dapat melaporkan rasa sakit itu, meskipun secara sadar subjek mengaku tidak sakit.

Ini menunjukkan adanya pemisahan dalam kesadaran: bagian pikiran bawah sadar dapat memproses pengalaman tanpa diketahui pikiran sadar. Selain itu, eksperimen modern menunjukkan betapa kuatnya pengaruh bawah sadar saat hipnosis. Amir Raz dkk. (2005) mendemonstrasikan bahwa sugesti hipnotik dapat menghilangkan efek Stroop – yaitu mengubah respons otomatis membaca kata berwarna – sehingga peserta tidak lagi terjebak konflik membaca warna vs kata.

Dengan kata lain, perintah pada pikiran bawah sadar mampu “mematikan” proses otomatis yang biasanya tak terkendalikan secara sadar. Temuan seperti ini mendukung gagasan bahwa pikiran bawah sadar memiliki kendali besar atas perilaku dan respons tubuh, melebihi kendali pikiran sadar sehari-hari.

Bukti dari Psikologi Kognitif

Penelitian kognitif juga menyimpulkan bahwa sebagian besar pemrosesan informasi terjadi di luar kesadaran. Banyak keterampilan yang awalnya membutuhkan fokus sadar (misalnya mengemudi, mengetik) akan menjadi otomatis melalui latihan, dan dijalankan tanpa pikir sadar (Kihlstrom, 1987).

Bahkan, studi psikologi menunjukkan betapa terbatasnya kapasitas pikiran sadar dibanding total informasi yang ditangani otak. Sebuah perhitungan oleh psikolog Timothy Wilson mengestimasikan bahwa otak menerima 11 juta bit informasi per detik dari pancaindra, namun pikiran sadar hanya mampu memproses sekitar 40 bit per detik​.

Ini berarti mayoritas mutlak (99% lebih) pemrosesan terjadi tanpa kesadaran – selaras dengan klaim bahwa porsi pikiran sadar sangat kecil. Selain itu, riset di psikologi sosial/kognitif (misalnya oleh John Bargh) menegaskan bahwa banyak keputusan dan tindakan kita dipandu oleh proses otomatis tanpa niat sadar. Bargh dan Morsella (2008) menyimpulkan bahwa pikiran bawah sadar tidak kalah fleksibel atau kompleks dari pikiran sadar dalam mengendalikan perilaku.

Sebagai contoh, priming atau bias implisit dapat memengaruhi penilaian dan pilihan seseorang tanpa disadari. Demikian pula, Dijksterhuis dan koleganya menemukan dalam beberapa kasus, pikiran bawah sadar bisa membuat keputusan kompleks lebih baik daripada pikiran sadar, misalnya ketika banyak variabel yang harus dipertimbangkan​.

Secara keseluruhan, psikologi kognitif modern mengakui peran dominan cognitive unconscious – proses kognitif bawah sadar – dalam kehidupan mental kita sehari-hari.

Temuan dari Neurosains

Neurosains eksperimental memberikan bukti kuat bahwa tindakan kita sering dimulai secara tidak sadar sebelum kita sadar akan niat tersebut. Eksperimen terkenal oleh Libet dkk (1983) menunjukkan bahwa sinyal otak untuk gerakan, muncul ratusan milisekon sebelum subjek melaporkan keputusan sadar untuk bergerak.

Libet dkk mencatat potensi kesiapan (readiness potential) di otak mendahului kesadaran niat sekitar 350 ms secara rata-rata​. Disimpulkan bahwa inisiasi gerakan volunter dapat dimulai secara tidak sadar, memberi batasan pada peran kemauan sadar dalam mengendalikan tindakan.

Temuan ini diperkuat oleh studi fMRI yang lebih mutakhir. Soon dkk (2008) meminta partisipan memilih menekan tombol dengan tangan kiri/kanan secara bebas; hasil pemindaian menunjukkan pola aktivitas di korteks frontoparietal yang mengungkap pilihan peserta hingga 7–10 detik sebelum mereka menyadari keputusan tersebut​.

Dengan kata lain, peneliti bisa memprediksi keputusan jauh sebelum subjek merasa telah memutuskannya. Ini menunjukkan jaringan otak bawah sadar menyiapkan dan pada praktiknya “mengambil keputusan” terlebih dahulu, baru kemudian pikiran sadar mengetahuinya. Contoh lain adalah fenomena klinis seperti blindsight, di mana pasien buta secara sadar masih dapat tanpa sadar merespons rangsang visual. Kasus-kasus ini semuanya mendukung ide bahwa sebagian besar aktivitas otak yang menentukan persepsi maupun perilaku terjadi di luar ranah sadar.

Kritik dan Nuansa

Meskipun banyak ahli setuju bahwa pikiran bawah sadar memegang peran sangat besar, angka spesifik seperti “95% vs 5%” bukanlah ukuran yang pasti dan universal. Beberapa pakar menyebut angka itu lebih bersifat kiasan untuk menekankan dominasi proses tak sadar, daripada hasil pengukuran presisi​.

Dr. Emmanuel Donchin (Univ. of Illinois) misalnya, berkomentar bahwa porsi aktivitas kognitif yang tidak disadari itu “sangat besar, secara kiasan mungkin 99 persen; dan kita mungkin tidak akan pernah tahu secara tepat berapa banyak yang berada di luar kesadaran”.

Jadi, Donchin mengakui dominasi pikiran tidak sadar namun juga menekankan ketidakpastian angka pastinya. Para ilmuwan umumnya sepakat bahwa sebagian besar proses neurologis memang berjalan otomatis. Contoh konkritnya: pengaturan napas, detak jantung, emosi spontan, pemahaman bahasa secara intuitif, dll, terjadi tanpa kontrol pikiran sadar​.

Selain itu, penting diingat bahwa kendali bawah sadar yang dominan tidak berarti pikiran sadar tidak penting. Pikiran sadar – meski kecil kapasitasnya – berperan unik dalam penalaran abstrak, perencanaan jangka panjang, belajar hal baru, dan terutama dalam memodifikasi kebiasaan atau respons otomatis kita. Contohnya, terapi kognitif menunjukkan bahwa dengan upaya sadar berulang (misalnya mengganti self-talk negatif), seseorang dapat secara perlahan mengubah keyakinan bawah sadarnya. Jadi, pikiran sadar bisa dianggap “pengarah” yang lambat tapi mampu mengubah jalannya “kapal besar” bawah sadar.

Kesimpulan

Berbagai penelitian lintas bidang cenderung mendukung premis dasar bahwa bagian terbesar dari aktivitas mental dan kontrol perilaku kita bersifat tidak disadari. Bukti eksperimental dari hipnosis (mis. fenomena “hidden observer” Hilgard dan penghilangan efek Stroop oleh sugesti) hingga psikologi kognitif (pemrosesan otomatis, bias implisit, kapasitas perhatian sangat terbatas) dan neurosains (keputusan yang dicetuskan otak sebelum sadar, dll.) konsisten menunjukkan dominannya peran pikiran bawah sadar.

Namun, klaim numerik seperti “hanya 5-10% dikendalikan pikiran sadar” perlu dipandang sebagai perkiraan kasar yang menggambarkan skala perbandingan, bukan nilai eksak yang mudah diukur​.

Para ahli sepakat bahwa sebagian besar dari diri kita memang dijalankan oleh proses di luar kesadaran, tapi menekankan bahwa pikiran sadar tetap memiliki fungsi penting dan dapat memengaruhi pikiran bawah sadar melalui introspeksi, pembelajaran, dan intervensi psikologis.

Dengan kata lain, “autopilot” bawah sadar kita mungkin mendominasi sehari-hari, tetapi kemudi masih dapat dipegang dan diarahkan oleh kesadaran ketika diperlukan – meskipun upaya sadar itu sering harus berulang dan intens untuk mengubah arah kebiasaan bawah sadar yang sudah tertanam. Semua temuan ini memperkaya pemahaman kita tentang hubungan kompleks antara pikiran sadar dan bawah sadar, serta mengingatkan kita untuk tidak menyepelekan peran masing-masing.

 

 

Baca Selengkapnya
Jika Tidak Rusak, Jangan Perbaiki
18 Februari 2025

Saya cukup sering dihubungi oleh orang tua yang bertanya, "Pak Adi, saya sekarang sadar bahwa cara saya mendidik anak selama ini ternyata salah. Saya dulu keras terhadap anak saya. Sekarang saya khawatir apa yang saya lakukan di masa lalu mengakibatkan trauma pada dirinya. Apa yang harus saya lakukan untuk bisa membantu anak saya?"

Saya pun menanyakan, "Bagaimana kondisi anak Ibu saat ini? Apakah ada masalah dalam aspek perilaku atau emosinya?"

"Oh, anak saya baik-baik saja, Pak. Namun, saya khawatir ia mengalami trauma akibat tindakan atau sikap saya di masa lalu. Apa bisa Pak Adi membantu melihat anak saya, dan bila perlu, melakukan terapi agar ia bisa berkembang secara optimal?" jawab Ibu tersebut penuh harap.

Sahabat, apa yang sebaiknya dilakukan terhadap anak ini? Apakah saya perlu melakukan observasi dan menerapi anak tersebut, ataukah tidak perlu ditangani?

Saya menjelaskan kepada Ibu tersebut bahwa jika kondisi anaknya baik-baik saja, maka tidak ada alasan untuk khawatir berlebihan. Terlepas dari apa yang pernah dialami di masa lalu, yang perlu dilakukan saat ini adalah mengubah cara mendidik dan memperlakukan anaknya dengan lebih baik.

Tidak semua pengalaman yang dianggap "buruk" menyebabkan trauma atau berdampak negatif pada anak.

 

Definisi Trauma

Menurut American Psychological Association (APA), trauma didefinisikan sebagai respons emosional terhadap peristiwa mengerikan, seperti kecelakaan, kejahatan, atau bencana alam. Reaksi awal dapat berupa syok dan penyangkalan, sementara respons jangka panjang dapat mencakup emosi yang tidak terduga, kilas balik, hubungan yang tegang, serta gejala fisik seperti sakit kepala atau mual.

APA juga mengategorikan trauma ke dalam tiga jenis utama:

- Trauma akut: Terjadi akibat satu peristiwa yang sangat mengganggu.

- Trauma kronis: Timbul akibat paparan berulang dan berkepanjangan terhadap peristiwa yang sangat stres, seperti pelecehan anak, perundungan, atau kekerasan dalam rumah tangga.

- Trauma kompleks: Melibatkan paparan terhadap beberapa peristiwa traumatis.

Selain itu, ada juga trauma sekunder atau vicarious trauma, yang terjadi ketika seseorang mengalami gejala trauma akibat kontak erat dengan individu yang mengalami peristiwa traumatis. Hal ini umum terjadi pada anggota keluarga, profesional kesehatan mental, dan orang-orang yang merawat individu yang terdampak trauma.

Saya mendefinisikan trauma sebagai jejak atau rekaman peristiwa masa lalu yang mengandung emosi negatif intens dan tersimpan dalam memori pikiran bawah sadar (PBS).

Emosi yang muncul dari suatu peristiwa sepenuhnya bergantung pada makna yang diberikan terhadap kejadian tersebut, baik secara sadar, tidak sadar, maupun makna yang berasal dari orang lain.

Trauma terbentuk ketika seseorang mengalami peristiwa yang melampaui kapasitas mental dan emosionalnya untuk mengatasinya saat itu. Keberadaan trauma dapat memicu terbentuknya program negatif dalam pikiran bawah sadar, yang pada akhirnya memengaruhi pola pikir, emosi, dan perilaku seseorang dalam jangka panjang.

Trauma bukan hanya berasal dari kejadian besar atau ekstrem, tetapi juga bisa muncul dari pengalaman yang tampaknya sepele namun memiliki dampak emosional mendalam bagi individu.

Saya menjelaskan kepada Ibu ini bahwa kami, para hipnoterapis AWGI, bekerja berdasarkan protokol spesifik dengan proses dan alur yang logis. Kami memanfaatkan gejala (simtom) sebagai titik awal penelusuran untuk mencari dan menemukan akar masalah di PBS klien.

Kami tidak dapat dan tidak diperbolehkan untuk melakukan ramalan atau analisis hanya berdasarkan informasi kejadian masa lalu seseorang dan kemudian memprediksi dampaknya terhadap kehidupan mereka saat ini.

Sebagai contoh:

Jika seseorang pernah mengalami perundungan, pelecehan, kehilangan orang yang dikasihi, penolakan, atau bahkan hampir diaborsi, apakah pengalaman ini pasti berdampak buruk terhadap kehidupannya?

Jawabannya adalah bisa ya, bisa tidak.

Dampak dari pengalaman masa lalu sangat bergantung pada individu itu sendiri, dukungan keluarga, makna yang ia berikan terhadap kejadian tersebut, serta faktor-faktor lainnya.

Tidak selalu individu yang mengalami kejadian "buruk" pasti mengalami trauma.

Bila hipnoterapis secara sengaja menggali informasi tentang kejadian traumatis di masa lalu klien dan kemudian memprediksi dampak negatifnya terhadap kehidupan klien, ini sangat berisiko dan tidak etis.

Hal ini dapat menyebabkan imprint negatif yang berpotensi menciptakan masalah baru yang sebelumnya tidak ada. Fenomena ini dikenal sebagai implan sugesti negatif, di mana klien mengalami masalah karena percaya bahwa dirinya memang bermasalah setelah mendengar pernyataan dari hipnoterapis.

 

Hubungan ACEs dan Kesehatan Mental di Masa Dewasa

Penelitian telah menunjukkan bahwa Adverse Childhood Experiences (ACEs)—pengalaman traumatis pada masa kanak-kanak—memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan mental dan emosional seseorang di masa dewasa.

Berbagai studi mengindikasikan bahwa individu yang mengalami ACEs, seperti pelecehan atau kekerasan, memiliki risiko lebih tinggi untuk menghadapi berbagai masalah psikologis saat dewasa.

Benar, banyak penelitian menunjukkan bahwa pengalaman buruk di masa lalu dapat berdampak pada kualitas hidup individu.

Namun, saya belum pernah menemukan hasil penelitian yang secara tegas menyatakan bahwa seseorang yang mengalami kejadian X di masa kecil pasti akan mengalami kondisi Y saat dewasa.

Trauma dapat bermanifestasi melalui berbagai gejala emosional dan fisik, dengan dampak yang bervariasi pada setiap individu. Jika gejala trauma terus berlanjut atau mengganggu kehidupan sehari-hari, disarankan untuk mencari bantuan profesional, salah satunya hipnoterapis.

 

Proses Penyembuhan Trauma dengan Hipnoterapi

Penyembuhan trauma dengan hipnoterapi adalah metode yang sangat cepat, efektif, dan tuntas dengan menggunakan hipnoanalisis.

Proses ini mencakup:

- Identifikasi akar masalah: Menggali penyebab trauma yang tersimpan dalam pikiran bawah sadar.

- Reaktivasi ingatan traumatis dalam kondisi aman: Memunculkan kembali pengalaman masa lalu tanpa menyebabkan penderitaan ulang.

- Restrukturisasi makna atau emosi yang terkait dengan pengalaman tersebut: Mengubah persepsi individu terhadap peristiwa traumatis agar tidak lagi menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan mereka.

Trauma bukan sesuatu yang harus diprediksi, tetapi harus ditangani jika sudah menimbulkan dampak negatif yang nyata dalam kehidupan seseorang.

Oleh karena itu, jika anak baik-baik saja, tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan. Fokuslah untuk memberikan pola asuh yang lebih baik di masa kini daripada terlalu terjebak dalam rasa bersalah terhadap masa lalu.

Baca Selengkapnya
Neurofisiologi Hipnosis: Wawasan dan Temuan Terbaru
11 Februari 2025

Hipnosis menarik minat dan perhatian khalayak karena proses dan fenomenanya sering tidak dimengerti, seolah diliputi misteri dan berhubungan dengan praktik supranatural. Padahal, hipnosis sebenarnya merupakan salah satu pendekatan psikoterapi tertua di dunia Barat yang kini telah diperkaya dengan pemahaman modern tentang hubungan antara fungsi otak dan kemampuan individu dalam mengelola proses fisiologis, seperti pengendalian rasa sakit, kecemasan, dan dampak penyakit tertentu (Spiegel, 2013).

 

Definisi dan Proses Hipnosis

Kata "hipnosis" mencakup spektrum luas fenomena yang ditandai oleh respons terhadap sugesti untuk memodulasi sensasi, gambaran, perilaku, emosi, dan makna dari pengalaman yang sedang dialami klien pada saat itu (Casula, 2018).

Hipnosis adalah kondisi kesadaran bercirikan pikiran sadar rileks, fungsi kritis analitis pikiran sadar menurun, disertai meningkatnya fokus dan konsentrasi, sehingga individu menjadi sangat responsif terhadap pesan atau informasi yang diberikan kepada pikiran bawah sadar (Gunawan, 2009).

Dalam kondisi hipnosis, terjadi perubahan aktivitas mental basal yang dipicu melalui prosedur induksi, yang terdiri dari instruksi verbal dan sugesti (Wawrziczny; Buquet; Picard, 2021). Klien mengalami penurunan pemikiran spontan dan kurangnya perhatian terhadap rangsangan luar, sambil fokus pada prosedur yang sedang dilakukan (Wawrziczny; Buquet; Picard, 2021).

Induksi ini menghasilkan keadaan relaksasi mendalam dan fokus yang intens. Hipnosis bukanlah keadaan tidur, melainkan kondisi kesadaran yang berubah (altered state of consciousness), di mana pikiran menjadi lebih terbuka terhadap sugesti. Ada berbagai teknik untuk menginduksi keadaan ini, seperti pemfokusan pandangan, sugesti verbal, dan visualisasi (Spiegel, 2013).

 

Komponen Utama Hipnosis

Hipnosis memiliki beberapa komponen utama:

- Absorpsi (absorption): Kemampuan atau kecenderungan untuk sepenuhnya terlibat dalam pengalaman perseptif, imajinatif, atau ideasional (Vanhaudenhuyse; Laureys; Faymonville, 2014).

- Keadaan sesadaran yang berubah (altered state of consciousness): Selama berada dalam kondisi hipnosis, individu berada dalam keadaan kesadaran yang dimodifikasi. Keadaan ini dapat berkisar dari relaksasi ringan hingga kondisi trance yang lebih dalam, di mana pikiran menjadi lebih reseptif terhadap sugesti.

Hipnosis diketahui dapat memicu perubahan kesadaran, yang terwujud melalui penyesuaian dalam aspek kesadaran diri fenomenal, seperti meningkatnya kemudahan mental (aliran pikiran yang terjadi secara alami), absorpsi, berkurangnya orientasi pada diri sendiri, dan otomatisasi (respons yang terjadi tanpa usaha atau pertimbangan sadar) (Vanhaudenhuyse; Laureys; Faymonville, 2014).

- Disosiasi (dissociation): Pemisahan mental dari komponen pengalaman yang biasanya diproses secara bersamaan (Vanhaudenhuyse; Laureys; Faymonville, 2014).

Studi neurobiologis menunjukkan bahwa keadaan disosiasi yang dipicu oleh hipnosis menciptakan kerenggangan konektivitas antara proses eksekutif dan proses pemantauan, sehingga memungkinkan sugesti melewati proses pengawasan dan bertindak langsung pada sistem eksekutif (Wawrziczny; Buquet; Picard, 2021). Akses ini ke sumber daya bawah sadar memungkinkan perubahan dilakukan sesuai dengan tujuan terapeutik yang ditetapkan oleh individu (Wawrziczny; Buquet; Picard, 2021).


Dua Jenis Penelitian Hipnosis

Sepanjang abad ke-20, hipnosis semakin mendapatkan pengakuan di komunitas ilmiah, dengan berbagai penelitian yang mengeksplorasi mekanisme dan aplikasi klinisnya. Hipnosis telah digunakan untuk mengatasi masalah emosi dan perilaku seperti trauma, fobia, kecanduan, dan gangguan psikologis lainnya, serta gangguan psikosomatis. Penelitian terkini tentang hipnosis terbagi ke dalam dua bidang utama.

Bidang pertama adalah penelitian intrinsik, yang berfokus pada penyelidikan hipnosis itu sendiri tanpa pengaruh sugesti tertentu, yang disebut sebagai "hipnosis netral" atau "hipnosis standar". Bidang ini mengeksplorasi mekanisme neurofisiologis yang mendasari pengalaman hipnosis dalam konteks dinamis (De Benedittis, 2015).

Bidang kedua adalah penelitian instrumental, atau studi ekstrinsik, yang melibatkan penggunaan hipnosis dan sugesti untuk mempelajari berbagai proses kognitif dan emosional, serta untuk menyelidiki korelasi neurodinamis dalam psikoterapi. Selain itu, hipnosis digunakan untuk menciptakan "analog virtual" dari kondisi neurologis dan psikopatologis, dengan tujuan memahami dasar-dasar kondisi tersebut secara lebih baik dan pada akhirnya meningkatkan cara penanganannya (De Benedittis, 2015).


Neurofisiologi Hipnosis

Penelitian dalam bidang neurofisiologi hipnosis terus berkembang dengan memanfaatkan teknik pencitraan saraf (neuroimaging) seperti functional magnetic resonance imaging (fMRI), positron emission tomography (PET Scan), fNIRS (near-infrared spectroscopy), SPECT (single photon emission computed tomography), CT (computed tomography), dan electroencephalography (EEG) untuk memetakan perubahan fungsional, metabolik, dan struktural di otak selama proses hipnosis (Wolf et al., 2022).

Studi-studi ini membantu memahami mekanisme yang mendasari hipnosis dan potensinya dalam terapi, meskipun masih banyak yang perlu dieksplorasi untuk memperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh dan mendalam mengenai proses neurofisiologis ini (Vanhaudenhuyse; Laureys; Faymonville, 2014).

Beberapa aspek neurofisiologis hipnosis meliputi (Vanhaudenhuyse; Laureys; Faymonville, 2014; Wolf et al., 2022):

- Modulasi aktivitas korteks prefrontal: Selama hipnosis, terjadi modulasi aktivitas di korteks prefrontal, area otak yang terlibat dalam penilaian, pengambilan keputusan, dan kesadaran diri. Pengurangan aktivitas ini dapat menjelaskan penangguhan sementara penilaian kritis dan peningkatan penerimaan terhadap sugesti.

- Peningkatan konektivitas fungsional: Studi neuroimaging menunjukkan peningkatan konektivitas fungsional antara berbagai area otak selama trance hipnosis. Ini menunjukkan komunikasi antararea otak yang lebih efisien, yang dapat memfasilitasi respons terhadap sugesti dan perubahan dalam pemrosesan kognitif.

- Perubahan persepsi sensori dan kontrol nyeri: Selama hipnosis, terdapat bukti modulasi persepsi sensorik, terutama dalam kaitannya dengan kontrol nyeri. Hipnosis dapat memengaruhi area otak yang terkait dengan persepsi nyeri, yang mengarah pada pengurangan intensitas nyeri yang dirasakan.

- Aktivasi area otak terkait imajinasi dan kontrol motorik: Selama hipnosis, area otak yang terlibat dalam imajinasi dan kontrol motorik tampak aktif. Ini dapat menjelaskan kemampuan individu dalam kondisi trance hipnosis untuk merespons sugesti untuk melakukan tindakan motorik tertentu atau membayangkan pengalaman tertentu.

 

Perubahan Persepsi dan Aktivitas Otak Akibat Hipnosis

Perubahan persepsi akibat hipnosis disertai dengan perubahan nyata di korteks sensorik yang relevan, serta pada area otak yang terlibat dalam pemantauan konteks (girus cingulate anterior dorsal) dan fungsi eksekutif (DLPFC). Hipnosis mengubah sensasi, bukan hanya respons terhadap rangsangan sensorik, sehingga menjadi alat yang kuat untuk memodulasi rasa sakit dan kecemasan (Spiegel, 2013).

Hipnosis memengaruhi kerja otak sehingga "attractor", pola aktivitas skala besar yang sangat sinkron, tidak dapat berkembang. Akibatnya, pengalaman sadar tentang gejala tertentu tidak muncul. Hipnosis menghambat proses ini dengan memodulasi berbagai mekanisme neurokognitif pada area kortikal dan subkortikal pasien (Bastek; van Vliet, 2023).

Hipnosis juga dikaitkan dengan perubahan aktivitas metabolik otak dan perfusi otak di berbagai area (Cheseaux; de Saint Lager; Walder, 2014). Neurosains kognitif mendukung hal ini dengan menunjukkan bahwa proses bawah sadar memengaruhi perilaku atau kesadaran (Weinberger; Brigante; Nissen, 2022).

 

𝐏𝐞𝐫𝐮𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐅𝐮𝐧𝐠𝐬𝐢 𝐎𝐭𝐚𝐤 𝐒𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚 𝐇𝐢𝐩𝐧𝐨𝐬𝐢𝐬

Selama hipnosis, terjadi perubahan fungsi otak, terutama di area yang terkait dengan perhatian, kesadaran, persepsi, dan kendali kognitif. Serangkaian studi yang berkembang menunjukkan bahwa pola osilasi otak yang berbeda terkait dengan respons terhadap hipnosis dan sugesti yang diberikan.

Secara khusus, hipnosis dikaitkan dengan peningkatan osilasi, sementara respons hipnosis terkait dengan perubahan pola osilasi gamma. Perubahan ini dapat berupa peningkatan, penurunan, atau modifikasi waktu osilasi gamma, tergantung pada beberapa faktor, termasuk sugesti yang diberikan selama hipnosis.

Osilasi gamma akan terlibat dalam pencatatan dan pengingatan memori deklaratif, yang berperan penting dalam beberapa respons hipnosis, menunjukkan adanya hubungan antara sirkuit limbik dan neokortikal (Jensen; Adachi; Hakimian, 2015).

Meskipun aktivitas di area otak tertentu (misalnya, korteks cingulate anterior, korteks prefrontal, dan insula) sering dilaporkan dalam studi pencitraan fungsional tentang hipnosis, terdapat beberapa perbedaan terkait peran spesifik area otak ini. Hal ini dapat disebabkan oleh variasi dalam instruksi hipnosis, konteks eksperimen, kekuatan studi, dan/atau sumber metodologi lainnya (DeSouza et al., 2020).

 

Peran Neurotransmiter dalam Hipnosis

Beberapa penelitian telah mulai memperjelas berbagai komponen sugestibilitas hipnotik serta mekanisme neurofisiologis dan neuropsikologis yang terlibat.

Neurotransmiter yang dianggap paling berperan dalam sugestibilitas hipnotik adalah dopamin, sementara studi farmakologis dengan psikotropika menunjukkan bahwa serotonin dapat meningkatkan sugestibilitas hipnotik (De Benedittis, 2021).

Respons hipnotik, di sisi lain, diduga dimediasi oleh glutamat, sedangkan asam gamma-aminobutirat (GABA), neurotransmiter penghambat yang dominan di otak, dikaitkan dengan sugestibilitas. GABA terlibat dalam respons hipnotik, sehingga semakin tinggi tingkat hipnotisabilitas seseorang, semakin tinggi konsentrasi GABA-nya (DeSouza et al., 2020).

Bukti yang tersedia terkait aksi oksitosin masih kontradiktif, meskipun diketahui bahwa oksitosin terlibat dalam berbagai domain psikologis (misalnya, perilaku sosial, empati) (De Benedittis, 2021).

Interaksi yang kompleks antara neurotransmiter dan neuromodulator serta variabel lainnya, termasuk kualitas desain eksperimen yang kurang baik, di antara faktor lain, merupakan isu-isu yang memengaruhi pemahaman menyeluruh mengenai mekanisme kerja yang terlibat dalam hipnosis (De Benedittis, 2021).

Penting untuk dicatat bahwa interpretasi yang tepat mengenai proses neurofisiologis ini dapat bervariasi antarstudi dan masih menjadi perdebatan dalam komunitas ilmiah.

Hipnosis adalah alat yang kuat dalam modifikasi kesadaran, yang memungkinkan klien mengakses sumber daya bawah sadar mereka untuk mencapai perubahan terapeutik. Dengan kemajuan teknologi neuroimaging dan penelitian terkini, pemahaman kita tentang hipnosis terus berkembang, membuka peluang baru untuk aplikasi klinis di masa depan yang lebih berdaya guna.

Baca Selengkapnya
Protokol Hipnoterapi AWGI Divalidasi Temuan Modern Neurosains
4 Februari 2025
Sejawat hipnoterapis AWGI, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ., membagikan, di grup Hipnoterapis AWGI, artikel jurnal berjudul: Memory Reconsolidation and the Crisis of Mechanism in Pyschotherapy (Rekonsolidasi Memori dan Krisis Mekanisme dalam Psikoterapi) oleh Bruce Ecker dan Alexander Vaz. 
 
Artikel setebal 11 halaman ini membahas rekonsolidasi memori, sangat sejalan, dan memvalidasi proses dan hasil terapi yang telah dilakukan oleh para hipnoterapis AWGI selama ini.
 
Selama ini, kami berhasil membantu klien mengatasi masalah emosi dan/atau perilaku dalam waktu relatif singkat—rata-rata hanya dalam satu atau dua sesi. Dari sudut pandang ilmu pikiran, kami memahami dengan jelas mengapa terapi yang kami lakukan dapat menghasilkan dampak terapeutik yang signifikan seperti ini.
 
Hipnoterapi yang dipraktikkan oleh para hipnoterapis AWGI berfokus pada perubahan transformasional (transformational change), bukan sekadar perubahan bertahap (incremental change).
 
Protokol hipnoterapi AWGI, khususnya pendekatan Dual Layer Therapy, selaras dengan konsep Empirical Confirmation Process of Annulment (ECPA) yang dijelaskan dalam artikel ini, disusun berdasar teori, pemikiran para pakar, teknik dan strategi yang telah teruji dan terbukti efektif, dan diperkuat dengan temuan penting di ruang praktik kami.
 
Berikut ini ringkasan dari artikel Memory Reconsolidation and the Crisis of Mechanism in Pyschotherapy:
 
Artikel ini membahas tantangan dalam memahami mekanisme internal perubahan terapeutik yang bertahan lama dalam psikoterapi. Meskipun penelitian selama beberapa dekade menunjukkan efektivitas psikoterapi, belum ada mekanisme internal yang secara empiris diidentifikasi sebagai penyebab utama perubahan tersebut.
 
1. Tantangan dalam Mengidentifikasi Mekanisme Perubahan
 
Banyak pendekatan dalam psikoterapi menghasilkan hasil yang positif, tetapi hubungan kausal antara teknik yang digunakan dan perubahan yang terjadi masih belum dapat dipastikan secara ilmiah. Penelitian sebelumnya lebih bersifat korelasional, bukan kausal, sehingga belum mampu menjelaskan secara pasti bagaimana terapi bekerja.
 
2. Peran Memory Reconsolidation (MR) dalam Psikoterapi 
 
Memory Reconsolidation (MR) adalah mekanisme neurobiologis yang memungkinkan revisi mendalam terhadap memori emosional yang tersimpan di otak subkortikal.
 
MR mampu "menghapus" atau meniadakan pembelajaran emosional yang tidak diinginkan, sehingga memberikan kemungkinan perubahan yang lebih permanen dibandingkan dengan pendekatan psikoterapi lainnya.
 
MR membutuhkan pengalaman tertentu agar proses ini dapat terjadi, terutama pengalaman yang menantang atau bertentangan dengan keyakinan atau memori emosional sebelumnya.
 
3. Perbedaan antara Perubahan Bertahap dan Transformasional
 
Perubahan Bertahap (Incremental Change): Perubahan psikoterapi yang terjadi secara perlahan dan memerlukan usaha berulang, sering kali rentan terhadap kambuh (relapse).
 
Perubahan Transformasional: Perubahan yang mendadak dan permanen di mana gejala atau pola perilaku negatif benar-benar lenyap tanpa perlu upaya berkelanjutan.
 
4. Empirical Confirmation Process of Annulment (ECPA)
 
ECPA adalah proses berbasis MR yang dapat menghapus pembelajaran emosional dengan mengaktifkan pengalaman yang bertentangan dengan keyakinan lama seseorang.
 
Proses ini terdiri dari tiga tahapan:
1. Mengaktifkan kembali pembelajaran emosional lama.
2. Menghadapkan individu pada pengalaman yang bertentangan (prediction error).
3. Mengulang pengalaman ini untuk menulis ulang atau menghapus pembelajaran lama.
 
Studi laboratorium telah menunjukkan bahwa pengalaman ini bisa menghilangkan respons emosional negatif secara permanen.
 
5. Dampak terhadap Psikoterapi
 
Jika mekanisme MR melalui ECPA dikonfirmasi secara empiris dalam sesi terapi, ini akan menjadi terobosan dalam memahami bagaimana psikoterapi menghasilkan perubahan yang langgeng.
 
MR dapat menyatukan berbagai pendekatan terapi yang saat ini terfragmentasi dengan memberikan mekanisme umum bagi perubahan terapeutik.
 
Kesimpulan
 
Penelitian tentang Memory Reconsolidation berpotensi menjelaskan mekanisme perubahan dalam psikoterapi yang selama ini belum ditemukan.
 
Dengan membuktikan bahwa MR adalah penyebab utama perubahan terapeutik, efektivitas psikoterapi dapat ditingkatkan, dan pendekatan yang berbeda dapat disatukan dalam kerangka kerja yang lebih jelas.
 
Jika studi klinis dapat mengonfirmasi bahwa ECPA terjadi sebelum perubahan transformasional, maka hal ini akan menjadi landasan baru dalam ilmu psikoterapi.
 
Baca Selengkapnya