Abreaction adalah topik yang sangat menarik untuk dibahas. Setiap hipnoterapis dalam praktik membantu klien mengatasi masalahnya pasti pernah mengalami klien yang meledak emosinya. Nah, ledakan emosi ini yang disebut dengan abreaction atau catharsis.
Saya pernah membahas abreaction di artikel sebelumnya dengan judul “How to Handle Abreaction and Catharsis”. Jika anda belum membacanya saya sarankan untuk mengunjungi http://adiwgunawan.com/index.php?pid=dtl_artikel&id=60.
Materi yang saya tulis di artikel ini adalah materi update, hasil penelitian, pengujian, dan pengembangan yang dilakukan oleh Tim Advanced Research & Development Quantum Hypnosis Indonesia, dan saya ajarkan di kelas 100 jam sertifikasi hipnoterapis melalui pelatihan Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy.
Penggunaan abreaction dalam terapi bukanlah hal baru. Freud juga menggunakan teknik ini dan menemukan bahwa simtom histeria pada klien hilang seketika dan tidak bisa muncul lagi jika klien berhasil secara menyeluruh membangkitkan kembali memori-memori beserta emosi yang menjadi penyebab histeria.
Freud dan kawannya Breuer menyimpulkan bahwa simtom muncul sebagai akibat dari represi memori yang berhubungan pengalaman yang sangat traumatik. Hal ini mengakibatkan terjadinya blocking energi. Freud menggunakan hipnosis dan sugesti untuk melakukan release terhadap blok energi dan berhasil menyembuhkan kliennya. Temuan ini mereka tulis dalam buku Studien Uber Hysterie di tahun 1895.
Namun dalam perjalanan karirnya Freud menemukan bahwa simtom yang telah berhasil dihilangkan ternyata muncul lagi. Inilah sebabnya mengapa Freud merasa bahwa kemajuan terapi yang dialami klien, bila menggunakan teknik abreaction, hanya bersifat temporer.
Penelitian literatur menghasilkan satu temuan menarik. Freud hanya melakukan single abreaction pada kliennya. Padahal, untuk kasus berat akibat pengalaman yang sangat traumatik, emosi yang tertekan di bawah sadar sangatlah intens. Single abreaction umumnya tidak mampu secara tuntas menguras habis semua emosi ini. Untuk bisa benar-benar mengeluarkan semua emosi klien, untuk kasus yang berat, perlu dilakukan multiple abreactions, dan ini yang tidak dilakukan oleh Freud.
Penelitian manfaat teknik abreaction secara sangat terkontrol dilakukan oleh William Brown (1920) yang melakukan terapi pada ribuan mantan tentara yang mengalami masalah mental setelah pulang dari medan perang. Brown menggunakan abreaction untuk mengeluarkan emosi yang tertekan di bawah sadar dan berhasil membantu klien-kliennya pulih. Brown mengatakan bahwa agar efektif maka abreation harus intens, tuntas, dan diulangi. Baru setelah itu dilakukan rekonstruksi psikologis agar kesembuhan bersifat permanen.
Penelitian pemanfaatan abreaction selanjutnya dilakukan oleh Grinker dan H. Spiegel pada masa perang dunia kedua. Teknik ini selanjutnya disempurnakan oleh John G. Watkins dan berkembang hingga saat ini dengan banyak pendalaman dan penajaman teknik.
Abreaction sebenarnya adalah hal yang normal dan terjadi secara spontan dengan tujuan untuk melepas tekanan (mental atau emosi) atau stimulasi berlebihan yang mengganggu keseimbangan sistem diri manusia. Abreaction adalah bagian dari proses pemeliharaan diri, upaya penyesuaian individu untuk mencapai atau mempertahankan keseimbangan (equilibrium) yang diinginkan.
Untuk lebih memudahkan anda memahami abreaction, bayangkan sebuah tungku yang terbuat dari tanah liat. Tungku ini berisi air dan dalam kondisi normal ada api yang menyala dan membakar dasar tungku.
Bila api ini terus dibiarkan membakar tungku maka temperatur air di dalamnya akan naik dan akhirnya akan mendidih atau menguap. Ini adalah proses alamiah dan normal. Air yang bergolak dan mendidih ini adalah sama dengan abreaction yang terjadi secara alamiah pada diri manusia.
Namun apa yang terjadi bila tungkunya ditutup rapat?
Api yang terus membakar tungku akan membuat isi tungku semakin panas dan tekanan uap semakin tinggi. Bila ini diteruskan maka suatu saat nanti tungku akan meledak dan hancur.
Agar tidak hancur maka perlu dibuat lobang atau retakan kecil di dinding tungku untuk melepas uap yang terperangkap di dalamnya. Uap yang keluar akan muncul dalam bentuk simtom baik berupa perasaan tidak nyaman atau sakit fisik (psikosomatis).
Lebih jelas mengenai Teori Tungku Mental bisa anda baca di http://adiwgunawan.com/index.php?pid=dtl_artikel&id=48.
Dalam kondisi tertentu, biasanya saat seseorang dalam kondisi deep trance, maka pikiran bawah sadar bisa membuat retakan besar sehingga uap air keluar dengan sangat deras dan banyak. Bila ini terjadi maka klien akan mengalami spontaneous hypnotic abreaction yang hebat.
Kita perlu membedakan antara hypnotic abreaction, abreaction yang terjadi baik secara spontan atau karena disengaja melalui provokasi terencana dan terstruktur saat subjek dalam kondisi deep trance, dan abreaction yang terjadi dalam kondisi kesadaran normal. Beda dua abreaction ini ada pada kondisi kesadaran saat abreaction terjadi, intensitas, dan tujuannya.
Jadi, bila melihat penyebab terjadinya maka abreaction dibagi menjadi dua jenis. Pertama, abreaction yang disengaja. Abreaction jenis ini memang sengaja dilakukan oleh terapis terhadap klien dengan menggunakan tenik tertentu dan telah direncanakan dengan sangat hati-hati dan terstruktur. Terapis benar-benar tahu apa dan mengapa ia melakukan hal yang ia lakukan.
Kedua, abreaction yang tidak direncanakan atau bersifat spontan. Abreaction ini dapat terjadi sewaktu-waktu saat sesi terapi berlangsung. Terapis yang andal akan mampu memfasilitasi dengan baik abreaction yang disengaja maupun yang spontan karena secara teknis penanganannya sebenarnya sama saja.
Abreaction bila ditinjau dari siapa yang mengalaminya terbagi menjadi dua jenis yaitu abreaction yang dialami oleh (total) individu dan yang kedua, abreaction yang hanya dialami oleh Ego State. Dua jenis abreaction ini secara teknis sama namun berbeda pada proses penanganannya. Masing-masing mengikuti aturan main yang berbeda namun dengan tujuan akhir yang sama.
Bila ditinjau dari metode untuk mengeluarkan emosi, kami di Quantum Hypnosis Indonesia, mengenal ada enam teknik abreaction. Dua dari total enam teknik abreaction yang diajarkan di kelas QHI adalah fractionated abreaction dan borrowed abreaction. Teknik borrowed abreaction adalah hasil riset dan pengembangan yang dilakukan oleh alumnus QHI Bpk. Sjahsjam Susilo.
Seringkali terjadi klien tidak bisa, lebih tepatnya tidak bersedia, mengeluarkan emosinya karena pertimbangan tertentu dan tidak terjadi abreaction, walaupun ia berada dalam kondisi profound somnambulism. Terapis perlu menggunakan strategi lain untuk membantu klien mengalami abreaction. Dari pengalaman , dua teknik yang saya sebutkan di atas sangat efektif untuk bisa mengatasi resistensi klien dan membuat klien bersedia melepaskan emosinya.
Ditinjau dari jenis emosi yang dikeluarkan, pada satu waktu tertentu, maka abreaction terbagi menjadi 3 (tiga): Mixed Emotion Abreaction, Anger Based Abreaction, dan Hate Based Abreaction. Untuk setiap jenis abreaction ini dibutuhkan teknik yang sangat spesifik agar dicapai hasil yang optimal dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Abreaction memang sangat ampuh untuk membantu klien mengeluarkan tekanan emosi yang selama ini tersimpan atau ditekan di bawah sadar. Namun abreaction sendiri tidak bersifat terapeutik. Benar, dengan mengalami abreaction klien akan merasakan kelegaan yang luar biasa. Namun kelegaan ini hanya bersifat sementara. Tanpa penanganan lanjutan, setelah abreaction, maka klien akan kembali ke kondisi awal. Itu sebabnya ada pakar yang mengatakan, “Revivification is not healing.”
Saat yang paling kritis untuk melakukan abreaction adalah saat terapis memutuskan apakah ia akan melakukan prosedur hypnotic abreaction atau tidak. Pilihannya hanya satu, “Ya atau tidak.” Tidak bisa ragu atau setengah-setengah. Begitu proses abreaction dimulai maka klien dan terapis masuk ke wilayah Point of No Return. Abreaction harus dilakukan hingga benar-benar tuntas.
Bila abreaction terjadi, apalagi abreaction yang bersifat spontan akibat emosi yang terpendam dan selama ini tidak disadari oleh klien, dan tidak dituntaskan penanganannya maka ini akan sangat riskan dan merugikan klien. Klien bisa mengalami goncangan emosi dan bahkan bisa mengakibatkan klien menjadi tidak stabil.
Menangani abreaction sebenarnya mudah. Sehebat apapun abreaction yang dialami klien, bila terapisnya siap secara mental, tanggap, percaya diri, dan telah membekali diri dengan teknik penanganan abreaction yang efektif maka klien tetap bisa dengan mudah dibawa keluar dari kondisi ini.
Kesulitan penanganan abreaction sebenarnya bukan pada diri klien namun lebih pada diri terapis. Terapis yang tidak siap mental akan kaget atau bahkan ketakutan saat melihat kliennya abreaction.
Saat klien berada dalam kondisi deep trance dan mengalami abreaction maka adalah tugas terapis untuk membantu klien melakukan navigasi pikiran dan emosi untuk melewati pengalaman traumatik itu, mengeluarkan emosinya hingga tuntas, dan melakukan pembelajaran ulang baik secara kognitif maupun afektif.
Pada umumnya untuk membawa klien keluar dari kondisi abreaction digunakan teknik “Tempat Kedamaian” atau Peaceful Place. Teknik ini dilakukan dengan cara meminta klien, sebelum proses hypnoanalysis dilakukan, membayangkan dirinya berada di tempat yang tenang, aman, dan nyaman. Klien diminta berada di tempat ini beberapa saat dan diminta untuk berjanji bahwa bila terapis meminta ia kembali ke tempat ini, kapanpun dan apapun situasinya, maka klien langsung kembali ke tempat ini.
Ini adalah emergency exit yang paling banyak digunakan oleh hipnoterapis pada umumnya namun dengan dua kelemahan yang sering tidak disadari.
Pertama, secara statistik diketahui bahwa orang yang modalitas utamanya visual hanya sekitar 27%. Berarti sisanya yang auditori dan kinestetik tidak akan bisa melakukan visualisasi tempat kedamaian.
Kedua, bila energi psikis klien lemah karena telah banyak terkuras dalam proses terapi maka besar kemungkinan klien tidak bisa menjalankan permintaan terapis untuk segera kembali ke tempat kedamaiannya, walaupun ia sangat ingin melakukannya.
Saya pernah mengalami hal ini. Saat seorang klien yang fobia terhadap benda tajam seperti pisau atau pedang, mengalami abreaction, dan saya perintahkan keluar dari situasi yang membuatnya “meledak” , ternyata ia hanya bisa keluar sesaat dan setelah itu “tersedot” masuk kembali ke kejadian traumatiknya. Kembali saya meminta klien keluar dari pengalaman traumatik dan ia kembali “tersedot” masuk. Ini terjadi berulang kali.
Dalam melakukan terapi saya tidak menggunakan teknik “Tempat Kedamaian”. Ada teknik lain yang jauh lebih praktis dan powerful yang selama ini saya gunakan dan selalu berhasil membawa klien keluar dari abreaction, sehebat apapun abreaction yang ia alami, hanya dalam waktu 2 - 3 detik.
Namun pada kasus di atas teknik ini tidak efektif. Hingga akhirnya saya terpaksa menggunakan teknik lain yang lebih advanced untuk membawa klien keluar dan akhirnya berhasil.
Saat saya tanyakan kepada klien, “Mengapa tadi kok tidak bisa berhenti abreactionnya?” Klien menjawab, “Saya sudah mengikuti bimbingan Pak Adi. Sempat keluar sesaat tapi setelah itu tersedot masuk kembali. Beberapa kali seperti itu.”
Abreaction yang efektif dan mampu memberikan hasil terapi yang permanen adalah yang dilakukan pada Initial Sensitizing Event (ISE), bukan pada Subsequent Sensitizing Event (SSE). Bila affect yang dikeluarkan berasal dari SSE maka release tidak bersifat menyeluruh dan cepat atau lambat klien pasti akan relapse. Ibarat memadamkan api, tidak langsung ke sumbernya.
ISE adalah kejadian yang menjadi awal atau akar masalah klien. Sedangkan SSE adalah kejadian lanjutan, yang dialami klien, yang memberikan kontribusi emosi dan memperkuat efek ISE hingga suatu saat muncul sebagai simtom.
Untuk menemukan ISE digunakan hypnoanalysis yang harus dilakukan secara cermat. Bila tidak, seringkali, terapis mengira telah berhasil menemukan ISE padahal masih SSE. Seringkali untuk bisa menemukan ISE harus melewati beberapa SSE. Dari pengalaman biasanya dibutuhkan penelusuran melalui antara satu hingga lima SSE untuk akhirnya bisa menemukan ISE.
ISE adalah memori yang berisi data mengenai kejadian yang dialami klien, plus pemaknaan dan emosi. Dalam melakukan penelusuran untuk mencari ISE bisa dilakukan dengan dua cara.
Cara pertama adalah dengan menggunakan cognitive bridge. Dalam hal ini terapis berusaha menemukan ISE melalui rangkaian pertanyaan yang diajukan pada klien dalam kondisi sadar normal. Prinsip kerja cognitive bridge adalah setiap memori saling terhubung. Dengan mengajukan pertanyaan yang tepat maka penelusuran data atau memori bisa dilakukan secara bertahap dan diharapkan, suatu saat nanti, berhasil mengungkapkan ISE.
Contohnya begini. Misalnya ada 3 data yang saling berhubungan, A, B, dan C. Kita bisa mencapai C, dengan titik awal A, melalui B. Dalam hal ini B adalah cognitive bridge yang menghubungkan A dan C.
Penggalian data menggunakan cognitive bridge bisa mengungkap ISE namun membutuhkan upaya yang tidak sedikit dan waktu yang lama. Biasanya kegagalan analytic therapy seperti ini terjadi karena data yang muncul lebih sering berasal dari pikiran sadar yang tidak mengakses perasaan atau emosi.
Dalam hipnoterapi ada cara yang jauh lebih efektif untuk mengungkapkan ISE yaitu dengan menggunakan affect bridge. Affect bridge bekerja berdasar prinsip bahwa semua memori atau kelompok memori yang ada di pikiran bawah sadar saling terhubung dengan emosi tertentu.
Dengan prinsip ini maka emosi yang dirasakan oleh klien saat sekarang, pada suatu kejadian atau situasi tertentu, dapat dilacak sumbernya di masa lalu klien, hingga ditemukan memori paling awal atau ISE. Syarat untuk bisa melakukan affect bridge yang efektif adalah menggunakan bantuan kondisi hipnosis, terutama pada level kedalaman profound somnambulism, dan intensitas emosi yang tinggi.
Apakah affect bridge adalah satu-satunya teknik yang efektif untuk bisa menemukan ISE?
Di pelatihan saya mengajarkan beberapa teknik lain yang sangat efektif untuk menemukan ISE. Affect bridge hanya salah satunya. Ada satu teknik yang sangat efektif yang mampu langsung membawa klien ke ISE, tanpa harus melewati rangkaian SSE. Teknik lain ini akan saya bahas di kesempatan lain karena akan cukup teknis dan panjang.
Nah, pembaca, saya akhiri artikel ini dengan hal penting yang perlu diperhatikan bila hendak melakukan proses abreaction:
1.Ego Strength terapis dan klien (cukup) kuat untuk menjalani proses abreaction.
2.Terapis menguasai dengan baik teknik penanganan abreaction.
3.Klien dibimbing masuk hingga ke kedalaman profound somnambulism.
4.Abreaction paling optimal bila dilakukan dengan klien mengalami kembali pengalaman traumatik (revivification) yang dulunya tidak bisa/berhasil ia hadapi sepenuhnya.
5.Melalui kerjasama dan bantuan terapis, klien mampu menghadapi situasi traumatik, kembali mengalaminya, melepas emosi yang tertekan, dan mengalami pembelajaran ulang baik pada aspek kognitif maupun afektif.
6.Dalam kasus kekerasan yang dilakukan pada anak, klien bersama terapisnya berhadapan dengan pelaku kekerasan, mengatasi, dan membawa anak melewati pengalaman traumatik.
7.Jika dirasa perlu dilakukan proses abreaction maka abreaction dilakukan hingga emosi yang selama ini tertekan di bawah sadar keluar semuanya hingga tuntas.
8.Saat emosi yang tertekan telah berhasil dikeluarkan semuanya, terapis membantu klien melakukan pemaknaan ulang atas kejadian itu.
9.Abreaction melibatkan prinsip counter-conditioning atau systematic desensitization.