The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Bisakah Hipnoterapis Menerapi Keluarganya Sendiri?

21 Juli 2010

Ide menulis artikel ini muncul saat membaca respon seorang rekan di Facebook. Saat itu saya memposting tulisan “Apakah engkau sudah memaafkan orang yang menyakitimu? "Belum." Musuh kita bukanlah mereka yang menyakiti kita, melainkan sifat membenci yang ada pada diri kita.”

Rekan ini menulis, “Pak kenapa kok saya belum bisa memaafkan juga ya? Padahal saya sudah diterapi berkali-kali, mengapa masih ada sisa perasaan jengkel? Apanya yang salah nih? Saya sangat tersiksa dengan rasa dendam ini.”

Selanjutnya ia menambahkan, “ Saya sudah menerapkan Hypno-EFT  yang ada di buku Quantum Life Transformation. Sudah pake pertanyaan kritis di buku The Secret of Mindset, padahal saya orang yang mudah trance. Dan tiap sesi terapi saya dibantu suami. Kebetulan suami saya praktisi hipnoteapi (CHt) dan sudah banyak membantu orang lain. Tiap hari saya dicintai seorang hipnoterapis. Saya juga bingung Pak kenapa ya saya ini? Saya lalu curhat sama hipnoterapis lain. Katanya sebaiknya saya menerapi diri sendiri, jangan dibantu suami. Waktu saya menerapi diri sendiri dengan Hypno-EFT, belum satu putaran saya mual dan muntah-muntah. Tiap kali saya menerapi diri sendiri selalu terjadi seperti ini. Sepertinya bawah sadar saya memberi sinyal menolak diterapi.Sepertinya bawah sadar saya sangat mencintai dendam di hati saya. Seperti ingin melindungi saya dan ingin saya bahagia dengan memelihara luka di hati saya. Saya dari keluarga broken-home dan ini sangat mengganggu perasaan cinta saya pada suami, walaupun suami sangat baik dan setia.” 

Saya menjawab, “Sebaiknya Ibu minta bantuan terapis lain. Ada satu hukum tak tertulis dalam dunia terapi, khususnya hipnoterapi. Seorang hipnoterapis tidak bisa menjadi terapis bagi pasangan atau anggota keluarganya sendiri.  Pikiran bawah sadar seseorang sangat cerdas. Ia bisa menahan informasi yang dia tidak ingin diketahui oleh terapisnya (baca: pasangannya).”

Pembaca, saat menjawab pertanyaan rekan ini saya tentu tidak bisa menjelaskan secara lebih detil alasan di balik jawaban singkat yang saya berikan. Melalui artikel ini saya akan melakukan eksplorasi lebih jauh untuk menjawab pertanyaan “Bisakah Hipnoterapis Menerapi Keluarganya Sendiri?”

Jawaban singkat untuk pertanyaan di atas: Bisa.

Efektifkah? Nah, ini jawabannya, “May…. may be yes… may be no.” Lho, kok?

Ceritanya begini ya. Teknik terapi yang digunakan untuk menerapi klien atau anggota keluarga, termasuk pasangan, sebenarnya sama saja. Dalam hal ini saya berasumsi hipnoterapis memiliki kecakapan dan jam terbang yang cukup. Yang membuat proses terapi terhadap anggota keluarga, apalagi terhadap pasangan, menjadi berbeda adalah hal-hal yang berhubungan dengan:

1. Tingkat kepercayaan
2. Keterbukaan
3. Kesiapan mental klien dan hipnoterapis
4. Keterlibatan emosi

Sekarang mari kita bahas poin di atas. Pertama, tingkat kepercayaan. Saat melakukan terapi pertanyaan yang sangat menentukan adalah apakah klien, misalnya istri, mempercayai sepenuhnya kecakapan terapisnya (suami)? Apakah istri merasa aman? Hal ini sangat penting untuk dijawab dengan jujur. Bila seorang klien tidak percaya sepenuhnya pada kemampuan terapisnya atau tidak merasa aman mengungkapkan informasi yang ada di pikiran bawah sadarnya maka terapi telah gagal bahkan sebelum dimulai. Umumnya bila terapisnya adalah suami dan kliennya adalah istri tidak terlalu jadi masalah. Yang menjadi masalah adalah bila terapisnya adalah istri dan yang menjadi klien adalah si suami. Suami biasanya, walau tidak semuanya, tidak mengijinkan istri menerapi dirinya. Ini karena ego suami yang merasa dirinya lebih hebat dari istrinya.

Poin kedua adalah keterbukaan. Ini yang cukup sulit dilakukan. Seringkali masalah yang dialami ada hubungannya dengan pasangan, atau orangtua pasangan. Bila situasinya seperti ini saya meragukan klien cukup berani untuk berkata jujur.
 
Saat seseorang berada dalam kondisi hipnosis, sedalam apapun level hipnosisnya, ia tetap sadar sesadar-sadarnya dan mampu mengendalikan sepenuhnya baik pikiran, ucapan, dan responnya. Dengan demikian klien bisa berkata tidak jujur atau menyembunyikan informasi yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menuntaskan masalahnya. Jika klien tidak mengungkapkan informasi tertentu dengan berbagai pertimbangan atau alasan, mungkin sungkan, tidak berani, atau takut, dan oleh karenanya informasi ini tidak bisa diproses maka terapi yang dilakukan pasti tidak efektif. 

Ada kemungkinan akar masalah klien adalah kejadian yang sangat traumatik, yang dalam pandangan klien merupakan aib yang sangat memalukan, yang selama ini tidak pernah ia ceritakan kepada siapapun. Bila tidak siap maka klien tidak akan mengungkapkan hal ini kepada terapisnya yang notabene adalah pasangannya. Ini berhubungan dengan rasa aman secara psikis. 

Poin ketiga adalah kesiapan mental baik pada diri klien maupun terapis dalam menyikapi berbagai data yang terungkap selama sesi terapi, khususnya data yang berasal dari memori yang ditekan selama ini (repressed memory). Bila misalnya klien mengungkapkan informasi yang sangat sensitif dan terapisnya tidak siap mendengar hal ini, karena yang menerapi kan pasangannya sendiri, maka ini bisa jadi masalah besar. Bisa-bisa setelah selesai melakukan terapi, terapisnya yang butuh diterapi karena mengalami goncangan psikis yang hebat. Contohnya?

Misalnya yang menjadi klien adalah si istri dan terapisnya adalah si suami. Bagaimana bila, walaupun sudah disepakati di awal, sebelum menjalani sesi terapi, bahwa baik klien maupun terapis akan sangat terbuka dan bisa memaklumi informasi apapun yang akan tergali saat terapi, klien menyampaikan bahwa ia dulu pernah mengalami pelecehan seksual atau sudah tidak gadis lagi saat menikah dengan pasangannya?

Bagaimana bila sekarang yang menjadi klien adalah si suami dan terapisnya adalah si istri dan saat proses terapi terungkap bahwa si suami punya PIL eh salah…maksud saya, WIL? Apakah terapis siap mendengar informasi ini dan melanjutkan sesi terapis secara profesional?

Contoh kasus di atas adalah kasus yang memang ekstrim. Saya sengaja menyampaikan hal ini sebagai bahan pemikiran. Bukan berarti ini tidak mungkin terjadi, lho. Jika, misalnya, yang saya ceritakan di atas sungguh-sungguh terjadi, apakah baik klien maupun terapisnya siap?

Dan ini membawa kita ke poin keempat yaitu keterlibatan emosi. Hipnoterapis yang baik, menurut hemat saya, adalah mereka yang mampu melakukan terapi tanpa sama sekali terlibat secara emosi atas apa yang dialami oleh klien. Saat emosi terlibat maka terapis sudah tidak lagi bisa netral dalam bersikap dan memproses berbagai informasi yang terungkap. Terapi sangat membutuhkan sikap dan emosi yang netral. Ini untuk menghindari terjadinya countertransference.

Keterlibatan emosi bisa juga terjadi pada terapis saat menangani klien, yang bukan pasangannya, bila ternyata apa yang dialami klien mirip atau sama dengan pengalaman traumatik yang dulu dialami si terapis, namun belum berhasil ia atasi.

Saya pernah membaca ada terapis, wanita, yang ternyata punya masalah dengan suaminya,  dan saat ia menerapi kliennya yang juga seorang wanita, untuk masalah yang berhubungan dengan suami klien, tidak bisa bersikap netral. Hasil terapi justru semakin memperburuk hubungan klien dan suaminya karena terapis, saat klien dalam kondisi somnambulism, mensugestikan hal-hal atau pandangan yang sebenarnya mencerminkan kemarahan terapis pada suaminya. Ini sangat riskan. 

Nah, bagaimana bila ternyata baik klien maupun terapisnya, ingat ya saya sedang membahas hipnoterapis yang menerapi pasangannya, ternyata mampu mengatasi keempat poin di atas?

Wah, kalau ini yang terjadi maka hasilnya akan sangat luar biasa. Selain klien sembuh dari masalahnya, hubungan mereka akan menjadi semakin erat, hangat, dan kuat. Pembelajaran yang dilakukan pada level pikiran bawah sadar klien, yang mendapat dukungan penuh dari (pikiran bawah sadar) terapis akan membawa mereka ke level kesadaran yang sangat tinggi yang meningkatkan kedewasaan sikap, mental, dan spiritual mereka secara luar biasa. Mereka sadar bahwa apa yang dialami di masa lalu adalah pembelajaran dan kebijaksanaan yang sangat berharga untuk kehidupan mereka. Pembelajaran ini hanya bisa didapatkan setelah luka batin itu diproses.

“Apakah pernah ada yang mengalami hal ini?”

“Hal yang mana?”

“Itu lho, baik yang positif maupun yang negatif?”

“Pernah.”

Pernah ada seorang rekan menghubungi saya minta terapi. Saat saya tanya apa yang terjadi ternyata ia menerapi klien yang mengalami kepahitan di masa kecilnya yang berhubungan dengan orangtuanya. Dan kasus klien ini mirip dengan yang ia alami saat kecil. Yang terjadi selanjutnya adalah saat klien mengalami ledakan emosi (abreaction), eh.. rekan terapis ini juga ikut menangis dan mengalami kembali pengalaman dan emosi negatif yang dulu ia alami. Jadi, baik klien maupun terapis sama-sama abreaction.

Sedangkan yang positif juga ada. Seorang rekan terapis saat memproses trauma istrinya dan mengetahui berbagai kepahitan yang dialami si istri saat kecil, tidak saja berhasil membantu istrinya sembuh, justru membuat ia semakin cinta pada istrinya dan memutuskan untuk membuat istrinya bahagia lahir dan batin. Mereka,suami istri, sepakat bahwa pengalaman buruk yang dulu dialami sang istri tidak boleh terjadi pada anak mereka. Mereka juga menyadari sepenuhnya walaupun anak masih kecil, anak tetap punya perasaan dan pemikiran yang harus dihargai dan dihormati.

Contoh di atas adalah kalau hipnoterapis menerapi pasangannya. Bagaimana kalau hipnoterapis, misalnya ayah atau ibu, menerapi anaknya?

Sama saja. Keempat poin di atas sangat perlu diperhatikan. Pada kasus yang anak alami, dari pengalaman saya menerapi banyak anak dan keluarga, saya mendapatkan hampir semua, sekitar 98%, masalah anak terjadi karena pola asah, asih, dan asuh yang salah yang anak alami di rumah. Dengan kata lain yang menjadi sumber masalah sebenarnya adalah orangtua.
 
Akan sulit bagi anak untuk secara terbuka mengungkapkan isi hatinya dan mengatakan bahwa orangtuanya adalah sumber masalahnya. Anak tentu merasa takut atau tidak aman. Sebaliknya bila orangtua tidak siap maka sebaik apapun ia berusaha emosinya pasti akan terlibat dan ia menjadi tidak objektif. Apapun kondisinya, terapi tidak akan bisa efektif.

Jadi, apa saran Pak Adi? Saran saya bagi anda, rekan sejawat saya, sesama hipnoterapis, sebaiknya bila anggota keluarga kita ada masalah, mintalah bantuan rekan hipnoterapis lain untuk mengatasi masalahnya.

Baca Selengkapnya

Beyond Hypnotherapy, Transcendental Therapy

21 Juli 2010

Hipnoterapi, walaupun sangat efektif dalam membantu menangani dan mengatasi banyak masalah yang berhubungan dengan emosi, dalam pandangan saya pribadi, akan menjadi satu tool terapi yang sangat powerful bila ditambahkan satu unsur lagi di dalamnya.

Umumnya orang hanya mengenal hipnoterapi sebagai salah satu teknik terapi. Saya juga seperti ini di saat awal mendalami hipnoterapi. Seiring waktu berjalan, dengan semakin banyaknya klien yang saya bantu dan tangani, saya melihat satu pola konsisten pada perubahan diri klien. Ada klien yang masuk ke ruang terapi dengan beban yang begitu berat, muka murung, menjalani terapi, dan saat mereka keluar dari ruang terapi mereka bukanlah pribadi yang sama. Benar, mereka telah berubah. Mereka telah berhasil mengatasi masalahnya. Ada juga klien yang menjalani proses terapi yang serupa namun level perubahannya jauh lebih sangat dalam.

Semula saya kurang memperhatikan hal ini. Namun semakin lama saya semakin penasaran dan saya mulai melakukan analisa terhadap berbagai kasus yang pernah saya tangani, yang mirip, namun ternyata hasil terapinya berbeda secara signifikan.

Dari mempelajari ulang record terapi berbagai klien saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan penting. Kesimpulannya adalah hipnoterapi jika hanya diaplikasikan sebagai suatu teknik terapi untuk membantu klien mengatasi masalahnya maka hasilnya walaupun memuaskan tidak akan bisa mencapai level perubahan yang benar-benar mendasar.

Yang saya maksudkan dengan perubahan yang mendasar adalah tidak hanya masalah emosi klien terselesaikan namun klien juga mengalami transformasi belief, value, dan pergeseran paradigma yang mengubah hidupnya secara signifikan dan permanen.  

Hipnoterapi yang mampu memberikan hasil seperti ini tidak hanya bersifat terapeutik namun juga transendental saya sebut dengan Transcendental Therapy.

Apa maksudnya?

Biar jelas saya beri contoh ya. Ceritanya begini. Seorang klien wanita, sebut saja, Ibu Rini, 40 tahun, datang ke saya untuk minta diterapi. Masalahnya adalah ia mengalami kepahitan yang luar biasa akibat perlakuan orangtuanya saat ia masih kecil. Saat masih dalam kandungan saja ibunya pernah mencoba menggugurkannya. Selanjutnya ia dilahirkan, menggunakan istilah Bu Rini, ala kadarnya dan dibesarkan dengan penuh kekerasan dan tanpa cinta kasih orangtua. Ia bahkan pernah dihajar ayahnya, yang stress berat, saat Rini berusia 6 tahun, hingga pingsan selama 2 hari. Ibunya juga pernah menghajar Rini saat ia SMP kelas 2 karena dianggap “nakal” dan ini dilakukan di depan teman-temannya di sekolah. Bisa dibayangkan bagaimana luka batin yang dialami Rini.

Kasus seperti ini sebenarnya bukan kasus yang berat. Jangan salah mengerti. Kasus ini tentunya sangat berat bagi klien namun tidak bagi terapis karena secara standar dan prosedur terapi kita sudah tahu apa yang harus dilakukan dan sudah sering menangani berbagai kasus yang kurang lebih sama. Bahkan ada yang lebih berat lagi dari ini.

Jika hipnoterapi digunakan untuk mengobati luka batinnya maka Ibu Rini bisa dengan cepat sembuh dan tidak lagi akan terpengaruh oleh kejadian di masa lampaunya. Namun sungguh sayang bila terapi hanya berhenti sampai di sini saja.

Untuk kasus yang berat seperti ini saya biasanya melakukan sesuatu yang lebih, tidak sekedar hipnoterapi. Saya melakukan reedukasi pikiran bawah sadar, tentunya ini dilakukan dalam kondisi profound somnambulism, agar klien bisa memetik hikmah, pesan, pembelajaran, dan kebijaksanaan yang terkandung kejadian yang dialami klien. Sudah tentu dalam melakukan hal ini saya tetap berpegang teguh pada prinsip client centered dan hanya akan menggunakan belief system dan value klien sebagai dasar pembelajarannya.

Reedukasi untuk bisa membawa klien mencapai tahap pembelajaran ini harus dilakukan dengan hati-hati dan menggunakan teknik yang sesuai. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar klien, secara pikiran bawah sadar, bersedia dan bisa mengalami pembelajaran ulang ini. Bila hal ini tidak dipenuhi maka hasilnya bisa sangat kontraproduktif.

Bila proses pembelajaran ini berhasil dilakukan dengan baik maka klien tidak hanya berhasil sembuh dari masalahnya, klien juga akan belajar banyak hal mengenai hidup, kehidupan, keterbatasan orangtua, kekuatan dan kelemahan orangtua, ketergantungan anak terhadap orangtuanya, bagaimana seharusnya orangtua mencintai anaknya, pentingnya memaafkan, membangun keluarga yang baik, sikap dan perilaku anak terhadap orangtua dan orangtua terhadap anak, bersyukur telah mengalami kejadian yang begitu pahit, berterima kasih kepada Tuhan untuk semua yang telah ia alami, dan malah semakin cinta kepada kedua orangtuanya, dan masih banyak lagi.

Pemahaman dan kebijaksanaan yang diperoleh melalui pembelajaran ulang secara pikiran bawah sadar inilah yang akhirnya mampu klien mengalami peningkatan dan ekspansi kesadaran dengan sangat cepat. Dengan level kesadaran baru klien akan menjalani hidupnya dengan cara yang berbeda.

Beberapa waktu lalu saya sempat bertemu dengan Ibu Rini dan sungguh luar biasa perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Dari caranya berbicara, bahasa tubuh, tatapan mata, dan juga rona wajahnya saya bisa menangkap keyakinan dirinya yang sangat tinggi, perasaan bahwa ia adalah makhluk Tuhan yang sangat berharga dan berhak serta layak untuk mencapai sukses di bidang apa saja. Ia menggunakan pemahaman yang diperoleh melalui proses terapi sebagai landasan untuk melakukan karya nyata kehidupannya yang akan mampu mengubah hidup sangat banyak orang.

Ini juga salah satu alasan mengapa, untuk kasus yang berat, saya tidak menggunakan teknik yang hanya bertujuan mengeliminir emosi yang melekat pada suatu memori. Walaupun klien bisa disembuhkan dengan teknik ini namun klien tidak akan mendapat hikmah dari kejadian yang dulu ia alami.

Baca Selengkapnya

Tentang Teknik Terapi (2)

21 Juli 2010

Di artikel sebelumnya saya telah menjelaskan kriteria yang saya gunakan untuk menentukan suatu teknik itu efektif dan akan saya ajarkan di kelas Quantum Hypnosis Indonesia. Membaca penjelasan ini, seorang rekan kembali bertanya, “Pak Adi, mengapa penjelasan Bapak mengenai teknik , dasar  teori, dan pendekatan terapi berbeda dengan yang saya baca di buku-buku, internet, dan juga berbeda dengan pendapat beberapa pakar hipnosis/hipnoterapi? Bahkan kalau saya bandingkan, pendapat dan pemikiran Bapak terkesan keluar dari pakem yang umum digunakan.”

Pembaca, dulu saat saya pertama kali belajar teknologi pikiran, lebih spesifik lagi hipnosis dan hipnoterapi saya menggunakan acuan materi yang saya dapatkan dari trainer saya untuk membangun pemahaman saya mengenai hipnosis/hipnoterapi. Selain belajar kepada seorang pakar hipnosis/hipnoterapi terkemuka di Indonesia saya juga sempat belajar kepada Marleen Moulder saat ia mengadakan pelatihan di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, beberapa tahun lalu.

Setelah mengerti basicnya, saya melanjutkan pembelajaran saya dengan membaca lebih banyak buku, menonton DVD, mendengarkan program audio tentang pikiran, melakukan surfing internet, menjadi member pada situs pakar tertentu, tentunya ini nggak murah bayarnya, dan juga belajar langsung ke para pakar hipnoterapi dan mind technology terbaik di Amerika. Semakin saya banyak baca dan belajar semakin saya bingung.

Lho, kok bingung?

Bagaimana nggak bingung karena ternyata pendapat para pakar itu sama tapi berbeda. Mereka menjelaskan menurut pemahaman mereka sendiri. Apa yang benar menurut pakar yang satu ternyata belum tentu benar menurut pakar lainnya. Demikian sebaliknya.

Saya membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menemukan benang merah dari apa yang saya pelajari. Semuanya semakin jelas setelah saya banyak melakukan terapi. Ternyata dasar teori yang kita gunakan sebagai dasar melakukan terapi sangat menentukan hasil terapi kita. 

Pemahaman saya tentunya berbeda dengan orang lain. Setiap teknik atau pendekatan terapi yang dilakukan tentunya punya konsekuensi hasil yang spesifik. Ada banyak jalan menuju Roma. Tinggal kita menetapkan mau menggunakan jalan yang mana yang dirasa paling pas untuk diri kita.

Saya mengembangkan Quantum Hypnotherapeutic Procedure (QHP) sebagai acuan alur terapi yang diajarkan di Quantum Hypnosis Indonesia (QHI). Semua alumni QHI menggunakan QHP sebagai landasan untuk melakukan terapi.

Dasar teori yang digunakan sebagai landasan pijak teknik terapi dalam QHP juga selalu saya update seiring dengan pemahaman dan pengalaman saya dan juga diperkaya dengan berbagai sharing kasus klinis yang ditangani para alumni QHI.
 
Ini saya beri contoh ya. Dulu waktu pertama kali belajar hipnosis saya menggunakan Stanford Hypnotic Susceptibility Scale (SHSS) yang diciptakan oleh Ernest Hilgard sebagai acuan untuk mengenal tipe subjek. SHSS menyatakan bahwa klien terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, 10% yang mudah dihipnosis. Kedua, 85% yang moderat. Sedangkan sisanya, sebesar 5% masuk kategori yang sulit atau tidak bisa dihipnosis.

Berdasar SHSS, saat itu, jika saya bertemu dengan klien yang sulit masuk kondisi trance maka saya akan menyimpulkan, “Oh, saya lagi apes karena bertemu klien yang masuk kategori 5%.” Dengan mindset seperti ini maka setiap kali saya tidak bisa menghipnosis klien maka yang salah adalah si klien. Salahnya sendiri kok masuk kategori yang 5%?”  Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah saya yang tidak mampu, bukan klien yang tidak bisa trance.

Pembelajaran saya selanjutnya mengenai tipe sugestibilitas memberikan pemahaman baru bahwa sebenarnya ada dua tipe sugestibilitas yaitu yang bersifat fisik (physical suggestibility) dan yang bersifat emosi (emotional suggestibility). Dari ratusan buku tentang terapi, pikiran, hipnosis atau hipnoterapi, hanya satu buku yang bicara tentang hal ini. Ini adalah hasil riset mendalam dari seorang pakar yang sangat terkenal di Amerika. 

Orang tipe physical suggestible ini sangat mudah dihipnosis. Sedangkan yang emotional suggestible lebih sulit karena lebih menggunakan perasaan dan analitikal. Dengan pemahaman ini maka tingkat keberhasilan saya menginduksi subjek atau klien meningkat sangat tinggi.

Selanjutnya, dengan mempelajari berbagai riset terkini, ditunjang dengan pengalaman praktik dan semakin bertambahnya jam terbang, mengajarkan saya satu hal penting. Ternyata semua orang bisa masuk kondisi hipnosis dengan sangat mudah dan cepat asalkan tahu caranya.

Saat ini, jika hendak menghipnosis seseorang, saya tidak perlu tahu tipe sugestibilitasnya. Saya sudah tidak lagi menggunakan pendekatan ini. Yang saya lakukan adalah menyiapkan pikiran klien. Selanjutnya, dengan sangat mudah saya bisa membawa klien, tipe apa saja, masuk ke kondisi hipnosis yang sangat dalam, profound somnambulism.

Pemahaman saya mengenai cara kerja pikiran, dinamika dan proses terapi, hubungan gelombang otak dan kesadaran, serta berbagai teknik terapi semakin dipertajam dengan update pengetahuan yang saya dapatkan dari Anna Wise dan Tom Silver.

Update ini juga yang kini saya ajarkan di kelas 100 jam QHI (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy).  Dengan pemahaman ini murid saya tidak perlu bingung mempelajari berbagai teknik induksi yang sangat beragam. Mereka mampu dengan sangat mudah membawa siapa saja masuk kondisi deep trance. Dengan demikian mereka hanya perlu konsentrasi mendalami berbagai teknik terapi yang saya ajarkan. Ini sudah tentu sangat membantu peningkatan kecakapan terapi mereka.
 
Selama belajar di QHI para peserta pelatihan hanya belajar 3 (tiga) teknik induksi yang telah saya pilih secara sangat hati-hati dan telah saya modifikasi. Semua alumni QHI menggunakan salah satu dari tiga teknik induksi ini, bergantung situasi dan kondisi klien,  saat melakukan terapi dan hasilnya sangat luar biasa. Bahkan ada peserta yang baru belajar selama 3 hari telah mampu membawa 10 orang subjek masuk ke profound somnambulism dengan begitu mudah.

Untuk sampai pada tiga teknik ini saya membutuhkan waktu hampir 3 tahun setelah melakukan berbagai kesalahan dan kegagalam dalam induksi. Sebelumnya saya telah mencoba sangat banyak teknik induksi. Pengalaman mengajarkan saya bahwa ada banyak teknik induksi yang sebenarnya tidak perlu dipelajari karena tidak digunakan dalam proses terapi.

Pemahaman saya lainnya yang terkesan agak berbeda adalah tentang sugesti. Saya sangat tidak menganjurkan murid saya melakukan terapi hanya dengan mengandalkan sugesti. Saya sampai pada kesimpulan ini setelah melakukan riset literatur dan diperkuat dengan hasil praktik saya sendiri. Saya hanya akan menggunakan sugesti sebagai finishing touch, bukan sebagai teknik utama.

Untuk memperdalam pemahaman saya mengenai sugesti baru-baru ini saya mempelajari hasil riset yang dilakukan oleh seorang pakar yang telah mengujicobakan sugesti pada 8.000 (delapan ribu) subjek hipnosis di The Pathological Institute of The New York State Hospitals. Informasi yang saya dapatkan tentunya semakin mempertajam pemahaman saya tentang cara kerja sugesti, apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan dengan sugesti, jenis atau tipe hasil sugesti, dan masih banyak lagi hal lain yang sangat bermanfaat. 

Mengapa jika hanya menggunakan sugesti biasanya kurang efektif?

Menurut pemahaman dan pengalaman saya sugesti hanya akan bekerja maksimal dengan beberapa syarat. Pertama, otoritas terapis dalam pandangan pikiran bawah sadar klien haruslah sangat tinggi. Tanpa level otoritas yang tinggi maka sugesti tidak punya power yang optimal karena sulit menembus critical factor pikiran sadar.
 
Bisa saja seorang klien, secara pikiran sadar, merasa bahwa terapisnya adalah orang yang mumpuni. Namun secara pikiran bawah sadar tidak demikian. Ada banyak faktor yang menentukan level otoritas seorang terapis di mata klien.

Kedua, kesiapan dan kesediaan klien untuk berubah. Jika keinginan berubah tidak terlalu kuat maka sudah pasti teknik apapun yang digunakan, termasuk dengan menggunakan sugesti, tidak bisa bekerja optimal. Ini yang biasa disebut dengan “You are not ready for change until you are ready for change”.

Ketiga, level kedalaman trance. Umumnya sugesti diberikan dalam kondisi light trance atau maksimal di level medium trance. Sugesti yang diberikan pada kondisi ini tidak akan bisa bekerja maximal. Agar sugesti bekerja maksimal maka dibutuhkan kedalaman profound somnambulism.

Keempat,  adanya penolakan dari Ego State tertentu. Baru-baru ini di Quantum Life Transformation workshop saya memberikan sugesti kepada seorang peserta. Hasilnya? Sugesti saya tidak bekerja. Kalaupun bekerja, pengaruhnya hanya sangat sebentar. Sudah saya coba beberapa kali hasilnya tetap sama. Saya bahkan sengaja mengulang sugesti beberapa kali dengan tujuan meningkatkan powernya namun tetap saja tidak efektif. Saya lalu menetralisir resistensi Ego State ini dan selanjutnya semuanya jadi sangat mudah. Sugesti apapun yang saya berikan langsung bekerja dengan optimal. Bahkan untuk membawa subjek mengalami negative visual hallucination saya hanya butuh waktu tidak lebih dari 2 menit.

Kelima, semantik yang digunakan untuk menyusun sugesti tidak pas dengan kebutuhan dan kondisi subjek. Sugesti akan semakin sulit bekerja, jika tidak mau dikatakan sama sekali tidak bias bekerja, bila tidak bisa menembus 4 filter mental yang ada di pikiran bawah sadar.

Pemahaman ini juga yang mendasari pendapat saya yang mengatakan bahwa teknik terapi berbasis sugesti yang digabungkan dengan kinesiologi yang diciptakan oleh seorang pakar di Amerika tidak efektif, walaupun di situsnya ia mengatakan tekniknya sangat dahsyat bahkan lebih efektif daripada EFT.

Nah pembaca, inilah beberapa alasan yang membuat saya menolak peserta yang hanya ingin mengikuti kelas advanced QHI. Untuk bisa melakukan QHP peserta perlu menguasai tidak hanya dasar teori namun juga pemahaman dan alasan mengapa saya akhirnya sampai pada teknik yang diajarkan di QHI.

Kemarin, saat berdiskusi dengan seorang rekan di rumah saya, ia mengajukan pertanyaan menarik, “Pak Adi, bagaimana Bapak tahu teknik terapi yang anda kembangkan sudah benar, sesuai jalur terapi yang seharusnya?”

“Mudah sekali. Yang dilihat adalah hasil terapinya. Jika apa yang saya lakukan tidak ada hasilnya maka saya perlu jujur dan berbesar hati mengakui dan menerima bahwa apa yang saya kembangkan ternyata tidak efektif” jawab saya.

Saya memeriksa efektivitas teknik terapi, lebih spesifik lagi Quantum Hypnotherapeutic Proedure, dengan meminta masukan dan saran dari alumni saya. Dari laporan mereka saya tahu apakah saya telah on-track atau masih perlu melakukan berbagai perbaikan.

Baca Selengkapnya

When The Cup Is Full, It is Full

21 Juli 2010

Saya menulis artikel ini sebagai jawaban atas permintaan dan pertanyaan calon peserta pelatihan, Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy. Calon peserta ini, sebut saja Pak Budi, mengaku telah belajar ke banyak lembaga hipnoterapi, membaca banyak buku, serta juga aktif sebagai hipnoterapis.

Saat saya tanyakan apa yang ia ingin pelajari dari saya, jawabnya, “Saya mau belajar hanya materi advanced QHI.”

“Maksud, Bapak?” tanya saya.

“Begini Pak Adi, saya kan sudah pernah mengikuti pelatihan di lembaga X, lembaga Y, dengan trainer ini, trainer itu (Pak Budi menyebut beberapa nama lembaga dan trainer hipnosis dan hipnoterapi). Jadi saya sudah tahu banyak mengenai hipnosis dan hipnoterapi. Saya hanya mau belajar teknik advanced QHI. Kan, seperti yang Bapak jelaskan, teknik advanced QHI baru diajarkan di minggu kedua. Jadi saya ikut yang minggu kedua dan ketiga saja” jawabnya lancar dan tegas.

“Pak, kalau mau belajar di QHI maka Bapak perlu mengikuti materi mulai dari hari pertama, penjelasan teori selama 3 hari, baru setelah itu ke materi advanced di minggu kedua dan ketiga” jawab saya.

“Maaf  Pak, bukannya saya meremehkan materi QHI. Seperti yang telah saya jelaskan tadi, saya kan sudah ikut banyak pelatihan. Saya juga sudah banyak baca buku hipnosis dan hipnoterapi. Selain itu saya juga seorang hipnoterapis aktif. Jadi, yang saya butuhkan hanya materi advanced, bukan yang basic” jawabnya lagi.

Pembaca, setelah berdiskusi beberapa saat saya tahu bahwa saya tidak bisa mengajarkan materi QHI kepada Pak Budi. His cup is full. Gelasnya sudah penuh. Lha, kalau sudah penuh bagaimana mungkin saya bisa mengisinya?

Materi QHI didesain sedemikian rupa sehingga alumnus nantinya mampu melakukan hipnoterapi dengan benar, efektif, efisien, dan dengan hasil terapi yang permanen. Inti materi QHI adalah Quantum Hypnotherapeutic Procedure (QHP). Namun untuk bisa benar-benar mampu melakukan QHP seperti yang saya lakukan, untuk bisa mencapai hasil terapi seperti yang saya capai di ruang praktik saya, maka dibutuhkan pemahaman mendalam mengenai cara kerja pikiran, dinamika dan proses terapi, pemahaman cara kerja teknik secara mendalam, dan masih banyak hal lain lagi.

Saya mengajarkan teori yang melandasi QHP di tiga hari pertama. Bila ada peserta yang tidak hadir satu hari saja, dari tiga hari pertama ini, maka saya akan meminta peserta ini mundur. Mengapa? Kalau tidak mengerti dasar teorinya lalu bagaimana mau belajar yang lebih advanced?

Setelah tiga hari pertama, di sesi selanjutnya, peserta masih terus mendapatkan tambahan dasar teori dan berbagai update pengetahuan terkini.

Setiap tahap pelatihan diikuti dengan tugas praktik yang disusun secara sangat sistematis dan hati-hati agar peserta pasti mampu melakukannya dengan berhasil. Sesederhana apapun praktik yang diminta untuk dilakukan, peserta pelatihan harus melakukannya. Ini bertujuan sebagai batu fondasi pemahaman untuk teknik yang lebih advanced. Bila tahap ini tidak dilakukan dengan benar maka saya jamin peserta pasti akan mengalami kesulitan saat belajar teknik advanced.

Penasaran dengan “luasnya” pengetahuan Pak Budi yang tetap bersikeras hanya mau ikut materi advanced saya akhirnya mengajukan pertanyaan, “Sebagai sesama hipnoterapis aktif, kalau berkenan, boleh tahu dalam satu minggu Bapak menerapi berapa orang klien?”

“Ya, kalau sempat saya terima satu hari satu klien” jawabnya.

“Rata-rata dalam satu minggu berapa klien, Pak?” tanya saya lagi.

“Ya, kadang dua, kadang tiga. Nggak mesti lah. Kalau Pak Adi, dalam satu hari terima berapa klien?” Pak Budi balik bertanya.

“Rata-rata saya terima dua klien. Bahkan pernah tiga orang dalam sehari” jawab saya.

“Pak, kalau boleh share, apakah Bapak pernah menerapi klien yang moditas utamanya visual, dan saat Bapak minta klien membayangkan sesuatu, gambarnya nggak bisa keluar?”  tanya saya lagi.

“Pernah. Beberapa kali saya mengalaminya” jawab Pak Budi.

“Dari pengalaman Bapak apa yang menyebabkan hal ini terjadi?”

“Oh, ini karena klien kurang deep.”

“Apa yang Bapak lakukan agar gambar atau imajinasi klien bisa muncul?”

“Saya lakukan deepening lagi.”

“Hasilnya?”

“Nggak tahu kenapa tapi tetap nggak bisa muncul gambarnya. Padahal saya yakin klien sebenarnya sudah sangat deep. Kayaknya klien nggak siap diterapi. Ada resistensi. Orangnya visual tapi gambarnya nggak bisa muncul.”

Dari jawaban Pak Budi saya tahu bahwa sebenarnya ada pemahaman yang kurang pas mengenai hubungan antara level kedalaman trance dan kemampuan memunculkan gambar mental atau imajinasi.

“Karena gambarnya tetap nggak bisa muncul, dan klien sudah sangat deep, apa yang Bapak lakukan?” kejar saya.

“Saya kasih sugesti saja. Dan saya terminate. Lha, bagaimana mau terapi, gambarnya nggak bisa muncul” jawabnya.

Pembaca, hal-hal yang tampak sangat sepele ini sebenarnya adalah hal yang sangat penting dalam proses terapi. Bagaimana mungkin Pak Budi bisa melakukan teknik advanced dalam QHP secara benar bila dasar teorinya saja dia kurang atau tidak menguasai.

“Kalau menurut Pak Adi, apa yang menyebabkan orang visual tidak bisa membayangkan sesuatu dalam kondisi trance?” tanya Pak Budi.

Saya hanya tertawa saja mendengar pertanyaan ini dan menjawab, “Nah, Pak, inilah yang saya ajarkan di tiga hari pertama QHI. Filosofi terapi yang saya kembangkan tentunya tidak sama dengan rekan-rekan trainer lain. Untuk bisa memahami apa yang saya lakukan Bapak perlu memahami dasar teori dan alur berpikir saya saat menciptakan QHP. Dengan pemahaman ini barulah Bapak bisa melakukan hipnoterapi versi QHI secara benar. Itulah sebabnya saya tetap meminta Bapak mengikuti kelas QHI secara penuh. Saya mengajarkan dasar teori mengapa gambar mental orang visual nggak bisa muncul dan bagaimana cara mengatasi hal ini. Juga bagaimana membuat orang yang auditori dan kinestetik bisa dengan mudah melakukan visualisasi. Kalau Bapak mencopot sedikit dari trainer ini, sedikit dari trainer satunya, tanpa dilandasi satu alur terapi utama maka Bapak pasti akan bingung.”

Walaupun telah mendapat penjelasan panjang lebar dari saya, Pak Budi tetap hanya ingin ikut kelas advanced QHI. Ya, sudah, saya nggak bisa apa-apa. Tentu saja saya tidak bisa mengabulkan permintaannya. His cup is full. When the cup is full, it is full.

Baca Selengkapnya

Tentang Teknik Terapi

21 Juli 2010

Beberapa waktu lalu di milis Money Magnet ada pembahasan menarik mengenai teknik terapi berbasis sugesti dan kinesiologi. Dalam pembahasan itu saya menjelaskan mengenai asal mula teknik tersebut, siapa yang menciptakannya pertama kali di Amerika dan bagaimana saya berkenalan dan akhirnya mempelajari serta mempraktikkan teknik itu. Saya juga menjelaskan, setelah mempraktikkannya beberapa kali, saya memutuskan untuk tidak mengajarkan teknik ini di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy yang saya selenggarakan.  

Ternyata ada member milis yang bertanya kepada saya melalui japri alasan yang lebih mendalam mengapa saya memutuskan untuk tidak mengajarkan teknik itu. Ia juga dengan kritis bertanya, “Pak, apa kriteria yang Bapak gunakan dalam menentukan teknik terapi yang mana yang diajarkan di kelas QHI?”

Wah, ini pertanyaan kritis sekali. Selama ini memang belum pernah ada yang bertanya kepada saya mengenai hal ini. Sudah tentu saya memberikan penjelasan yang gamblang. Oh ya, alasan saya tidak mengajarkan teknik yang saya bahas di milis karena ternyata tidak efektif. Nah, berikut ini jawaban saya kepada member milis itu.

Saya memang belajar banyak teknik terapi. Semua ini saya lakukan karena saya ingin bisa membantu klien dengan cepat, tepat, efektif, efisien, dan permanen. Pencarian berbagai teknik terapi efektif, khususnya dalam konteks hipnoterapi, membuat saya akhirnya harus membeli sangat banyak literatur, jurnal psikologi, jurnal hipnoterapi, DVD, CD audio, dan bahkan membayar untuk menjadi anggota dari situs terapis atau pakar terkenal dunia. Belum lagi waktu yang dihabiskan untuk menjelajahi dunia maya.

Jujur, ada cukup banyak teknik yang setelah saya pelajari, saya praktikkan dengan sungguh-sungguh, ternyata tidak seefektif seperti yang dijanjikan. Sudah tentu teknik ini tidak bisa saya gunakan dan ajarkan. Ada teknik yang sudah rumit tapi sama sekali nggak efektif. Ada juga teknik yang sangat efektif namun cukup rumit.

Nah, apa sih kriteria yang saya gunakan?

Ada lima syarat yang saya gunakan untuk menentukan apakah suatu teknik terapi bisa saya gunakan untuk menerapi klien dan saya ajarkan di kelas QHI.

Pertama, teknik terapi harus punya dasar teori yang kuat dan ilmiah. Bila teknik ini tidak bisa dijelaskan secara gamblang cara kerjanya maka saya pasti tidak akan mau menggunakannya. Penjelasan yang ilmiah mutlak dibutuhan untuk bisa memuaskan pikiran sadar atau otak kiri kita. Lha, bagaimana kita meyakini efektivitas suatu teknik jika kita tidak tahu cara kerjanya.

Saya punya pengalaman pribadi mengenai hal ini. Beberapa waktu lalu saya membeli satu DVD yang dibuat oleh seorang pakar di Amerika. Saya mempelajari dengan saksama uraian dan cara ia mempraktikkan teknik terapi itu. Merasa telah mengerti dengan baik, saya mencobakannya ke klien saya dengan penuh percaya diri.
Hasilnya?  Tidak seperti yang ia tunjukkan di DVD. Lho, kok?

Saya pikir pasti ada yang kelupaan sehingga hasilnya tidak seperti yang di DVD. Saya tonton ulang dengan lebih saksama, saya catat secara detil langkah-langkahnya, dan saya praktikkan lagi. Hasilnya? Tetap tidak maksimal.
Apa yang terjadi? Ternyata di DVD pakar ini tidak menjelaskan secara detil dasar teorinya. Jadi, saya hanya meniru apa yang ia lakukan tanpa sungguh-sungguh mengerti apa pengetahuan yang mendasari cara kerja teknik ini.
Baru setelah saya ke Amerika, bertemu dan belajar langsung kepada pakar ini, setelah mendengar secara detil, lengkap, dan dibimbing melakukan teknik ini, saya mampu melakukannya dengan benar dan mencapai hasil seperti yang ia tunjukkan di DVD.

Satu kelemahan saya selama ini adalah untuk bisa mempraktikkan suatu teknik maka saya harus tahu benar siapa yang menciptakan teknik ini, apa dasar teorinya, termasuk sejarah teknik ini. Untuk itu saya pasti akan mencari buku sumber, buku yang pertama kali menceritakan teknik ini. Bahkan demi memuaskan rasa ingin tahu saya terhadap teknik induksi tertentu saya sampai mencari dan akhirnya membeli buku yang ditulis di tahun 1895.

Hal ini saya anggap sangat penting karena bila saya tidak yakin 100% terhadap teknik ini maka saat mengajarkannya, suka atau tidak, ketidakyakinan saya akan tertangkap baik melalui semantik yang saya gunakan, bahasa tubuh, dan terutama sinyal dari pikiran bawah sadar saya yang sudah pasti diterima oleh pikiran bawah sadar peserta pelatihan. Jika ini terjadi maka teknik ini pasti tidak akan efektif karena diterapkan dengan perasaan tidak yakin.

Syarat kedua yaitu teknik itu harus sederhana, tidak rumit. Jika suatu teknik ternyata cukup rumit maka saya tidak akan mau menggunakannya. Teknik yang baik , dalam pandangan saya, haruslah sederhana dan mudah dipraktikkan oleh siapa saja karena protokol yang digunakan tidak terlalu panjang dan membingungkan.

Syarat ketiga yaitu teknik itu harus punya rekam jejak (track record) yang baik. Dengan kata lain telah terbukti berhasil mengatasi masalah. Saya biasanya melakukan riset literatur dan menggunakan search engine untuk menelusuri tulisan atau pendapat para pakar mengenai teknik itu. Jika yang saya dapatkan adalah komentar positif lengkap dengan testimoninya maka saya akan menggunakan teknik ini, mempraktikkannya ke klien, dan melihat hasil yang dicapai.

Syarat keempat adalah mudah diduplikasi dan diaplikasikan di mana saja dan kapan saja. Mudah diaplikasikan berarti tidak perlu kondisi atau syarat yang sangat khusus untuk mempraktikkannya. Semakin mudah diaplikasikan maka semakin bagus.

Duplikasi berarti teknik ini bisa dilakukan oleh siapa saja dengan cara yang mudah dan dengan hasil maksimal seperti bila dipraktikkan oleh trainernya. Jika saya mengajarkan suatu teknik namun mayoritas alumni tidak menggunakannya berarti teknik ini tidak dapat diduplikasikan dengan baik. Dalam hal ini saya tidak boleh memaksakan diri untuk terus mengajarkan teknik ini. Saya perlu terbuka menerima masukan dan saran. Lha, kalau ternyata tekniknya ribet, nggak efektif, dan tidak banyak alumni yang mau menggunakannya lalu buat apa saya paksakan untuk diajarkan?

Dari mana saya tahu teknik yang sering digunakan oleh alumni? Ya, dari sharing atau laporan yang mereka sampaikan. Di QHI, lebih tepatnya di milis QHI, kami sering berbagi pengalaman dan pengetahuan. Dari apa yang ditulis saya bisa dengan pasti mengetahui teknik apa yang digunakan oleh alumni dalam menangani kasus tertentu.

Syarat kelimat yaitu tekniknya bersifat terbuka. Artinya masih bisa dikembangkan lebih jauh atau digabungkan dengan teknik lain. Ada teknik yang menurut penemunya harus dilakukan persis seperti yang diajarkan. Bila tidak maka tidak akan efektif. Teknik ini saya sebut dengan teknik yang bersifat tertutup. Saya kurang sreg dengan teknik jenis ini. Yang saya sukai adalah teknik yang bisa kita kembangkan lebih lanjut dengan pemahaman dan pengalaman ataupun informasi terkini. Dengan demikian fine tuning yang dilakukan pada teknik ini akan semakin meningkatkan hasil dan daya gunanya.

Baca Selengkapnya

Rahasia Meningkatkan Daya dan Hasil Guna Hipnoterapi

21 Juli 2010

Seorang calon klien menghubungi saya melalui email dan meminta jadwal bertemu untuk terapi. Seperti biasa sebelum saya memberikan jadwal bertemu saya mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengenal klien lebih dekat dan mengetahui apa yang menjadi masalahnya.

Satu hal menarik yang saya dapatkan dari korespondensi kami yaitu klien ternyata meminta saya menggunakan teknik tertentu untuk mengatasi masalahnya. Rupanya klien ini pernah belajar hipnosis/hipnoterapi dan pernah diterapi oleh seorang rekan hipnoterapis.

Saya dengan tegas menolak permintaan klien ini walaupun klien bersikeras bahwa ia yakin bila ia diterapi dengan teknik yang ia sebutkan, yang ia tahu saya kuasai dengan sangat baik, masalahnya pasti bisa teratasi.
Di kesempatan lain ada klien yang meminta saya memberikan garansi bahwa selesai terapi si klien pasti sembuh. Wah… ini juga saya tolak dengan tegas. Terapi adalah kontrak upaya bukan kontrak hasil.

Benar, hipnoterapi adalah salah satu teknik terapi yang sangat powerful, namun bukan pil ajaib yang sekali ditelan pasti bisa langsung mengatasi semua masalah. Benar, hipnoterapi sangat efektif, namun tetap ada dua komponen sangat penting yang menentukan hasil terapi.

Komponen pertama adalah diri klien. Apa saja yang perlu ada dalam diri klien agar bisa mendapatkan manfaat maksimal dari sesi hipnoterapinya?

Hal paling penting adalah klien harus bersedia menjalani terapi secara sadar dan atas kemauannya sendiri. Seringkali klien datang ke terapis bukan atas kemauannya sendiri namun lebih karena kemauan, saran, dorongan, atau bahkan paksaan dari pasangan, orangtua, atau rekannya. Intinya, yang mau klien sembuh itu bukan diri klien sendiri tapi orang di sekitarnya. Jika begini kondisinya maka dijamin klien tidak akan bisa sembuh.

Untuk bisa bersedia secara sadar menjalani sesi terapi maka klien perlu: a) menyadari bahwa ia punya masalah, b) mengakui bahwa ia punya masalah, c) menerima bahwa ia punya masalah, dan d) bersedia mencari solusi untuk masalahnya.
Bila klien telah sampai pada tahap bersedia mencari solusi untuk masalahnya maka ia dikatakan telah siap untuk berubah (ready for change). Dalam dunia terapi ada satu paradoks yang berbunyi, “You are not ready for change until you are ready for change”, atau “Anda tidak siap berubah sampai anda siap untuk berubah.”

Lalu, apa yang membuat seseorang siap untuk berubah? Apa yang membuat seseorang akhirnya memutuskan untuk berubah?

Untuk mencapai kondisi ready for change biasanya orang akan melewati salah satu dari tiga kondisi ini. Pertama, klien telah benar-benar menderita, baik secara fisik, mental, maupun emosi sebagai akibat dari masalahnya. Penderitaan ini sedemikian intensnya sehingga membuat klien tidak tahan dan termotivasi untuk segera mengakhiri penderitaan ini. 

Kedua, kondisi ready for change dicapai saat klien merasa bosan dengan keadaannya. Istilah teknisnya psychic boredom. Klien benar-benar telah bosan dan ingin berubah. Kondisi ini biasa diungkapkan dalam kalimat, “I’ve been sick and tired of being sick and tired”.

Ketiga, kondisi ready for change dicapai saat klien menyadari bahwa ada kesempatan atau peluang untuk berubah, ada orang atau cara yang bisa membantu dirinya berubah. Kesadaran ini bisa muncul karena klien mendapat pencerahan yang berasal dari buku, seminar, rekan, televisi, atau dari sumber lainnya. Intinya adalah klien tiba-tiba sadar bahwa perubahan itu mungkin dan bisa dilakukan.

Saat klien telah siap untuk berubah maka langkah selanjutnya adalah klien perlu secara jelas menetapkan apa yang ingin ia atasi. Jika klien tidak jelas aspek apa yang ingin diselesaikan melalui sesi hipnoterapi maka terapi tidak bisa dilakukan. Kalaupun tetap dilakukan biasanya respon dari pikiran bawah sadar tidak maksimal dan terapi tidak akan efektif.

Katakanlah klien telah siap berubah, datang ke terapis atas kemauan dan kesadarannya sendiri, jelas aspek mana yang mau dibereskan, lalu apa lagi yang perlu dilakukan klien?

Saat bertemu terapis maka klien perlu percaya pada terapisnya. Klien tidak boleh punya persepsi yang salah tentang proses hipnosis dan hipnoterapi, apalagi merasa takut. Persepsi yang kurang tepat yang mengakibatkan timbulnya rasa takut biasanya dialami klien yang telah “belajar” tentang hipnosis/hipnoterapi melalui pertunjukkan di televisi atau dari media masa.

Salah satu persepsi yang salah yaitu bila seseorang dalam kondisi hipnosis maka ia tidak akan sadar akan keadaan sekelilingnya, seperti yang ia saksikan di televisi, dan operator (terapis) bisa memberikan perintah sesuka hati si terapis.
Persepsi yang juga kurang tepat adalah saat klien berharap hanya dalam satu sesi hipnoterapi semua masalah mereka selesai. Memang ada kasus yang bisa langsung diselesaikan dalam satu sesi namun idealnya klien perlu menyiapkan diri untuk menjalani antara 1 sampai 4 sesi terapi. Ini adalah jumlah sesi yang umum. Namun ada juga kasus yang membutuhkan lebih dari 4 sesi terapi.

Saat menjalani sesi terapi, kerjasama klien sangat penting. Terapi adalah proses yang melibatkan dua pihak, klien dan terapis. Terapis hanya membantu memfasilitasi proses. Klienlah yang sebenarnya melakukan terapi terhadap dirinya sendiri.
Bentuk kerjasama dari pihak klien yaitu klien bersedia menjalankan saran, masukan, atau instruksi yang disampaikan terapis. Bila klien tidak bersedia maka terapis tidak akan bisa melakukan terapi. Jadi, kendali sepenuhnya ada pada diri klien, bukan pada terapisnya.

Nah, setelah saya menjelaskan mengenai faktor klien, sekarang akan saya jelaskan faktor pada terapis yang sangat menentukan proses dan hasil terapi.

Syarat utama seorang hipnoterapis adalah ia harus memiliki compassion (welas asih), passion (hasrat tulus untuk membantu), love (cinta), dan integritas. Setelah syarat ini terpenuhi barulah kita bicara aspek teknis.

Seorang hipnoterapis harus, saya ulangi, harus menjalani pendidikan dan pelatihan yang mengacu pada standar yang tinggi. Pendidikan menjadi hipnoterapis adalah hal yang serius dan tidak bisa dilakukan asal-asalan. Jika untuk menjadi seorang dokter, psikiater, konselor, atau psikolog dibutuhkan pendidikan dengan standar yang tinggi maka standar yang sama juga berlaku untuk menjadi hipnoterapis.

Pemahaman saya mengenai hipnoterapi, dan ini tentunya bisa berbeda dengan pemahaman orang lain, mensyaratkan pendidikan dan pelatihan hipnoterapi harus minimal 100 jam tatap muka di kelas agar benar-benar mampu memahami dasar teori pikiran, dasar teori dari berbagai teknik intervensi, dan aplikasinya dalam konteks klinis. Ini di luar waktu yang dibutuhkan untuk membaca berbagai literatur dan menonton berbagai DVD atau video yang menjelaskan tentang hipnoterapi.
Pelatihan yang baik, menurut hemat saya, adalah pelatihan yang tidak hanya sekedar mengajarkan teknik terapi namun lebih menitikberatkan pengembangan kemampuan analisa dan kemampuan berpikir.

Kemampuan analisa dan berpikir ini sangat dibutuhkan karena setiap terapi adalah proses yang unik. Teknik yang sama belum tentu bisa digunakan untuk kasus yang sama karena dinamika yang berbeda. Kemampuan analisa dan berpikir hanya bisa dimiliki seorang hipnoterapis bila ia mempelajari dan memahami konsep dasar yang menjadi pedoman atau acuan perspektif guru atau trainer hipnoterapinya dalam melakukan terapi. Tanpa pemahaman ini akan sangat sulit, bila tidak mau dikatakan mustahil, bagi siapa saja yang belajar hipnoterapi untuk bisa menciptakan hasil terapi yang dramatis seperti yang bisa dilakukan oleh gurunya.

Pernyataan di atas sebenarnya adalah ungkapan maestro hipnoterapi Charles Tebbetts saat ia berkomentar mengenai guru hipnoterapinya, “..…it seems clear that only by learning the fundamental concepts that guides him,and adopting his underlying perspective, can we hope to create semiliar dramatic interventions with a majority of our clients.”

Secara umum syarat untuk menjadi seorang hipnoterapis andal adalah sebagai berikut:
• Konsep diri yang baik
• Kepercayaan diri yang tinggi
• Kemampuan komunikasi verbal dan nonverbal yang baik
• Kreativitas yang tinggi dalam berkomunikasi dan mampu menyesuaikan diri dengan level lawan bicara.
• Memahami cara kerja pikiran
• Memahami dasar teori serta mampu menerapkan berbagai teknik terapi sesuai kebutuhan
• Mengerti dan menguasai prosedur hipnoterapi
• Memegang teguh kode etik profesi

Banyak hipnoterapis pemula punya persepsi yang salah tentang proses hipnoterapi. Mereka berpikir bahwa terapi dilakukan saat klien bertemu terapis di ruang praktik. Ini pandangan yang salah dan sangat memengaruhi efektivitas terapi.
Terapi sebenarnya telah dimulai saat calon klien mulai mengetahui tentang terapis. Klien mengenal terapis bisa melalui buku atau artikel yang ditulis terapis ini, bisa melalui seminar atau workshop, internet/web, brosur, iklan, kartu nama, atau referensi dari rekannya.

Kesan pertama yang muncul di benak klien terhadap si terapis akan sangat menentukan proses dan hasil terapi. Untuk itu, bagi anda, hipnoterapis, sebaiknya anda benar-benar menjaga citra dan postur anda di depan klien. Hindari kesan klenik atau magic. Tampilkan kesan intelek dan ilmiah baik melalui tulisan, ucapan, kartu nama, maupun tampilan situs pribadi anda.

Kembali ke contoh kasus yang saya jelaskan di awal artikel ini. Alasan saya menolak permintaan klien untuk menerapi dirinya menggunakan teknik terapi yang ia minta adalah karena alasan postur dan yang lebih penting lagi klien tidak tahu apa-apa tentang hipnoterapi. 

Secara psikologis bila (calon) klien bisa “mendikte” terapis maka bawah sadar si terapis kalah pengaruh dan tidak punya postur. Ini yang membuat terapinya tidak efektif.

Dan benar, setelah saya menolak permintaan calon klien di atas dan tentunya dengan menjelaskan alasan di balik penolakan itu saya mendapat jawaban, “……memang benar apa kata Pak Adi. Jika Pak Adi melakukan apa yang saya minta justru akan menghambat proses terapi. Saya pernah diterapi dengan menggunakan teknik X oleh seorang terapis dan ia melakukan teknik ini sesuai permintaan saya. Hasilnya dari proses terapi ini tidak menghasilkan apa-apa dan kurang efektif.”

Faktor lain yang juga sangat penting diperhatikan adalah kedalaman rileksasi pikiran (trance) yang dicapai klien saat terapi dilakukan. Jika terapi dilakukan dalam kondisi light atau medium trance maka efeknya tidak bisa bertahan lama. Namun bila terapi dilakukan dalam kondisi deep trance atau profound somnambulism maka efeknya akan permanen.

Terapi yang telah berhasil dilakukan dengan sangat baik bukan jaminan bahwa masalah klien tidak bisa relapse atau kambuh. Dari pengalaman saya menangani klien ada beberapa faktor yang membuat seorang klien kambuh.

Pertama, terapi belum menyentuh ISE (Initial Sensitizing Event). Kedua, hasil terapi tidak dikunci pada posisi akhir sehingga efek permanency tidak berlaku. Ketiga, pikiran sadar klien menganulir hasil terapi, baik karena pemikirannya sendiri maupun mendapat pengaruh dari orang lain yang dipandang memiliki otoritas yang tinggi di mata klien.

Masa kritis yang sering luput dari perhatian terapis adalah justru saat terminasi terapi. Pada saat ini umumnya klien dibawa keluar dari kondisi deep trance dengan perlahan.  Prinsip yang selama ini dikenal di dunia hipnoterapi, dan ini juga yang dulunya saya yakini, namun sekarang sudah saya tinggalkan, kecepatan keluar dari trance sebanding dengan kedalaman trance yang dicapai klien. Jika trancenya sangat dalam maka klien membutuhkan waktu yang lama untuk dibawa keluar.
Pengalaman dan hasil pembelajaran saya mengajarkan satu hal yang sangat berharga yang akhirnya saya integrasikan ke dalam Quantum Hypnotheraputic Procedure yang saya ajarkan di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy 100 jam. Terminasi trance harus dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dengan kata lain klien harus bisa dibawa keluar dalam sekejap. Jika ada instant induction maka juga bisa dilakukan instant emerging.

Mengapa klien perlu dibawa keluar dengan cepat?

Jika dibawa keluar secara perlahan, saat klien sudah membuka mata, ia sebenarnya masih dalam kondisi hypersuggestible, suatu kondisi yang sangat sugestif dan kritis. Nah, jika klien meragukan atau berpikir negatif mengenai proses terapi maka dalam kondisi yang sangat sugestif ini pikiran sadarnya akan menganulir hasil terapi yang telah dicapai. Bila ia dibawa keluar dengan sangat cepat maka saat itu ia telah berada di kondisi gelombang otak dominan Beta. Dengan demikian tidak mudah baginya untuk mengotak-atik hasil terapi yang telah dilakukan.

Bila tidak tahu cara melakukannya dengan benar maka terminasi trance yang dilakukan dengan sangat cepat sangat beresiko. Klien bisa pusing dan mual. Jadi, pastikan anda tidak melakukan hal ini jika tidak benar-benar mengerti tekniknya.

Pembaca, setelah membaca sejauh ini saya yakin anda pasti sampai pada satu kesimpulan seperti yang dinyatakan oleh seorang pembaca buku saya, “…….apa yang diungkap Pak Adi mengenai proses terapi sangat berbeda dengan apa yang saya ketahui, baca, dan pelajari selama ini. Sekarang saya mengerti bahwa proses terapi tidak semudah seperti yang saya bayangkan sebelumnya.”

Baca Selengkapnya

Mengapa Freud Meninggalkan Hipnosis?

21 Juli 2010

Sigmund Freud (1856-1939) dulu pernah sangat berminat dan dengan sungguh-sungguh mempelajari hipnosis. Freud bahkan sampai menerjemahkan buku yang ditulis oleh Charcot dan Bernheim ke dalam bahasa Jerman. Minat Freud yang sangat tinggi mendorong ia untuk ke Paris mengunjungi Nancy School dan bertemu dengan Bernheim dan Liebault. Freud juga membawa seorang pasiennya untuk dihipnosis oleh Bernheim.

Freud dan kawannya Breuer menulis buku Studien Uber Hysterie di tahun 1895. Mereka menyatakan bahwa:

simtom histeria pada individu hilang seketika dan tidak bisa muncul lagi jika kami berhasil secara menyeluruh membangkitkan kembali memori-memori beserta emosi yang menjadi penyebab histeria, dan jika pasien mendiskusikannya secara detil dan memberikan ekspresi verbal terhadap perasaan atau emosinya. 

Freud dan Breuer menyimpulkan bahwa simtom muncul sebagai akibat dari represi memori yang berhubungan pengalaman yang sangat traumatik. Hal ini mengakibatkan terjadinya blocking energi. Freud menggunakan hipnosis dan sugesti untuk melakukan release terhadap blok energi dan berhasil menyembuhkan kliennya.

Freud, di tahap awal karirnya, menggunakan sugesti dan hipnosis sebagai teknik terapi utamanya sampai ia bertemu dengan satu pasiennya yang bernama Lucy R. yang tidak bisa masuk ke kondisi trance. Meskipun Freud menggunakan segala cara ia tetap tidak bisa menghipnosis pasiennya ini. Selanjutnya Freud mengembangkan teknik alternatif, free association, untuk menghasilkan therapeutic catharsis seperti yang biasa ia lakukan pada pasiennya dengan bantuan kondisi hipnosis (trance).

Dalam perjalanan waktu Freud akhirnya menolak menggunakan dan meninggalkan hipnosis dan mengembangkan psikoanalisa. Penolakan Freud sebenarnya lebih disebabkan oleh ketidakmampuannya melakukan induksi yang mampu membawa mayoritas pasiennya masuk ke kondisi trance. Freud berpendapat, karena sangat banyak pasiennya yang tidak bisa masuk trance, berarti hipnosis tidak efektif.

Ketidakmampuan Freud lebih disebabkan karena teknik induksi hipnosis yang ia gunakan sangat primitif yaitu hanya menggunakan sugesti langsung atau direct suggestion. Meskipun Freud meninggalkan hipnosis namun banyak konsep hipnosis yang ia gunakan untuk mengembangkan psikoanalisanya. Dalam perkembangan lebih lanjut para psikoanalis kembali menggabungkan penggunaan hipnosis ke dalam psikonalisa untuk memfasilitasi proses analitik.

Baca Selengkapnya

Ultimate Depth

21 Juli 2010

“There is no coincidence” begitu kata Master Oogway dalam film Kungfu Panda. Sejak masih di Berkeley, saat belajar ke Anna Wise minggu lalu, sesi private workshop yang kedua, hingga saat kepulangan saya ke Indonesia, saya mendapat beberapa pertanyaan khususnya dari rekan-rekan praktisi, pemerhati, dan pecinta teknologi pikiran yang dikirim ke saya melalui baik sms maupun email. Pertanyaan yang mereka ajukan kepada saya ternyata sama yaitu mereka menanyakan mengenai kedalaman trance yang dikenal dengan Ultra Depth.

Pertanyaan yang mereka ajukan antara lain, “Apakah level Ultra Depth itu?”, “Siapa yang menemukan level ini?”, “Bagaimana cara mempelajarinya?”, “Apa bukti ilmiah yang membuktikan bahwa level Ultra Depth adalah level paling dalam yang bisa dicapai manusia?”, “Bisakah tekniknya dilakukan secara masal?”, “Bisakah masuk ke Ultra Depth seorang diri?”

Saya tidak tahu apa yang menjadi pemicu sehingga tiba-tiba ada beberapa orang yang sangat tertarik untuk lebih memahami level kedalaman trance, yang konon, adalah level terdalam yang bisa dicapai manusia, berdasar riset yang dilakukan Walter Sichort. Saat ini James Ramey, salah satu murid Sichort, dipercaya untuk meneruskan penelitian, pengembangan, dan mengajarkan Ultra Depth Process, yaitu teknik spesifik untuk bisa mencapai level kedalaman Ultra Depth atau yang sekarang lebih dikenal dengan level Sichort.

Apa sih sebenarnya Ultra Depth itu? Bagaimana cara untuk bisa masuk ke kedalaman ini? Apa manfaatnya? Apakah ini sama dengan kondisi hipnosis?

Pertanyaan ini juga yang dulu berkecamuk di benak saya saat pertama kali membaca mengenai level Sichort. Sebagai seseorang yang sangat passionate dengan dunia pikiran dan segala sesuatu yang berhubungan dengan fenomena pikiran sudah tentu saya tidak akan membiarkan informasi ini lewat begitu saja.

Akhirnya saya menghubungi James Ramey di Amerika dan dimulailah perjalanan mendalami dan mempelajari teknik yang dikenal dengan Ultra Depth Process.

Butuh waktu yang tidak sedikit untuk benar-benar mengerti dan menguasai prosedurnya. Untungnya saya adalah seorang praktisi dan juga pengajar hipnoterapi. Saya sangat terbantu karena telah mempunyai dasar pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman mengenai prosedur teknis untuk membimbing klien masuk ke kondisi very deep trance atau profound somnambulism.

Untuk memahami level Sichort, kita perlu memahami level kedalaman trance. Ada banyak skala kedalaman trance yang digunakan dalam dunia hipnoterapi. Skala itu diciptakan oleh pakar yang berbeda.

Skala trance ini terdiri atas dua komponen yaitu depth (kedalaman) dan objective symptoms. Depth umumnya terdiri atas 5 hingga 8 level; insusceptible, hypnoidal, light trance, medium trance, artificial somnambulism, deep or somnambulistic trance, coma or plenary state, dan hypnosleep. Sedangkan objective symptoms yang merupakan sublevel dari depth bisa mencapai antara 30 hingga 50. Ini adalah fenomena fisik dan pikiran yang bisa muncul atau dimunculkan pada depth tertentu.

Umumnya kita mengenal Davis-Husband Scale, Le Cron-Bordeuaux Scale, Heron Depth Scale, Arons Master Depth Rule, Hartman Depth Scale, dan Kappas Scale.

Agar tidak bingung maka saya akan menjelaskan kedalaman trance menggunakan pendekatan yang sedikit berbeda. Untuk mudahnya begini. Kita tentukan dulu dua level yang menjadi batas atas dan bawah. Batas atas adalah kondisi saat kita sadar, kondisi saat kita berpikir dan fokus. Kita sadar sesadar-sadarnya apa yang kita rasakan, lakukan, alami, atau pikirkan. Batas ini dikenal dengan nama normal waking consciousness atau kesadaran bangun normal. Sedangkan yang menjadi batas bawah adalah kondisi saat kita “tidak sadar” atau saat kita tidur.

Di antara batas atas dan bawah terdapat begitu banyak level kesadaran “khusus” yang dikenal sebagai “altered state of consciousness” (ASC). ASC terdapat tidak hanya di antara dua batas ini tapi juga terdapat di bawah batas bawah dan juga di atas batas atas.

Salah satu skala kedalaman trance yang cukup populer dalam dunia hipnoterapi adalah skala Elman. Elman membagi kedalaman trance menjadi: light trance, medium trance, somnambulism, Esdaile, dan hypnosleep. Masih menurut Elman, 2 level pertama yaitu light dan medium trance adalah level yang sama sekali tidak bermanfaat untuk terapi. Terapi hanya bisa dilakukan efektif pada level somnambulism. Sedangkan level Esdaile dan hypnosleep mempunyai manfaat terapeutik yang agak berbeda.

Skala lain yang awalnya diajarkan pada tahun 1940an dan masih banyak digunakan hingga saat ini adalah skala Harry Arons. Untuk lebih mudah memahami setiap level relaksasi pikiran atau mental maka saya akan menjelaskan fenomena  yang menjadi ciri setiap level.

Harry Arons membagi level relaksasi mental menjadi 6 level. Persis di bawah batas atas, normal waking consciousness terdapat kondisi relaksasi yang dikenal dengan nama hypnoidal.

Ini adalah kondisi relaksasi yang paling mudah dicapai. Kondisinya mirip dengan orang yang sedang melamun. Salah satu ciri kondisi hypnoidal adalah eye catalepsy atau mata yang tidak bisa dibuka walaupun kita ingin membukanya.

Di bawah hypnoidal terdapat level light trance yang bercirikan kondisi sugestibilitas meningkat karena kelompok otot yang mengalami catalepsy menjadi meluas ke bagian tubuh yang lain.

Di bawah lagi ada level medium trance dengan ciri atau karakteristik berupa catalepsy pada kelompok otot besar yang mengakibatkan seseorang tidak bisa bergerak, tidak bisa bangkit dari kursi, atau tidak bisa jalan. Pada level ini seseorang juga bisa mengalami aphasia atau kesulitan berbicara karena mendapat sugesti demikian.

Di bawah medium trance terdapat level threshold of somnambulism yang merupakan level kedalaman minimal untuk melakukan hipnoterapi yang efektif. Kedalaman ini minimal harus dicapai agar teknik advanced seperti hypnoanalysis, age regression, ego state therapy, dan forgiveness therapy, atau bahkan death bed therapy dapat dilakukan secara efektif dan mudah. Ciri utama pada level ini adalah terjadinya amnesia (klien menjadi lupa sesuatu) dan analgesia (berkurangnya intensitas rasa sakit).

Di bawah lagi terdapat level full somnambulim. Pada level ini klien menjadi sangat sugestif dan bila diberikan suatu sugesti maka pengaruh sugesti akan bertahan (sangat) lama.

Kedalaman full somnambulim mutlak dibutuhkan untuk melakukan anestesi (untuk operasi dan melahirkan) atau untuk age regression. Level ini tidak cocok untuk teknik direct suggestion yang bertujuan melakukan perubahan perilaku seperti menghentikan kebiasaan merokok, atau menggigit jari. Satu ciri utama pada level ini adalah possitivie hallucination.

Level paling dalam pada skala Harry Arons adalah profound somnambulism. Level ini mencakup semua hal positif dari level full somnambulim dan ditambah dengan kemampuan negative hallucination.

Tepat di bawah profound somnambulism terdapat level Esdaile atau yang juga dikenal dengan hypnotic coma. Satu hal yang perlu dipahami yaitu kondisi hypnotic coma ini tidak sama dengan kondisi medical coma. 

Kondisi Esdaile ini adalah kondisi di mana seseorang merasa begitu senang dan bahagia. Ini adalah kondisi euphoria. Orang yang masuk ke dalam kondisi ini biasanya tidak mau keluar dari kondisi ini karena begitu “enak” dan “nikmat”nya kondisi ini, semua masalahnya hilang, semua sempurna adanya. Jika seorang klien atau subjek masuk ke kondisi ini maka dibutuhkan keahlian khusus untuk bisa membawa klien keluar. Jika tidak, maka klien akan terus berada di level ini.
 
Level Esdaile tidak cocok untuk terapi karena pada kondisi ini pikiran kita tidak bisa menerima sugesti apapun. Level ini digunakan untuk total anestesia, untuk painless childbirthing atau melahirkan tanpa rasa sakit, stress management, dan bisa digunakan oleh dokter untuk membantu mengembalikan posisi tulang atau otot pasiennya, dengan cara mengurut bagian yang dislokasi, saat pasien berada di kondisi Esdaile.

Dari level profound somnambulism subjek/klien dapat dibawa turun ke level Esdaile dengan cepat dan mudah, hanya membutuhkan waktu sekitar 4 menit saja.

Di bawah level Esdaile terdapat level catatonic. Ini adalah kondisi di mana tubuh subjek atau klien menjadi plastis tapi kaku/terkunci, tanpa pemberian sugesti, dan bisa diposisikan pada posisi/postur tertentu dalam waktu yang lama dan postur itu sama sekali tidak akan berubah. Level ini tidak digunakan dalam terapi. Di bawah level catatonic inilah terletak level Sichort.

Lalu bagaimana caranya untuk bisa masuk ke level Sichort?

Oh, mudah. Saya akan mengulang level kedalaman trance agar anda bisa mendapat gambaran yang utuh. Langkah awal adalah kita membawa subjek dari kondisi hypnoidal (light trance), medium trance, full somnambulism, hingga ke kedalaman profound somnambulism. Ini hanya langkah awal, lho.

Dan untuk setiap level kedalaman trance di atas kita perlu melakukan tes. Tes ini harus dilakukan agar kita benar-benar yakin dan pasti posisi kedalaman yang dicapai subjek pada suatu saat. Bila subjek tidak lolos tes, pada kedalaman tertentu, berarti ia belum berhasil mencapai level yang kita inginkan. Maka kita perlu melakukan deepening lagi untuk memperdalam trance sehingga dicapai level yang diinginkan.

Saat subjek berhasil mencapai kedalaman tertentu maka akan diberikan sugesti tertentu, sebagai anchor, untuk bisa membawa subjek langsung masuk kembali ke dan keluar dari kedalaman tersebut. Demikian seterusnya.

Setelah berhasil mencapai profound somnambulism, subjek dibimbing masuk ke level Esdaile. Seorang operator yang cakap akan mampu melakukan hal ini hanya dalam waktu maksimal 4 menit. Operator akan memberikan tes untuk memastikan subjek telah benar-benar berada di level Esdaile. Total ada 6 tes yang diberikan. Dan subjek harus lolos semua tes ini. 

Satu level di bawah adalah level catatonic. Ini adalah level non-suggested state. Fenomena yang timbul pada level ini terjadi dengan sendirinya tanpa perlu sugesti apapun. Pada level ini juga dilakukan tes kedalaman.

Baru setelah ini semua berhasil dicapai, subjek akhirnya bisa masuk ke kondisi Sichort melalui relaksasi masa bayi.

Jadi, kunci untuk masuk ke level Sichort sebenarnya adalah kecakapan untuk driving depth atau deepening. Semakin cakap kita maka semakin mudahlah membimbing subjek masuk ke level Sichort.

Saat mengajar Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy di program magister (S2) pikologi di Universitas Surabaya baru-baru ini saya membimbing dua orang mahasiswa saya hingga mencapai level catatonic. Saya juga mengukur aktivitas gelombang otak mereka. Dan dari sini saya mendapatkan beberapa temuan menarik yang menvalidasi beberapa pemikiran saya mengenai metode deepening yang lebih cepat dan efektif untuk membawa subjek turun ke kedalaman trance yang kita inginkan.

Saya sengaja tidak membawa mereka ke level Sichort karena materi yang saya bahas adalah hipnoterapi, bukan level Sichort. Selain itu saya juga tidak ingin mahasiswa saya bingung atau malah terlalu berambisi untuk masuk ke kondisi Sichort, yang untuk saat ini sebenarnya tidak mereka butuhkan.

Hasil pengukuran dengan DBSA menunjukkan bahwa pada level catatonic, gelombang beta, alfa, theta, dan delta, semuanya aktivitasnya sangat minim. Hal ini tampak pada amplitudo yang sangat rendah dan stabil, tidak terjadi flare atau lonjakan amplitudo pada segmen frekuensi tertentu, seperti yang biasa terjadi pada level kedalaman trance yang di atasnya.

Apa saja yang bisa dilakukan pada level Sichort?

Kita bisa melakukan, antara lain, Mind-to-Mind Healing, Computer Console Technique, Skywalker Technique, Cellular Reeducation Technique, Hallway of Doors Technique, dan Warehouse Technique.

Ada yang bertanya, “Apakah level Sichort ini juga termasuk dalam kondisi hipnosis?”

Beberapa pakar mengatakan bahwa level Sichort bukan level hipnosis karena kondisi hipnosis hanya sampai di kedalaman profound somnabulism. Bahkan masih menurut pakar yang lain, pada level Esdaile pikiran bawah sadar tidak menerima sugesti dalam bentuk apapun.

Ada pro dan kontra mengenai pernyataan di atas. Saya pribadi lebih suka mengacu pada pernyataan yang dikeluarkan oleh U.S. Dept. of Education, Human Services Division, yang menyatakan, “Hypnosis is the bypass of the critical factor of the conscious mind and followed by the establishment of acceptable selective thinking” atau “hipnosis adalah penembusan faktor kritis dari pikiran sadar dan diikuti dengan diterimanya sugesti atau pemikiran tertentu (oleh pikiran bawah sadar)”.

Dari apa yang saya pelajari, khususnya dengan update pengetahuan dari Anna Wise, saya menyimpulkan bahwa kondisi Sichort bukan kondisi hipnosis. Kondisi hipnosis bermain di level pikiran bawah sadar sedangkan Sichort bermain pada level pikiran nirsadar.

Salah satu indikasi bahwa level Sichort bermain di level nirsadar adalah karena pada level ini proses healing pada aspek fisik terjadi 6 hingga 10 kali lebih cepat dari keadaan normal. Sedangkan pada Computer Console Technique bisa dilakukan healing pada berbagai sistem tubuh yang bersifat otonom. Dan dari riset diketahui bahwa bagian pikiran yang mengendalikan fungsi tubuh yang otonom adalah pikiran nirsadar, bukan pikiran bawah sadar.

Ada yang bertanya kepada saya mengapa saya tidak mengajarkan Ultra Depth Process di pelatihan Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy yang saya selenggarakan?

Alasan utama adalah saya tidak melihat banyak manfaat yang bisa dicapai orang awam, apalagi hipnoterapis pemula, untuk menggunakan kondisi Sichort. Dalam hipnoterapi, level kedalaman optimal untuk melakukan terapi yang efektif adalah profound somnambulism. Dan ini telah dibuktikan dengan efektivitas hasil terapi yang dilakukan alumni pelatihan QHI. Mereka sama sekali tidak perlu membawa klien masuk ke kondisi Sichort untuk melakukan terapi secara efektif. Cukup hanya di level profound somnambulism saja.

Nah, untuk membawa subjek atau klien ke kedalaman profound somnambulism bukanlah hal yang mudah. Apalagi bila teknik induksi yang digunakan tidak tepat. Jika level ini saja tidak bisa dicapai maka tidak mungkin bisa mencapai level berikutnya.

Cukup riskan bila hipnoterapis pemula langsung belajar untuk membimbing klien masuk ke level Sichort. Sangat besar kemungkinan mereka akan gagal. Jika di tahap awal pembelajaran mereka telah sering mengalami kegagalan maka ini akan berakibat negatif terhadap rasa percaya diri mereka.

Selain itu, dari sekian banyak literatur yang saya pelajari, tidak ada satupun yang menyatakan perlunya melakukan hipnoterapi hingga ke kedalaman di bawah profound somnambulism, apalagi pada level Sichort. Nama-nama besar seperti McGill, Erickson, Tebbetts, Boyne, Spiegel, Elman, Kein, Churchill, Haley, Rossi, Hilgard, dan Watkins tidak pernah menyarankan baik secara eksplisit atau implisit mengenai perlunya kedalaman di bawah profound somnambulism untuk melakukan hipnoterapi. Saya juga telah berusaha mencari informasi di jurnal hiposis/hipnoterapi internasional mengenai pemanfaatan kondisi Sichort untuk (hipno)terapi. Namun hingga saat ini belum atau tidak mendapatkan informasi mengenai hal ini.

Saat saya mempelajari Ultra Depth jujur saya tidak punya bukti ilmiah, melalui pengukuran dengan instrumen tertentu, yang mendukung bahwa ini adalah level paling dalam yang bisa dicapai seseorang. Saya percaya apa yang dikatakan oleh Sichort melalui cross check dengan literatur lain yang membahas kedalaman trance. Dan memang benar, Ultra Depth jauh lebih dalam dari level trance yang biasa digunakan untuk terapi.

Namun sekarang saya bisa mengukur dengan menggunakan Mind Mirror dan ESR. Dari sini akan tampak seberapa dalam relaksasi pikiran/mental dan fisik yang berhasil dicapai seseorang saat ia berada di level Sichort. 
 
Apakah teknik ini bisa dilakukan secara masal? Tidak bisa dan tidak mungkin. Mengapa tidak mungkin? Karena untuk masuk ke level Sichort perlu dilakukan tes atau uji kedalaman pada setiap level trance. Uji ini sangat penting untuk memastikan subjek benar-benar turun ke kedalaman yang diinginkan secara bertahap. Jika jumlah orangnya banyak maka tidak mungkin uji kedalaman bisa dilakukan pada masing-masing individu.

Apakah kita bisa masuk ke level Ultra Depth seorang diri? Oh, tentu bisa. Kita bisa dengan cara mengaktifkan trigger tertentu yang dipasang oleh operator yang sebelumnya membantu kita masuk ke kondisi Sichort. Jadi, untuk tahap awal kita tetap membutuhkan bantuan operator.

Pembaca, jika anda cukup jeli, judul artikel saya di atas adalah Ultimate Depth Process, bukan Ultra Depth Process. Mengapa saya menggunakan judul Ultimate Depth Process?

Saya memang mempelajari Ultra Depth Process. Dan sekarang dengan berbagai update pengetahuan yang saya dapatkan dari Anna Wise dan Tom Silver, dan seperti yang saya katakan di atas bahwa inti dari Ultra Depth adalah bagaimana kita melakukan deepening, maka saat ini saya telah mengembangkan teknik saya sendiri untuk mencapai kedalaman seperti Ultra Depth.

Saya mengatakan “seperti” Ultra Depth karena saya berpatokan pada aktivitas dan pola gelombang otak, baik pada aspek frekuensi dan amplitudo, yang diukur dengan menggunakan Mind Mirror, maupun relaksasi fisik, yang diukur dengan menggunakan ESR, pada saat seseorang masuk ke kedalaman ini. Hasil pengukuran ini sangat akurat karena tidak sekedar mengandalkan uji kedalaman konvensional seperti yang dilakukan selama ini.

Dari Anna Wise saya belajar satu hal yang luar biasa yaitu dengan menggunakan semantik tertentu kita dapat membawa seseorang masuk dengan sangat cepat ke kedalaman yang belum pernah ia capai sebelumnya.

Lalu apa yang membedakan Ultimate Depth Process dan Ultra Depth Process?

Perbedaannya ada pada proses membawa subjek turun. Jika Ultra Depth Process banyak menggunakan progresive relaxation yang telah dimodifikasi dan deepening yang berulang plus pengujian kedalaman trance, maka Ultra Depth Process lebih bermain pada semantik dan protokol yang secara bertahap namun cepat mampu mereduksi segmen gelombang otak tertentu dan membuka jalur pikiran bawah sadar dan nirsadar. Ultimate Depth Process dikembangkan berdasar pada hasil pengukuran relaksasi pikiran dan fisik dengan menggunakan Mind Mirror dan ESR.

Level kedalaman yang jauh di bawah profound somnambulism, baik itu level Esdaile, Catatonic, Hypnosleep, maupun Ultra Depth, adalah wilayah yang asyik untuk dijelajahi. Namun ini lebih untuk tujuan eksperimen.

Baca Selengkapnya

Therapy Shopping

21 Juli 2010

Seorang rekan sejawat, sesama hipnoterapis, baru-baru ini mengirimi saya email dan menceritakan salah satu kasus yang ia tangani. Kasusnya cukup menarik dan saya terus terang merasa iri karena bukan saya yang menanganinya. Saya iri lebih karena melihat bahwa kasus ini benar-benar asyik dan bisa digunakan untuk menambah jam terbang dan mengasah kemampuan. Bukan karena alasan lain.

Klien dari rekan saya ini, seorang wanita, telah sekian tahun sulit tidur dan mengalami depresi. Ia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya dan telah sekian tahun minum obat, telah ke berbagai praktisi kesehatan, minta tolong orang pintar, namun tetap belum bisa sembuh.

Singkat cerita setelah melalui dua sesi terapi yang sangat intens klien berhasil mengalami sangat banyak kemajuan. Dari yang tadinya stress dan mudah putus asa menjadi semangat. Memang, masih ada aspek lain yang perlu dibereskan yaitu klien masih sulit tidur.

Namun, bila dilihat hasil yang telah dicapai hanya dalam dua sesi terapi, dibandingkan dengan apa yang telah klien jalani dan alami selama ini, sungguh suatu hasil yang luar biasa.
Seminggu kemudian, rekan sejawat saya melakukan follow-up dan menghubungi kliennya. Apa yang terjadi? Ternyata kondisi klien kembali seperti sebelum diterapi. Tiga hari kemudian klien menghubungi rekan saya dan memberikan laporan bahwa kondisinya semakin menurun.

Lho, kok bisa?

Ternyata setelah diselidiki, klien, setelah selesai terapi dengan rekan saya ini, sesi kedua, sebenarnya sudah sangat baik kondisinya. Namun besoknya, oleh orangtuanya, klien dibawa ke “terapis” lain yang melakukan pengobatan dengan cara “lain”.

“Terapis”  ini melakukan upacara yang katanya bisa mengusir “roh jahat” yang berdiam di dalam diri klien. Pengusiran “roh jahat” ini dilakukan beberapa kali dengan menggunakan cara yang menurut si “terapis” mujarab. Setelah beberapa kali “terapi”, kondisi klien justru semakin memburuk.

Saya tidak berpretensi untuk mengatakan bahwa si “terapis” ini yang membuat kondisi klien semakin memburuk. Sama sekali tidak ada maksud saya untuk berkata demikian. Yang ingin saya bahas adalah mengapa klien bisa relapse dan justru semakin parah.

Saya sendiri, dalam karir saya sebagai seorang terapis, pernah beberapa kali mengalami apa yang dialami oleh rekan saya. Klien yang sudah hampir pulih tiba-tiba relapse dan akhirnya menjadi lebih parah lagi kondisinya.

Dulu saya bingung. Saya berpikir ini semua karena saya tidak becus melakukan terapi dengan baik. Namun dari hasil perenungan dan review sesi terapi yang saya lakukan, berdasarkan catatan terapi, saya tidak menemukan kesalahan dalam praktik saya. Lalu apa yang salah?

Ternyata yang terjadi sama dengan yang dialami rekan saya ini. Klien, setelah selesai terapi dengan saya juga melakukan terapi ke terapis lain, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan saya atau terapis sebelumnya.

Banyak orang yang tidak menyadari bahwa terapi apapun, termasuk hipnoterapi, membutuhkan waktu untuk bisa membantu seseorang benar-benar pulih dari kondisi mental atau emosi mereka yang sebelumnya agak kacau.

Jika kasusnya cukup berat maka dibutuhkan sampai beberapa sesi, ada yang 4 sesi atau bahkan lebih, untuk benar-benar menstabilkan kondisi klien.

Yang sering terjadi adalah (keluarga) klien tidak sabar dan ingn mempercepat proses kesembuhan. Mereka mencampuradukkan beberapa modalitas terapi. Akibatnya? Sangat buruk untuk klien.

Setiap modalitas terapi mempunyai paradigma sendiri. Teknik yang digunakan tentunya berdasarkan teori yang sangat spesifik yang hanya akan bekerja selama dilakukan di dalam koridor teori itu. Tindakan klien mencampuradukkan beberapa jenis terapi, saya biasa menyebutnya dengan istilah Therapy Shopping, justru kontraproduktif.

Apalagi bila terapisnya dipandang sebagai figur otoritas. Hasil terapi yang sebelumnya sangat baik, namun karena belum final dan stabil, menjadi mentah lagi karena pikiran klien sendiri, setelah mendapat pengaruh baik langsung maupun tidak langsung dari terapis berikutnya, meng-undo hasil terapi sebelumnya.

Anda mungkin bertanya, “Ah, masa bisa sampai seperti ini kejadiannya?”

Saya pernah melakukan terapi pada seseorang, kasus ringan yaitu fobia kecoa, dan dalam sekejap klien sembuh. Dites dengan kecoa hidup, klien sama sekali tidak takut. Namun, untuk membuktikan bahwa klien bisa relapse atau kambuh, saya meng-undo hasil terapi saya hanya dengan satu perintah spesifik. Dalam sekejap klien kembali menjadi sangat takut terhadap kecoa, sama kondisinya seperti sebelum saya terapi.

Setelah itu saya kembalikan kondisinya seperti setelah selesai saya terapi dan fobia klien langsung hilang dan saya menyegel perubahan yang telah terjadi sehingga klien tidak bisa kembali ke pola lamanya.

Saya juga pernah punya klien yang sangat senang Therapy Shopping. Ia berpindah dari satu hipnoterapis ke hipnoterapis lainnya. Bukannya hipnoterapisnya tidak efektif namun si klien sendiri yang memang suka sekali keliling, dari satu terapis ke terapis lainnya, dan ia sangat menikmati diterapi. Sepertinya terapi sudah menjadi satu trend atau kebutuhan hidupnya. Ia bukannya mau sembuh dari masalahnya tapi justru menikmati masalahnya.

Akibatnya? Ya nggak sembuh. Setiap terapis tentu punya pendekatan yang berbeda dalam menangani suatu kasus. Setiap terapi melibatkan proses dan dinamika yang unik. Kasus yang sama bisa dibereskan dengan pendekatan atau teknik yang berbeda. Semua bergantung pada jam terbang, pengalaman, dan intuisi si terapis.

Satu kasus lain, seorang pria, yang juga sulit tidur dan mendengar ada suara di dalam kepalanya, telah lebih dari 6 tahun berkeliling mencari terapis untuk mengatasi masalahnya. Dari sekian lama upayanya hasilnya nihil.

Selidik punya selidik ternyata dia juga melakukan Therapy Shopping. Dan keluarganya mendukung serta sangat menyarankan hal ini. Saat ke psikiater dan diberi obat, obatnya hanya diminum sedikit. Setelah itu ia ke Sinshe untuk didiagnosa dan mendapat obat lain. Kemudian ke orang pintar, terus ke akupunturis, ke dokter saraf, terus ke Singapore untuk melakukan fMRI karena ia merasa ada masalah dengan otaknya.

Hasil dari Singapore menunjukkan bahwa otaknya tidak bermasalah. Ia hanya stress saja. Perlu banyak istirahat. Namun klien ini tetap gigih mencari kesembuhan. Ia pergi ke tukang pijat yang katanya bisa menotok jalan darah sehingga aliran darah bisa lebih lancar. Plus minum bermacam-macam obat dari berbagai terapis. Plus, plus, juga melakukan energy healing, prana, reiki, chikung. Wah… pokoknya macam-macam deh.

Hasil akhirnya bagaimana? Ya, tetap nggak sembuh.

Lha, bagaimana mau sembuh. Teknik terapi, seperti yang telah saya jelaskan di atas, membutuhkan waktu untuk menunjukkan hasil. Pada saat proses masih berlangsung tiba-tiba terapi dihentikan dan ia berpindah ke jenis terapi lain. Demikian seterusnya.

Kembali ke klien rekan saya. Setelah dengan terapis yang melakukan pengusiran “roh jahat” tidak membuahkan hasil, klien ini ingin kembali ke rekan saya untuk terapi lanjutan. Tentu bukan kerja yang ringan untuk bisa membantu klien ini karena hasil terapi dua sesi sebelumnya telah hilang akibat klien melakukan Shopping Therapy.

Jadi, saran saya bagi anda, jika anda sedang menjalani suatu sesi terapi, dengan terapis manapun, berilah waktu untuk terapis ini membantu anda. Jangan suka berganti terapis. Jika dalam beberapa sesi anda merasakan perubahan positif berarti apa yang dilakukan terapis ini bekerja. Nah, beri waktu sedikit lebih lama. Teruskan terapi anda.

Namun, jika setelah menjalani sampai, katakanlah, lebih dari empat sesi, sama sekali belum ada perubahan signifikan, maka anda boleh memutuskan untuk mencari bantuan terapis lain.

Jadi, hati-hati ya. Jangan melakukan Therapy Shopping.

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List