The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Subliminal Message: Efektif atau Tidak?

11 Juni 2020

Perubahan adalah keniscayaan. Untuk berubah, khususnya menjadi lebih baik, dapat digunakan banyak pendekatan, strategi, teknik, cara. Salah satu teknik yang cukup banyak diklaim sangat efektif untuk memengaruhi atau mengubah perilaku adalah subliminal message atau pesan subliminal. 

Makna dari subliminal, dalam konteks stimulus atau proses mental, adalah di bawah ambang absolut persepsi atau kesadaran, atau sesuatu yang dirasakan oleh atau memengaruhi pikiran seseorang tanpa mereka sadari.

Subliminal message atau pesan subliminal adalah stimuli yang berada di bawah ambang batas persepsi atau kesadaran sehingga tidak disadari secara sadar. Stimuli ini tidak dapat diketahui keberadaannya walau seseorang berusaha atau sengaja memerhatikan atau mencarinya.

Ini berbeda dengan pesan supraliminal. Pesan supraliminal adalah stimuli yang berada di atas ambang batas persepsi atau kesadaran sehingga dapat didengar atau dilihat, namun tidak diperhatikan sehingga tidak disadari, dan berpengaruh pada diri seseorang. Contoh pesan supraliminal adalah pengelola pusat perbelanjaan memutar lagu-lagu gembira dengan tujuan memengaruhi hasrat belanja pengunjung.

Konsep pesan subliminal mulai dikenal sejak tahun 1957, saat James McDonald Vicary, psikolog sosial dan peneliti pemasaran, menyatakan telah melakukan percobaan melibatkan 45.699 penonton bioskop di New Jersey.

Dalam percobaan ini, sepanjang pemutaran film, berulang kali ditampilkan tulisan “Hungry”, "Eat Popcorn" dan "Drink Coke" di layar dengan kecepatan sangat tinggi, 3 milidetik, dengan tujuan meningkatkan penjualan Coca-cola dan popcorn. Vicary mengklaim bahwa percobaan ini berhasil meningkatkan penjualan Coca-cola sebesar 18,1% dan popcorn 57,5%.

Investigasi terhadap klaim ini menemukan bahwa Vicary tidak pernah melakukan percobaan seperti yang ia nyatakan. Dengan kata lain, Vicary telah melakukan pembohongan publik.

Vicary kemudian menarik kembali klaimnya, dalam sebuah wawancara televisi, namun klaim awal Vicary, yang menyatakan keefektifan pesan subliminal memengaruhi perilaku, menyebar dengan cepat dan mengarah pada penerimaan luas pada pesan subliminal, bahkan hingga hari ini. (O'Barr 2005). Klaim Vicary ternyata tidak berdasar dan ia tidak pernah bisa mencipta hasil eksperimen yang sama (Elgendi dkk, 2018). 

 

Jenis Pesan Subliminal

Ilmu pengetahuan modern menemukan terdapat 37 input sensori yang terbagi menjadi tujuh kategori: visual, auditori, taktil (sentuhan), penciuman (rasa), gustatori (bau), vestibular (keseimbangan dan gerakan) dan proprioception (kesadaran tubuh). Dari tujuh kategori ini, input visual mendominasi persepsi kita.  

Pesan subliminal secara khusus menarget dua indera sebagai pintu masuk informasi: visual dan auditori. Pesan subliminal visual ada dua jenis : subvisual dan embeds. Demikianlah halnya dengan pesan subliminal auditori juga ada dua jenis: subaudible dan backmasking.

Pesan subvisual berupa informasi visual yang dipaparkan dengan sangat cepat ke mata penonton, hanya dalam milidetik, sehingga keberadaannya tidak sepenuhnya disadari pikiran sadar (PS), namun dapat ditangkap oleh pikiran bawah sadar (PBS)

Embeds adalah gambar statis yang disematkan, secara tersamar, pada gambar atau lingkungan visual yang tidak berubah. Ia ada di depan mata namun tidak disadari keberadaannya secara sadar. Embeds sering digunakan di iklan cetak untuk meningkatkan penjualan produk.

Pesan subaudible adalah informasi dalam bentuk suara bervolume rendah yang ditumpangkan pada suara yang lebih keras, sehingga pesan ini diterima pikiran tanpa disadari. Seiring kemajuan teknologi audio digital saat ini, rekaman bisa dilakukan multi-track atau banyak jalur dan menggunakan musik binaural, sehingga semakin mampu menyamarkan atau menyembunyikan pesan yang disampaikan ke PBS.

Backmasking adalah teknik rekaman audio di mana suara atau pesan tertentu sengaja direkam arah mundur, dengan tujuan saat trek musik dimainkan secara normal, arah maju, pesan melalui pembalikan fonetik ini tidak terdeteksi. Teknik backmasking dipopulerkan The Beatles di tahun 1966 setelah meluncurkan album “Revolver”.

 

Pesan Subliminal Menurut Perspektif Hipnoterapi Klinis

Pikiran, dalam ilmu hipnoterapi klinis, terdiri atas dua bagian: pikiran sadar (PS) dan pikiran bawah sadar (PBS). PS memiliki fungsi, antara lain, berpikir kritis logis, menimbang, membandingkan informasi, dan memutuskan. Sementara PBS memiliki fungsi, antara lain, sebagai tempat memori jangka panjang, kepercayaan (belief), kebiasaan, dan emosi. Kekuatan PS dan PBS dalam memengaruhi dan mengendalikan diri individu adalah 1 berbanding 99. Dengan demikian, upaya perubahan maksimal hanya bisa terjadi dengan cepat dan pasti saat perintah perubahan ini berhasil masuk atau dimasukkan ke PBS (Gunawan, 2016).

Setiap data atau informasi yang akan masuk ke PBS, dalam kondisi normal, selalu terlebih dahulu diterima oleh PS. Selanjutnya filter mental PS, atau yang dikenal sebagai faktor kritis (critical factor), melakukan fungsi mengkritisi atau membandingkan data ini dengan data lama yang telah tersimpan di memori PBS. Bila terjadi ketidaksesuaian antara data baru dan data lama, faktor kritis menolak data baru ini dengan tujuan menjaga integritas data lama, sehingga tidak mudah berubah atau diubah (Gunawan, 2005).

Dalam hipnoterapi, dikenal lima cara untuk menembus faktor kritis PS, yaitu menggunakan otoritas, emosi, repetisi, identifikasi, dan kondisi hipnosis atau rileksasi pikiran (sadar).

Penyampaian pesan secara subliminal, yang sebenarnya adalah sugesti, bertujuan menembus faktor kritis pikiran sadar (PS), yang berfungsi menyaring informasi yang akan masuk ke pikiran bawah sadar (PBS), agar leluasa masuk ke PBS, tanpa bisa dihalangi, dan selanjutnya pesan ini memengaruhi atau mengubah perilaku individu.

Pikiran sadar, dengan kemampuannya yang terbatas hanya mampu mengolah 40 bit informasi per detik, tidak mampu mengetahui atau menyadari pesan subvisual, karena pesan ini disampaikan dengan kecepatan sangat tinggi, dan ia juga tidak dapat mendengar subaudible atau sugesti karena tertutup atau tersamarkan oleh suara (musik) yang lebih keras.

Pikiran bawah sadar, dengan kemampuan dan kecepatan pengolahan data yang sangat tinggi, 40 juta bit informasi per detik, mampu menangkap hal-hal yang lepas dari pengamatan atau perhatian PS (Trincker dalam Norrentranders, 1998:126). 

Ditinjau dari proses dan tujuan yang akan dicapai menggunakan pesan subliminal, sejatinya teknik ini sama dengan upaya memasukkan sugesti ke PBS, untuk memengaruhi atau mengubah perilaku seseorang, atau bertujuan terapeutik.

Beda antara teknik berbasis pesan subliminal dan teknik hipnoterapi, pesan atau sugesti yang disampaikan dengan teknik subliminal tidak disadari atau diketahui oleh penerima, baik ia dalam kondisi sadar normal atau dalam kondisi hipnosis. Sementara dalam hipnoterapi, pesan atau sugesti yang disampaikan oleh terapis dapat didengar oleh pikiran sadar klien, walau mereka dalam kondisi hipnosis (sangat) dalam.

Saat sugesti yang disampaikan dengan pesan subliminal berhasil menembus faktor kritis PS dan masuk ke PBS, tidak berarti informasi ini serta merta diterima sepenuhnya dan dijalankan PBS sehingga memengaruhi individu. Dalam PBS terdapat 4 (empat) filter mental yang berfungsi sebagai benteng perlindungan terakhir sebelum suatu informasi benar diterima dan dijalankan sepenuhnya oleh PBS (Gunawan, 2016).

Informasi (sugesti), yang telah berhasil masuk atau dimasukkan ke PBS, oleh 4 filter mental PBS, ditelisik, diuji, dibandingkan dengan data yang telah ada di PBS, menggunakan kriteria tertentu. Bila sugesti ini tidak lolos uji, ia pasti mendapat penolakan dari program pikiran yang telah lebih dulu ada di PBS dalam bentuk sabotase yang menghambat pelaksanaannya. Bentuk penolakan PBS juga bisa berupa perasaan dan atau sensasi fisik tidak nyaman. Bila ia lolos uji, PBS sepenuhnya menjalankan sugesti ini dan perilaku individu berubah.

Penggunaan pesan subliminal untuk mencapai tujuan atau target tertentu juga tidaklah semudah yang dibayangkan atau diyakini banyak orang. Untuk sugesti bisa bekerja mendukung capaian target, misalnya ia telah berhasil masuk dan diterima oleh PBS, individu harus telah memiliki tujuan atau goal.

Dalam hipnoterapi, sugesti terapeutik diberikan dalam bentuk visual, verbal, atau gabungan keduanya, dalam kedalaman hipnosis tertentu. Untuk pemberian sugesti visual, kedalaman hipnosis ideal adalah profound somnambulism. Sementara bila yang diberikan adalah sugesti verbal, kedalaman hipnosis minimal profound somnambulism, dan sangat efektif bila kedalaman yang dicapai klien adalah kedalaman ekstrim, level 35 hingga 39 dari 40 kedalaman pada Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale.

Untuk pesan subliminal bisa benar efektif, selain perlu memerhatikan bentuk sugesti yang digunakan, visual, verbal, atau gabungan keduanya, kedalaman hipnosis, juga perlu diperhatikan struktur kalimat sugestinya. Sugesti verbal perlu disusun secara cermat, terstruktur, sistematis mengikuti 16 (enam belas) aturan menyusun skrip seturut sifat dan cara kerja PBS. Salah satu aturan ini adalah skrip sugesti menggunakan bahasa yang dimengerti klien.  

Mengingat pesan subliminal tidak dapat diketahui bila dicermati dengan pikiran sadar, maka pengguna program audio berbasis pesan subliminal tidak dapat memeriksa kalimat sugesti apa yang masuk ke PBS-nya. Ini cukup riskan karena bisa terjadi skrip sugesti tidak sejalan dengan nilai-nilai kebenaran, moralitas, dan spiritual pengguna.

 

Keefektifan Subliminal Message Menurut Hasil Penelitian

Dari penelusuran artikel-artikel jurnal, ditemukan beberapa hal penting terkait pesan subliminal. Trappey (1996) melakukan meta-analisis atas 23 penelitian terkait penggunaan pesan subliminal dalam memengaruhi pilihan atau perilaku konsumen dan menyatakan:

The meta-analysis of choice and subliminal advertising described in this article provides objective evidence that the effect of subliminal marketing stimuli on influencing consumers’ choice behavior or selection process is negligible.

Meta-analisis dari pilihan dan iklan subliminal yang dijelaskan dalam artikel ini memberikan bukti obyektif bahwa dampak stimuli pemasaran subliminal dalam memengaruhi perilaku pilihan atau proses seleksi konsumen dapat diabaikan.

Menggunakan bahasa yang lebih sederhana, hasil meta-analisis ini menyatakan pesan subliminal tidak efektif dalam memengaruhi konsumen untuk memilih produk tertentu.

Sementara menurut Strahan, Spencer, dan Zanna (2002), pesan subliminal hanya bisa memengaruhi perilaku seseorang bila ia telah memiliki keinginan, dari dirinya sendiri, untuk melakukan perilaku itu. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pesan subliminal agar seseorang minum air hanya efektif bila ia memang dalam keadaan haus. Bagi mereka yang tidak haus, pesan subliminal ini tidak berdampak sama sekali.

Pesan-pesan subliminal tidak dapat mengendalikan perilaku seseorang. Mereka hanya dapat mengarahkan keputusan seseorang, namun tidak bisa mendikte seseorang untuk melakukan sesuatu yang ia tidak ingin lakukan.

Penggunaan pesan subliminal, selain untuk iklan, juga banyak digunakan dalam pengembangan diri, terutama dalam bentuk rekaman audio. Aplikasinya juga sangat beragam, seperti untuk berhenti merokok, menjadi percaya diri, menurunkan berat badan dan langsing, meningkatkan daya ingat, meningkatkan penjualan, menanamkan mindset kaya, mengaktifkan LOA agar bisa cepat menjadi kaya, menjadi magnet uang, dan masih banyak lagi. Setiap produsen audio pesan subliminal selalu mengklaim program audio mereka efektif.

Klaim sepihak, oleh produsen atau penjual, tidak bisa digunakan sebagai acuan menentukan keefektifan audionya. Langkah bijak adalah mengacu pada hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal.

Greenwald, Spangenberg Pratkanis, dan Eskanazi (1991) meneliti keefektifan program pengembangan diri menggunakan rekaman audio berisi pesan subliminal, melibatkan 237 responden. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa program audio pengembangan diri dengan pesan subliminal adalah tidak efektif.  

The experiments described in this report are the most extensive double-blind tests yet conducted of claimed therapeutic effects of audiotapes having sublimi­ nal verbal content. The findings showed clearly that subliminal audiotapes de­ signed to improve memory and to increase self-esteem did not produce effects associated with subliminal content. Pending further double-blind research, it seems most prudent to regard the general class of claims for therapeutic efficacy of subliminal audio content as lacking in empirical foundation.

Eksperimen yang dijelaskan dalam laporan ini adalah tes double-blind paling luas yang pernah dilakukan pada kaset audio, berisi konten subliminal verbal, yang diklaim memiliki efek terapeutik. Temuan menunjukkan dengan jelas bahwa kaset audio subliminal yang dirancang untuk meningkatkan daya ingat dan meningkatkan harga diri tidak menghasilkan efek sejalan dengan konten subliminal. Menunggu penelitian double-blind lebih lanjut, tampaknya paling bijaksana untuk menganggap klaim umum akan kemanjuran konten audio subliminal sebagai kurang memiliki dasar empiris.

 

Meningkatkan Keefektifan Pesan Subliminal

Walau hasil penelitian menyatakan bahwa pesan subliminal hanya dapat memengaruhi namun tidak dapat menentukan atau mendikte perilaku, dan penggunaan pesan subliminal dalam bentuk program audio untuk pengembangan diri tidak efektif, sejatinya pesan subliminal, secara teori, dapat ditingkatkan keefektifannya dengan mengikuti beberapa saran berikut.

Pertama, skrip sugesti yang digunakan dalam pesan subaudible bersifat personal, disusun mengikuti 16 syarat penyusunan skrip yang benar dalam hipnoterapi klinis, dan ditujukan secara spesifik kepada individu tertentu, seturut tujuan atau goal yang hendak dicapainya. Skrip sugesti tidak bisa dibuat menggunakan pendekatan one size fits all yang bersifat umum.

Kedua, individu yang akan menggunakan pesan subliminal untuk mencapai target atau goal tertentu, perlu terlebih dahulu menetapkan goalnya secara SMART: Spesific (spesifik), Measurable (terukur), Achievable (dapat dicapai), Realistic (realistis), Time Bound (ada batas waktu pencapaian).

Selain itu, menurut Locke dan Latham (2002) agar target yang disusun bisa berdampak positif dalam mengubah perilaku dan efektif, ia harus disusun mengikuti enam prinsip penyusunan goal efektif: Specific (spesifik), Challenging (menantang), Long and Short term (jangka panjang dan pendek), Feedback (umpan balik berdasar hasil evaluasi), Commitment (komitmen), dan Appropriateness (kepantasan)

Ketiga, pengguna program audio pesan subliminal perlu mengamati kondisi mental, emosi, dan fisiknya selama dan setelah mendengar program audio. Ini untuk memeriksa dan memastikan PBS menerima atau menolak sugesti yang diberikan.

Bila dari hasil pengamatan ditemukan perasaan atau sensasi tidak nyaman, yang mengindikasikan adanya penolakan PBS, maka perasaan tidak nyaman ini perlu dinetralisir. Bila dari hasil pengamatan ditemukan kondisi yang kondusif, ini menandakan PBS menerima sugesti yang diberikan.

Keempat, paling lama satu minggu setelah program audio pesan subliminal didengarkan, pengguna perlu melakukan evaluasi terhadap kinerja dan capaiannya sebelum dan setelah mendengar audio ini.

Bila belum tercapai hasil seperti yang diinginkan, pilihannya ada dua: melanjutkan mendengarkan audio selama satu minggu dan dilanjutkan dengan evaluasi, atau skrip sugesti disusun ulang atau diganti dengan yang baru.

 

Referensi:

Elgendi, M., Kumar, P., Barbic, S., Howard, N., Abbott, D., and Cichocki, A. (2018). Subliminal Priming—State of the Art and Future Perspectives. Behavioral Sciences, 8, 54.

Greenwald, A. G., Klinger, M. R., & Schuh, E. S. (1995). Activation by marginally perceptible (” subliminal”) stimuli: Dissociation of unconscious from conscious cognition. Journal of Experimental Psychology, 124(1), 22.

Gunawan, A. W. (2005). Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Gunawan, A. W. (2016). Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy Workbook. Surabaya: AWG Institute.

Locke dan Latham (2002). Building a practically useful theory of goal setting and task motivation. A 35-year odyssey. American Psychologist, 57, 705-717

Norretranders, T. (1999). The User Illusion: Cutting Consciousness Down to Size. New York: Penguin Press

O'Barr, W. M. (2005). Subliminal Advertising. Advertising & Society Review, 6(4)

Strahan, E. J., Spencer, S. J., & Zanna, M. P. (2002). Subliminal priming and persuasion: Striking while the iron is hot. Journal of Experimental Social Psychology, 38(6), 556-568.

Trappey, C. (1996). A Meta-Analysis of Consumer Choice and Subliminal Advertising. Psychology and Marketing, 13(5), 517-530.

Baca Selengkapnya

Apakah Hipnoterapi Bisa Berdampak Negatif?

21 April 2020

Saya dapat pertanyaan dari seorang rekan, yang ditulis di kolom komentar FB saya, "Apakah jika seorang hipnoterapis yang gagal melakukan hipnosis dan hipnoterapinya itu akan berpengaruh atau berefek pada klien misalnya seperti pikiran dan perilakunya jadi agak berbeda begitu dari sebelum diterapi jadi kayak ada error pak Adi?"

Ini pertanyaan menarik dan sangat perlu dijawab. Dari pertanyaan di atas, ada dua aspek yang perlu ditelaah terkait dampak praktik hipnosis dan hipnoterapi. Pertama, apa yang terjadi pada klien, bila hipnoterapis gagal melakukan hipnosis pada klien. Kedua, apa yang akan terjadi bila hipnoterapis gagal dalam melakukan hipnoterapi pada klien. 

Untuk kondisi pertama, hipnoterapis gagal menghipnosis klien, bisa timbul dua dampak, baik pada klien maupun hipnoterapis. Dampak pada hipnoterapis, ia merasa gagal, tidak mampu. Bila kejadian seperti ini berulang, hipnoterapis ini cepat atau lambat pasti berhenti praktik. 

Sementara klien yang gagal dihipnosis bisa merasa ia orang yang sulit atau memang tidak bisa masuk kondisi hipnosis. Ini adalah satu kepercayaan yang salah, yang diadopsi oleh klien berdasar pengalamannya gagal dihipnosis. Kepercayaan ini selanjutnya menghambat klien untuk bisa dihipnosis oleh hipnoterapis lain. 

Dampak negatif seperti perubahan perilaku yang tidak diharapkan, bila konteks bahasan hanya pada kegagalan induksi yang dilakukan hipnoterapis pada klien, tidak akan terjadi. 

Proses menuntun klien masuk kondisi hipnosis disebut induksi. Klien bisa tidak berhasil masuk kondisi hipnosis. Klien juga bisa masuk kondisi hipnosis, baik di kondisi hipnosis dangkal, hipnosis menengah, hipnosis dalam, hipnosis ekstrim, dan kedalaman maksimal yang bisa dicapai klien adalah kondisi tidur. Proses hipnosis sendiri tidak akan berdampak negatif karena sejatinya kondisi hipnosis adalah kondisi pikiran rileks, tenang, nyaman. 

Proses hipnosis bisa memunculkan dampak negatif bila saat klien "masuk" ke pikiran bawah sadarnya, ia jumpa memori-memori yang berasal dari pengalaman traumatik masa lalu, yang selama ini terepresi sehingga tidak diketahui atau tidak bisa diakses secara sadar. 

Dan ini membawa kita pada bahasan pertanyaan kedua, mengenai dampak yang terjadi bila hipnoterapis gagal melakukan hipnoterapi pada klien. 

Dalam dunia hipnoterapi, sejatinya ada dua mazhab: tidak memroses akar masalah dan memroses akar masalah. Mazhab hipnoterapi yang tidak memroses akar masalah hanya menggunakan sugesti untuk menyelesaikan masalah klien. 

Proses hipnoterapinya sangat sederhana. Pertama, hipnoterapis akan melakukan wawancara pada klien. Selanjutnya, hipnoterapis melakukan induksi, menuntun klien berpindah dari kondisi kesadaran normal ke kondisi pikiran rileks, kondisi hipnosis. Setelah klien berhasil dituntun masuk kondisi hipnosis, hipnoterapis akan memberi "obat" berupa sugesti untuk mengatasi masalah klien. Setelahnya klien dituntun keluar dari kondisi hipnosis kembali ke kondisi sadar normal. Proses terapi biasanya berlangsung antara 15 hingga 30 menit. 

Proses terapi berbasis sugesti ini seringkali gagal mengatasi masalah klien karena dua hal utama: klien tidak berhasil dibimbing masuk ke kedalaman hipnosis yang sesuai untuk tujuan terapeutik, atau hipnoterapis tidak mampu menyusun sugesti yang tepat, mengikuti kaidah penyusunan skrip yang benar, untuk mengatasi masalah klien. Bisa terjadi, hipnoterapis tidak cakap menghipnosis klien dan sekaligus juga tidak cakap menyusun skrip sugesti. 

Proses hipnoterapi berbasis sugesti ini bisa mengakibatkan salah satu dari tiga kemungkinan. Pertama, klien sama sekali tidak terpengaruh, masalahnya tidak berhasil diatasi. Kedua, masalah klien berhasil diatasi, klien sembuh. Ketiga, akibat hipnoterapis tidak kompeten menyusun skrip, tanpa ia sadari, skrip yang diberikan pada klien bersifat tidak ekologis dan justru mengakibatkan dampak negatif. 

Mazhab hipnoterapi yang memroses akar masalah mensyaratkan hipnoterapis memiliki kompetensi tinggi, mulai dari wawancara mendalam, melakukan induksi dan tahu indikator kedalaman hipnosis yang dicapai klien, menguasai dan mampu mempraktikkan teknik-teknik spesifik untuk mencari, menemukan, dan memroses tuntas akar masalah, melakukan uji hasil terapi, dan mengakhiri sesi terapi setelah memastikan hasil terapi yang dilakukan benar telah terjadi, disetujui, dan diterima sepenuhnya oleh pikiran bawah sadar klien. 

Sama seperti hipnoterapi berbasis sugesti, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi bila menggunakan pendekatan hipnoterapi mazhab berbasis penyelesaian akar masalah. Kemungkinan pertama, masalah klien tidak berhasil diatasi. Kemungkinan kedua, masalah klien berhasil diatasi, klien sembuh. Dan kemungkinan ketiga, hipnoterapis salah dalam melakukan proses terapi, mengakibatkan kondisi klien bukannya membaik malah semakin parah, dan dalam kondisi tertentu bisa berakibat fatal. 

Beberapa kemungkinan kesalahan yang bisa terjadi dalam proses terapi berbasis penyelesaian akar masalah antara lain hipnoterapis menentukan akar masalah klien secara sepihak, bukan berdasar proses hipnoanalisis mendalam. 

Kesalahan berikutnya yang mungkin terjadi, hipnoterapis tidak cakap menangani abreaksi atau luapan emosi (katarsis) sehingga berbahaya bagi keselamatan klien yang mengalami penyakit seperti hipertensi, sakit jantung, asma, pasca-stroke, klien wanita yang sedang hamil, cerebral palsy, diabetes, epilepsi. 

Hipnoterapis yang tidak kompeten juga bisa salah dalam melakukan "leading" sehingga tercipta memori palsu (false memory) yang diterima klien sebagai pengalaman riil masa lalu. Memori palsu ini selanjutnya memengaruhi hidup klien. 

Satu kegagalan yang sering dijumpai pada banyak proses terapi yang dilakukan hipnoterapis yang melakukan pencarian akar masalah adalah mereka mengarahkan klien, sejak dari awal sesi terapi, untuk menerima kenyataan bahwa akar masalah klien terjadi di kehidupan lampau. 

Hipnoterapis melakukan regresi dan "berhasil" menemukan akar masalah. Namun hipnoterapis tidak memroses tuntas akar masalah ini. Klien hanya diberitahu bahwa masalah hidup mereka di masa sekarang bersumber dari akar masalah ini. Dengan klien mengetahui akar masalah ini diharapkan klien mendapat pemahaman dan masalahnya selesai dengan sendirinya. 

Pada kenyataannya, tidak seperti ini. Akar masalah, terlepas dari ia ditemukan melalui proses regresi yang benar, atau ia sudah ditentukan oleh hipnoterapis sejak awal terapi, harus diproses tuntas. Mencari dan menemukan akar masalah adalah satu hal. Memroses tuntas sehingga emosi negatif pada kejadian ini berhasil dinetralisir adalah hal lain. 

Menemukan akar masalah tanpa memroses tuntas akar masalah ibarat dokter bedah, membuka perut pasien, menemukan bahwa umbai cacing pasiennya bermasalah, kemudian dokter memberitahu situasi ini pada pasien, setelahnya pasien diminta bangun dan pulang tanpa mengangkat umbai cacing yang bermasalah dan menjahit bukaan perut akibat pembedahan. Ini sangat berbahaya. 

Dokter bedah melakukan pembedahan, "membuka" tubuh pasien untuk mengatasi masalah atau mengkoreksi kondisi fisik tertentu. Hipnoterapis klinis melakukan "pembedahan" psikis, "membuka" pikiran bawah sadar klien, menemukan dan menyelesaikan akar masalah klien. 

Baik dokter bedah maupun hipnoterapis klinis, keduanya harus memiliki kompetensi tinggi sesuai bidangnya agar dapat bekerja efektif, efisien, dan aman dalam membantu orang yang butuh pertolongan. Ini hanya bisa dicapai melalui proses pendidikan terstruktur, dengan standar tinggi, dan masa pendidikan yang seturut dengan tingkat kompetensi yang hendak dicapai. 

Baca Selengkapnya

Coronaphobia dan Psikosomatis Covid-19

25 Maret 2020
Saya dihubungi beberapa calon klien yang minta waktu jumpa saya untuk menjalani sesi terapi. Kata mereka ini kondisi mendesak dan minta agar mereka bisa segera jumpa saya.
 
Saya tanya, apa masalahnya, ternyata mereka rata-rata mengalami perasaan takut, cemas, yang berakibat pada kondisi pikiran tidak tenang, hati tidak damai, dan sulit tidur.
 
Saya tanya lagi, mulai kapan gangguan emosi ini muncul atau mereka alami, hampir semua menjawab mereka mengalami kecemasan tinggi sejak ramai diberitakan tentang virus corona (Covid-19).
 
Bahkan ada tiga calon klien yang mengaku mengalami gejala serupa dengan Covid-19 seperti flu, batuk kering, tenggorokan sakit, dan demam.
 
Saya tanya lagi, apakah mereka ada keluar rumah, ke tempat ramai, kumpul-kumpul sama teman, bersalaman atau berdekatan dengan orang yang mengalami Covid-19 atau orang dalam pengawasan, dan semua menjawab tidak.
 
Mereka bahkan mengatakan bahwa sudah dua minggu lebih mereka tidak ke mana-mana, hanya istirahat dan melakukan kegiatan dari rumah.
 
Saya tanya lagi, apakah mereka rutin atau sering baca informasi atau berita, baik itu dari media massa seperti televisi, surat kabar, atau dari media sosial, terutama dari grup percakapan seperti WA atau Telegram, dan mereka semua menjawab ya. Sekarang jelas duduk persoalan dan akar masalahnya.
 
Saya mohon maaf karena belum bisa jumpa mereka. Saat ini saya dan semua hipnoterapis AWGI, untuk sementara waktu, berhenti total melakukan terapi. Ini untuk kebaikan bersama dan mematuhi himbauan pemerintah untuk melakukan social/physical distancing untuk meredam penyebaran Covid-19.
 
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini?
 
Saya beri mereka beberapa saran dan masukan. Pertama, mereka berhenti total membaca atau mencari informasi atau meneruskan informasi terkait Covid-19.
 
Tidak ada gunanya untuk hidup mereka dengan mengetahui sudah berapa banyak orang yang terkena Covid-19, berapa yang meninggal, dan berapa yang sembuh.
 
Saya minta mereka berhenti total membaca atau mencari informasi atau meneruskan informasi terkait Covid-19 minimal selama dua minggu dan setelahnya mereka bisa beri laporan perkembangan yang dialami.
 
Kedua, saya sarankan mereka untuk banyak membaca buku-buku positif, nonton film atau video yang lucu, karaoke, senam atau olahraga, rileksasi atau meditasi, berdoa, atau apa saja yang positif dan bisa membuat pikiran dan perasaan mereka tenang dan bahagia.
 
Cukup sudah kita menebar dan menyebar informasi terkait virus corona (Covid-19) di media sosial dan grup percakapan seperti WA atau Telegram yang justru semakin menguatkan berbagai emosi negatif seperti takut, khawatir, cemas, merasa tidak berdaya, dll.
 
Sekarang waktunya kita melawan virus corona (Covid-19) dengan berpikir positif dan merasakan emosi positif, mengirimkan vibrasi positif untuk diri sendiri dan lingkungan, menyebar informasi yang sifatnya meneduhkan, menenangkan untuk kebaikan diri sendiri dan bersama.
 
Lalu, bagaimana sampai orang mengalami psikosomatis Covid-19?
 
Informasi masuk ke pikiran bawah sadar melalui lima jalur:
  1. Otoritas : informasi, benar atau salah, yang disampaikan oleh figur otoritas pasti dengan mudah masuk dan diterima oleh pikiran bawah sadar (PBS) sebagai kebenaran.
  2. Emosi : setiap informasi yang diterima individu, bila disertai emosi intens, baik positif atau negatif, akan dicatat oleh PBS sebagai sesuatu yang penting.
  3. Repetisi : informasi serupa bila terus diulang, dilihat, dibaca, dibicarakan, diingat, dibayangkan, atau didengarkan pasti masuk ke memori PBS.
  4. Identifikasi Kelompok: saat informasi ini diterima atau dinyatakan benar oleh satu kelompok atau komunitas, setiap anggota kelompok ini menerimanya sebagai kebenaran.
  5. Relaksasi pikiran : saat pikiran rileks, sore atau malam hari saat mau tidur, atau pagi hari saat baru bangun tidur, bila kita membaca, mendengar, menonton tayangan atau informasi tertentu, informasi ini langsung masuk ke PBS tanpa bisa disaring oleh faktor kritis pikiran sadar.
 
Informasi tentang Covid-19, benar atau salah, yang telah terekam di PBS, tidak akan pernah bisa hilang. Informasi ini akan terus ada di memori sampai dilakukan upaya secara sadar untuk mengganti informasi ini dengan informasi lain.
 
Semakin seseorang membaca dan mengingat gejala-gejala Covid-19, semakin ia mengulang memunculkan informasi ini di pikirannya, semakin kuat informasi ini jadinya, dan semakin ia terpengaruh.
 
Ia menjadi semakin cemas dan takut. Disadari atau tidak, ia akan memeriksa kondisi fisiknya, apakah ada gejala yang sama atau menyerupai Covid-19. Ini sesungguhnya adalah hal yang wajar karena semua orang pasti ingin selamat, ingin tetap hidup. Dan fungsi utama PBS adalah melindungi dan menjaga keselamatan hidup kita.
 
Semakin ia melakuan pengecekan, semakin PBS mendapat informasi bahwa ini adalah sesuatu yang penting. Dan sesuai hukum pikiran, apa yang menjadi fokus pasti bertumbuh dan menguat. Ini menjadi semakin kuat saat dilandasi emosi negatif intens.
 
Akhirnya, PBS memunculkan simtom atau gejala yang sama atau serupa dengan gejala Covid-19. Saat ini terjadi, individu menjadi semakin cemas, takut, panik, dan gejalanya menjadi semakin nyata, semakin kuat.
 
Semakin ia cemas atau takut, semakin stres ia, semakin banyak hormon stres diproduksi oleh tubuhnya, dan semakin tertekan kerja sistem imun, dan semakin besar kemungkinan ia jatuh sakit, semakin besar risikonya bila ia benar-benar terpapar virus corona.
 
Virus corona belum tentu mengenai semua orang. Namun saat ini hampir semua orang sudah tertular virus pikiran yang membuat mereka cemas, khawatir, takut, paranoid.
 
Sekarang saatnya kita bangkit bersama melawan virus corona. Lakukan apapun yang bisa kita lakukan untuk menghambat kemungkinan virus corona semakin tersebar.
 
Dan berlakulah CERDAS dan BIJAK. Sebarkan hanya berita-berita positif. SARING sebelum SHARING.
Baca Selengkapnya

Analisis Kasus dan Strategi Membantu Anak Tantrum

18 Februari 2020

Saya dapat pertanyaan dari salah satu peserta SECH, sebut saja sebagai Ibu Wati, psikolog klinis, cara menangani kasus anak usia 10 tahun yang mudah terpicu emosinya dan tantrum. Saat tantrum, anak ini berperilaku seperti individu berusia sekitar satu tahun.

Untuk bisa membantu anak ini, saya jelaskan pada para peserta, kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi di pikiran bawah sadar (PBS) menggunakan teori dan paradigma yang diajarkan di kelas SECH.

Tantrum adalah ledakan emosi pada individu disertai sikap dan perilaku seperti keras kepala, menjerit, menangis, sulit atau menolak untuk ditenangkan. Seringkali, walau kemauan individu ini telah dipenuhi, perilaku tantrumnya terus berlanjut. 

Tantrum, dari perspektif AWGI, adalah salah satu bentuk abreaksi, luapan emosi, untuk melepas tekanan dalam pot mental individu. Di bawah pot mental ini ada api emosi yang telah membakar pot dalam waktu cukup lama. Saat ada tambahan api, walau hanya sedikit (baca: ada kejadian yang memicu emosi negatif tertentu), tekanan dalam pot mencapai titik kritis dan membahayakan keutuhan pot mental (baca: sistem psikis).

Sebagai upaya pencegahan agar pot mental tidak pecah dan meledak, PBS membuat satu atau beberapa lubang untuk mengeluarkan uap dari dalam pot. Uap ini adalah simtom atau gejala yang tampak dalam bentuk pemikiran, ucapan, dan perilaku atau tindakan tertentu. Dalam kasus anak ini, tantrum adalah simtom.

Simtom bukan masalah. Simtom adalah ekspresi masalah. Simtom adalah pesan dari PBS. Simtom perlu diakui, diterima, dan dimengerti. Simtom adalah petunjuk untuk menemukan solusi.

Dalam kasus anak tantrum, dari perspektif teori yang diajarkan di kelas SECH, masalah yang harus diselesaikan adalah mencari dan menemukan api yang membakar pot mental anak, dan selanjutnya memadamkan api ini. Saat api padam, pot mental dengan sendirinya menjadi dingin dan tidak lagi ada uap yang keluar dari lubang. Dan kalaupun ada api (baca: emosi) baru yang terpicu karena sesuatu hal, anak tidak langsung tantrum karena tekanan dalam pot mentalnya belum atau tidak mudah mencapai titik kritis.

Untuk menemukan akar masalah pada anak usia 10 tahun bisa dilakukan dengan wawancara mendalam dengan kedua orang tua atau pengasuh utama anak. Bila upaya ini tidak membuahkan hasil, barulah terapis menggunakan teknik hipnoanalisis.

Mengingat usia anak masih sangat muda, sumber api emosi anak biasanya berasal dari orang tua dan lingkungan. Penelusuran sumber emosi dalam diri anak diawali dengan bertanya tentang kondisi pikiran dan emosi ibunya sangat mengandung anak ini.

Dari pengalaman dan temuan di ruang praktik, saat anak masih di dalam kandungan ibu, sebagai janin, ia terpapar emosi, baik positif maupun negatif, yang ibunya alami dan rasakan.  Janin menyerap emosi ini dan menyimpannya di memori PBS. Emosi negatif adalah api yang membakar pot mental si anak.

Bila selama ibu mengandung tidak ada masalah emosi, penelusuran dilanjutkan dengan mencari tahu apakah ada kejadian traumatik yang anak alami dalam proses tumbuh kembang dari sejak lahir hingga usia 10 tahun.

Semua informasi yang diperoleh dari hasil penelusuran ini dicatat rapi sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan strategi terapi yang akan diterapkan dalam membantu anak mengatasi masalahnya.

Setelah mendengar uraian saya ini, Ibu Wati menambahkan bahwa anak ini bukan anak kandung tapi anak adopsi. Saat masih bayi, ia ditemukan di keranjang sampah dan diadopsi ke dalam keluarganya saat ini. Rupanya, anak ini dibuang oleh ibu kandungnya setelah dilahirkan.

Berdasar informasi tambahan ini kita dapat dengan sangat gamblang menjelaskan asal mula emosi dalam diri si anak. Yang pasti, ia adalah anak yang tidak diinginkan oleh ibunya sehingga dibuang di keranjang sampah sesaat setelah dilahirkan. Sudah tentu anak ini marah, kecewa, sakit hati, sangat terluka karena ia ditolak dan sengaja hendak dibunuh oleh ibunya.

Besar kemungkinan ia adalah hasil hubungan yang tidak "lazim" antara ibunya dengan pria yang seharusnya menjadi ayahnya. Ibunya bisa saja stres berat kronis saat mengandungnya. Mengingat PBS telah aktif sejak terjadi pembuahan maka apapun yang dialami dan dirasakan si ibu juga dirasakan oleh janin dan semuanya terekam di memori PBS janin.

Anak ini mudah terpicu emosinya dan setelahnya, ia tantrum. Saya jelaskan bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi agar suatu peristiwa direkam di PBS sebagai pengalaman traumatik, yaitu memori disertasi emosi negatif intens.

Kelima syarat ini adalah ada peristiwa yang memunculkan emosi negatif (intens), peristiwa ini bermakna bagi individu, senyawa kimiawi otak pada momen kejadian mendukung, individu merasa terperangkap, dan individu merasa tidak berdaya. Salah satu saja dari kelimat syarat ini tidak terpenuhi, trauma tidak bisa terjadi. Dengan demikian, strategi terapi ditujukan untuk meniadakan salah satu atau beberapa syarat trauma.

Saat individu mengalami emosi negatif intens seperti marah, cemas, atau takut, secara instingtif tubuh masuk ke mode lawan atau lari (fight - flight) dan memproduksi adrenalin guna menyiapkan individu menghadapi bahaya atau apapun yang dipersepsikan sebagai bahaya.

Keberadaan adrenalin mengakibatkan otak menjadi sangat fokus untuk mengamati dan merekam semua data atau informasi pada momen peristiwa ini. Yang direkam adalah data visual (gambar atau warna), auditori (suara), kinestetik (sensasi fisik atau perasaan), olfaktori (aroma atau bau), dan gustatori (rasa).

Rekaman data ini selanjutnya digunakan sebagai acuan agar individu, di masa depan, berhati-hati dalam menjalani hidup. Data ini berfungsi sebagai sistem peringatan dini agar individu tidak mengalami lagi kejadian serupa atau sama dengan yang dulu ia alami. Dan ini adalah fungsi utama PBS yaitu melindungi keselamatan individu dari hal-hal yang ia (PBS) pandang, rasa, nilai, persepsikan, yakini berbahaya atau merugikan individu.

Selanjutnya, kapanpun atau setiap kali individu jumpa data (stimulus/i) yang sama atau serupa dengan data di PBS, yang berasal dari kejadian traumatik, stimulus/i ini mengaktifkan pola reaktif di PBS.

Dalam kasus anak ini, sesuatu di lingkungannya, bisa berupa benda, gambar, wajah orang, warna,  suara, sentuhan, bau atau rasa tertentu menjadi pemicu mengaktifkan memori traumatik dan memunculkan emosi negatif dalam dirinya.

Setiap kali pola reaktif dalam diri si anak terpicu, ia mengalami emosi negatif intens dan emosi ini selanjutnya terakumulasi di dalam sistem psikisnya, mengakibatkan kondisinya menjadi semakin rentan dan tidak stabil.

Dari cerita Ibu Wati, saat anak ini tantrum, ia berperilaku seperti individu berusia satu tahun, dapat disimpulkan bahwa emosi yang membuat ia tantrum juga mengakibatkan terjadi regresi spontan ke usia satu tahun.  Jadi, yang tantrum sesungguhnya adalah anak satu tahun (inner child) mengekspresikan emosinya menggunakan tubuh anak berusia 10 tahun. Inner child ini mengalami fiksasi dan tidak bertumbuh.

Upaya terapi yang dapat dilakukan untuk membantu anak mengatasi masalah tantrum, berdasar uraian di atas adalah, pertama, bila ibu kandungnya bisa dijumpai, terapis membantu menetralisir emosi negatif dalam diri ibunya saat mengandung anak ini. Ini penting dilakukan karena keterhubungan batin antara ibu dan anak pasti berdampak pada anak. Kedua, terapis menetralisir emosi negatif pada kejadian paling awal (akar masalah) dalam diri anak. Ketiga, melakukan modifikasi pada copaste ibu menjadi copaste ibu ideal. Keempat, bila dibutuhkan, terapis menumbuhkembangkan inner child yang mengalami fiksasi di usia satu tahun, dan kelima, terapis menetralisir pola reaktif di PBS anak sehingga stimulus/i yang sama atau serupa dengan data di PBS anak, tentang kejadian traumatik yang ia alami dulu, tidak lagi bisa memicu munculnya emosi negatif. Dan keenam, lingkungan anak, terutama keluarga inti, memberi dukungan penuh, perhatian, dan kasih sayang yang anak butuhkan sehingga ia merasa aman.  

Strategi dan teknik untuk melakukan terapi seperti dijelaskan di atas, diajarkan secara detil, runtut, diperjelas dengan latihan, dan empat terapi klien di depan kelas, disaksikan semua peserta. 

Baca Selengkapnya

Can Change Happen in an Instant?

10 Januari 2020

Kalimat di atas adalah judul salah satu bab dalam buku Awaken the Giant Within karya Anthony Robbins yang saya baca tahun 1993.

Di tahun 1993 saya belum belajar hipnosis atau hipnoterapi. Di masa itu saya membaca buku-buku pengembangan diri populer karya Napolen Hill, Zig Ziglar, David Schwartz, Dale Carnegie, Brian Tracy, Wayne Dyer, dan penulis lainnya.

Saat membaca pertanyaan di atas, saya sangat tergelitik dan penasaran. Tony Robbins menyatakan, dari pengalaman membantu klien-kliennya berubah, bahwa perubahan dapat terjadi dalam waktu sangat singkat atau sekejap (instant). Tony Robbins menggunakan teknik NAC atau Neuro Associative Conditioning.

Ia memberi beberapa contoh yang terjadi pada kliennya. Apa yang saya baca di buku ini, semuanya sangat sulit diterima nalar saya, kala itu, karena saya tidak memiliki referensi pendukung. Namun, bertahun-tahun kemudian, setelah belajar dan praktik hipnoterapi, saya akhirnya mengerti benar apa yang dimaksud oleh Tony Robbins.

Perubahan dapat terjadi dengan sangat cepat ditentukan oleh dua faktor: klien dan terapis. Di sisi klien, ia perlu siap (ready) dan bersedia (willing) untuk melakukan dengan sungguh-sungguh semua hal yang dibutuhkan untuk berubah.

Sementara di sisi terapis, ia perlu melakukan upaya maksimal dan terbaik dalam membantu kliennya. Tentu saja, upaya ini harus dilandasi pengetahuan yang cukup, berasal dari pendidikan dan pelatihan yang memadai, kompetensi terapeutik dan pengalaman yang sesuai untuk membantu klien berubah dengan cepat.

Ada satu komponen lagi yang sangat penting untuk diperhatikan. Komponen ini dapat menjadi pendorong atau penghambat proses perubahan (baca: terapi) yang dijalani klien dan upaya yang dilakukan terapis. Komponen ini adalah kepercayaan atau belief bahwa perubahan atau kesembuhan bisa terjadi dengan mudah dan cepat, apapun kondisi, situasi, atau masalah klien.

Kepercayaan tidak berada pada tataran tunggal, namun berjenjang. Ia ada pada pikiran sadar (PS) dan pikiran bawah sadar (PBS). Perubahan cepat dan bertahan lama hanya bisa terjadi bila kesiapan, kesediaan, dan kepercayaan akan perubahan yang ada di PS sejalan dengan PBS. Bila tidak, proses perubahan menjadi perjalanan panjang, sangat melelahkan, dan sulit mencapai hasil yang diinginkan.

Demikian pula halnya dengan terapis. Bila terapis tidak percaya perubahan bisa terjadi dalam waktu singkat maka ia tidak akan pernah bisa membantu klien berubah dengan cepat.

Sebenarnya, dari pengalaman saya dulu, ketidakpercayaan ini lebih dilandasi oleh ketidakmampuan, ketiadaan kompetensi, bukan karena perubahan cepat tidak mungkin terjadi. Perubahan yang baik, menurut beberapa kalangan, harus berlangsung gradual, perlahan, dan lama.

Proses perubahan saya kategorikan sebagai cepat bila terjadi antara satu hingga empat sesi terapi. Perubahan yang berhasil dicapai, baik melalui proses cepat atau lambat, hanya benar-benar baik bila ia stabil dan bertahan lama.

Saat saya sedang menulis artikel ini, saya mendapat kabar dari sahabat saya, pastor DR. Moses Komela Avan. Romo Moses telah belajar hipnoterapi di AWGI.

Rm. Moses cerita bahwa di dua kesempatan, dalam kurun waktu enam bulan terakhir, ada dua umat Beliau yang datang dan minta tolong untuk disembuhkan.

Umat ini datang dengan pandangan mata kosong, menatap datar tanpa ekspresi, bicara ngelantur-halusinatif, dan mengalami kecemasan tinggi. Ia juga telah minum obat. Oleh Rm. Moses, umat ini diajak bicara dan ia menyatakan ingin sembuh. Rm. Moses kemudian melakukan sedikit deepening dan mendoakan umatnya.

Menurut Romo, kata-kata yang digunakan dalam doanya memang bersifat terapeutik. Romo mendoakan dan menyatakan bahwa kesembuhan yang terjadi adalah berkat kuasa Tuhan. Melalui proses yang berlangsung hanya antara 5-10 menit, umat ini tiba-tiba seperti kaget, baru kembali dari "dunia lain", dan sembuh. Dan hingga kini ia tetap sehat dan normal.

Keyakinan saya bahwa klien dapat berubah menjadi baik kondisinya (baca: sembuh) dalam waktu sangat singkat terinspirasi dari tulisan Josef Breuer, guru Sigmund Freud, dalam buku berbahasa Jerman, terbit 1895, Studien über Hysterie. Selanjutnya buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Studies on Hysteria.

Buku ini menceritakan kisah yang terjadi pada pasien Breuer, Bertha Pappenheim, yang lebih dikenal sebagai Anna O. Anna mengalami histeria dan telah ditangani Breuer cukup lama namun tidak kunjung sembuh. Hingga akhirnya, pada satu sesi terpai, Anna mengalami katarsis dan setelahnya semua simtomnya hilang. Ia dinyatakan sembuh.

Saya juga membaca apa yang dilakukan oleh John G. Watkins dalam buku klasiknya, Hypnotherapy for War Neuroses, terbit tahun 1949. Intinya, apa yang dilakukan Watkins dalam membantu pasiennya sejalan dengan apa yang terjadi pada Anna O.

Dari sini saya mencari dan menemukan banyak literatur yang mendukung pemahaman dan keyakinan saya bahwa perubahan bisa terjadi dengan cepat.

Saat saya jelaskan bahwa fobia dapat sembuh hanya dalam waktu sekitar 10 menit, banyak yang tidak percaya. Demikian pula saat saya menyembuhkan alergi dengan cepat, hanya dalam waktu beberapa menit saja, juga banyak yang skeptis, tidak percaya.

Bahkan, pernah salah satu peserta pelatihan Quantum Life Transformation, sahabat saya, tetap dengan keyakinannya bahwa perubahan tidak bisa terjadi dengan cepat. Ia menolak mempraktikkan teknik yang saya ajarkan di QLT dengan alasan, "This is too good to be true."

Ia tetap berpegang teguh pada keyakinannya ini walau melihat teman-temannya telah mendapat hasil positif menggunakan teknik ini.

Jadi, apakah perubahan atau kesembuhan bisa terjadi dalam waktu singkat?

Jawabannya bergantung pada kepercayaan yang dipegang seseorang. Bahkan, bila kepercayaan ini sangat kuat, teknik sebenarnya tidak penting, hanya aksesori, sekedar pelengkap.

Yang pasti, klien datang ke terapis dengan tujuan untuk mendapat hasil. Dan mereka ingin mendapatkan hasil dengan cepat dan mampu bertahan lama.

Baca Selengkapnya

Pseudo-ISE, ISE, dan Hipnoterapi Mazhab AWGI

4 Desember 2019

Dalam dunia hipnoterapi sejatinya dikenal dua mazhab utama: hipnoterapi berbasis sugesti dan hipnoterapi berbasis hipnoanalisis.

Sesuai namanya, hipnoterapi berbasis sugesti lebih mengutamakan penggunaan sugesti dalam upaya membantu klien mengatasi masalah. Mazhab ini berkembang pesat di pantai timur Amerika. Sementara hipnoterapi berbasis hipnoanalisis lebih mengutamakan pencarian akar masalah menggunakan beragam strategi atau teknik. Mazhab ini berkembang pesat di pantai barat Amerika, terutama daerah California.

Semula saya belajar hipnoterapi mazhab pantai timur Amerika. Berhubung saya menginginkan sesi terapi yang lebih singkat dan hasil terapi yang lebih stabil untuk jangka panjang, saya putuskan mendalami hipnoterapi mazhab pantai barat Amerika yang lebih kompleks dan sulit namun lebih lengkap dari sisi teknik.

Di awal karir saya sebagai hipnoterapis klinis, setelah selama tiga tahun mencoba banyak teknik atau strategi, akhirnya saya memutuskan menggunakan dan mengembangkan hanya dua teknik terapi utama, dalam konteks hipnoanalisis, untuk mencari, menemukan, memroses dan merekonstruksi akar masalah klien.

Saya juga membangun teori sendiri tentang pikiran bawah sadar (PBS). Selanjutnya, materi state of the art dan the cutting edge teknologi pikiran ini diajarkan detil dan mendalam di kelas SECH.

Saya juga mengajarkan satu postulat sangat penting yang menjadi pedoman segenap hipnoterapis AWGI dalam praktik mereka. Postulat ini menyatakan bahwa tidak ada satupun pihak yang bisa mengungkap atau menunjukkan atau menentukan akar masalah klien kecuali dan hanya pikiran bawah sadar klien sendiri.

Berdasar postulat ini, hipnoterapis AWGI tidak bisa dan tidak boleh menentukan akar masalah klien hanya melalui sesi wawancara dengan klien saat klien dalam kondisi sadar normal, atau berdasar kisah yang disampaikan atau diyakini klien atau yang disampaikan keluarga klien sebagai akar masalah.

Apapun yang disampaikan oleh klien perlu dicatat untuk diperhatikan. Namun, hanya melalui proses hipnoanalisis yang benar, sesuai protokol yang diajarkan di kelas SECH, akar masalah klien bisa ditemukan atau terungkap.

Akar masalah adalah kejadian paling awal yang menjadi dasar muncul atau terciptanya simtom. Secara teknis kami menamakannya Initial Sensitizing Event atau ISE.

Simtom bisa muncul segera setelah kejadian tunggal yang sekaligus adalah ISE. Simtom juga bisa muncul setelah ISE yang diikuti oleh satu atau beberapa kejadian lanjutan yang kami namakan Subsequent Sensitizing Event (SSE).

Dalam laporan kasus yang dikirim oleh para peserta SECH, ada peserta yang menemukan, lebih tepatnya menentukan, "akar masalah" (ISE) klien hanya berdasar cerita kliennya, dalam kondisi sadar normal. 

Ia mencatat kejadian ini dan saat proses terapi, ia meregresi klien langsung menuju ke "ISE". Proses pencarian dan penemuan ISE seperti ini tidak dibenarkan karena melanggar protokol yang diajarkan di kelas SECH. Dan bagi kami, ini adalah masalah serius dan pelanggaran berat protokol AWGI.

Dari pengalaman selama ini, sungguh sangat jarang terjadi akar masalah, yang berhasil diungkap melalui proses hipnoanalisis, sama dengan yang diceritakan atau diyakini klien saat sesi wawancara mendalam (anamnesa eksploratif).

Apakah klien bisa sembuh dengan cara di atas?

Ada beberapa yang sembuh, tapi banyak yang hanya sembuh sementara, setelahnya kambuh lagi. Biasanya, klien sembuh walau "ISE"-nya salah karena kejadian ini berisi muatan emosi negatif (sangat) intens.

Saat emosi negatif intens yang lekat pada memori kejadian ini diproses, terjadi "Efek Tarikan" atau "Pull Effect", ini adalah terminologi yang saya ciptakan sendiri untuk menerangkan apa yang terjadi, yang tanpa terapis atau klien sadari ternyata turut menarik dan membersihkan emosi negatif pada kejadian paling awal (ISE).

Saya menamakan "ISE" yang ditentukan oleh pikiran sadar klien atau terapis, yang sesungguhnya bukan ISE, walau ternyata saat diproses klien sembuh, sebagai pseudo-ISE. 

Berkenaan dengan proses terapi yang dilakukan para hipnoterapis AWGI, sejatinya kami kini mempraktikkan hipnoterapi yang berbeda dari baik mazhab pantai timur maupun pantai barat Amerika.

Hipnoterapi yang kami praktikkan menggunakan protokol, pendekatan, strategi, dan teknik-teknik terapi yang dikembangkan, disempurnakan, atau diciptakan berlandaskan teori (grounded theory) yang dibangun di AWGI. Hipnoterapi yang kami praktikkan khas AWGI dan bersifat eklektik integratif. Saya menamakannya mazhab AWGI.

Baca Selengkapnya

Joker

31 Oktober 2019

Saya dapat permintaan dari beberapa sahabat untuk mengulas film Joker dari sisi keilmuan hipnoterapi. Untuk memenuhi permintaan para sahabat ini, sore ini saya menonton film Joker bersama keluarga.

Usai film Joker, saat hendak keluar dari gedung bioskop, saya agak kaget karena menemukan ada dua wanita muda menonton film ini sambil membawa anak perempuan mereka yang masih kecil, berusia 3 tahun.

Film Joker menurut saya biasa saja. Saya lebih tertarik mengulas risiko anak kecil, usia 3 tahun, menyaksikan film dengan adegan kekerasan yang cukup brutal.

Ada risiko sangat besar yang mungkin tidak diketahui para orang tua yang membiarkan anak mereka menyaksikan film berisi adegan kekerasan.

Beberapa tahun lalu saya menangani klien anak SMA kelas 3, berusia 18 tahun, sebut sebagai Budi. Budi datang dari negeri jiran dan mengalami masalah serius. Ia sudah ditangani penyembuh profesional di luar negeri, diberi obat namun selama tiga bulan tidak kunjung teratasi masalahnya.

Masalah Budi adalah ia sering tertawa sendiri terbahak-bahak sambil menengadahkan kepalanya. Budi juga mudah marah dan meledak. Budi marah kepada pihak otoritas dan hendak membunuh kepala negara tempat ia berdiam.

Dari sesi wawancara mendalam saya mendapatkan data bahwa Budi, selama kelas 1 dan 2 SMA, sering dirundung (bully) oleh teman-teman dan juga guru di sekolahnya.

Kedua orang tua Budi sibuk bekerja dan tidak ada waktu untuk mendengarkan keluh kesah Budi. Budi memendam kemarahan, rasa sakit, kecewa, dan terluka yang ia alami selama beberapa tahun ini, hingga suatu hari Budi dan teman-temannya menyaksikan film The Clown. Dalam film ini The Clown juga disakiti, dirundung oleh orang-orang di sekitarnya. The Clown akhirnya marah dan membunuh semua orang yang menyakiti dirinya.

Tanpa disadari, Budi mengidentifikasi dirinya dengan The Clown. Dan tanpa ia kehendaki, di dalam pikiran bawah sadar (PBS) Budi muncul ego personality (EP) The Clown.

Setiap kali EP The Clown ini aktif, ia mengambil alih kesadaran Budi dan sepenuhnya menguasai tubuh Budi sebagai media ekspresi dirinya. Untuk lebih memahami tentang ini, pembaca saya sarankan membaca artikel Aktivasi Ego Personality, Klien, dan Host di https://bit.ly/35PYhVg.

Dari perspektif teori Ego State (ES), seperti yang digagas oleh Paul Federn (1952), ego state atau Bagian Diri tercipta saat usia dini. Sementara menurut Watkins dan Watkins (1997) formasi atau pembentukan/penciptaan ES melalui salah satu dari tiga cara: tercipta secara alamiah (normal differentiation), trauma, dan introjeksi dari orang-orang penting atau berpengaruh bagi individu.

Data dan temuan lanjutan menyatakan ES benar dapat tercipta melalui pengalaman traumatik (Putnam, 1989; Ross, 1993). Dalam situasi tertentu bisa tercipta ES yang bersifat membantu individu (Frederick dan Kim, 1993; Gainer, 1993, 1997; Frederick, Sheltren, dan Toothman, 2000).

Temuan kami, para hipnoterapis AWGI yang secara intensif melakukan praktik teknik-teknik terapi berbasis Ego Personality (EP), kami menyebut ES sebagai EP, sejak tahun 2005 hingga saat ini, terdapat 10 (sepuluh) cara lain EP tercipta (Gunawan, 2017), di samping tiga cara yang telah disampaikan oleh Watkins dan Watkins (1997).

Salah satu cara EP tercipta yang kami temukan adalah melalui proses belajar, baik secara visual, auditori, dan atau kinestetik. The Clown adalah EP yang tercipta di dalam PBS Budi melalui cara ini. Saya menamakan EP ini sebagai Phantom.

Anak kecil yang menyaksikan film Joker lebih berisiko daripada orang dewasa. Saat anak masih kecil, pikiran sadarnya belum aktif atau belum kuat. Dengan demikian anak sepenuhnya beroperasi di PBS. Apapun yang ia lihat, dengar, dan rasakan sepenuhnya terekam dengan sangat kuat, apa adanya, di PBS-nya, tanpa bisa ia saring. Dan bisa jadi, EP Joker ini suatu saat akan terpicu dan aktif. Ini tentu sangat berisiko.

Pengalaman saya menangani Budi cukup menegangkan namun juga sangat membelajarkan. Budi tahu keberadaan EP The Clown. Namun setiap kali EP The Clown aktif, EP ini mengambil alih kendali dan kesadaran Budi. Apa yang The Clown lakukan, Budi sama sekali tidak tahu.

Baca Selengkapnya

Aktivasi Ego Personality, Klien, dan Host

17 Oktober 2019

Akhir September 2019 lalu, di Medan, saat membawakan materi pelatihan sehari The Heart Technique® (THT) untuk penyembuh profesional, saya sempat membantu salah satu peserta, sebut saja sebagai Ani. Ani menderita asma sejak kecil. Ani juga kerap masuk IGD karena asmanya sering kambuh dan mengakibatkan ia sesak napas.

Saya melakukan wawancara dan mencermati kondisi Ani dengan sangat hati-hati. Saya tentu menghindari Ani mengalami sesak napas sehingga harus dilarikan ke rumah sakit dalam proses terapi yang akan saya lakukan. Berdasar hasil anamnesa eksploratif, saya putuskan kondisi Ani terlalu berat dan tidak bisa diterapi menggunakan THT.

THT butuh mengakses emosi untuk selanjutnya emosi ini diproses tuntas. Masalahnya, setiap kali Ani mengingat kejadian spesifik yang hendak diakses, emosinya langsung memuncak dan ia sesak napas. Semakin intens emosinya, semakin sesak napasnya.

Akhirnya saya menerapi Ani, di depan kelas, menggunakan Ego Personality Technique (EPT). Saya sengaja lakukan ini, menerapi Ani menggunakan EPT, untuk menunjukkan kepada para peserta modalitas terapi lain, selain THT, yang saya praktikkan dan ajarkan di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH).

Dari proses hipnoterapi yang saya lakukan pada Ani, saya menemukan ada ego personality (EP) Ani kecil, berusia 5 tahun, yang menyimpan emosi marah pada seseorang dari kejadian masa kecilnya. Saat Ani mengingat kejadian ini, dadanya langsung sesak, ia sulit bernapas dan asmanya hampir kambuh.

Melalui pengamatan pada pola bahasa dan respon fisik, saya tahu bahwa saat Ani dewasa mengingat kejadian di usia 5 tahun dan merasakan munculnya emosi marah di dadanya, pada saat itu yang sebenarnya terjadi adalah ada satu EP berusia 5 tahun (inner child), menjadi aktif atau eksekutif, dan EP 5 tahun ini menguasai tubuh Ani dewasa (host). Aktivasi EP 5 tahun beserta emosi marah yang sangat intens yang ia pegang selama ini mengakibatkan tubuh fisik Ani dewasa (host) terpengaruh dan menjadi sesak napas.

Saya memroses EP 5 tahun menggunakan teknik spesifik, memisahkan EP 5 tahun dan Ani dewasa, meredakan emosi marah pada EP 5 tahun, agar tubuh fisik Ani dewasa tetap dapat beroperasi normal, tidak sesak napas, sehingga dapat saya proses tuntas.

Dalam waktu singkat, emosi marah sangat intens pada EP 5 tahun berhasil dinetralisir. Saat saya minta Ani dewasa untuk mengingat kembali kejadian di usia 5 tahun, ia merasa biasa saja, tidak lagi ada emosi marah seperti sebelumnya. Demikian pula saat saya minta Ani 5 tahun melakukan hal yang sama, mengingat kejadian itu, hasilnya netral, emosinya datar.

 

EP Eksekutif dan Host (Induk Semang)

Dalam keseharian, setiap individu umumnya butuh antara 5 hingga 7 EP untuk menjalankan hidup secara normal. EP-EP ini aktif by default, aktif bergantian sesuai situasi, kondisi, kebutuhan, dan mengendalikan diri individu dan adalah individu. EP-EP ini berada atau tinggal di permukaan (surface) dan tidak membutuhkan kendali EP Pengendali (EP CEO) untuk aktif bergantian. Selain EP permukaan, juga ada EP-EP underlying yang tinggal di kedalaman pikiran bawah sadar (PBS). Untuk mengakses EP-EP ini dibutuhkan kondisi hipnosis dan atau teknik tertentu.

Untuk mudahnya, EP adalah “manusia” yang ada di dalam diri kita. Setiap EP, karena ia adalah “manusia” yang tercipta melalui proses tertentu, memiliki kesadaran, pikiran, pola pikir, emosi, sikap, kebiasaan, memori, keinginan, energi, kekuatan, pengetahuan, dan tujuan.

Kita memiliki banyak EP. Dan kita tidak tahu berapa jumlah EP yang ada dalam diri kita. Tidak ada satupun literatur yang pernah saya baca dan pelajari, termasuk pendapat dan pemikiran para pakar hipnoterapi klinis dari berbagai masa, yang secara gamblang menyatakan jumlah atau perkiraan jumlah EP dalam diri individu.

EP aktif bergantian menempati dan menggunakan host untuk mengekspresikan dirinya. EP hanya bisa aktif dan menggunakan host selama kondisi host, terutama dari aspek energi fisik dan energi psikis mampu menopang kegiatan EP ini, dan tidak ada EP lain yang lebih kuat melakukan intervensi.

Bila ada EP yang lebih kuat melakukan intervensi, atau bila energi fisik dan atau energi psikis host sudah tidak lagi mampu mendukung kegiatan EP maka EP yang semula aktif akan memudar ke latar belakang dan terpaksa nonaktif atau tidak bisa aktif. Walau EP memiliki energi sangat besar, energi EP berbeda dengan energi host. EP dan host adalah dua “entitas” berbeda.

Walau EP dan host sejatinya adalah dua “entitas” berbeda, saat EP aktif, ia menguasai dan menggunakan host sebagai media ekspresi dirinya dan host adalah EP. Di saat ini, EP yang sebelumnya aktif sebagai klien bergeser dan tidak lagi menggunakan host. Dengan demikian, apapun yang terjadi dan dilakukan host, baik pikiran, ucapan, dan atau tindakan sesungguhnya adalah aktivitas EP. Bila EP mengalami sakit tertentu ini juga termanifestasi pada host.

EP CEO mengendalikan EP mana yang aktif pada satu waktu. Untuk EP permukaan, EP CEO tidak banyak mengatur karena switching atau pergantian aktivasi EP berjalan otomatis berdasar pola kebiasaan yang telah terbangun selama ini. Walau EP CEO seolah tidak aktif, dalam kondisi ini, sejatinya ia tetap memantau semua pergerakan EP. Hingga suatu saat, bilamana dibutuhkan, EP CEO melakukan intervensi dan menentukan EP mana yang aktif dan boleh menggunakan host untuk mengekspresikan diri atau berkegiatan. Butuh latihan dan kesadaran yang baik agar EP CEO menjadi kuat, lentur, terampil, peka, dan tanggap untuk mengendalikan aktivasi EP sesuai kebutuhan individu.

 

Aktivasi EP

Dalam satu waktu hanya bisa ada satu EP menjadi eksekutif, menempati, dan menggunakan host. EP yang aktif ini bisa berasal dari permukaan (surface) atau dari kedalaman lapis kesadaran (underlying). EP bisa aktif secara spontan karena terpicu oleh stimulus atau situasi-kondisi tertentu. EP juga bisa aktif karena karena diaktifkan secara sengaja seperti yang terjadi dalam konteks terapi. EP yang sering diakses atau diaktifkan cenderung akan semakin sering aktif dan menjadi semakin kuat.

Dalam konteks terapi, aktivasi EP tidak bersifat terapeutik. EP yang telah diaktifkan dan menjadi eksekutif perlu diproses menggunakan teknik-teknik yang sesuai agar terjadi edukasi, resolusi, rekonsiliasi, atau reintegrasi sehingga tercapai kondisi kondusif untuk kebaikan dan kesejahteraan klien.

Saat klien menjalani terapi, ia memercayakan dan memasrahkan peran pengendali aktivasi EP kepada terapis. Dengan kata lain, terapis bertindak sebagai EP CEO mengendalikan dan mengelola aktivasi EP secara bergantian menggunakan host, menjalin komunikasi, baik antara terapis dan EP-EP, komunikasi antara klien dan EP-EP, komunikasi antara EP satu dengan EP lainnya dalam diri klien, atau komunikasi antara terapis, klien, dan EP-EP.

Dari temuan kami di ruang praktik, diketahui bahwa ada EP yang dapat terus bertumbuh dan berkembang dan ada EP yang mengalami fiksasi, tidak bertumbuh dan berkembang.

Khusus untuk EP yang mengalami fiksasi, bila dibutuhkan untuk kebaikan klien, dapat ditumbuh-kembangkan hingga mencapai usia optimal untuk membantu klien menjalani hidup dengan baik. Tentu, dalam proses ini, EP tidak hanya ditumbuhkan secara usia namun yang lebih penting adalah pertumbuhan di aspek pengetahuan, kebijaksanaan, dan emosi.

Setelah anda membaca dan mencermati tulisan di atas, ijinkan saya mengajukan satu pertanyaan penting untuk direnungkan, "Siapakah diri anda sesungguhnya?"

Baca Selengkapnya

Teori Polivagus, Pikiran Bawah Sadar, dan Hipnoterapi Klinis

9 Agustus 2019

Artikel ini bertujuan menjelaskan secara singkat teori Polivagus (Polyvagal Theory) yang digagas oleh Stephen W. Porges dan korelasinya dengan pikiran bawah sadar dan hipnoterapi klinis.

Teori Polivagus pertama kali diungkap ke publik oleh Stephen W. Porges, 8 Oktober 1994, di hadapan komunitas ilmiah Society of Psychophysiological Research. Beberapa bulan kemudian, teori ini dipublikasi dalam artikel Orienting in a Defensive World: Mammalian Modifications of Our Evolutionary Heritage dan diterbitkan di jurnal Psychophysiology (Porges, 1995).

 

Neurosepsi (Neuroception)

Menurut teori Polivagus, sebelum otak mengerti apa yang terjadi dan memberi makna secara sadar pada suatu situasi atau kejadian, sistem saraf otonom melalui proses yang dinamakan neurosepsi, telah memindai (scan) dan menilai (assess) berbagai informasi yang bersumber baik dari dalam tubuh, lingkungan, maupun dari individu lain, dan memberi makna pada informasi ini (Porges, 2004).

Makna yang dihasilkan melalui proses ini bisa berupa salah satu dari tiga hal berikut: aman, tidak aman/berbahaya, atau mengancam keselamatan hidup. Selanjutnya, masih tanpa melibatkan kesadaran (conscious awareness), sistem saraf memulai dan mendorong terjadinya respon seturut makna.  

Neurosepsi dapat dipandang sebagai sinyal somatik yang memengaruhi pembuatan keputusan dan respon perilaku tanpa secara sadar mengetahui keberadaan isyarat atau pemicu (Klarer dkk, 2014 : 7076). Beberapa karakteristik neurosepsi terekam ke dalam sistem saraf kita, menjadi strategi adaptif, dan diturunkan melalui proses evolusi (Porges, 2009b).

Berbeda dengan persepsi yang melibatkan kesadaran hingga derajat tertentu, neurosepsi berlangsung sangat cepat, tidak melibatkan fungsi kognisi atau kesadaran, namun melibatkan struktur subkortikal sistem limbik (Morris, Ohman, dan Dolan, 1999). Hasil dari neurosepsi berupa firasat (gut feelings), perasaan yang muncul dari hati (heart-informed feelings), dan perasaan tersirat (implicit feelings) yang menggerakkan individu dalam kontinum respon aman dan keselamatan hidup (survival). Neurosepsi mengendalikan kondisi mental emosi, memberi warna pada pengalaman, dan mencipta respon otonom.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh sekelompok ilmuwan Max Planck Institute for Human Cognitive and Brain Sciences di Leipzig, bekerja sama dengan Charité University Hospital dan Bernstein Center for Computational Neuroscience di Berlin, di bawah pimpinan Professor John-Dylan Haynes. Hasil penelitian yang dipublikasi di Science Daily, 15 April 2008, menyatakan bahwa aktivitas otak memprediksi, bahkan hingga 7 detik lebih awal, bagaimana seseorang akan membuat keputusan. Dengan kata lain, pembuatan keputusan adalah hasil dari aktivitas mental yang bersifat tidak disadari (nirsadar). 

Pemindaian dan penilaian yang dilakukan sistem saraf otonom, melalui proses neurosepsi, bekerja berdasar pola kebiasaan yang berkembang seiring waktu dan dibentuk melalui pengalaman hidup, baik pengalaman positif dan memberdayakan, maupun pengalaman traumatik. Neurosepsi membentuk kondisi psikologis (kognisi dan emosi) dan selanjutnya kondisi ini menentukan respon individu (Dana, 2018).

Secara anatomis, tiga bagian otak yang terlibat dalam proses neurosepsi adalah temporal cortex, periaqueductal gray (PAG), dan insula (Porges, 2009b, 2011). Temporal cortex bekerjasama dengan amigdala menjalankan fungsi mengenali dan berespon pada wajah, suara, dan gerakan tangan orang untuk menentukan derajat keterpercayaan seseorang. PAG berkomunikasi dengan sistem saraf simpatik dan dorsal vagus untuk mengelola perilaku konfrontatif, perilaku menghindar atau lari, dan perilaku imobilisasi. Insula terlibat dalam interosepsi, mengolah informasi yang berasal dari organ tubuh, atau membawa umpan balik dari organ viseral ke permukaan sehingga diketahui oleh pikiran sadar (Craig, 2009a).

Neurosepsi memberi individu akses pada informasi yang tidak dapat individu amati secara sadar. Bila neurosepsi bekerja dengan baik, ia adalah berkah dalam menjaga keselamatan dan kesejahteraan individu. Namun, neurosepsi juga bisa salah dalam melakukan penilaian akibat distorsi yang disebabkan oleh trauma masa lalu, berbagai emosi negatif dalam diri, akibat pengaruh obat, kondisi fisik lelah, gula darah rendah, sakit, atau bahkan saat individu sedang jatuh cinta.

 

Sistem Saraf Otonom

Sebelum Teori Polivagus, sistem saraf otonom manusia digambarkan sebagai sistem antagonis dua bagian, simpatik dan parasimpatik, dengan peran dan fungsinya masing-masing, dan hanya satu sistem saraf yang bisa aktif pada satu waktu tertentu. Sistem saraf simpatik berespon pada sinyal atau isyarat bahaya,  melepas adrenalin dan menyiapkan tubuh untuk proses penyelamatan hidup melalui respon lawan atau lari (fight-flight response). Sementara sistem saraf parasimpatik berfungsi merilekskan individu.

Teori Polivagus mengidentifikasi jenis respon ketiga, yang Porges (2004) sebut sebagai sistem keterlibatan sosial (social engagement system), perpaduan antara  respon aktif dan menenangkan, beroperasi melalui pengaruh saraf yang unik.

Dalam Teori Polivagus dinyatakan bahwa sistem saraf parasimpatik memiliki dua cabang dengan fungsi berbeda: ventral vagus dan dorsal vagus. Dengan demikian, menurut teori ini, terdapat tiga jalur dalam sistem saraf otonom kita: simpatik, ventral vagus dan dorsal vagus (Porges, 2011).

Saraf simpatik berawal dari dalam kolom tulang belakang, menuju ke bagian tengah medula spinalis dalam kolom sel medialolateral (atau tanduk lateral), dimulai pada segmen toraks pertama dari medula spinalis dan diperkirakan meluas ke segmen lumbar kedua atau ketiga. Saraf simpatik memobilisasi energi individu melalui dua sistem: medula simpatik adrenal (sympathetic adrenal medullary / SAM) dan poros hipotalamus-pituitari-adrenal (hypopthalamic-pituitary-adrenal axis) atau poros HPA.

Saat sistem saraf memaknai situasi sebagai bahaya atau mengancam, SAM aktif dan mengakibatkan semburan adrenalin untuk respon segera terhadap stresor. Respon sekejap ini berlangsung dalam rentang waktu 100 milidetik. Aktivasi SAM bertujuan untuk respon jangka pendek dan setelahnya tubuh kembali ke kondisi normal. Namun apabila situasi tidak dapat diatasi dengan aktivasi SAM, selanjutnya poros HPA aktif dan melepas hormon stres kortisol.

Manusia memiliki 12 pasang saraf kranial (saraf yang muncul langsung dari otak). Saraf vagus adalah saraf kranial 10, paling panjang dari semua saraf kranial, dan merupakan komponen utama dari sistem saraf parasimpatik. Saraf vagus bukan saraf tunggal namun berupa kumpulan serabut saraf dalam selubung.

Saraf vagus terbagi menjadi dua jalur di diafragma: ventral vagus dan dorsal vagus. Ventral vagus memengaruhi kerja organ-organ di atas diafragma (supradiafragmatik) seperti jantung dan paru-paru, sementara dorsal vagus memengaruhi kerja organ-organ di bawah diafragma (subdiafragmatik), terutama organ pencernaan.

Ventral vagus berespon pada isyarat situasi atau kondisi aman dan mendukung rasa aman untuk keterlibatan dan keterhubungan secara sosial. Sementara dorsal vagus berespon pada isyarat bahaya ekstrim yang mengancam keselamatan, guncangan hebat baik fisik atau psikis (shock – trauma), atau bila individu merasa tidak berdaya menghadapi situasi tertentu.

Aktifnya dorsal vagus dapat diamati melalui karakteristik fisik antara lain wajah kehilangan warna, datar, dan tampak tidak responsif. Suara juga berubah menjadi datar, respon verbal menjadi (sangat) lambat, mata nanar dan tekanan darah turun. Aliran darah ke lobus frontalis juga menurun mengakibatkan otak tidak mampu membentuk narasi dan gambaran kejadian yang dialami individu. Individu mengalami amnesia. Ini terjadi karena pada saat mengalami guncangan hebat, individu bereaksi menggunakan bagian otak dan sistem saraf yang lebih primitif.

Hampir semua saraf ventral vagus termielinasi. Sementara saraf-saraf dorsal vagus hampir semuanya tidak termielinasi. Mielinisasi membuat ventral vagus mampu memroses informasi dengan cepat dan efisien (Porges, 1997).

Hal penting lainnya, 80% saraf vagus adalah saraf aferen, yaitu saraf yang mengirim sinyal sensorik ke otak. Sementara 20%-nya adalah saraf eferen, yaitu saraf yang mengirim sinyal dari otak ke otot-otot dan kelenjar-kelenjar.

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa saat situasi aman, ventral vagus aktif, individu dapat menjalani interaksi sosial (social engagement) dengan baik. Saat situasi tidak aman atau bahaya, saraf simpatik aktif dan individu masuk mode lawan atau lari (fight-flight). Dan saat menghadapi bahaya ekstrim, dorsal vagus aktif, individu mengalami kondisi imobilisasi atau freeze.

 

Hirarki Aktivasi

Untuk memahami cara kerja dan urutan aktivasi ketiga sistem saraf otonom ini, dapat digunakan analogi tangga. Posisi paling atas tangga adalah ventral vagus. Di bawahnya, sistem saraf simpatik. Dan paling bawah adalah dorsal vagus.

Dalam kondisi normal, saat neurosepsi memberi makna aman terhadap situasi di dalam diri, lingkungan, atau orang lain di sekitar individu, saraf ventral vagus aktif. Aktifnya ventral vagus berakibat individu merasa aman, nyaman, dan mampu berinteraksi sosial dengan baik.

Apabila karena sesuatu hal, neurosepsi memaknai suatu isyarat sebagai tanda bahaya maka aktivasi ventral vagus menurun dan saraf simpatik mulai aktif. Bila kondisi bahaya ini dapat segera diatasi, saraf simpatik menjadi nonaktif dan ventral vagus kembali aktif sepenuhnya sehigga individu dapat menjalani kehidupan dengan perasaan nyaman dan mampu berinteraksi dengan lingkungan.

Namun bila kondisi bahaya ini tidak dapat diatasi, ventral vagus segera menjadi nonaktif dan saraf simpatik aktif sepenuhnya mengendalikan individu. Saraf simpatik mengaktifkan respon lawan atau lari (fight-flight response). Saat individu menghadapi bahaya ekstrim yang mengancam keselamatan atau guncangan ektrim yang dinilai di luar kemampuan individu untuk mengatasinya, dorsal vagus aktif, dan individu masuk kondisi imobilisasi/beku (freeze), menarik atau menutup diri,dan bisa mengalami disosiasi.

Pengalaman tidak kondusif atau traumatik dalam proses tumbuh kembang individu mengakibatkan neurosepsi sering salah dalam memaknai suatu informasi. Informasi yang sebenarnya netral atau bukan masalah dimaknai sebagai sesuatu yang mengancam atau berbahaya, mengakibatkan ventral vagus nonaktif, dan sistem saraf simpatik atau dorsal vagus aktif.  

Untuk mampu menjalankan interaksi dan fungsi sebagai makhluk sosial dengan baik, merasa tenang, aman, bahagia, aktif, penuh perhatian, semangat, dan menikmati hidup, individu butuh aktivasi ventral vagus. Namun, semua hal ini tidak bisa individu alami bila sistem saraf simpatik atau dorsal vagus aktif, yang menempatkan individu dalam mode genting lawan atau lari, atau kondisi imobilisasi.

Pengalaman tidak kondusif atau traumatik dalam proses tumbuh kembang dapat mengakibatkan individu tersangkut dalam mode sistem saraf simpatik aktif atau dorsal vagus aktif untuk waktu lama.

Saat sistem saraf telah terkondisi sedemikian rupa, ia akan terus berada dalam kondisi ini hingga individu secara sadar melakukan pengkondisian baru. Perubahan melalui pengkondisian baru sifatnya penting karena neurosepsi mengikuti pola terkondisi ini.

 

Trauma dan Sistem Saraf Otonom

Setiap individu, dalam perjalanan hidupnya, pasti pernah mengalami peristiwa yang mengguncang, intens, dan penuh tekanan. Namun, respon setiap individu tidaklah sama. Ada yang dapat mengatasi kondisi ini dengan cepat dan kembali ke kondisi seimbang, nyaman, dan mampu melanjutkan hidup dengan baik melalui interaksi sosial bermakna. Sementara ada juga individu yang berubah, akibat kejadian ini, dan tidak lagi sama seperti dirinya sebelum kejadian.

Gangguan psikologis pascatrauma, bila ditilik dari perspektif Teori Polivagus, sejatinya terbagi menjadi dua. Pertama, kondisi pascatrauma kronis melalui aktivasi sistem saraf simpatik yang menghasilkan respon lawan atau lari, atau lebih sering disebut kondisi stres. Kedua, kondisi pascatrauma kronis melalui aktivasi dorsal vagus yang menghasilkan respon menarik atau menutup diri akibat perasaan takut, tidak berdaya, putus asa, dan berbagai perilaku depresi (Rosenberg, 2017).

Gangguan stres pascatrauma terjadi bila respon genting lawan, lari, atau imobilisasi teraktivasi namun tidak berhasil dinonaktifkan kembali dan individu mengalami fiksasi psikofisiologis, mengakibatkan ventral vagus nonaktif untuk waktu lama.

 

Pikiran Bawah Sadar

Manusia memiliki dua pikiran: pikiran sadar (PS) dan pikiran bawah sadar (PBS). PBS mulai aktif sejak terjadi pembuahan. Ia akan terus dan selalu aktif hingga individu meninggal. Sementara PS baru mulai aktif saat individu berusia tiga tahun. Berbeda dengan PBS yang senantiasa aktif dan bekerja, PS hanya aktif saat individu dalam kondisi bangun dan sadar penuh. Saat individu tidur, pingsan, dibawah pengaruh obat, atau dianestesi, PS tidak aktif (sepenuhnya).

PS terus berkembang seiring proses tumbuh-kembang individu dan menjadi sangat kuat saat usia 13 tahun. PS memiliki fungsi berpikir analitis, rasional, menyimpan memori jangka pendek, kekuatan kehendak, dan faktor kritis (Gunawan, 2012).

PBS memiliki lebih banyak fungsi daripada PS. Fungsi paling utama PBS adalah menjaga dan atau melindungi keselamatan individu dari segala sesuatu yang ia pandang, rasa, yakin, percaya, atau asumsikan sebagai hal membahayakan kesejahteraan atau keselamatan individu (Tebbetts, 1987; Gunawan, 2012). PBS melindungi individu berdasar keputusan dan cara yang ia pilih. Fungsi lain PBS adalah sebagai tempat menyimpan kepercayaan (belief), nilai (value), memori jangka panjang, kebiasaan (baik, buruk, netral), kepribadian, karakter, intuisi, kreatifitas, dan sumber emosi (Churchill, 2012; Gunawan, 2012).

PBS melindungi individu menggunakan data yang tersimpan di memori yang dihimpun seiring pertumbuhan dan perkembangan individu. Selanjutnya, dengan menggunakan data ini sebagai parameter, PBS memindai (scan) berbagai informasi, baik yang bersumber dari dalam diri maupun lingkungan.

Data hasil pemindaian yang masuk ke PBS, dengan sangat cepat dibandingkan dengan data di memori, dan setelahnya PBS memberi makna: aman, berbahaya, atau mengancam keselamatan jiwa. Berdasar makna ini, PBS menyiapkan respon adaptif yang sesuai. Semua ini terjadi dengan sangat cepat tanpa melibatkan PS.

Kapasitas dan kecepatan PBS dalam memroses data sangat besar dan cepat. Menurut Zimmermann (1989) jumlah maksimal informasi yang dapat disadari adalah sekitar 40 bit/detik – sangat jauh di bawah jumlah yang diterima oleh reseptor-reseptor (ujung-ujung saraf). Sementara Trincker (dalam Norrentranders, 1998:126) menyatakan bahwa dari semua informasi yang masuk ke otak setiap detik, yang berasal dari semua sensor organ, hanya sejumlah sangat kecil disadari. Rasio antara kapasitas persepsi dan kapasitas apersepsi adalah satu juta berbanding satu. Dengan kata lain, hanya satu per satu juta informasi yang dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan yang berasal dari organ atau indera lainnya, yang muncul ke kesadaran dan diketahui atau disadari. Dari dua pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbandingan kapasitas pemrosesan data antara PS dan PBS adalah 40 bit/detik berbanding 40.000.000 bit/detik atau 1 berbanding 1.000.000.

Dengan kecepatan pemrosesan data yang sedemikian tinggi, PBS dapat secara instan memberi makna pada suatu informasi yang ia terima, dan selanjutnya mengirim sinyal ke pikiran sadar terutama melalui tiga dari lima jalur komunikasi utama: perasaan, sensasi fisik, suara hati (inner talk). Dua jalur lainnya adalah intuisi dan mimpi.

Para pakar hipnoterapi seperti Erickson, Boyne, Tebbetts, Kein, Churchill dan yang lainnya menyatakan bahwa besarnya daya pengaruh PS dan PBS dalam memengaruhi dan mengendalikan individu adalah 10% berbanding 90%. Hal yang sama dinyatakan oleh Szegedy-Maszak (2005) bahwa manusia hanya menyadari sekitar 5% dari aktivitas berpikirnya, dengan demikian hampir semua keputusan, tindakan, emosi, dan perilaku seseorang sepenuhnya bergantung pada 95% aktivitas otak yang berlangsung tanpa ia sadari. 

Saat seseorang di masa kecil, misalnya pernah mengalami trauma karena digigit anjing, maka data berupa narasi kejadian dan emosinya tersimpa di memori PBS. Selanjutnya, berdasar data ini, PBS akan memindai apakah ada anjing di sekitar individu dan bila ada, PBS akan langsung mengaktifkan tanda bahaya berupa perasaan tidak nyaman, takut, atau sensasi fisik tertentu, atau bahkan ada suara hati yang memerintah individu untuk segera menjauh dari anjing.

Demikian pula bila seseorang pernah mengalami perlakukan buruk, misal dimarahi oleh orang tua dengan suara keras, narasi kejadian dan emosinya disimpan di memori PBS. Setelahnya, setiap kali ia mendengar suara keras, walau suara ini tidak ditujukan padanya, PBS memberi sinyal tanya bahaya.

Sinyal ini direspon fisik dalam bentuk aktivasi sistem saraf simpatik. Dan bila bahaya telah berlalu dan individu merasa aman atau nyaman, sesuai dengan pemaknaan PBS, ia kembali rileks. Individu menjadi rileks karena sistem saraf parasimpatik, tepatnya ventral vagus, aktif.

Dan bila berdasar penilaian PBS individu tidak mungkin bisa mengatasi kondisi atau situasi yang sedang ia hadapi, sebagai langkah perlindungan, PBS akan membuat individu menjadi lemas, tidak mampu bergerak, bahkan pingsan. PBS juga bisa membuat individu mengalami disosiasi agar tidak mengalami sakit atau penderitaan berlebih. Kondisi ini sejatinya adalah aktivasi saraf dorsal vagus.

Dalam hipnoterapi, dilakukan induksi hipnotik dengan tujuan membuat PS menjadi rileks sehingga faktor kritis PS menjadi nonaktif. Dengan demikian, terapis dapat berbicara langsung dengan PBS klien tanpa intervensi dari PS.

Dalam kondisi hipnosis sedalam apapun, saat PS tidak lagi bekerja, PBS klien tetap aktif dan senantiasa menjalankan fungsi proteksi pada diri individu. Ini sejatinya adalah proses neurosepsi yang dilakukan sistem saraf otonom.

 

Hipnoterapi Klinis

Teori Polivagus menyatakan bahwa sistem saraf terkondisi oleh pengalaman hidup dan membentuk pola spesifik sebagai acuan pemberian makna oleh proses neurosepsi. Pengalaman traumatik mengakibatkan neurosepsi lebih sering memberi makna bahaya terhadap isyarat atau informasi yang bersumber dari dalam diri atau lingkungan. Kondisi ini mengakibatkan saraf simpatik atau dorsal vagus lebih sering aktif.

Sementara pengalaman positif yang dialami individu dalam proses tumbuh kembangnya membuat neurosepsi lebih tepat memberi makna pada isyarat atau informasi yang diterima dari dalam diri atau lingkungan, sebagai kondisi aman atau terkendali. Hal ini mengakibatkan individu lebih sering berada dalam mode aktivasi ventral vagus dan mampu menjalankan hidup dengan baik melalui interaksi sosial.

Pengkondisian ulang sistem saraf yang cenderung mengaktifkan saraf simpatik dan dorsal vagus dapat dilakukan dengan teknik tertentu (Porges dan Dana, 2018; Dana, 2018). Teknik dimaksud adalah dengan melatih individu mengenali kapan salah satu dari tiga sistem sarafnya aktif, apa yang membuat sistem saraf ini aktif, dan apa yang bisa ia lakukan untuk mengubah situasi ini.

Dengan sering berlatih mengenali dan melakukan koreksi atas respon, individu melakukan pengkondisian ulang pada sistem sarafnya. Hal yang sebelumnya oleh neurosepsi dimaknai bahaya atau mengancam keselamatan, padahal sesungguhnya tidak, akan terkoreksi sehingga bila individu bertemu dengan isyarat atau informasi yang sama, neurosepsi memberi makna berbeda.

Dari perspektif hipnoterapi klinis, pola berulang yang dialami individu sejatinya adalah program pikiran berisi narasi kejadian dan emosi dengan intensitas tertentu, yang tersimpan di memori PBS.

Berbagai kejadian traumatik dan emosi intens yang lekat padanya, tersimpan di memori, tidak hilang walau telah lama berlalu. Memori ini, tidak seperti memori pada umumnya yang akan pudar dengan sendirinya, akan terus aktif, bahkan setelah puluhan tahun. Bagi para individu ini, masa lalu selalu hadir di masa sekarang, dan mengakibatkan individu kerap dalam kondisi waspada berlebih. (Van der Kolk, 2014),

Kondisi waspada, akibat aktifnya saraf simpatik, adalah simtom yang bersumber dari energi yang terperangkap dalam sistem saraf dan sangat menganggu keseimbangan serta kesejahteraan tubuh dan pikiran. Residu ini terjadi karena individu tidak dapat menyelesaikan proses melewati atau keluar dari kondisi tak berdaya saat mengalami kejadian (Levine, 1997). Kondisi ini hanya bisa berubah atau diubah saat emosi yang lekat pada memori kejadian berhasil dikeluarkan sepenuhnya dari sistem psikis individu.

Melalui proses hipnoterapi klinis, individu dibimbing untuk dengan aman mencari, menemukan, dan mengakses pengalaman traumatik masa lalu, yang mengakibatkan ia mengalami fiksasi psikofisiologis berupa respon sistem saraf yang tidak akurat dan malfungsi neurosepsi.

Saat pengalaman traumatik ini berhasil direkonstruksi, emosi yang lekat pada memori berhasil dinetralisir dan tuntas dikeluarkan dari sistem psikis individu, individu mengalami pengalaman emosional korektif, sistem saraf kembali ke kondisi homeostasis alamiah, ventral vagus aktif, dan neurosepsi dapat bekerja dengan benar.

 

 

Referesi:

Churchill, Randal. 2012. Advanced Clinical Hypnotherapy workbook.

Craig, A. D. 2009a. How do you feel—now? The anterior insula and human awareness. Nature Reviews Neuroscience, 10, 59–70.

Dana, Deb. 2018. The Polyvagal Theory in Therapy: Engaging the Rhythm of Regulation. New York: Norton

Gunawan, Adi W. 2012. The Miracle of MindBody Medicine. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Klarer, M., Arnold, M., Günther, L., Winter, C., Langhans, W., & Meyer, U. 2014. Gut vagal afferents differentially modulate innate anxiety and learned fear. Journal of Neuroscience, 34(21), 7067–7076

Levine, Peter.1997. Waking the Tiger: Healing Trauma. Berkeley: North Atlantic

Morris, J.S., Ohman, A., & Dolan, R.J. 1999. A subcortical pathway to the right amygdala mediating “unseen” fear. Proceedings of the National Academy of Sciences USA, 96, 1680-1685

Norrentranders, T. 1998. The User Illusion: Cutting Consciousness Down to Size. New York: Penguin Books

Porges, Stephen W. 2009a. The polyvagal theory: New insights into adaptive reactions of the autonomic nervous system. Cleveland Clinic Journal of Medicine, 76 (Suppl 2), S86–S90.

Porges, Stephen W., Dana, A., Deb. 2018. Clinical Applications of the Polyvagal Theory: The Emergence of Polyvagal-Informed Therapies. New York : Norton

Porges, Stephen W. 1995. Orienting in a Defensive World: Mammalian Modifications of Our Evolutionary Heritage. Psychophysiology. 32(4):301-318.

Porges, Stephen W. 1997. Emotion: An evolutionary by-product of the neural regulation of the autonomic nervous system. Annals of the New York Academy of Sciences, 807, 62–77.

Porges, Stephen W. 2011. The Polyvagal Theory: Neurophysiological Foundations of Emotions, Attachment, Communication, and Self-regulation. New York: Norton

Rosenberg, Stanley. 2017. Accessing the Healing Power of the Vagus Nerve. Berkeley: North Atlantic Book.

Sciencedaily. 2008, 15 April. Decision-making May Be Surprisingly Unconscious Activity. Diakses 8 Agustus 2019, dari https://www.sciencedaily.com/releases/2008/04/080414145705.htm

Szegedy-Maszak, M. 2005. Mysteries of the Mind, Is your unconscious making your everyday decisions? U.S. News & World Report

Tebbetts, Charles. 1987. Self Hypnosis and Other Mind-Expanding Techniques. Glendade: Westwood Pulishing

Van der kolk, Bessel. 2014. The Body Keeps the Score: Brain, Mind, and Body in the Healing of Trauma. New York: Penguin Books

Zimmermann, Manfred. The Nervous System in the Context of Information Theory. Human Physiology, 89, 166-173

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List