The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Kilas Balik Perjalanan QHI di tahun 2010

21 Desember 2010

Menjelang berakhirnya tahun 2010 saya menyempatkan diri duduk tenang dan merenungi perjalanan karir saya sebagai praktisi, peneliti, pengembang, dan pengajar mind technology sepanjang tahun ini. Sungguh tidak disangka lembaga yang saya dirikan di akhir tahun 2007, yang diberi nama Quantum Hypnosis Indonesia kini berkembang sangat pesat dan telah menyelenggarakan pendidikan dan sertifikasi hipnoterapis profesional hingga angkatan ke 10.

QHI didirikan dengan impian sederhana yaitu saya ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai mind technology, khususnya hipnoterapi, kepada orang lain agar mereka juga mampu melakukan yang saya lakukan. Pemikiran ini muncul karena pada ada banyak calon klien yang membutuhkan terapi namun waktu saya sangat terbatas sehingga tidak bisa membantu mereka. Saat itu saya berpikir seandainya ada minimal 10 orang yang mampu melakukan apa yang bisa saya lakukan maka akan ada lebih banyak orang yang bisa kami bantu.

Workshop QHI pertama diselenggarakan bulan Maret 2008. Materi yang diajarkan di workshop angkatan pertama ini adalah hasil pembelajaran tak kenal lelah baik dengan membaca sangat banyak literatur seperti jurnal psikologi, jurnal hipnoterapi, buku-buku, belajar melalui DVD dan program on-line, dan ditambah lagi dengan pengalaman menerapi ratusan klien selama 4 tahun, mulai 2004 hingga 2008.

Seiring waktu berjalan saya terus melakukan update pengetahuan dan teknik intervensi klinis berdasar hasil riset terkini yang saya pelajari dari literatur, temuan di ruang praktik, sharing dan masukan dari alumni QHI yang juga aktif praktik sebagai hipnoterapis. Dari sini QHI semakin berkembang dan memantapkan diri membangun reputasi dan kredibilitas sebagai salah satu lembaga pelatihan dan sertifikasi hipnoterapi terkemuka di Indonesia, yang menetapkan standar pelatihan dan kendali mutu yang tinggi.

Pengetahuan saya mengenai dunia pikiran semakin maju dan berkembang setelah saya belajar langsung one-on-one dengan (almh) Anna Wise di Berkeley dan Tom Silver di Camarillo di tahun 2009. Untuk semakin memperdalam pengetahuan di bidang mind technology maka di bulan Agustus 2010 saya ke Amerika mendalami neurotherapy.

Semua pengetahuan yang didapat dari para guru terbaik di bidangnya dan diperkuat dengan riset dengan menggunakan berbagai piranti canggih untuk mengukur pola gelombang otak dan kondisi kesadaran manusia membuat lompatan quantum bagi perkembangan QHI.

Dari hasil observasi, laporan penelitian pakar di luar negeri, berbagai data klinis, dan teori yang telah ada, Advanced Research and Development Team (ARDT) QHI akhirnya mampu membangun beberapa teori yang lebih komprehensif mengenai sifat, cara kerja, dan dinamika pikiran bawah sadar.

Ada banyak update, peningkatan dan penajaman, pengembangan, dan penciptaan teknik baru yang berhasil kami lakukan selama tahun 2010 antara lain;

Teknik Induksi

Melalui kerja keras ARDT QHI berhasil mengembangkan teknik induksi yang mampu membawa klien, tipe apa saja, baik yang emotionally atau physically suggestible, tanpa perlu melakukan uji sugestibilitas terlebih dahulu, masuk ke kondisi deep trance (profound somnambulism) atau lebih dalam lagi dengan tingkat keberhasilan 99,05%.

Ini adalah prestasi yang luar biasa karena keberhasilan 99,05% ini dicapai oleh peserta pelatihan QHI yang baru belajar selama 3 hari pertama, dari total 9 hari pelatihan. Dari total 212 subjek yang diinduksi oleh mereka, 210 berhasil masuk ke deep trance dan atau lebih dalam lagi dengan sangat cepat. Dua subjek “gagal” masuk deep trance karena pertama subjek kurang mengerti bahasa Indonesia, dan kedua, induksi dihentikan karena operator merasa kurang sehat. Ini adalah data yang didapat dari peserta QHI 10. Bila dulu masalah kami adalah subjek sulit dibawa masuk ke deep trance maka untuk saat ini masalah yang kami alami adalah subjek masuk terlalu dalam sehingga menjadi tidak responsif. Namun ini adalah masalah yang sangat baik untuk dialami.

Begitu selesai pelatihan QHI 10, dari temuan di lapangan, saya kembali meng-update teknik induksi ini dengan satu cara yang jauh lebih efektif sehingga tingkat keberhasilan teknik induksi yang diajarkan di QHI saat ini mempunyai tingkat keberhasilan dan efektivitas hingga 100% dalam membawa klien masuk ke deep trance atau lebih dalam lagi.

Pada level advanced QHI telah menciptakan teknik “No Induction” Induction. Teknik induksi ini adalah dengan tidak melakukan induksi namun mampu dengan sangat cepat dan pasti membawa klien, tipe apa saja, masuk ke kondisi profound somnambulism atau lebih dalam lagi. Kami sudah mengujicobakan teknik ini dengan tingkat keberhasilan 100%.

QHI Hypnotic Depth Scale

Sebagai upaya untuk membangun pemahaman yang lebih komprehensif mengenai kondisi kesadaran, kedalaman trance, dan berbagai fenomena yang bisa muncul pada setiap level kedalaman trance, maka di akhir September 2010 saya menyusun QHI Hypnotic Depth Scale yang terdiri atas 40 level kedalaman.

QHI Hypnotic Depth Scale berisi penjelasan yang detil mengenai level kedalaman trance berikut fenomena baik pada aspek fisik maupun mental yang terjadi di setiap level kedalaman. Mengacu pada skala kedalaman ini peserta pelatihan mampu benar-benar mengetahui di mana posisi kedalaman trance subjek/klien pada suatu saat. Dengan demikian mereka menjadi sangat percaya melakukan induksi.

Selama ini yang digunakan sebagai acuan oleh para hipnoterapis adalah skala Davis & Husband dan Skala Hary Arrons. QHI saat ini hanya menggunakan QHI Hypnotic Depth Scale sebagai acuan.

Teknik Terapi Advanced

Salah satu perkembangan penting yang dicapai QHI selama tahun 2010 ini adalah terciptanya teknik terapi sangat advanced yang mampu menangani Multiple Trauma dengan sangat cepat dan efektif. Teknik ini telah diujicobakan menangani hingga 40 (empat puluh) kasus traumatik hanya dalam 1 (satu sesi) terapi.

 

Teknik Penanganan Abreaction

Di awal QHI saya hanya mengajarkan 1 (satu) teknik penanganan abreaction. Mengapa hanya satu teknik? Ya karena saat itu, tahun 2008, yang saya praktikkan dan ketahui hanya satu teknik.

Kini di tahun 2010 QHI mengajarkan bahwa untuk bisa melakukan dan menangani abreaction dengan baik, efektif, dan berhasil maka ada 15 prasyarat yang harus dipenuhi. Sedangkan teknik penanganan abreaction telah berkembang dari hanya satu teknik menjadi 14 (empat belas) teknik. Hipnoterapis alumni QHI kini punya pilihan sangat banyak teknik dalam membantu klien memproses abreaction.

Kami juga berhasil mendapatkan cara untuk membantu klien yang “terkunci”, baik secara fisik maupun mental, dalam abreaction yang akut sehingga klien tidak bisa keluar dari kondisi ini. Pengetahuan ini sangat berguna karena dalam kasus ekstrim ada klien yang mengalami abreaction yang sangat hebat yang bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat bisa mengakibatkan klien tidak sadarkan diri. Ini tentu akan sangat berbahaya bagi klien. Kasus seperti ini memang sangat jarang terjadi. Namun sebagai hipnoterapis profesional kita perlu menyiapkan diri untuk kondisi ekstrim. Dan QHI menyiapkan alumni hingga ke level ini.

Ego State Therapy / Parts / Introject

Saat awal mengajar Ego State Therapy termasuk di dalamnya teknik penanganan Part dan Introject saya mengacu pada beberapa buku standar mengenai topik ini. Namun kini, ARDT QHI, melalui riset mendalam dan berbagai data klinis, telah berhasil melakukan terapi berbasis Ego State yang sangat advanced yang belum pernah saya temukan di buku manapun yang saya miliki. Saat ini saya memiliki lebih dari 750 judul buku khusus mengenai hipnosis, hipnoterapi, pikiran, psikologi, dan teknik terapi lain.

Dengan semakin banyak data klinis yang kami temukan dari ruang praktik akhirnya kami menyadari bahwa teori Ego State yang ada saat ini sudah tidak lagi bisa sepenuhnya mengakomodasi temuan penting ini. Kami akhirnya membangun dan mengembangkan teori Ego State sendiri.

Di awal karir saya sebagai hipnoterapis saya mengalami kesulitan untuk melakukan Ego State Therapy. Ada Ego State atau Part atau Introject yang tidak bersedia diajak bicara, tidak mau bekerja sama, atau malah bersifat keras dan kejam.

Dibutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menemukan cara atau teknik mengatasi kendala ini. Dulu waktu bertemu dengan Ego State yang tidak mau bicara maka yang saya lakukan adalah merayu, dengan segala cara, agar Ego State ini mau bicara. Hasilnya? Kadang berhasil namun lebih sering gagal.

Dari riset akhirnya kami berhasil menyusun dan mengembangkan pemahaman akan Ego State antara lain kualifikasi Ego State, Ego State menurut sifat dan fungsinya, hirarki dan kemandirian Ego State dalam struktur psikis, aplikasi Ego State Therapy untuk berbagai kasus klinis, dan ada 14 (empat belas) teknik mengatasi Ego State/Part/Introject yang tidak mau bekerja sama atau keras kepala dan menghambat proses terapi.

Saat ini alumni QHI tidak lagi pernah mengalami kesulitan mengakses dan melakukan Ego State Therapy. Tidak pernah lagi terjadi Ego State/Part/Introject yang tidak bisa diakses atau tidak bersedia bekerja sama. Sesulit apapun kondisinya, dengan teknik yang ada, kami bisa melakukan terapi berbasis Ego State dengan sangat efektif. Semua teknik ini adalah hasil pemikiran dan pengembangan bersama yang dilakukan oleh alumni QHI yang telah menangani berbagai kasus berat seperti schizophrenia, depresi, dan bahkan DID (Dissociative Identity Disorder) atau split personality.

Penanganan Penyakit Fisik

Alumni QHI juga melaporkan bahwa mereka berhasil menangani kasus penyakit fisik seperti kanker kandungan, kanker payudara, diabetes, tumor otak, stroke, psychogenic infertility, impotensi, gangguan pada penglihatan, lumpuh, alergi, asma, dan masih banyak lagi dengan sangat berhasil.

Semua yang mereka lakukan sejalan dengan teori yang dikembangkan QHI mengenai hubungan pikiran, emosi, dan tubuh. Untuk membantu klien mengalami recovery dengan sangat cepat maka kami juga mengembangkan teknik yang khusus digunakan untuk physical healing dengan membawa klien masuk ke kondisi kesadaran khusus yang telah terbukti sangat efektif untuk menyembuhkan sakit fisik. 

Advanced Master Class

Di bulan Desember 2010 untuk pertama kalinya QHI menyelenggarakan kelas Advanced Master Class in Clinical Hypnotherapy. Kelas advanced ini mengajarkan berbagai teknik tingkat lanjut yang tidak diajarkan di kelas QHI 100 jam. Dibutuhkan pemahaman dan penguasaan materi QHI 100 jam dengan sangat baik agar dapat memahami materi di kelas Advanced.

Harapan di tahun 2011

Saya mengakhiri rangkaian seminar dan workshop di tahun 2010 dengan membawakan materi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy dalam format seminar 4 jam di Semarang, tanggal 19 Desember 2010, yang dihadiri 500an peserta.

Sangat banyak kenangan indah selama tahun 2010 ini. Dan satu harapan saya untuk tahun 2011 yaitu semoga apa yang telah kami kembangkan di QHI bisa semakin bermanfaat bagi lebih banyak orang.

Bagi rekan-rekan yang tergerak untuk bisa menjadi seorang hipnoterapis andal, cakap, dan ingin membantu orang lain, maka kesempatan belajar di QHI terbuka seluas-luasnya dan kita akan bertemu di kelas QHI 100 jam sertifikasi hipnoterapis profesional.

Terima kasih atas dukungan anda semua sehingga QHI bisa semakin maju dan berkembang.

Baca Selengkapnya

Memahami dan Memaknai Client-Centered Hypnotherapy

13 Desember 2010

Beberapa hari setelah QHI mempublikasikan kelulusan alumninya di harian nasional Kompas, 1 Desember 2010, saya mendapat pertanyaan dari beberapa rekan berhubungan dengan pernyataan bahwa para alumni ini, setelah melalui proses pendidikan yang sangat terstruktur dan intens yang berlangsung selama 100 jam tatap muka di kelas, berhak menyandang gelar certified client-centered hypnotherapist. Pertanyaan mereka adalah apa beda certified hypnotherapist dan certified client-centered hypnotherapy?

Terminologi client-centered hypnotherapist saat ini memang cukup banyak digunakan oleh rekan-rekan hipnoterapis di Indonesia. Pemahaman dan pemaknaannya juga bisa berbeda bergantung pada masing-masing individu.
 
Jadi, apakah client-centered hypnotherapy itu? Apa bedanya dengan client-centered hypnotherapist?

Client-centered hypnotherapy terdiri atas tiga kata yaitu client, centered, dan hypnotherapy. Sedangkan hypnotherapy terdiri atas dua kata yaitu hypnosis dan therapy.

Hipnoterapi adalah terapi, menggunakan teknik apa saja, yang dilakukan dengan atau dalam kondisi hipnosis. Sedangkan hipnosis adalah penembusan faktor kritis dari pikiran sadar dan diikuti dengan diterimanya suatu sugesti atau perintah tertentu. Jadi, hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan setelah faktor kritis klien berhasil ditembus atau klien telah masuk ke kondisi rileksasi mental yang dalam.

Client adalah orang yang menjalani hipnoterapi. Sedangkan “centered” berarti berpusat. Dengan demikian client-centered hypnotherapy adalah terapi, dengan menggunakan teknik apa saja, yang dilakukan setelah faktor kritis berhasil ditembus atau dalam kondisi rileksasi mental yang dalam, dan berpusat pada klien.
 
Kata berpusat pada klien atau client-centered mengandung makna niat, tujuan, teknik, dan proses terapi dilakukan semata-mata demi kemajuan dan kebaikan hidup klien dan dilakukan dengan memahami kesiapan mental dan fisik, pola pikir, riwayat hidup, karakter, kepribadian, kondisi kejiwaan, dan tujuan akhir yang ingin dicapai klien.
 
Client-centered hypnotherapist adalah hipnoterapis yang melakukan hipnoterapi yang berpusat pada klien.

Salah satu parameter yang menentukan apakah seorang hipnoterapis bersifat client-centered atau therapist-centered adalah teknik yang ia gunakan. Bila berpusat pada klien maka proses terapi, mulai dari fase wawancara, induksi, dan teknik intervensi klinis yang digunakan semuanya disesuaikan dengan kondisi klien. Jadi, pendekatannya sangat bergantung pada klien. Setiap terapi yang berpusat pada klien prosesnya selalu unik dan berbeda.

Bila terapis hanya menggunakan satu teknik saja, dengan kata lain memaksakan tekniknya pada klien baik itu teknik induksi maupun teknik terapi maka proses terapi ini masuk kategori terapi yang berpusat pada terapis (therapist centered) bukan berpusat pada klien (client centered).

Therapist centered terjadi saat terapis hanya menggunakan satu teknik terapi, misalnya hanya sugesti, untuk menangani beragam kasus, padahal tidak semua kasus bisa diselesaikan dengan sugesti. Atau terapis yang mengatakan bahwa klien tidak bisa dihipnosis karena klien terlalu analitikal. Yang sesungguhnya terjadi adalah bukan kliennya yang terlalu analitikal namun  terapisnya yang kurang cakap melakukan induksi. Tidak ada klien yang tidak bisa dihipnosis. Semua orang bisa dihipnosis. Seanalitikal apapun klien, asalkan klien mengijinkan, tidak ada kendala bahasa dan komunikasi, dan terapis sungguh-sungguh mengerti dinamika cara kerja pikiran dan menguasai teknik induksi dengan benar, maka klien pasti bisa masuk kondisi deep trance dengan mudah, cepat, dan pasti. Ada pepatah yang dengan gamblang menjelaskan kondisi ini yaitu if the only tool you have is a hammer, you will treat every problem as a nail.

Parameter lain adalah bila terapis, sebelum melakukan hypnoanalysis, telah berani memastikan bahwa masalah klien disebabkan oleh pengalaman traumatik tertentu, dan dalam hal ini terapis langsung menyimpulkan atau menetapkan kejadian atau pengalaman traumatik yang terjadi di masa kecil, atau bahkan di past life klien, maka ini adalah therapist centered bukan client centered.

Contoh kasusnya seperti ini. Seorang klien datang ke terapis dan mengeluh mengenai kondisi keuangannya yang tidak baik. Klien sudah kerja keras namun selalu gagal. Klien beberapa kali ditipu rekan bisnis. Usaha yang semula berjalan lancar entah kenapa mengalami kendala dan macet sehingga klien rugi besar.

Dengan hanya mendengar sekilas penjelasan klien terapis langsung berani menyimpulkan bahwa pasti di masa kecil klien pernah mendapat imprint atau sugesti dari orangtuanya bahwa uang adalah akar segala kejahatan. Sugesti ini akhirnya menjadi belief negatif dan ini yang mensabotase diri klien.

Ada lagi terapis yang mengatakan bahwa kondisi klien ini terjadi karena di kehidupan lampau (past life) klien pernah menipu beberapa orang. Jadi, apa yang dialami klien di kehidupan saat ini adalah proses membayar hutang karma dari masa lampau. Dan rekan bisnis yang menipu klien di kehidupan saat ini pastilah dulunya adalah orang yang klien tipu. Dengan kesimpulan ini terapis langsung membawa klien ke masa lalu untuk menemukan akar masalahnya dengan menggunakan teknik regresi.

Apakah benar ini akar masalahnya? Belum tentu. Namun bila terapis melakukan regresi pada klien, dengan dasar asumsi ini, maka klien “bisa” menemukan akar masalah yang sejalan dengan asumsi terapis. Hal ini terjadi karena terapis melakukan leading yaitu mengarahkan pikiran klien mengikuti kemauan terapis, bukan guiding. Yang dimaksud dengan guiding adalah terapis hanya berperan sebagai fasilitator dan pikiran bawah sadar klien yang mengungkapkan akar masalah klien.

Apakah client-centerd berarti apapun yang diminta oleh klien pasti (akan/harus) dipenuhi oleh terapis?

Sudah tentu tidak. Saya memaknai client-centered hypnotherapy sebagai hipnoterapi yang berpusat pada klien dan dilakukan dengan kesadaran, kreativitas, dan integritas tinggi dan bersandar pada nilai-nilai kemoralan, spiritualitas, dan kebijaksanaan.

Tidak semua permintaan klien perlu dipenuhi. Misalnya klien ingin bercerai dengan pasangannya dan belum bisa melakukannya karena masih ada perasaan kasihan. Klien datang ke terapis dan meminta terapis untuk menghilangkan perasaan kasihan ini. Apakah perasaan kasihan bisa dihilangkan? Bisa. Apakah terapi ini boleh dilakukan? Boleh, namun sebaiknya jangan. Justru peran terapis di sini, jika memungkinkan, adalah menyatukan kembali pasangan yang ingin bercerai. Apalagi bila mereka sudah punya anak. Perceraian, apapun alasannya, pasti akan menjadi pengalaman traumatik dan melukai hati anak.

Contoh lain, seorang ibu yang meminta hipnoterapis untuk menghentian kebiasaan merokok suaminya. Apakah ini bisa dilakukan? Bisa, asalkan suaminya bersedia dan mengijinkan untuk diterapi. Namun, terapi ini sebaiknya tidak dilakukan bila keinginan berhenti merokok tidak berasal dari keinginan dan kesadaran si suami. Hipnoterapis yang tidak mengindahkan hal ini, apalagi melakukan terapi tanpa persetujuan klien, biasanya akan mengalami perlawanan hebat dari pikiran bawah sadar klien. Alih-alih berhasil menerapi klien seringkali justru kebiasaan buruk yang akan dihilangkan menjadi semakin parah. Saya menyebut fenomena ini sebagai efek pembalikan dari pikiran bawah sadar.

Satu contoh lagi. Seorang wanita, sebut saja Ani, menikah dengan Budi. Ani, waktu masih kuliah dulu sempat pacaran dengan Joko. Ternyata sekarang ini Budi dan Joko adalah rekan sekantor. Joko bercerita pada Budi bahwa dulu waktu masih kuliah ia dan Ani adalah rekan seangkatan dan mereka sempat pacaran. Joko menceritakan banyak hal yang dulu ia lakukan dengan Ani termasuk mereka pernah melakukan hubungan suami istri.

Budi kemudian menanyakan hal ini pada Ani dan Ani mengakuinya, namun tidak seperti yang diceritakan oleh Joko. Budi minta Ani bercerita secara jujur karena ia sebenarnya tidak mempermasalahkan hal ini. Budi hanya ingin tahu apa yang terjadi sesungguhnya.

Ani, karena sudah banyak lupa akan kejadian itu, akhirnya minta bantuan hipnoterapis untuk melakukan forensic hypnosis. Dan selama proses forensic hypnosis Budi akan ikut berada di dalam ruang terapi untuk mengetahui apa yang dulunya terjadi.

Apakah hipnoterapis akan menerima permintaan Ani untuk melakukan forensic hypnosis?

Menurut hemat saya sebaiknya tidak dilakukan. Mengapa? Karena apa gunanya bagi Budi mengetahui apa yang dulu terjadi antara Ani dan Joko? Jika Budi benar-benar bisa menerima istrinya apa adanya, tidak mempermasalahkan masa lalu, lalu buat apa ia meminta istrinya menceritakan kejadian itu selengkap-lengkapnya sampai perlu minta bantuan hipnoterapis? Sebagai suami yang bijaksana seharusnya Budi menegur Joko untuk tidak perlu menceritakan kejadian di masa lalu. Ya kalau benar terjadi, bagaimana kalau ternyata Joko hanya ingin merusak rumah tangga Budi dan Ani? Bagaimana kalau ternyata Joko masih senang pada Ani?

Bagaimana kalau ternyata saat sesi forensic hypnosis dari pikiran bawah sadar Ani keluar data yang bersifat sangat pribadi, yang selama ini ditekan atau disembunyikan oleh pikiran bawah sadar Ani, dan data ini mengakibatkan goncangan kejiwaan baik pada Ani maupun Budi? Bisa-bisa nantinya malah Budi yang butuh terapi. Atau bisa juga Budi tidak bisa menerima hal ini dan memutuskan bercerai.  

Kasus lainnya misalnya ada klien yang mengalami schizophrenia, depresi berat dengan kecenderungan bunuh diri, korban kekerasan seksual, atau kasus lain yang berat dan hipnoterapis sadar bahwa ia belum punya pengalaman, kecakapan, atau pengetahuan untuk menangani kasus-kasus seperti ini, maka akan sangat bijaksana bila hipnoterapis tidak menerima klien ini dan merujuk ke terapis lain yang lebih kompeten.

Kondisi klien yang parah seperti pada kasus yang diceritakan di atas membutuhkan penanganan yang bersifat segera, efektif, dan tepat sasaran. Ada kasus di mana karena ego hipnoterapis yang tidak mau mengakui keterbatasan kecakapannya, tidak bersedia merujuk klien ke terapis lain yang lebih cakap, tetap menerima klien depresi berat dan tidak mampu memberikan terapi yang efektif untuk membantu klien. Akibatnya klien hampir melakukan bunuh diri. Teknik terapi yang dilakukan oleh hipnoterapis di atas dalam menangani kasus depresi berat adalah hanya dengan konseling, nasehat, dan sugesti yang semuanya dilakukan dalam kondisi sadar normal, bukan deep trance.

Ada lagi klien wanita yang datang dan minta dihipnosis agar langsing. Permintaan ini tentunya tidak serta merta diterima. Hipnoterapis perlu mengerti Body Mass Index dalam bahasa Indonesia disebut Index Masa Tubuh (IMT) yaitu sebuah ukuran “berat terhadap tinggi” badan yang umum digunakan untuk menggolongkan orang dewasa ke dalam kategori underweight (kekurangan berat badan), overweight (kelebihan berat badan) dan obesitas (kegemukan). Jika klien sudah underweight namun tetap ingin lebih kurus lagi maka yang perlu dibereskan adalah alasan atau emosi di balik keinginan ini, bukan menuruti kemauan klien yang ingin menurunkan berat badan.

Inilah yang saya maksudkan client-centered hypnotherapy sebagai hipnoterapi yang berpusat pada klien dan dilakukan dengan kesadaran, kreativitas, dan integritas tinggi dan bersandar pada nilai-nilai kemoralan, spiritualitas, dan kebijaksanaan.

Baca Selengkapnya

A Skill As A Symptom And A Symptom As A Skill

24 November 2010

Seorang klien wanita, sebut saja sebagai Ani, usia 23 tahun, datang ke saya diantar oleh kedua orangtuanya. Keluhannya adalah klien mudah sekali pingsan. Kebiasaan pingsan telah dialami Ani sejak ia kelas 3 SD. Jadi Ani sudah cukup lama menderita. Yang sangat membahayakan adalah Ani dapat pingsan kapan saja dan di mana saja dan ini bisa terjadi sewaktu-waktu tanpa ada simtom atau indikasi tertentu. 

Klien lain, Budi, usia 9 tahun, mengalami ketakutan yang luar biasa setiap kali melihat gambar Yesus yang memakai mahkota duri. Setiap kali melihat gambar atau patung yang menggambarkan Yesus dengan mahkota duri Budi pasti berteriak histeris. Saat ditanya mengapa ia berteriak dan menangis Budi berkata, “Budi takut. Kepala Yesus keluar banyak darah. Aduh… Budi ngeri melihat darah menetes dari mahkota duri.” Semakin hari ketakutan ini semakin kuat hingga suatu saat Budi pernah pingsan dan seluruh tubuhnya kaku, sama sekali tidak bisa bergerak.

Awal trauma Budi terjadi saat ia berusia 4,5 tahun. Jadi sudah cukup lama Budi mengalami masalah ini. Dan semakin lama ketakutannya semakin menjadi-jadi. Budi mengalami yang disebut dengan sympton proliferation dan symptom mutation yaitu munculnya simtom-simtom baru dan berubahnya beberapa simtom (mutasi) menjadi simtom lain.
 
Ibu Wati, usia 35 tahun, lain lagi kisahnya. Sudah beberapa bulan ini ia sering bicara sendiri. Ia sering mengaku bernama Dede. Beberapa kali ia mengaku sebagai Anto dan berbicara dengan suara anak laki. Saat ditanya dengan siapa ia bicara, Ibu Wati, lebih tepatnya Anto, menjawab, “Itu ada Nonon, Firda, dan Rudi, temanku. Kami janjian mau ke rumah Bu Tres, belajar bersama.” Ternyata Nonon, Firda, dan Rudi adalah teman Ibu Wati saat di kelas 2 SD. Lalu, siapakah Anto yang menjawab pertanyaan? Apakah Anto adalah roh yang merasuki Ibu Wati?

Pembaca, sebagai orang awam, bila anda menjumpai kasus seperti yang saya jelaskan di atas, apa yang ada di benak anda mengenai orang-orang ini?

Saat bertemu dengan klien-klien ini saya biasanya akan menanyakan apa saja yang telah mereka lakukan untuk mengatasi masalahnya dan siapa saja yang telah mereka mintai pertolongan? Jawabannya bisa macam-macam. Ada yang ke orang pintar, ulama, pendeta, bhante, romo, psikolog, dokter, psikiater, atau pendoa.

Orang pintar membantu pasien mereka dengan cara mereka sendiri. Ulama, pendeta, romo, pendoa biasanya mendoakan agar klien sembuh. Ada juga yang melakukan pengusiran roh jahat atau exorcism yang diyakini telah menguasai atau merasuki klien. Penyembuhan dengan cara ini dikenal dengan nama “tengking” atau “ruqiah”. Bhante biasanya membacakan doa/parita dan memberikan air suci parita untuk diminum. Psikolog membantu klien dengan pendekatan ilmu psikologi dan teknik intervensi klinis tertentu. Dokter dan atau psikiater biasanya memberikan obat.

Dalam artikel ini saya tidak dalam kapasitas untuk menilai atau mengomentari apa yang dilakukan oleh para beliau yang saya sebutkan di atas. Mereka masing-masing melakukan upaya membantu umat atau sesama manusia untuk keluar dari masalah menurut pengetahuan dan kecakapan mereka. Dan ini semuanya benar dalam pengertian yang mereka lakukan sudah sejalan dengan kepercayaan, keyakinan, dan disiplin ilmu yang mereka kuasai.

Sebagai seorang hipnoterapis saya ingin memberikan perspektif yang sedikit berbeda ditinjau dari sudut teknologi pikiran, kondisi kesadaran, dan fenomena trancelogic.

Untuk memahami apa yang terjadi pada klien-klien yang saya jelaskan di atas maka kita perlu memahami bahwa trance sebenarnya adalah altered state of consciousness atau ASD. Ada sangat banyak ASD namun khusus dalam dunia hipnoterapi para pakar telah menyusun skala kedalaman tertentu sebagai acuan. Kami di Quantum Hypnosis Indonesia juga punya skala kedalaman trance yang saya beri nama QHI Hypnotic Depth Scale yang terdiri atas 40 skala kedalaman, lengkap dengan fenomena yang bisa muncul pada setiap level.

Untuk semua kasus di atas sebelum saya tangani, saya pasti menanyakan riwayat kesehatan klien untuk memastikan bahwa masalah klien bersifat psychogenic bukan organic.

Pada kasus pertama, Ani, setelah melakukan intake interview, kalau dalam bahasa psikologi disebut anamnesis, saya menyimpulkan bahwa Ani sebenarnya bukan pingsan atau tidak sadar. Yang terjadi adalah Ani masuk ke kedalaman trance yang sangat dalam sebagai upaya untuk lari dari tekanan mental berlebih (overload) yang mengguncang dan membahayakan kestabilan sistem psikisnya.

Saat seseorang berhadapan dengan kondisi yang bersifat mengancam keselamatannya, baik secara fisik maupun psikis, maka respon lawan (fight) atau lari (flight) secara otomatis bekerja. Jika ancaman bisa diatasi maka respon yang bekerja adalah lawan. Jika ancaman ini terlalu besar atau kuat untuk diatasi maka yang aktif adalah respon lari atau flight. Lari, dalam hal ini, bisa lari, secara fisik, menjauhi ancaman, atau lari ke dalam diri dan masuk ke kondisi trance. Bagi orang awam kondisi ini disebut dengan pingsan.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Frankel (1976), “Trance as a coping mechanism”. Saat berhadapan dengan suatu masalah kita akan “masuk” ke dalam diri untuk mencari pertolongan dengan mengakses dan menggunakan sumber daya apapun yang ada di dalam diri.

Jika asumsi saya benar maka Ani dapat saya buat pingsan dengan sengaja. Dengan teknik tertentu saya berhasil membuktikan bahwa dugaan saya benar. Ani dengan cepat masuk ke kondisi pingsan. Jika anda jeli saya tidak mengatakan Ani menjadi pingsan namun saya menulis Ani masuk ke kondisi pingsan. Setelah berhasil membuat Ani pingsan dengan sengaja selanjutnya saya membawa Ani keluar dari kondisi pingsan ini dengan mudah dan cepat.

Sebenarnya yang disebut dengan pingsan, menurut orang awam, kalau dalam dunia hipnoterapi disebut sebagai kondisi Esdaile. Orang yang masuk ke dalam kondisi ini akan merasakan perasaan yang begitu menyenangkan, bahagia, damai, dan tidak ingin keluar. Ia sadar sepenuhnya, bisa mendengar apa yang terjadi di sekelilingnya, bisa mendengar orang di sekeliling memanggil-manggil namanya. Namun ia tidak mau keluar dari kondisi yang begitu menyenangkan. Ia memilih untuk tetap “pingsan” sampai puas. Baru setelah itu keluar dari kondisi ini.

Dengan kata lain pingsannya Ani sebenarnya adalah suatu skill atau keterampilan yang luar biasa. Orang biasa akan sulit bisa masuk ke kondisi Esdaile. Namun Ani dapat dengan mudah masuk ke kondisi ini saat ia merasakan adanya tekanan mental sampai pada level intensitas tertentu.

Sayangnya selama ini keterampilan “pingsan” bekerja secara otomatis, tidak dapat dikendalikan secara sadar oleh Ani. Melalui edukasi yang cukup dan latihan, tentunya semua ini dilakukan dalam konteks terapi, saya melatih Ani sehingga mampu menggunakan keterampilan ini secara sadar, pada waktu dan situasi yang tepat demi kebaikan dan kemajuan dirinya.

Saya juga pernah ditelpon oleh seorang sahabat yang dengan suara agak panik mengabarkan bahwa salah satu staffnya, Rina, pingsan dengan mata terbuka. Benar, anda tidak salah baca. Rina, kebetulan saya kenal baik, pingsan dengan mata terbuka. Yang lebih luar biasa lagi, sebelum pingsan Rina memilih duduk atau bersandar di tempat yang aman. Aneh ya, pingsan kok bisa memilih tempat yang nyaman?

Menggunakan pemahaman yang sama seperti yang telah saya jelaskan di atas, saya berbicara dengan (pikiran bawah sadar) Rina melalui telpon dan membimbing Rina keluar dari pingsannya.

Ternyata Rina memang sedang punya banyak masalah di rumah, dan di kantor ia ditakut-takuti oleh rekan-rekannya yang mengatakan bahwa ada makhluk halus yang senang dengan dirinya. Karuan saja Rina menjadi semakin cemas dan takut hingga akhirnya ia “pingsan”.

Pada prinsipnya ada tiga cara untuk menghasilkan atau memunculkan kondisi hipnosis atau trance state:
1.Dengan menggunakan emosi takut dan tekanan atau paksaan.
2.Dalam kondisi yang tepat klien dapat dirayu atau dipengaruhi untuk masuk ke kondisi trance. Rayuan ini bisa bersifat seksual, non-seksual, atau kombinasi keduanya.
3.Subjek dapat dibimbing, diarahkan, atau diperintahkan untuk masuk ke kondisi trance dengan menggunakan teknik induksi tertentu.

Pada kasus Ani dan Rina mereka masuk ke kondisi trance karena emosi takut atau tekanan mental yang berlebih sehingga mengganggu equilibirium sistem psikis.  Dalam konteks terapi, cara ketiga adalah yang paling sesuai untuk membawa klien masuk kondisi trance.
 
Kasus Budi lain lagi. Secara umum dikatakan bahwa Budi mengalami halusinasi visual sehingga melihat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Dalam dunia psikiatri ini adalah salah satu indikasi schizophrenia. Berhubung saya bukan psikiater atau dokter jiwa maka saya tidak bisa menggunakan terminologi ini.

Sebagai hipnoterapis saya melihat kasus Budi sebagai fenomena trance yang dinamakan positive visual hallucination, sesuatu yang tidak ada tampak menjadi ada. Foto atau patung yang seharusnya tidak ada darah tampak ada darahnya. Munculnya halusinasi, baik visual maupun auditori, positif maupun negatif, semuanya bergantung pada kedalaman trance yang berhasil dicapai seseorang.

Saya memilih tidak berdebat dengan orangtua atau lingkungan Budi yang mengatakan bahwa tidak ada darah di foto atau patung, atau Budi salah lihat, atau menyalahkan Budi. Saya memilih setuju dan sependapat dengan Budi bahwa memang ada darah di mahkota duri Yesus yang ia lihat karena memang ini adalah realita subjektif Budi.

Bagaimana cara menyembuhkan simtom ini? Mudah sekali. Yang saya lakukan adalah membalik persepsi realita subjektif Budi, dari positive visual hallucination menjadi negative visual hallucination. Dengan demikian darah yang tadi ada sekarang menjadi tidak ada lagi. Case closed.
 
Lalu, bagaimana dengan tubuh Budi yang kaku? Ini adalah kondisi fisik yang disebut dengan catatonia. Catatonia adalah salah satu fenomena yang muncul saat seseorang masuk ke kondisi hipnosis yang sangat dalam, lebih dalam dari kondisi Esdaile. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Catatonia sering dialami orang sebagai fenomena “ketindihan” yaitu saat setengah sadar, mau tidur, seluruh tubuh menjadi kaku dan tidak bisa digerakkan sama sekali.

Bagaimana dengan Ibu Wati? Apakah ia kerasukan? Mengapa ia mengaku bernama Anto dan suaranya menjadi anak laki?

Yang terjadi pada diri Ibu Wati adalah spontaneous regression atau regresi spontan ke usia 8 tahun saat ia kelas 2 SD. Dede adalah nama panggilan Ibu Wati saat kecil. Sedangkan Anto adalah introject dari salah satu sahabat karib Wati kecil. Saat mengalami spontaneous regression terjadi switching antara Ego State Dede, yang sebenarnya adalah Wati kecil, dan Introject Anto, sahabat karibnya.  Yang membingungkan orang disekitarnya adalah baik Dede maupun Anto berbicara melalui Ibu Wati dewasa. Kesannya menjadi seram dan sangat membingungkan karena suara Ibu Wati berubah mengikuti suara Ego State atau Introject yang aktif saat itu.

Penanganan kasus ini cukup unik dan membutuhkan kreativitas yang tinggi. Berbekal pemahaman kedalaman tance dan fenomena yang bisa muncul di setiap level kedalaman, saya mengembalikan kondisi Ibu Wati, yang mengalami regresi spontan, dengan melakukan progresi ke masa sekarang.

Regresi spontan dan munculnya sifat, perilaku, kemampuan berpikir yang mirip atau sama dengan anak-anak sejalan dengan yang ditemukan oleh Gill dan Brenman (1959)  yang berdasar model psikoanalisa Freud sampai pada konsep hipnosis sebagai regression in the service of the ego.

Perilaku hipnotik spontan yang tidak adaptif, seperti yang dijelaskan di atas, seringkali salah didiagnosa sebagai gangguan kejiwaan berat. Hal ini mengakibatkan upaya penanganan untuk membantu klien mengatasi masalahnya menjadi tidak efektif, membutuhkan waktu yang relatif lama, dan membuat klien semakin menderita.

Dengan memahami bahwa saat seseorang berhasil masuk ke kondisi deep trance maka bisa muncul berbagai fenomena yang “tidak lazim”, yang bila tidak dimengerti akan dianggap sebagai simtom gangguan mental, dan juga dengan memahami bahwa simtom yang ditunjukkan klien bisa berupa fenomena trance maka hipnoterapis dapat melatih klien untuk bisa mengendalikan dan menggunakan skill ini secara sadar, sesuai kebutuhan.

Namun, hipnoterapis juga perlu sangat hati-hati dalam menyikapi simtom klien. Kita tidak boleh langsung mengatakan bahwa simtom yang ditunjukkan oleh klien adalah skill dan atau skill klien yang mengakibatkan munculnya simtom.

Saya biasanya baru berpikir demikian bila klien telah melakukan berbagai upaya terapi secara formal namun belum bisa mendapatkan hasil seperti yang diharapkan.

Baca Selengkapnya

Treating Depression With Hypnotherapy

10 Agustus 2010

Di tahun 1999, WHO (World Health Organization) melansir laporan mengenai prevalensi depresi yang menyatakan bahwa depresi adalah musuh nomor empat manusia setelah sakit jantung, kanker, dan kecelakaan lalu lintas. Laporan yang sama menyatakan bahwa di tahun 2020 depresi akan naik peringkat menjadi faktor nomor dua yang menyebabkan penderitaan manusia (Murray & Lopez, 1997).

Apa sebenarnya depresi?

Simtom depresi menurut DSM-IV yaitu perasaan tertekan hampir sepanjang hari atau hilangnya minat pada hal-hal yang umumnya disukai atau sering dilakukan, nafsu makan menurun drastis yang mengakibatkan  turunnya berat badan, gangguan tidur, emosi tidak stabil, kelelahan yang sangat (fatique), perasaan diri tidak berharga, perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak pada tempatnya, konsentrasi yang buruk, keinginan atau kencederungan bunuh diri, dan bahkan sampai melakukan tindakan bunuh diri (APA, 1994). Data yang dikeluarkan WHO menyatakan bahwa depresi merenggut lebih dari 850.000 jiwa setiap tahun.

Depresi bisa dialami oleh siapa saja, baik pria atau wanita, dewasa atau anak-anak. Namun sayangnya kurang dari 25% orang, di beberapa negara tertentu kurang dari 10%, orang yang mengalami depresi mendapatkan perawatan yang efektif.

Studi lintas budaya yang dipublikasi di Journal of The American Medical Association menemukan satu simtom yang paling sering muncul yaitu insomnia dan perasaan letih dan lemah hampir sepanjang waktu.

Ada tiga jenis insomnia: 1. Awal – Kesulitan yang dialami saat mau tidur, 2. Tengah: bisa tidur dengan cukup mudah, namun terbangun beberapa jam kemudian dan setelah itu tidak bisa tidur lagi, 3. Akhir: bangun beberapa jam lebih awal dari waktu yang seharusnya dan tidak bisa tidur lagi.

Dampak Depresi

Depresi mengakibatkan dampak yang luar biasa bagi penderitanya. Setidaknya, depresi berdampak pada biaya, emosi, fisik, dan sosial.

•Dampak Biaya: Kinerja menurun, istirahat / cuti, tidak produktif, biaya pengobatan, bahkan hilangnya potensi penghasilan karena penderita bunuh diri.
•Dampak emosi: hidup dipenuhi dengan perasaan tidak nyaman, tidak berdaya, penyesalan mendalam, sedih, putus asa, cemas.
•Dampak fisik: tubuh sakit, psikosomatis, jika ada sakit lebih cenderung mengalami komplikasi, kecepatan pemulihan kondisi kesehatan lebih lama dan lambat, lebih cenderung kena serangan jantung
•Dampak sosial: konflik dalam keluarga, ketidakmampuan menjalankan fungsi dan peran sebagai orangtua yang baik, perceraian, putusnya persahabatan, perilaku yang merugikan diri sendiri dan atau orang lain seperti mabuk, penggunaan obat-obatan terlarang, dan child abuse.

Mengapa Depresi?

Hasil riset menunjukkan ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi atau mengalami depresi:

• Kondisi kehidupan yang penuh tekanan
• Konflik pernikahan
• Physical atau sexual abuse (di masa lalu atau masa kini)
• Kesulitan ekonomi
• Kecakapan sosial yang buruk
• Kecakapan pemecahan masalah yang buruk
• Kecakapan manajemen diri yang buruk
• Cara berpikir disfungsional
• Kondisi mental yang lemah / bermasalah (misal: kecemasan)

Sebagai clinical hypnotherapist saya memandang depresi adalah sesuatu yang baik karena merupakan bentuk komunikasi pikiran bawah sadar ke pikiran sadar. Faktor yang dijelaskan di atas bila dicermati dengan saksama menyiratkan satu hal yang sama, yang menjadi sumber masalah sehingga mengakibatkan seseorang masuk ke kondisi depresi, yaitu semua faktor ini mengakibatkan seseorang mengalami tekanan emosi (baca: perasaan tidak nyaman) yang tinggi.

Saya mengatakan “masuk ke kondisi depresi” bukan sekedar mengalami depresi karena seseorang tidak serta merta langsung depresi. Ada tahap dan proses yang pasti dilalui siapa saja untuk akhirnya masuk ke kondisi depresi. Untuk memahami depresi, menurut teori yang saya kembangkan sebagai dasar penyusunan Quantum Hypnotherapeutic Protocol, pertama-tama kita perlu memahami sifat dan cara kerja pikiran bawah sadar.

Pikiran bawah sadar adalah tempatnya emosi, memori, persepsi, belief, value, dan kepribadian. Saat seseorang mengalami kondisi atau situasi yang ia persepsikan sebagai hal yang mengganggu atau tidak nyaman maka akan muncul emosi tertentu yang disebut dengan primary emotion. Yang masuk dalam kategori primary emotion antara lain: marah, benci, jengkel, dendam, kecewa, terluka, perasaan bersalah, sakit hati, sedih, takut, kesepian, dan bosan.

Primary emotion ini adalah komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar yang mengabarkan bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak sejalan dengan keinginan, nilai, atau kepercayaan yang tersimpan di pikiran bawah sadar. Setiap emosi ini mempunyai makna dan kebutuhan yang perlu dipenuhi. Untuk itu pikiran sadar diminta untuk segera menyelesaikannya.

Bila pesan atau permintaan primary emotion ini tidak ditanggapi, ditanggapi tapi salah, atau diabaikan maka pikiran bawah sadar akan meningkatkan komunikasinya dengan menaikkan intensitas emosi yang dirasakan seseorang. Pada saat ini muncul secondary emotion yaitu frustrasi.

Selanjutnya bila secondary emotion ini juga tidak berhasil diatasi maka akhirnya penderita akan masuk ke fase ketiga yaitu depresi.

Salah satu sebab mengapa penderita depresi cenderung melakukan tindakan bunuh diri adalah karena salah satu fungsi pikiran bawah sadar adalah melindungi pikiran sadar dan tubuh fisik dari sesuatu yang ia (pikiran bawah sadar) persepsikan sebagai hal yang merugikan atau membahayakan. Dalam hal ini, langkah paling cepat dan mudah untuk menghentikan semua penderitaan ini secara permanen, menurut pikiran bawah sadar, adalah dengan bunuh diri.

Teori Tungku Mental

Untuk lebih memahami proses terjadinya depresi, bayangkan di depan anda ada sebuah tungku (pikiran) yang terbuat dari tanah liat dan berisi air. Di bawah tungku ada api (emosi) yang menyala. Tungku ini dalam kondisi tertutup rapat.

Bila api yang membakar tungku tetap dipertahankan atau bahkan semakin diperbesar maka tungku menjadi semakin panas, air dalam tungku akan mendidih, berubah menjadi uap yang semakin lama semakin kuat menekan dinding tungku, mencari jalan keluar. Suatu saat akan muncul retakan kecil di dinding atau tutup tungku sehingga sebagai uap bisa keluar.
Ada tiga cara untuk menyelamatkan tungku agar tidak meledak dan hancur. Pertama, tungku dikompres dengan air dingin sehingga temperaturnya turun. Bila kompresnya dihentikan maka temperatur akan naik lagi. Ini adalah pengobatan yang dilakukan dengan mengkonsumsi obat antidepresan.

Kedua adalah dengan membuat retakan-retakan kecil di dinding atau tutup tungku sehingga uap bisa keluar dan tekanan berkurang. Kondisi ini sama dengan penderita yang curhat, menangis (katarsis), berteriak, memukul,  atau membanting benda di sekitarnya. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan tekanan dan akhirnya merasa lega. Namun cara pertama dan kedua ini disebut dengan sypmtomatic therapy dan tidak menyelesaikan masalah karena penderita bisa kambuh lagi.

Ketiga, adalah dengan mematikan api (emosi) yang berada di bawah tungku. Bila apinya mati maka dengan sendirinya tungku akan menjadi dingin dan tidak ada lagi tekanan yang menekan dinding tungku. Ini adalah causal therapy dan solusi yang paling efektif, efisien, dan permanen. 

Menyembuhkan Depresi Dengan Hipnoterapi

Saya sering menangani klien yang mengalami depresi berat dan bahkan yang sudah beberapa kali mencoba bunuh diri. Saat keluarga klien berkata, “Pak Adi, anak kami ini sudah beberapa kali mencoba bunuh diri”, saya selalu menjawab, “Oh… ini bagus sekali.” Biasanya keluarga klien kaget mendengar jawaban ini.

Saya lalu menjelaskan bahwa mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) yang ada di pikiran bawah sadar klien masih berfungsi normal yaitu berusaha menghentikan penderitaan klien. Dengan pemahaman ini saya nanti akan mengubah arah atau energi pikiran bawah sadar, yang berasal dari defense mechanism, dari jalur bunuh diri ke jalur hidup konstruktif, damai, dan bahagia.

Mengacu pada teori Tungku Mental dan Quantum Hypnotherapeutic Protocol yang saya kembangkan selanjutnya saya melakukan terapi pada klien.  Inti dari terapi yang saya lakukan adalah membantu klien untuk mengeluarkan tekanan emosi negatif sebanyak-banyaknya dan secepatnya mematikan api yang membakar tungku mentalnya.

Apakah sesederhana ini? Ya.

Apakah mudah? Tidak. 

Hal yang perlu diperhatikan adalah apakah api (emosi) yang membakar tungku mental berasal dari kejadian traumatik di masa lalu (traumatic past experience),  kejadian di masa sekarang (unresolved present issue), ataukah kejadian dari masa lalu dan berlanjut hingga saat ini. Teknik dan proses pemadaman apinya berbeda.

Hal sulit lainnya saat menangani kasus depresi adalah membawa klien masuk ke kondisi deep trance. Kondisi pikiran yang sulit fokus, karena kecemasan yang tinggi, membuat teknik induksi yang biasanya sangat efektif bagi klien normal menjadi mandul dan tidak efektif. Klien yang depresi sulit masuk deep trance. Umumnya mereka berada di level light hingga medium trace.

Saat sedang diterapi biasanya klien akan mengalami ledakan emosi atau abreaction/catharsis yang hebat. Terapis perlu sangat berhati-hati memilih teknik abreaction yang akan dijalankan pada klien. Kondisi mental klien yang rapuh tidak mengijinkan dilakukan abreaction yang intens dan lama.

Apabila emosi yang diproses ternyata sangat intens maka, demi kebaikan dan kenyamanan klien, terapis  perlu menggunakan strategi memecah tekanan emosi menjadi cluster-cluster yang lebih mudah dikendalikan. Bila diperlukan, terapis bisa melakukan karantina cluster emosi untuk diproses di sesi berikutnya. Tujuannya adalah agar hasil terapi yang telah berhasil dicapai bisa bekerja semakin kuat tanpa diganggu oleh dianulir oleh bagian (malevolent part) dari pikiran bawah sadar yang membawa atau mengendalikan emosi ini.

Kunci dari terapi depresi, menurut pengalaman saya, adalah dengan melakukan pemaknaan ulang atas peristiwa yang mengakibatkan munculnya emosi negatif. Pemaknaan ulang ini hanya bisa dilakukan dengan efektif, tanpa mengalami resistensi berarti dari pikiran bawah sadar, bila emosi yang mengganggu atau tertekan (repressed) di pikiran bawah sadar dapat diakses dan diproses.

Terapi menjadi jauh lebih sulit bila ternyata klien sudah minum obat penenang seperti Antipres, Aurorix, Cipralex, Xanax, Zoloft, Valium, Stablon, dan yang lainnya. Klien yang minum obat penenang biasanya emosinya datar sehingga terapis mengalami kesulitan untuk mengakses emosi yang menjadi penyebab depresi. Untuk itu dibutuhkan teknik khusus agar emosi yang tertekan, akibat pengaruh obat, bisa muncul dan diproses. Terapis juga perlu tahu nama, jenis, dan dosis obat yang diminum klien.

Untuk meningkatkan hasil dan daya guna terapi maka terapis membutuhkan kerjasama dan bantuan keluarga klien agar mendukung dan membantu memelihara serta meningkatkan perubahan positif yang dicapai di sesi terapi.

Saya  pernah punya pengalaman menangani kasus klien wanita yang telah mengalami depresi selama 2 tahun. Klien sering mengamuk tanpa sebab dan membanting atau merusak benda-benda yang ada di sekitarnya.

Saat bertemu dengan saya klien sudah dalam perawatan psikiater dan minum obat penenang. Sulit bagi saya untuk bisa menginduksi klien untuk masuk ke kondisi deep trance, apalagi mengakses emosinya. Klien tidak “merasakan” apapun. Emosinya datar. Namun dengan teknik tertentu, walaupun dengan sedikit upaya ekstra, saya berhasil memancing emosinya untuk muncul, walau hanya sesaat, dan langsung memprosesnya. Begitu emosi ini berhasil diproses klien langsung berubah menjadi jauh lebih lega, tenang, dan nyaman. Saya selanjutnya menjadwalkan sesi berikutnya satu minggu kemudian.

Hanya selang dua hari setelah terapi saya mendapat telpon dari ibu klien yang mengabarkan bahwa klien kambuh dan mulai marah-marah dan membanting barang-barang di sekitarnya. Jujur saya cukup kaget mendengar kabar ini. Secara teknis, dari pengalaman saya sebelumnya, klien biasanya hanya akan merasa kurang nyaman, tapi tidak kambuh seperti kondisi sebelum saya terapi.

Apa yang salah ya?

Setelah bertanya lebih mendalam kepada ibu klien saya mendapatkan kabar yang mengagetkan. Ternyata, tanpa ijin dari psikiater, Ibu klien mengurangi dosis obat penenang yang diminun klien.

Saya tanya, “Mengapa Ibu sampai berani mengurangi dosis obatnya?”

“Saya lihat anak saya sudah baik kondisinya. Dia sudah bisa diajak bicara normal, sudah gembira, bisa tertawa. Jadi saya pikir sudah tidak perlu minum obat lagi” jawab si Ibu dengan polos.

Singkat cerita, saya segera meminta klien bertemu saya untuk sesi kedua. Dan di sesi kedua ini saya berhasil membantu klien keluar dari kondisi depresinya. Sekarang klien sudah stabil dan hidup normal.

Hipnoterapis pemula atau terapis yang hanya mengandalkan teknik terapi berbasis sugesti sebaiknya tidak menerima atau menerapi klien yang depresi. Ini akan kontraproduktif. Sugesti tidak efektif untuk menetralisir tekanan emosi, yang sangat tinggi, yang ada di pikiran bawah sadar. Ibaratnya kita hendak memadamkan kobaran api yang membakar sebuah gedung hanya dengan air satu ember.

Seorang rekan terapis sempat menceritakan kasus yang ia tangani. Kasus ini adalah limpahan dari terapis lain yang sebelumnya telah menangani kliennya. 

Ceritanya begini. Seorang klien wanita yang mengalami depresi berat, sudah mencoba bunuh diri, dibawa keluarganya menemui terapis A. Oleh terapis A ini klien hanya diajak diskusi, konseling, dan diberikan beberapa sugesti agar klien bisa kuat, tabah, dan sembuh. Terapis A juga mengajari klien ini melakukan beberapa teknik self-therapy yang harus klien lakukan sendiri di rumah. Selanjutnya terapis A meminta klien untuk menemuinya lagi 5 hari kemudian.

Ternyata kondisi klien semakin hari semakin memburuk. Empat hari setelah bertemu terapis A, malam harinya, klien berusaha bunuh diri dengan melompat dari lantai dua rumahnya. Untung hal ini diketahui keluarganya dan berhasil dicegah. Malam itu juga, setelah berkonsultasi dengan rekan saya ini, keluarganya memasukkan klien ini ke rumah sakit dan langsung diberi obat penenang. Klien ini sempat beristirahat selama hampir seminggu di rumah sakit dan ditangani oleh psikiater yang berpengalaman.

Rekan saya sungguh menyayangkan kejadian ini. Ternyata terapis A sebenarnya belum pernah menangani kasus berat seperti depresi. Jadi belum berpengalaman. Masih menurut rekan saya, penanganan depresi berat tidak bisa dilakukan dengan hanya memberikan konseling atau sugesti. Dibutuhkan teknik intervensi klinis yang lebih advanced untuk bisa membantu klien yang depresi. Terapis tidak boleh mengutamakan egonya sendiri. Yang harus diutamakan adalah keselamatan hidup klien. Kalau memang tidak kompeten sebaiknya klien dirujuk ke psikiater atau hipnoterapis lain yang memang cakap dan mampu menangani kasus depresi. Satu hal yang tidak diketahui oleh terapis A, menurut rekan saya, yaitu orang yang depresi tidak akan menjalankan instruksi untuk melakukan teknik self healing. Jangankan melakukan self healing yang diajarkan terapis, obat yang diberi oleh dokter atau psikiater saja biasanya tidak mau diminum. 

Bila klien telah ditangani oleh psikiater maka hipnoterapis, dalam hal ini, hanya membantu atau melengkapi upaya penyembuhan klien. Hipnoterapis tidak boleh meminta klien berhenti minum obat atau mengurangi dosis obat yang diberikan psikiater. Yang berhak mengurangi, mengganti, atau menghentikan obat yang diminum klien adalah dokter atau psikiater yang menangani klien. Bila hipnoterapis meminta klien mengurangi atau berhenti minum obat maka ini adalah malpraktik. Bila sampai terjadi hal negatif pada klien akibat saran hipnoterapis ini maka keluarga klien berhak menuntut hipnoterapis ini.

Baca Selengkapnya

Rumah Tangga Berantakan Karena PLR

21 Juli 2010

Artikel ini saya tulis dengan keprihatinan mendalam terhadap kasus hipnoterapi yang menurut hemat saya masuk dalam kategori malpraktik yang berakibat sangat buruk terhadap klien. Besar harapan saya setelah membaca artikel ini kita semua bisa lebih hati-hati dan arif dalam bertindak, baik sebagai klien maupun hipnoterapis, agar kasus seperti ini tidak terulang lagi.

Beberapa bulan lalu saya mendapat cerita dari salah satu murid saya yang menangani seorang pria yang depresi akibat ditinggal oleh istrinya setelah sang istri, sebut saja Ani, menjalani sesi “hipnoterapi” dengan seorang hipnoterapis terkenal di Jakarta.

Minggu lalu saya mendapat cerita dari murid saya yang lain yang mengatakan bahwa seorang suami, sebut saja sebagai Anto, meninggalkan istrinya juga setelah menjalani sesi “hipnoterapi”. Setelah bertanya lebih dalam akhirnya diketahui bahwa hipnoterapis yang menangani kedua kasus ini adalah hipnoterapis yang sama dan menggunakan teknik terapi yang sama.

Saya sungguh prihatin dengan apa yang dilakukan hipnoterapis ini karena menurut hemat saya ini sudah masuk kategori malpraktik yang sangat fatal.

Cerita lengkapnya begini. Pada kasus pertama, Ani bertemu dengan hipnoterapis ini untuk menjalani Past Life Regression (PLR). Alasan Ani adalah ia ingin mengetahui siapa soulmate-nya di kehidupan lampau. Tanpa bertanya lebih mendalam, menggali lebih detil alasan dan tujuan klien meminta PLR, hipnoterapis ini langsung melakukannya.

Singkat cerita soulmate Ani di “kehidupan lampau” ternyata bukan suaminya yang sekarang, di kehidupan ini. Soulmate-nya adalah pria lain, yang kebetulan ia kenal. Setelah mengetahui siapa soulmate-nya akhirnya Ani memutuskan meninggalkan suaminya dan memilih “melanjutkan” hubungan asmaranya dengan soulmate-nya. Ck.. ck… ck.. ini sungguh tidak masuk akal dan merusak kehidupan rumah tangga. Suami Ani shock dan kaget karena tiba-tiba ditinggal istrinya akhirnya mengalami depresi.

Pada kasus kedua, ceritanya lebih seru lagi. Setelah menikahi seorang gadis di kota kecil, Anto memilih untuk merantau ke Jakarta untuk bekerja dan mengadu nasib. Baru beberapa bulan di Jakarta ternyata Anto tertarik pada wanita lain. Semakin lama Anto semakin erat hubungannya dengan WILnya dan mulai tidak lagi menghiraukan istrinya.

Selanjutnya Anto bersama dengan WILnya menemui hipnoterapis ini dan meminta untuk dilakukan PLR. Saat ditanya oleh si hipnoterapis apa tujuan dilakukan PLR mereka menjawab untuk mengetahui apakah di kehidupan lampau mereka punya hubungan khusus atau tidak.

Informasi apa yang didapat setelah dilakukan PLR pada Anto dan WILnya?

Luar biasa. Ternyata “benar”, Anto dan WILnya di kehidupan lampau adalah soulmate. Berdasar temuan yang sangat meyakinkan ini Anto selanjutnya menelpon istrinya dan menyampaikan bahwa ia tidak bisa putus hubungan dengan WILnya karena wanita yang menjadi WILnya adalah seseorang yang istimewa, soulmatenya dari kehidupan lampau. Dan sejak saat ini pula Anto tidak lagi pernah menghubungi istrinya.

Sampai saat ini status hubungan Anto dan istrinya tidak jelas. Apakah masih akan terus ataukah pisah.

Pembaca, apa yang dilakukan oleh hipnoterapis ini sungguh suatu tindakan yang tidak bertanggung jawab dan sangat merusak keutuhan keluarga dan rumah tangga.

Mari kita bahas satu per satu. Pada kasus pertama, dari mana si hipnoterapis tahu bahwa benar pria yang dijumpai Ani di “kehidupan lampaunya” benar-benar adalah soulmatenya. Bisa jadi rumah tangga Ani kurang harmonis, ada masalah, dan ini adalah alasan bagi Ani untuk meninggalkan suaminya.

Apakah si hipnoterapis benar-benar bisa menjamin apa yang Ani alami adalah benar-benar pengalaman PLR ataukah sekedar hasil rekayasa atau ciptaan pikiran sadar Ani? Bisa jadi Ani memang berniat meninggalkan suaminya, sudah punya PIL.

Kasus kedua lebih parah lagi. Dalam hal ini hipnoterapis tidak cermat, tidak hati-hati, tidak profesional, dan hanya bekerja berdasarkan orderan. Logika berpikirnya sederhana. Kalau dua orang lagi jatuh cinta maka emosi cinta ini akan mempengaruhi baik pikiran sadar maupun bawah sadarnya. Jika lagi jatuh cinta maka tanpa PLR pun mereka bisa yakin 1.000% kalau mereka ini adalah soulmate. Lalu, buat apa lagi dilakukan PLR?

PLR yang dilakukan oleh si hipoterapis ini justru digunakan oleh Anto dan WILnya untuk membenarkan perbuatan mereka dan dijadikan alasan yang kuat dan masuk akal bagi Anto untuk meninggalkan istrinya.

Murid saya pernah bertanya, “Pak Adi, jika misalnya Bapak yang menangani kasus seorang wanita yang bertemu soulmatenya di kehidupan lampau dan ternyata soulmate-nya ini bukan suaminya di kehidupan sekarang, apa yang akan Bapak lakukan?”

Yang pertama, saya harus menegaskan ulang bahwa saya dan semua alumni QHI tidak diperkenankan melakukan PLR berdasarkan pesanan. PLR yang terjadi, kalaupun ada, adalah yang terjadi secara spontan. Dan dari pengalaman profesional saya sebagai hipnoterapis, dari lebih dari 1.000 kasus terapi personal yang saya tangani, yang mengalami PLR spontan tidak lebih dari 12 (dua belas) kasus saja.

Nah, sekarang kembali ke pertanyaan murid saya. Apa yang akan saya lakukan?

Jawaban saya selalu sebagai berikut: Saya akan menaikkan perasaan cinta dan sayang klien pada soulmate-nya  setingg-tingginya, dan setelah itu saya akan melakukan Ctrl-A, Ctrl-C, dan Ctrl-X perasaan cinta dan sayang klien pada soulmate-nya ini dan saya pindahkan semuanya ke suaminya yang sekarang. Sehingga klien akan menjadi sangat cinta dan sayang pada suaminya, yang sekarang, dan menjadi hambar dengan soulmate-nya. Case closed.

Mengapa tindakan ini yang pasti saya lakukan? Prinsip hidup saya menyatakan bahwa keutuhan rumah tangga harus dipertahankan dan ditingkatkan. Dengan demikian bila suatu rumah tangga ada masalah maka kita, hipnoterapis, dengan semua pengetahuan, pengalaman hidup, kebijaksanaan, dan teknik yang kita kuasai, harus membantu memulihkan kembali keutuhan rumah tangga ini. Tentu kami tidak bisa memaksa jika tidak ada komitmen dari kedua pihak, suami dan istri. Perpisahan orangtua selalu menimbulkan luka batin dalam diri anak-anaknya dan ini perlu dicegah.

Menurut hemat saya cerita tentang soulmate dari kehidupan lampau adalah alasan yang dicari-cari agar seseorang bisa melepas tanggung jawab untuk komit membina rumah tangga dan membahagiakan pasangannya. 

Apakah benar kita bisa melakukan “transfer” perasaan? Bisa dan mudah. Semua hanya permainan pikiran. Tinggal teknik apa yang kita gunakan dan bagaimana caranya kita melakukannya.

Dari hasil diskusi dengan rekan sejawat saya, para hipnoterapis QHI, kami memutuskan untuk lebih berhati-hati menangani kasus rumah tangga atau perselingkuhan. Bila ada klien yang meminta kami untuk menghilangkan perasaan sayang, kasihan, atau cinta pada PIL atau WIL-nya, karena klien sekarang sadar dan sudah mau kembali ke pasangannya yang sah, maka kami pasti akan meminta klien untuk menunjukkan KTP, Surat Nikah, dan KSK.

Mengapa demikian? Bisa jadi klien berbohong. Yang ia katakan PIL atau WIL bisa jadi adalah pasangannya yang sah. Klien ingin menghilangkan perasaan cinta atau sayang terhadap pasangannya karena ia ingin hidup bersama selingkuhannya. Kalau ini yang terjadi maka kita hipnoterapis juga ikut andil dalam rusaknya rumah tangga klien. 

Dengan teknik tertentu kami bisa menetralisir atau memunculkan perasaan tertentu, baik yang positif maupun yang negatif, dalam diri klien.

Kembali pada dua kasus di atas. Saran dan himbauan saya pada para pembaca semua agar lebih berhati-hati saat memilih hipnoterapis.

Pastikan hipnoterapisnya adalah yang kompeten, bertanggung jawab, berpengalaman, dan yang terutama melakukan hipnoterapi dengan kesadaran dan integritas yang tinggi yang ditujukan untuk kebaikan klien.

Selain itu, jangan ke hipnoterapis dan meminta untuk dilakukan PLR. Mengapa? Karena PLR yang anda alami belum tentu PLR yang sesungguhnya. PLR yang dilakukan oleh hipnoterapis umumnya bersifat leading, mengarahkan pikiran anda dengan memberikan perintah atau sugesti tertentu. Jadi, anda bukannya sungguh-sungguh mundur ke kehidupan lampau anda, bila benar ada past life, tapi anda mencipta kehidupan lampau di pikiran anda berdasar ekspektasi anda dan bimbingan hipnoterapis. Dengan demikian anda mengalami false memory. Ini sangat berbahaya dan merugikan diri anda sendiri.

Baca Selengkapnya

Uji Sugestibilitas: Perlukah?

21 Juli 2010

Salah satu peserta Indonesia Hypnosis Summit (IHS) 2010 mengirimi saya email dan bertanya, “....saat Bapak menjelaskan mengenai induksi, Bapak tidak bicara tentang uji sugestibilitas. Kita tahu bahwa sangat penting untuk bisa mengetahui tipe sugestibilitas klien agar dapat melakukan teknik induksi yang sesuai sehingga dapat membawa klien masuk ke kondisi deep trance sebelum melakukan terapi. Kemarin itu apakah memang tidak sempat dijelaskan ataukah Pak Adi merasa uji sugestibilitas tidak penting?”

Wah, peserta ini cukup jeli. Saya memang tidak menjelaskan mengenai uji sugestibilitas. Saya menjelaskan enam teknik dasar induksi dan pengelompokkan teknik induksi. Enam teknik dasar induksi adalah Eye Fixation, Relaxation of Nervous System, Mental Confusion, Mental Misdirection, Loss of Equilibrium, dan Shock to Nervous System.

Dari enam teknik dasar ini dikembangkan menjadi sangat banyak teknik induksi. Walaupun saat ini ada begitu banyak teknik induksi namun bila dicermati dengan sungguh-sungguh maka teknik induksi yang ada dapat dikategorikan menjadi empat kelompok: Progressive Relaxation (yang biasanya membutuhkan waktu 30 – 45 menit), Rapid Induction ( sekitar 4 menit), Instant Indcution (beberapa detik), dan Emotionally Induced Induction (induksi karena emosi yang dialami klien).

Nah, kembali ke pertanyaan yang menjadi judul artikel ini, “Uji Sugestibilitas : Perlukah?”

Jawabannya bergantung kebutuhan. Bila untuk melakukan stage hypnosis maka uji sugestibilitas harus dilakukan untuk bisa memilih atau menemukan subjek hipnosis yang mudah. Bisa anda bayangkan apa yang terjadi jika stage hypnotist tidak melakukan uji sugestibilitas dan langsung memilih subjek dari penonton. Akibatnya akan fatal karena subjek tidak akan bisa dihipnosis dengan cepat dan tidak akan ada pertunjukkan yang menarik.

Bagaimana dengan hipnoterapi? Apa perlu uji sugestibilitas?

Di tahun-tahun awal saya sebagai hipnoterapis saya memang sangat menekankan pentingnya uji sugestibilitas. Hal ini bertujuan agar saya dapat melakukan induksi dengan tepat sehingga klien bisa masuk ke kondisi deep trance.

Bila mengacu pada SHSS (Stanford Hypnotic Suceptibility Scale) yang dikembangkan oleh Ernest Hilgard maka manusia terbagi menjadi 85% yang moderat, 10% mudah, dan 5% sulit dihipnosis. SHSS ini banyak digunakan sebagai acuan oleh hipnoterapis hingga saat ini.

Dr. Kappas mengembangkan teori sugestibilitas yang menyatakan bahwa manusia terbagai menjadi dua kategori besar yaitu physical suggestibility (sugestibilitas yang bersifat fisik) dan emotional suggestibility (sugestibilitas yang bersifat emosi). Dari penelitian ditemukan bahwa 60% populasi bersifat emotionally suggestible dan 40% physically suggestible. Kelompok emotionally suggestible mempunyai sub kategori yang dinamakan intellectual suggestibility yang mewakili sekitar 5% populasi.

Pakar lain, Herbert Spiegel, mengembangkan teknik uji sugestibilitas, dengan menggunakan gerakan bola mata dan empat indikator lainnya, yang dikenal dengan Hypnotic Induction Profile (HIP). Selanjutnya Spiegel juga mengembangkan Spectrum of Hypnotizability and Personality Style dan mengelompokkan subjek ke dalam tipe Apollonian, Odyssean, dan Dionysian. 

Ada pengalaman menarik saat seorang rekan menceritakan pengalamannya saat diinduksi oleh seorang hipnoterapis. Rekan ini, di depan kelas pelatihan, diinduksi berkali-kali dengan menggunakan bermacam teknik, tetap tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis. Akhirnya hipnoterapis ini berkata, “Anda tidak bisa trance karena anda masuk kategori orang yang tidak bisa dihiposis.”

Saat mendengar cerita ini ada dua hal yang muncul di pikiran saya. Pertama, hipnoterapis ini mengacu pada HIP Spiegel, Regular Zero Profile, yang menyatakan bahwa orang dalam kategori ini tidak bisa dihiposis. Kedua, hipnoterapis ini mungkin gemas pada rekan saya ini karena telah dicoba dihipnosis berulang kali tapi tetap tidak berhasil sehingga untuk mudahnya ia mengatakan bahwa rekan saya ini masuk kategori orang yang tidak bisa dihipnosis.

Benarkah ada kategori orang yang tidak bisa dihipnosis?

Jawabannya bergantung pada teori apa atau pendapat pakar mana yang kita gunakan sebagai acuan. Di sini tidak ada jawaban benar atau salah. Yang ada adalah untuk setiap teori atau pendapat pakar mempunyai konsekuensi yang spesifik terhadap hasil induksi yang kita lakukan.

Dulu waktu saya pertama kali mendalami hipnoterapi saya sempat bingung saat membaca riset para pakar mengenai tipe sugestibilitas dan apa yang harus dilakukan untuk bisa melakukan induksi dengan benar yang bisa membawa klien masuk ke kondisi deep trance.

Di awal karir saya sebagai hipnoterapis saya sangat memperhatikan uji sugestibilitas. Biasanya sebelum menghipnosis klien saya akan meminta klien melakukan The Hand Drop Test, Arm Rising and Falling Test, Postural Sway, dan kadang bisa ditambah dengan The Pendulum Swing Test.  

Dari pengalaman saya menemukan bahwa uji sugestibilitas di atas sebenarnya adalah untuk menemukan klien yang masuk kategori Physically Suggestible. Kalau klien sulit menjalankan tes, misalnya Arm Rising and Falling Test, maka saya tahu klien ini masuk kategori emotionally suggestible atau mungkin yang tipe intellectual.

Untuk klien yang “sulit” maka saya perlu menggunakan teknik induksi yang sesuai. Misalnya dengan teknik 7 plus minus 2, auto dual method, teknik hand rolling, dan teknk yang bersifat membingungkan pikiran.

Namun jujur saya merasa tidak nyaman dengan hal ini. Setiap kali mau melakukan terapi saya harus melakukan uji sugestibilitas. Dan yang membuat hal ini menjadi semakin sulit bagi saya adalah ada banyak klien yang telah ke hipnoterapis lain yang juga melakukan hal ini, uji sugestibilitas. Nah, klien datang ke saya karena merasa belum mengalami perubahan signifikan. Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila saya melakukan, di awal sesi terapi, hal yang sama yang dilakukan terapis sebelumnya. Seringkali sejak awal terapi klien sudah menolak. Mereka berpikir, “Lho, ini kan yang dilakukan terapis sebelumnya. Saya tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Cara ini nggak mungkin berhasil.”

Berangkat dari pengalaman ini saya selanjutnya berpikir, “Apakah ada teknik induksi yang sederhana, yang bisa dilakukan pada semua klien tanpa perlu tahu tipe sugestibilitasnya? Apakah ada teknik yang sederhana, mudah dipelajari, mudah diaplikasikan, mudah diduplikasi, dan yang paling penting telah teruji sangat efektif untuk bisa membawa subjek tipe apapun masuk ke kondisi deep trance dengan cepat dan pasti?”

Saya mencari hampir 3 tahun. Dan akhirnya menemukannya. Teknik ini selanjutnya saya ujicobakan di ruang praktik saya dengan hasil yang sangat memuaskan. Seiring dengan perkembangan pemahaman mengenai cara kerja pikiran saya menyempurnakan teknik induksi ini sehingga menjadi jauh lebih efektif. Dan baru-baru ini, di kelas Quantum Hypnosis Indonesia angkatan 9 saya kembali menyempurnakan teknik ini dan hasilnya sungguh luar biasa.

Yang saya lakukan adalah saya menggabungkan teknik induksi asli dengan pengetahuan yang saya dapatkan dari hasil riset dengan menggunakan Mind Mirror IV dengan melihat langsung perubahan gelombang otak dan kedalaman trance saat induksi diberikan.

Sebelum penyempurnaan di QHI 9, dari pengalaman, teknik induksi ini terbukti mempunyai tingkat efektivitas antara 90% - 92,17% mampu membawa klien tipe apapun masuk ke kondisi profound somnambulism. Yang “gagal” diinduksi bukan berarti tidak masuk deep trance namun sering kali klien melampaui kondisi profound somnambulism dan masuk ke level Esdaile atau Hypnotic Coma. Untuk yang level ini tidak dihitung.

Penyempurnaan teknik induksi di QHI 9 ini mempunyai tingkat efektivitas yang sangat tinggi. Hasil uji sementara menghasilkan rata-rata 97,34%. Saya masih menunggu laporan lanjutan dari alumni QHI. Semua hipnoterapis QHI, termasuk saya pribadi hanya menggunakan teknik induksi ini di ruang praktik kami.

Jadi, menjawab pertanyaan di atas, uji sugestibilitas apakah perlu dilakukan atau tidak semuanya bergantung pada masing-masing individu. Sekali lagi ini bukan benar atau salah. Namun lebih pada teori yang digunakan.

Untuk saya pribadi dan semua alumni QHI, dalam konteks hipnoterapi, kami sama sekali tidak menggunakan uji sugestibilitas saat akan melakukan induksi.

Baca Selengkapnya

Penunjukkan Sebagai Ketua Ikatan Hipnoterapis Indonesia

21 Juli 2010

Indonesia Hypnosis Indonesia (IHS) 2010 sudah usai. Kemarin, tgl 13 Juni 2010 hari Minggu, di Hotel Oasis Amir, Jakarta, mulai jam 09.00 sampai 22.00 diselenggarakan IHS yang dihadiri sekitar 500 peserta yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia.
Peserta yang hadir adalah orang awam, penggemar hipnosis, hipnotera...pis aktif, trainer, NLP Practitioner, dan para tokoh senior hipnosis dan hipnoterapi. Acara diawali dengan Talk Show "Quo Vadis Dunia Hipnosis Indonesia" dengan nara sumber Bpk. Purnawan EA, Ibu Issa Kumalasari, Bpk Richard Clayproth, Bpk Ronny F. Ronodirdjo, Ibu Kassandra dan saya, Adi W. Gunawan.

Dalam sesi Talk Show ini para pakar dan hadiri sepakat bahwa kini sudah saatnya para praktis hipnoterapi membentuk satu wadah bersama, sebagai payung besar, untuk bisa menetapkan standar pelatihan/kurikulum, standar kompetensi, mutu pelayanan, kode etik, perijinan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pelayanan yang diberikan dalam profesi sebagai hipnoterapis.

Tanpa saya sangka, Pak Yan Nurindra, sebagai moderator, setelah bertanya dan mendapat persetujuan dari hadirin secara aklamasi menetapkan saya sebagai ketua wadah yang akan dibentuk. Saat ini kami sedang mencari nama yang pas untuk wadah ini. Penunjukan sebagai ketua wadah hipnoterapis Indonesia adalah satu bentuk kepercayaan, tanggung jawab, tantangan, dan amanah yang sungguh tidak ringan bagi saya pribadi dan juga lembaga Quantum Hypnosis Indonesia. Tentu saya tidak bisa bekerja sendiri.

Butuh dukungan penuh dari segenap komunitas hipnosis/hipnoterapi Indonesia untuk bisa bersama-sama mewujudkan tugas mulia ini. Dalam kesempatan ini juga diserahkan anugerah hipnosis Indonesia kepada tokoh senior hipnosis yaitu Tubagus Erwin Kusuma, dr., SpKJ (K).

Selesai acara talk show dilanjutkan dengan seminar oleh 6 pembicara yang dilaksanakan secara paralel di kelas yang lebih kecil. Kelas paralel ini dilakukan sebanyak 4 sesi.

Saya mengisi acara puncak sekaligus menutup IHS 2010 dan membawakan materi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy - Ego State Therapy : Basic to Advanced.

Sungguh satu acara yang luar biasa dan sangat menginspirasi.

Baca Selengkapnya

Memahami Ego State

21 Juli 2010

Dalam hipnoterapi ada sangat banyak teknik intervensi klinis yang bisa digunakan untuk membantu klien mengatasi masalah mereka. Dari sekian banyak teknik, salah satunya yang sangat efektif adalah Ego State Therapy.

Ego State Therapy adalah terapi yang dilakukan pada Ego State. Untuk memahaminya kita perlu memahami Ego State. Apa sih Ego State itu?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas ijinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan pada anda. Pernahkah anda mengalami hal berikut:

1.Sewaktu bangun di pagi hari anda merasa ada dua bagian dari diri anda yang “ribut”. Satu bagian ingin anda segera bangun dan yang satu lagi ingin anda melanjutkan tidur.
2.Saat anda harus memilih atau membuat keputusan anda bingung karena ada beberapa bagian dari diri anda yang saling tidak setuju dengan keputusan anda.
3.Anda merasa tidak nyaman atau ada perasaan bersalah setelah melakukan suatu tindakan. Padahal saat melakukannya anda merasa sangat yakin dengan tindakan anda.

Pembaca, bila anda mengalami salah satu saja dari tiga hal di atas maka sebenarnya ada telah mengalami Ego State. Dengan kata lain, Ego State sebenarnya adalah bagian dari diri kita yang aktif atau mengendalikan diri kita pada suatu saat tertentu.

Ego State, menurut Watkins dan Watkins, adalah sebuah sistem perilaku dan pengalaman yang terorganisir yang elemen-elemennya saling terhubung melalui beberapa prinsip yang sama tetapi saling dipisahkan oleh batas-batas yang dapat ditembus (permeabilitas) hingga derajat kedalaman dan fleksibilitas tertentu.

Ada berapa banyak Ego State dalam diri kita?

Tidak ada satupun pakar yang bisa menentukan secara pasti. Ini juga bergantung pada teori masing-masing pakar itu. Tansactional Analysis (TA) yang dikembangkan oleh Eric Berne mengatakan dalam diri kita ada lima ”diri”. Gestalt Therapy, yang dikembangkan oleh Frederick Perls berdasar Psychodrama-nya Jacob Moreno, tidak menetapkan suatu jumlah tertentu. Voice Dialogue dan Psychosynthesis mengatakan kita punya banyak ”diri”. Carl Jung juga mengatakan hal yang sama, tidak diketahui secara pasti ada berapa banyak ”diri” dalam diri kita.

Namun untuk lebih mudah memahami maka saya akan mengutip apa yang dikatakan oleh Rowan. Menurut Rowan kita punya antara empat sampai sembilan ”diri” atau ”bagian” yang masing-masing adalah tema besar yang menaungi ”sub-diri”. Masing-masing ”diri” mempunyai kehidupan, fungsi, kepribadian, dan tugas masing-masing. Mereka saling terhubung antara satu dengan yang lain.

Nah, itu sekilas tentang beberapa teori yang mirip dengan Ego State. Sekarang mari kita bahas sejarah dan perkembangan Ego State Therapy.

Orang pertama yang menulis tentang Ego State adalah Paul Federn, rekan sejawat Freud. Menurut teori yang dikembangkannya Federn mengatakan bahwa kepribadian seseorang tersusun atas sekelompok bagian yang ia sebut sebagai Ego State. Ego State yang aktif pada suatu saat tertentu menentukan kepribadian orang itu.

Walaupun Federn (1952) menetapkan dan menyusun teori tentang Ego State, ia tidak mengembangkan teknik terapi menggunakan dasar teori kepribadian ini. Federn melakukan praktik terapi psikoanalisa sejalan dengan orientasi terapi yang populer pada jamannya.

Sementara itu, di tahun 1957, Eloardo Weiss, seorang Italia yang sedang dalam proses menyelesaikan pendidikannya untuk menjadi seorang psikoanalis, belajar ke Paul Federn. Federn menceritakan pandangannya tentang kepribadian kepada Weiss.

Selanjutnya John Waktins mendapat pengetahuan ini pada saat belajar di bawah bimbingan Weiss sebagai bagian dari proses pendidikannya untuk menjadi seorang psikoanalis. Dari sinilah Ego State Therapy berkembang.

Dalam praktiknya sebagai psikolog utama di Welsh Convalescent Center membantu tentara yang kembali dari perang dunia kedua Waktins menemukan bahwa tentara yang diterapi dengan menggunakan hipnosis mengalami pertukaran kondisi emosi tertentu. Pada saat itu Watkins belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada tentara yang ia tangani. Barulah pada saat ia belajar ke Weiss dan mendapatkan informasi mengenai Ego State akhirnya Watkins bisa memahami dasar teori dari apa yang ia temukan.

Di pertengahan tahun 1970, Hilgard dan Hilgard menemukan bagian dari diri manusia yang mereka sebut dengan Hidden Observer atau Pengamat Tersembunyi. Mereka menemukan adanya Hidden Observer melalui eksperimen fenomena trance seperti negative auditory hallucination dan anesthesia.

Dalam eksperimen ini subjek penelitian seakan tidak bisa mendengar atau merasakan sakit namun ternyata ada bagian dari diri subjek yang sesungguhnya tetap mendengar dan merasakan semua ini.

John Waktins mengenali Hidden Observer sama dengan Ego State yang dikatakan oleh Federn dan Weiss. Untuk memastikan hal ini, John Watkins dan istrinya, Helen Watkins, mengulang eksperimen Hilgard dan menemukan bukti yang memvalidasi pemikiran mereka.

Sejak awal tahun 1970an John dan Helen Watkins mulai mempublikasikan hasil riset mereka mengenai Ego State di berbagai jurnal dan artikel. Dan pada tahun 1997 mereka menerbitkan buku dengan judul Ego States: Theory and Therapy.

Beberapa pakar yang juga menulis tentang Ego State Therapy dan dipublikasikan dalam bentuk artikel jurnal dan buku: Maggie Phillips, Clare Frederick, Shirley McNeal, Moshe Torem,  Waltermade Hartman, Gordon Emmerson, Hunter, George Fraser, dan Michael Gainer. Di tahun 2003 diselenggarakan kongres dunia pertama Ego State Therapy di Bad Orb, satu kota dekat Frankfurt.

Bagaimana Ego State Terbentuk?

Menurut Watkins Ego State terbentuk karena tiga hal. Pertama melalui normal differentiation yaitu anak belajar membedakan satu hal dengan yang lainnya, misalnya makanan yang ia suka dan tidak suka, orang yang baik dan tidak baik terhadap dirinya.

Kedua adalah introjection of significant others yaitu anak menyerap energi positif atau negatif dari orang “penting” di sekitar anak, misalnya orangtua, guru, teman, atau siapa saja yang dianggap penting oleh anak, dan energi ini termanifestasi dalam diri anak dalam bentuk “Bagian Diri” yang dinamakan Introject. Dengan kata lain introject adalah manifestasi/perwujudan suatu figur yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan seseorang yang diadopsi/tersimpan dan “hidup” di dalam ingatan/mental/pikiran bawah sadar orang tersebut. Contoh introject antara lain sosok atau figur dari ayah, ibu, suami, istri, saudara, anak, tokoh agama, guru spiritual, dan lain-lain.

Ketiga, Part atau bagian diri yang terbentuk akibat pengalaman traumatik. Saat anak mengalami suatu pengalaman traumatik dan tidak ada Ego State dalam dirinya yang mampu menangani trauma ini maka akan muncul atau tercipta Ego State baru yang khusus berfungsi menangani trauma ini.

Sedangkan menurut teori perkembangan otak, Ego State terbentuk sebagai akibat dari pengalaman atau kejadian yang dialami anak yang bersifat berkesinambungan atau berulang. Misalnya pada masa kecil seorang anak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan mendukungnya maka akan muncul Ego State yang mempunyai sifat kasih sayang. Ego State ini muncul karena anak mengalami pengalaman secara berulang (baca: stimulasi) sehingga di otak anak terjadi pembentukan jalur saraf yang terdiri dari koneksi axon dan dendrite yang mewakili pengalaman ini. Demikan pula bila anak dibesarkan dalam lingkungan yang keras maka akan muncul atau tercipta Ego State dengan sifat yang keras.

Klasifikasi Ego State

Surface dan Underlying Ego State


Dilihat dari seberapa sering suatu Ego State muncul atau aktif maka kita mengenal ada dua jenis Ego State yaitu Surface dan Underlying Ego State. Surface Ego State adalah Ego State yang sering muncul atau digunakan dalam menjalani hidup dan berinteraksi dengan lingkungan. Sedangkan Underlying Ego State adalah Ego State yang jarang muncul atau digunakan. Saat seseorang mengalami suatu pengalaman hidup dengan menggunakan Ego State tertentu maka Ego State ini disebut sebagai Ego State yang executive atau yang memegang kendali. Secara umum dalam keseharian Surface Ego State yang aktif berkisar antara empat hingga lima.  

Seseorang yang sedang mengendarai mobil menuju ke kantor atau tempat kerjanya menggunakan satu Surface Ego State. Sedangkan saat bekerja di kantor ia menggunakan Ego State lain. Saat ia membaca buku atau bermain bisa jadi ia menggunakan Ego State yang lain lagi.

Ego State saling berkomunikasi satu dengan yang lain. Umumnya yang paling mudah diajak berkomunikasi adalah Surface Ego State karena mereka mudah untuk berbagi informasi. Bisa juga terjadi ada Underlying Ego State yang tidak berkomunikasi dengan Surface Ego State. Bila demikian kondisinya kita tidak bisa mengakses informasi yang ada pada Underlying Ego State ini dengan menggunakan cara biasa.

Ego State dan Alter

Bila dilihat dari jalur komunikasinya maka kita mengenal dua jenis Ego State yaitu normal Ego State dan Alter. Normal Ego State mampu berkomunikasi dengan baik dengan Ego State lainnya. Sedangkan Alter adalah Ego State yang jalinan komunikasinya sangat buruk atau (hampir) terputus dengan Ego State lainnya. Putusnya komunikasi ini mengakibatkan apabila Alter ini sedang executive maka apa yang ia lakukan tidak diketahui oleh Ego State lainnya. Kondisi ini dikenal dengan nama DID atau Dissociative Identity Disorder atau dulunya lebih terkenal dengan MPD (Multiple Personality Disorder). Alter terjadi karena anak mengalami pengalaman yang sangat traumatik (severe and chronic abuse) sehingga mekanisme pertahanan diri pikiran bawah sadar membuat anak “lupa” pada kejadian itu dengan cara memutus jalur komunikasi antara Alter (Ego State yang mengalami trauma) dan Ego State lainnya yang “sehat”. Dari beberapa penelitian MPD (Kluft, Greaves, Bliss, Putnam, Lienhart, Schreiber, Loewenstein) yang saya pelajari dan dalami ternyata ada minimal 16 (enam belas) kelompok alter.  Penanganan alter menggunakan strategi yang berbeda dengan penanganan Ego State.

Ego State Berdasar Sifat Dan Fungsinya

Ego State yang berfungsi normal, non-patologis, mempunyai peran yang konstruktif demi kemajuan Ego State lain dan juga si individu. Selain Ego State yang bekerja dan berfungsi normal, juga ada yang bersifat patologis yang dikenal dengan Ego  State yang bersifat vaded, retro-functioning, conflicting, dan malevolent.

Vaded Ego State adalah Ego State yang tidak bisa lagi menjalankan fungsi mereka yang seharusnya karena mengalami trauma atau pengalaman yang negatif. Saat Ego State jenis ini tampil dan aktif atau executive maka individu akan mengalami kembali emosi negatif yang berhubungan dengan trauma. Kondisi ini yang oleh Freud disebut dengan situational neurosis. Vaded Ego State tidak selalu tampil dan aktif. Untuk bisa membuatnya berfungsi normal kembali maka Ego State ini harus dibuat tampil dan aktif sehingga emosi yang berhubungan dengan trauma yang ia alami dapat diproses tuntas.

Retro-functioning Ego State adalah Ego State yang menjalankan peran lama yang bertentangan dengan Ego State lainnya atau tidak mendukung kemajuan individu. Ego State jenis ini antara lain menampilkan simtom berupa kemarahan yang tidak terkendali, kebiasaan berbohong yang kronis, atau berbagai gejala psikosomatis. Untuk mengatasi hal ini bisa dilakukan negosiasi sehingga Retro-functioning Ego State bersedia menjalankan peran baru yang lebih positif dan konstruktif. Ego State bisa bersifat vaded dan retro-functioning.

Conflicting Ego State mempunyai tujuan yang positif bagi individu namun mengalami konflik kepentingan dan tujuan dengan Ego State lainnya. Contoh seseorang mengalami Conflicting Ego State adalah saat ia ingin melakukan sesuatu tetapi mendapat pertentangan dari dalam dirinya. Misalnya seseorang ingin berhenti merokok namun tidak bisa karena ada bagian dari dirinya yang sangat suka merokok. Dalam hal ini terdapat dua Ego State yang saling bertentangan. Konflik ini juga bisa muncul saat seseorang ingin diet namun tidak bisa menahan keinginan makannya.

Malevolent Ego State adalah Ego State yang bersifat keras, ganas, dan bahkan bisa sangat kejam, baik terhadap Ego State lain, diri individu, maupun orang lain. Ego State jenis ini yang biasanya membuat seseorang memukul atau menyiksa dirinya sendiri, bahkan bisa sampai mengakibat seseorang melakukan tindakan bunuh diri.

Dalam konteks terapi Malevolent Ego State adalah jenis Ego State yang paling sulit untuk bisa diajak berkomunikasi, negosiasi, bekerja sama, atau ditundukkan. Ego State ini jugalah yang selalu menghambat dan menghalangi proses terapi. Teknik terapi konvensional yang hanya mengandalkan pemberian sugesti pada klien tidak akan bisa berhasil selama Ego State ini belum berhasil ditundukkan.

Ego State Menurut Gender dan Usia

Ego State umumnya tercipta saat seseorang masih kecil atau di usia muda. Namun dalam diri klien juga bisa ditemukan Ego State janin, bayi, anak kecil, remaja, dewasa, atau orang tua. Ego State juga mempunyai jenis kelamin pria dan wanita.

Ego State ini bisa ada dalam diri baik klien pria maupun wanita. Dengan kata lain, dalam diri seorang wanita bisa ada Ego State berjenis kelamin baik pria maupun wanita, mulai yang usia muda hingga yang tua. Demikian juga dalam diri seorang pria.

Masing-masing Ego State biasanya mempunyai nama atau panggilan yang digunakan untuk berkomunikasi baik dengan sesama Ego State, dalam bentuk komunikasi internal,maupun dengan pihak luar melalui komunikasi eksternal.   

Ego State dan Fisiologi

Setiap Ego State berperan sebagai “manusia” kecil di dalam diri seseorang. Ego State mempunyai karakter, logika berpikir, sikap, sifat, perilaku, memori, emosi, kebutuhan, dan tujuan sendiri.

Pada aspek fisik, saat satu Ego State tampil dan aktif maka individu akan mengalami perubahan fisik yang nyata. Bila Ego State mempunyai sifat percaya diri maka saat ia tampil dan aktif individu juga akan tampil percaya diri, berdiri tegak, berbicara dengan suara yang tegas, dan pandangan mata penuh keyakinan. Bila Ego State mengidap suatu penyakit tertentu maka saat ia tampil dan aktif penyakitnya akan muncul di fisik si individu.

Michael Gainer (1993) melaporkan bahwa seorang wanita yang mengidap penyakit reflex sympathetic dystrophy tidak menunjukkan gejala penyakit ini saat tiga Ego State lainnya tampil dan aktif. Dari temuan ini Grainer selanjutnya menggunakan Ego State Therapy dan berhasil menemukan Ego State, yang mengalami trauma, yang menyebabkan sakit pada wanita ini. Setelah trauma berhasil diselesaikan wanita ini sembuh total dari penyakit yang dideritanya.

Emmerson dan Farmer (1996) melakukan Ego State Therapy terhadap para wanita yang menderita menstrual migraine kronis dan berhasil mengurangi rata-rata jumlah hari migraine per bulan dari 12,2 menjai 2,5. Subjek penelitian juga menunjukkan berkurangnya depresi dan kemarahan secara signifikan.  

Lokasi Ego State

Ego State bisa menempati lokasi di luar tubuh atau di dalam tubuh. Di luar tubuh bisa di depan, di atas, di bawah, atau di belakang. Sedangkan kalau di dalam tubuh bisa di satu lokasi tertentu, misalnya di dada, kepala, hati, tangan, punggung, perut, atau kaki, dan bisa juga menempati seluruh tubuh secara merata.


Apa Beda Ego State dan Introject?

Ego State dan Introject walaupun sama-sama disebut sebagai Part atau Bagian Diri namun berbeda menurut sumber terciptanya. Ego State berasal dari dalam diri individu sedangkan Introject berasal dari luar.

Introject adalah persepsi tentang seseorang yang terinternalisasi ke dalam pikiran bawah sadar. Dengan demikian bisa terdapat sangat banyak Introject dalam diri seseorang.

Dalam proses terapi, khususnya saat menggunakan teknik Ego State Therapy, untuk bisa memproses trauma, maka Ego State yang mengalami trauma perlu diaktifkan agar emosi yang tersimpan dalam Ego State ini bisa diproses.

Dalam upaya ini seringkali melibatkan Introject yang ada dalam diri klien. Dialog dengan Introject ini yang seringkali salah dimengerti oleh orang awam. Apalagi bila Introject ini adalah Part yang merupakan internalisasi persepsi terhadap orang yang telah meninggal. Mereka yang tidak mengerti mengira yang diajak bicara adalah roh orang yang telah meninggal.  

Lebih jelasnya begini. Saat anak masih kecil muncul Introject, atau biasa sering disebut sebagai figur, Ayah dalam diri anak. Selama anak masih hidup, mulai kecil hingga usia tua, Introject ini akan terus “hidup” di dalam diri anak.

Misalnya setelah anak beranjak dewasa, si ayah meninggal dunia. Yang meninggal adalah si ayah yang sesungguhnya, namun Introject Ayah dalam diri anak tetap hidup atau ada. Sehingga pada saat proses Ego State Therapy dilakukan terhadap Introject Ayah, dalam diri anak, akan terjadi dialog seakan-akan terapis berbicara dengan si Ayah. Tujuan dialog ini untuk memproses emosi negatif yang masih tersisa dalam diri anak terhadap ayahnya atau sebaliknya.

Saya pernah membantu klien wanita, 37 tahun, yang melakukan aborsi hingga lima kali. Aborsi pertama dilakukan saat klien berusia 25 tahun. Saat membantu klien mengatasi berbagai emosi negatif yang berhubungan dengan aborsi yang ia lakukan, salah satu teknik yang saya gunakan adalah memproses emosi yang berhubungan Introject Janin yang ia gugurkan. Saat itu muncul lima Introject Janin yang digugurkan. Dan yang luar biasa lagi Introject dari janin yang pertama digugurkan, yang dipanggil dengan nama Michael, telah tumbuh dan besar, di dalam pikiran klien tentunya, hingga usia 11 tahun. Bila anda perhatikan usia klien saat melakukan aborsi, masa kehamilan sekitar 9 – 10 bulan, dan saat ia bertemu saya untuk terapi maka usia Introject Michael adalah benar 11 tahun.

Kasus menarik lainnya yang pernah ditangani murid saya adalah kasus wanita yang “kerasukan”. Wanita ini, katanya, “dirasuki” oleh “makhluk” halus dan tubuhnya menjadi kaku dan lumpuh.

Oleh murid saya, “makhluk” ini diajak bicara dan ditanya apa maunya. “Makhluk” ini minta diberi nama. Ternyata “makhluk” ini sebenarnya adalah Introject dari janin wanita ini yang keguguran. Setelah “makhluk” ini diberi nama, wanita ini langsung sembuh, bisa bangkit berdiri dan jalan normal.

Fenomena ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang bersifat metafisis. Yang terjadi adalah Introject janin (baca: anak) wanita ini muncul dan minta nama. Tubuh wanita yang menjadi kaku dan lumpuh sebenarnya adalah indikasi bahwa ia berada dalam kondisi trance sangat dalam yang disebut dengan level Catatonic, dua level di bawah Profound Somnambulism.

Contoh lain lagi, biar lebih jelas mengenai Introject, saya pernah bertukar peran dengan seorang peserta seminar saya. Peserta ini, sebut saja Agung, saya sugestikan menjadi diri saya. Dan langsung Agung mengaku bernama Adi W. Gunawan. “Adi” ini lalu saya minta untuk melanjutkan presentasi saya (Adi yang asli) dan ia melakukannya dengan sangat baik. Yang terjadi adalah Introject Adi di dalam diri Agung tampil dan aktif dan berperan sebagai Adi melalui diri Agung.

Saat saya bertanya pada “Adi”, “Pak Adi, Bapak sudah menulis berapa buku?”

Pak “Adi” menjawab, “Saya sudah menulis delapan buku.”

Dari sini saya tahu kalau data jumlah buku yang telah ditulis pada Introject Adi belum diupdate. Saat itu saya, Adi yang asli, telah menulis 12 buku. Dan pola pikir “Adi” tentunya berbeda dengan saya, Adi yang asli. Pola pikir “Adi” atau Introject Adi adalah pola pikir berdasarkan persepsi Agung terhadap diri saya.   

Obat Antidepresan dan Ego State

Klien yang mengalami depresi biasanya diberi obat antidepresan agar bisa tenang. Pemberian obat antidepresan sampai pada taraf tertentu sangat membantu klien untuk bisa stabil dan berinteraksi dengan lingkungannya walaupun masalah yang dialami klien belum diatasi.

Yang sesungguhnya terjadi adalah obat ini memblok atau menekan Ego State yang mengalami depresi sehingga tidak bisa muncul, dari surface menjadi underlying, dan klien merasa tidak ada masalah atau baik-baik saja, selama obatnya terus diminum. Jika klien berhenti minum obat maka kondisinya akan kembali menjadi tidak stabil karena Ego State yang tadinya tertekan kini muncul kembali dan aktif.   

Saya pernah menangani klien yang sempat depresi karena pasangannya selingkuh. Klien selama 8 tahun minum obat dan merasa dirinya baik-baik saja. Dalam kondisi sadar normal klien mengatakan bahwa ia telah sembuh. Buktinya, ia sudah tidak lagi marah pada pasangannya. Bahkan saat bertemu dengan selingkuhan pasangannya ia juga biasa-biasa saja. Saya yakin kondisi klien yang tenang dan “sembuh” ini adalah karena pengaruh obat yang masih ia minum.

Selanjutnya saya melakukan pemeriksaan langsung ke pikiran bawah sadarnya, ternyata klien masih menyimpan perasaan terluka, marah, benci, dan dendam kepada pasangannya. Selama Ego State yang menyimpan emosi ini tidak diproses maka klien akan selalu bergantung obat untuk bisa tenang.

Kondisi ideal, bila memungkinkan, sebaiknya sebelum diberi obat klien dibantu dengan Ego State Therapy. Dalam kondisi ini klien dan terapis dapat mengakses Ego State yang mengalami depresi dan memproses emosinya dengan cepat dan tuntas sehingga klien tidak perlu harus minum obat.

Cara Mengakses Ego State

Dalam kondisi normal kita hanya bisa mengakses Surface Ego State. Namun bila kita ingin mengakses Underlying Ego State yang menyimpan trauma tertentu maka dibutuhkan teknik yang spesifik dengan prasyarat khusus.

Ada dua cara untuk mengakses Underlying Ego State. Pertama, dengan menggunakan rileksasi pikiran dan kedua, tanpa rileksasi pikiran. Umumnya buku atau literatur tentang Ego State Therapy mensyaratkan rileksasi pikiran sebagai sarana untuk mengakses Underlying Ego State. Dengan kondisi pikiran yang rileks dan penggunaan teknik yang tepat akan dicapai hasil terapi yang sangat luar biasa dalam waktu yang relatif singkat.

Level kedalaman rileksasi pikiran yang umumnya digunakan untuk bisa mengakses Underlying Ego State adalah profound somnambulism. Bila kurang dalam atau lebih dalam dari profound somnambulism, Ego State Therapy biasanya akan kurang efektif.

Dari eksperimen dan pengalaman praktik saya menemukan bahwa kita bisa mengakses Underlying Ego State tanpa harus merilekskan pikiran sama sekali. Hasil terapi yang dicapai juga sama efektifnya.

Masing-masing cara mengakses Underlying Ego State mempunyai kelebihan masing-masing dan digunakan dalam situasi yang berbeda.


Manfaat Ego State Therapy

Ego State Therapy bila dipelajari dengan mendalam, cermat, dan dikuasai dengan baik akan memberikan manfaat terapeutik yang sungguh sangat luar biasa. Dalam praktik profesional sebagai hipnoterapis, dengan menggunakan Ego State Therapy, saya berhasil membantu klien mengatasi masalah, antara lain:

  • phobia
  • trauma/luka batin
  • tidak percaya diri
  • kesulitan diet
  • takut sukses
  • takut gagal
  • insomnia
  • migraine
  • masalah seks
  • kecemasan
  • stress
  • depresi
  • takut berbicara di depan umum
  • konflik diri (inner conflict)
  • pencapaian prestasi hidup rendah
  • perilaku obsessive/compulsive
  • perilaku adiktif
  • berbagai penyakit psikosomatis
  • sabotase diri
  • dan masih banyak lagi.
Baca Selengkapnya

Hypnotic Contract

21 Juli 2010

Istilah hypnotic contract saat ini sering disebut dan cukup banyak digunakan dalam dunia hipnoterapi. Namun apa sih sebenarnya hypnotic contract ini? Siapa yang menciptakan istilah ini dan apa maksudnya?

Hypnotic contract pertama kali disebut oleh Ernest Hilgard dalam bukunya yang berjudul Divided Consciousness: Multiple Controls in Human Thought and Actions (1977). Hilgard, melalui penelitiannya, hidden-observer experiment, menemukan bahwa pada pikiran manusia terdapat dua fungsi yang ia sebut dengan fungsi eksekutif (executive) dan pengawasan (monitoring). Kedua fungsi ini berhubungan dengan konsep pusat kendali (central control) yang dibentuk oleh dua subsystem.

Pada manusia normal, kedua subsystem ini diasumsikan berada di bawah suatu pusat kendali. Namun bila teraktivasi maka masing-masing subsystem bisa bekerja secara independen.

Fungsi eksekutif meliputi perencanaan tujuan, memulai tindakan untuk mencapai tujuan, dan mempertahankan tindakan untuk mengatasi berbagai hambatan. Fungsi pengawasan adalah berupa umpan balik yang selalu mengamati dan mengawasi apa yang sedang terjadi.

Pengawas, atau bagian dari pikiran yang melakukan fungsi pengawasan, mengamati secara selektif, memilih hanya mengamati hal tertentu saja dan mengabaikan hal lain. Fungsi pengawasan juga bersifat kritis (critical) dan memberi penilaian (judgement).

Kedua fungsi ini tidak dapat dipisahkan secara tegas karena tindakan atau upaya untuk memisahkan fungsi ini akan langsung mendapat pengawasan, dengan catatan, si individu berfungsi normal dan harmonis.

Namun, dalam waktu dan kondisi tertentu kedua fungsi ini bisa bekerja tidak seimbang, fungsi pengawasan konflik dengan fungsi eksekutif, mengakibatkan disonansi kognitif dan disosiasi, fungsi yang satu tidak tahu apa yang sedang terjadi dan dilakukan oleh fungsi yang lain.
 
Saat seseorang mengalami kondisi hipnosis terjadi disosiasi yang memungkinkan proses kognisi berjalan simultan pada beberapa level dan dalam arah yang berbeda. Dalam kondisi ini terjadi pemisahan yang tegas dan jelas antara fungsi eksekutif dan fungsi pengawasan.

Pengalaman ini terjadi dalam hubungan interpersonal antara terapis dan klien dan disebut sebagai hypnotic contract.
Apa yang sebenarnya terjadi saat terapis dan klien sepakat menjalin hypnotic contract?

Saat hypnotic contract disetujui para pihak, terapis dan klien, maka klien “setuju” untuk sementara waktu “menghentikan” fungsi pengawasan terhadap berbagai perilaku yang diciptakan atau dihasilkan oleh fungsi eksekutif.  Dengan demikian fungsi pengawasan ini tidak akan mempertanyakan, menganalisis, atau memprotes hal-hal yang terjadi atau muncul selama proses hipnosis dan terapi berlangsung, yang tidak sejalan dengan logika umum.

Hipnotis modern memandang hypnotic contract sebagai pembagian fungsi eksekutif tanggung jawab bersama, antara terapis dan klien. Hal ini berbeda dengan pandangan sebelumnya yang menyatakan bahwa hipnosis adalah penguasaan pikiran klien / subjek oleh hipnotis.

Saat klien telah setuju “menandatangani” hypnotic contract maka ia setuju untuk melepas sebagai kendali, mengurangi fungsi pengawasan, sehingga memungkinkan terjadinya pemrosesan data yang terpisah dan berlangsung pararel, yang secara kognitif inkonsisten satu dengan yang lain bila pemrosesan ini dilakukan dalam kondisi normal.

Kondisi inilah yang oleh Orne (1959,1979) disebut dengan trance logic, yaitu kemampuan klien, dalam kondisi hipnosis, untuk secara bebas mencampur /menggabungkan, dan memanipulasi persepsi yang berasal dari kondisi riil dan persepsi yang berasal dari imajinasinya.

Contoh konkritnya begini. Saat seseorang dalam kondisi hipnosis maka pada level kedalaman tertentu ia bisa mengalami kondisi positive visual hallucination. Hipnotis bisa memberikan sugesti yang bila dijalankan oleh pikiran klien, akan bisa membuat klien melihat ada dua hipnotis yang duduk di depannya. Hipnotis yang satu adalah yang riil dan yang satunya lagi adalah hasil imajinasi (halusinasi) klien. Dan klien menerima hal ini sebagai hal yang wajar dan benar karena pikirannya mengijinkan hal ini terjadi.

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List