The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


When The Cup Is Full, It is Full

21 Juli 2010

Saya menulis artikel ini sebagai jawaban atas permintaan dan pertanyaan calon peserta pelatihan, Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy. Calon peserta ini, sebut saja Pak Budi, mengaku telah belajar ke banyak lembaga hipnoterapi, membaca banyak buku, serta juga aktif sebagai hipnoterapis.

Saat saya tanyakan apa yang ia ingin pelajari dari saya, jawabnya, “Saya mau belajar hanya materi advanced QHI.”

“Maksud, Bapak?” tanya saya.

“Begini Pak Adi, saya kan sudah pernah mengikuti pelatihan di lembaga X, lembaga Y, dengan trainer ini, trainer itu (Pak Budi menyebut beberapa nama lembaga dan trainer hipnosis dan hipnoterapi). Jadi saya sudah tahu banyak mengenai hipnosis dan hipnoterapi. Saya hanya mau belajar teknik advanced QHI. Kan, seperti yang Bapak jelaskan, teknik advanced QHI baru diajarkan di minggu kedua. Jadi saya ikut yang minggu kedua dan ketiga saja” jawabnya lancar dan tegas.

“Pak, kalau mau belajar di QHI maka Bapak perlu mengikuti materi mulai dari hari pertama, penjelasan teori selama 3 hari, baru setelah itu ke materi advanced di minggu kedua dan ketiga” jawab saya.

“Maaf  Pak, bukannya saya meremehkan materi QHI. Seperti yang telah saya jelaskan tadi, saya kan sudah ikut banyak pelatihan. Saya juga sudah banyak baca buku hipnosis dan hipnoterapi. Selain itu saya juga seorang hipnoterapis aktif. Jadi, yang saya butuhkan hanya materi advanced, bukan yang basic” jawabnya lagi.

Pembaca, setelah berdiskusi beberapa saat saya tahu bahwa saya tidak bisa mengajarkan materi QHI kepada Pak Budi. His cup is full. Gelasnya sudah penuh. Lha, kalau sudah penuh bagaimana mungkin saya bisa mengisinya?

Materi QHI didesain sedemikian rupa sehingga alumnus nantinya mampu melakukan hipnoterapi dengan benar, efektif, efisien, dan dengan hasil terapi yang permanen. Inti materi QHI adalah Quantum Hypnotherapeutic Procedure (QHP). Namun untuk bisa benar-benar mampu melakukan QHP seperti yang saya lakukan, untuk bisa mencapai hasil terapi seperti yang saya capai di ruang praktik saya, maka dibutuhkan pemahaman mendalam mengenai cara kerja pikiran, dinamika dan proses terapi, pemahaman cara kerja teknik secara mendalam, dan masih banyak hal lain lagi.

Saya mengajarkan teori yang melandasi QHP di tiga hari pertama. Bila ada peserta yang tidak hadir satu hari saja, dari tiga hari pertama ini, maka saya akan meminta peserta ini mundur. Mengapa? Kalau tidak mengerti dasar teorinya lalu bagaimana mau belajar yang lebih advanced?

Setelah tiga hari pertama, di sesi selanjutnya, peserta masih terus mendapatkan tambahan dasar teori dan berbagai update pengetahuan terkini.

Setiap tahap pelatihan diikuti dengan tugas praktik yang disusun secara sangat sistematis dan hati-hati agar peserta pasti mampu melakukannya dengan berhasil. Sesederhana apapun praktik yang diminta untuk dilakukan, peserta pelatihan harus melakukannya. Ini bertujuan sebagai batu fondasi pemahaman untuk teknik yang lebih advanced. Bila tahap ini tidak dilakukan dengan benar maka saya jamin peserta pasti akan mengalami kesulitan saat belajar teknik advanced.

Penasaran dengan “luasnya” pengetahuan Pak Budi yang tetap bersikeras hanya mau ikut materi advanced saya akhirnya mengajukan pertanyaan, “Sebagai sesama hipnoterapis aktif, kalau berkenan, boleh tahu dalam satu minggu Bapak menerapi berapa orang klien?”

“Ya, kalau sempat saya terima satu hari satu klien” jawabnya.

“Rata-rata dalam satu minggu berapa klien, Pak?” tanya saya lagi.

“Ya, kadang dua, kadang tiga. Nggak mesti lah. Kalau Pak Adi, dalam satu hari terima berapa klien?” Pak Budi balik bertanya.

“Rata-rata saya terima dua klien. Bahkan pernah tiga orang dalam sehari” jawab saya.

“Pak, kalau boleh share, apakah Bapak pernah menerapi klien yang moditas utamanya visual, dan saat Bapak minta klien membayangkan sesuatu, gambarnya nggak bisa keluar?”  tanya saya lagi.

“Pernah. Beberapa kali saya mengalaminya” jawab Pak Budi.

“Dari pengalaman Bapak apa yang menyebabkan hal ini terjadi?”

“Oh, ini karena klien kurang deep.”

“Apa yang Bapak lakukan agar gambar atau imajinasi klien bisa muncul?”

“Saya lakukan deepening lagi.”

“Hasilnya?”

“Nggak tahu kenapa tapi tetap nggak bisa muncul gambarnya. Padahal saya yakin klien sebenarnya sudah sangat deep. Kayaknya klien nggak siap diterapi. Ada resistensi. Orangnya visual tapi gambarnya nggak bisa muncul.”

Dari jawaban Pak Budi saya tahu bahwa sebenarnya ada pemahaman yang kurang pas mengenai hubungan antara level kedalaman trance dan kemampuan memunculkan gambar mental atau imajinasi.

“Karena gambarnya tetap nggak bisa muncul, dan klien sudah sangat deep, apa yang Bapak lakukan?” kejar saya.

“Saya kasih sugesti saja. Dan saya terminate. Lha, bagaimana mau terapi, gambarnya nggak bisa muncul” jawabnya.

Pembaca, hal-hal yang tampak sangat sepele ini sebenarnya adalah hal yang sangat penting dalam proses terapi. Bagaimana mungkin Pak Budi bisa melakukan teknik advanced dalam QHP secara benar bila dasar teorinya saja dia kurang atau tidak menguasai.

“Kalau menurut Pak Adi, apa yang menyebabkan orang visual tidak bisa membayangkan sesuatu dalam kondisi trance?” tanya Pak Budi.

Saya hanya tertawa saja mendengar pertanyaan ini dan menjawab, “Nah, Pak, inilah yang saya ajarkan di tiga hari pertama QHI. Filosofi terapi yang saya kembangkan tentunya tidak sama dengan rekan-rekan trainer lain. Untuk bisa memahami apa yang saya lakukan Bapak perlu memahami dasar teori dan alur berpikir saya saat menciptakan QHP. Dengan pemahaman ini barulah Bapak bisa melakukan hipnoterapi versi QHI secara benar. Itulah sebabnya saya tetap meminta Bapak mengikuti kelas QHI secara penuh. Saya mengajarkan dasar teori mengapa gambar mental orang visual nggak bisa muncul dan bagaimana cara mengatasi hal ini. Juga bagaimana membuat orang yang auditori dan kinestetik bisa dengan mudah melakukan visualisasi. Kalau Bapak mencopot sedikit dari trainer ini, sedikit dari trainer satunya, tanpa dilandasi satu alur terapi utama maka Bapak pasti akan bingung.”

Walaupun telah mendapat penjelasan panjang lebar dari saya, Pak Budi tetap hanya ingin ikut kelas advanced QHI. Ya, sudah, saya nggak bisa apa-apa. Tentu saja saya tidak bisa mengabulkan permintaannya. His cup is full. When the cup is full, it is full.

Baca Selengkapnya

Tentang Teknik Terapi

21 Juli 2010

Beberapa waktu lalu di milis Money Magnet ada pembahasan menarik mengenai teknik terapi berbasis sugesti dan kinesiologi. Dalam pembahasan itu saya menjelaskan mengenai asal mula teknik tersebut, siapa yang menciptakannya pertama kali di Amerika dan bagaimana saya berkenalan dan akhirnya mempelajari serta mempraktikkan teknik itu. Saya juga menjelaskan, setelah mempraktikkannya beberapa kali, saya memutuskan untuk tidak mengajarkan teknik ini di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy yang saya selenggarakan.  

Ternyata ada member milis yang bertanya kepada saya melalui japri alasan yang lebih mendalam mengapa saya memutuskan untuk tidak mengajarkan teknik itu. Ia juga dengan kritis bertanya, “Pak, apa kriteria yang Bapak gunakan dalam menentukan teknik terapi yang mana yang diajarkan di kelas QHI?”

Wah, ini pertanyaan kritis sekali. Selama ini memang belum pernah ada yang bertanya kepada saya mengenai hal ini. Sudah tentu saya memberikan penjelasan yang gamblang. Oh ya, alasan saya tidak mengajarkan teknik yang saya bahas di milis karena ternyata tidak efektif. Nah, berikut ini jawaban saya kepada member milis itu.

Saya memang belajar banyak teknik terapi. Semua ini saya lakukan karena saya ingin bisa membantu klien dengan cepat, tepat, efektif, efisien, dan permanen. Pencarian berbagai teknik terapi efektif, khususnya dalam konteks hipnoterapi, membuat saya akhirnya harus membeli sangat banyak literatur, jurnal psikologi, jurnal hipnoterapi, DVD, CD audio, dan bahkan membayar untuk menjadi anggota dari situs terapis atau pakar terkenal dunia. Belum lagi waktu yang dihabiskan untuk menjelajahi dunia maya.

Jujur, ada cukup banyak teknik yang setelah saya pelajari, saya praktikkan dengan sungguh-sungguh, ternyata tidak seefektif seperti yang dijanjikan. Sudah tentu teknik ini tidak bisa saya gunakan dan ajarkan. Ada teknik yang sudah rumit tapi sama sekali nggak efektif. Ada juga teknik yang sangat efektif namun cukup rumit.

Nah, apa sih kriteria yang saya gunakan?

Ada lima syarat yang saya gunakan untuk menentukan apakah suatu teknik terapi bisa saya gunakan untuk menerapi klien dan saya ajarkan di kelas QHI.

Pertama, teknik terapi harus punya dasar teori yang kuat dan ilmiah. Bila teknik ini tidak bisa dijelaskan secara gamblang cara kerjanya maka saya pasti tidak akan mau menggunakannya. Penjelasan yang ilmiah mutlak dibutuhan untuk bisa memuaskan pikiran sadar atau otak kiri kita. Lha, bagaimana kita meyakini efektivitas suatu teknik jika kita tidak tahu cara kerjanya.

Saya punya pengalaman pribadi mengenai hal ini. Beberapa waktu lalu saya membeli satu DVD yang dibuat oleh seorang pakar di Amerika. Saya mempelajari dengan saksama uraian dan cara ia mempraktikkan teknik terapi itu. Merasa telah mengerti dengan baik, saya mencobakannya ke klien saya dengan penuh percaya diri.
Hasilnya?  Tidak seperti yang ia tunjukkan di DVD. Lho, kok?

Saya pikir pasti ada yang kelupaan sehingga hasilnya tidak seperti yang di DVD. Saya tonton ulang dengan lebih saksama, saya catat secara detil langkah-langkahnya, dan saya praktikkan lagi. Hasilnya? Tetap tidak maksimal.
Apa yang terjadi? Ternyata di DVD pakar ini tidak menjelaskan secara detil dasar teorinya. Jadi, saya hanya meniru apa yang ia lakukan tanpa sungguh-sungguh mengerti apa pengetahuan yang mendasari cara kerja teknik ini.
Baru setelah saya ke Amerika, bertemu dan belajar langsung kepada pakar ini, setelah mendengar secara detil, lengkap, dan dibimbing melakukan teknik ini, saya mampu melakukannya dengan benar dan mencapai hasil seperti yang ia tunjukkan di DVD.

Satu kelemahan saya selama ini adalah untuk bisa mempraktikkan suatu teknik maka saya harus tahu benar siapa yang menciptakan teknik ini, apa dasar teorinya, termasuk sejarah teknik ini. Untuk itu saya pasti akan mencari buku sumber, buku yang pertama kali menceritakan teknik ini. Bahkan demi memuaskan rasa ingin tahu saya terhadap teknik induksi tertentu saya sampai mencari dan akhirnya membeli buku yang ditulis di tahun 1895.

Hal ini saya anggap sangat penting karena bila saya tidak yakin 100% terhadap teknik ini maka saat mengajarkannya, suka atau tidak, ketidakyakinan saya akan tertangkap baik melalui semantik yang saya gunakan, bahasa tubuh, dan terutama sinyal dari pikiran bawah sadar saya yang sudah pasti diterima oleh pikiran bawah sadar peserta pelatihan. Jika ini terjadi maka teknik ini pasti tidak akan efektif karena diterapkan dengan perasaan tidak yakin.

Syarat kedua yaitu teknik itu harus sederhana, tidak rumit. Jika suatu teknik ternyata cukup rumit maka saya tidak akan mau menggunakannya. Teknik yang baik , dalam pandangan saya, haruslah sederhana dan mudah dipraktikkan oleh siapa saja karena protokol yang digunakan tidak terlalu panjang dan membingungkan.

Syarat ketiga yaitu teknik itu harus punya rekam jejak (track record) yang baik. Dengan kata lain telah terbukti berhasil mengatasi masalah. Saya biasanya melakukan riset literatur dan menggunakan search engine untuk menelusuri tulisan atau pendapat para pakar mengenai teknik itu. Jika yang saya dapatkan adalah komentar positif lengkap dengan testimoninya maka saya akan menggunakan teknik ini, mempraktikkannya ke klien, dan melihat hasil yang dicapai.

Syarat keempat adalah mudah diduplikasi dan diaplikasikan di mana saja dan kapan saja. Mudah diaplikasikan berarti tidak perlu kondisi atau syarat yang sangat khusus untuk mempraktikkannya. Semakin mudah diaplikasikan maka semakin bagus.

Duplikasi berarti teknik ini bisa dilakukan oleh siapa saja dengan cara yang mudah dan dengan hasil maksimal seperti bila dipraktikkan oleh trainernya. Jika saya mengajarkan suatu teknik namun mayoritas alumni tidak menggunakannya berarti teknik ini tidak dapat diduplikasikan dengan baik. Dalam hal ini saya tidak boleh memaksakan diri untuk terus mengajarkan teknik ini. Saya perlu terbuka menerima masukan dan saran. Lha, kalau ternyata tekniknya ribet, nggak efektif, dan tidak banyak alumni yang mau menggunakannya lalu buat apa saya paksakan untuk diajarkan?

Dari mana saya tahu teknik yang sering digunakan oleh alumni? Ya, dari sharing atau laporan yang mereka sampaikan. Di QHI, lebih tepatnya di milis QHI, kami sering berbagi pengalaman dan pengetahuan. Dari apa yang ditulis saya bisa dengan pasti mengetahui teknik apa yang digunakan oleh alumni dalam menangani kasus tertentu.

Syarat kelimat yaitu tekniknya bersifat terbuka. Artinya masih bisa dikembangkan lebih jauh atau digabungkan dengan teknik lain. Ada teknik yang menurut penemunya harus dilakukan persis seperti yang diajarkan. Bila tidak maka tidak akan efektif. Teknik ini saya sebut dengan teknik yang bersifat tertutup. Saya kurang sreg dengan teknik jenis ini. Yang saya sukai adalah teknik yang bisa kita kembangkan lebih lanjut dengan pemahaman dan pengalaman ataupun informasi terkini. Dengan demikian fine tuning yang dilakukan pada teknik ini akan semakin meningkatkan hasil dan daya gunanya.

Baca Selengkapnya

Rahasia Meningkatkan Daya dan Hasil Guna Hipnoterapi

21 Juli 2010

Seorang calon klien menghubungi saya melalui email dan meminta jadwal bertemu untuk terapi. Seperti biasa sebelum saya memberikan jadwal bertemu saya mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengenal klien lebih dekat dan mengetahui apa yang menjadi masalahnya.

Satu hal menarik yang saya dapatkan dari korespondensi kami yaitu klien ternyata meminta saya menggunakan teknik tertentu untuk mengatasi masalahnya. Rupanya klien ini pernah belajar hipnosis/hipnoterapi dan pernah diterapi oleh seorang rekan hipnoterapis.

Saya dengan tegas menolak permintaan klien ini walaupun klien bersikeras bahwa ia yakin bila ia diterapi dengan teknik yang ia sebutkan, yang ia tahu saya kuasai dengan sangat baik, masalahnya pasti bisa teratasi.
Di kesempatan lain ada klien yang meminta saya memberikan garansi bahwa selesai terapi si klien pasti sembuh. Wah… ini juga saya tolak dengan tegas. Terapi adalah kontrak upaya bukan kontrak hasil.

Benar, hipnoterapi adalah salah satu teknik terapi yang sangat powerful, namun bukan pil ajaib yang sekali ditelan pasti bisa langsung mengatasi semua masalah. Benar, hipnoterapi sangat efektif, namun tetap ada dua komponen sangat penting yang menentukan hasil terapi.

Komponen pertama adalah diri klien. Apa saja yang perlu ada dalam diri klien agar bisa mendapatkan manfaat maksimal dari sesi hipnoterapinya?

Hal paling penting adalah klien harus bersedia menjalani terapi secara sadar dan atas kemauannya sendiri. Seringkali klien datang ke terapis bukan atas kemauannya sendiri namun lebih karena kemauan, saran, dorongan, atau bahkan paksaan dari pasangan, orangtua, atau rekannya. Intinya, yang mau klien sembuh itu bukan diri klien sendiri tapi orang di sekitarnya. Jika begini kondisinya maka dijamin klien tidak akan bisa sembuh.

Untuk bisa bersedia secara sadar menjalani sesi terapi maka klien perlu: a) menyadari bahwa ia punya masalah, b) mengakui bahwa ia punya masalah, c) menerima bahwa ia punya masalah, dan d) bersedia mencari solusi untuk masalahnya.
Bila klien telah sampai pada tahap bersedia mencari solusi untuk masalahnya maka ia dikatakan telah siap untuk berubah (ready for change). Dalam dunia terapi ada satu paradoks yang berbunyi, “You are not ready for change until you are ready for change”, atau “Anda tidak siap berubah sampai anda siap untuk berubah.”

Lalu, apa yang membuat seseorang siap untuk berubah? Apa yang membuat seseorang akhirnya memutuskan untuk berubah?

Untuk mencapai kondisi ready for change biasanya orang akan melewati salah satu dari tiga kondisi ini. Pertama, klien telah benar-benar menderita, baik secara fisik, mental, maupun emosi sebagai akibat dari masalahnya. Penderitaan ini sedemikian intensnya sehingga membuat klien tidak tahan dan termotivasi untuk segera mengakhiri penderitaan ini. 

Kedua, kondisi ready for change dicapai saat klien merasa bosan dengan keadaannya. Istilah teknisnya psychic boredom. Klien benar-benar telah bosan dan ingin berubah. Kondisi ini biasa diungkapkan dalam kalimat, “I’ve been sick and tired of being sick and tired”.

Ketiga, kondisi ready for change dicapai saat klien menyadari bahwa ada kesempatan atau peluang untuk berubah, ada orang atau cara yang bisa membantu dirinya berubah. Kesadaran ini bisa muncul karena klien mendapat pencerahan yang berasal dari buku, seminar, rekan, televisi, atau dari sumber lainnya. Intinya adalah klien tiba-tiba sadar bahwa perubahan itu mungkin dan bisa dilakukan.

Saat klien telah siap untuk berubah maka langkah selanjutnya adalah klien perlu secara jelas menetapkan apa yang ingin ia atasi. Jika klien tidak jelas aspek apa yang ingin diselesaikan melalui sesi hipnoterapi maka terapi tidak bisa dilakukan. Kalaupun tetap dilakukan biasanya respon dari pikiran bawah sadar tidak maksimal dan terapi tidak akan efektif.

Katakanlah klien telah siap berubah, datang ke terapis atas kemauan dan kesadarannya sendiri, jelas aspek mana yang mau dibereskan, lalu apa lagi yang perlu dilakukan klien?

Saat bertemu terapis maka klien perlu percaya pada terapisnya. Klien tidak boleh punya persepsi yang salah tentang proses hipnosis dan hipnoterapi, apalagi merasa takut. Persepsi yang kurang tepat yang mengakibatkan timbulnya rasa takut biasanya dialami klien yang telah “belajar” tentang hipnosis/hipnoterapi melalui pertunjukkan di televisi atau dari media masa.

Salah satu persepsi yang salah yaitu bila seseorang dalam kondisi hipnosis maka ia tidak akan sadar akan keadaan sekelilingnya, seperti yang ia saksikan di televisi, dan operator (terapis) bisa memberikan perintah sesuka hati si terapis.
Persepsi yang juga kurang tepat adalah saat klien berharap hanya dalam satu sesi hipnoterapi semua masalah mereka selesai. Memang ada kasus yang bisa langsung diselesaikan dalam satu sesi namun idealnya klien perlu menyiapkan diri untuk menjalani antara 1 sampai 4 sesi terapi. Ini adalah jumlah sesi yang umum. Namun ada juga kasus yang membutuhkan lebih dari 4 sesi terapi.

Saat menjalani sesi terapi, kerjasama klien sangat penting. Terapi adalah proses yang melibatkan dua pihak, klien dan terapis. Terapis hanya membantu memfasilitasi proses. Klienlah yang sebenarnya melakukan terapi terhadap dirinya sendiri.
Bentuk kerjasama dari pihak klien yaitu klien bersedia menjalankan saran, masukan, atau instruksi yang disampaikan terapis. Bila klien tidak bersedia maka terapis tidak akan bisa melakukan terapi. Jadi, kendali sepenuhnya ada pada diri klien, bukan pada terapisnya.

Nah, setelah saya menjelaskan mengenai faktor klien, sekarang akan saya jelaskan faktor pada terapis yang sangat menentukan proses dan hasil terapi.

Syarat utama seorang hipnoterapis adalah ia harus memiliki compassion (welas asih), passion (hasrat tulus untuk membantu), love (cinta), dan integritas. Setelah syarat ini terpenuhi barulah kita bicara aspek teknis.

Seorang hipnoterapis harus, saya ulangi, harus menjalani pendidikan dan pelatihan yang mengacu pada standar yang tinggi. Pendidikan menjadi hipnoterapis adalah hal yang serius dan tidak bisa dilakukan asal-asalan. Jika untuk menjadi seorang dokter, psikiater, konselor, atau psikolog dibutuhkan pendidikan dengan standar yang tinggi maka standar yang sama juga berlaku untuk menjadi hipnoterapis.

Pemahaman saya mengenai hipnoterapi, dan ini tentunya bisa berbeda dengan pemahaman orang lain, mensyaratkan pendidikan dan pelatihan hipnoterapi harus minimal 100 jam tatap muka di kelas agar benar-benar mampu memahami dasar teori pikiran, dasar teori dari berbagai teknik intervensi, dan aplikasinya dalam konteks klinis. Ini di luar waktu yang dibutuhkan untuk membaca berbagai literatur dan menonton berbagai DVD atau video yang menjelaskan tentang hipnoterapi.
Pelatihan yang baik, menurut hemat saya, adalah pelatihan yang tidak hanya sekedar mengajarkan teknik terapi namun lebih menitikberatkan pengembangan kemampuan analisa dan kemampuan berpikir.

Kemampuan analisa dan berpikir ini sangat dibutuhkan karena setiap terapi adalah proses yang unik. Teknik yang sama belum tentu bisa digunakan untuk kasus yang sama karena dinamika yang berbeda. Kemampuan analisa dan berpikir hanya bisa dimiliki seorang hipnoterapis bila ia mempelajari dan memahami konsep dasar yang menjadi pedoman atau acuan perspektif guru atau trainer hipnoterapinya dalam melakukan terapi. Tanpa pemahaman ini akan sangat sulit, bila tidak mau dikatakan mustahil, bagi siapa saja yang belajar hipnoterapi untuk bisa menciptakan hasil terapi yang dramatis seperti yang bisa dilakukan oleh gurunya.

Pernyataan di atas sebenarnya adalah ungkapan maestro hipnoterapi Charles Tebbetts saat ia berkomentar mengenai guru hipnoterapinya, “..…it seems clear that only by learning the fundamental concepts that guides him,and adopting his underlying perspective, can we hope to create semiliar dramatic interventions with a majority of our clients.”

Secara umum syarat untuk menjadi seorang hipnoterapis andal adalah sebagai berikut:
• Konsep diri yang baik
• Kepercayaan diri yang tinggi
• Kemampuan komunikasi verbal dan nonverbal yang baik
• Kreativitas yang tinggi dalam berkomunikasi dan mampu menyesuaikan diri dengan level lawan bicara.
• Memahami cara kerja pikiran
• Memahami dasar teori serta mampu menerapkan berbagai teknik terapi sesuai kebutuhan
• Mengerti dan menguasai prosedur hipnoterapi
• Memegang teguh kode etik profesi

Banyak hipnoterapis pemula punya persepsi yang salah tentang proses hipnoterapi. Mereka berpikir bahwa terapi dilakukan saat klien bertemu terapis di ruang praktik. Ini pandangan yang salah dan sangat memengaruhi efektivitas terapi.
Terapi sebenarnya telah dimulai saat calon klien mulai mengetahui tentang terapis. Klien mengenal terapis bisa melalui buku atau artikel yang ditulis terapis ini, bisa melalui seminar atau workshop, internet/web, brosur, iklan, kartu nama, atau referensi dari rekannya.

Kesan pertama yang muncul di benak klien terhadap si terapis akan sangat menentukan proses dan hasil terapi. Untuk itu, bagi anda, hipnoterapis, sebaiknya anda benar-benar menjaga citra dan postur anda di depan klien. Hindari kesan klenik atau magic. Tampilkan kesan intelek dan ilmiah baik melalui tulisan, ucapan, kartu nama, maupun tampilan situs pribadi anda.

Kembali ke contoh kasus yang saya jelaskan di awal artikel ini. Alasan saya menolak permintaan klien untuk menerapi dirinya menggunakan teknik terapi yang ia minta adalah karena alasan postur dan yang lebih penting lagi klien tidak tahu apa-apa tentang hipnoterapi. 

Secara psikologis bila (calon) klien bisa “mendikte” terapis maka bawah sadar si terapis kalah pengaruh dan tidak punya postur. Ini yang membuat terapinya tidak efektif.

Dan benar, setelah saya menolak permintaan calon klien di atas dan tentunya dengan menjelaskan alasan di balik penolakan itu saya mendapat jawaban, “……memang benar apa kata Pak Adi. Jika Pak Adi melakukan apa yang saya minta justru akan menghambat proses terapi. Saya pernah diterapi dengan menggunakan teknik X oleh seorang terapis dan ia melakukan teknik ini sesuai permintaan saya. Hasilnya dari proses terapi ini tidak menghasilkan apa-apa dan kurang efektif.”

Faktor lain yang juga sangat penting diperhatikan adalah kedalaman rileksasi pikiran (trance) yang dicapai klien saat terapi dilakukan. Jika terapi dilakukan dalam kondisi light atau medium trance maka efeknya tidak bisa bertahan lama. Namun bila terapi dilakukan dalam kondisi deep trance atau profound somnambulism maka efeknya akan permanen.

Terapi yang telah berhasil dilakukan dengan sangat baik bukan jaminan bahwa masalah klien tidak bisa relapse atau kambuh. Dari pengalaman saya menangani klien ada beberapa faktor yang membuat seorang klien kambuh.

Pertama, terapi belum menyentuh ISE (Initial Sensitizing Event). Kedua, hasil terapi tidak dikunci pada posisi akhir sehingga efek permanency tidak berlaku. Ketiga, pikiran sadar klien menganulir hasil terapi, baik karena pemikirannya sendiri maupun mendapat pengaruh dari orang lain yang dipandang memiliki otoritas yang tinggi di mata klien.

Masa kritis yang sering luput dari perhatian terapis adalah justru saat terminasi terapi. Pada saat ini umumnya klien dibawa keluar dari kondisi deep trance dengan perlahan.  Prinsip yang selama ini dikenal di dunia hipnoterapi, dan ini juga yang dulunya saya yakini, namun sekarang sudah saya tinggalkan, kecepatan keluar dari trance sebanding dengan kedalaman trance yang dicapai klien. Jika trancenya sangat dalam maka klien membutuhkan waktu yang lama untuk dibawa keluar.
Pengalaman dan hasil pembelajaran saya mengajarkan satu hal yang sangat berharga yang akhirnya saya integrasikan ke dalam Quantum Hypnotheraputic Procedure yang saya ajarkan di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy 100 jam. Terminasi trance harus dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dengan kata lain klien harus bisa dibawa keluar dalam sekejap. Jika ada instant induction maka juga bisa dilakukan instant emerging.

Mengapa klien perlu dibawa keluar dengan cepat?

Jika dibawa keluar secara perlahan, saat klien sudah membuka mata, ia sebenarnya masih dalam kondisi hypersuggestible, suatu kondisi yang sangat sugestif dan kritis. Nah, jika klien meragukan atau berpikir negatif mengenai proses terapi maka dalam kondisi yang sangat sugestif ini pikiran sadarnya akan menganulir hasil terapi yang telah dicapai. Bila ia dibawa keluar dengan sangat cepat maka saat itu ia telah berada di kondisi gelombang otak dominan Beta. Dengan demikian tidak mudah baginya untuk mengotak-atik hasil terapi yang telah dilakukan.

Bila tidak tahu cara melakukannya dengan benar maka terminasi trance yang dilakukan dengan sangat cepat sangat beresiko. Klien bisa pusing dan mual. Jadi, pastikan anda tidak melakukan hal ini jika tidak benar-benar mengerti tekniknya.

Pembaca, setelah membaca sejauh ini saya yakin anda pasti sampai pada satu kesimpulan seperti yang dinyatakan oleh seorang pembaca buku saya, “…….apa yang diungkap Pak Adi mengenai proses terapi sangat berbeda dengan apa yang saya ketahui, baca, dan pelajari selama ini. Sekarang saya mengerti bahwa proses terapi tidak semudah seperti yang saya bayangkan sebelumnya.”

Baca Selengkapnya

Mengapa Freud Meninggalkan Hipnosis?

21 Juli 2010

Sigmund Freud (1856-1939) dulu pernah sangat berminat dan dengan sungguh-sungguh mempelajari hipnosis. Freud bahkan sampai menerjemahkan buku yang ditulis oleh Charcot dan Bernheim ke dalam bahasa Jerman. Minat Freud yang sangat tinggi mendorong ia untuk ke Paris mengunjungi Nancy School dan bertemu dengan Bernheim dan Liebault. Freud juga membawa seorang pasiennya untuk dihipnosis oleh Bernheim.

Freud dan kawannya Breuer menulis buku Studien Uber Hysterie di tahun 1895. Mereka menyatakan bahwa:

simtom histeria pada individu hilang seketika dan tidak bisa muncul lagi jika kami berhasil secara menyeluruh membangkitkan kembali memori-memori beserta emosi yang menjadi penyebab histeria, dan jika pasien mendiskusikannya secara detil dan memberikan ekspresi verbal terhadap perasaan atau emosinya. 

Freud dan Breuer menyimpulkan bahwa simtom muncul sebagai akibat dari represi memori yang berhubungan pengalaman yang sangat traumatik. Hal ini mengakibatkan terjadinya blocking energi. Freud menggunakan hipnosis dan sugesti untuk melakukan release terhadap blok energi dan berhasil menyembuhkan kliennya.

Freud, di tahap awal karirnya, menggunakan sugesti dan hipnosis sebagai teknik terapi utamanya sampai ia bertemu dengan satu pasiennya yang bernama Lucy R. yang tidak bisa masuk ke kondisi trance. Meskipun Freud menggunakan segala cara ia tetap tidak bisa menghipnosis pasiennya ini. Selanjutnya Freud mengembangkan teknik alternatif, free association, untuk menghasilkan therapeutic catharsis seperti yang biasa ia lakukan pada pasiennya dengan bantuan kondisi hipnosis (trance).

Dalam perjalanan waktu Freud akhirnya menolak menggunakan dan meninggalkan hipnosis dan mengembangkan psikoanalisa. Penolakan Freud sebenarnya lebih disebabkan oleh ketidakmampuannya melakukan induksi yang mampu membawa mayoritas pasiennya masuk ke kondisi trance. Freud berpendapat, karena sangat banyak pasiennya yang tidak bisa masuk trance, berarti hipnosis tidak efektif.

Ketidakmampuan Freud lebih disebabkan karena teknik induksi hipnosis yang ia gunakan sangat primitif yaitu hanya menggunakan sugesti langsung atau direct suggestion. Meskipun Freud meninggalkan hipnosis namun banyak konsep hipnosis yang ia gunakan untuk mengembangkan psikoanalisanya. Dalam perkembangan lebih lanjut para psikoanalis kembali menggabungkan penggunaan hipnosis ke dalam psikonalisa untuk memfasilitasi proses analitik.

Baca Selengkapnya

Ultimate Depth

21 Juli 2010

“There is no coincidence” begitu kata Master Oogway dalam film Kungfu Panda. Sejak masih di Berkeley, saat belajar ke Anna Wise minggu lalu, sesi private workshop yang kedua, hingga saat kepulangan saya ke Indonesia, saya mendapat beberapa pertanyaan khususnya dari rekan-rekan praktisi, pemerhati, dan pecinta teknologi pikiran yang dikirim ke saya melalui baik sms maupun email. Pertanyaan yang mereka ajukan kepada saya ternyata sama yaitu mereka menanyakan mengenai kedalaman trance yang dikenal dengan Ultra Depth.

Pertanyaan yang mereka ajukan antara lain, “Apakah level Ultra Depth itu?”, “Siapa yang menemukan level ini?”, “Bagaimana cara mempelajarinya?”, “Apa bukti ilmiah yang membuktikan bahwa level Ultra Depth adalah level paling dalam yang bisa dicapai manusia?”, “Bisakah tekniknya dilakukan secara masal?”, “Bisakah masuk ke Ultra Depth seorang diri?”

Saya tidak tahu apa yang menjadi pemicu sehingga tiba-tiba ada beberapa orang yang sangat tertarik untuk lebih memahami level kedalaman trance, yang konon, adalah level terdalam yang bisa dicapai manusia, berdasar riset yang dilakukan Walter Sichort. Saat ini James Ramey, salah satu murid Sichort, dipercaya untuk meneruskan penelitian, pengembangan, dan mengajarkan Ultra Depth Process, yaitu teknik spesifik untuk bisa mencapai level kedalaman Ultra Depth atau yang sekarang lebih dikenal dengan level Sichort.

Apa sih sebenarnya Ultra Depth itu? Bagaimana cara untuk bisa masuk ke kedalaman ini? Apa manfaatnya? Apakah ini sama dengan kondisi hipnosis?

Pertanyaan ini juga yang dulu berkecamuk di benak saya saat pertama kali membaca mengenai level Sichort. Sebagai seseorang yang sangat passionate dengan dunia pikiran dan segala sesuatu yang berhubungan dengan fenomena pikiran sudah tentu saya tidak akan membiarkan informasi ini lewat begitu saja.

Akhirnya saya menghubungi James Ramey di Amerika dan dimulailah perjalanan mendalami dan mempelajari teknik yang dikenal dengan Ultra Depth Process.

Butuh waktu yang tidak sedikit untuk benar-benar mengerti dan menguasai prosedurnya. Untungnya saya adalah seorang praktisi dan juga pengajar hipnoterapi. Saya sangat terbantu karena telah mempunyai dasar pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman mengenai prosedur teknis untuk membimbing klien masuk ke kondisi very deep trance atau profound somnambulism.

Untuk memahami level Sichort, kita perlu memahami level kedalaman trance. Ada banyak skala kedalaman trance yang digunakan dalam dunia hipnoterapi. Skala itu diciptakan oleh pakar yang berbeda.

Skala trance ini terdiri atas dua komponen yaitu depth (kedalaman) dan objective symptoms. Depth umumnya terdiri atas 5 hingga 8 level; insusceptible, hypnoidal, light trance, medium trance, artificial somnambulism, deep or somnambulistic trance, coma or plenary state, dan hypnosleep. Sedangkan objective symptoms yang merupakan sublevel dari depth bisa mencapai antara 30 hingga 50. Ini adalah fenomena fisik dan pikiran yang bisa muncul atau dimunculkan pada depth tertentu.

Umumnya kita mengenal Davis-Husband Scale, Le Cron-Bordeuaux Scale, Heron Depth Scale, Arons Master Depth Rule, Hartman Depth Scale, dan Kappas Scale.

Agar tidak bingung maka saya akan menjelaskan kedalaman trance menggunakan pendekatan yang sedikit berbeda. Untuk mudahnya begini. Kita tentukan dulu dua level yang menjadi batas atas dan bawah. Batas atas adalah kondisi saat kita sadar, kondisi saat kita berpikir dan fokus. Kita sadar sesadar-sadarnya apa yang kita rasakan, lakukan, alami, atau pikirkan. Batas ini dikenal dengan nama normal waking consciousness atau kesadaran bangun normal. Sedangkan yang menjadi batas bawah adalah kondisi saat kita “tidak sadar” atau saat kita tidur.

Di antara batas atas dan bawah terdapat begitu banyak level kesadaran “khusus” yang dikenal sebagai “altered state of consciousness” (ASC). ASC terdapat tidak hanya di antara dua batas ini tapi juga terdapat di bawah batas bawah dan juga di atas batas atas.

Salah satu skala kedalaman trance yang cukup populer dalam dunia hipnoterapi adalah skala Elman. Elman membagi kedalaman trance menjadi: light trance, medium trance, somnambulism, Esdaile, dan hypnosleep. Masih menurut Elman, 2 level pertama yaitu light dan medium trance adalah level yang sama sekali tidak bermanfaat untuk terapi. Terapi hanya bisa dilakukan efektif pada level somnambulism. Sedangkan level Esdaile dan hypnosleep mempunyai manfaat terapeutik yang agak berbeda.

Skala lain yang awalnya diajarkan pada tahun 1940an dan masih banyak digunakan hingga saat ini adalah skala Harry Arons. Untuk lebih mudah memahami setiap level relaksasi pikiran atau mental maka saya akan menjelaskan fenomena  yang menjadi ciri setiap level.

Harry Arons membagi level relaksasi mental menjadi 6 level. Persis di bawah batas atas, normal waking consciousness terdapat kondisi relaksasi yang dikenal dengan nama hypnoidal.

Ini adalah kondisi relaksasi yang paling mudah dicapai. Kondisinya mirip dengan orang yang sedang melamun. Salah satu ciri kondisi hypnoidal adalah eye catalepsy atau mata yang tidak bisa dibuka walaupun kita ingin membukanya.

Di bawah hypnoidal terdapat level light trance yang bercirikan kondisi sugestibilitas meningkat karena kelompok otot yang mengalami catalepsy menjadi meluas ke bagian tubuh yang lain.

Di bawah lagi ada level medium trance dengan ciri atau karakteristik berupa catalepsy pada kelompok otot besar yang mengakibatkan seseorang tidak bisa bergerak, tidak bisa bangkit dari kursi, atau tidak bisa jalan. Pada level ini seseorang juga bisa mengalami aphasia atau kesulitan berbicara karena mendapat sugesti demikian.

Di bawah medium trance terdapat level threshold of somnambulism yang merupakan level kedalaman minimal untuk melakukan hipnoterapi yang efektif. Kedalaman ini minimal harus dicapai agar teknik advanced seperti hypnoanalysis, age regression, ego state therapy, dan forgiveness therapy, atau bahkan death bed therapy dapat dilakukan secara efektif dan mudah. Ciri utama pada level ini adalah terjadinya amnesia (klien menjadi lupa sesuatu) dan analgesia (berkurangnya intensitas rasa sakit).

Di bawah lagi terdapat level full somnambulim. Pada level ini klien menjadi sangat sugestif dan bila diberikan suatu sugesti maka pengaruh sugesti akan bertahan (sangat) lama.

Kedalaman full somnambulim mutlak dibutuhkan untuk melakukan anestesi (untuk operasi dan melahirkan) atau untuk age regression. Level ini tidak cocok untuk teknik direct suggestion yang bertujuan melakukan perubahan perilaku seperti menghentikan kebiasaan merokok, atau menggigit jari. Satu ciri utama pada level ini adalah possitivie hallucination.

Level paling dalam pada skala Harry Arons adalah profound somnambulism. Level ini mencakup semua hal positif dari level full somnambulim dan ditambah dengan kemampuan negative hallucination.

Tepat di bawah profound somnambulism terdapat level Esdaile atau yang juga dikenal dengan hypnotic coma. Satu hal yang perlu dipahami yaitu kondisi hypnotic coma ini tidak sama dengan kondisi medical coma. 

Kondisi Esdaile ini adalah kondisi di mana seseorang merasa begitu senang dan bahagia. Ini adalah kondisi euphoria. Orang yang masuk ke dalam kondisi ini biasanya tidak mau keluar dari kondisi ini karena begitu “enak” dan “nikmat”nya kondisi ini, semua masalahnya hilang, semua sempurna adanya. Jika seorang klien atau subjek masuk ke kondisi ini maka dibutuhkan keahlian khusus untuk bisa membawa klien keluar. Jika tidak, maka klien akan terus berada di level ini.
 
Level Esdaile tidak cocok untuk terapi karena pada kondisi ini pikiran kita tidak bisa menerima sugesti apapun. Level ini digunakan untuk total anestesia, untuk painless childbirthing atau melahirkan tanpa rasa sakit, stress management, dan bisa digunakan oleh dokter untuk membantu mengembalikan posisi tulang atau otot pasiennya, dengan cara mengurut bagian yang dislokasi, saat pasien berada di kondisi Esdaile.

Dari level profound somnambulism subjek/klien dapat dibawa turun ke level Esdaile dengan cepat dan mudah, hanya membutuhkan waktu sekitar 4 menit saja.

Di bawah level Esdaile terdapat level catatonic. Ini adalah kondisi di mana tubuh subjek atau klien menjadi plastis tapi kaku/terkunci, tanpa pemberian sugesti, dan bisa diposisikan pada posisi/postur tertentu dalam waktu yang lama dan postur itu sama sekali tidak akan berubah. Level ini tidak digunakan dalam terapi. Di bawah level catatonic inilah terletak level Sichort.

Lalu bagaimana caranya untuk bisa masuk ke level Sichort?

Oh, mudah. Saya akan mengulang level kedalaman trance agar anda bisa mendapat gambaran yang utuh. Langkah awal adalah kita membawa subjek dari kondisi hypnoidal (light trance), medium trance, full somnambulism, hingga ke kedalaman profound somnambulism. Ini hanya langkah awal, lho.

Dan untuk setiap level kedalaman trance di atas kita perlu melakukan tes. Tes ini harus dilakukan agar kita benar-benar yakin dan pasti posisi kedalaman yang dicapai subjek pada suatu saat. Bila subjek tidak lolos tes, pada kedalaman tertentu, berarti ia belum berhasil mencapai level yang kita inginkan. Maka kita perlu melakukan deepening lagi untuk memperdalam trance sehingga dicapai level yang diinginkan.

Saat subjek berhasil mencapai kedalaman tertentu maka akan diberikan sugesti tertentu, sebagai anchor, untuk bisa membawa subjek langsung masuk kembali ke dan keluar dari kedalaman tersebut. Demikian seterusnya.

Setelah berhasil mencapai profound somnambulism, subjek dibimbing masuk ke level Esdaile. Seorang operator yang cakap akan mampu melakukan hal ini hanya dalam waktu maksimal 4 menit. Operator akan memberikan tes untuk memastikan subjek telah benar-benar berada di level Esdaile. Total ada 6 tes yang diberikan. Dan subjek harus lolos semua tes ini. 

Satu level di bawah adalah level catatonic. Ini adalah level non-suggested state. Fenomena yang timbul pada level ini terjadi dengan sendirinya tanpa perlu sugesti apapun. Pada level ini juga dilakukan tes kedalaman.

Baru setelah ini semua berhasil dicapai, subjek akhirnya bisa masuk ke kondisi Sichort melalui relaksasi masa bayi.

Jadi, kunci untuk masuk ke level Sichort sebenarnya adalah kecakapan untuk driving depth atau deepening. Semakin cakap kita maka semakin mudahlah membimbing subjek masuk ke level Sichort.

Saat mengajar Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy di program magister (S2) pikologi di Universitas Surabaya baru-baru ini saya membimbing dua orang mahasiswa saya hingga mencapai level catatonic. Saya juga mengukur aktivitas gelombang otak mereka. Dan dari sini saya mendapatkan beberapa temuan menarik yang menvalidasi beberapa pemikiran saya mengenai metode deepening yang lebih cepat dan efektif untuk membawa subjek turun ke kedalaman trance yang kita inginkan.

Saya sengaja tidak membawa mereka ke level Sichort karena materi yang saya bahas adalah hipnoterapi, bukan level Sichort. Selain itu saya juga tidak ingin mahasiswa saya bingung atau malah terlalu berambisi untuk masuk ke kondisi Sichort, yang untuk saat ini sebenarnya tidak mereka butuhkan.

Hasil pengukuran dengan DBSA menunjukkan bahwa pada level catatonic, gelombang beta, alfa, theta, dan delta, semuanya aktivitasnya sangat minim. Hal ini tampak pada amplitudo yang sangat rendah dan stabil, tidak terjadi flare atau lonjakan amplitudo pada segmen frekuensi tertentu, seperti yang biasa terjadi pada level kedalaman trance yang di atasnya.

Apa saja yang bisa dilakukan pada level Sichort?

Kita bisa melakukan, antara lain, Mind-to-Mind Healing, Computer Console Technique, Skywalker Technique, Cellular Reeducation Technique, Hallway of Doors Technique, dan Warehouse Technique.

Ada yang bertanya, “Apakah level Sichort ini juga termasuk dalam kondisi hipnosis?”

Beberapa pakar mengatakan bahwa level Sichort bukan level hipnosis karena kondisi hipnosis hanya sampai di kedalaman profound somnabulism. Bahkan masih menurut pakar yang lain, pada level Esdaile pikiran bawah sadar tidak menerima sugesti dalam bentuk apapun.

Ada pro dan kontra mengenai pernyataan di atas. Saya pribadi lebih suka mengacu pada pernyataan yang dikeluarkan oleh U.S. Dept. of Education, Human Services Division, yang menyatakan, “Hypnosis is the bypass of the critical factor of the conscious mind and followed by the establishment of acceptable selective thinking” atau “hipnosis adalah penembusan faktor kritis dari pikiran sadar dan diikuti dengan diterimanya sugesti atau pemikiran tertentu (oleh pikiran bawah sadar)”.

Dari apa yang saya pelajari, khususnya dengan update pengetahuan dari Anna Wise, saya menyimpulkan bahwa kondisi Sichort bukan kondisi hipnosis. Kondisi hipnosis bermain di level pikiran bawah sadar sedangkan Sichort bermain pada level pikiran nirsadar.

Salah satu indikasi bahwa level Sichort bermain di level nirsadar adalah karena pada level ini proses healing pada aspek fisik terjadi 6 hingga 10 kali lebih cepat dari keadaan normal. Sedangkan pada Computer Console Technique bisa dilakukan healing pada berbagai sistem tubuh yang bersifat otonom. Dan dari riset diketahui bahwa bagian pikiran yang mengendalikan fungsi tubuh yang otonom adalah pikiran nirsadar, bukan pikiran bawah sadar.

Ada yang bertanya kepada saya mengapa saya tidak mengajarkan Ultra Depth Process di pelatihan Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy yang saya selenggarakan?

Alasan utama adalah saya tidak melihat banyak manfaat yang bisa dicapai orang awam, apalagi hipnoterapis pemula, untuk menggunakan kondisi Sichort. Dalam hipnoterapi, level kedalaman optimal untuk melakukan terapi yang efektif adalah profound somnambulism. Dan ini telah dibuktikan dengan efektivitas hasil terapi yang dilakukan alumni pelatihan QHI. Mereka sama sekali tidak perlu membawa klien masuk ke kondisi Sichort untuk melakukan terapi secara efektif. Cukup hanya di level profound somnambulism saja.

Nah, untuk membawa subjek atau klien ke kedalaman profound somnambulism bukanlah hal yang mudah. Apalagi bila teknik induksi yang digunakan tidak tepat. Jika level ini saja tidak bisa dicapai maka tidak mungkin bisa mencapai level berikutnya.

Cukup riskan bila hipnoterapis pemula langsung belajar untuk membimbing klien masuk ke level Sichort. Sangat besar kemungkinan mereka akan gagal. Jika di tahap awal pembelajaran mereka telah sering mengalami kegagalan maka ini akan berakibat negatif terhadap rasa percaya diri mereka.

Selain itu, dari sekian banyak literatur yang saya pelajari, tidak ada satupun yang menyatakan perlunya melakukan hipnoterapi hingga ke kedalaman di bawah profound somnambulism, apalagi pada level Sichort. Nama-nama besar seperti McGill, Erickson, Tebbetts, Boyne, Spiegel, Elman, Kein, Churchill, Haley, Rossi, Hilgard, dan Watkins tidak pernah menyarankan baik secara eksplisit atau implisit mengenai perlunya kedalaman di bawah profound somnambulism untuk melakukan hipnoterapi. Saya juga telah berusaha mencari informasi di jurnal hiposis/hipnoterapi internasional mengenai pemanfaatan kondisi Sichort untuk (hipno)terapi. Namun hingga saat ini belum atau tidak mendapatkan informasi mengenai hal ini.

Saat saya mempelajari Ultra Depth jujur saya tidak punya bukti ilmiah, melalui pengukuran dengan instrumen tertentu, yang mendukung bahwa ini adalah level paling dalam yang bisa dicapai seseorang. Saya percaya apa yang dikatakan oleh Sichort melalui cross check dengan literatur lain yang membahas kedalaman trance. Dan memang benar, Ultra Depth jauh lebih dalam dari level trance yang biasa digunakan untuk terapi.

Namun sekarang saya bisa mengukur dengan menggunakan Mind Mirror dan ESR. Dari sini akan tampak seberapa dalam relaksasi pikiran/mental dan fisik yang berhasil dicapai seseorang saat ia berada di level Sichort. 
 
Apakah teknik ini bisa dilakukan secara masal? Tidak bisa dan tidak mungkin. Mengapa tidak mungkin? Karena untuk masuk ke level Sichort perlu dilakukan tes atau uji kedalaman pada setiap level trance. Uji ini sangat penting untuk memastikan subjek benar-benar turun ke kedalaman yang diinginkan secara bertahap. Jika jumlah orangnya banyak maka tidak mungkin uji kedalaman bisa dilakukan pada masing-masing individu.

Apakah kita bisa masuk ke level Ultra Depth seorang diri? Oh, tentu bisa. Kita bisa dengan cara mengaktifkan trigger tertentu yang dipasang oleh operator yang sebelumnya membantu kita masuk ke kondisi Sichort. Jadi, untuk tahap awal kita tetap membutuhkan bantuan operator.

Pembaca, jika anda cukup jeli, judul artikel saya di atas adalah Ultimate Depth Process, bukan Ultra Depth Process. Mengapa saya menggunakan judul Ultimate Depth Process?

Saya memang mempelajari Ultra Depth Process. Dan sekarang dengan berbagai update pengetahuan yang saya dapatkan dari Anna Wise dan Tom Silver, dan seperti yang saya katakan di atas bahwa inti dari Ultra Depth adalah bagaimana kita melakukan deepening, maka saat ini saya telah mengembangkan teknik saya sendiri untuk mencapai kedalaman seperti Ultra Depth.

Saya mengatakan “seperti” Ultra Depth karena saya berpatokan pada aktivitas dan pola gelombang otak, baik pada aspek frekuensi dan amplitudo, yang diukur dengan menggunakan Mind Mirror, maupun relaksasi fisik, yang diukur dengan menggunakan ESR, pada saat seseorang masuk ke kedalaman ini. Hasil pengukuran ini sangat akurat karena tidak sekedar mengandalkan uji kedalaman konvensional seperti yang dilakukan selama ini.

Dari Anna Wise saya belajar satu hal yang luar biasa yaitu dengan menggunakan semantik tertentu kita dapat membawa seseorang masuk dengan sangat cepat ke kedalaman yang belum pernah ia capai sebelumnya.

Lalu apa yang membedakan Ultimate Depth Process dan Ultra Depth Process?

Perbedaannya ada pada proses membawa subjek turun. Jika Ultra Depth Process banyak menggunakan progresive relaxation yang telah dimodifikasi dan deepening yang berulang plus pengujian kedalaman trance, maka Ultra Depth Process lebih bermain pada semantik dan protokol yang secara bertahap namun cepat mampu mereduksi segmen gelombang otak tertentu dan membuka jalur pikiran bawah sadar dan nirsadar. Ultimate Depth Process dikembangkan berdasar pada hasil pengukuran relaksasi pikiran dan fisik dengan menggunakan Mind Mirror dan ESR.

Level kedalaman yang jauh di bawah profound somnambulism, baik itu level Esdaile, Catatonic, Hypnosleep, maupun Ultra Depth, adalah wilayah yang asyik untuk dijelajahi. Namun ini lebih untuk tujuan eksperimen.

Baca Selengkapnya

Therapy Shopping

21 Juli 2010

Seorang rekan sejawat, sesama hipnoterapis, baru-baru ini mengirimi saya email dan menceritakan salah satu kasus yang ia tangani. Kasusnya cukup menarik dan saya terus terang merasa iri karena bukan saya yang menanganinya. Saya iri lebih karena melihat bahwa kasus ini benar-benar asyik dan bisa digunakan untuk menambah jam terbang dan mengasah kemampuan. Bukan karena alasan lain.

Klien dari rekan saya ini, seorang wanita, telah sekian tahun sulit tidur dan mengalami depresi. Ia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya dan telah sekian tahun minum obat, telah ke berbagai praktisi kesehatan, minta tolong orang pintar, namun tetap belum bisa sembuh.

Singkat cerita setelah melalui dua sesi terapi yang sangat intens klien berhasil mengalami sangat banyak kemajuan. Dari yang tadinya stress dan mudah putus asa menjadi semangat. Memang, masih ada aspek lain yang perlu dibereskan yaitu klien masih sulit tidur.

Namun, bila dilihat hasil yang telah dicapai hanya dalam dua sesi terapi, dibandingkan dengan apa yang telah klien jalani dan alami selama ini, sungguh suatu hasil yang luar biasa.
Seminggu kemudian, rekan sejawat saya melakukan follow-up dan menghubungi kliennya. Apa yang terjadi? Ternyata kondisi klien kembali seperti sebelum diterapi. Tiga hari kemudian klien menghubungi rekan saya dan memberikan laporan bahwa kondisinya semakin menurun.

Lho, kok bisa?

Ternyata setelah diselidiki, klien, setelah selesai terapi dengan rekan saya ini, sesi kedua, sebenarnya sudah sangat baik kondisinya. Namun besoknya, oleh orangtuanya, klien dibawa ke “terapis” lain yang melakukan pengobatan dengan cara “lain”.

“Terapis”  ini melakukan upacara yang katanya bisa mengusir “roh jahat” yang berdiam di dalam diri klien. Pengusiran “roh jahat” ini dilakukan beberapa kali dengan menggunakan cara yang menurut si “terapis” mujarab. Setelah beberapa kali “terapi”, kondisi klien justru semakin memburuk.

Saya tidak berpretensi untuk mengatakan bahwa si “terapis” ini yang membuat kondisi klien semakin memburuk. Sama sekali tidak ada maksud saya untuk berkata demikian. Yang ingin saya bahas adalah mengapa klien bisa relapse dan justru semakin parah.

Saya sendiri, dalam karir saya sebagai seorang terapis, pernah beberapa kali mengalami apa yang dialami oleh rekan saya. Klien yang sudah hampir pulih tiba-tiba relapse dan akhirnya menjadi lebih parah lagi kondisinya.

Dulu saya bingung. Saya berpikir ini semua karena saya tidak becus melakukan terapi dengan baik. Namun dari hasil perenungan dan review sesi terapi yang saya lakukan, berdasarkan catatan terapi, saya tidak menemukan kesalahan dalam praktik saya. Lalu apa yang salah?

Ternyata yang terjadi sama dengan yang dialami rekan saya ini. Klien, setelah selesai terapi dengan saya juga melakukan terapi ke terapis lain, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan saya atau terapis sebelumnya.

Banyak orang yang tidak menyadari bahwa terapi apapun, termasuk hipnoterapi, membutuhkan waktu untuk bisa membantu seseorang benar-benar pulih dari kondisi mental atau emosi mereka yang sebelumnya agak kacau.

Jika kasusnya cukup berat maka dibutuhkan sampai beberapa sesi, ada yang 4 sesi atau bahkan lebih, untuk benar-benar menstabilkan kondisi klien.

Yang sering terjadi adalah (keluarga) klien tidak sabar dan ingn mempercepat proses kesembuhan. Mereka mencampuradukkan beberapa modalitas terapi. Akibatnya? Sangat buruk untuk klien.

Setiap modalitas terapi mempunyai paradigma sendiri. Teknik yang digunakan tentunya berdasarkan teori yang sangat spesifik yang hanya akan bekerja selama dilakukan di dalam koridor teori itu. Tindakan klien mencampuradukkan beberapa jenis terapi, saya biasa menyebutnya dengan istilah Therapy Shopping, justru kontraproduktif.

Apalagi bila terapisnya dipandang sebagai figur otoritas. Hasil terapi yang sebelumnya sangat baik, namun karena belum final dan stabil, menjadi mentah lagi karena pikiran klien sendiri, setelah mendapat pengaruh baik langsung maupun tidak langsung dari terapis berikutnya, meng-undo hasil terapi sebelumnya.

Anda mungkin bertanya, “Ah, masa bisa sampai seperti ini kejadiannya?”

Saya pernah melakukan terapi pada seseorang, kasus ringan yaitu fobia kecoa, dan dalam sekejap klien sembuh. Dites dengan kecoa hidup, klien sama sekali tidak takut. Namun, untuk membuktikan bahwa klien bisa relapse atau kambuh, saya meng-undo hasil terapi saya hanya dengan satu perintah spesifik. Dalam sekejap klien kembali menjadi sangat takut terhadap kecoa, sama kondisinya seperti sebelum saya terapi.

Setelah itu saya kembalikan kondisinya seperti setelah selesai saya terapi dan fobia klien langsung hilang dan saya menyegel perubahan yang telah terjadi sehingga klien tidak bisa kembali ke pola lamanya.

Saya juga pernah punya klien yang sangat senang Therapy Shopping. Ia berpindah dari satu hipnoterapis ke hipnoterapis lainnya. Bukannya hipnoterapisnya tidak efektif namun si klien sendiri yang memang suka sekali keliling, dari satu terapis ke terapis lainnya, dan ia sangat menikmati diterapi. Sepertinya terapi sudah menjadi satu trend atau kebutuhan hidupnya. Ia bukannya mau sembuh dari masalahnya tapi justru menikmati masalahnya.

Akibatnya? Ya nggak sembuh. Setiap terapis tentu punya pendekatan yang berbeda dalam menangani suatu kasus. Setiap terapi melibatkan proses dan dinamika yang unik. Kasus yang sama bisa dibereskan dengan pendekatan atau teknik yang berbeda. Semua bergantung pada jam terbang, pengalaman, dan intuisi si terapis.

Satu kasus lain, seorang pria, yang juga sulit tidur dan mendengar ada suara di dalam kepalanya, telah lebih dari 6 tahun berkeliling mencari terapis untuk mengatasi masalahnya. Dari sekian lama upayanya hasilnya nihil.

Selidik punya selidik ternyata dia juga melakukan Therapy Shopping. Dan keluarganya mendukung serta sangat menyarankan hal ini. Saat ke psikiater dan diberi obat, obatnya hanya diminum sedikit. Setelah itu ia ke Sinshe untuk didiagnosa dan mendapat obat lain. Kemudian ke orang pintar, terus ke akupunturis, ke dokter saraf, terus ke Singapore untuk melakukan fMRI karena ia merasa ada masalah dengan otaknya.

Hasil dari Singapore menunjukkan bahwa otaknya tidak bermasalah. Ia hanya stress saja. Perlu banyak istirahat. Namun klien ini tetap gigih mencari kesembuhan. Ia pergi ke tukang pijat yang katanya bisa menotok jalan darah sehingga aliran darah bisa lebih lancar. Plus minum bermacam-macam obat dari berbagai terapis. Plus, plus, juga melakukan energy healing, prana, reiki, chikung. Wah… pokoknya macam-macam deh.

Hasil akhirnya bagaimana? Ya, tetap nggak sembuh.

Lha, bagaimana mau sembuh. Teknik terapi, seperti yang telah saya jelaskan di atas, membutuhkan waktu untuk menunjukkan hasil. Pada saat proses masih berlangsung tiba-tiba terapi dihentikan dan ia berpindah ke jenis terapi lain. Demikian seterusnya.

Kembali ke klien rekan saya. Setelah dengan terapis yang melakukan pengusiran “roh jahat” tidak membuahkan hasil, klien ini ingin kembali ke rekan saya untuk terapi lanjutan. Tentu bukan kerja yang ringan untuk bisa membantu klien ini karena hasil terapi dua sesi sebelumnya telah hilang akibat klien melakukan Shopping Therapy.

Jadi, saran saya bagi anda, jika anda sedang menjalani suatu sesi terapi, dengan terapis manapun, berilah waktu untuk terapis ini membantu anda. Jangan suka berganti terapis. Jika dalam beberapa sesi anda merasakan perubahan positif berarti apa yang dilakukan terapis ini bekerja. Nah, beri waktu sedikit lebih lama. Teruskan terapi anda.

Namun, jika setelah menjalani sampai, katakanlah, lebih dari empat sesi, sama sekali belum ada perubahan signifikan, maka anda boleh memutuskan untuk mencari bantuan terapis lain.

Jadi, hati-hati ya. Jangan melakukan Therapy Shopping.

Baca Selengkapnya

Syarat Menjadi Hipnoterapis Andal dan Berhasil

21 Juli 2010

Hampir setiap hari saya mendapat email dari pembaca buku maupun artikel-artikel yang saya posting di web saya. Mereka ingin belajar hipnoterapi dengan saya. Namun umumnya mereka mundur setelah saya menjelaskan beberapa hal kepada mereka. Ternyata banyak yang tidak serius hendak menjadi hipnoterapis.

Apa saja yang saya jelaskan pada mereka?

Untuk bisa menjadi hipnoterapis anda maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama, alasan hendak menjadi hipnoterapis.  Jika anda ingin menjadi hipnoterapis setelah menonton acara di televisi maka ini bukanlah alasan yang  tepat atau kuat. Menjadi hipnoterapis harus dilandasi dengan passion atau keinginan yang  tulus dan kuat untuk membantu orang lain.  Tanpa dilandasi passion yang benar maka upaya atau perjalanan panjang untuk menjadi seorang hipnoterapis akan terasa berat dan sulit.

Faktor kedua adalah komitmen.  Komitmen di sini meliputi aspek waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. Banyak yang mundur dan tidak bersedia belajar hipnoterapi saat mereka mendengar bahwa mereka perlu belajar minimal 100 jam tatap muka di kelas. Banyak yang bertanya, “Pak Adi, apa nggak ada cara yang lebih singkat dan mudah untuk bisa menguasai hipnoterapi?”

Sejujurnya ada. Cara paling mudah dan singkat untuk belajar hipnoterapi, menurut pemahaman dan pengetahuan saya,  adalah dengan belajar 100 jam di kelas. Ini adalah jalan pintas. Tidak ada jalan pintas lain.  Saat saya mendengar seseorang mulai “menawar” waktu pelatihan maka saya tahu bahwa ia tidak serius. Ia tidak bersedia membayar harga untuk bisa menjadi seorang hipnoterapis andal yaitu komitmen waktu.

Banyak yang berharap bisa menguasai hipnoterapi hanya dalam waktu 1 atau 2 hari. Mereka berpikir bahwa hipnoterapi adalah sesuatu yang bisa dipelajari sambil lalu, ya… kalau sempat. Tidak bisa. Hipnoterapi adalah sesuatu yang sangat serius dan harus dipelajari dengan sungguh-sungguh.

Jika hendak belajar stage-hypnosis atau hipnosis untuk pertunjukkan maka ini bisa dilakukan hanya dalam waktu 1 (satu) hari saja. Hipnoterapi? Tidak mungkin bisa.

Faktor ketiga adalah kepercayaan. Apakah anda percaya bahwa hipnosis/hipnoterapi benar-benar bisa bekerja dan berhasil? Jika tidak, maka anda perlu mulai membaca lebih banyak. Bacalah buku, artikel, jurnal, atau menonton video mengenai hipnoterapi. Dan yang lebih penting lagi bertanyalah pada praktisi hipnoterapi yang berhasil. Hipnoterapi telah diakui lembaga bergengsi seperi British Medical Association, American Medical Association, dan American Psychological Association. 

Anda juga perlu mengalami sendiri hipnoterapi. Untuk itu anda bisa membuat janji dengan hipnoterapis yang anda tahu memang mampu melakukan hipnoterapi secara benar. Dengan mengalami sendiri proses hipnoterapi maka anda akan percaya. Ini sangat penting bagi proses pembelajaran anda.  Jika anda ragu atau tidak percaya maka anda tidak akan bisa belajar dengan optimal.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah apakah anda percaya dengan trainer , orang, atau lembaga yang mengajar anda? Jika tidak, lebih anda tidak ikut pelatihannya.  Jangan pernah mengikuti suatu pelatihan, apalagi yang  berhubungan dengan hipnoterapi, hanya karena harga. Harga bukan jaminan. Baik itu harga yang mahal atau yang murah.

Untuk meyakinkan diri anda sendiri, sehingga anda bisa yakin dengan trainer anda, maka hal-hal yang  anda perlu tanyakan sebelum mengikuti suatu pelatihan hipnoterapi adalah:

·         Apakah trainer anda adalah hipnoterapis aktif  yang menerima klien secara rutin?

·         Sudah berapa lama ia praktik sebagai hipnoterapis?

·         Bagaimana dengan succes rate atau tingkat keberhasilan ia melakukan terapi?

·         Sertifikasi trainer ini dari lembaga mana? Berapa lama ia mengikuti pelatihan hingga mendapat sertifikasi sebagai hipnoterapis?

·         Bagaimana dengan kemampuan terapi alumnus pelatihan trainer ini?

·         Apakah anda percaya  bahwa teknik atau pendekatan terapi yang diajarkan trainer ini pasti bisa bekerja dengan baik?

 

Pertanyaan di atas sangat perlu kita ajukan untuk membuat kita benar-benar yakin. Jika kita tidak yakin pada trainer itu lalu buat apa kita mengikuti pelatihannya. Kalaupun kita ikut maka hasilnya tidak akan efektif.

 

Saya punya pengalaman pribadi mengenai hal ini. Saya pernah belajar salah satu teknik induksi. Teknik ini diajarkan oleh banyak trainer dan lembaga. Saya, walaupun telah mempelajarinya, tetap tidak bisa menggunakan teknik ini dengan berhasil. Selidik punya selidik ternyata saya tidak yakin dengan trainer yang mengajar teknik ini.

 

Saat saya bertemu dengan seorang pakar yang sangat saya hormati, yang juga mengajarkan teknik yang sama, tiba-tiba setelah itu saya mampu melakukan induksi dengan penuh percaya diri dan selalu berhasil.

 

Ternyata saat saya belajar dengan trainer lain, saya tidak percaya dan tidak puas dengan penjelasannya. Saya merasa apa yang ia jelaskan tidak ilmiah atau dasar teorinya tidak kuat. Ini yang membuat saya tidak yakin. Namun dengan pakar ini, saya benar-benar puas, yakin, dan percaya.

 

Jika rata-rata alumnus pelatihan trainer ini berhasil mempraktikkan hipnoterapi dengan efektif dan mampu membantu klien mereka dengan berhasil maka anda tahu bahwa apa yang diajarkan oleh trainer ini bekerja.

Dan jika anda masih tetap belum bisa mempraktikkan hipnoterapi dengan baik dan efektif mengikuti apa yang diajarkan trainer anda maka satu pesan saya kepada anda, “Segera cari hipnoterapis untuk membantu anda mengatasi mental block anda .”  Yang bermasalah bukanlah trainer atau lembaga tempat anda belajar namun diri anda sendiri.

Yang terakhir adalah support system atau dukungan yang diberikan oleh trainer atau lembaga tempat anda belajar hipnoterapi.  Dari pengalaman saya pribadi adalah tidak mungkin seseorang belajar hipnoterapi, walaupun yang kelas 100 jam, dan setelah itu ia jalan sendiri. Kita tetap masih membutuhkan dukungan, masukan,  saran, dan bimbingan karena saat praktik kita akan bertemu dengan kasus yang tidak dijelaskan di kelas karena keterbasan waktu. Tanpa dukungan ini akan sangat sulit mengembangkan diri kita.

So… anda siap belajar dan menjadi hipnoterapis andal?

Baca Selengkapnya

Hypnotic Procedures in Pain Control

21 Juli 2010

Ada banyak prosedur hipnotik yang bisa digunakan untuk menangani atau mengatasi rasa sakit. Prosedur yang paling umum digunakan, namun tidak selalu berhasil, adalah dengan menggunakan sugesti hipnotik langsung untuk menghilangkan keseluruhan rasa sakit (direct hypnotic suggestion for total abolition of pain). Prosedur ini berhasil diterapkan secara sangat efektif untuk beberapa klien. Namun seringkali tidak berhasil untuk klien lainnya dan mengakibatkan klien menjadi ragu terhadap manfaat dan efektivitas hipnosis sehingga menghambat penggunaan hipnosis untuk penanganan klien selanjutnya. Selain itu, walaupun efeknya bagus, kadang efeknya tidak bisa bertahan lama.

Prosedur kedua yang bisa digunakan adalah  hipnosis tidak langsung yang bersifat permisif untuk menghilangkan sakit ( permissive indirect hypnotic abolition of pain). Prosedur ini seringkali lebih efektif, walaupun sangat mirip dengan sugesti langsung, namun dikemas dalam bentuk sugesti yang lebih maternal dan tidak langsung sehingga lebih kondusif terhadap penerimaan dan respon klien.

Prosedur ketiga untuk pengendalian rasa sakit dengan menggunakan hipnosis adalah dengan menggunakan amnesia. Dalam hidup seringkali kita lupa terhadap rasa sakit bila kita mengalami suatu situasi atau kondisi yang lebih berbahaya atau menyita perhatian kita.

Contohnya adalah saat seorang ibu yang mengalami rasa sakit luar biasa dan tiba-tiba tidak lagi merasakan sakit itu saat ia melihat anaknya yang masih bayi jatuh dan mengalami luka serius. Ia lupa pada sakitnya karena pikirannya begitu mengkhawatirkan kondisi anaknya. Contoh lain adalah seseorang yang lupa terhadap sakit gigi, sakit kepala, atau sakit persendian saat ia begitu fokus atau tercerap pada film yang ia tonton. Amnesia untuk mengatasi rasa sakit dapat diterapkan dalam beragam cara. Amnesia bisa digunakan untuk menghilangkan sebagian atau bahkan keseluruhan rasa sakit sekaligus.

Prosedur keempat adalah dengan menggunaan hypnotic analgesia, yang bisa menghilangkan sebagian, semua, atau bagian sakit tertentu. Dengan prosedur ini terapis bisa membuat klien merasa “mati rasa” pada bagian tubuh yang sakit namun bagian tubuh ini tetap bisa merasakan sensasi sentuhan atau tekanan.

Dengan demikian semua pengalaman sakit menjadi berubah dan memberikan klien perasaan lega dan puas, walaupun analgesia yang dihasilkan tidak bersifat menyeluruh. Perubahan sensori yang dialami klien seperti perasaan “mati rasa”, meningkatnya perasaan hangat, berat, rileks, dan lainnya, akan meningkatkan hypnotic analgesia  hingga menjadi menyeluruh.

Metode kelima adalah  hypnotic anesthesia. Metode ini lebih sulit daripada metode sebelumnya dan paling baik dicapai dengan menggunakan pendekatan tidak langsung yaitu dengan membangun situasi psikologis dan emosi tertentu yang bertujuan untuk menghasilkan reaksi anestesi yang selanjutnya diperkuat dengan sugesti pascahipnosis.

Prosedur keenam adalah sugesti yang menghasilkan penggantian sensasi dengan bantuan kondisi hipnosis (hypnotic replacement or substitution of sensations. Contohnya, seorang pasien kanker yang mengalami sakit yang luar biasa ternyata memberikan respon yang sangat baik terhadap sugesti yang membuat ia merasa gatal yang luar biasa di telapak kakinya. Tubuhnya yang lemah karena kanker membuat ia tidak bisa menggaruk bagian tubuh yang gatal. Dengan demikian perhatiannya tersita untuk merasakan gatal ini. Selanjutnya terapis mensugestikan perasaan hangat, dingin, berat, dan mati rasa secara sistematis di berbagai bagian tubuhnya yang sakit.

Tindakan lanjutan yang diberikan adalah sugesti bahwa ia meraskan sensasi gatal yang sungguh tidak nyaman di samping mastektomi-nya. Prosedur ini sangat membantu hidup klien untuk sisa enam bulan hidupnya.

Prosedur ketujuh adalah pemindahan sakit secara hipnosis (hypnotic displacement of pain). Prosedur ini menggunakan sugesti untuk memindahkan rasa sakit dari satu bagian tubuh ke bagian lainnya. Misalnya klien yang mengalami rasa sakit luar biasa di bagian perut dan rasa sakit ini sungguh mengganggu hidupnya maka dengan menggunakan sugesti rasa sakit ini bisa dipindahkan ke bagian tubuh yang mampu mengatasi rasa sakit ini, misalnya dipindahkan ke tangan.

Prosedur kedelapan, hypnotic dissociation digunakan untuk pengendalian rasa sakit, dan metode yang paling efektif adalah disorientasi waktu dan tubuh (time and body disorientation). Klien, dalam kondisi hipnosis, dapat dibawa ke masa awal munculnya penyakit, saat rasa sakit masih belum terlalu mengganggu. Dan level atau intensitas rasa sakit yang muncul saat disorientasi waktu ini tetap dipertahankan dan dialami oleh klien saat keluar dari kondisi hipnosis. Klien tetap merasa sakit namun rasa sakit yang ia alami berkurang ke level saat awal penyakitnya muncul .

Pada disorientasi tubuh (body disorientation), klien, dalam kondisi hipnosis, mengalami disosiasi dan mengalami dirinya terpisah dari tubuhnya. Dengan kata lain, seseorang yang mengalami rasa sakit luar biasa, melalui respon pascahipnosis, akan masuk ke kondisi trance dan mengalami dirinya berada di ruang lain sementara fisiknya yang menderita berada di ranjang. Dengan demikian ia tidak merasakan sakit di tubuhnya.

Prosedur kesembilan, yang sangat mirip dengan prosedur penggantian sensasi, adalah pemaknaan ulang pengalaman sakit dalam kondisi hipnosis (hypnotic reinterpretation of pain experience). Dalam prosedur ini, saat dalam kondisi hipnosis, perasaan sakit diberi arti baru sebagai perasaa lemah, malas bergerak, dan selanjutnya sebagai rileksasi dengan perasan hangat dan nyaman yang menyertai rileksasi otot yang sangat dalam. 

Perasaan sakit yang berdenyut, mengganggu, menusuk diterjemahkan sebagai perasan yang tidak nyaman tapi tidak menyakitkan dan dirasakan sebagai sensasi seperti berada di dalam kapal yang terombang-ambing di tengah badai.

Hypnotic time distortion seringkali merupakan prosedur hipnosis yang paling efektif untuk mengendalikan dan mengatasi rasa sakit. Satu contoh yang sangat bagus menjelaskan efektivitas prosedur ini adalah seorang klien yang menderita rasa sakit luar biasa, yang terjadi setiap dua puluh hingga tiga puluh menit, siang dan malam, yang serangan rasa sakitnya setiap kali berlangsung antara lima hingga sepuluh menit. 

Saat berada di waktu jeda di antara serangan rasa sakit klien ini merasa sangat takut. Dengan menggunakan hipnosis dan mengajari klien distorsi waktu, maka ia dapat menggunakan gabungan dari beberapa prosedur yang dijelaskan di atas untuk mengatasi rasa sakitnya. Dalam kondisi trance klien diajarkan untuk menimbulkan amnesia terhadap semua serangan rasa sakit sebelumnya. Selanjutnya klien dilatih untuk melakukan distorsi waktu sehingga ia dapat merasakan rasa sakit lima hingga sepuluh menit hanya dalam waktu sepuluh hingga dua puluh detik saja. Ia juga diberi sugesti pascahipnosis yang menyatakan bahwa setiap serangan rasa sakit akan datang sebagai suatu kejutan, dan saat terjadi serangan ini ia akan masuk ke kondisi hipnosis selama dua puluh detik, merasakan semua rasa sakit, dan kemudian keluar dari trance dengan tidak mengingat bahwa ia telah masuk trance dan mengalami rasa sakitnya.

Prosedur kesebelas adalah sugesti hipnotik yang mempengaruhi  berkurangnya rasa sakit (hypnotic suggestions effecting a diminution of pain), sakitnya tidak hilang semua karena klien tidak sepenuhnya responsif seperti yang diharapkan.

Pengurangan ini paling baik dicapai dengan mensugesti klien, saat dalam kondisi hipnosis, bahwa sakitnya akan berkurang sedikit demi sedikit, tanpa ia rasakan, dan akhirnya hilang semua, mungkin dalam waktu beberapa hari. Dengan mensugestikan bahwa sakitnya akan hilang sedikit demi sedikit tanpa ia sendiri bisa merasakannya maka klien tidak bisa menolak sugesti ini.

Pengharapan yang muncul membuat klien berharap dalam beberapa hari ke depan mungkin akan terjadi pengurangan rasa sakit. Pengharapan ini sendiri berlaku sebagai autosuggestion yang akan membuat rasa sakit klien benar-benar berkurang dan bersifat progresif.

Dalam semua prosedur pengendalian rasa sakit perlu diperhatikan bahwa klien lebih bisa menerima sugesti tidak langsung (indirect) daripada yang bersifat langsung (direct). Prosedur yang digunakan bisa merupakan gabungan dari beberapa prosedur yang dijelaskan di atas sesuai dengan kebutuhan dan respon klien. 

Baca Selengkapnya

Mengapa Anak Suka Berbohong?

21 Juli 2010

Di milis SECH yang menjadi wajah saling belajar dan membelajarkan khusus untuk alumni SECH baru-baru ini hangat dibicarakan terapi anak. Salah satu topik yang dibahas adalah cara mengatasi kebiasaan anak yang suka berbohong. Saya tidak akan menjelaskan teknik terapinya di sini namun saya akan membagikan alasan mengapa anak berbohong. Satu hal yang perlu disadari para orangtua yaitu berbohong adalah suatu kebiasaan yang dipelajari bukan bawaan sejak lahir.

Anak berbohong karena 4 alasan utama:

1. Meniru orangtua. Seringkali orangtua berbohong di depan anda. Misalnya ada tetangga atau tamu yang mencari si ayah atau ibu. Namun karena mereka, orangtua, tidak mau bertemu dengan tamu ini, maka mereka meminta pembantu menyampaikan pesan, “Katakan kalo Bapak atau Ibu lagi tidur”, dan ini mereka lakukan di depan anak mereka.
Yang lebih parah lagi kalau pas HP mereka bunyi dan mereka tahu yang menelpon adalah orang yang mereka hindari maka mereka meminta anak menjawab telpon sambil dibisiki, “Bilang saja mama lagi pergi dan lupa bawa HP”.

2. Orangtua bertanya sesuatu yang sebenarnya jawabannya sudah jelas diketahui si orangtua. Misalnya si Ibu lagi nonton TV dan di ruang itu ada anaknya bermain, tidak ada orang lain. Tiba-tiba si Ibu mendengar suara gelas pecah dan langsung bertanya, “Siapa yang mecahin gelas?”
Ini pertanyaan yang salah karena sebenarnya si Ibu tahu pasti anaknya yang memecahkan gelas. Yang benar pertanyaannya adalah, “Bagaimana kok bisa pecah?”
Bila anak mendapat pertanyaan pertama maka besar kemungkinan ia akan berbohong.

3. Bila hukumannya terlalu berat dibandingkan dengan kesalahan yang dilakukan. Bisa dibayangkan bila kita melanggar lampu merah dan hukumannya adalah dendan Rp. 10 juta atau 1 tahun penjara. Siapa yang mau? Semua pasti mati-matian akan berbohong walaupun sebenarnya melanggar lampu merah. Benar kan? Ini adalah suatu bentuk defense mechanism alamiah. Sama dengan anak. Jika anak jujur dan mengakui kesalahannya tapi hukumannya terlalu berat maka anak akan cenderung berbohong demi mencari selamat.

4. Orangtua tidak konsisten. Misalnya ortu berjanji asalkan anak berkata jujur maka mereka tidak akan marah atau menghukum si anak. Eh, saat anak mengaku atau berkata jujur malah dimarahi atau dipukul. Dari sini anak belajar satu hal. Lebih aman berbohong daripada jujur. Kalau perilaku ini sering diulang maka akan menjadi habit.

Satu hal lagi, perilaku adalah bentuk strategi yang paling efektif, dari berbagai strategi yang telah dicoba oleh seorang anak, untuk bisa mendapatkan hal-hal yang ia inginkan dengan cepat dan mudah dan dengan tingkat keberhasilan yang paling tinggi.

Contohnya kalau anak minta sesuatu dan tidak dituruti orangtua anak bisa mencoba strategi menangis, marah, teriak, memukul,atau berguling-guling di lantai. Jika dengan strategi ini keinginannya tercapai maka ia akan mengulanginya lagi. Bila terjadi repetisi maka akhirnya jadi kebiasaan atau habit. Habit akan mengeras menjadi karakter dan karakter akhirnya yang akan menentukan nasib si anak saat ia dewasa kelak.

Ini yang sebenarnya digarap oleh Nanny 911. Mereka mengubah perilaku anak dengan tidak mengijinkan strategi si anak bisa berhasil mendapatkan yang si anak inginkan. Untuk bisa berhasil maka si anak “dipaksa” mencoba strategi baru. Dan begitu strategi yang dilakukan anak adalah yang baik maka strategi ini langsung mendapat penguatan (reinforcement) sehingga menjadi perilaku baru, tentunya yang baik, seperti yang diinginkan oleh orangtua.

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List