The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Forensik Hipnosis: Untuk Terapi atau Penyidikan?

23 September 2013

Ramai media memberitakan kecelakaan  tragis di Tol Jagorawi Km 8+200, Cibubur, Jakarta Timur, pada 8 September 2013 dini hari, yang melibatkan AQJ (13), putra bungsu mantan pasangan suami istri Ahmad Dhani dan Maia Estianty. Kecelakaan ini mengakibatkan tujuh orang meninggal dunia.

Saya tidak akan membahas mengenai kejadian kecelakaan ini. Artikel ini fokus pada “lupa ingatan” yang dialami AQJ pascakecelakaan seperti yang diberitakan salah satu media online. “Kondisi dia semakin membaik sesudah menjalani serangkaian operasi akibat kecelakaan. Bahkan, ia sudah bisa sedikit mengingat apa yang ada dalam pikirannya sebelum dirinya mengalami kecelakaan tersebut. Dia ingat cuma pengin nyalip. Tapi, sudah enggak bisa ngapa-ngapain. Dari situ dia sudah blank. Masuk tol tuh dia sudah blank," ucap Mita, personel duo The Virgin, seusai menjenguknya di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan, Selasa (17/9/2013).

Tidak banyak yang bisa diingat oleh AQJ mengenai kejadian itu. Kemudian, ia dilarikan ke rumah sakit terdekat dari lokasi kecelakaan itu, Rumah Sakit Meilia Cibubur. Lalu, atas permintaan orangtuanya, ia dipindahkan ke RSPI.

"Dia bilang, 'Aku banyak lupa.' Kayak apa ya, orang enggak merasakan apa-apa, kayak enggak tahu apa-apa. Kerasa kayak orang mimpi saja, terus bangun," lanjut Mita.

Apa yang dialami oleh AQJ adalah amnesia akibat represi memori atas satu kejadian traumatik yang tidak bisa ditangani oleh pikiran sadar. Memori ini ditekan sedemikian rupa oleh pikiran bawah sadar sehingga tidak dapat diakses oleh pikiran sadar.

Amnesia adalah kondisi terganggunya daya ingat atau hilangnya memori. Penyebabnya bisa bersifat organik atau bersifat fungsional. Amnesia yang bersifat organik adalah kehilangan memori yang disebabkan oleh gangguan pada otak, seperti kecelakaan, menderita sakit yang mempengaruhi sel otak, dan penggunaan obat-obatan tertentu, biasanya obat penenang. Sedangkan amnesia yang bersifat fungsional disebabkan oleh faktor psikologis, seperti gangguan mental, sakit jiwa, stress akibat trauma, atau karena faktor pertahanan diri (defense mechanism) seperti menolak menerima dan mengakui adanya suatu keadaan yang traumatik.

 

Jenis Amnesia 

Ada banyak jenis amnesia baik yang disebabkan oleh faktor organik maupun fungsional. Berikut ini adalah enam jenis amensia seperti yang saya tulis di buku The Miracle of MindBody Medicine:

1. Anterograde amnesia adalah ketidakmampuan untuk mengingat peristiwa yang terjadi setelah kejadian traumatik atau awal penyakit yang menyebabkan amnesia. Anterograde amnesia sering terjadi sehabis suatu peristiwa akut seperti trauma, serangan jantung, kekurangan oksigen, atau serangan epilepsi.

Mereka yang terkena anterograde amnesia mengalami kesulitan membentuk memori baru karena ada hambatan dalam mentransfer data yang ada di memori jangka pendek ke memori jangka panjang yang bersifat permanen. Mereka dapat mudah lupa kejadian yang baru mereka alami, nama atau wajah orang yang baru mereka jumpai, namun memori dari masa lalu dapat mereka ingat dengan mudah.

2. Retrograde amnesia adalah salah satu tipe amnesia yang paling sering dialami. Orang yang mengalami amnesia tipe ini mengalami kesulitan dan tidak mampu mengingat data yang berasal dari masa sebelum terjadinya amnesia. Namun mereka dapat mencipta, membentuk, dan mengingat memori mulai dari saat terjadinya amnesia dan masa sesudahnya. Retrograde amnesia dapat disebabkan oleh goncangan atau pukulan yang keras pada kepala akibat kecelakaan atau terjatuh.  Amnesia tipe ini juga dapat disebabkan oleh pengunaan obat-obatan tertentu dalam jangka panjang atau karena stroke. Bagian dari otak yang menyimpan memori masa lalu rusak dan tidak dapat diakses sehingga mengakibatkan amnesia. 

3. Emotional/hysterical amnesia adalah hilangnya ingatan pada memori atau kelompok memori tertentu. Hilangnya memori ini bukan karena faktor organik yaitu kerusakan otak namun disebabkan oleh pikiran bawah sadar melakukan represi atau menyembunyikan memori yang mengandung emosi negatif yang intens. Satu sifat unik amnesia ini yaitu ia hampir selalu dapat diatasi dengan menggunakan hipnosis atau hipnoterapi. 

4. Posthypnotic amnesia adalah hilangnya memori karena pengaruh sugesti yang diberikan saat seseorang dalam kondisi hipnosis. Bisa meliputi ketidakmampuan mengingat peristiwa yang terjadi selama hipnosis atau informasi yang tersimpan di memori jangka panjang. Sugesti diberikan saat seseorang dalam kondisi hipnosis dan dijalankan setelah ia keluar dari kondisi hipnosis. Segmen memori yang tidak dapat diingat atau diakses bergantung pada sugesti yang diberikan. 

5. Lacunar amnesia adalah hilangnya memori mengenai satu kejadian tertentu. Ini adalah jenis amnesia yang meninggalkan celah (lacuna) pada rekaman data di memori.   

6. Transient global amnesia adalah hilangnya memori spontan yang bisa berlangsung antara beberapa menit hingga beberapa jam dan biasanya dialami oleh orang berusia paruh baya dan lanjut. 

 

Dari uraian di atas tampak bahwa apa yang dialami oleh AQJ adalah anterograde amnesia yang disebabkan oleh pengalaman traumatik. Bila ini terjadi apa yang bisa atau perlu dilakukan untuk bisa membantu penderita agar bisa kembali mengingat kejadian itu?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas yang sangat perlu ditanyakan adalah untuk apa seseorang mengingat kembali kejadian traumatik? Apakah sekedar mengembalikan segmen memori yang terepresi, untuk mengatasi trauma (terapi), atau untuk tujuan penyidikan kepolisian?

Amnesia adalah satu bentuk pertahanan diri dan bertujuan untuk kebaikan diri individu. Memori yang terepresi mengandung emosi dengan intensitas yang sangat tinggi. Itulah sebabnya ia “disembunyikan” sedemikian rupa sehingga tidak bisa diakses. Saat memori berhasil diingat kembali maka muatan emosi ini juga akan dialami oleh individu. Pengalaman ini dapat mengakibatkan guncangan pada kondisi mental, gangguan kestabilan sistem psikis, dan berakibat sangat negatif.

Bila memang tidak diperlukan, dan selama tidak mengganggu, maka akan lebih baik membiarkan segmen memori ini “disembunyikan” di pikiran bawah sadar sampai seseorang lebih siap dan kuat untuk memrosesnya. Bila memang perlu segera diungkap maka ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati, menggunakan forensik hipnosis, dan tentu memerhatikan kesiapan kondisi fisik dan psikis individu.

Cara yang paling sering digunakan untuk mengungkap memori yang terepresi adalah dengan meminta klien mundur, dalam pikirannya, dan mengingat apa yang ia lakukan sebelum peristiwa traumatik. Dengan cara ini diharapkan klien dapat mengingat kembali peristiwa traumatik itu. Cara ini bisa berhasil namun bukan tanpa resiko.

Saya ingat beberapa tahun lalu saat saya membantu klien, sebut saja Yon, yang adalah korban selamat dari pengemboman hotel Ritz Carlton. Yon datang ke saya, dari Jakarta, setelah selama sekitar tiga bulan menjalani sesi terapi intensif namun tidak berhasil. Yon, yang adalah saksi mahkota, sempat diwawancarai oleh beberapa televisi nasional dan diminta menceritakan apa yang terjadi saat pengeboman itu.

Yon selalu mulai dengan cerita saat ia mendorong meja kecil, tempat meletakkan makanan, ke dalam restoran. Dan setelah itu tiba-tiba di dalam restoran ada suara ledakan sangat keras. Sampai di sini ia pasti langsung diam, pandangan matanya nanar, tubuhnya dingin dan kaku, tidak bisa digerakkan, ia tidak bisa bersuara. Butuh waktu rata-rata antara setengah jam sampai satu jam untuk Yon bisa kembali ke kondisi normal dan ia tidak bersedia melanjutkan ceritanya.

Apa yang terjadi? Saat menjawab pertanyaan wartawan, Yon kembali mengalami peristiwa ini, di dalam pikirannya, dan ia kembali “mengalami” (revivifikasi) kejadian ini. Dengan demikian setiap kali ia menceritakan kejadian ini, ia mengalami trauma ulang. Semakin lama kondisinya menjadi semakin parah karena trauma yang berulang. Menurut profesional yang menanganinya, Yon mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Selain mengalami stres ia juga tidak bisa melihat meja makan ukuran kecil, kerumunan orang banyak, pintu darurat, dan mendengar suara keras seperti mercon, guntur, atau suara sepeda motor yang digeber. Setiap kali melihat atau mendengar salah satu dari hal ini ia pasti langsung “hang” selama hampir setengah jam.

Apa yang saya lakukan untuk membantu Yon? Saya akan jelaskan di akhir artikel ini.

 

Mengungkap Data untuk Terapi

Dalam konteks terapi, data yang direpresi perlu diungkap agar dapat diproses sehingga tidak lagi mengganggu hidup klien. Tujuan utama, sebenarnya, adalah menetralisir emosi yang melekat pada memori. Saat emosi berhasil dinetralisir maka memori ini akan menjadi memori biasa yang tidak lagi mengganggu hidup klien. Klien dapat mengingat kejadian yang dulunya sangat traumatik hanya sebagai kenangan masa lalu sama seperti kejadian lainnya.

Untuk dapat mengakses memori yang terepresi dan memrosesnya dengan aman, ada beberapa kondisi yang perlu dipenuhi pada klien dan terapis. Di sisi klien, pertama, ia harus bersedia dibantu atas kesadarannya sendiri, tidak bisa atas rayuan, paksaan, atau ancaman. Kedua, klien siap secara fisik dan mental.

Dari sisi terapis, ia harus cakap melakukan hipnoterapi, khususnya dalam menggunakan berbagai teknik regresi, teknik disosiasi, penanganan abreaksi, dan teknik menembus screen memory

Terapi sebaiknya dilakukan dalam kondisi deep trance untuk meminimalisir efek emosi terhadap tubuh. Saat klien diregresi dan melihat (hipermnesia) atau mengalami kembali (revivifikasi) kejadian traumatik maka secara otomatis pikiran dan tubuhnya akan masuk ke kondisi genting dan mengaktifkan sistem saraf simpatik (fight or flight). Sedangkan saat dalam kondisi deep trance atau relaksasi yang dalam maka yang aktif adalah sistem saraf parasimpatik. Sistem saraf ini tidak bisa aktif bersamaan karena dalam satu waktu hanya bisa satu saja yang aktif.

Saat memroses memori pengalaman traumatik sebaiknya dilakukan dengan disosiasi, jangan asosiasi, agar klien tidak mengalami trauma ulang. Bila dengan disosiasi klien masih merasakan emosi yang berhubungan dengan kejadian itu maka lakukan double dissocation atau bahkan triple dissociation.

Ada beberapa cara melakukan pemrosesan secara disosiasi. Pertama, klien diregresi kembali ke kejadian dan hanya menyaksikan kejadian. Kedua, sama dengan yang pertama namun klien menyaksikan kejadian menggunakan kesadarannya saat ini. Ketiga, sama dengan yang pertama namun klien menyaksikan kejadian menggunakan kesadarannya dari masa depan.

Double dissocation adalah kondisi di mana klien menyaksikan dirinya sedang menyaksikan kejadian (A melihat B melihat kejadian X, di mana A=B). Sedangkan triple dissociation adalah kondisi di mana klien menyaksikan dirinya sedang menyaksikan dirinya sedang menyaksikan kejadian (A melihat B melihat C melihat kejadian X, di mana A=B=C).  Semakin banyak disosiasi maka semakin kecil kemungkinan klien mengalami kembali emosi yang berhubungan dengan kejadian.

Untuk keperluan terapi, terapis tidak berkepentingan untuk melakukan pemeriksaan kebenaran data atau informasi yang terungkap. Apapun yang diungkap klien diterima sebagai satu kebenaran. Yang penting klien sembuh dari pengalaman traumatiknya. Seringkali data yang terungkap sudah “terkontaminasi” oleh berbagai informasi yang disampaikan oleh orang di sekitar klien, pascakejadian, atau dari berbagai pemberitaan yang klien lihat, baca, atau dengar. Ini bisa terjadi karena pikiran bawah sadar merekam kejadian bukan apa adanya namun apa kita-nya. Artinya, memori ini bisa berubah, bertambah atau berkurang karena sifatnya yang dinamis dan rekonstruktif bergantung pada banyak faktor.

Setelah datanya berhasil terungkap maka tugas utama terapis adalah menetralisir emosi yang melekat pada memori ini menggunakan teknik yang sesuai dengan situasi dan kondisi klien. Dari pengalaman klinis menangani klien ditemukan bahwa emosi intens sangat sulit atau tidak bisa diatasi hanya dengan memberi sugesti. Untuk itu terapis perlu melakukan teknik intervensi yang tidak sekedar berbasis sugesti. 

 

Mengungkap Data untuk Penyidikan

Bila tujuannya adalah untuk penyidikan maka perlakuannya berbeda. Sebaiknya operator yang mengajukan pertanyaan adalah hipnoterapis yang cakap melakukan regresi atau penyidik yang juga seorang hipnoterapis.

Syarat di atas sangat penting karena bila salah bertanya maka data yang keluar bisa salah. Kesalahan yang sering terjadi adalah operator melakukan leading bukan guiding. Selain itu yang sangat perlu diperhatikan adalah tekanan suara, pilihan kata, ekspresi atau mimik wajah saat bertanya, dan pengharapan operator karena akan terbaca oleh pikiran bawah sadar klien dan berpengaruh atas jawaban yang klien berikan.

Sebelum forensik dilakukan, klien harus menjalani tes kesehatan fisik dan mental dan dinyatakan siap. Semua proses direkam mulai dari awal hingga akhir, tanpa terputus,  dengan beberapa kamera. Ada kamera yang khusus merekam suara dan wajah klien, suara dan wajah operator atau hipnoterapis atau penyidik, dan juga ada yang merekam keseluruhan ruangan yang digunakan untuk kegiatan forensik.

Sebagai hipnoterapis klinis, menurut hemat saya, sebaiknya usai diforensik klien juga perlu langsung diterapi.  Alasannya, forensik dapat mengungkap memori yang sebelumnya disembunyikan oleh pikiran bawah sadar. Dengan terungkapnya memori ini maka klien dapat mengingat kembali kejadian traumatik. Tentu hal ini akan tidak baik bagi klien.

Bisa juga, setelah berhasil mendapatkan data yang dibutuhkan, operator kembali membuat klien “lupa”  atau melakukan amnesia pada klien. Secara teknis ini bisa dilakukan namun tidak dianjurkan karena sama dengan operator memasang bom yang dapat meledak sewaktu-waktu.

Kembali ke pertanyaan di atas yang belum dijawab, “Apa yang saya lakukan untuk membantu Yon?”

Mengingat Yon telah berkali-kali mengalami trauma ulang karena diminta menceritakan apa yang terjadi, saya memutuskan untuk tidak mengakses memorinya. Yang saya lakukan adalah menggunakan teknik khusus, tanpa perlu mengakes memori, namun langsung mencabut emosi keluar dari segmen memori itu.

Hasilnya? Hanya dalam waktu sekitar satu jam saya berhasil membantu Yon mengatasi masalahnya. Usai terapi Yon pulang ke Jakarta dan langsung masuk kerja seperti biasa dan sama sekali tidak ada masalah. 

Baca Selengkapnya

Strategi Menerapi Klien yang Fasih Bicara Beberapa Bahasa

8 September 2013

Kemarin, saat dalam perjalanan pulang usai seminar “Pintar & Bijak Menghadapi Kanker” putri bungsu kami bertanya pada saya, “Pa, kenapa kalau terapi harus menggunakan bahasa Ibu?” Saya tidak pernah menyangka akan mendapat pertanyaan seperti ini mengingat usia putri bungsu kami yang masih belia, masih SMP kelas 2, dan juga tidak pernah ikut pelatihan hipnoterapi. Saya biasanya mendapat pertanyaan seperti ini dari alumni pelatihan hipnoterapi saya, bukan dari seorang anak remaja. Tentu saya kaget dan juga senang.

Saya memanfaatkan kesempatan baik ini untuk menerangkan tentang pikiran, proses tumbuh kembang anak, luka batin atau trauma, regresi, dan bahasa apa yang harusnya digunakan terapis bila klien mampu berkomunikasi fasih dalam beberapa bahasa. Walau usianya masih sangat muda untuk belajar atau tahu lebih banyak tentang hipnoterapi, saya yakin informasi yang masuk, lebih tepatnya dimasukkan, ke pikiran bawah sadarnya melalui uraian saya, suatu saat nanti pasti akan bermanfaat baginya. Dalam istilah teknis saya melakukan seeding.

Sebagai terapis tentu suatu saat kita pasti akan bertemu klien yang fasih bicara dalam beberapa bahasa. Saya pernah mendapat klien yang saat kecil tinggal di Indonesia. Ia pindah ke Singapore saat SMP dan selanjutnya ke Amerika hingga usai kuliah. Klien kemudian belajar bahasa Mandarin selama tiga tahun di Cina. Jadi, klien ini lebih fasih bahasa Inggris dan Mandarin daripada bahasa Indonesia.

Apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini agar terjalin rapport yang baik dengan klien dan dapat dilakukan terapi yang efektif?

Sebagai terapis, walau saya mampu bicara dalam beberapa bahasa, namun yang saya benar-benar fasih hanya dua, bahasa Indonesia dan Inggris. Dengan demikian saya tidak bisa menggunakan bahasa Mandarin untuk terapi. Dan seperti yang saya jelaskan di atas, klien lebih fasih bahasa Inggris dan Mandarin daripada bahasa Indonesia. Komunikasi awal via email antara saya dan klien juga dilakukan dalam bahasa Inggris. Klien mengisi intake form juga dalam bahasa Inggris.

Saat klien jumpa saya di AWG Institute, ia langsung menggunakan bahasa Inggris. Saya memutuskan untuk mengikuti klien dan menggunakan bahasa Inggris. Setelah selesai melakukan wawancara, menggali data yang saya butuhkan, saya memulai proses terapi. Semua saya lakukan dalam bahasa Inggris.

Sesuai dengan masalahnya, saya menggunakan teknik age regression untuk membawa klien mundur dan menemukan akar masalahnya. Regresi pertama membawa klien mundur ke usia 10 tahun. Saya langsung berganti bahasa dari Inggris ke Indonesia. Selanjutnya saya terus menggunakan bahasa Indonesia sampai saya berhasil membimbing klien menemukan akar masalahnya di usia 2 tahun.

Pertanyaannya adalah mengapa saya berganti bahasa saat klien mundur ke usia 10 tahun?

Ini adalah strategi terapi. Dari sesi wawancara saya tahu klien pindah ke Singapore saat masuk SMP di usia 12 tahun. Berarti, saat teregresi ke usia 10 tahun, ia masih di Indonesia dan bahasa yang ia gunakan sehari-hari adalah bahasa Indonesia, bukan Inggris.

Dengan menggunakan bahasa Indonesia saya bertujuan mempertahankan klien pada usia 10 tahun sebagai persiapan untuk regresi lanjutan. Alasan lain adalah dengan saya menggunakan bahasa Indonesia berarti yang benar aktif saat itu, menjawab pertanyaan dan berkomunikasi dengan saya, adalah Ego Personality (EP) anak atau Inner Child, bukan Diri klien yang dewasa. 

Bila saya tetap menggunakan bahasa Inggris maka bisa terjadi saat teregresi ke usia 10 tahun, misalnya terjadi revivifikasi tipe 1 dan sifatnya komplit, maka klien tidak mengerti bahasa yang saya gunakan. Ia ke Singapore di usia 12 tahun dan menjadi fasih bahasa Inggris setelah lebih dewasa. Kemungkinan lain, saat klien teregresi ke usia 10 tahun dan saya tetap menggunakan bahasa Inggris maka klien akan mengalami progresi, maju kembali ke saat sekarang akibat bahasa yang saya gunakan.

Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah saya akan mengalami kendala saat melakukan teknik gestalt, misalnya berbicara dengan introject ibu, ayah, atau siapa saja yang terlibat di ISE (akar masalah), bila ternyata mereka tidak mengerti bahasa Inggris.

Penggunaan bahasa ibu sangat penting khususnya dalam proses abreaksi yang melibatkan ekspresi verbal. Tentu akan sangat beda rasanya bila kita mengungkap emosi, misal perasaan kesal, marah, jengkel, sakit hati, terluka, dan sebagainya, menggunakan bahasa ibu daripada bahasa asing. Ekspresi verbal menggunakan bahasa ibu membuat kita dapat benar-benar merasakan dan menghayati emosi sehingga proses abreaksi bisa berjalan lancar dan tuntas.

Dalam proses terapi yang menggunakan regresi dan revivifikasi, kondisi ideal adalah klien mengalami revivifikasi tipe 1 dan sifatnya parsial. Penggunaan bahasa yang tidak tepat dengan usia kronologis dan proses akuisisi bahasa dapat mengakibatkan klien yang semula sudah mengalami revivifikasi tipe 1, parsial, berubah menjadi revivifikasi tipe 2. Bila ini terjadi maka proses abreaksi tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan karena klien tidak dapat merasakan emosinya.

Bagaimana bila ternyata saat teregresi klien mundur ke usia di mana ia tidak bisa bahasa Indonesia, Inggris, atau Mandarin dan hanya bisa bahasa daerah atau dialek? Ini tetap dapat diselesaikan dengan kreatifitas dan teknik yang sesuai.

Usai melakukan proses abreaksi dan restrukturisasi pikiran bawah sadar, klien dibawa kembali ke masa sekarang. Di tahap ini saya kembali menggunakan bahasa Inggris karena berkomunikasi dengan Diri klien yang dewasa, bukan Inner Child.  

Bagaimana bila misalnya klien adalah orang asing dan hanya bisa bahasa Inggris sedangkan terapis tidak bisa? Solusinya sangat mudah. Rujuk klien ke rekan sejawat yang fasih bahasa Inggris, gitu aja kok repot.

Baca Selengkapnya

Aversion Therapy dalam Hipnoterapi

6 September 2013

Aversion therapy (AT) adalah satu teknik modifikasi perilaku dengan cara menghubungkan kebiasaan atau perilaku yang hendak dimodifikasi, baik itu dikurangi atau dihentikan, dengan satu sensasi atau perasaan tidak menyenangkan baik di aspek mental, emosi, atau fisik.

Ada banyak bentuk AT, misalnya, mengoles jari anak dengan minyak atau zat tertentu dengan tujuan agar anak berhenti menggigit kuku atau mengisap jempolnya. Cara ini juga biasa digunakan ibu yang ingin menyapih anaknya.

Tujuan dari AT hanya satu yaitu menghentikan kebiasaan atau perilaku tertentu yang dianggap tidak baik atau merugikan. AT dapat diaplikasikan untuk mengatasi kebiasaan merokok, makan berlebih, minum alkohol, berjudi, pornografi, selingkuh, malas belajar, dan banyak kebiasaan atau perilaku lainnya.

AT juga digunakan dalam hipnoterapi dan dapat memberi hasil yang baik sampai batas tertentu. Namun penggunaan AT dalam hipnoterapi sebaiknya dilakukan dengan bijaksana dan cermat karena bila dilakukan tanpa perhitungan yang matang justru akan sangat merugikan klien. Saya tidak setuju dan tidak pernah menggunakan AT dalam praktik saya dan juga tidak diajarkan di pelatihan hipnoterapi yang saya selenggarakan. Saya yakin, dari pengalaman membantu klien selama ini, perubahan yang langgeng hanya bisa terjadi bila didasari dengan niat tulus, kesadaran, dan kebijaksanaan, bukan dengan paksaan atau ancaman. Setelah selesai membaca artikel ini Anda pasti mengerti maksud saya. 

Berikut saya beri satu contoh aplikasi AT dalam hipnoterapi untuk menghentikan kebiasaan merokok.

Klien datang ke terapis dengan tujuan berhenti merokok. Saat wawancara klien menjelaskan semua alasan logis mengapa ia perlu berhenti merokok. Dan semuanya masuk di akal klien maupun terapis.

Berbekal keyakinan bahwa klien menunjukkan motivasi kuat untuk berhenti merokok, terapis melakukan AT. Setelah membimbing klien masuk ke kondisi hipnosis yang dalam, terapis mulai memberi sugesti, kurang lebihnya seperti ini:

“Mulai sekarang dan seterus, setiap kali Anda ingin merokok, melihat rokok, mencium bau rokok, menghirup asap rokok, atau ditawari rokok oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja, tanpa alasan yang jelas namun pasti Anda mulai merasa mual dan mencium bau rokok seperti bau ikan busuk. Anda sungguh merasa tidak nyaman. Dan semakin Anda bersikeras untuk tetap merokok maka perasaan mual Anda menjadi semakin kuat dan bau rokok menjadi sama baunya dengan ikan yang telah membusuk berhari-hari. Anda merasa jijik.

Sekarang bayangkan diri Anda ditawari rokok…atau bayangkan Anda mencium bau rokok… atau menghirup asap rokok… bayangkan… rasakan… tiba-tiba Anda merasa mual dan mencium bau ikan busuk yang membuat Anda sangat tidak nyaman…

Bila Anda tetap merokok, inilah yang pasti terjadi. Bayangkan diri Anda merokok… lihat dan rasakan asap rokok ini masuk ke paru-paru Anda… berubah menjadi racun mematikan….. masuk ke dalam darah dan menyebar ke seluruh tubuh Anda… membuat paru-paru Anda keracunan dan mulai timbul kanker…menyebar ke seluruh tubuh Anda… membuat Anda sangat sakit… menderita… dan akhirnya Anda mati dengan kondisi sangat menderita, menyedihkan, dan mengenaskan. Selain itu, dengan kondisi sakit ini, Anda juga merepotkan semua keluarga Anda, membuat mereka ikut menderita. Saat mati, Anda masuk neraka… api neraka membakar Anda selamanya karena Anda telah menyia-nyiakan hidup yang telah Tuhan berikan kepada Anda. Tentu Anda tidak ingin mati seperti ini, bukan?

Sekarang, bayangkan dan atau rasakan Anda berhenti merokok. Bayangkan dan rasakan tubuh Anda sehat… kuat… Anda bisa berumur panjang… bahagia…”

Dari sugesti di atas tampak bahwa terapis berusaha menghubungkan antara kebiasaan merokok dengan akibat negatif yang akan menimpa klien bila klien meneruskan kebiasaan ini.

Apakah ini akan berhasil? Jawabannya bisa ya… bisa juga tidak.

Ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan saat memberikan sugesti kepada klien. Pertama, motivasi klien. Bila klien datang dengan motivasi yang sangat kuat untuk berubah maka hanya dengan sugesti sederhana klien bisa langsung berubah. Kedua, kedalaman relaksasi pikiran. Semakin dalam (deep trance) semakin baik karena critical factor telah berhasil ditembus sehingga kemampuan analisis dan menolak sugesti menjadi sangat berkurang atau bahkan sudah tidak bekerja. Akibatnya, sugesti apapun yang diberikan akan langsung masuk ke pikiran bawah sadar, diterima, dan dijalankan. Ketiga, susunan kata atau semantik yang digunakan. Keempat, otoritas terapis di mata klien.

Bila terapinya berhasil, klien sembuh. Namun, bagaimana bila ternyata sugesti ini tidak bekerja seperti yang diharapkan? Atau, sugesti ini bekerja untuk beberapa saat, setelah itu klien kembali kepada kebiasaan lamanya? Bila ini yang terjadi, apa efek dari AT terhadap diri klien?

Sebelum saya menjelaskan apa yang mungkin terjadi pada diri klien bila AT gagal, terlebih dahulu saya akan menjelaskan mengapa AT bisa gagal dalam hipnoterapi.

Cara kerja pikiran bawah sadar berbeda dengan pikiran sadar. Saat suatu sugesti dimasukkan ke pikiran bawah sadar akan terjadi beberapa kemungkinan. Pertama, sugesti tidak dijalankan. Kedua, sugesti langsung dijalankan seperti yang diharapkan. Ketiga, sugesti dijalankan namun tidak maksimal. 

Mengapa ini bisa terjadi?

Untuk ini kita perlu memahami apa sebenarnya perilaku. Perilaku, seperti yang saya tulis di buku Hypnotherapy for Children, adalah strategi yang telah teruji dan terbukti sangat efektif dan efisien, dari berbagai strategi yang telah dicoba oleh seorang anak, untuk bisa mendapatkan hal-hal yang anak inginkan dengan cepat, mudah, dan dengan tingkat keberhasilan yang paling tinggi.

Dengan demikian berarti perilaku punya fungsi yang spesifik untuk memberi apa yang kita inginkan. Dalam contoh di atas, klien merokok untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Seringkali saat ditanya alasannya merokok, klien akan menjawab bahwa ia merokok agar bisa berpikir jernih atau merasa tenang saat lagi stres.

Apakah alasan ini benar? Tidak. Seringkali alasan sesungguhnya klien merokok adalah untuk mendapat pujian, pengakuan, atau penerimaan dari kelompoknya. Dan tentunya awal klien merokok bukan saat ia dewasa namun saat masih remaja. Seiring waktu berjalan ia telah lupa alasan awal ini dan mulai membangun alasan baru yang menyatakan bahwa dengan merokok ia akan merasa tenang dan tidak stress.

Aversion Therapy (AT) tidak menyentuh alasan awal atau akar masalah. AT hanya menghubungkan satu kebiasaan atau perilaku yang hendak dikurangi atau dihentikan dengan perasaan atau sensasi yang tidak menyenangkan atau menyakitkan.

Harapannya, sesuai sifat pikiran bawah sadar yang lebih cenderung menghindari rasa sakit (pain) dan mengejar kesenangan (pleasure), klien akan berhenti melakukan tindakan atau perilaku yang tidak menguntungkan dirinya.  

Namun, yang menjadi kendala adalah pemahaman akan pain atau pleasure di pikiran sadar dan bawah sadar ternyata berbeda. Apa yang dianggap pain oleh pikiran sadar bisa menjadi pleasure oleh pikiran bawah sadar. Ini disebabkan pikiran sadar dan bawah sadar bekerja dengan dua hukum yang berbeda.

Pain, bagi pikiran sadar, adalah hal-hal yang merugikan, menyakitkan, tidak menyenangkan, atau membahayakan. Pleasure adalah segala hal yang positif, menyenangkan, dan membawa kebaikan.

Pikiran bawah sadar punya pemahaman yang berbeda. Pain adalah segala sesuatu yang tidak ia kenal (unknown). Sedangkan pleasure adalah segala sesuatu yang ia kenal (known).

Jadi, walaupun sesuatu ini buruk menurut pikiran sadar, namun bila dikenal oleh pikiran bawah sadar maka ini adalah pleasure. Dan karena ini adalah pleasure sudah tentu pikiran bawah sadar akan berusaha keras mempertahankannya.

Hal lain yang dapat menghambat sugesti yang digunakan dalam AT adalah penolakan dari empat filter mental yang ada di dalam pikiran bawah sadar. Saat critical factor dari pikiran sadar menjadi nonaktif karena relaksasi pikiran, benar sugesti dapat dimasukkan dengan leluasa ke pikiran bawah sadar, namun sugesti ini tetap akan melewati empat filter mental di pikiran bawah sadar. Empat filter mental ini yaitu filter survival (keselamatan hidup), filter moral/agama, filter benar/salah, dan filter masuk akal/tidak.

Sugesti yang mengatakan bahwa bau rokok sama seperti bau ikan busuk cepat atau lambat akan dianulir oleh pikiran bawah sadar karena pernyataan ini tidak benar. Bila dianulir maka sugesti ini menjadi tidak berlaku. Akibatnya, klien akan tetap merokok.

Sugesti yang masuk ke pikiran bawah sadar akan mengalami tiga kemungkinan. Pertama, sugesti berjalan dengan baik, seperti yang diharapkan, dan klien sembuh. Kedua, sugesti sama sekali tidak dijalankan, klien tidak sembuh. Ketiga, sugesti jalan sebentar setelah itu berhenti dan klien kembali ke pola lamanya.

Pada kemungkinan pertama tidak akan timbul masalah. Masalah serius dapat muncul bila yang terjadi adalah kemungkinan kedua atau ketiga di mana klien tetap merokok atau sempat berhenti sebentar kemudian kembali merokok.

Di sinilah kemungkinan terburuk dapat terjadi. Dalam AT yang dilakukan kepada klien, terapis, seperti yang saya contohkan di atas memberi sugesti berikut:

“ …………….. bila Anda tetap merokok, inilah yang pasti terjadi. Bayangkan diri Anda merokok… lihat dan rasakan asap rokok ini masuk ke paru-paru Anda… berubah menjadi racun mematikan dan masuk ke dalam darah dan menyebar ke seluruh tubuh Anda… membuat paru-paru Anda keracunan dan mulai timbul kanker… menyebar ke seluruh tubuh Anda… membuat Anda sangat sakit… menderita… dan akhirnya Anda mati dengan kondisi sangat menderita, menyedihkan, dan mengenaskan. Selain itu, dengan kondisi sakit ini, Anda juga merepotkan semua keluarga Anda, membuat mereka ikut menderita. Saat mati, Anda masuk neraka… api neraka membakar Anda selamanya karena Anda telah menyia-nyiakan hidup yang telah Tuhan berikan kepada Anda.”

Terapis, disadari atau tidak, karena abai dan tidak memroses akar masalah atau alasan awal klien merokok, telah memasukkan satu program pikiran yang sangat destruktif ke pikiran bawah sadar klien. Akibatnya, saat klien tetap merokok, bagian dari sugesti yang bertujuan membuat klien takut atau jera sehingga berhenti merokok justru dijalankan dan menjadi realita klien. Bisa Anda bayangkan apa yang terjadi? Bila Anda adalah klien, apakah Anda bersedia mendapat sugesti seperti ini?

Beberapa waktu lalu saya kedatangan klien, anak muda usia 21 tahun, yang minta saya untuk membantunya berhenti merokok. Dalam sehari ia biasa menghabiskan tiga pak rokok. Ia minta diterapi sehingga dapat berhenti total. Menghentikan kebiasaan merokok, dengan hipnoterapi, sangatlah mudah.  

Saya tentu tidak serta merta mengabulkan permintaannya. Semua penjelasan dan alasannya berhenti merokok masuk akal, sangat logis, dan bagus. Setelah membimbing klien ini masuk ke kondisi hipnosis yang dalam saya bertanya kepada pikiran bawah sadarnya apakah berkenan, diijinkan, atau dibolehkan bila saya membantu klien berhenti merokok. Ternyata ada satu Bagian Diri (Ego Personality), yang disebut Perokok, keberatan bila klien berhenti total. Menurut Perokok klien perlu tetap merokok karena dengan merokok klien dapat menjadi lebih rileks, tenang, dan bisa berpikir jernih saat ada masalah. Akhirnya saya melakukan negosiasi, disepakati, dan disetujui oleh Perokok bahwa dalam satu hari klien hanya boleh merokok maksimal enam batang. Dan dari hasil follow up beberapa hari kemudian klien menjelaskan bahwa benar dalam sehari ia merokok maksimal enam batang. Lebih sering dua atau tiga batang saja.

Bisa dibayangkan bila saya menggunakan aversion therapy. Besar kemungkinan akan terjadi seperti yang saya jelaskan di atas.

Satu hal yang sering terjadi bila terapis menggunakan AT adalah kondisi yang saya namakan dengan efek pembalikan atau bouncing effect. Bouncing effect adalah kondisi di mana perilaku klien menjadi semakin parah karena pikiran bawah sadar, lebih tepatnya ada Ego Personality, marah dan balik melawan sugesti yang diberikan terapis.

Keadaannya sama seperti bila kita menekan bola ke dalam air. Selama tekanan ke bawah, dalam hal ini sugesti yang diberikan kepada klien, tetap kuat menahan bola (baca: masalah) di dalam air, maka seolah-olah bolanya hilang karena tidak lagi tampak di permukaan. Namun saat tekanan melemah atau lepas maka bola akan melesat keluar dari dalam air dan melambung di udara.

Saya yakin, setelah membaca seluruh uraian paparan di atas, Anda kini pasti setuju dengan pendapat saya yang tidak setuju dengan penggunaan AT, khususnya dalam hipnoterapi. 

Baca Selengkapnya

Konflik Orangtua dan Anak Sebagai Sumber Gangguan Emosi dan Perilaku

28 Agustus 2013

Ibu menempati posisi yang teramat penting dalam membesarkan dan mendidik anak. Proses pendidikan, khususnya di aspek emosi, telah mulai dilakukan oleh ibu, baik secara sadar atau tidak, sejak bayi dalam kandungan hingga lahir dan terutama selama enam tahun pertama kehidupan anak.

Sejak lahir bayi telah dibekali kemampuan atau kepekaan untuk merasakan ketidaknyamanan/rasa sakit yang ia ungkapkan dengan tangisan. Respon ini sifatnya protektif, penting bagi keselamatan hidup bayi, karena dengan cara ini ia memberitahu orang lain di sekitarnya mengenai perasaan tidak nyaman/sakit yang ia rasakan atau alami dan berharap orang di sekitarnya akan segera datang membantu dan menghilangkan perasaan yang mengganggu ini.

Tangis bayi biasanya akan segera mendapat perhatian dari ibunya. Saat ibu mampu memenuhi kebutuhannya, menghilangkan perasaan tidak nyaman atau menghilangkan rasa sakit, tangis bayi reda dan ia akan kembali tenang.

Tangis ini adalah komunikasi utama yang bayi gunakan dalam menyampaikan pesan tertentu mengenai apa yang ia butuhkan. Misalnya, bila ia merasa dingin, ibunya akan menyelimutinya. Bila ia buang air maka ibunya akan membersihkan dan mengganti popoknya. Bila ia lapar atau haus maka ibu akan memberi asi atau makan.

Setiap kali bayi merasa tidak nyaman atau sakit maka tangisnya sudah lebih dari cukup untuk bisa membuat ia mendapat apa yang dibutuhkan untuk kesejahteraan dan terutama keselamatan hidupnya. Ibu yang memberi atau memenuhi kebutuhan bayi, dalam hal ini, mewakili rasa aman, rasa nyaman, dan kedamaian. Bayi yang tak berdaya ini hanya bisa mengandalkan dan sepenuhnya bergantung kepada figur ibu untuk mengenali dan sekaligus menyelesaikan setiap masalah yang membuatnya tidak nyaman/sakit.

Setiap individu di sekitar bayi yang dapat segera memberi respon terhadap tangis bayi dan memberi bantuan yang dibutuhkan bayi berperan sebagai “ibu”.

Kadang, dalam situasi tertentu, bayi bisa menangis dalam waktu yang cukup lama sebelum mendapat perhatian atau bantuan dari ibunya. Dalam kondisi ini, untuk bisa mendapat perhatian ibunya maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan bayi adalah menangis semakin keras. Gerakan tangan, kaki, dan wajahnya menjadi semakin hebat, dan menunjukkan ia mengalami sesuatu yang lebih dari sekedar perasaan tidak nyaman atau sakit, yaitu perasaan takut.

Takut adalah perasaan yang menggantikan perasaan tidak nyaman atau sakit bila sumber perasaan tidak nyaman ini dirasa mengancam keselamatan hidup. Selama ia tidak mendapat perhatian atau respon yang dibutuhkan maka bayi akan terus menerus menangis. Tangisnya baru berhenti saat ibunya atau siapa saja yang ada di sekitarnya datang memberi perhatian dan memenuhi kebutuhannya.

Untuk anak yang lebih besar, saat ia merasa takut, maka ia bisa melakukan tindakan yang lebih positif yaitu berupaya menghindari atau menjauhi sumber perasaan tidak nyaman atau sakit. Ia akan merangkak atau lari menjauh ke tempat yang ia rasa aman. Anak cenderung akan bergerak mendekati ibunya (atau figur ibu) untuk mendapat rasa aman, bila ia tahu bisa mendapatkannya dari sosok ini. Perasaan takut ini akan terus ia alami dan rasakan sampai ia benar-benar merasa aman.

Lebih lanjut, setelah lebih besar, anak bisa merasakan emosi marah. Saat merasa takut anak akan menghindar. Namun responnya berbeda saat ia marah. Emosi marah mendorong anak untuk mengusir, menolak, atau bahkan menghancurkan sumber masalahnya dengan menggunakan sumber daya yang ia miliki atau yang ada dalam jangkauannya. Anak bisa berteriak, memukul dengan tangan, atau memukul menggunakan benda tertentu dengan satu tujuan yaitu segera menghilangkan penyebab rasa tidak nyaman atau sakit yang ia alami. Saat bahaya sudah lewat anak kembali menjadi tenang dan merasa nyaman. Ia belajar menggunakan emosi marah untuk tujuan pertahanan diri.

Jadi, dalam diri setiap insan ada tiga emosi utama yaitu perasaan tidak nyaman, takut, dan marah, dengan peran dan fungsi yang spesifik untuk menjaga kelangsungan hidup.

Rasa tidak nyaman sering muncul dalam bentuk perasaan ditolak, kesepian, dan terasing. Rasa takut berasal dari memori rasa tidak nyaman/sakit membuat seseorang berusaha menghindari atau menjauhi sesuatu yang dirasa atau dipersepsi sebagai bahaya. Takut dapat menyamar sebagai emosi cemas, ngeri, atau panik. Ketiga emosi sebenarnya sama, yaitu takut, namun dengan intensitas yang berbeda.

Emosi marah, melindungi individu baik dengan menakuti-nakuti sumber masalah agar menjauh atau pergi, atau menghilangkan secara pemanen, yang tampak dalam tindakan agresif, sikap bermusuhan dan kebencian.

Dengan demikian setiap emosi bermanfaat untuk memberdayakan individu dalam mengatasi bahaya, baik yang nyata atau hanya persepsi, agar selamat.

Saat emosi-emosi ini berhasil memenuhi peran dan fungsinya, tidak akan muncul masalah. Saat anak merasa tidak nyaman atau sakit, ia menangis dan mendapat perhatian dan bantuan. Saat merasa takut, ia lari menjauh atau menghindari bahaya ke tempat aman. Jika dua kondisi ini tidak mungkin, ia dapat menggunakan cara ketiga, marah, dan menghilangkan sumber bahaya sehingga bisa kembali merasa aman dan nyaman.

Namun, bila karena suatu hal emosi-emosi ini tidak dapat diungkap seperti yang seharusnya akan timbul masalah. Setiap emosi selalu disertai perubahan fisiologis yang spesifik untuk menjalankan fungsi emosi ini. Dengan demikian setiap emosi yang tidak dapat diungkap, tidak mendapat saluran keluar yang semestinya, mengakibatkan gangguan baik secara mental maupun fisik.

 

Peran Ibu Dan Gangguan Emosi

Dalam kondisi normal, jika tidak berhasil mendapatkan bantuan, saat ia merasa tidak nyaman atau sakit, anak akan menggunakan rasa takut untuk menghindar atau dapat menjadi marah dan mengusir atau menghilangkan sumber masalah.

Pertanyaan penting dan menarik untuk dikaji bersama yaitu apa yang akan terjadi bila ternyata sumber rasa tidak nyaman/sakit atau bahaya adalah ibunya sendiri. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan ibu adalah siapa saja yang punya hubungan dengan anak dan menjalankan fungsi/peran ibu yaitu menjaga dan mengasuh anak (misal: ayah, kakek, nenek, paman, tante, kakak, pembantu, atau baby sitter).

Bila yang menjadi sumber masalah adalah ibu, atau orang yang berperan sebagai ibu, maka anak akan bingung untuk memberi respon emosi yang tepat. Emosi yang seharusnya berguna untuk melidungi anak, kini tidak lagi dapat menjalankan fungsinya. Tangisan hanya akan membuat anak lebih menderita, sehingga rasa tidak nyaman ini tidak dapat ia ungkap.

Anak tidak dapat menggunakan emosi takut untuk lari atau menghindar karena ibu yang seharusnya memberi rasa aman kini justru menjadi sumber masalah. Tidak ada lagi tempat yang aman untuk berlindung atau mendapat perlindungan.

Demikian pula dengan emosi marah. Anak tidak dapat menggunakan emosi ini untuk menghilangkan sumber masalahnya karena, walau misalnya bisa ia lakukan, dengan melakukan hal ini pada saat bersamaan ia menghilangkan sumber rasa amannya. Satu-satunya jalan keluar bagi anak dalam situasi dan kondisi ini adalah memblok, menekan emosi yang ia rasakan atau alami.

Emosi, walau telah berhasil ditekan dan seolah telah hilang, ibarat api dalam sekam. Api emosi ini tetap menyala walau tidak disadari dan mengakibatkan berbagai masalah baik di aspek fisik dan atau mental/emosi.

Frederick “Fritz” Perls, bapak Gestalt, pernah mengatakan bahwa emosi memiliki rentang hidup yang meliputi satu kelahiran dan satu kematian, satu awal dan satu akhir. Perls juga menambahkan bahwa hanya ada dua cara untuk mengungkap emosi. Pertama, ke arah luar, dalam bentuk ekspresi verbal atau tindakan. Kedua, bila emosi ditekan sedemikian rupa sehingga tidak bisa diungkap, ia akan masuk ke dalam dan terekspresi melalui respon fisik (psikosomatis) dan atau gangguan mental/emosi. Emosi yang tidak berhasil diproses tuntas akan terus tinggal di dalam diri kita, menimbulkan masalah, sampai mereka berhasil diproses tuntas.

Dari riset di bidang neurosains di ketahui bahwa wilayah orbito-frontal, yang terletak di bawah lobus pre-frontal memainkan peran penting dalam kedali emosi. Schore (2001a) menamakan wilayah otak ini sebagai “Senior Executive” dari interaksi sosial, berperan dalam mengatur dan mengendalikan perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan emosi.

Schore (2000) juga menyatakan bahwa kedekatan hubungan anak dan ibu secara emosi memengaruhi pembentukan mekanisme mengatasi stres di otak kanan anak. Hal ini tampak pada wilayah orbito frontal atau “Senior Executive” yang sangat berkembang di wilayah otak sebelah kanan, dan sangat terlibat dalam pengolahan emosi. Jika wilayah ini tidak berkembang optimal atau mengalami gangguan perkembangan di tahun-tahun awal kehidupan akan sangat memengaruhi perilaku sosial dan moral di kemudian hari.

Otak sebelah kanan berperan aktif saat kita berusaha memahami emosi atau perasaan orang lain, saat berkomunikasi, melalui kontak mata, pemaknaan ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan pergeseran halus kondisi pikiran dan perasaan yang terjadi atau dialami orang lain.

Ibu membantu perkembangan dan pertumbuhan bayi yang masih kecil melalui peran yang oleh Stern (1985) disebut dengan “self regulating other”. Dalam hal ini ibu berperan dan bertindak sebagai pihak yang memperhatikan, menyediakan, dan memenuhi kebutuhan anak, sejalan dengan ekspresi afeksi anak.  

Peran ini terjadi melalui interaksi antara ibu dan bayi. Saat bayi menangis, karena merasa tidak nyaman atau sakit, dan ibunya memberi perhatian dan respon dalam bentuk menggendong, memeluk, serta menenangkannya, baik secara fisik dan emosi, dan juga memberi stimulasi.

Saya teringat salah satu topik bahasan yang saya dapatkan saat mengikuti pelatihan dan sertifikasi neurofeedback di Los Angeles beberapa bulan lalu. Sejalan dengan uraian Schore dan Stern, dalam upaya membantu klien, baik anak atau dewasa, lebih mampu meregulasi emosi mereka maka yang dilatih dengan neurofeedback adalah wilayah otak kanan terlebih dahulu baru setelah itu wilayah otak lainnya.  

Baca Selengkapnya

Engram, Program Pikiran Penyebab Masalah dan Cara Mengatasinya

12 Agustus 2013

Pengalaman klinis membantu klien mengatasi masalah mereka memberi pelajaran sangat berharga bagi diri saya. Setiap sesi terapi sifatnya unik, personal, dan mengandung pembelajaran penting baik untuk klien maupun saya sebagai terapis. Kami bertumbuh dan berkembang bersama melalui interaksi terapeutik yang terjalin selama proses terapi.

Klien-klien ini adalah pribadi unik dan berharga yang hidupnya menjadi tidak nyaman karena ada sesuatu yang mengganggu dan mengakibatkan munculnya masalah.

Ada sangat banyak masalah yang bisa kita alami. Untuk mudahnya, saya mendefinisikan masalah sebagai pola pikir, sikap, perilaku atau tindakan yang tidak sejalan dengan keinginan dan harapan sehingga menimbulkan gangguan atau ketidaknyamanan dalam menjalani hidup. Ada juga yang menggunakan istilah penyimpangan perilaku.

Apapun masalah klien, bila dicermati, selalu memiliki pola yang sama. Ada masalah yang diakibatkan murni oleh gangguan fisik, ada juga yang karena faktor psikis, dan ada juga yang gabungan keduanya.

Yang dimaksud pola yaitu dulunya mereka baik-baik saja dan karena sesuatu sebab, seringkali yang tidak mereka ketahui atau sadari, muncul masalah. Jadi, masalah yang dialami klien adalah akibat dari sebab spesifik yang terjadi di masa lalu klien.

Berikut saya beri contoh sederhana untuk lebih memperjelas paparan saya. Saya yakin Anda pasti mengenal, atau mungkin Anda sendiri, orang yang takut gelap atau ruang sempit tertutup (claustrophobia). Tahukah Anda, bahwa saat lahir, tidak ada satupun bayi takut gelap atau ruang sempit tertutup.

Saat dalam kandungan, bayi berada di tempat yang gelap dan sempit, di dalam kandungan ibu, dan merasa sangat nyaman. Setelah lahir, bayi membawa dua rasa takut yaitu takut pada suara keras dan takut jatuh (ketinggian). Takut-takut yang lain dipelajari dalam proses tumbuh kembang melalui interaksi dengan lingkungan.

Lalu, bagaimana orang dewasa bisa takut gelap atau ruang sempit tertutup?

Ada banyak kemungkinan yang bisa menjadi akar masalah. Dengan teknik regresi, terapis bisa mencari dan menemukan kapan pertama kali klien mulai merasa takut dan apa yang terjadi saat itu. Salah satu kemungkinan adalah saat kecil ia pernah dikunci atau terkunci di dalam lemari yang gelap dan sempit sehingga merasa sangat ketakutan. Kondisi ini akan semakin parah bila ia menangis untuk waktu yang lama tapi tidak dibukakan. Yang ia alami dan rasakan, selain takut, panik, tidak berdaya, juga ada perasaan ditinggalkan.

Setelah dewasa, saat berada di dalam ruang yang sempit ia akan merasa sangat tidak nyaman. Kondisi ini akan semakin parah bila tiba-tiba lampu mati sehingga ruangan menjadi gelap gulita. Dan saat itu ia pasti takut dan panik.

Klien hanya mengalami perasaan ini bila berada di tempat gelap atau ruang sempit tertutup. Bila di tempat terang, terbuka dan lapang, ia merasa nyaman dan sama sekali tidak ada masalah. Dengan kata lain, di dalam diri klien, ada semacam program pikiran yang dorman dan akan teraktivasi bila ada pemicu yang spesifik. Program pikiran yang membuat masalah dinamakan engram.

 

Definisi Engram

Istilah engram pertama kali digunakan oleh Richard Sermon, cendekiawan Jerman, tahun 1904. Sermon mendefinisikan engram sebagai impresi stimulus yang dapat diaktivasi ulang (reaktivasi) oleh pengulangan kondisi energetik yang mengendalikan penciptaannya.

Berdasar definisi Sermon, Hubbard, pencetus Dianetics dan Scientology, mendefinisi engram sebagai gambaran mental yang merupakan rekaman dari suatu pengalaman berisi rasa sakit, kondisi tidak sadar, atau ancaman terhadap keselamatan hidup, baik nyata atau hanya imajinasi.

Definisi lain menyatakan bahwa engram secara hipotetis adalah sarana penyimpanan jejak-jejak memori sejalan dengan perubahan biofisika atau biokimiawi di otak (dan jaringan otak lainnya) sebagai respon dari stimuli eksternal.

Saya mendefinisikan engram sebagai rekaman peristiwa yang dialami seseorang, baik berupa kejadian nyata, kejadian dalam imajinasi, atau mimpi, di mana informasi ini masuk ke pikiran bawah sadar saat faktor kritis tidak aktif karena pengaruh obat, emosi yang intens, shock, rasa sakit fisik yang intens, atau sebab-sebab lain, dapat langsung aktif dan seterusnya memengaruhi perilaku sejak engram tercipta, atau dorman hingga teraktivasi dikemudian hari melalui pemicu yang serupa atau sama dengan komponen penyusun engram.

 

Jenis Engram

Dari definisi yang saya paparkan di atas dan dari pengalaman klinis sejauh ini saya menyimpulkan ada dua jenis engram. Pertama, engram yang begitu tercipta langsung aktif dan seterusnya memengaruhi dan  mengendalikan pikiran, ucapan, perasaan, tindakan, dan perilaku seseorang. Engram tipe ini beroperasi berdasar instruksi spesifik, terkandung dalam komponen verbal, yang berasal dari arti literal atau pemaknaan subjek terhadap semantik yang digunakan dalam komunikasi.

Jenis kedua adalah engram yang tidak langsung aktif setelah tercipta. Engram ini sifatnya dorman, diam di pikiran bawah sadar, menunggu pemicu yang tepat untuk mengaktifkannya. Setelah terpicu, engram ini aktif, memengaruhi dan mengendalikan pikiran, ucapan, perasaan, tindakan, dan perilaku seseorang untuk satu waktu tertentu dan setelah itu kembali dorman menunggu terpicu lagi.

 

Prenatal Engram

Prenatal engram adalah engram yang tercipta saat bayi dalam kandungan ibu. Engram jenis ini adalah yang paling destruktif dari semua jenis engram dan tercipta berdasar pengalaman hidup yang dialami ibu saat mengandung. Apa yang dilihat, diucap atau didengar, dan terutama dirasakan ibu hamil, saat faktor kritis lemah atau tidak aktif karena sebab tertentu, menjadi komponen pembentuk engram yang sangat kuat.

Reaksi negatif wanita saat mengetahui dirinya hamil atau reaksi negatif suaminya saat diberitahu tentang kehamilannya, termasuk pemikiran untuk melakukan aborsi atau telah melakukan upaya aborsi namun gagal, akan mencipta prenatal engram yang sangat kuat memengaruhi kehidupan si anak di kemudian hari. 

Dalam konteks klinis, apabila terapis benar telah menemukan dan memroses tuntas kejadian awal yang menjadi akar masalah dan klien sembuh, namun beberapa saat kemudian tanpa alasan yang jelas kambuh, maka yang menjadi penyebab kambuh adalah prenatal engram.

 

Komponen Engram

Dari pengalaman klinis, saya menyimpulkan bahwa dalam setiap engram bisa terkandung hingga 12 (dua belas) komponen: penembusan faktor kritis (critical factor by-pass), waktu, tempat, visual (eksternal/lingkungan, internal/gambaran mental), auditori (eksternal/lingkungan, internal/self-talk), sensasi/respon fisik, bau (olfaktori), rasa (gustatori), individu yang terlibat (introject, identofact), perilaku, emosi, dan rasa sakit pada fisik.

 

Sifat Engram

Engram dapat secara permanen menyatu dengan dan memengaruhi sebagian atau semua sistem tubuh dan berlaku sebagai entitas yang memiliki memori, kemampuan berpikir, logika, sikap, kepribadian, karakter, kebiasaan, dan emosi mengikuti perkembangan usia kronologis dan mental subjek saat engram tercipta.

Engram adalah satu-satunya faktor penyebab penyakit psikosomatis. Ia menimbulkan penyakit psikosomatis, antara lain, berdasar instruksi yang ada dalam komponen verbal, atau mengekspresikan emosi yang dikandungnya melalui bagian tubuh yang paling lemah pada saat tertentu. 

Engram, yang berlaku sebagai entitas, akan mempertahankan dirinya dari hal-hal yang ia persepsikan sebagai hal yang merugikan, mengancam, dan terutama membahayakan keberlangsungan hidupnya. Setiap upaya yang dilakukan terapis untuk menetralisir atau menghilangkan engram ini akan mendapat perlawanan gigih darinya.

Engram dapat aktif dan bekerja di latar belakang dan secara sangat halus memengaruhi pikiran sadar, tindakan, atau sistem tubuh subjek dengan menggunakan emosi.

 

Proses Reaktivasi Engram

Engram adalah program pikiran yang dorman dan baru akan teraktivasi bila ada pemicu spesifik yang sama atau mirip dengan salah satu atau beberapa komponen penyusun engram. Pemicu ini, disebut aktivator, bisa berasal dari dalam (bentuk pikiran tertentu) atau dari luar/lingkungan, adalah segala sesuatu yang mengingatkan subjek, baik pada level pikiran sadar atau biasanya di level pikiran bawah sadar, mengenai kejadian di masa lalu yang ia alami yang mengakibatkan terciptanya engram.

Aktivasi engram mengikuti logika yang menyatakan “semua sama dengan semua” atau “apa saja sama dengan apa saja” : A = B = C = D. Logika engram menyatakan bahwa apel = mobil = rumah = buku. Artinya, apapun yang menjadi komponen engram dapat menjadi aktivator karena dianggap sama.

Saat engram teraktivasi, ia membuat seseorang berkata, bertindak, dan atau melakukan hal yang sama, atau sejalan dengan instruksi yang terkandung di dalam engram atau membuat keputusan yang sama dengan yang dituntut oleh engram.

Engram dapat teraktivasi kembali secara parsial atau penuh. Kekuatan engram selain bergantung pada kekerapan ia teraktivasi kembali juga ditentukan oleh derajat aktivasinya, parsial atau penuh, dan terutama intensitas emosi yang terkandung di dalamnya. Intensitas emosi engram adalah akumulasi energi emosi dari kejadian awal, yang mengakibatkan terciptanya engram, ditambah dengan emosi dari berbagai kejadian lanjutan yang sama atau serupa dengan kejadian awal. Umumnya, di level pikiran sadar, subjek tidak (dapat) mengingat kejadian awal.

 

Contoh Engram tipe 1

Engram tipe ini tidak membutuhkan aktivator dan langsung aktif bekerja memengaruhi subjek sejak ia tercipta. Contohnya adalah berbagai kalimat negatif yang diucapkan oleh orangtua atau lingkungan kepada anak. Misalnya “kamu tidak bisa”, “kamu bodoh”, “kamu jelek”, “kamu pelupa”, dan berbagai kalimat negatif lainnya.

Begitu engram tercipta, ia langsung aktif menjalankan instruksi yang terkandung dalam komponen verbalnya. Melalui proses pengulangan, pada kejadian lanjutan, engram ini semakin lama menjadi semakin kuat dan merealisasikannya menjadi realita dalam diri anak. Ini yang kita kenal dengan “your wish is my command”.

Contoh lain adalah saat pasien menjalani operasi dan harus dibius total. Umumnya orang berpikir pasien dalam kondisi tidak sadar sehingga tidak bisa mendengar atau merasakan apa yang terjadi.

Dari hasil riset diketahui bahwa walau telah dibius total,  pikiran bawah sadar pasien tetap sadar sepenuhnya, mampu mendengar dan mengetahui apa yang terjadi selama proses operasi.

Dengan demikian, apapun yang diucapkan oleh dokter bedah, dokter anestesi, perawat, atau siapa saja yang ada di dalam ruang operasi, khususnya kata-kata negatif atau kata yang dapat dimaknai sebagai negatif, akan mencipta engram.

Misalnya, saat melakukan operasi, tanpa sengaja dokter bedah berkata kepada koleganya, “Ini operasi paling sulit yang pernah saya lakukan sepanjang karir saya sebagai dokter bedah.”

Pernyataan ini dapat dimaknai oleh pikiran bawah sadar pasien bahwa kondisinya sangat parah sehinga ia sulit sembuh atau pulih sepenuhnya. Dan saat engram ini tercipta, demikianlah yang akan terjadi.

Bisa juga dokter bermaksud baik dengan berkata, “Selesai operasi, dia tidak akan pernah sama seperti dulu lagi.” Maksud dokter, si pasien akan berubah, sehat, dan pulih sepenuhnya dari sakit menahun yang telah dideritanya. Tapi pikiran bawah sadar pasien bisa mengartikan sebaliknya.

Kondisi yang sama juga dapat terjadi pada pasien koma. Tanpa disadari oleh orang disekitarnya, apapun yang mereka ucapkan tentang si pasien akan masuk ke pikiran bawah sadar si pasien dan mencipta engram.

Di buku The Miracle of MindBody Medicine saya menjelaskan penanganan kasus klien yang mengalami amnesia, berubah perilakunya, setelah mengalami koma selama sepuuh hari pascaoperasi.

 

Contoh Engram tipe 2

Di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH), pelatihan hipnoterapi 100 jam yang saya selenggarakan, di salah satu sesi live therapy, saya menerapi klien, sebut saja Budi, untuk masalah emosi yang mudah meledak dengan kecenderungan melakukan tindakan destruktif.

Budi mengatakan bahwa ia sangat mudah marah. Bahkan untuk hal-hal yang sepele ia bisa marah besar. Bila sudah marah, selain reaksi verbal, ia membanting barang-barang yang berada di dekatnya. Selanjutnya ia meninju kepalanya sendiri dengan keras. Bila masih belum puas, Budi membenturkan kepalanya ke tembok berulang kali sampai kemarahannya reda.

Saya melakukan regresi untuk mencari tahu apa yang terjadi di masa lalunya. Singkat cerita, dari hasil regresi diketahui bahwa semua ini bermula saat Budi berusia 6 tahun. Saat itu Budi bolos, tidak masuk sekolah. Mengetahui hal ini, ibu Budi marah besar. Selain mengamuk dan marah besar, ibunya juga memukul Budi. Masih merasa belum puas, si ibu membenturkan kepala Budi ke pintu berulang kali.

Mari kita telaah apa yang terjadi pada Budi menggunakan pemahaman kita mengenai engram:

  1. penembusan faktor kritis: saat Budi dimarahi ibunya tentu ia merasa takut. Perasaan takut ini mengakibatkan terjadinya penembusan critical factor.
  2. waktu: Budi dimarahi oleh ibunya di pagi hari, usia 6 tahun.
  3. tempat : di rumah, tepatnya di ruang keluarga.
  4. visual : Budi menyaksikan ekspresi wajah dan bahasa tubuh ibunya saat mengamuk.
  5. auditori : Budi mendengar suara ibunya, kata yang diucapkan, nada, tekanan suara. Bila ada suara dari lingkungan, saat kejadian ini, misalnya siaran radio yang memainkan lagu X, maka suara ini juga masuk ke dalam pikiran bawah sadarnya dan menjadi komponen engram. Budi juga berkata di dalam hati bahwa ibunya membenci dirinya dan sukanya marah-marah terus.
  6. sensasi fisik: tubuh Budi gemetar, pandangan mata menjadi gelap, jantung berdebar kencang, napas pendek dan cepat.
  7. bau : tidak ada bau spesifik yang terekam.
  8. rasa : tidak ada rasa spesifik yang terekam.
  9. individu yang terlibat: Ibu yang marah besar, memaki, memukul, dan membenturkan kepala Budi ke tembok. Ibu adalah introject dan sekaligus dapat menjadi identofact.
  10. perilaku : Budi merasa takut, tidak berdaya, tidak bisa dan tidak berani membela diri karena semakin ia membela diri, ibunya menjadi semakin marah.
  11. emosi : Budi merasa sedih, tidak dicintai, tidak dimengerti karena ibunya tidak bersedia mendengar alasan ia tidak masuk sekolah. Budi marah dan benci ibunya namun merasa tidak berdaya.
  12. rasa sakit fisik: Budi merasa sakit di wajah dan kepalanya karena dipukuli dan dibenturkan ke pintu oleh ibunya.

 

Dari hasil regresi diketahui bahwa Budi sering dimarahi, dipukul, dan kepalanya dibenturkan ke pintu atau tembok oleh ibunya. Regresi tidak langsung mengungkap kejadian awal terciptanya engram. Setelah melalui beberapa kali regresi, melewati rangkaian beberapa kejadian, regresi akhirnya berhenti di usia enam tahun. Dan inilah awal mula terciptanya engram yang memengaruhi kondisi emosinya hingga ia berperilaku destruktif.

Kejadian-kejadian lanjutan yang sama atau serupa dengan kejadian awal, di mana kejadian lanjutan ini mengandung muatan emosi yang serupa dengan kejadian pertama, walau dengan intensitas yang berbeda, memberikan efek penguatan (compounding) pada engram. Semakin lama engram ini berisi emosi yang semakin intens dan membuatnya menjadi semakin kuat.

Engram tersimpan di pikiran bawah sadar Budi, sifatnya dorman, dan sewaktu-waktu dapat aktif kembali bila terpicu oleh aktivator yang sama atau serupa dengan komponen yang ada di dalam Engram.

Aktivator engram ini, misalnya, Budi melihat wajah wanita yang mirip dengan ibunya, atau ia melihat wajah ibunya saat ini dengan ekspresi yang mirip atau sama dengan dulu waktu memarahinya, atau mendengar suara dengan nada tertentu seperti dulu nada ibunya memarahinya, atau Budi mendengar lagu X, atau tubuh Budi gemetar (oleh sebab tertentu), atau saat Budi ditegur bosnya dan ia merasa tidak berdaya karena tidak bisa membela diri, atau saat kepala Budi sakit karena terbentur sesuatu.

Jadi, ada begitu banyak kemungkinan aktivator. Namun yang pasti, saat teraktivasi, engram secara otomatis membuat pikiran sadar dan faktor kritis melemah, bergantung derajat aktivasinya. Bila engram teraktivasi parsial maka pikiran sadar dan faktor kritis menjadi lemah namun masih aktif. Saat engram teraktivasi penuh, pikiran sadar dan faktor kritis benar-benar tidak bekerja, subjek mengalami regresi spontan kembali ke peristiwa traumatik yang dulu ia alami, mengalami semuanya sama seperti dulu terutama dalam respon perilaku dan emosi yang ia rasakan. 

Dalam kasus Budi, saat engram teraktivasi, ada dua kemungkinan perilaku yang ditampilkan Budi (dewasa). Pertama, perilaku sebagai Budi kecil, usia 6 tahun, yang tidak berdaya, takut, dan respon fisik lainnya. Kedua, perilaku ibunya, yaitu berteriak, memukul, meninju, dan membenturkan kepala Budi ke tembok. Pada perilaku kedua, ibunya berperan sebagai identofact.

Jadi, sangat jelas, bahwa yang memukul, meninju, dan membenturkan kepala Budi ke tembok bukan Budi kecil tapi identofact ibunya. Yang terlihat dari luar adalah Budi (dewasa) marah, memukul dirinya sendiri, dan membenturkan kepalanya ke tembok.

Pilihan peran yang dimainkan oleh subjek, saat engram aktif, ditentukan oleh pikiran bawah sadar mengikuti mekanisme tertentu. Terapis dapat memodifikasi mekanisme ini sehingga pilihan pikiran bawah sadar, yang tadinya terjadi secara otomatis, dapat diarahkan untuk membuat pilihan yang menguntungkan klien. 

Dengan regresi saya berhasil menemukan dan memastikan bahwa kejadian di usia enam tahun ini benar adalah akar masalah (ISE). Selanjutnya saya melakukan restrukturisasi engram. Penting bagi terapis untuk memastikan bahwa yang diproses adalah ISE. Bila bukan ISE hasil terapi biasanya tidak akan maksimal dan besar kemungkinan klien akan kambuh.

Pertama, saya memproses komponen emosi. Ini langkah yang sangat penting karena kekuatan engram ditentukan oleh intensitas emosi. Semakin intens emosi, semakin kuat engram, dan semakin sulit untuk dilakukan modifikasi atau restrukturisasi.

Pemrosesan emosi tentu menggunakan teknik yang sesuai dengan situasi dan kondisi klien. Dalam kasus Budi, saya menggunakan tiga teknik pemrosesan emosi, dari total sembilan belas teknik yang kami kembangkan di Adi W. Gunawan Institute, sesuai dengan situasi dan kondisi Budi saat terapi berlangsung.

Setelah emosi berhasil dinetralisir selanjutnya saya memproses komponen engram lainnya terutama komponen “ibu”. Baru setelah itu, komponen lainnya yang dirasa perlu dimodifikasi.

Terapi berlangsung selama hampir dua jam dan hasilnya sungguh menggembirakan. Usai terapi Budi berkata bahwa ia merasa sangat lega. Beberapa hari kemudian kami menghubungi Budi dan menanyakan perkembangannya. Ia menyampaikan bahwa setelah terapi ia sempat bertengkar dengan salah seorang rekan kerjanya. Kali ini reaksinya berbeda. Ia marah namun marahnya adalah marah yang wajar. Ia tidak lagi merusak barang di sekitarnya, memukul diri sendiri, atau membenturkan kepalanya ke tembok.

 

Teknik Modifikasi Lain

Dalam NLP dikenal beberapa teknik terapi seperti Swish Pattern, Submodality Change, Reverse Trigger, Fast Phobia Cure (FPC), dan Collapsing Anchor. Teknik-teknik ini bertujuan menghilangkan atau mengalihkan faktor pemicu engram. Penjelasan detil mengenai teknik ini bisa dibaca di buku saya The Secret of Mindset.

Swish Pattern menggunakan proses visual dan bisa juga auditori. Gambar atau suara yang semula memicu satu kondisi emosi tertentu, aktivator yang mengaktifkan engram, dimanipulasi sedemikian rupa sehingga saat gambar atau suara ini muncul ia akan memicu gambar atau suara lain yang tidak ada hubungannya dengan engram. Dengan demikian engram tidak akan teraktivasi dan masalah selesai.

Demikian pula dengan Submodality Change. Teknik ini melakukan perubahan pada modalitas dengan tujuan membuat engram tidak dapat teraktivasi karena komponennya berubah. Aktivator yang tadinya dapat memicu engram menjadi aktif kini tidak lagi bisa bekerja karena komponen engram telah berubah, lebih tepatnya diubah.

Reverse Trigger bekerja dengan prinsip yang sama dengan Swish Pattern namun yang diproses bukan gambar melainkan emosi atau perasaan. Sedangkan FPC bertujuan “merusak” alur film kejadian sehingga tidak bisa lagi diakses dan engram tidak bisa teraktivasi. Terakhir, Collapsing Anchor, menetralisir emosi pada engram dengan membenturkannya dengan emosi positif yang jauh lebih kuat. Saat emosi dalam engram berhasil dinetralkan maka saat ia teraktivasi tidak akan mengakibatkan munculnya masalah.

Berdasar pengalaman klinis saya menggunakan teknik-teknik yang saya jelaskan di atas, ada satu temuan menarik. Bila intensitas emosi dalam engram sangat kuat maka umumnya teknik-teknik ini tidak bisa bekerja optimal seperti yang diharapkan. Bila ini terjadi, cara efektif untuk menetralisir engram ini adalah dengan melakukan regresi dan memroses engram di kejadian awal.

 

Engram Menular

Engram dapat menyebar, seperti virus, menulari orang lain. Pada kasus yang saya jelaskan di atas, engram dalam diri Budi, bila engramnya tidak dinonaktifkan melalui proses terapi, dapat menular ke anaknya. Misalnya, suatu saat Budi punya anak, Dani. Dani cukup aktif, nakal, suka membantah, sering tidak masuk sekolah, dan ini membuat Budi marah.

Perilaku Dani menjadi aktivator yang mengaktifkan engram dalam diri Budi. Saat engramnya aktif dan Budi memainkan peran sebagai ibunya, maka apa yang dulu ibunya lakukan padanya, saat ia berusia 6 tahun, akan ia lakukan pada anaknya, yaitu memarahi, memukul, dan membenturkan kepala si anak ke tembok.

Saat Dani mengalami hal ini, tercipta engram di dalam dirinya, yang sebenarnya adalah duplikasi dari engram yang ada di dalam diri Budi. Sampai suatu saat engram di dalam Dani teraktivasi dan membuat ia melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan papanya dulu, yaitu marah, membanting benda di sekitarnya, memukul diri sendiri, dan membenturkan kepalanya ke tembok. Demikianlah seterusnya.

Ini yang sering kita dengar dengan kalimat “Dia ini persis seperti bapaknya” atau “Dia ini persis seperti ibunya.”

Dengan dasar pemahaman ini sekarang Anda dapat mengerti apa yang sesungguhnya terjadi di lembaga pendidikan tertentu, yang beberapa kali ramai diberitakan, karena ada calon mahasiswanya meninggal akibat kekerasan fisik yang dilakukan senior kepada yunior saat menjalani masa orientasi.

Yang terjadi adalah engram, yang berisi program kekerasan, di dalam diri mahasiswa senior berasal dari seniornya lagi yang memperlakukan mereka dengan sangat keras atau kejam saat masa orientasi. Engram ini teraktivasi saat mereka menjadi panitia penyelenggara masa orientasi. Engram ini selanjutnya menular ke mahasiswa baru yang akan melakukan hal yang sama di tahun berikutnya kepada adik kelas mereka. Demikian seterusnya sampai dilakukan tindakan untuk memutus mata rantai penyebaran engram ini.

Baca Selengkapnya

Kontraindikasi Penggunaan Hipnosis/Hipnoterapi

9 Agustus 2013

Beberapa waktu lalu saya telah menulis artikel berjudul “Hipnosis/Hipnoterapi Bisa Berakibat Fatal”. Dalam artikel ini saya menjelaskan 11 (sebelas) hal yang dapat membuat hipnosis/hipnoterapi berakibat fatal bagi klien.

Dalam kesempatan ini saya ingin menjelaskannya dengan mengutip pandangan pakar-pakar ternama di bidang hipnoterapi. Kata “hipnosis” dalam artikel ini selain menjelaskan satu kondisi kesadaran tertentu juga merujuk pada aplikasi klinis yang dikenal dengan hipnoterapi.

Apakah hipnosis berbahaya?

Spiegel dan Spiegel (1978) menyatakan bahwa tidak ada bukti fenomena hipnosis berbahaya. Dalam pengalaman mereka menggunakan hipnosis terhadap ribuan pasien, tidak pernah menemukan ada pasien yang menjadi psikotik akibat penggunaan hipnosis.

Sedangkan menurut Rosen dan Bertemeier (1961) ada beberapa akibat negatif dari hipnoterapi yang disebabkan oleh aplikasi hipnoterapi oleh terapis yang tidak berpengalaman atau orang awam yang tidak punya kualifikasi dan kecakapan menggunakan hipnosis.

Kroger (1977) menyatakan bahwa hipnosis adalah yang paling aman dari semua psikoterapi.

Kleinhauz dan Beran (1981) percaya bahwa ada dua area aplikasi hipnosis yang berisiko: 1) saat peneliti mengunakan hipnosis untuk mencapai tujuan penelitian dan bukan untuk tujuan terapeutik; dan 2) saat praktisi hipnosis tidak mengenali potensi bahaya dalam bentuk terapi tertentu. Hampir semua praktisi hipnosis telah menetapkan goal sesuai dengan lingkup kompetensi mereka, dengan demikian potensi bahaya yang tidak perlu dapat dihilangkan. Namun bila seorang praktisi tidak menjalani atau kurang dalam pelatihan profesional dapat mengakibatkan ia tidak mengenali atau salah dalam mengartikan komunikasi yang disampaikan oleh klien baik secara verbal maupun nonverbal. Dengan kata lain, orang yang tidak terlatih tidak akan dapat memberi respon yang tepat terhadap sinyal kegelisahan klien.

Kleinhauz dan Beran memberian contoh kasus yang pernah mereka tangani akibat penggunaan hipnosis oleh orang yang tidak punya pengetahuan dalam psikodinamika. Dalam salah satu pertujukan hipnosis seorang anak perempuan berusia belasan tahun turut ambil bagian dalam pertujukan ini. Setelah pertujukan ia tetap dalam keadaan linglung. 

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa hanya ada dua kontraindikasi penggunaan hipnosis. Pertama, penggunaan hipnosis oleh operator yang tidak terlatih dengan baik, dan kedua, penggunaan hipnosis untuk tujuan yang tidak baik.

Hipnosis adalah satu kondisi kesadaran yang dapat dicapai dengan mudah dan ada banyak cara untuk melakukannya. Salah satunya adalah dengan induksi. Induksi adalah proses membimbing subjek atau klien berpindah dari kondisi kesadaran normal ke kondisi hipnosis.

Baca Selengkapnya

HIPNOSIS vs NLP atau HIPNOSIS + NLP ?

9 Agustus 2013

Akhir-akhir ini saya mendapat cukup banyak pertanyaan seputar NLP dan hipnosis melalui inbox FB. Intinya, para rekan ini ingin tahu pendapat saya mengenai keunggulan NLP dibandingkan hipnosis atau sebaliknya. Mereka juga minta saran sebaiknya belajar yang mana, NLP atau hipnosis? 

Beberapa tahun silam saya juga mendapat pertanyaan yang sama. Dan saya yakin, di masa mendatang, pasti saya pasti akan ditanya lagi pertanyaan yang sama. 

Jadi, mana yang lebih unggul? Hipnosis atau NLP? 

Untuk menjawab pertanyaan ini saya akan mengutip pernyataan Richard Bandler dalam bukunya yang berjudul Guide to TRANCE-formation: How to Harness The Power of Hypnosis to Ignite Effortless and Lasting Change. 

Bandler mengatakan bahwa ia telah mempraktikkan hipnosis selama bertahun-tahun. Dalam bukunya ia dengan terbuka mengatakan bahwa hipnosis sangat penting dalam pengembangan NLP karena hipnosis memungkinkan kita untuk mengeksplorasi kondisi kesadaran khusus (altered state). Ia juga menyatakan bahwa NLP dapat dipandang sebagai "struktur" penting dari hipnosis. 

NLP dikembangkan dengan memodel tiga pakar terkenal: Virginia Satir, Milton Erickson, dan Frederick Perls. Ketiga pakar ini sangat jago dalam hipnosis. Tidak ada yang meragukan Milton Erickson dalam hal hipnosis. Virginia Satir semula menolak mengakui bahwa apa yang ia lakukan sangat sarat dengan unsur hipnosis, walau akhirnya mengakuinya. Perls juga menggunakan hipnosis, khususnya halusinasi, saat ia meminta kliennya membayangkan melihat dan mendengar seseorang duduk di kursi di depannya. 

Masih menurut Bandler hipnosis adalah satu kondisi kesadaran khusus yang sangat berguna untuk meng-instal berbagai strategi ke pikiran bawah sadar. Kondisi hipnosis sangat baik digunakan untuk belajar hal-hal baru.  

Sebenarnya tidak tepat bila dikatakan Hipnosis vs NLP. Yang lebih tepat adalah Hipnosis + NLP atau NLP + Hipnosis. Apapun strategi atau teknik dalam NLP, dari pengalaman saya sejauh ini, bila dilakukan dalam kondisi hipnosis yang dalam, hasilnya sangat luar biasa. 

Saya belajar NLP, khususnya teknik terapinya, telah mempraktikkan teknik-teknik ini, melakukan beberapa modifikasi teknik sesuai kebutuhan saya, dan telah berhasil mencapai hasil yang sangat luar biasa bagi klien-klien saya. Semua teknik ini dilakukan dalam kondisi hipnosis yang dalam dan ini sangat sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Bandler. Anda bisa membaca tentang teknik-teknik NLP ini di buku The Secret of Mindset. 

Sebagai terapis kita tidak perlu membanding-bandingkan hipnosis dan NLP. Yang paling penting bagi kita adalah teknik apapun yang digunakan pastikan bermanfaat bagi klien. Apakah mau menggunakan teknik hipnosis, NLP, XYZ, atau apapun itu, yang penting klien sembuh. 

Yang penting adalah saat menggunakan hipnosis/hipnoterapi dan atau NLP kita benar-benar menguasai tekniknya sehingga dapat melakukannya dengan benar dan mencapai hasil maksimal. Yang disayangkan adalah bila seseorang belajar hipnosis/hipnoterapi dan atau NLP hanya setengah-setengah. Mau melakukan terapi dengan hipnosis/hipnoterapi tidak bisa. Dengan NLP juga tidak bisa. Kalaupun bisa, bisa dilakukan maksud saya, tapi hasilnya tidak efektif. Jadinya, serba salah. Dan yang kasihan adalah kliennya.

Saran saya, daripada berdebat mana yang lebih efektif, hipnosis atau NLP, lebih baik sebagai terapis kita bertanya pada diri sendiri dan dengan jujur menjawab pertanyaan, "Seberapa baik saya menguasai hipnosis atau NLP, seberapa cakap saya mampu mempraktikkan pengetahuan ini untuk membantu klien, dan seberapa efektif hasil terapi yang telah saya lakukan,selama ini, menggunakan teknik yang saya kuasai?"

Baca Selengkapnya

Proses Terapi yang Dapat Mengakibatkan Kematian Klien

1 Agustus 2013

Di tahun 2010 lalu saya sempat nonton Inception, film action thriller, karya sutradara terkenal Christopher Nolan. Ide penulisan dan alur film ini sungguh sangat cerdas dan brilian. Selain cukup membingungkan, film ini juga sangat menantang pemahaman penontonnya dan membuat penonton terpaku fokus mulai awal sampai akhir.  

Inception adalah penanaman ide di pikiran bawah sadar seseorang menggunakan teknik dream within dream (mimpi dalam mimpi). Film ini mengisahkan Domn Cobb (Leonardo DiCaprio) yang mampu mencuri ide seseorang dengan cara masuk ke pikiran bawah sadar orang itu ketika sedang bermimpi, melalui mimpi yang dijalani bersama (shared dream).

Dikisahkan dalam film ini, Cobb mendapat tugas untuk menanam ide ke pikiran bawah sadar Robert Fischer, Jr (Cillian Murphy) untuk menutup perusahaan yang ia warisi dari ayahnya. Dan bila ini berhasil dilakukan, Fischer akan menutup perusahaan ayahnya seolah-olah itu adalah idenya sendiri, bukan dari orang lain.

Untuk menjalankan misi ini, Cobb dan timnya yang terdiri dari Arthur (Joseph Gordon-Levitt), Eames (Tom Hardy), Yusuf (Dileep Rao), Ariadne (Ellen Page) masuk ke dalam mimpi (level 1), selanjutnya masuk lagi ke dalam mimpi (level 2), dan masuk lagi ke dalam mimpi (level 3). Cobb, dalam upaya mencari dan menyelamatkan Saito, masuk ke limbo, dunia pikiran bawah sadar tak berbatas.

Sebagai orang yang menggeluti dunia pikiran, khususnya pikiran bawah sadar, saya tentu sangat antusias memelajari dan melihat kesamaan proses penanaman ide dalam Inception dengan yang terjadi dalam hipnoterapi. Saya akhirnya sampai pada satu simpulan bahwa yang dilakukan Cobb dalam film ini dapat dengan mudah dilakukan oleh hipnoterapis klinis berpengalaman menggunakan teknik khusus di kedalaman hipnosis yang spesifik, tanpa harus menggunakan mimpi dalam mimpi.

Salah satu bagian film ini yang sangat menarik perhatian saya adalah mengenai istri Cobb, Mal (Marion Cotillard). Cobb tahu mengenai teknik penanaman ide ke pikiran bawah sadar karena ia telah mencobakannya pada istrinya. Ia membawa Mal masuk ke dalam lapisan-lapisan pikiran bawah sadar melalui teknik mimpi dalam mimpi. Di kedalaman pikiran bawah sadar ini mereka membangun dunia mereka, dunia ideal yang mereka inginkan. Mal akhirnya begitu terobsesi dengan dunia imajiner ini sehingga sulit membedakannya dengan realita dan lebih suka hidup dalam dunia imajiner ini. Apapun yang dilakukan Cobb untuk menyadarkan Mal tidak berhasil hingga akhirnya ia menemukan cara, yang menurutnya, dapat menyelesaikan masalah Mal secara permanen.

Cobb membawa istrinya masuk ke dalam mimpi, ke dunia imajiner yang mereka ciptakan bersama, dan menanamkan ide bahwa mengakhiri hidupnya (Mal) adalah ide yang baik. Ia berpikir bila Mal yang ada di pikiran bawah sadar mati maka saat Mal yang sesungguhnya keluar dari mimpi semuanya akan kembali normal.

Dalam mimpi, Cobb membimbing Mal meletakkan kepalanya di rel kereta api sambil memberi sugesti bahwa kereta api ini akan membawa Mal ke satu tempat yang indah namun tidak diketahui di mana. Mal, yang di pikiran bawah sadar, akhirnya meninggal karena terlindas kereta api.

Setelah mereka keluar dari mimpi dan kembali ke kondisi sadar normal ternyata ide tentang kematian sebagai jalan keluar masalah mulai bertumbuh dan mulai menguat di pikiran Mal. Semakin lama semakin menguat hingga akhirnya Mal benar-benar melakukan tindakan bunuh diri dengan melompat dari gedung tinggi.

Mal dalam pikiran bawah sadar yang meninggal karena terlindas kereta api adalah Bagian Diri atau Ego Personality (EP) dari Mal, istrinya Cobb. Sedangkan Mal yang ada di dalam pikiran bawah sadar Cobb dinamakan introject.

Dalam konteks hipnoterapi, apa yang terjadi pada Mal juga dapat terjadi pada klien, bila terapis tidak hati-hati menggunaan teknik yang akan saya jelaskan berikut ini. Salah satu teknik yang biasanya digunakan terapis untuk membantu klien meningkatkan kesadarannya, mendorong klien untuk berubah, adalah dengan membawa klien ke masa akhir hidup klien.

Saat klien sudah berada di masa depan, di saat akhir hidupnya, terapis minta klien untuk mengkaji ulang, melihat kembali kehidupan yang telah klien jalani sampai saat sekarang, saat klien akan meninggal. Setelah klien dengan saksama mengkaji ulang, terapis akan bertanya apakah klien merasa puas dengan apa yang telah ia jalani selama hidupnya?

Ada dua kemungkinan jawaban klien. Pertama, klien merasa puas. Kedua, klien merasa tidak puas atau menyesal karena tidak menjalani hidup seperti yang ia inginkan atau harapkan, dan jawaban ini yang memang diharapkan dari klien sebagai dasar untuk berubah.

Untuk jawaban pertama, terapis akan bertanya lagi, misalnya bila klien bisa mengulangi hidupnya, apakah ada hal-hal tertentu yang akan ia lakukan secara berbeda untuk bisa membuat hidupnya itu menjadi lebih baik atau lebih bermakna.

Untuk jawaban kedua, terapis akan bertanya pada klien bila misalnya ia bisa mengulangi hidupnya apa saja hal berbeda yang akan ia lakukan agar bisa menjalani hidup seperti yang ia inginkan sehingga ia tidak akan menyesal seperti saat ini, di akhir hidupnya.

Apapun jawaban klien, terapis akan mencatat dan menggunakannya sebagai sugesti pascahipnosis yang ditanamkan ke pikiran bawah sadar klien untuk membantu klien berubah. Sugesti pascahipnosis adalah sugesti yang diberikan saat klien dalam kondisi hipnosis dan akan dijalankan setelah ia keluar dari kondisi hipnosis.

Mengapa hal ini, membawa klien ke masa depan, ke masa akhir hidupnya, bisa dilakukan, dan dapat bersifat terapeutik?

Ini bisa dilakukan karena hukum pikiran menyatakan bahwa pikiran tidak mengenal masa lalu dan masa depan, yang ada hanya masa sekarang. Jadi, saat klien dibimbing ke masa depan, sebenarnya ia tidak berada di masa depan. Pikirannya mengalami masa depan ini sebagai masa sekarang. Jadi, ia benar-benar sudah berada di masa depan, sekarang.

Dalam konteks hipnoterapi, tentu saja, ini semua bisa terjadi karena pikiran sadar klien sudah benar-benar rileks, tidak (mampu) melakukan analisa karena klien telah dibimbing masuk ke kedalaman hipnosis yang sangat dalam. Dari riset yang telah dilakukan di laboratorium mimpi, menggunakan mesin EEG, diketahui bahwa pola gelombang otak saat fase tidur non-REM, khususnya pada tahap tiga dan empat, serupa dengan pola gelombang otak saat seseorang dalam kondisi hipnosis yang dalam.

Namun teknik ini tidak semudah dan sesederhana yang saya jelaskan di atas. Berikut ini saya uraikan hal yang benar-benar harus dipahami dan diingat oleh terapis bila akan melakukan teknik ini agar tidak berakibat buruk pada klien.

Dalam membimbing klien ke masa depan, ke akhir hidupnya, terapis bisa menggunakan salah satu dari dua cara berikut. Pertama, meminta klien maju sendiri ke masa akhir hidupnya. Bila ini yang dilakukan maka klien akan maju ke usia sesuai dengan yang diarahkan pikiran bawah sadarnya. Kedua, terapis mengarahkan klien dengan melakukan hitungan, misalnya dari satu ke tiga, satu ke lima, atau satu ke sepuluh.

Kedua cara di atas sangat berbahaya karena alasan berikut. Bila klien maju sendiri, tidak dibimbing atau diarahkan terapis, maka ia bisa saja maju satu bulan, dua bulan, satu tahun, dua tahun, lima tahun, atau entah berapa tahun ke masa depan. Bila klien maju dengan bimbingan terapis menggunakan hitungan, misalnya satu ke lima, maka cara ini sama dengan yang pertama, pikiran bawah sadar klien akan maju ke satu masa berdasar pemaknaannya terhadap hitungan terapis. Bisa saja hitungan satu ke lima ini dimaknai sebagai lima hari, lima minggu, lima bulan, atau lima tahun.

Lalu, apa bahayanya? Dalam kondisi hipnosis yang dalam, pikiran sadar, lebih tepatnya critical factor tidak bekerja, sehingga tidak bisa melakukan analisa. Dengan demikian apapun yang klien alami, dengar, lihat, dan atau rasakan dalam kondisi ini berlaku sebagai sugesti paschipnosis.

Jadi, bila misalnya klien diterapi di tahun 2013 dan ia maju lima tahun, maka tahun 2008 adalah akhir hidupnya seperti yang ia bayangkan dan rasakan di pikiran bawah sadarnya. Dikhawatirkan pikiran bawah sadarnya akan benar-benar menciptakan situasi, peristiwa, kejadian, atau apapun yang dibutuhkan untuk mewujudkan hal ini. Prosesnya sama persis dengan yang terjadi pada Mal, istri Cobb dalam film Inception.

Lalu, bila tetap ingin menggunakan teknik ini, apa yang harus dilakukan?

Pertama, terapis perlu bertanya pada klien, bisa dalam kondisi sadar normal atau deep trance, “Bila Tuhan mengijinkan, Anda ingin hidup sehat lahir batin, tenang, damai, bahagia, sejahtera, makmur, sampai usia berapa?”

Pilihan kata dalam pertanyaan di atas penting karena pertama, mati dan hidup manusia Tuhan yang menentukan, bukan dirinya. Kedua, bila misalnya Tuhan mengijinkan tentu klien berharap bisa hidup sampai usia tua dan dalam kondisi fisik, mental,emosi, dan spiritual yang baik, tidak menderita dan sakit-sakitan.

Dari pengalaman saya menggunakan teknik ini, jawaban dari klien biasanya pasti usia lanjut, sekitar 80 tahun. Tidak pernah saya mendapat jawaban klien ingin hidup hanya beberapa tahun lagi.

Berdasar jawaban ini terapis membimbing klien ke masa depan, ke saat akhir hidupnya. Hal penting lain yang perlu disugestikan yaitu saat klien berada di akhir masa hidupnya ia dikelilingi dan ditemani oleh orang-orang yang ia cintai dan mencintai dirinya.

Bagaimana bila klien menjawab ia ingin segera mengakhiri hidupnya atau tidak mau hidup lebih lama? Jawaban ini mengindikasikan ada masalah sangat serius pada diri klien dan perlu mendapat prioritas penanganan segera.

Saya belum pernah, dan berharap tidak akan pernah, mendengar atau membaca mengenai klien yang meninggal akibat kesalahan proses terapi seperti yang telah dijelaskan di atas.

Namun, secara teori, ini bisa terjadi. Satu kasus yang cukup menghebohkan pernah terjadi di Inggris, tahun 1993. Saat itu, Sharon Tabarn, 24 tahun, ibu dari dua anak, meninggal setelah dihipnosis di sebuah acara hipnosis panggung (stage hypnosis) di Leyland, Lancashire. Dalam kondisi terhipnosis disugestikan bahwa ia akan merasakan listrik 10.000 volt yang dialirkan melalui kursinya. Yang tidak diketahui oleh hipnotisnya, Alex Smith, yaitu Sharon fobia terhadap listrik.

Sharon meninggal lima jam kemudian setelah mengeluh merasa pusing. Hasil penelitian forensik menyatakan Sharon mengalami kematian mendadak namun sulit untuk tidak menghubungkan antara kematiannya dengan apa yang ia alami sebelumnya, yaitu ia disugesti merasakan aliran listrik 10.000 volt.  

Dalam laporan forensik itu juga disebutkan kasus lain yaitu lengan seorang pria lumpuh selama seminggu setelah sesi hipnosis. Pria lain mencoba bunuh diri dan satu subjek lainnya menjadi pemakan bawang impulsif setelah mendapat sugesti demikian.

Hasil penelitian selama lebih dari tiga puluh tahun dalam bidang neurofisiologi dan hipnosis yang dilakukan R. Jana, PhD., menemukan bahwa hampir semua aktivitas tubuh yang sifatnya otonom, termasuk juga fungsi endokrin, dapat dipengaruhi oleh kata-kata tertentu atau sugesti yang diberikan dalam kondisi hipnosis. Fungsi-fungsi ini antara lain meliputi pendarahan, imun sistem, detak jantung, tekanan darah, respon tubuh terhadap luka bakar, fungsi pernapasan, dan fungsi sistem saraf lainnya. 

Dengan demikian sugesti yang masuk ke pikiran bawah sadar klien, positif atau negatif, disengaja atau tidak, pasti akan memengaruhi sistem dan kerja tubuh klien. 

Hipnoterapi adalah satu alat bantu yang sangat luar biasa. Bila dipraktikkan dan digunakan dengan hati-hati, cermat, dan bijaksana, hipnoterapi dapat mengatasi sangat banyak masalah dengan cepat, efektif dan efisien, membawa kebaikan, kemajuan, dan perkembangan positif dalam hidup kita. Sebaliknya, hipnoterapis dapat berakibat sangat buruk bila digunakan tanpa sikap hati-hati, tidak cermat, dan tanpa landasan pemahaman yang benar.

Teknik yang saya jelaskan di atas selain banyak digunakan dalam konteks terapi, dalam setting one-on-one, juga banyak digunakan dalam pelatihan massal seperti retreat atau lokakarya tertentu. Tentu kita perlu cermat dan hati-hati saat menggunakannya agar bisa memberikan hasil terbaik bagi peserta pelatihan. 

Akhir kata, hipnoterapi dipelajari sebagai cabang ilmu psikologi dan dipraktikkan sebagai seni yang membutuhkan kesadaran, integritas, kejujuran, rasa welas asih, tanggung jawab, dan kreatifitas yang tinggi.

Baca Selengkapnya

Sembilan Puluh Detik Yang Menentukan Setelah Terapi

23 Juli 2013

Hipnoterapi dilakukan dengan membimbing klien masuk ke kondisi hipnosis (trance), dengan kedalaman tertentu sesuai kebutuhan dan teknik yang digunakan, melakukan terapi di kedalaman ini, dan setelah itu membimbing klien keluar.

Ada banyak teknik untuk membimbing klien masuk ke kondisi hipnosis. Terlepas dari teknik yang digunakan, saat masuk ke kondisi hipnosis, klien pasti mengalami relaksasi mental yang biasanya diikuti dengan relaksasi fisik. Yang menjadi indikator kondisi hipnosis adalah relaksasi mental, bukan fisik. Kecepatan relaksasi mental dan fisik idealnya berjalan beriringan. Namun dalam praktiknya bisa lebih cepat salah satunya.

Setelah selesai melakukan terapi, terapis membimbing klien keluar dari kondisi relaksasi dengan, biasanya, menghitung perlahan mulai dari satu naik ke sepuluh, atau bisa juga dari sepuluh turun ke satu. Intinya, dengan setiap hitungan klien disugestikan semakin keluar dari kondisi relaksasi dan saat hitungan terakhir klien sudah benar-benar keluar, sadar sepenuhnya, dan kembali ke kondisi sadar normal seperti sebelum relaksasi dilakukan.

Secara teori ini yang akan terjadi. Namun, proses kembali ke kondisi sadar normal, dari kondisi relaksasi mental atau fisik yang (sangat) dalam, tidak sesederhana yang dipikirkan.

Saat klien buka mata, mengikuti hitungan terapis, dan secara resmi terapi diakhiri, ini tidak berarti ia telah benar-benar keluar dari kondisi trance. Dan di sinilah terapis dan atau klien sering secara tidak sadar menganulir semua hasil terapi yang telah dicapai.

Saat klien buka mata sebenarnya ia belum sepenuhnya keluar dari kondisi trance. Semakin dalam klien masuk ke kondisi trance maka dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk membawanya keluar. Hanya dengan mengandalkan atau menggunakan sepuluh hitungan dan ditambah sugesti, seperti yang biasa dilakukan, tidak menjamin klien bisa sepenuhnya keluar dari trance.

Saat klien buka mata pertama kali hingga sekitar sembilan puluh detik kemudian sebenarnya ia masih dalam kondisi hypersuggestible, satu kondisi yang sangat sugestif. Dengan demikian apapun yang klien dengar, lihat, ucap, atau rasakan berlaku sebagai sugesti yang langsung masuk ke pikiran bawah sadarnya. Dan seringkali, karena ketidaktahuan terapis dan klien, mereka menganulir hasil terapi.

Salah satu hal yang paling sering menganulir hasil terapi yang secara tidak sadar dilakukan klien adalah mereka tidak yakin atau ragu telah berhasil dihipnosis atau masuk ke kondisi hipnosis. Biasanya saat buka mata klien ini akan berkata, “Lho, saya kok masih sadar ya? Berarti saya belum masuk kondisi hipnosis.”

Komentar lain yang biasa menandakan keraguan klien, “Saya ingat semua yang saya ucapkan. Tadi itu yang menjawab pikiran sadar saya ya? Soalnya saya masih sadar dan saya yang menjawab semua pertanyaan, bukan pikiran bawah sadar saya.”

Begitu klien mengatakan hal ini atau bahkan hanya mengucapkan di dalam hati keraguannya maka ia telah memberi sugesti kepada dirinya sendiri untuk menganulir semua hasil terapi yang telah dicapai.

Saya ingat di salah satu sesi live therapy yang saya lakukan di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH 100 jam). Usai live therapy saya biasanya berdiskusi dengan klien dan selalu memberi komentar positif karena bertujuan memberi tambahan sugesti. Saat itu ada beberapa peserta pelatihan yang berkomentar dan kesannya kurang mendukung, walau mereka sebenarnya tidak bermaksud demikian. Komentar mereka antara lain, “Anda tidak merasa pusing setelah menjalani sesi terapi ini?”, “Saya lihat wajah Anda agak pucat. Apakah Anda baik-baik saja?”, “Saya harap Anda benar-benar sembuh dan tidak kambuh lagi.”

Mendengar komentar ini, walau sebenarnya tujuannya baik, saya melarang mereka mengeluarkan komentar yang tidak mendukung. Beberapa saat kemudian, setelah memastikan dan yakin klien sudah sepenuhnya keluar dari kondisi trance, setelah klien meninggalkan ruang pelatihan, barulah saya menjelaskan mengapa saya melarang mereka berkomentar yaitu karena saat itu klien masih dalam kondisi hypersuggestible.

Sembilan puluh detik ini adalah waktu rata-rata. Dari pengalaman saya selama ini ada klien yang butuh waktu jauh lebih lama, bisa sampai sekitar tiga atau empat menit, untuk sepenuhnya keluar dari kondisi trance. Ada lagi yang pikirannya sudah kembali ke kesadaran normal namun tubuhnya masih tertinggal di bawah sana atau masih sangat rileks.

Terapis harus memastikan bahwa saat meninggalkan ruang terapi atau klinik klien telah kembali ke kondisi sadar normal, seperti sebelum ia menjalani sesi terapi. Akan sangat riskan bila klien pulang dan mengendarai sepeda motor atau mobil dalam kondisi yang masih agak trance.

Apakah ada cara agar klien bisa dengan cepat dan pasti keluar dari kondisi trance yang dalam?

Tentu ada. Teknik ini dinamakan instant emerging technique dan saya pelajari dari Tom Silver. Bila ada instant induction, yang bisa membawa klien masuk ke kondisi deep trance dengan sangat cepat, maka kebalikannya adalah instant emerging, yang mampu membawa klien keluar juga dengan sangat cepat. Biasanya hanya butuh waktu sekitar tiga atau empat detik saja.

Alasan saya mengajarkan teknik ini di kelas SECH adalah agar klien tidak bisa, baik secara sadar atau tidak sadar, menganulir hasil terapi karena dengan cepat melewati fase hypersuggestible dan kembali ke kesadaran normal. Ibarat mobil, kita, terapis berperan sebagai montir yang melakukan tune up atau overhaul mesin mobil. Setelah selesai ditangani tentu kita tidak ingin mesin diotak-atik oleh konsumen yang tidak mengerti mesin. Caranya adalah dengan menutup kap mesin dan menguncinya. 

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List