The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Memahami Emosi

21 April 2014

Emosi adalah faktor penggerak hidup. Setiap tindakan yang dilakukan secara sadar atau tidak sadar selalu didorong oleh emosi tertentu. Gerakan (motion) dan emosi (emotion) keduanya berasal dari bahasa Latin “movere” yang artinya bergerak (to move).

Bertahun lalu saya pernah mendengar YM Sri Paññavaro Mahathera berkata, “Batin manusia terdiri atas pikiran, perasaan, ingatan, dan kesadaran. Dari keempat komponen ini yang menjadi provokator adalah perasaan.”

Pendapat Beliau ini senantiasa saya ingat. Sekarang, sebagai orang yang mendalami teknologi pikiran dan khususnya hipnoterapis klinis, saya sampai pada simpulan yang sama. Semua tindakan seseorang, apapun itu, selalu didasari oleh satu atau beberapa emosi spesifik.   

Namun saya tidak berhenti hanya di sini. Cukup lama saya mengamati, memelajari, dan penasaran dengan emosi. Dalam konteks klinis, yang selalu membuat saya penasaran adalah mengapa emosi positif (misal: senang, bahagia, gembira) sulit dipertahankan, walau kita sangat ingin merasakan atau mengalaminya selama mungkin, sedangkan emosi negatif (misal: sedih, terluka, sakit hati, kecewa, marah, takut, cemas,) begitu sulit dilepas, walau kita telah berusaha melepaskannya? Apa yang menyebabkan hal ini?

Emosi positif usai kita alami secara otomatis mereda dan hilang. Sebaliknya emosi negatif, begitu muncul dan kita rasakan, biasanya bertahan cukup lama. Dan masih bisa muncul lagi bila terpicu oleh stimulus yang mirip dengan yang memunculkannya sebelumnya.

Sebagian besar pakar setuju dengan keberadaan emosi dasar, yang sangat kuat, yang menjadi sumber dari emosi-emosi lainnya. Walau belum berhasil dicapai konsensus mengenai emosi primer namun secara umum pembahasan mengenai emosi dasar selalu meliputi empat emosi berikut: takut, bahagia, sedih, dan marah.

Pemikir besar Rene Descartes menyebut ada enam emosi dasar yaitu cinta, benci, kagum, hasrat, bahagia, dan sedih. Sementara filsuf Jerman Immanuel Kant mengatakan ada lima emosi dasar: cinta, harapan, rendah hati, bahagia dan sedih. Dalam bukunya yang terbit tahun 1890, Principles of Psychology, William James, bapak psikologi Amerika, menyederhanakan emosi dasar menjadi empat: cinta, takut, sedih, dan marah. Setiap emosi, menurut James, adalah kombinasi dari keempat emosi dasar ini.

Banyak penulis dan terapis mendefinisikan emosi sebagai baik atau buruk, positif atau negatif. Ini kurang tepat. Setiap emosi sifatnya normal dan merupakan bentuk komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar. Setiap emosi mengandung pesan spesifik yang perlu dimengerti. Demi memudahkan pembahasan di artikel ini saya menggunakan “label” positif untuk emosi yang membuat kita merasa nyaman dan negatif untuk emosi yang membuat kita tidak nyaman.

Orang sering rancu antara ungkapan (expression) dan mengalami (experience) emosi. Mengalami emosi adalah apa yang dirasakan seseorang di dalam tubuhnya. Sementara ungkapan emosi adalah apa yang dilakukan seseorang karena mengalami emosi. Mengalami emosi melibatkan sensasi di dalam diri sedangkan ungkapan emosi melibatkan tindakan ke luar diri.

Ungkapan emosi meliputi gerakan, terjadi di bagian luar tubuh, dan menghasilkan sensasi fisik. Mengalami emosi melibatkan perasaan yang bisa dirasakan di tubuh fisik pada wilayah tertentu, yang berpusat pada torso (batang tubuh yang terdiri atas dada, punggung, dan perut) dan tidak melibatkan gerakan tubuh.

Emosi jarang muncul sendiri, mereka tidak berdiri sendiri, tapi berinteraksi dengan emosi lainnya. Umumnya beberapa emosi muncul dan pudar bersamaan. Dan yang lebih sering terjadi adalah satu emosi muncul terlebih dahulu lalu memicu emosi lainnya sambil emosi pertama ini memudar atau hilang.

Yang paling sering dijumpai atau dialami yaitu emosi takut, sedih, dan malu memicu marah. Ini terjadi karena emosi takut, sedih, dan malu sifatnya menyakitkan. Untuk menghindari rasa sakit akibat emosi-emosi ini pikiran bawah sadar mengaktifkan emosi lain yaitu marah yang sifatnya ekspansif dan menguatkan individu. Marah membuat kita lupa pada emosi yang menyakitkan.

Ada emosi yang sifatnya ekspansif, mendorong kita bergerak ke arah luar diri, berinteraksi dengan lingkungan, sedangkan lainnya bersifat kontraktif, menyebabkan kita menarik diri dari lingkungan.

Emosi yang sifatnya ekspansif antara lain bahagia, cinta, marah, percaya diri. Sedangkan emosi yang sifatnya kontraktif antara lain sedih, malu, rasa dikhianati, kesepian, dan takut. Emosi kontraktif juga mengkontraksi organ dan kelenjar di wilayah tubuh di mana emosi dirasakan.

Kontraksi yang disebabkan oleh emosi mencengkeram jaringan organ, menghambat aliran darah dan nutrisi, dan menghambat organ untuk berfungsi normal dan optimal. Kontraksi ini akan terus berlangsung selama emosi yang menyakitkan ini masih ada. Saat emosi ini hilang, kontraksi secara otomatis berhenti, dan organ kembali berfungsi normal.

Fritz Perls, bapak Gestalt, mengatakan bahwa emosi memiliki usia hidup yang meliputi satu kelahiran dan satu kematian, satu awal dan satu akhir. Emosi-emosi yang tidak terselesaikan akan tetap tinggal dan hidup di dalam diri kita, terus mengganggu hidup kita hingga mereka dialami secara penuh, menyeluruh, terpakai habis, dan selesai.

Di dalam diri kita tinggal dan hidup berbagai emosi tak terselesaikan (emosi negatif) yang berasal dari semua trauma yang pernah kita alami. Kita tidak lagi menyadari keberadaan mereka yang telah terbenam jauh di kedalaman pikiran bawah sadar, tetapi mereka tetap ada dan aktif memengaruhi setiap pikiran, ucapan, dan tindakan kita. Emosi ini terus hidup dan aktif walau kejadian yang menjadi pemicu munculnya emosi ini telah berakhir.

Emosi yang menyakitkan hanya bisa hilang bila ia dialami sepenuhnya, selengkapnya, hingga tuntas oleh individu. Cara lain adalah dengan memberikan pemaknaan baru pada kejadian awal yang menyebabkan munculnya emosi ini. Kendalanya adalah walau emosi awal telah berhasil dinetralisir, dengan pemaknaan ulang, ternyata masih ada kejadian lain dalam rangkaian peristiwa kehidupan seseorang yang mengandung emosi sejenis dan sifatnya memperkuat emosi sebelumnya. Ini juga perlu dinetralisir untuk dicapai hasil optimal dalam upaya mengatasi atau menghilangkan emosi yang mengganggu.

Semua emosi adalah baik, karena berfungsi untuk memberikan informasi, arah, dan motivasi yang akan membantu kita menciptakan suatu kehidupan yang bahagia. Emosi dihasilkan oleh pikiran bawah sadar dan merupakan dorongan untuk bertindak, sistem penuntun atau peringatan dini alamiah, dan adalah salah satu bentuk komunikasi dengan pikiran sadar.

Emosi atau yang umum disebut perasaan adalah bahasa pikiran bawah sadar yang sangat positif dan mengandung pesan atau makna spesifik dengan pemenuhan kebutuhan yang juga spesifik. Ketidakmengertian atau ketidaktahuan ini yang sering mengakibatkan seseorang mengalami kondisi tidak nyaman atau menderita saat mengalami emosi "negatif" tertentu. 

Emosi yang sering dialami seseorang adalah marah, rasa bersalah, takut, frustrasi, kecewa, sedih, kesepian, rasa tidak mampu, rasa bosan, dan stres. Bila dicermati, setiap emosi ini mengandung makna spesifik sebabai berikut:

- Marah = merasa diperlakukan tidak adil.

- Rasa bersalah = merasa telah memperlakukan orang lain tidak adil.

- Takut = sesuatu yang buruk akan terjadi (antisipasi).

- Frustrasi = apa yang telah dilakukan tidak memberikan hasil seperti yang diinginkan, perlu cara lain.

- Kecewa = apa yang diinginkan tidak bisa terwujud.

- Sedih = kehilangan sesuatu yang berharga.

- Kesepian = butuh interaksi / relasi bermakna.

- Rasa tidak mampu = ada yang salah dengan diri sendiri.

- Rasa bosan = kurang tantangan. 

- Stres = terlalu banyak hal yang ingin dilakukan dalam satu saat.

Bila Descartes menyatakan "I think therefore I am" (Cogito ergo sum) yang artinya “Aku berpikir maka aku ada”. Bagaimana bila saya mengusulkan “I feel therefore I am alive” atau “Saya punya perasaan maka saya hidup”.

Baca Selengkapnya

Memahami yang Milton Erickson Lakukan

13 April 2014

Milton Erickson adalah salah satu tokoh ternama dalam dunia hipnoterapi klinis. Erickson terkenal dengan kecermatan, kreativitas, dan keefektifan terapi yang ia lakukan. Satu hal menarik yang sangat tampak dalam berbagai kasus yang ia tangani yaitu Erickson menggunakan cara, pendekatan, atau teknik yang sangat unik. Sayangnya, ia tidak pernah secara khusus menulis atau membakukan berbagai teknik intervensi yang ia lakukan dan menjelaskan dengan detil dasar teori atau alasan di balik setiap teknik yang ia gunakan.

Bila dicermati dan didalami ternyata teknik yang Erickson gunakan punya pola konsisten. Apa yang dijelaskan di bawah ini adalah peta yang bisa digunakan untuk menentukan intervensi klinis pada masalah klien. Dengan menggunakan peta ini terapis akan mengerti mengapa Erickson melakukan apa yang ia lakukan.

Secara umum masalah meliputi 12 hal berikut ini. Bisa satu, dua, atau kombinasi dari beberapa faktor berikut ini:

1. Satu atau serangkaian perilaku.

2. Makna yang diberikan pada suatu kejadian atau situasi.

3. Frekuensi terjadinya keluhan.

4. Lokasi fisik tempat keluhan terjadi.

5. Tingkat sampai di mana keluhan bersifat tidak dapat dikendalikan.

6. Orang lain yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung.

7. Siapa atau apa yang disalahkan.

8. Faktor lingkungan seperti pekerjaan, status ekonomi, tempat tinggal, dll.

9. Kondisi fisik atau perasaan yang terlibat.

10.Masa lalu.

11.Prediksi masa depan yang suram.

12.Pengharapan yang tidak logis.

Dua belas faktor di atas selain merupakan komponen penyusun masalah juga merupakan “pintu” untuk mengakses solusi bagi masalah itu sendiri.

Terapis membantu klien mengatasi masalahnya dengan mencari tahu komponen penyusun utama dan menetralisirnya dengan teknik intervensi yang sesuai.  

Dalam melakukan terapi atau troubleshooting masalah ada 4 langkah yang perlu dijalani oleh klien sebelum terapi dilakukan:

1.Klien menyadari bahwa ia punya masalah.

2.Klien  mengakui bahwa ia punya masalah.

3.Klien menerima bahwa ia punya masalah.

4.Klien secara sadar mau mengatasi masalah.

Bila empat langkah di atas telah dipenuhi maka langkah selanjutnya adalah :

1.Klien, bila perlu dengan bantuan terapis, mendefinisikan masalahnya  secara konkrit.

2.Investigasi mendalam upaya-upaya yang telah dilakukan klien untuk mengatasi masalah ini.

3.Definisi yang konkrit mengenai perubahan yang ingin dicapai.

4.Formulasi dan implementasi perencanaan untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan.

Masalah muncul karena klien mengalami sesuatu. Dari kejadian atau pengalaman itu akan muncul suatu emosi yang didasarkan pada pemaknaan yang diberikan pada saat kejadian atau pengalaman itu terjadi.

Emosi yang muncul ini, jika adalah emosi negatif, akan mulai mengganggu hidup klien dan dipersepsikan sebagai suatu masalah yang harus (segera) diatasi. Klien mulai melakukan upaya untuk mengatasi masalahnya. Namun, karena penanganan yang kurang tepat mengakibatkan kegagalan yang berulang dalam upaya memperbaiki keadaan.

Seiring dengan waktu berjalan, masalah menjadi semakin parah karena kini klien tidak saja tetap mengalami masalah yang belum berhasil diatasi, klien sekarang juga mengalami “bonus” masalah yaitu perasaan frustrasi.  Kondisi klien juga bisa menjadi semakin parah jika ekspektasi klien yang tinggi terhadap suatu proses terapi ternyata tidak berhasil dicapai.  

ME2   

Pada gambar di bawah ini tampak korelasi antarkomponen yang saling terkait yang menghasilakn satu masalah.  

ME3

Dari proses wawancara akan diketahui “pintu” mana yang akan digunakan sebagai jalan untuk mengatasi masalah klien.

Dari “pintu” ini akan diketahui apakah terapis perlu membantu klien melakukan hipnoterapi dengan induksi secara formal, melakukan waking hypnosis, ataukah hanya perlu memberikan konseling dalam kondisi sadar. 

Strategi untuk mengatasi masalah klien berdasar "pintu" yang telah diketahui tentu membutuhkan uraian panjang dan detil mengingat ada dua belas "pintu" yang akan dibahas. Ini akan dilakukan di lain kesempatan. 

Baca Selengkapnya

Daftar Literatur EGO STATE THERAPY

11 April 2014

Arenson,  G.  (2008).  Ego  State  Therapy  with  an  Abused  Child:  A  case  study. (Unpublished MEd dissertation). Johannesburg: University of Johannesburg.

Barabasz, A., Barabasz, M., & Watkins, J.G. (in press). Single-session manualized ego state therapy (EST) for combat stress injury, PTSD, and ASD, Part 2: The procedure. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 

Barabasz, A., Christensen, C., Barabasz, M., & Watkins, J.G. (2011). Ego state therapy manual: PTSD and ASD (research ed.). Self-published manuscript, Arreed Barabasz, Palouse, Washington. (Available from the first author.) 

Barabasz, A. (2008a). Abreaction and age regression in hypnoanalysis and ego state therapy. Plenary session address. German Annual National Hypnosis Congress, Milton Erickson Foundation Jahrestagung der Milton-Erickson-Gesellschaft fuer Klinische Hypnose, Bad Orb, Germany. 

Barabasz, A. (2008b). Keynote address: Ego-state therapy: Evocation of child-like affective states for trauma resolution. Fifth German-Nepal International Medical Conference,  HauptKongress,  Kathmandu,  Nepal. 

Barabasz, A., Barabasz, M., Christensen, C., Hasse, L., & Bruna, L (in press). Efficacy of single session ego state therapy for combat stress Injury, PTSD, and ASD. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 

Barnett, E., & Tkach, J. (2005). The rapid reintegration procedure: Effective ego- state hypnotherapy without hypnosis. Kingston, Ontario: Junica Publishing Company Ltd. 

Beahrs, J.O. (1982). Unity and Multiplicity: Multilevel Consciousness of Self in Hypnosis, Psychiatric Disorders and Mental Health. New York: Brunner/Mazel. 

Berne, E. (1961). Transactional Analysis in Psychotherapy. New York: Grove Press. 

Berne, E. (1966). Principles of Group Treatment. New York: Oxford University Press. 

Bergmann, U., & Forgash, C. (2000). EMDR and ego state treatment of dissociation. 

Workshop presented at the International Society for the Study of Dissociation Conference, San Antonio, TX. 

Brenman, M., Gill, M.M., & Hacker, F.J. (1947). Alteration in the state of ego in hypnosis. Bulletin of the Menninger Clinic, 11, 60. 

Bresler, D.E. (1990). Meeting an inner adviser. In: Hammond, D.C., Ed. Handbook of hypnotic suggestion and metaphors (pp. 318-320). New York: W. W. Norton & Company.

Brown (Eds.), Creative mastery in hypnosis and hypnoanalysis: A Festschrift for Erika Fromm (pp.255-261). 

Calnan, R. D. (1977). Hypnotherapeutic ego-strengthening. Australian Journal of Clinical Hypnosis, 5, 105-118. 

Carolusson, S. (1996) Marie: A Case of Dissociated Identity. In Peter, B. et al. (Ed.): Munich Lectures on Hypnosis and Psychotherapy. Hypnosis International Monographs nr 2. 

Carolusson, S. (1998) Hypnosis and Transference in the Treatment of Depression. Hypnos, vol. 25(2),  78-86. 

Celentano, C. (1992). The encapsulated maternal introject: In the service of survival. In E.V. Siegel et al. (Eds.), Psychoanalytic Perspectives on Woman: Current Issues in Psychoanalytic Practice, No. 4, 25-43. New York: Brunner/Mazel, Inc. 

Cohen-Posey, K. (2009). Empowering dialogues within: A workbook for helping professionals and their clients. New York: John Wiley & Sons. 

Curtis, J. (1996). Table talk: Metaphors for internal healing of ego states. Paper presented at the annual meeting of the International Society for the Study of Dissociation, San Francisco. CA. 

Carlisle, A. (1988). Dreams in multiple personality disorder and ego state conditions. 5th International Conference on Multiple Personality and Dissociated States, Chicago, IL. 

Christensen, C., Barabasz, A., & Barabasz, M. (in press). A placebo-controlled test of the effects of single-session ego state therapy for PTSD. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 

Crichton, E. (2007). Transactional Analysis: Ego States – What they are and how to diagnose them. Australian Journal of Clinical hypnotherapy and Hypnosis.; ProQuest Psychology Journals, 28(1), 28. 

Da Silva, J. (2010). The experiences of educational psychologists utilizing ego-state therapy with adolescents presenting with dissociation. (Unpublished MEd Psych dissertation) Johannesburg: University of Johannesburg. 

Da Silva, J & Fritz, E (2012). The experiences of educational psychologists who utilise ego-state therapy to address dissociation in adolescents. The South African Journal of Psychology. 42(2). Accepted and to be published in 2012. 

Degun-Mather, M. (2003). Ego state therapy in the treatment of a complex eating disorder. Contemporary Hypnosis, Vol 20(3), 165-173.

Deikman, A.J. (1982). The Observing Self: Mysticism and Psychotherapy. Boston, MA: Beacon Press. 

Dickey, T., Nungary, V., & Frederick, C. (1998). You must be present to win: Attentional training for the management of serious ego-state problems. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Ft. Worth, TX. 

Douglass, V. F. (1994). The relation of spontaneous amnesia, ego states, and hidden observers to post-hypnotically dissociated task interference. Australian Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 22, 147-152. 

Douglas, V.F. a. J.G. Watkins (1994). The relation of spontaneous amnesia, ego states, and hidden observers to post-hypnotically dissociated task interference. Australian Journal of Clinical and Experimental Hypnosis 22, 147-152. 

Edelstein,  M.  G.  (1982).  Ego  state  therapy  in  the  management  of  resistance. American Journal of Clinical Hypnosis 25, 15-20.

Emmerson, G. a. F. Farmer (1996). Ego-state therapy and menstrual migraine. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis 17 (1).

Emmerson, G. (1999). What lies within: Ego States and other internal personifications. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis. ProQuest Psychology Journals, 20(1), 13. 

Emmerson, G. (2003). Bringing resources to needs with hypnotic anchoring: accessing the best ego state for the job. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis. ProQuest Psychology Journals, 24(2), 88. 

Emmerson, G. (2003). Ego State Therapy. Williston, VT: Crown.

Emmerson, G. (2006). Advanced skills and interventions in therapeutic counseling.  Wales: Crown House Publishing.

Emmerson, G. (2007). Ego State Therapy. Wales: Crown House Publishing.

Emmerson, G. (1999). What lies within: Ego states and other internal personifications. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 20, 13- 22.  

Emmerson, G. (2000). Ego state therapy: Its development and progress in the 20th century. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 21, 1-11. 

Emmerson, G. (2000a). The resistance bridge technique: An ego state induction that locates the origin of the problem. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 21(1), 115-125.

Emmerson,  G.  (2002).  Couples  counselling:  An  ego  state  therapy  approach. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis,23(2), 130-140.

Emmerson, G. (2003). Bringing resources to needs with hypnotic anchoring: Accessing the best ego state for the job. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 24 (2), 88-97. 

Emmerson,  G.  (2003).  Ego  state  therapy.  Carmarthen,  Wales:  Crown House Publishing.

Emmerson, G. (2004). The expression, removal and relief method to resolve trauma. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 25(2), 77-84.

Emmerson, G. J. (2006) Advanced skills and Interventions in therapeutic counseling. Carmarthen, Wales UK: Crown House. 

Emmerson, G. (2006). Smoking cessation: Getting the ego-states to work together. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 27(2), 23-29.

Emmerson,  G.  (2011).  Ego  state  personality  theory.  Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 33(2), 5-23. 

Emmerson, G. (2011). Working with addictions using ego state therapy. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis,33(2), 24-39.

Emmerson, G. (2012). The vaded ego state and the invisible bridging induction. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis.

Emmerson, G.J., & Farmer, K. (1996). Ego-state therapy and menstrual migraine, The Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and  Hypnosis, 17, 7-14.

Fairbairn, W.R.D. (1954). An Object-relations Theory of Personality. New York: Basic Books. 

Federn, P. (1952). In E. Weiss, (Ed.), Ego psychology and the psychoses. New York: Basic Books. 

Federn, P. (1952). Ego psychology and the psychoses. New York: Basic Books

Federn, P. 1952.  Ego psychology and the psychoses, E. Weiss, (ed.), Basic Books, New York. 

Federn, P. (1952). Ego psychology and the psychoses. New York (Basic). (Dt. (1994): Ichpsychologie und die Psychoses. Frankfurt a.M. (Suhrkamp). 

Federn, P. (1928). Narcissism in the structure of the ego. International Journal of Psychoanalysis 9: 401-419.

Federn, P. (1927). Narcissism in the structure of the ego. (Read before the Tenth International Psychoanalytic Congress, Sept. 1, 1927). In Ego psychology and the psychoses, by Paul Federn, E. 

Weiss, Ed., New York: Basic Books, 1952a, pp. 38-59 

Federn, P. (1932). The ego feeling in dreams. Psychoanalytic Quarterly 1: 511-542.

Federn, P. (1943). The psychoanalysis of psychosis. Psychiatric Quarterly 17:3- 19,246-257,480-487. 

Federn, P. (1947a). Principles of psychotherapy in latent schizophrenia. American Journal of Psychotherapy 1: 129-147. 

Federn, P. (1947b). Discussion of J.N. Rosen “Treatment of schizophrenic psychosis by direct analytic therapy”. Psychiatric Quarterly 21, 25-28. 

Federn, P. (1956). Ichpsychologie und die Psychosen. Bern/Stuttgart (Huber).

Forgash, C. (2005). Deepening EMDR treatment effects across the diagnostic spectrum: Integrating EMDR and ego state work. Two-day workshop presentation, New York. (Available on DVD from www.advancedeductionalproductions.com). 

Forgash, C., Copeley, M., (2007). Healing the heart of trauma and dissociation with EMDR and ego state therapy. New York. Springer. 

Forgash, C. (2009). The Treatment of Health Problems of Complex PTSD Clients: an EMDR/Ego State Treatment Plan. EMDR Europe Conference. Amsterdam. 

Forgash, C. (2007). Pre-conference Workshop. Treating Complex Trauma: An Integrated EMDR and Ego State Therapy Approach. EMDR Europe Conference. Paris.

Forgash,C. (2007). Deepening EMDR Treatment Effects Across the Diagnostic Spectrum: Integrating EMDR and Ego State Work. Two Day Workshop Presentation. Phoenix, AZ. Available In DVD Format. www.advancededucationalproductions.com 

Forgash, C. (2006). EMDR and Ego state Work, EMDR Europe Conference. Istanbul.

Forgash, C. (2006). Integrating EMDR and Ego State Treatment: Addressing Dissociation and PTSD in Adult Sexual Abuse Survivors and their Negative Impact on Physical  Health. ISSD Conference. Los Angeles. 

Forgash, C. (2004). Treating Complex Posttraumatic Stress Disorder with EMDR and Ego State Therapy.EMDR Practitioner.Retrieved July 18, 2007, from  http://www.emdr-europe.org/ 

Forgash, C. (2004). Integrating EMDR and ego state therapy in the treatment, ISSD Conference. Chicago.

Forgash, C. (2003). Workshop: Treating Survivors of Overwhelming Trauma Who Present with Pre-existing PTSD and Dissociative Disorders: an EMDR/ Ego State Approach. ISSD Conference. New Orleans 

Forgash, C. (2003) First International Congress of Ego State Therapy, Germany.Workshop: EMDR/Ego State Work in Trauma Response Situations: Working with Survivors of the World Trade Center Tragedy. 

Forgash, C., & Knipe, J. (2001). Safety-focused EMDR/ego state treatment of dissociative disorders. Workshop presented at the EMDR International Association Annual Conference, Austin,TX. 

Fourie, A. M., & Roets, H. E. (2003). Ego state therapy as treatment for severe stomach pains after sexual intercourse: A case presentation. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis 24(2), 67-76. 

Fourie, A.M. (2008). Discovering The Essential Self By Means Of Unconscious Resources: A Psycho Educational Approach, Unpublished Doctoral Dissertation, Pretoria, University of South Africa. 

Fraser, G. (1991). The dissociative table technique: A strategy of working with ego states in dissociative disorders and ego state therapy. Dissociation, 4, 205-213. 

Frederick, C. (1990). The rapid treatment of obsessive compulsive disorder with ego state therapy: A case study. Presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Orlando, FL. & 5th European Congress of Hypnosis in Psychotherapy and Psychosomatic Medicine, Constance, Germany. 

Frederick, C., & Phillips, M. (1992). The use of hypnotic age progression as interventions with acute psychosomatic conditions. American Journal of Clinical Hypnosis, 35, 89-98. 

Frederick, C. (1992). Heidi and the little girl: The creation of helpful ego states for the management of performance anxiety. 12th International Congress of Hypnosis, Jerusalem, Israel & Hypnos: 20, 49-58. 

Frederick, C. (1992). Bringing up baby: A developmental approach to the management and maturation of child ego states. Presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Las Vegas.

Frederick, C., & McNeal, S. (1993). From strength to strength: Inner strength with immature ego states. American Journal of Clinical Hypnosis, 35, 250-256. 

Frederick, C., & Kim, S. (1993). Heidi and the little girl: The creation of helpful ego states for the management of performance anxiety. Hypnos, 20, 49-58.

Frederick, C. (1993a). Pools and wellings: The resolution of refractory intermittent depression with ego-state therapy. Hypnos, 20, 221-228. 

Frederick, C. (1993b). Mind over matter: Ego-strengthening techniques for GP’s. Part I. Scottish Medicine, 13, 14. 

Frederick, C. (1993c). Who’s afraid of the big bad wolf: Ego-state therapy for panic disorder with and without agoraphobia. Presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, New Orleans, Louisiana, March, 30, 1993. 

Frederick, C. (1993a). Ego-strengthening techniques. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. & McNeal, S. (1993) From strength to strength: Inner Strength with immature ego states. American Journal of Clinical Hypnosis, 35, 4. 

Frederick, C. (1993a). Ego-strengthening techniques. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C., & Phillips, M. (1994). Hypnosis and memory. Unpublished workshop handout. 

Frederick, G. (1994). Ego state therapy. Unpublished workshop handout.

Frederick, C. (1994). Informed consent for hypnosis. Unpublished document. 

Frederick, C. (1994). Reconstructing the patient’s history in psychodynamic hypnotherapy: Tradition and practice. Unpublished workshop handout. 

Frederick. C. (1994). The safety of the therapist: Aspects of the hypnotherapeutic relationship. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Philadelphia, PA. 

Frederick, C. (1994). Silent partners: The hypnotherapeutic relationship with non- verbal ego states. Hypnos 21, 141-149. 

Frederick, C. (1994). Symptom removal. Unpublished workshop handout.

Frederick, C. (1994). When weight means wait: The hypnotherapeutic treatment of eating disorders induced by PTSD. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Philadelphia. 

Frederick, C. (1994). Functionaries, janissaries, and daemons: Some approaches to the management of malevolent ago states. Presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Philadelphia.

Frederick, C. (1994). The safety of the therapist: Aspects of the hypnotherapeutic relationship. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Philadelphia. 

Frederick, C. (1994). Silent partners: The hypnotherapeutic relationship with non- verbal ego states. Hypnos, 21, 141-149. 

Frederick, C., & Phillips, M. (1994). Hypnosis and memory. Unpublished workshop handout. 

Frederick. C., Scopelli, R., Van Auken, P., & Sorum, J. (1994). MPD on a budget: Treating severe dissociative disorders in a public outpatient clinic. Presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis. Philidelphia. 

Frederick, G. (1994). Ego state therapy. Unpublished workshop handout.

Frederick, C. (1994). Informed consent for hypnosis. Unpublished document. 

Frederick, C. (1994). Reconstructing the patient’s history in psychodynamic hypnotherapy: Tradition and practice. Unpublished workshop handout. 

Frederick. C. (1994). The safety of the therapist: Aspects of the hypnotherapeutic relationship. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Philadelphia, PA. 

Frederick, C. (1994). Silent partners: The hypnotherapeutic relationship with non- verbal ego states. Hypnos 21, 141-149. 

Frederick, C. (1994). Symptom removal. Unpublished workshop handout.

Frederick, C. (1995). A holographic approach to holism. Journal of Interprofessional Care, 9, 9-13. 

Frederick. C. (1995). Ideodynamic healing and the mins-molecule-gene connection. Unpublished workshop handout.

Frederick, C. (1995). Ideomotor signals: Getting started. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. (1995). Summoning the healing messenger of time: Hypnotic age progressions for psychosomatic and psychiatric emergencies. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, San Diego, CA. 

Frederick, C. (1995). The internal family and the external family: Perspectives on family systems aspects of ego state therapy. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, San Diego, CA.

Frederick, C. (1995). A holographic approach to holism. Journal of Interprofessional Care, 9, 9-13.

Frederick. C. (1995). Ideodynamic healing and the mins-molecule-gene connection. Unpublished workshop handout.

Frederick, C. (1995). Ideomotor signals: Getting started. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. (1995). Summoning the healing messenger of time: Hypnotic age progressions for psychosomatic and psychiatric emergencies. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, San Diego, CA. 

Frederick, C. (1995). The internal family and the external family: Perspectives on family systems aspects of ego state therapy. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, San Diego, CA. 

Frederick, C. (1996). Functionaries, janissaries, and daemons: A differential approach to the management of malevolent ego states. Hypnos, 23, 37-47. 

Frederick, C. (1996). Hypnotic facilitation of new identity formation. Unpublished workshop  handout. 

Frederick, C. (1996). Liberating Sisyphus: Ego state therapy in the treatment of obsessive-compulsive disorder revisited. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Orlando, FL. 

Frederick, C. (1996). Memory, trauma, and dissociation. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. (1996). Stress diathesis model. Unpublished workshop handout.

Frederick, C. (1996). Resolving overwhelming positive transferences in the therapeutic relationship with dissociative disorder patients. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Orlando, FL. 

Frederick, C. (1996). The activation of positive or helpful ego states. Unpublished workshop  handout. 

Frederick, C. (1996). The facilitation of ideomotorically activated positive age regression. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. (1996). With a little help from our friends: Ago states as resources for ego-strengthening. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Orlando, FL.

Frederick, C. (1996). Functionaries, janissaries, and daemons: A differential approach to the management of malevolent ego states. Hypnos, 23, 37-47. 

Frederick, C. (1996). Hypnotic facilitation of new identity formation. Unpublished workshop  handout. 

Frederick, C. (1996). Liberating Sisyphus: Ego state therapy in the treatment of obsessive-compulsive disorder revisited. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Orlando, FL. 

Frederick, C. (1996). Memory, trauma, and dissociation. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. (1996). Stress diathesis model. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. (1996). Resolving overwhelming positive transferences in the therapeutic relationship with dissociative disorder patients. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Orlando, FL. 

Frederick, C. (1996). The activation of positive or helpful ego states. Unpublished workshop  handout. 

Frederick, C. (1996). The facilitation of ideomotorically activated positive age regression. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. (1996). With a little help from our friends: Ego states as resources for ego-strengthening. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Orlando, FL. 

Frederick, C. (1997). Resolving overwhelming positive transferences in the hypnotherapeutic relationship with post-traumatic patients. Hypnos, 24, 82-93. 

Frederick, C. (1999). Who is the dreamer? The countransference trance in ego state therapy. Presented at the 41st Annual Conference of ASCH, Atlanta, Georgia & the European Conference on Psychotherapy in Psychosomatic Medicine and Psychotherapy, Amsterdam, The Netherlands.

Frederick, C. (2003). Making possible the impossible in Ego State Therapy I. Workshop delivered at the First World Congress of Ego State Therapy, Bad Orb, Germany. 

Frederick, C. (2003). Making possible the impossible in Ego State Therapy II. Workshop delivered at the First World Congress of Ego State Therapy, Bad Orb, Germany. 

Frederick, C. (2005). Selected topics in ego state therapy. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 53, 339-429.

Frederick C. (2007). Ausgewählte Themen in Ego State Therapie. Hypnosis: Zeitschrift für Hypnose und Hypnotherapie 2 (1+2) . 

Frederick C. (n.d). The Chambered Nautilus: When Growth Patterns in Hidden Ego States Interact with Transference/Counted-Transference Fields. Hypnos 31, 75-82. 

Frederick, C. (n.d). The Hypnotherapeutic Relationship with the  Terminally  Ill Patient: an overview. Hypnos 25, 145-152. 

Frederick, C. (n.d). Liberating Sisyphus – Hypnotically Facilitate Therapy for Obsessive-Compulsive Disorder. Hypnos 29, 99-105. 

Frederick, C., Hartman, W. & Phillips, M. (n.d). The Foundation for Ego State therapy. Retrieved 8 September 2009 from www.milton-erickson- institut.de/dateien/fest.pdf. 

Frederick, C., & Phillips, M. (1995). Decoding mystifying signals: Translating symbolic communications of elusive ego states. American Journal of Clinical Hypnosis, 38, 87-96. 

Frederick, C., & Phillips, M. (1996). Decoding mystifying signals: Translating symbolic communications of elusive ego-states. American Journal of Clinical Hypnosis, 38, 87-96 & (Presented at the Annual Meeting of the American Society of Clinical Hypnosis. New Orleans, 1993). 

Frederick, C., & Phillips, M. (1996). Decoding mystifying signals: Translating symbolic communications of elusive ego-states. American Journal of Clinical Hypnosis, 38, 197-196. 

Frederick, C. and McNeal, S. (1993). From strength to strength: Inner strength with immature Ego states. American Journal of Clinical Hypnosis, 35, 250-256.


Frederick, C. & McNeal, S. (1999). Inner strengths: Contemporary psychotherapy and hypnosis For ego-strengthening. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
 

Frederick, C., & Morton, P. (1998). Welcome to Oz: Ideodynamic healing and ego states. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Ft. Worth, TX. 

Frederick, C., & Morton, P. (1998). Welcome to Oz: Ideodynamic healing and ego states. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Ft. Worth, TX.

Frederick, C. & Johnston, R. (2002). A matter if substance: Ego state therapy for the morbidly obese. Paper delivered at the Annual Meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, March 24, 2002. Indianapolis, Indiana. 

Fritzsche, Kai und Woltemade Hartman, (2010): Einführung in die Ego-State- Therapie, Carl-Auer-Verlag. 

Fromm,  E.  (1968). Transference  and  countertransference  in hypnoanalysis. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 16, 77-84.

Fromm, E. (1972). Ego activity and ego passivity in hypnosis. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 20, 238-251. 

Gainer, M. J. (1997). Ego state therapy for pain control. Paper presented at the 14th International Congress of Hypnosis. San Diego, CA. 

Gainer, M. J. & Torem, M. S. (1993). Ego state therapy for self-injurious behaviour. American Journal of Clinical Hypnosis, 35, 257-266.

Gainer, M.J. (1993). Somatization of dissociated traumatic memories in a case of reflex sympathetic dystrophy. American Journal of Clinical Hypnosis, 36(2), 124-131. 

Ginandes, C. (2006). Six players on the inner stage: Using ego state therapy with the medically ill. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 54(2), 113-129. 

Goodman, L. a. J. Peters (1995). Persecutor alters and ego states: Protectors, friends, and allies. Dissociation 8: 91-99. 

Greaves, G.B. (Oct 1980). Multiple personality: 165 years after Mary Reynolds. The Journal of Nervous and Mental Disease, 168(10), 577-596. 

Guse, T. (2009). Facilitating flourishing in therapists by using psychological strengths in ego state therapy. Paper presented at the 18th International Society of Hypnosis Congress, Rome, Italy. Guse, T. (in press) Enhancing lives: A positive psychology agenda for hypnosis. South African Journal of Psychology. 

Guse, T, & Fourie, G. (2008). Eliciting psychological strengths through hypnosis: an experiential introduction. Workshop presented at the 4th European Conference on Positive Psychology, Opatija, Croatia. Guse, T. & Fourie, G. (in press). Facilitating psychological well-being through hypnotherapeutic interventions. In M.P. Wissing (Ed.) Well-being research in South Africa. Dordrecht: Springer.  

Hartland, J. (1956). The value of “ego strengthening” procedures prior to direct symptom removal under hypnosis. American Journal of Clinical Hypnosis, 8, 89-93.

Hartland, J. (1971). Further observations on the use of ego-strengthening techniques. American Journal of Clinical Hypnosis, 14, 1-8. 

Hartman, D., & Zimberoff, D. (2003). Ego state s in heart-centred therapies. Journal of Heart Centred Therapies, 6,(1), 47-92.  

Hartman,  W.  (1995).  Ego  State  Therapy  with  Sexually  Traumatized Children. Pretoria: Kagiso.  

Hartman, W. (1995). Ego state therapy with sexually traumatized children. Pretoria, South Africa: Kagiso. Doctoral dissertation. University of Pretoria. 

Hartman, W. The Utilization of Ego State Patterns of Self-Expression in the Treatment of Aphonic Conversation Reactions. Hypnos 28, 4-10. 

Hartman, W. (1997). Advanced techniques of Ericksonian utilization. The use of symptom words, figures of speech and sequences in guiding ego states associations. Presented at the Meeting of the International Society of Hypnosis, San Diego, California, June 1997. 

Hartman, W. (n.d). Ego State Therapy – Then and Now. Hypnos 29, 52-58.

Hartman, W. (2002). Ego state therapy then and now: Towards a naturalistic utilization approach. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy and Psychosomatic Medicine, 29(2), 52-58. 

Hartman, W. (2005).The resourceful self in hypnotic ego state therapy with children: A neo-Ericksonion approach. Paper delivered at “Kindertagung - 5. Workshoptagung”, Heidelberg, Germany.  

Hartman, W. (n.d). Ericksonian Utilization: The Use of Guiding Ego State Associations. Hypnos 24, 206-212. 

Hartman, W, Reddemann, L, Schmidt, G. (n.d). Ich bin viele - Multiple Ich-Prozesse und wie man sie nutzen kann – Einführung in die Ego State Therapie, MP3 Auditorium Netzwerk, Jokers 

Hartmann, H. (1958). Ego Psychology and the Problems of Adaptation. New York: International Universities Press. 

Henry, W.P., Schacht, T.E., & Strupp, H.H. (1990). Patient and therapist introject, interpersonal process, and differential psychotherapy outcome. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 58, 768-774. 

Hilgard, E. R. (1986). Divided consciousness: Multiple controls in human thought and action. New York: Wiley. 

Holopainen, D, and Emmerson, G, J. (2002). “Ego State Therapy and the Treatment of Depression”, Australian Journal of Clinical Hypnotherapy & Hypnosis, 23, 89-100.  

Hunter, R. (2005). Hypnosis for Inner conflict resolution: Introducing parts therapy. Wales: Crown House Publishing Limited

Hunter, R. (2007). Client-centred parts therapy. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 6(4), 22-27.

Jung, C.G. (1959). The Archetypes and the Collective Unconscious. Princeton, NJ: Princeton University Press 

Klemperer, E. (1968): Past ego states emerging under hypnoanalysis. Springfield, IL (Thomas). 

Klemperer, E. (1965). Past ego states emerging in hypnoanalysis. J. Clin. & Exp. Hypn.13, 132-143. 

Kobut, H. (1977). The Restoration of the Self. New York: International Universities Press. 

Laurence, J. R. R., & Perry, C. (1981). The "hidden observer" phenomenon in hypnosis: Some additional findings. Journal of Abnormal Psychology, 90, 334-344. 

Leeb, W. A, Trenkle, B. & Weckenmann,M.F. (2011). Metaphern und Ego-States – hypnosystemisch in Der Realitätenkellner, Hypnosystemische Konzepte in Beratung, Coaching und Supervision, (Hrsg.), 355-363, Carl Auer,.

Lemke, W. (2005). Utilizing hypnosis and ego state therapy to facilitate healthy adaptive differentiation in the treatment of sexual disorders. American Journal of Clinical Hypnosis, 47(3), 179-189. 

Malmo, C. (1990). Recreating equality: A feminist perspective to ego-state therapy. In C. Malmo, & T. A. Laidlaw, (Eds.), Healing voices: Feminist approaches to therapy with women (pp.288-319). San Francisco, CA: Jossey-Bass. 

Malmo, C. (1991). Ego-state therapy: A model for overcoming childhood trauma. Hypnos 28: 39-44.

Malcolm, N. (1996). Fear of flying – The use of ego state therapy – Two case studies. Hypnos, 23, 202-205. 

McNeal, S. (1993). Coming together: Hypnoanalytic techniques for facilitating the Integration process in psychotherapy. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, New Orleans, LA.

McNeal, S. (1999). Inner Strength Revisited. European Congress on Hypnosis. Amsterdam; August 14 – 19, 1999 

McNeal, S. (1999). De fences or de open range. Paper presented at the annual meeting Of the American Society of Clinical Hypnosis, Atlanta, GA. 

McNeal, S. (2001) Strangely compatible bedfellows: Self-soothing, EMDR, and ego states.Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Reno, NV. 

McNeal, S. (2002). Perchance to dream: Ego states and dreams. Hypnosis International Monographs, 6, 79-89. 

McNeal, S. (2003). A character in search of character: Narcissistic  personality disorder and Ego state therapy. American Journal of Clinical Hypnosis, 45, 233-243. 

McNeal, S. (2003). From the passive to the active voice: Ego state therapy for Characterological passivity. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Alexandria, VA. 

McNeal, S. (2004). Ego state therapy and healthy narcissism. Paper presented at the Annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis. Anaheim, CA. 

Baca Selengkapnya

Konstruksi Diri

9 April 2014

It's better to build children than repair adults.

Adalah impian setiap orangtua untuk bisa membesarkan anak yang percaya diri, cakap, mampu, bertangggung jawab, mandiri, cerdas dan bahagia. Orangtua menempuh sangat banyak cara untuk bisa memberikan stimulasi pada otak anak sehingga, diharapkan, anak bisa menjadi cerdas atau bahkan jenius.

Banyak orangtua, khususnya para ibu, setelah mendengar dari berbagai sumber, yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, ramai-ramai menyekolahkan anak mereka sedini mungkin. Ada yang mengikutkan anak mereka di baby-class, baik yang menggunakan pengantar bahasa Indonesia maupun yang full bahasa Inggris. Bahkan ada yang sudah memberikan les pelajaran bahasa Mandarin dan Inggris pada anak mereka yang baru berusia 3 tahun.

Ada lagi yang menggunakan CD audio tertentu untuk menstimulasi otak anaknya agar bisa terjadi banyak koneksi sel otak. Cara lain yang juga sangat sering digunakan adalah mengajar bayi, yang masih sangat kecil, dengan menggunakan flash card. Semua ini dengan harapan membuat anak menjadi cerdas dan bahkan jenius.

Pembaca, tahukah anda bahwa jenius tidak semata-mata diukur dengan hasil tes IQ? Memang, dalam dunia psikologi, dengan menggunakan tes IQ, kita bisa mendapatkan skor tertentu yang menunjukkan tingkat kecerdasan. Bila menggunakan skala Weschler seseorang disebut jenius bila skornya 141 atau lebih.

Namun, apakah hanya ini cara kita mengukur kejeniusan seseorang? Bagaimana bila saya mengusulkan satu definisi bahwa jenius adalah mengenal dan mengembangkan potensi diri yang telah ada di dalam diri kita hingga ke titik optimal untuk mencapai keberhasilan hidup.

Pembaca, tahukah anda bahwa anak cerdas sebenarnya memiliki ciri berikut: 

1. Lancar berbahasa (mampu mengutarakan pikirannya)

2. Rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan

3. Memiliki kemampuan yang tinggi dalam berpikir logis dan kritis

4. Mampu belajar / bekerja secara mandiri

5. Ulet menghadapi kesulitan

6. Mempunyai tujuan yang jelas dalam setiap kegiatannya

7. Cermat / teliti dalam mengamati

Untuk bisa membantu anak berkembang menjadi anak yang cerdas, percaya diri, bahagia, bertanggung jawab, cakap, dan mampu maka kita perlu benar-benar memperhatikan proses dan waktu konstruksi diri anak. 

Setiap anak lahir dengan membawa pola psikis bawaan (predetermined psychic pattern). Pola psikis bawaan ini berfungsi untuk mengembangkan fondasi sukses anak, pada level psikis, sebagai persiapan untuk mempelajari hal-hal penting yang akan digunakan dalam hidup anak kelak. 

Pola psikis bawaan ini terdiri atas:

1.    Hukum Kerja

2.    Hukum Kemandirian

3.    Kekuatan Perhatian

4.    Pengembangan Kemauan

5.    Pengembangan Kecerdasan

6.    Pengembangan Imajinasi / Kreativitas

Hukum Kerja

Yang dimaksud dengan kerja, di sini, adalah kegiatan yang dilakukan oleh anak untuk mengembangkan konsentrasi, motorik kasar, motorik halus, kebiasaan, dan konsep diri. Orang dewasa menyebutkan “kerja” ini dengan istilah “bermain”. 

Saya menggunakan istilah kerja, untuk menjelaskan “bermain” yang dilakukan anak, guna memberikan pemahaman pada orangtua betapa pentingnya proses ini bagi seorang anak. Orangtua umumnya memandang “bermain” sebagai satu kegiatan yang memang secara alamiah suka anak lakukan. Padahal, saat melakukan “bermain” ada begitu banyak hal yang terjadi dalam diri anak yang tidak diketahui orangtua. 

Saat anak bekerja maka anak sedang menggunakan lingkungannya untuk meningkatkan kemampuan dirinya, melatih dirinya, mengembangkan potensi laten dalam dirinya, menyempurnakan dirinya. Hal ini tampak sangat jelas saat anak mulai belajar memegang sesuatu. Saat pertama kali hendak menyentuh atau memegang objek tertentu anak pasti akan mengalami kesulitan. Hal ini terjadi karena koordinasi antara mata dan motor masih belum bagus. Dengan melakukan pengulangan, terus menerus berusaha untuk memegang atau menyentuh, akhirnya anak berhasil. Dalam hal ini anak sebenarnya bekerja demi proses, bukan hasil akhir. 

Ditinjau dari nerusains, saat anak terus menerus mengulang satu tindakan maka ia membentuk koneksi antarneuron di otaknya. Semakin banyak neuron yang saling terkoneksi, semakin baik. Pada tahap awal kehidupan, dorongan untuk melakukan sesuatu, misalnya memegang benda yang ada di sekitarnya, diarahkan oleh insting, bukan oleh kehendak sadar.

Dalam melakukan kerja anak harus diberi kesempatan untuk melakukannya sendiri dengan upaya maksimal. Orangtua tidak boleh membantu anak. Dengan melakukannya sendiri, walaupun tampak susah payah, saat anak berhasil, maka akan membangun dan membetuk konsep diri yang baik. 

Seringkali orangtua yang tidak sabar melihat anaknya melakukan sesuatu, misalnya mengikat tali sepatu, tanpa persetujuan anak langsung mengikatkan tali sepatu anak. Orangtua beralasan anak lama baru bisa menyelesaikan kerja ini. Orangtua secara tidak sadar telah mengirim pesan kepada anak, “Kamu nggak bisa melakukan hal ini.”

Ini juga terjadi saat anak tidak dilatih untuk makan sendiri, mandi sendiri, pakai baju sendiri, menyiapkan peralatan tulis/sekolah sendiri, dll. 

Banyak orangtua yang tidak mau repot, apapun alasannya, menyuapi anak yang sebenarnya bisa makan sendiri, atau minta pembantu/suster menyuapi anak. Padahal, bila anak dilatih, diberi kesempatan untuk memegang sendok dengan benar, dan belajar makan sendiri, dalam waktu singkat anak pasti mampu melakukannya. 

Tindakan orangtua yang kesannya ingin memudahkan hidup anak, ingin membantu anak melakukan sesuatu, ternyata bertentangan dengan Hukum Kerja. Akibatnya... tentu sangat tidak baik untuk anak. 

Hukum Kemandirian

Banyak orangtua yang mengeluh anak mereka tidak mandiri. Sebenarnya ketidakmandirian anak terjadi akibat pola asuh yang salah. Orangtua sendiri yang mengakibatkan anak mereka tidak mandiri. Cara kita membantu anak untuk bisa menjadi mandiri adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk memilih apa kerja (permainan) yang akan ia lakukan dan berikan kesempatan anak untuk bekerja (bermain) sendiri. 

Saat anak memilih sendiri melakukan kerja tertentu maka saat itu anak telah mengembangkan kemauannya (sendiri) dan energinya diarahkan melakukan sesuatu yang konstruktif dalam memgembangkan disiplin diri. Dalam hal ini anak juga perlu diberi kebebasan dan diajarkan mengenai hal yang baik dan buruk. 

Kekuatan Perhatian

Dengan melakukan kerja maka anak juga mengembangkan kekuatan konsentrasi. Tidak mungkin anak bermain tanpa konsentrasi pada objek yang ia pilih untuk bermain. Dengan terus bekerja dengan menggunakan objek (mainan) tertentu anak mengembangkan konsentrasinya dan menggantikan impuls ketertarikan yang bersifat primitif dengan ketertarikan yang bersifat intelektual. 

Orangtua atau lingkungan sebaiknya memberikan anak banyak pilihan untuk bekerja sehingga eksplorasi diri yang anak lakukan bisa lebih beragam dan maksimal. 

Sayangnya, tren saat ini, anak-anak lebih banyak diberi mainan gadget yang mana sangat tidak baik untuk mengembangkan kekuatan perhatian dan interaksi sosial. Konsentrasi anak pada gadget justru melemahkan kemampuan konsentrasi mereka pada hal lain.

Idealnya, mainan yang digunakan anak untuk bekerja haruslah mainan atau objek yang dapat dimanipulasi dan melibatkan seluruh indera, tidak hanya mata dan pendengaran namun juga, terutama, indera perabaan. Intinya, kerja yang melibatkan stimulasi sensori.

Saya pernah mengamati salah satu murid PG Sekolah Anugerah Pekerti, yang saat itu berusia sekitar 3 tahun, mampu melakukan kerja, bermain menggunakan satu alat tertentu, dengan konsentrasi penuh selama 1 jam tanpa berhenti. Anak ini memindahkan 100 (seratus) butir kelereng dari satu wadah dan menempatkan setiap kelereng ini, dalam urutan dan posisi tertentu, di sebuah papan yang telah disiapkan. Ia melakukannya satu demi satu, dengan penuh perhatian, hati-hati, dan cermat. 

Usai menempatkan semua kelereng ini di tempatnya ia melanjutkan dengan mengembalikan semuanya, juga dengan penuh perhatian, satu demi satu, hingga semua kelereng yang tadinya ada di atas papan berpindah ke dalam wadah. 

Pengembangan Kemauan

Kemauan berkembang melalui tiga tahap. Pertama, melalui dorongan kerja dengan pengulangan kegiatan yang bersifat tidak sadar. Contohnya adalah saat anak bermain, misalnya cuci tangan. Anak akan melakukan “cuci tangan” ini mulai dari membuka keran air, membasahi tangannya, menyabuni tangan, membilas tangan yang telah disabuni, menutup keran, dan akhirnya mengeringkan tangan dengan menggunakan lap. 

Setelah satu siklus ini selesai anak akan berhenti sejenak, beberapa detik dan setelah itu kembali mengulangi proses yang sama dari awal hingga selesai. Demikian selanjutnya, anak melakukan hal yang sama berulang kali tanpa bosan. 

Saat anak melakukan kerja dan pengulangan ini anak sebenarnya sedang mengembangkan disiplin diri dan kekuatan untuk mentaati siklus kerja. Anak disiplin memulai hingga mengakhiri proses cuci tangan dengan lengkap. Anak taat dalam menjalankan proses ini. Manfaat positif terjadi di dalam diri anak. Orangtua yang tidak mengerti hal ini biasanya akan marah atau menegur anak karena dipandang melakukan hal yang tidak ada manfaatnya. 

Pengembangan Kecerdasan

Inilah rahasia yang tidak diketahui kebanyakan orangtua. Upaya yang dilakukan orangtua untuk mengembangkan kecerdasan anak, sejak masih kecil sekali, baik itu dengan menggunakan flash card, CD audio, menyekolahkan anak sejak usia dini sekali, dan berbagai cara lain tidak akan membuahkan hasil maksimal. 

Mengapa? Karena kecerdasan anak berkembang berdasarkan pada kemampuan sensorial. 

Yang dimaksud dengan kemampuan sensorial adalah kemampuan untuk mengenali panjang, lebar, tinggi, warna, berat, temperatur, bau, rasa, dan tekstur. Dengan bahasa yang lebih sederhana kecerdasan anak berkembang sejalan dengan stimulasi yang ia dapatkan melalui kelima inderanya. Dan yang paling besar pengaruhnya adalah stimulasi melalui indera perabaan, sentuhan, dan segala sesuatu yang menggunakan tangan atau jari. 

Saat anak masih kecil jari-jari tangannya berfungsi sebagai keyboard yang digunakan untuk memprogram otaknya. Pada ujung jari tangan terdapat begitu banyak saraf yang mampu menerima sangat banyak input. Input ini merangsang sel otak atau neuron untuk menumbuhkan akson sehingga terjadi koneksi dengan sel otak lain. Semakin banyak koneksi yang terjadi maka anak menjadi semakin cerdas. 

Bisa anda bayangkan apa yang akan terjadi pada anak yang hanya diberi mainan NDS atau PS? Kecerdasan anak ini tidak akan berkembang optimal karena minimnya stimulasi sensorial yang ia alami atau dapatkan dari lingkungannya. 

Pengembangan Imajinasi / Kreativitas

Untuk membantu mengembangkan imajinasi dan atau kreativitas anak membutuhkan kekuatan konsentrasi dan kebebasan. Anak harus punya banyak pengalaman dengan benda nyata. Anak juga harus mendapat kesempatan untuk melakukan manipulasi objek konkrit. 

Satu contoh. Anak bisa berimajinasi dengan kreatif bahwa sebuah kotak karton adalah mobil. Dari mana imajinasi atau kreativitas ini muncul? Karena anak telah punya pengalaman dengan mobil sungguhan. Mobil sudah ada di database memorinya. Tanpa adanya mobil (yang konkrit) yang pernah ia temui dalam hidupnya maka akan sangat sulit atau bahkan mustahil bagi anak untuk bisa membayangkan kotak karton sebagai mobil. 

Untuk semakin membantu mengembangkan imajinasi dan kreativitas anak maka orangtua bisa sering-sering membacakan cerita pada anak, khususnya di malam hari saat anak akan tidur. Anak juga perlu berinteraksi dengan alam. 

Misalnya anak pernah melihat burung di alam. Maka anak bisa membayangkan dirinya sebagai burung dan terbang bebas di angkasa. 

Dalam proses tumbuh kembang anak juga mengalami enam periode sensitif yang bersama dengan pola psikis bawaan membantu anak berkembang. 

Enam Periode Sensitif terdiri atas:

1. Sensitif terhadap keteraturan (0 – 2 thn)
2. Belajar melalui lima indera
3. Sensitif terhadap objek berukuran kecil (2 – 2 ½ thn)
4. Sensitif terhadap koordinasi gerakan/berjalan (2 - 4 thn)
5. Sensitif terhadap bahasa (1 – 3 thn)
6. Sensitif terhadap aspek sosial kehidupan (2 ½ - 6 thn) 

1. Sensitif Terhadap Keteraturan (0 – 2 thn)

Pada periode ini anak sangat membutuhkan konsistensi keteraturan di lingkungan. Anak perlu tinggal di rumah yang sama, di kamar yang sama, diasuh oleh pengasuh yang sama, dengan cara yang sama dan rutinitas yang sama. 

Kebutuhan akan keteraturan ini sangat mudah dilihat saat anak diajak ke menginap di kamar, selain kamar yang biasa ia gunakan. Biasanya anak tidak akan tidur sampai larut malam dan merasa gelisah sambil melihat-lihat sekeliling ruangan. 

Bila periode sensitif terhadap keteraturan tidak terakomodasi dengan baik maka di kemudian hari akan timbul efek negatif dalam diri anak:
- anak tidak mampu menyesuaikan diri dan tidak mampu membentuk gambar mental dari dunia di sekitarnya 
- anak akan merasa tidak aman (insecure) dan tidak percaya diri

2. Belajar Melalui Lima Indera

Saat masih kecil anak sangat membutuhkan kesempatan dan kebebasan untuk bisa belajar dan melakukan penjelajahan terhadap lingkungannya melalui kelima inderanya. Artinya anak butuh bisa menggunakan mata, telinga, hidung, penciuman, dan perabaannya untuk belajar dan mengenal diri dan lingkungannya. 

Bila anak tidak mendapat kesempatan belajar melalui lima indera maka di kemudian hari akan mengalami:
- anak akan mengalami kesulitan belajar
- anak suka memberontak karena pengembangan kemauan yang terhambat karena tidak mendapat kesempatan bekerja dengan material di lingkungannya.
- anak akan sulit berkonsentrasi
- anak akan sulit membuat perbandingan dan penilaian.

3. Sensitif Terhadap Objek Berukuran Kecil (2 – 2 ½ thn)

Ada masa di mana anak sangat tertarik dengan objek atau benda berukuran kecil seperti semut, ulat, butir beras, kacang hijau, atau apa saja yang berukuran kecil. Yang sebenarnya terjadi dalam diri anak adalah proses penyempitan fokus pandang mata, dari yang lebar menjadi sangat sempit. 

Selama ini anak melihat dunia di sekitarnya menggunakan sudut pandang yang lebar. Saat anak tertarik melihat objek berukuran kecil, misalnya semut hitam, maka pada saat itu anak, secara tidak sadar, melatih kemampuan fokusnya, dari fokus yang melebar menjadi fokus yang sangat sempit dan presisi, dan juga melatih konsentrasinya. 

Efek negatif bila periode sensitif ini tidak terakomodasi dengan baik: maka di masa depan anak akan mengalami:
- rasa ingin tahu anak akan hal yang baru kurang berkembang.
- Anak kurang cermat dalam pengamatan dan ini akan mempengaruhi kemampuan belajarnya.
- Anak bisa menjadi sangat pasif. 

4. Sensitif Terhadap Koordinasi Gerakan/Berjalan (2 - 4 thn)

Usia antara 2 hingga 4 tahun adalah usia di mana anak sangat aktif bergerak. Anak berlari, berjalan, naik turun tangga, memanjat pohon atau teralis jendela, melakukan gerakan berputar atau rolling dengan tak kenal lelah. Orangtua dan lingkungan yang tidak memahami hal ini cenderung akan memberikan anak label hiperaktif. Apakah benar anak hiperaktif? Belum tentu. Yang sering kali terjadi adalah anak overactive alias sangat aktif. 

Aktifnya anak dalam melakukan berbagai gerakan ini adalah dorongan dari dalam dirinya untuk menyempurnakan koordinasi otot-otot besar, menyempurnakan motorik kasar yang ia gunakan dalam bergerak, berlari, dan atau berjalan. 

Bila anak tidak mendapat kesempatan melatih koordinasi, karena batasan atau larangan orangtua atau lingkungan, maka anak akan besar dengan kemampuan motorik yang kurang optimal. Hal ini akan sangat tampak saat anak berolahraga, menari, atau melakukan aktivitas fisik lain yang membutuhkan keterampilan dan koordinasi otot yang baik. 

5. Sensitif Terhadap Bahasa (1 – 3 thn)

Anak umumnya mulai belajar bicara saat usia 1 tahun. Untuk mengembangkan kecakapan bahasa anak maka orangtua atau lingkungan perlu memberikan stimulasi bahasa secara terus menerus kepada anak, bisa dengan mengajak anak bicara, membacakan cerita, atau bernyanyi, bukan nonton tv atau video.

Satu hal yang harus sungguh-sungguh diperhatikan orangtua dalam menstimulasi kecakapan bahasa anak yaitu sebaiknya hanya menggunakan satu bahasa utama, sebaiknya bahasa ibu, untuk komunikasi. Banyak orangtua yang terlalu berambisi mengajari anak beberapa bahasa sekaligus, misalnya bahasa Inggris, Mandarin, dan bahasa Indonesia. Bila ini dilakukan maka anak akan mengalami rancu bahasa dan akan sulit berkomunikasi dengan baik dan lancar. 

Menurut Vygotsky idealnya anak punya satu bahasa yang sangat ia kuasai sebagai alat komunikasi dan membangun kemampuan abstraksinya. Baru setelah itu anak belajar bahasa lain. Bahasa yang sebaiknya dikuasai anak adalah bahasa Indonesia. Bahasa lainnya boleh diberikan namun hanya sebagai stimulasi saja. Kalau anak bisa, baik. Tidak bisa, juga tidak apa-apa. 

Bila anak tidak terstimulasi dengan baik pada masa ini maka berakibat buruk pada kemampuan berbahasanya. Sekali kemampuan ini tidak berkembang maka tidak akan ada kesempatan lagi untuk memperbaiki keadaan ini. Akibatnya anak akan kurang peka terhadap bunyi bahasa, menjadi kurang percaya diri, dan akan berakibat buruk pada konsep dirinya karena anak tidak mampu mengungkapkan dirinya. 

Beberapa kali saya dimintai bantuan untuk menerapi anak yang mengalami kesulitan bahasa. Ada anak yang sudah berusia 5 tahun tapi masih belum bisa bicara lancar. 

Dalam sesi wawancara dengan ibunya saya menemukan bahwa anak ini sejak bayi diasuh oleh suster. Ibu dan ayahnya sibuk berbisnis sehingga tidak sempat mengurusi anak. Suster yang merawatnya pendiam, jarang bicara, dan setiap hari anak diberi tontonan Cartoon Network. Dan yang lebih luar biasa lagi anak ini disekolahkan di sekolah yang mengajarkan tiga bahasa.

Tidak banyak yang bisa saya lakukan dalam hal ini selain menyarankan ibunya untuk memberikan stimulasi bahasa sebanyak mungkin kepada anaknya dan harus hanya menggunakan bahasa Indonesia. 

6. Sensitif Terhadap Aspek Sosial Kehidupan (2 ½ - 6 thn)

Dalam proses tumbuh kembang anak membutuhkan teman bermain untuk interaksi sosial dan mengembangkan kecakapan komunikasi. Melalui interaksi sosial ini anak belajar untuk mengenali anak lain, belajar menyampaikan keinginannnya, belajar untuk menghargai rekan, belajar berbagi, menghormati, dan menyayangi. 

Bila anak tidak boleh atau tidak mendapat kesempatan bermain dengan anak lain, maka anak akan merasa kesepian, rewel, dan tidak nyaman sehingga akan menuntut sangat banyak perhatian dari orangtua. Anak juga bisa menjadi sulit bergaul, merasa tidak aman dan tidak nyaman dengan hadirnya orang lain di sekitarnya. 

Saat ini anak lebih banyak hidup dalam dunianya sendiri, ditemani gadget. Anak jarang bermain yang melibatkan anak lain.

Baca Selengkapnya

Abreaksi: Perlukah dan Mengapa?

5 April 2014

Abreaksi (abreaction) adalah kondisi di mana muatan emosi dari pikiran bawah sadar meluap atau meledak keluar dalam bentuk ucapan atau perilaku tertentu. Ada abreaksi yang sifatnya “keras” di mana luapan emosi ini keluar dengan begitu deras dan subjek menangis, berteriak, memukul, meninju, meremas, mengeram, mencakar, dan bahkan menendang. Ada juga abreaksi yang sifatnya “lunak” di mana klien hanya menangis perlahan. Walau perilaku abreaksi berbeda namun yang terjadi setelah abreaksi umumnya adalah subjek merasakan kelegaan atau plong. Ini yang disebut dengan katarsis.

“Penemuan” abreaksi sebagai teknik terapi secara tidak sengaja terjadi saat Jospeh Breuer (1842-1925), sejawat dan kolega Sigmund Freud, menangani pasien histerikal, Anna O., yang masalahnya berawal dari ketakutan hebat saat mengetahui ayahnya mengalami abses paru. Walau Breuer telah melakukan berbagai upaya dengan menggunakan hipnosis, kondisi Anna, semakin hari semakin memburuk. Ia menjadi semakin menderita akibat simtom fisik yang ia alami dan kondisi kesadaran kesadaran yang berubah-ubah.

Secara tidak sengaja, suatu hari, Breuer menginduksi Anna, dan ia dengan bebas bicara dan mengungkapkan emosi yang mengganggunya selama ini. Usai mengungkapkan emosinya Anna mengalami perasaan lega serta tidak lagi mengeluhkan kondisinya seperti sebelumnya.

Suatu sore, saat hawa sedang sangat panas, Anna merasa sangat haus, namun  saat akan minum, ia tidak bisa menelan air yang sudah ada di dalam mulutnya. Selama enam minggu berikutnya ia mengatasi rasa hausnya hanya dengan makan buah, terutama melon.

Di salah satu sesi hipnosis, Anna, dengan penuh kemarahan bercerita bahwa ia melihat seorang pengasuh anak membiarkan seekor anjing minum dari gelas. Anna merasa jijik sekali. Saat itu Anna tidak protes atau menegur pengasuh ini. Usai mengeluarkan perasaannya tiba-tiba Anna minta minum dan langsung bisa minum dengan normal.

Melalui proses hipnosis yang cukup panjang akhirnya Anna berhasil mengungkap berbagai kejadian yang menjadi penyebab histeria yang ia alami dan akhirnya sembuh.

Hasil yang dicapai Breuer sangat penting dalam konteks hipnoterapi karena ia mengubah pendekatan terapi kala itu yang hanya berupaya menghilangkan simtom melalui sugesti menjadi mencari dan menemukan akar masalah.

Freud sangat terkesan dengan hasil terapi dan kerja Breuer hingga di tahun di 1895 mereka menerbitkan buku berjudul Studien über Hysterie. Dari buku inilah muncul teori yang menyatakan bahwa neurosis disebabkan oleh pengalaman traumatik (akar masalah) di masa lalu.

Mereka menyatakan, “We found at first to our greatest surprise, that the individual hysterical symptoms immediately disappeared without returning if we succeeded in thoroughly awakening the memories of the causal process with its accompanying affect, and if the patient circumstantially discussed the process in the most detailed manner and gave verbal expression to the affect.

(Kami semula sangat terkejut saat menemukan bahwa simtom histerikal yang dialami individu segera hilang, tidak kembali lagi, bila kami berhasil secara menyeluruh memunculkan kembali memori yang menjadi akar masalah beserta emosi yang menyertainya, dan bila pasien secara tidak langsung mendiskusikan kejadiannya dengan sangat detil dan mengungkap secara verbal emosi yang ia rasakan).

Namun sungguh disayangkan, Freud akhirnya meninggalkan hipnosis karena merasa bahwa kemajuan terapeutik yang berhasil dicapai melalui abreaksi sifatnya temporer. Dari berbagai literatur tidak ada satupun yang menyatakan bahwa Freud melakukan abreaksi berulang untuk menguji kesimpulannya. Jadi, yang Freud lakukan adalah abreaksi tunggal yang memang secara klinis kurang optimal dalam mengatasi masalah.

Seiring waktu berjalan hipnosis/hipnoterapi mengalami perkembangan sangat pesat. Ada banyak temuan riset yang dilakukan oleh para pakar dan praktisi seperti Pierre Janet (1907), Wilhelm Reich (1949), Lowen (1975), Rolf (1978), khususnya yang berkaitan dengan abreaksi dan teknik penanganan abreaksi,

Salah satu pengguna aktif terapi abreaksi hipnotik adalah William Brown (1920). Brown menerapi ribuan kasus neurosis akibat perang dan melakukan pencatatan detil terhadap setiap kliennya. Ia menyimpulkan bahwa lepasnya emosi yang selama ini tertekan atau terpendam di pikiran bawah sadar mengakibatkan segmen kepribadian yang tadinya mengalami disosiasi kini bisa kembali terintegrasi.

Menurut Brown penting untuk melakukan abreaksi secara intensif, berkelanjutan hingga benar-benar tuntas, dan mengulangi abreaksi beberapa kali. Ia juga menyatakan, usai pelepasan emosi, penting untuk memberi dukungan dan penguatan bagi klien, serta memberi makna pada kejadian agar hilangnya simtom sifatnya permanen.

Saat perang dunia kedua, John G. Watkins (1949) menyempurnakan dan menggunakan teknik abreaksi di U.S. Army’s Welch Convalescent Hospital di Daytona Beach, Florida, untuk membantu menyembuhkan tentara yang mengalami gangguan emosi akibat perang di Italia dan Perancis. Watkins menjelaskan tekniknya di buku Hypnotherapy of War Neuroses.

Alexander dan French (1946) menekankan pentingnya klien mengalami pengalaman emosional korektif (corrective emotional experience) dalam bentuk mengalami kembali peristiwa yang menjadi sumber masalah, melepas emosi pada peristiwa itu, dan pemahaman baru melalui pemaknaan, baik melalui analisis transferensi dan dalam kondisi hipnotik.

Tidak semua abreaksi, dari pengalaman klinis dan temuan kami, sifatnya terapeutik. Hal ini tampak dari berbagai kisah nyata saat seseorang mengalami abreaksi, baik yang hebat atau ringan, dan setelahnya untuk sementara waktu merasa lega. Namun beberapa saat kemudian kembali mengalami masalah yang sama.

Teknik penanganan abreaksi yang kami kembangkan di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology selain berdasar pada teori pikiran bawah sadar dan hasil riset kami juga terutama didasarkan pada pemikiran Helen H. Watkins.

Agar dapat menghasilkan efek terapeutik yang permanen maka beberapa syarat berikut perlu dipenuhi:

1. abreaksi harus dilakukan di kejadian paling awal dari rangkaian kejadian yang mengakibatkan munculnya gangguan emosi dan perilaku.

2. abreaksi harus dilakukan secara tuntas dan menyeluruh sehingga semua emosi yang terkandung di dalam memori kejadian awal lepas semuanya.

3. klien perlu dibantu untuk bisa mendapatkan pemaknaan atau hikmah dari kejadian yang dulunya ia alami.

4. perlu dilakukan rekonstruksi memori sehingga yang tersimpan di pikiran bawah sadar klien, usai terapi, adalah memori positif dan menyenangkan.

Dalam konteks memori, rekonstruksi yang dilakukan dapat mengakibatkan salah satu dari dua kemungkinan. Pertama, memori lama yang telah terhapus tidak lagi dapat diakses (Loftus, 1979). Ini dikenal dengan The Memory Alteration Hypothesis. Kedua, memori lama dan baru keduanya ada di pikiran bawah sadar dan keduanya dapat diakses (Bekerian dan Bowers, 1983; Christiaansen dan Ochalek, 1983). Ini dikenal dengan The Memory Coexistence Hypothesis.

Tidak jadi masalah apakah klien ingat memori awal atau versi yang telah dikoreksi, selama empat poin di atas telah dilakukan dengan baik dan benar, maka saat ia keluar dari kondisi hipnosis perubahan yang telah terjadi selama proses terapi tetap berlaku.

Rekonstruksi memori ini akan sangat efektif memengaruhi klien bila dilakukan dalam kondisi relaksasi pikiran yang (sangat) dalam (deep trance) karena di kedalaman inilah terapis dapat menggunakan trance logic pikiran klien secara optimal. 

Baca Selengkapnya

Yang Klien Perlu Tahu Sebelum Menjalani Hipnoterapi

30 Maret 2014

Saat ini kesadaran masyarakat untuk mendapat bantuan profesional guna mengatasi masalah yang berhubungan dengan pikiran, emosi, dan perilaku sudah semakin meningkat. Pemahaman akan hipnoterapi, khususnya hipnoterapi klinis, juga sudah semakin meningkat. Masyarakat sudah semakin memahami apa sebenarnya hipnoterapi klinis, apa yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan dengan hipnoterapi klinis.

Tentu ini adalah satu kabar yang sangat menggembirakan karena hipnoterapi klinis adalah salah satu modalitas terapi yang telah teruji secara klinis sangat efektif membantu mengatasi berbagai masalah yang berhubungan dengan emosi dan perilaku.

Beberapa waktu lalu AWGI dihubungi oleh salah satu calon klien yang ingin menerapikan dirinya untuk mengatasi masalah kecemasan yang telah mengganggu hidupnya selama hampir dua tahun. Seperti biasa, calon klien bertanya banyak hal seputar hipnoterapi dan kami menjelaskan dan menjawab dengan detil setiap pertanyaannya.

Ada beberapa pertanyaan menarik yang kerap ditanyakan oleh calon klien. Pertanyaan ini, dari simpulan kami, muncul karena pemahaman yang kurang pas mengenai sifat dan layanan hipnoterapi secara umum.

Berikut saya berikan beberapa penjelasan penting guna menambah wawasan dan  pemahaman mengenai layanan hipnoterapi klinis yang disediakan lembaga Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology.

Saya ingin menerapikan anak/pasangan/rekan/kolega yang bermasalah. Apakah bisa?

Hipnoterapi tentu bisa membantu mengatasi masalah yang berhubungan dengan emosi. Namun ada syarat penting yang perlu dipenuhi. Klien harus bersedia menjalani sesi konseling dan atau terapi atas kesadaran atau keinginannya sendiri, tidak bisa atas perintah, paksaan, ancaman, atau rayuan orang lain. Hipnoterapi tidak bisa dilakukan tanpa ijin dari klien.   

Apakah klien bisa dihipnoterapi supaya lupa seseorang atau satu pengalaman traumatiknya?

Ini adalah pertanyaan yang umum kami jumpai. Hipnoterapi tidak bisa membuat orang lupa satu kejadian. Yang bisa dilakukan adalah kami memroses emosi yang ada pada satu kejadian. Setelah emosi ini berhasil diproses klien dapat tetap mengingat kejadian itu namun tidak lagi terpengaruh. Selain itu, hipnoterapi hanya bisa dilakukan atas ijin dan keinginan klien. Tanpa ijin klien terapi tidak mungkin dan tidak akan bisa dilakukan.

Apakah hipnoterapi bisa digunakan untuk mengungkap rahasia seseorang?

Ini adalah pandangan yang salah mengenai hipnosis atau hipnoterapi, mungkin akibat sering menyaksikan acara di tv. Kami beberapa kali dihubungi suami atau istri yang minta pasangannya dihipnosis dan dicek apakah selingkuh atau tidak. Ada lagi perusahaan yang kehilangan uang dalam jumlah besar dan merasa yakin salah satu karyawannya yang mencuri uang perusahaan dan minta agar karyawan ini dihipnosis dan dicek apa benar ia mencuri atau tidak.

Ini tidak bisa dilakukan. Hipnosis hanya bisa dilakukan atas ijin klien. Bila tidak, klien bisa menolak dan berbohong karena selama dalam kondisi hipnosis klien sebenarnya sadar sepenuhnya dan tetap memegang kendali atas pikiran dan tubuhnya.

Tayangan di televisi yang lebih ditujukan untuk hiburan telah memberi “pemahaman” yang salah tentang hipnosis. Bila apa yang dilakukan di televisi itu benar, bisa mengungkap atau membongkar rahasia seseorang walau orang itu tidak bersedia, maka kita tidak perlu KPK. Cukup bawa orang yang disangka sebagai koruptor ke hipnotis yang di tv itu, minta ia menghipnosis tersangka dan dengan mudah semua rahasia akan terbuka. Dengan demikian kerja aparat penegak hukum akan menjadi sangat ringan. Sekali lagi, yang di tv itu hanya untuk hiburan dan banyak rekayasanya.

Apakah ada jaminan kesembuhan?

Hipnoterapi adalah kontrak upaya, bukan kontrak hasil. Sesuai dengan kode etik kami tidak pernah dan tidak boleh menjanjikan kesembuhan kepada klien. Sama seperti professional healer lainnya yang bekerja dengan sangat profesional seperti dokter, psikolog, psikiater, atau konselor tidak boleh memberikan janji atau jaminan kesembuhan. Kesembuhan dan keberhasilan terapi ditentukan oleh kerjasama antara klien dan terapis.

Bila dokter membantu mengatasi masalah yang berhubungan dengan fisik maka hipnoterapis klinis membantu mengatasi masalah yang berhubungan dengan emosi atau perilaku. Dengan kata lain hipnoterapis klinis adalah “dokter” pikiran. 

Apakah ada masa garansi?

Pertanyaan ini sering membuat kami tersenyum. Klien bukan barang atau benda mati tapi adalah manusia yang sangat dinamis dan kompleks. Hipnoterapis tidak boleh memberikan garansi. Misalnya, setelah diterapi, terapis memberikan masa garansi selama, misalnya dua minggu. Bila dalam kurun waktu dua minggu ini ternyata klien masih merasa kurang nyaman maka klien bisa minta terapi lagi dengan gratis karena masih dalam masa garansi. Hipnoterapis berlaku sama seperti dokter, psikolog, psikiater, atau konselor yang tidak pernah memberikan masa garansi.

Apakah ada hipnoterapis yang memberikan garansi? Saya tidak tahu. Yang pasti, berdasar kode etik lembaga kami, pemberian garansi ini tidak boleh dan tidak profesional. 

Apakah ada atau boleh diberlakukan sistem paket?

Dalam organisasi kami tidak diperkenankan untuk memberlakukan sistem paket. Sama halnya praktik dokter, saya belum pernah bertemu atau menemukan dokter yang memberlakukan sistem paket. Misalnya, pasien sakit batuk pilek dan berobat ke dokter. Dokternya berkata, “Kalau sekali jumpa saya tarifnya Rp. 250.000. Ini ada pahe, paket hemat. Anda jumpa saya 5 kali dan saya hitung hanya Rp. 1.000.000 saja, bayar di muka.”

Aturan yang berlaku dalam organisasi kami yaitu kami meminta komitmen klien untuk menjalani terapi maksimal sampai 4 (empat) sesi. Ini hanya komitmen. Bila ternyata dalam satu atau dua sesi klien sudah merasa nyaman dan masalahnya sudah teratasi maka terapi tidak perlu diteruskan.

Komitmen ini sekaligus merupakan pesan ke pikiran bawah sadar klien untuk all out menjalani sesi terapi. Bila sampai empat sesi klien tidak berhasil dibantu mengatasi masalahnya maka terapis akan mundur dan menyarankan klien untuk minta bantuan terapis lain yang lebih kompeten.

Dari pengalaman kami, bila sampai empat sesi klien belum juga berhasil dibantu mengatasi masalahnya maka hanya ada dua kemungkinan. Pertama, klien tidak niat sembuh atau tidak all out. Kedua, terapisnya tidak kompeten untuk mengatasi masalah klien. Dalam situasi seperti ini tidak ada gunanya meneruskan terapi karena bila diteruskan akan tidak baik untuk klien.

Terapis, dalam setiap sesi terapi, melakukan upaya maksimal membantu klien berdasar pengetahuan dan pengalamannya. Terapis tidak diperkenankan dengan sengaja memperpanjang sesi terapi demi mendapat keuntungan finansial. 

Apakah ada diskon professional fee?

Saat ini, pertanyaan seperti ini sudah sangat jarang terjadi. Dulu, sangat sering. Ada calon klien yang menawar professional fee. Saya tidak tahu apa yang ada di benak calon klien ini saat berusaha dengan segala cara menawar fee seorang terapis. Ada yang menawar separoh, lalu karena tidak bisa, menaikkan lagi tawarannya. Klien berkata, “Di tempat lain harga terapinya cuma segini lho, masa di tempat Anda lebih mahal. Apa tidak bisa dibuat sama saja dengan yang di sana?”

Kami memandang situasi ini sebagai kesempatan emas untuk memberikan edukasi kepada calon klien. Kami selalu mengatakan bahwa hipnoterapis klinis adalah profesi yang sejajar dengan dokter, psikiater, atau profesional lain yang bergerak di bidang penyembuhan. Bila dokter membantu menyembuhkan masalah yang berhubungan dengan fisik maka hipnoterapis klinis membantu mengatasi masalah yang berhubungan dengan pikiran, emosi, dan perilaku.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa apa yang kami lakukan ini adalah hal yang sangat serius dan kami memperlakukan klien dan diri kami juga dengan sangat serius. Kebijakan kami yaitu fee tidak untuk ditawar. Hipnoterapis profesional menetapkan fee sesuai dengan pengalaman dan kompetensinya.

Pengalaman klinis kami menyatakan bahwa saat klien mulai menawar fee terapis, apalagi sampai minta terapi gratis, maka biasanya hasil terapi tidak akan bisa maksimal. Ada satu Bagian Diri klien yang tidak bersedia “membayar harga” untuk berubah.

Tentu, terapis juga perlu cermat dan bijak untuk tahu kondisi klien yang sesungguhnya. Untuk klien yang benar-benar tidak mampu maka, sesuai dengan kebijakan masing-masing, terapis dapat memberi potongan harga dan juga bila perlu menggratiskan layanan terapinya. Ini tentu bergantung situasi dan kondisi di lapangan. 

Kebiasaan menawar fee ini tidak berhubungan dengan status sosial ekonomi calon klien namun lebih pada mindset. Pernah ada satu rekan sejawat saya yang merasa kasihan dengan kondisi orangtua klien anak yang memang tidak mampu. Usai terapi, rekan ini menggratiskan fee-nya. Ternyata ibu dari klien ini dengan tegas berkata, “Pak, walau saya orang kurang mampu tapi saya tidak perlu dikasihani. Saya tetap akan bayar ongkos terapi. Saya mau kasih pelajaran sama anak saya bahwa semua ada harganya. Bahwa anak saya dibantu dan berubah, ini juga ada harga yang harus dibayar. Saya harap Bapak terima uang saya.” 

Baca Selengkapnya

Keragaman dan Keunikan Praktik Hipnoterapi Indonesia

22 Maret 2014

Baru-baru ini saya dapat email dari seorang sahabat FB yang telah menjalani sesi hipnoterapi dan minta saya memberi komentar atau pendapat. Saya katakan bahwa saya tidak dalam kapasitas untuk memberi komentar mengenai terapi yang dilakukan terapis lain.

Pertanyaan seperti ini memang sering saya dapatkan. Dan selama ini saya konsisten tidak bersedia memberi komentar. Dari berbagai kisah tentang proses terapi yang saya dengar atau baca tampak bahwa praktik hipnoterapi di Indonesia cukup beragam dan unik, bergantung pada latar belakang masing-masing terapis , lembaga tempat mereka belajar, dan mendapat sertifikasi.

Berikut ini adalah beberapa “varian” dalam praktik hipnoterapi yang saya ketahui baik dari kisah sahabat FB, dari klien-klien yang kami tangani, dan dari hasil penelusuran di berbagai situs internet. Terlepas dari apapun varian yang bisa dijumpai dalam hipnoterapi semuanya tentu punya satu tujuan yang sama yaitu membantu klien mengatasi masalahnya dengan cepat, mudah, menyenangkan, dan dengan hasil terapi yang permanen.

Varian 1. Hipnoterapi yang sepenuhnya mengandalkan sugesti.

Dalam varian ini seorang hipnoterapis akan menggali apa masalah klien yang ingin diatasi. Setelah mendapat cukup informasi, langkah selanjutnya adalah menyusun skrip sugesti yang sesuai. Ini tentu butuh waktu dan kecermatan. Setelah menyusun skrip, terapis akan membimbing klien masuk ke kondisi hipnosis, semakin dalam semakin baik, dan selanjutnya membaca skrip terapi.

Saat terapis membaca skrip, saat proses terapi, biasanya juga direkam. Rekaman ini yang selanjutnya didengarkan oleh klien di rumah berulang kali dengan tujuan memperkuat efek terapeutik dari skrip. Dengan demikian, diharapkan, klien sembuh dari masalahnya.

Varian 2. Hipnoterapi yang digabung dengan akupuntur.

Penggunaan akunpuntur di sini lebih untuk merilekskan klien. Setelah klien rileks terapis melanjutkan dengan teknik hipnoterapi yang sesuai untuk membantu klien. Ada yang melanjutkan dengan pemberian sugesti atau teknik lainnya.

Varian 3. Hipnoterapi yang digabung dengan tarot.

Untuk bisa melakukan varian ini hipnoterapis perlu cakap di dua bidang, yaitu hipnoterapi dan membaca kartu tarot. Biasanya sebelum melakukan terapi, terapis akan menggunakan kartu tarot untuk “membaca” kondisi klien. Hasil bacaan ini digunakan sebagai dasar atau acuan melakukan terapi. Terapinya bisa berupa pemberian sugesti dalam kondisi mata terbuka (waking hypnosis), pemberian saran, masukan, dan langkah yang perlu klien lakukan untuk mengatasi masalah. Hal-hal yang disampaikan oleh terapis dengan mudah menembus faktor kritis dan masuk ke pikiran bawah sadar klien karena klien memandang terapis sebagai figur dengan otoritas yang (sangat) tinggi. Terapis juga bisa menghipnosis klien dan memroses masalah di pikiran bawah sadar berdasar hasil bacaannya.

Varian 4. Hipnoterapi yang dilakukan sambil bicara santai.

Jenis hipnoterapi ini biasa disebut dengan conversational hypnotherapy atau hipnoterapi yang dilakukan sambil diskusi atau ngobrol santai. Terapis tidak melakukan induksi formal untuk membawa klien masuk kondisi hipnosis. Melalui serangkaian teknik yang diterapkan dengan cermat, sistematis, dan hati-hati terapis mampu membawa klien masuk kondisi hipnosis, dalam kondisi mata terbuka, dan selanjutnya menanamkan sugesti tertentu, tentunya yang bersifat terapeutik, ke pikiran bawah sadar klien tanpa klien sadari atau ketahui.

Varian 5. Hipnoterapi yang digabung dengan NLP

Ini adalah salah satu varian yang cukup banyak dijumpai. Hipnoterapis yang juga menguasai teknik terapi berbasis NLP menggabungkan hipnoterapi dan NLP dan menyebut tekniknya sebagai hipno-nlp.

Varian 6. Hipnoterapi yang digabung dengan terapi energi

Masuk dalam kelompok ini adalah hipnoterapi yang digabung dengan praktik energi seperti Reiki, buka aura, totok aura, pembersihan aura, atau otak-atik cakra dan medan energi tubuh. Ada terapis yang setelah mencoba melakukan hipnoterapi pada kliennya dan tidak berhasil selanjutnya berusaha menarik keluar energi negatif di dalam tubuh klien yang diyakini sebagai sumber masalah.

Saya pernah mendapat cerita ada terapis yang gagal menarik keluar energi negatif  dari dalam diri klien, mengakibatkan kondisi klien menjadi semakin parah, akhirnya menyimpulkan bahwa klien dikuasai makhluk halus. Terapis selanjutnya menggunakan ritual tertentu untuk mengeluarkan “makhluk halus” ini.

Varian 7. Hipnoterapi yang digabung dengan analisis tulisan tangan (graphology)

Varian ini menggunakan analisis tulisan tangan untuk “membaca” kondisi klien. Ada terapis yang mengklaim mampu menemukan akar masalah hanya dengan melakukan analisis tulisan tangan. Dari temuan ini terapis meregresi klien ke kejadian tertentu, yang diyakini sebagai akar masalah, dan melakukan resolusi trauma.

Varian 8. Hipnoterapi yang digabung dengan hitungan nama dan tanggal lahir

Dalam hipnoterapi ini terapis menganalisis kemungkinan masalah klien berdasar nama klien, nama pasangan, dan tanggal lahir. Dari sini terapis akan “tahu” apa yang menjadi penyebab masalah klien dan menentukan solusinya.

Varian 9. Hipnoterapi berbasis Ego Personality

Hipnoterapi jenis ini secara ekslusif berusaha menyelesaikan masalah klien dengan mengakses dan memroses Ego Personality (EP) atau Bagian Diri yang membuat masalah. Melalui reedukasi atau negosiasi antara terapis, dalam hal ini mewakili klien, dan EP, yang bisa berlangsung cukup alot, akhirnya EP bersedia mendukung hidup klien dan berhenti memunculkan simtom atau masalah.

Varian 10. Hipnoterapi yang menggunakan pendulum

Penggunaan pendulum adalah untuk berkomunikasi langsung dengan pikiran bawah sadar. Setelah membimbing klien masuk kondisi hipnosis terapis bertanya pada pikiran bawah sadar klien dengan pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan salah satu dari tiga kemungkinan berikut: “Ya” , “Tidak”, atau “Tidak bersedia menjawab”.  Setelah menemukan sumber masalah klien, terapis melanjutkan dengan teknik hipnoterapi yang sesuai.

Varian 11. Hipnoterapi yang fokus dengan teknik PLR (past life regression)

Dalam varian ini semua sumber masalah klien diyakini berasal dari kehidupan lampau. Terapis meregresi klien mundur ke kehidupan lampau klien, mencari, menemukan, dan membereskan akar masalah.

Varian 12. Hipnoterapi yang menggunakan prosedur hipnoanalisis

Dalam hipnoterapi ini suatu simtom atau masalah diyakini mempunyai akar masalah. Terapis, dengan teknik tertentu, mencari, menemukan, dan memroses akar masalah ini hingga tuntas.

Teknik yang umumnya digunakan untuk menemukan akar masalah adalah hypnotic age regression atau biasa disebut regresi dengan beragam variannya. Selain teknik regresi, hipnoterapi jenis ini juga menggunakan beragam teknik lain untuk menuntaskan masalah klien.

Saya yakin masih ada banyak varian hipnoterapi selain yang telah saya sebutkan di atas. Varian mana yang paling baik atau efektif? Saya tidak dalam kapasitas memberi penilaian. Tujuan saya menulis artikel ini hanya untuk memberikan informasi mengenai apa saja yang terjadi dalam dunia hipnoterapi di Indonesia yang saya ketahui atau jumpai.

Saya pribadi dan para hipnoterapis alumni AWG Institute hanya menggunakan varian no 12. Berhubung saya hanya bisa yang ini maka saat ada sahabat yang bertanya pada saya mengenai varian lainnya, saya tidak bisa komentar.

Mana varian yang paling sesuai untuk klien? Ini semuanya bergantung pada klien. Ada klien yang khusus mencari terapis yang mempraktikkan varian 11 yaitu yang menggunakan past life regression. Ada klien yang senang dan percaya dengan energi dan mencari hipnoterapis dengan keahlian ini. Semua berpulang pada masing-masing klien. 

Baca Selengkapnya

Cerdas dan Bijak Memahami Regresi Dalam Hipnoterapi

16 Maret 2014

Secara sederhana, kata “regresi” berarti mundur, urutan berbalik ke belakang. Dalam dunia psikologi, regresi, seperti yang dinyatakan oleh Anna Freud, adalah mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) di mana seseorang, karena mengalami kejadian dengan muatan stres yang tinggi, berbalik ke tahap perkembangan perilaku sebelumnya. Regresi dalam hipnoterapi adalah peristiwa di mana klien di dalam pikirannya mundur menyusuri garis waktu internal ke satu waktu atau kejadian spesifik di masa lalunya. 

Ditinjau dari intensitas keterhubungan dan kedalaman keterlibatan diri dalam kejadian yang dialami klien dikenal ada dua jenis regresi dalam hipnoterapi. Yang pertama, hipermensia yaitu klien mengingat dengan jelas satu kejadian spesifik. Kedua, revivifikasi yaitu klien bukan sekedar mengingat tapi mengalami kembali, di masa sekarang, kejadian tertentu di masa lalu sama seperti ia mengalaminya dulu. Setiap jenis regresi punya manfaat yang berbeda dan aplikasinya perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan terapi. Secara teknis dikenal dua tipe hipermnesia dan dua tipe revivifikasi yang masih terbagi lagi ke dalam dua subtipe. 

Bila ditinjau dari proses dan faktor penyebab terjadinya dikenal ada sepuluh tipe regresi yaitu directive regressionnondirective regression, spontaneous regression, emotionally induced regression, recreational regression, past life regression, wannabe regressiontherapist-led regressiontherapist-forced regression, dan Ego Personality-based regression. 

Directive regression adalah regresi di mana klien mundur ke masa lalu ke satu kejadian atau waktu spesifik mengikuti bimbingan terapis. Masuk dalam tipe regresi ini antara lain regresi dengan kalender, regresi menggunakan usia, regresi kenangan indah atau kejadian spesifik.

Nondirective regression adalah regresi ke satu waktu atau kejadian spesifik namun tidak ditentukan atau secara sengaja diarahkan oleh terapis. Masuk dalam tipe regresi ini adalah regresi dengan teknik buku kehidupan, karpet ajaib, lorong waktu, sungai kehidupan, ideomotor, affect bridgesomatic bridge.  

Nondirective regression sebenarnya juga adalah directive regression. Bedanya, dalam directive regression klien mundur ke waktu atau kejadian spesifik yang ditentukan oleh terapis sedangkan dalam nondirective regression klien mundur, tetap dengan bimbingan terapis, namun pikiran bawah sadar klien yang menentukan akan mundur ke waktu atau kejadian mana yang relevan untuk menyelesaikan masalah. 

Spontaneous regression adalah regresi yang terjadi secara spontan, tanpa diarahkan oleh terapis. Dalam hal ini pikiran bawah sadar klien yang membawa klien mundur ke waktu atau kejadian spesifik. Spontaneous regression belum tentu membawa klien ke awal mula kejadian yang menjadi penyebab masalah atau yang lazim dikenal dengan istilah initial sensitizing event (ISE). Terapis perlu cermat melakukan validasi. 

Spontaneous regression terjadi karena pikiran bawah sadar mencoba mengeluarkan ”tekanan” emosi dari pengalaman traumatik masa lalu karena merasa situasinya memungkinkan (aman) dan ada orang/terapis yang bisa membantu. Dalam kondisi normal, dengan tujuan melindungi pikiran sadar, pikiran bawah sadar merepresi emosi ini sedemikian rupa sehingga tidak bisa naik dan tidak diketahui oleh pikiran sadar. 

Emotionally induced regression adalah regresi yang menggunakan perasaan atau emosi sebagai jembatan (affect bridge) yang menghubungkan simtom klien di masa sekarang dengan kejadian awal di masa lalu yang menjadi penyebabnya. Teknik ini tidak dianjurkan untuk hipnoterapis pemula kecuali bila ia mendapat pelatihan cara menangani ledakan emosi/abreaksi dan resolusi trauma. 

Recreational regression adalah regresi ke kejadian menyenangkan di masa lalu dengan tujuan untuk menikmati kembali emosi positif yang dulu pernah dirasakan atau dialami, misalnya saat ulang tahun waktu kecil, liburan, bulan madu, menerima penghargaan, atau pengalaman menyenangkan lainnya. Untuk memperkuat efek perasaan yang dirasakan klien sebaiknya klien mengalami revivifikasi, bukan sekedar hipermnesia. 

Past life regression adalah regresi ke kehidupan lampau, bisa ke satu atau beberapa kehidupan sebelum kehidupan saat ini. Ada terapis atau klien yang meyakini benar keberadaan kehidupan lampau. Ada juga yang menganggap “kehidupan lampau” ini sebagai metafora yang sengaja dimunculkan oleh pikiran bawah sadar dengan tujuan tertentu. Salah satu varian dari PLR adalah life between lives regression. 

Wannabe regression adalah regresi ke kehidupan lampau di mana klien menjadi seseorang yang ia inginkan atau yang ia yakini sebagai dirinya. Sebelum menjalani regresi ini klien sudah punya keyakinan atau merasa bahwa dulunya ia adalah seseorang atau tokoh tertentu misalnya sebagai raja, jenderal, putri bangsawan, sastrawan, atau soulmate dari seseorang. 

Therapist-led regression adalah bentuk regresi yang diarahkan oleh terapis dengan teknik leading, baik secara sengaja atau tidak dan mengakibatkan munculnya false memory. Hipnoterapis yang tidak menguasai teknik regresi dengan benar biasanya tanpa disadari, karena kesalahan dalam semantik yang digunakan, melakukan regresi ini. Idealnya, regresi dilakukan dengan prinsip membimbing (guiding) dan tidak boleh mengarahkan (leading). 

Therapist-led regression sering terjadi karena terapis, saat melakukan wawancara dengan klien, bisa berasumsi atau menyimpulkan, bahwa satu kejadian spesifik di masa lalu adalah akar masalah klien. Dengan bekal “data” ini terapis langsung meregresi klien ke kejadian itu. 

Berdasar informasi yang saya terima dari beberapa klien yang pernah kami tangani, ada hipnoterapis yang menggunakan analisis tulisan tangan (graphology) untuk menentukan akar masalah (ISE). Ada juga terapis yang menggunakan informasi yang didapatkan di sesi wawancara, menghubungkan informasi ini dengan pendapat ahli tertentu, dan sampai pada simpulan kejadian mana yang menjadi akar masalah. ISE diputuskan atau ditetapkan oleh terapis bukan diungkap oleh pikiran bawah sadar klien. 

Dari temuan kami sejauh ini, menemukan akar masalah dengan cara di atas tidak akurat dan sepenuhnya bersifat leading bukan guiding. Terapis yang melakukan regresi jenis ini biasanya tidak dapat menuntaskan masalah klien karena memroses “ISE” yang salah. Bila beruntung, regresi ini bisa secara kebetulan berhasil mencapai ISE. Namun, seringkali tidak bisa. 

Dari diskusi dengan beberapa rekan, ada yang tidak setuju dengan pernyataan saya di atas dan tetap yakin bahwa ISE bisa ditemukan hanya dengan analisis tulisan tangan dan wawancara. Saya bisa memaklumi dan setuju dengan ketidaksetujuan ini. Saya tidak dalam kapasitas dan kepentingan untuk mengubah keyakinan mereka. Yang saya sampaikan di sini adalah apa yang saya dan para hipnoterapis alumni Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology temukan di ruang praktik saat membantu klien mengatasi masalah mereka. Kejadian yang oleh terapis sebelumnya dinyatakan sebagai ISE ternyata sama sekali bukan ISE, bukan pula SSE. 

Dalam beberapa kasus, ada ISE yang terungkap di sesi wawancara. Klien biasanya akan ditanya kejadian paling awal yang bisa ia ingat yang menjadi pencetus simtom yang ia alami. Kejadian ini tervalidasi sebagai ISE setelah terapis melakukan regresi dan pikiran bawah sadar klien membawa klien mundur ke kejadian yang ternyata sama dengan yang telah disampaikan di sesi wawancara. Yang perlu diperhatikan di sini yaitu pikiran bawah sadar yang mengungkap ISE, bukan terapis yang menentukan. Terapis hanya mengecek kebenaran data hasil wawancara dengan yang terungkap saat regresi. 

Therapist-led regression mirip dengan recreational regression. Perbedaannya terletak pada tujuan yang ingin dicapai. Bila recreational regression bertujuan untuk mengalami kembali perasaan positif dari kejadian di masa lalu makatherapist-led regression adalah regresi yang diarahkan oleh terapis dengan tujuan menemukan ISE. 

Therapist-forced regression berbeda dengan therapist-led regression. Bila dalam therapist-led regression terapis menemukan, lebih tepatnya menetapkan, akar masalah (ISE) klien setelah melalui serangkaian upaya tertentu, misalnya dengan analisis tulisan tangan atau wawancara mendalam, maka therapist-forced regression adalah regresi ke akar masalah di mana terapis memaksa klien mengakui adanya akar masalah di satu waktu tertentu. 

Berikut diberikan dua contoh agar menjadi jelas. Ada orang yang mengaku sebagai terapis dan membantu klien mengatasi masalah mereka. Terapis ini selalu menyimpulkan, siapapun kliennya dan apapun masalahnya, bahwa akar masalah klien berawal saat klien di dalam kandungan ibunya. Menurut terapis ini klien adalah anak yang tidak diinginkan dan ditolak oleh orangtuanya, sehingga mengalami luka batin yang menjadi penyebab masalahnya. Di sini terapis memaksakan ISE kepada klien. 

Contoh lain, dan ini adalah kejadian nyata, ada terapis yang berusaha mencari akar masalah dengan teknik regresi sederhana yaitu klien, misalnya berusia 45 tahun, dibawah mundur ke usia sebelumnya, tahun demi tahun. Terapis bertanya ke pikiran bawah sadar klien apakah akar masalah muncul di usia 45 tahun dan dijawab tidak. Kemudian mundur lagi ke usia 44 tahun, 43 tahun, demikian seterusnya hingga usia 1 tahun, lanjut ke usia 11 bulan, 10 bulan, terus hingga ke usia 1 bulan. Sampai di sini terapis tetap belum bisa menemukan akar masalah. 

Selanjutnya, dengan frustrasi terapis meregresi klien ke dalam kandungan dan dengan tegas berkata kepada klien, “Saat ini Anda adalah bayi di dalam kandungan Ibu Anda. Saat di dalam kandungan Anda pasti pernah sakit. Sekarang ceritakan Anda pernah sakit apa selama dalam kandungan Ibu Anda?” Terapis mengulangi sugesti ini beberapa kali dan berharap klien akan mengungkap pernah sakit apa. 

Di sini tampak jelas bahwa terapis memaksa klien mengakui bahwa saat di dalam kandungan klien pernah mengalami sakit tertentu. Sakit ini diyakini oleh terapis sebagai akar masalah klien. 

Ego Personality-based regression dilakukan dengan mengakses ego personality / Bagian Diri tertentu dan selanjutnya meregresi klien, dengan bantuan EP ini, ke satu kejadian atau waktu spesifik, bisa dengan menggunakanaffect bridge atau cognitive bridge. Ditinjau dari perspektif teori Ego Personalitysemua terapi, apapun jenis atau teknik yang digunakan, selalu mengakses ego personality tertentu. 

Satu hal penting yang perlu dicermati oleh terapis yang melakukan regresi berbasis EP yaitu hasil regresi biasanya tidak mencapai akar masalah (ISE) tapi EPCE. ISE berbeda dengan EPCE. ISE bisa sekaligus sebagai EPCE. EPCE bisa juga adalah SSE atau SPE. Proses terapi menggunakan regresi berbasis EP memang tidak bertujuan menemukan ISE tapi EPCE dan perlu diproses adalah EPCE, bukan ISE. 

Pentingnya Menemukan Akar Masalah

Dalam upaya membantu klien mengatasi masalahnya, sangat penting bagi terapis yang menggunakan teknik regresi untuk bisa membantu klien menemukan akar masalah atau ISE. Resolusi trauma yang dilakukan bukan di ISE akan membuahkan hasil tidak maksimal dan sering mengakibatkan klien kambuh (relapse).   

Kesulitan menemukan akar masalah sering disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

- relaksasi pikiran yang dicapai klien masih kurang dalam sehingga pikiran sadar klien masih aktif menganalisis dan melakukan intervensi.

- terapis tidak menguasai teknik regresi dengan baik.

- teknik regresi yang dikuasai terapis tidak sesuai untuk menemukan akar masalah.

- terapis tidak melakukan validasi ISE.

- terapis tidak bertanya dengan cara yang benar: semantik yang digunakan tidak sesuai, intonasi dan tekanan suara yang tidak tepat sehingga memengaruhi pikiran bawah sadar klien memberikan jawaban seperti yang diharapkan terapis, bukan jawaban yang sebenarnya.

- pengharapan terapis yang berlebih untuk menemukan ISE dan ini terbaca oleh pikiran bawah sadar klien sehingga memberi jawaban yang tidak akurat karena ingin menyenangkan terapis. 

- terapis menggunakan teknik regresi berbasis EP namun salah mengakses EP sehingga hasil regresi tidak valid. 

Baca Selengkapnya

Masalah Saat Ini yang Tidak Terselesaikan

10 Maret 2014

Hipnoterapi sebagai salah satu modalitas terapi yang telah terbukti secara empiris dan klinis sangat efektif membantu mengatasi masalah yang berhubungan dengan emosi atau perilaku tetap memiliki keterbatasan. Artikel ini bertujuan menjelaskan kesulitan penanganan masalah emosi atau perilaku klien yang disebabkan oleh masalah saat ini yang tidak terselesaikan atau unresolved present issue.

Charles Tebbetts dalam bukunya yang telah menjadi buku klasik dalam dunia hipnoterapi, Miracles on Demand, menyatakan ada tujuh psikodinamika simtom atau alasan/sebab seseorang mengalami masalah. Tujuh psikodinamika ini adalah menghukum diri sendiri (self-punishment), pengalaman masa lalu yang belum terselesaikan (unresolved past experience), konflik internal (internal conflict), masalah saat ini yang tidak terselesaikan (unresolved present issue), keuntungan tersembunyi (secondary gain), identifikasi, dan imprint.

Salah satu dari tujuh psikodinamika simtom yang dari pengalaman kami cukup sulit diatasi adalah “masalah saat ini yang tidak terselesaikan”.  

Apa yang dimaksud “masalah saat ini yang tidak terselesaikan”?

“Masalah saat ini yang tidak terselesaikan” adalah masalah yang dialami seseorang, terjadi atau berawal dari masa lalu, berlanjut hingga masa sekarang, dan bisa berlanjut hingga ke masa depan. 

Ada banyak contoh kasus yang masuk kategori “masalah saat ini yang tidak terselesaikan”. Beberapa di antaranya:

- anak yang merasa tidak nyaman di sekolah karena sikap guru atau karena mengalami perundungan (bullying). Guru atau temannya tidak mau berubah sehingga selama anak sekolah di tempat yang sama ia akan mengalami masalah yang berulang.

- menantu yang merasa tidak cocok atau tertekan dengan sikap mertua dan mereka tinggal serumah. Atau bisa juga sebaliknya mertua yang tidak tahan dengan sikap menantu.

- pasangan berselingkuh dan tidak bersedia mengakhiri hubungan dengan selingkuhannya.

- anak yang mengalami tekanan dari orangtua untuk secara konsisten berprestasi gemilang di sekolah padahal anak tidak punya kapasitas untuk hal ini.  

- salah melakukan investasi, terjerat utang, dan dikejar debt collector.  

- perasaan tertekan di tempat kerja karena sikap atasan atau lingkungan kerja yang tidak kondusif namun tidak bisa pindah ke perusahaan lain.

Intinya, seseorang mengalami masalah yang terus berlanjut dari hari ke hari tanpa ada penyelesaian atau ia tidak dapat menyelesaikan masalah ini karena tidak mampu atau di luar kendalinya.

Hipnoterapi bisa mengatasi emosi atau gangguan perilaku yang disebabkan oleh masalah yang dialami klien hingga saat ia jumpa terapis. Usai terapi, masalah klien sudah tuntas ditangani. Namun, karena ini adalah “masalah saat ini yang tidak terselesaikan” maka saat klien kembali ke lingkungannya ia akan terpapar lagi pada situasi, kejadian, atau pengalaman (stresor) yang menyebabkan perasaan tidak nyaman yang tadinya sudah berhasil diatasi di sesi terapi kembali muncul. Dengan kata lain klien mengalami trauma ulang.

Terapis, dengan menggunakan teknik tertentu, bisa membantu meningkatkan daya tahan mental dan emosi klien sehingga kuat bila mengalami kembali kejadian yang sama. Namun, dari pengalaman klinis, hal ini sulit dipertahankan untuk waktu yang lama bila klien kembali terpapar pada stresor yang sama dan berulang yang membuatnya tidak nyaman seperti sebelum jumpa terapis. Ada klien yang bisa bertahan hanya beberapa hari. Ada yang beberapa minggu. Tidak pernah ada yang bisa bertahan seterusnya.

Idealnya, solusi terbaik untuk mengatasi “masalah saat ini yang tidak terselesaikan” adalah dengan meniadakan stresor. Saat stresor berhasil dihilangkan maka “masalah saat ini yang tidak terselesaikan” secara otomatis berubah menjadi “pengalaman masa lalu yang belum terselesaikan”. Dengan demikian penanganannya menjadi lebih mudah.

Sesuai sifat dari “masalah saat ini yang tidak terselesaikan” maka klien akan kembali terpapar pada stresor yang sama dan stresor ini karena sesuatu sebab tidak bisa dihilangkan.

Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini?

Ada beberapa alternatif solusi. Pertama, meningkatkan toleransi stres klien sehingga klien menjadi lebih tahan dan kuat. Kemampuan dan kecepatan meningkatkan toleransi stres bergantung pada karakter dasar klien. Kedua, klien meningkatkan kesadaran diri sehingga mampu memandang dan memberi makna baru pada stresor sebagai satu peluang untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Ketiga, klien mendapat dukungan dari orang di sekitarnya sehingga beban yang tadinya ia rasakan sangat berat atau tidak dapat diatasi kini menjadi lebih ringan. 

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List