The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Rumah Tangga Berantakan Karena PLR

21 Juli 2010

Artikel ini saya tulis dengan keprihatinan mendalam terhadap kasus hipnoterapi yang menurut hemat saya masuk dalam kategori malpraktik yang berakibat sangat buruk terhadap klien. Besar harapan saya setelah membaca artikel ini kita semua bisa lebih hati-hati dan arif dalam bertindak, baik sebagai klien maupun hipnoterapis, agar kasus seperti ini tidak terulang lagi.

Beberapa bulan lalu saya mendapat cerita dari salah satu murid saya yang menangani seorang pria yang depresi akibat ditinggal oleh istrinya setelah sang istri, sebut saja Ani, menjalani sesi “hipnoterapi” dengan seorang hipnoterapis terkenal di Jakarta.

Minggu lalu saya mendapat cerita dari murid saya yang lain yang mengatakan bahwa seorang suami, sebut saja sebagai Anto, meninggalkan istrinya juga setelah menjalani sesi “hipnoterapi”. Setelah bertanya lebih dalam akhirnya diketahui bahwa hipnoterapis yang menangani kedua kasus ini adalah hipnoterapis yang sama dan menggunakan teknik terapi yang sama.

Saya sungguh prihatin dengan apa yang dilakukan hipnoterapis ini karena menurut hemat saya ini sudah masuk kategori malpraktik yang sangat fatal.

Cerita lengkapnya begini. Pada kasus pertama, Ani bertemu dengan hipnoterapis ini untuk menjalani Past Life Regression (PLR). Alasan Ani adalah ia ingin mengetahui siapa soulmate-nya di kehidupan lampau. Tanpa bertanya lebih mendalam, menggali lebih detil alasan dan tujuan klien meminta PLR, hipnoterapis ini langsung melakukannya.

Singkat cerita soulmate Ani di “kehidupan lampau” ternyata bukan suaminya yang sekarang, di kehidupan ini. Soulmate-nya adalah pria lain, yang kebetulan ia kenal. Setelah mengetahui siapa soulmate-nya akhirnya Ani memutuskan meninggalkan suaminya dan memilih “melanjutkan” hubungan asmaranya dengan soulmate-nya. Ck.. ck… ck.. ini sungguh tidak masuk akal dan merusak kehidupan rumah tangga. Suami Ani shock dan kaget karena tiba-tiba ditinggal istrinya akhirnya mengalami depresi.

Pada kasus kedua, ceritanya lebih seru lagi. Setelah menikahi seorang gadis di kota kecil, Anto memilih untuk merantau ke Jakarta untuk bekerja dan mengadu nasib. Baru beberapa bulan di Jakarta ternyata Anto tertarik pada wanita lain. Semakin lama Anto semakin erat hubungannya dengan WILnya dan mulai tidak lagi menghiraukan istrinya.

Selanjutnya Anto bersama dengan WILnya menemui hipnoterapis ini dan meminta untuk dilakukan PLR. Saat ditanya oleh si hipnoterapis apa tujuan dilakukan PLR mereka menjawab untuk mengetahui apakah di kehidupan lampau mereka punya hubungan khusus atau tidak.

Informasi apa yang didapat setelah dilakukan PLR pada Anto dan WILnya?

Luar biasa. Ternyata “benar”, Anto dan WILnya di kehidupan lampau adalah soulmate. Berdasar temuan yang sangat meyakinkan ini Anto selanjutnya menelpon istrinya dan menyampaikan bahwa ia tidak bisa putus hubungan dengan WILnya karena wanita yang menjadi WILnya adalah seseorang yang istimewa, soulmatenya dari kehidupan lampau. Dan sejak saat ini pula Anto tidak lagi pernah menghubungi istrinya.

Sampai saat ini status hubungan Anto dan istrinya tidak jelas. Apakah masih akan terus ataukah pisah.

Pembaca, apa yang dilakukan oleh hipnoterapis ini sungguh suatu tindakan yang tidak bertanggung jawab dan sangat merusak keutuhan keluarga dan rumah tangga.

Mari kita bahas satu per satu. Pada kasus pertama, dari mana si hipnoterapis tahu bahwa benar pria yang dijumpai Ani di “kehidupan lampaunya” benar-benar adalah soulmatenya. Bisa jadi rumah tangga Ani kurang harmonis, ada masalah, dan ini adalah alasan bagi Ani untuk meninggalkan suaminya.

Apakah si hipnoterapis benar-benar bisa menjamin apa yang Ani alami adalah benar-benar pengalaman PLR ataukah sekedar hasil rekayasa atau ciptaan pikiran sadar Ani? Bisa jadi Ani memang berniat meninggalkan suaminya, sudah punya PIL.

Kasus kedua lebih parah lagi. Dalam hal ini hipnoterapis tidak cermat, tidak hati-hati, tidak profesional, dan hanya bekerja berdasarkan orderan. Logika berpikirnya sederhana. Kalau dua orang lagi jatuh cinta maka emosi cinta ini akan mempengaruhi baik pikiran sadar maupun bawah sadarnya. Jika lagi jatuh cinta maka tanpa PLR pun mereka bisa yakin 1.000% kalau mereka ini adalah soulmate. Lalu, buat apa lagi dilakukan PLR?

PLR yang dilakukan oleh si hipoterapis ini justru digunakan oleh Anto dan WILnya untuk membenarkan perbuatan mereka dan dijadikan alasan yang kuat dan masuk akal bagi Anto untuk meninggalkan istrinya.

Murid saya pernah bertanya, “Pak Adi, jika misalnya Bapak yang menangani kasus seorang wanita yang bertemu soulmatenya di kehidupan lampau dan ternyata soulmate-nya ini bukan suaminya di kehidupan sekarang, apa yang akan Bapak lakukan?”

Yang pertama, saya harus menegaskan ulang bahwa saya dan semua alumni QHI tidak diperkenankan melakukan PLR berdasarkan pesanan. PLR yang terjadi, kalaupun ada, adalah yang terjadi secara spontan. Dan dari pengalaman profesional saya sebagai hipnoterapis, dari lebih dari 1.000 kasus terapi personal yang saya tangani, yang mengalami PLR spontan tidak lebih dari 12 (dua belas) kasus saja.

Nah, sekarang kembali ke pertanyaan murid saya. Apa yang akan saya lakukan?

Jawaban saya selalu sebagai berikut: Saya akan menaikkan perasaan cinta dan sayang klien pada soulmate-nya  setingg-tingginya, dan setelah itu saya akan melakukan Ctrl-A, Ctrl-C, dan Ctrl-X perasaan cinta dan sayang klien pada soulmate-nya ini dan saya pindahkan semuanya ke suaminya yang sekarang. Sehingga klien akan menjadi sangat cinta dan sayang pada suaminya, yang sekarang, dan menjadi hambar dengan soulmate-nya. Case closed.

Mengapa tindakan ini yang pasti saya lakukan? Prinsip hidup saya menyatakan bahwa keutuhan rumah tangga harus dipertahankan dan ditingkatkan. Dengan demikian bila suatu rumah tangga ada masalah maka kita, hipnoterapis, dengan semua pengetahuan, pengalaman hidup, kebijaksanaan, dan teknik yang kita kuasai, harus membantu memulihkan kembali keutuhan rumah tangga ini. Tentu kami tidak bisa memaksa jika tidak ada komitmen dari kedua pihak, suami dan istri. Perpisahan orangtua selalu menimbulkan luka batin dalam diri anak-anaknya dan ini perlu dicegah.

Menurut hemat saya cerita tentang soulmate dari kehidupan lampau adalah alasan yang dicari-cari agar seseorang bisa melepas tanggung jawab untuk komit membina rumah tangga dan membahagiakan pasangannya. 

Apakah benar kita bisa melakukan “transfer” perasaan? Bisa dan mudah. Semua hanya permainan pikiran. Tinggal teknik apa yang kita gunakan dan bagaimana caranya kita melakukannya.

Dari hasil diskusi dengan rekan sejawat saya, para hipnoterapis QHI, kami memutuskan untuk lebih berhati-hati menangani kasus rumah tangga atau perselingkuhan. Bila ada klien yang meminta kami untuk menghilangkan perasaan sayang, kasihan, atau cinta pada PIL atau WIL-nya, karena klien sekarang sadar dan sudah mau kembali ke pasangannya yang sah, maka kami pasti akan meminta klien untuk menunjukkan KTP, Surat Nikah, dan KSK.

Mengapa demikian? Bisa jadi klien berbohong. Yang ia katakan PIL atau WIL bisa jadi adalah pasangannya yang sah. Klien ingin menghilangkan perasaan cinta atau sayang terhadap pasangannya karena ia ingin hidup bersama selingkuhannya. Kalau ini yang terjadi maka kita hipnoterapis juga ikut andil dalam rusaknya rumah tangga klien. 

Dengan teknik tertentu kami bisa menetralisir atau memunculkan perasaan tertentu, baik yang positif maupun yang negatif, dalam diri klien.

Kembali pada dua kasus di atas. Saran dan himbauan saya pada para pembaca semua agar lebih berhati-hati saat memilih hipnoterapis.

Pastikan hipnoterapisnya adalah yang kompeten, bertanggung jawab, berpengalaman, dan yang terutama melakukan hipnoterapi dengan kesadaran dan integritas yang tinggi yang ditujukan untuk kebaikan klien.

Selain itu, jangan ke hipnoterapis dan meminta untuk dilakukan PLR. Mengapa? Karena PLR yang anda alami belum tentu PLR yang sesungguhnya. PLR yang dilakukan oleh hipnoterapis umumnya bersifat leading, mengarahkan pikiran anda dengan memberikan perintah atau sugesti tertentu. Jadi, anda bukannya sungguh-sungguh mundur ke kehidupan lampau anda, bila benar ada past life, tapi anda mencipta kehidupan lampau di pikiran anda berdasar ekspektasi anda dan bimbingan hipnoterapis. Dengan demikian anda mengalami false memory. Ini sangat berbahaya dan merugikan diri anda sendiri.

Baca Selengkapnya

Uji Sugestibilitas: Perlukah?

21 Juli 2010

Salah satu peserta Indonesia Hypnosis Summit (IHS) 2010 mengirimi saya email dan bertanya, “....saat Bapak menjelaskan mengenai induksi, Bapak tidak bicara tentang uji sugestibilitas. Kita tahu bahwa sangat penting untuk bisa mengetahui tipe sugestibilitas klien agar dapat melakukan teknik induksi yang sesuai sehingga dapat membawa klien masuk ke kondisi deep trance sebelum melakukan terapi. Kemarin itu apakah memang tidak sempat dijelaskan ataukah Pak Adi merasa uji sugestibilitas tidak penting?”

Wah, peserta ini cukup jeli. Saya memang tidak menjelaskan mengenai uji sugestibilitas. Saya menjelaskan enam teknik dasar induksi dan pengelompokkan teknik induksi. Enam teknik dasar induksi adalah Eye Fixation, Relaxation of Nervous System, Mental Confusion, Mental Misdirection, Loss of Equilibrium, dan Shock to Nervous System.

Dari enam teknik dasar ini dikembangkan menjadi sangat banyak teknik induksi. Walaupun saat ini ada begitu banyak teknik induksi namun bila dicermati dengan sungguh-sungguh maka teknik induksi yang ada dapat dikategorikan menjadi empat kelompok: Progressive Relaxation (yang biasanya membutuhkan waktu 30 – 45 menit), Rapid Induction ( sekitar 4 menit), Instant Indcution (beberapa detik), dan Emotionally Induced Induction (induksi karena emosi yang dialami klien).

Nah, kembali ke pertanyaan yang menjadi judul artikel ini, “Uji Sugestibilitas : Perlukah?”

Jawabannya bergantung kebutuhan. Bila untuk melakukan stage hypnosis maka uji sugestibilitas harus dilakukan untuk bisa memilih atau menemukan subjek hipnosis yang mudah. Bisa anda bayangkan apa yang terjadi jika stage hypnotist tidak melakukan uji sugestibilitas dan langsung memilih subjek dari penonton. Akibatnya akan fatal karena subjek tidak akan bisa dihipnosis dengan cepat dan tidak akan ada pertunjukkan yang menarik.

Bagaimana dengan hipnoterapi? Apa perlu uji sugestibilitas?

Di tahun-tahun awal saya sebagai hipnoterapis saya memang sangat menekankan pentingnya uji sugestibilitas. Hal ini bertujuan agar saya dapat melakukan induksi dengan tepat sehingga klien bisa masuk ke kondisi deep trance.

Bila mengacu pada SHSS (Stanford Hypnotic Suceptibility Scale) yang dikembangkan oleh Ernest Hilgard maka manusia terbagi menjadi 85% yang moderat, 10% mudah, dan 5% sulit dihipnosis. SHSS ini banyak digunakan sebagai acuan oleh hipnoterapis hingga saat ini.

Dr. Kappas mengembangkan teori sugestibilitas yang menyatakan bahwa manusia terbagai menjadi dua kategori besar yaitu physical suggestibility (sugestibilitas yang bersifat fisik) dan emotional suggestibility (sugestibilitas yang bersifat emosi). Dari penelitian ditemukan bahwa 60% populasi bersifat emotionally suggestible dan 40% physically suggestible. Kelompok emotionally suggestible mempunyai sub kategori yang dinamakan intellectual suggestibility yang mewakili sekitar 5% populasi.

Pakar lain, Herbert Spiegel, mengembangkan teknik uji sugestibilitas, dengan menggunakan gerakan bola mata dan empat indikator lainnya, yang dikenal dengan Hypnotic Induction Profile (HIP). Selanjutnya Spiegel juga mengembangkan Spectrum of Hypnotizability and Personality Style dan mengelompokkan subjek ke dalam tipe Apollonian, Odyssean, dan Dionysian. 

Ada pengalaman menarik saat seorang rekan menceritakan pengalamannya saat diinduksi oleh seorang hipnoterapis. Rekan ini, di depan kelas pelatihan, diinduksi berkali-kali dengan menggunakan bermacam teknik, tetap tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis. Akhirnya hipnoterapis ini berkata, “Anda tidak bisa trance karena anda masuk kategori orang yang tidak bisa dihiposis.”

Saat mendengar cerita ini ada dua hal yang muncul di pikiran saya. Pertama, hipnoterapis ini mengacu pada HIP Spiegel, Regular Zero Profile, yang menyatakan bahwa orang dalam kategori ini tidak bisa dihiposis. Kedua, hipnoterapis ini mungkin gemas pada rekan saya ini karena telah dicoba dihipnosis berulang kali tapi tetap tidak berhasil sehingga untuk mudahnya ia mengatakan bahwa rekan saya ini masuk kategori orang yang tidak bisa dihipnosis.

Benarkah ada kategori orang yang tidak bisa dihipnosis?

Jawabannya bergantung pada teori apa atau pendapat pakar mana yang kita gunakan sebagai acuan. Di sini tidak ada jawaban benar atau salah. Yang ada adalah untuk setiap teori atau pendapat pakar mempunyai konsekuensi yang spesifik terhadap hasil induksi yang kita lakukan.

Dulu waktu saya pertama kali mendalami hipnoterapi saya sempat bingung saat membaca riset para pakar mengenai tipe sugestibilitas dan apa yang harus dilakukan untuk bisa melakukan induksi dengan benar yang bisa membawa klien masuk ke kondisi deep trance.

Di awal karir saya sebagai hipnoterapis saya sangat memperhatikan uji sugestibilitas. Biasanya sebelum menghipnosis klien saya akan meminta klien melakukan The Hand Drop Test, Arm Rising and Falling Test, Postural Sway, dan kadang bisa ditambah dengan The Pendulum Swing Test.  

Dari pengalaman saya menemukan bahwa uji sugestibilitas di atas sebenarnya adalah untuk menemukan klien yang masuk kategori Physically Suggestible. Kalau klien sulit menjalankan tes, misalnya Arm Rising and Falling Test, maka saya tahu klien ini masuk kategori emotionally suggestible atau mungkin yang tipe intellectual.

Untuk klien yang “sulit” maka saya perlu menggunakan teknik induksi yang sesuai. Misalnya dengan teknik 7 plus minus 2, auto dual method, teknik hand rolling, dan teknk yang bersifat membingungkan pikiran.

Namun jujur saya merasa tidak nyaman dengan hal ini. Setiap kali mau melakukan terapi saya harus melakukan uji sugestibilitas. Dan yang membuat hal ini menjadi semakin sulit bagi saya adalah ada banyak klien yang telah ke hipnoterapis lain yang juga melakukan hal ini, uji sugestibilitas. Nah, klien datang ke saya karena merasa belum mengalami perubahan signifikan. Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila saya melakukan, di awal sesi terapi, hal yang sama yang dilakukan terapis sebelumnya. Seringkali sejak awal terapi klien sudah menolak. Mereka berpikir, “Lho, ini kan yang dilakukan terapis sebelumnya. Saya tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Cara ini nggak mungkin berhasil.”

Berangkat dari pengalaman ini saya selanjutnya berpikir, “Apakah ada teknik induksi yang sederhana, yang bisa dilakukan pada semua klien tanpa perlu tahu tipe sugestibilitasnya? Apakah ada teknik yang sederhana, mudah dipelajari, mudah diaplikasikan, mudah diduplikasi, dan yang paling penting telah teruji sangat efektif untuk bisa membawa subjek tipe apapun masuk ke kondisi deep trance dengan cepat dan pasti?”

Saya mencari hampir 3 tahun. Dan akhirnya menemukannya. Teknik ini selanjutnya saya ujicobakan di ruang praktik saya dengan hasil yang sangat memuaskan. Seiring dengan perkembangan pemahaman mengenai cara kerja pikiran saya menyempurnakan teknik induksi ini sehingga menjadi jauh lebih efektif. Dan baru-baru ini, di kelas Quantum Hypnosis Indonesia angkatan 9 saya kembali menyempurnakan teknik ini dan hasilnya sungguh luar biasa.

Yang saya lakukan adalah saya menggabungkan teknik induksi asli dengan pengetahuan yang saya dapatkan dari hasil riset dengan menggunakan Mind Mirror IV dengan melihat langsung perubahan gelombang otak dan kedalaman trance saat induksi diberikan.

Sebelum penyempurnaan di QHI 9, dari pengalaman, teknik induksi ini terbukti mempunyai tingkat efektivitas antara 90% - 92,17% mampu membawa klien tipe apapun masuk ke kondisi profound somnambulism. Yang “gagal” diinduksi bukan berarti tidak masuk deep trance namun sering kali klien melampaui kondisi profound somnambulism dan masuk ke level Esdaile atau Hypnotic Coma. Untuk yang level ini tidak dihitung.

Penyempurnaan teknik induksi di QHI 9 ini mempunyai tingkat efektivitas yang sangat tinggi. Hasil uji sementara menghasilkan rata-rata 97,34%. Saya masih menunggu laporan lanjutan dari alumni QHI. Semua hipnoterapis QHI, termasuk saya pribadi hanya menggunakan teknik induksi ini di ruang praktik kami.

Jadi, menjawab pertanyaan di atas, uji sugestibilitas apakah perlu dilakukan atau tidak semuanya bergantung pada masing-masing individu. Sekali lagi ini bukan benar atau salah. Namun lebih pada teori yang digunakan.

Untuk saya pribadi dan semua alumni QHI, dalam konteks hipnoterapi, kami sama sekali tidak menggunakan uji sugestibilitas saat akan melakukan induksi.

Baca Selengkapnya

Penunjukkan Sebagai Ketua Ikatan Hipnoterapis Indonesia

21 Juli 2010

Indonesia Hypnosis Indonesia (IHS) 2010 sudah usai. Kemarin, tgl 13 Juni 2010 hari Minggu, di Hotel Oasis Amir, Jakarta, mulai jam 09.00 sampai 22.00 diselenggarakan IHS yang dihadiri sekitar 500 peserta yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia.
Peserta yang hadir adalah orang awam, penggemar hipnosis, hipnotera...pis aktif, trainer, NLP Practitioner, dan para tokoh senior hipnosis dan hipnoterapi. Acara diawali dengan Talk Show "Quo Vadis Dunia Hipnosis Indonesia" dengan nara sumber Bpk. Purnawan EA, Ibu Issa Kumalasari, Bpk Richard Clayproth, Bpk Ronny F. Ronodirdjo, Ibu Kassandra dan saya, Adi W. Gunawan.

Dalam sesi Talk Show ini para pakar dan hadiri sepakat bahwa kini sudah saatnya para praktis hipnoterapi membentuk satu wadah bersama, sebagai payung besar, untuk bisa menetapkan standar pelatihan/kurikulum, standar kompetensi, mutu pelayanan, kode etik, perijinan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pelayanan yang diberikan dalam profesi sebagai hipnoterapis.

Tanpa saya sangka, Pak Yan Nurindra, sebagai moderator, setelah bertanya dan mendapat persetujuan dari hadirin secara aklamasi menetapkan saya sebagai ketua wadah yang akan dibentuk. Saat ini kami sedang mencari nama yang pas untuk wadah ini. Penunjukan sebagai ketua wadah hipnoterapis Indonesia adalah satu bentuk kepercayaan, tanggung jawab, tantangan, dan amanah yang sungguh tidak ringan bagi saya pribadi dan juga lembaga Quantum Hypnosis Indonesia. Tentu saya tidak bisa bekerja sendiri.

Butuh dukungan penuh dari segenap komunitas hipnosis/hipnoterapi Indonesia untuk bisa bersama-sama mewujudkan tugas mulia ini. Dalam kesempatan ini juga diserahkan anugerah hipnosis Indonesia kepada tokoh senior hipnosis yaitu Tubagus Erwin Kusuma, dr., SpKJ (K).

Selesai acara talk show dilanjutkan dengan seminar oleh 6 pembicara yang dilaksanakan secara paralel di kelas yang lebih kecil. Kelas paralel ini dilakukan sebanyak 4 sesi.

Saya mengisi acara puncak sekaligus menutup IHS 2010 dan membawakan materi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy - Ego State Therapy : Basic to Advanced.

Sungguh satu acara yang luar biasa dan sangat menginspirasi.

Baca Selengkapnya

Memahami Ego State

21 Juli 2010

Dalam hipnoterapi ada sangat banyak teknik intervensi klinis yang bisa digunakan untuk membantu klien mengatasi masalah mereka. Dari sekian banyak teknik, salah satunya yang sangat efektif adalah Ego State Therapy.

Ego State Therapy adalah terapi yang dilakukan pada Ego State. Untuk memahaminya kita perlu memahami Ego State. Apa sih Ego State itu?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas ijinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan pada anda. Pernahkah anda mengalami hal berikut:

1.Sewaktu bangun di pagi hari anda merasa ada dua bagian dari diri anda yang “ribut”. Satu bagian ingin anda segera bangun dan yang satu lagi ingin anda melanjutkan tidur.
2.Saat anda harus memilih atau membuat keputusan anda bingung karena ada beberapa bagian dari diri anda yang saling tidak setuju dengan keputusan anda.
3.Anda merasa tidak nyaman atau ada perasaan bersalah setelah melakukan suatu tindakan. Padahal saat melakukannya anda merasa sangat yakin dengan tindakan anda.

Pembaca, bila anda mengalami salah satu saja dari tiga hal di atas maka sebenarnya ada telah mengalami Ego State. Dengan kata lain, Ego State sebenarnya adalah bagian dari diri kita yang aktif atau mengendalikan diri kita pada suatu saat tertentu.

Ego State, menurut Watkins dan Watkins, adalah sebuah sistem perilaku dan pengalaman yang terorganisir yang elemen-elemennya saling terhubung melalui beberapa prinsip yang sama tetapi saling dipisahkan oleh batas-batas yang dapat ditembus (permeabilitas) hingga derajat kedalaman dan fleksibilitas tertentu.

Ada berapa banyak Ego State dalam diri kita?

Tidak ada satupun pakar yang bisa menentukan secara pasti. Ini juga bergantung pada teori masing-masing pakar itu. Tansactional Analysis (TA) yang dikembangkan oleh Eric Berne mengatakan dalam diri kita ada lima ”diri”. Gestalt Therapy, yang dikembangkan oleh Frederick Perls berdasar Psychodrama-nya Jacob Moreno, tidak menetapkan suatu jumlah tertentu. Voice Dialogue dan Psychosynthesis mengatakan kita punya banyak ”diri”. Carl Jung juga mengatakan hal yang sama, tidak diketahui secara pasti ada berapa banyak ”diri” dalam diri kita.

Namun untuk lebih mudah memahami maka saya akan mengutip apa yang dikatakan oleh Rowan. Menurut Rowan kita punya antara empat sampai sembilan ”diri” atau ”bagian” yang masing-masing adalah tema besar yang menaungi ”sub-diri”. Masing-masing ”diri” mempunyai kehidupan, fungsi, kepribadian, dan tugas masing-masing. Mereka saling terhubung antara satu dengan yang lain.

Nah, itu sekilas tentang beberapa teori yang mirip dengan Ego State. Sekarang mari kita bahas sejarah dan perkembangan Ego State Therapy.

Orang pertama yang menulis tentang Ego State adalah Paul Federn, rekan sejawat Freud. Menurut teori yang dikembangkannya Federn mengatakan bahwa kepribadian seseorang tersusun atas sekelompok bagian yang ia sebut sebagai Ego State. Ego State yang aktif pada suatu saat tertentu menentukan kepribadian orang itu.

Walaupun Federn (1952) menetapkan dan menyusun teori tentang Ego State, ia tidak mengembangkan teknik terapi menggunakan dasar teori kepribadian ini. Federn melakukan praktik terapi psikoanalisa sejalan dengan orientasi terapi yang populer pada jamannya.

Sementara itu, di tahun 1957, Eloardo Weiss, seorang Italia yang sedang dalam proses menyelesaikan pendidikannya untuk menjadi seorang psikoanalis, belajar ke Paul Federn. Federn menceritakan pandangannya tentang kepribadian kepada Weiss.

Selanjutnya John Waktins mendapat pengetahuan ini pada saat belajar di bawah bimbingan Weiss sebagai bagian dari proses pendidikannya untuk menjadi seorang psikoanalis. Dari sinilah Ego State Therapy berkembang.

Dalam praktiknya sebagai psikolog utama di Welsh Convalescent Center membantu tentara yang kembali dari perang dunia kedua Waktins menemukan bahwa tentara yang diterapi dengan menggunakan hipnosis mengalami pertukaran kondisi emosi tertentu. Pada saat itu Watkins belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada tentara yang ia tangani. Barulah pada saat ia belajar ke Weiss dan mendapatkan informasi mengenai Ego State akhirnya Watkins bisa memahami dasar teori dari apa yang ia temukan.

Di pertengahan tahun 1970, Hilgard dan Hilgard menemukan bagian dari diri manusia yang mereka sebut dengan Hidden Observer atau Pengamat Tersembunyi. Mereka menemukan adanya Hidden Observer melalui eksperimen fenomena trance seperti negative auditory hallucination dan anesthesia.

Dalam eksperimen ini subjek penelitian seakan tidak bisa mendengar atau merasakan sakit namun ternyata ada bagian dari diri subjek yang sesungguhnya tetap mendengar dan merasakan semua ini.

John Waktins mengenali Hidden Observer sama dengan Ego State yang dikatakan oleh Federn dan Weiss. Untuk memastikan hal ini, John Watkins dan istrinya, Helen Watkins, mengulang eksperimen Hilgard dan menemukan bukti yang memvalidasi pemikiran mereka.

Sejak awal tahun 1970an John dan Helen Watkins mulai mempublikasikan hasil riset mereka mengenai Ego State di berbagai jurnal dan artikel. Dan pada tahun 1997 mereka menerbitkan buku dengan judul Ego States: Theory and Therapy.

Beberapa pakar yang juga menulis tentang Ego State Therapy dan dipublikasikan dalam bentuk artikel jurnal dan buku: Maggie Phillips, Clare Frederick, Shirley McNeal, Moshe Torem,  Waltermade Hartman, Gordon Emmerson, Hunter, George Fraser, dan Michael Gainer. Di tahun 2003 diselenggarakan kongres dunia pertama Ego State Therapy di Bad Orb, satu kota dekat Frankfurt.

Bagaimana Ego State Terbentuk?

Menurut Watkins Ego State terbentuk karena tiga hal. Pertama melalui normal differentiation yaitu anak belajar membedakan satu hal dengan yang lainnya, misalnya makanan yang ia suka dan tidak suka, orang yang baik dan tidak baik terhadap dirinya.

Kedua adalah introjection of significant others yaitu anak menyerap energi positif atau negatif dari orang “penting” di sekitar anak, misalnya orangtua, guru, teman, atau siapa saja yang dianggap penting oleh anak, dan energi ini termanifestasi dalam diri anak dalam bentuk “Bagian Diri” yang dinamakan Introject. Dengan kata lain introject adalah manifestasi/perwujudan suatu figur yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan seseorang yang diadopsi/tersimpan dan “hidup” di dalam ingatan/mental/pikiran bawah sadar orang tersebut. Contoh introject antara lain sosok atau figur dari ayah, ibu, suami, istri, saudara, anak, tokoh agama, guru spiritual, dan lain-lain.

Ketiga, Part atau bagian diri yang terbentuk akibat pengalaman traumatik. Saat anak mengalami suatu pengalaman traumatik dan tidak ada Ego State dalam dirinya yang mampu menangani trauma ini maka akan muncul atau tercipta Ego State baru yang khusus berfungsi menangani trauma ini.

Sedangkan menurut teori perkembangan otak, Ego State terbentuk sebagai akibat dari pengalaman atau kejadian yang dialami anak yang bersifat berkesinambungan atau berulang. Misalnya pada masa kecil seorang anak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan mendukungnya maka akan muncul Ego State yang mempunyai sifat kasih sayang. Ego State ini muncul karena anak mengalami pengalaman secara berulang (baca: stimulasi) sehingga di otak anak terjadi pembentukan jalur saraf yang terdiri dari koneksi axon dan dendrite yang mewakili pengalaman ini. Demikan pula bila anak dibesarkan dalam lingkungan yang keras maka akan muncul atau tercipta Ego State dengan sifat yang keras.

Klasifikasi Ego State

Surface dan Underlying Ego State


Dilihat dari seberapa sering suatu Ego State muncul atau aktif maka kita mengenal ada dua jenis Ego State yaitu Surface dan Underlying Ego State. Surface Ego State adalah Ego State yang sering muncul atau digunakan dalam menjalani hidup dan berinteraksi dengan lingkungan. Sedangkan Underlying Ego State adalah Ego State yang jarang muncul atau digunakan. Saat seseorang mengalami suatu pengalaman hidup dengan menggunakan Ego State tertentu maka Ego State ini disebut sebagai Ego State yang executive atau yang memegang kendali. Secara umum dalam keseharian Surface Ego State yang aktif berkisar antara empat hingga lima.  

Seseorang yang sedang mengendarai mobil menuju ke kantor atau tempat kerjanya menggunakan satu Surface Ego State. Sedangkan saat bekerja di kantor ia menggunakan Ego State lain. Saat ia membaca buku atau bermain bisa jadi ia menggunakan Ego State yang lain lagi.

Ego State saling berkomunikasi satu dengan yang lain. Umumnya yang paling mudah diajak berkomunikasi adalah Surface Ego State karena mereka mudah untuk berbagi informasi. Bisa juga terjadi ada Underlying Ego State yang tidak berkomunikasi dengan Surface Ego State. Bila demikian kondisinya kita tidak bisa mengakses informasi yang ada pada Underlying Ego State ini dengan menggunakan cara biasa.

Ego State dan Alter

Bila dilihat dari jalur komunikasinya maka kita mengenal dua jenis Ego State yaitu normal Ego State dan Alter. Normal Ego State mampu berkomunikasi dengan baik dengan Ego State lainnya. Sedangkan Alter adalah Ego State yang jalinan komunikasinya sangat buruk atau (hampir) terputus dengan Ego State lainnya. Putusnya komunikasi ini mengakibatkan apabila Alter ini sedang executive maka apa yang ia lakukan tidak diketahui oleh Ego State lainnya. Kondisi ini dikenal dengan nama DID atau Dissociative Identity Disorder atau dulunya lebih terkenal dengan MPD (Multiple Personality Disorder). Alter terjadi karena anak mengalami pengalaman yang sangat traumatik (severe and chronic abuse) sehingga mekanisme pertahanan diri pikiran bawah sadar membuat anak “lupa” pada kejadian itu dengan cara memutus jalur komunikasi antara Alter (Ego State yang mengalami trauma) dan Ego State lainnya yang “sehat”. Dari beberapa penelitian MPD (Kluft, Greaves, Bliss, Putnam, Lienhart, Schreiber, Loewenstein) yang saya pelajari dan dalami ternyata ada minimal 16 (enam belas) kelompok alter.  Penanganan alter menggunakan strategi yang berbeda dengan penanganan Ego State.

Ego State Berdasar Sifat Dan Fungsinya

Ego State yang berfungsi normal, non-patologis, mempunyai peran yang konstruktif demi kemajuan Ego State lain dan juga si individu. Selain Ego State yang bekerja dan berfungsi normal, juga ada yang bersifat patologis yang dikenal dengan Ego  State yang bersifat vaded, retro-functioning, conflicting, dan malevolent.

Vaded Ego State adalah Ego State yang tidak bisa lagi menjalankan fungsi mereka yang seharusnya karena mengalami trauma atau pengalaman yang negatif. Saat Ego State jenis ini tampil dan aktif atau executive maka individu akan mengalami kembali emosi negatif yang berhubungan dengan trauma. Kondisi ini yang oleh Freud disebut dengan situational neurosis. Vaded Ego State tidak selalu tampil dan aktif. Untuk bisa membuatnya berfungsi normal kembali maka Ego State ini harus dibuat tampil dan aktif sehingga emosi yang berhubungan dengan trauma yang ia alami dapat diproses tuntas.

Retro-functioning Ego State adalah Ego State yang menjalankan peran lama yang bertentangan dengan Ego State lainnya atau tidak mendukung kemajuan individu. Ego State jenis ini antara lain menampilkan simtom berupa kemarahan yang tidak terkendali, kebiasaan berbohong yang kronis, atau berbagai gejala psikosomatis. Untuk mengatasi hal ini bisa dilakukan negosiasi sehingga Retro-functioning Ego State bersedia menjalankan peran baru yang lebih positif dan konstruktif. Ego State bisa bersifat vaded dan retro-functioning.

Conflicting Ego State mempunyai tujuan yang positif bagi individu namun mengalami konflik kepentingan dan tujuan dengan Ego State lainnya. Contoh seseorang mengalami Conflicting Ego State adalah saat ia ingin melakukan sesuatu tetapi mendapat pertentangan dari dalam dirinya. Misalnya seseorang ingin berhenti merokok namun tidak bisa karena ada bagian dari dirinya yang sangat suka merokok. Dalam hal ini terdapat dua Ego State yang saling bertentangan. Konflik ini juga bisa muncul saat seseorang ingin diet namun tidak bisa menahan keinginan makannya.

Malevolent Ego State adalah Ego State yang bersifat keras, ganas, dan bahkan bisa sangat kejam, baik terhadap Ego State lain, diri individu, maupun orang lain. Ego State jenis ini yang biasanya membuat seseorang memukul atau menyiksa dirinya sendiri, bahkan bisa sampai mengakibat seseorang melakukan tindakan bunuh diri.

Dalam konteks terapi Malevolent Ego State adalah jenis Ego State yang paling sulit untuk bisa diajak berkomunikasi, negosiasi, bekerja sama, atau ditundukkan. Ego State ini jugalah yang selalu menghambat dan menghalangi proses terapi. Teknik terapi konvensional yang hanya mengandalkan pemberian sugesti pada klien tidak akan bisa berhasil selama Ego State ini belum berhasil ditundukkan.

Ego State Menurut Gender dan Usia

Ego State umumnya tercipta saat seseorang masih kecil atau di usia muda. Namun dalam diri klien juga bisa ditemukan Ego State janin, bayi, anak kecil, remaja, dewasa, atau orang tua. Ego State juga mempunyai jenis kelamin pria dan wanita.

Ego State ini bisa ada dalam diri baik klien pria maupun wanita. Dengan kata lain, dalam diri seorang wanita bisa ada Ego State berjenis kelamin baik pria maupun wanita, mulai yang usia muda hingga yang tua. Demikian juga dalam diri seorang pria.

Masing-masing Ego State biasanya mempunyai nama atau panggilan yang digunakan untuk berkomunikasi baik dengan sesama Ego State, dalam bentuk komunikasi internal,maupun dengan pihak luar melalui komunikasi eksternal.   

Ego State dan Fisiologi

Setiap Ego State berperan sebagai “manusia” kecil di dalam diri seseorang. Ego State mempunyai karakter, logika berpikir, sikap, sifat, perilaku, memori, emosi, kebutuhan, dan tujuan sendiri.

Pada aspek fisik, saat satu Ego State tampil dan aktif maka individu akan mengalami perubahan fisik yang nyata. Bila Ego State mempunyai sifat percaya diri maka saat ia tampil dan aktif individu juga akan tampil percaya diri, berdiri tegak, berbicara dengan suara yang tegas, dan pandangan mata penuh keyakinan. Bila Ego State mengidap suatu penyakit tertentu maka saat ia tampil dan aktif penyakitnya akan muncul di fisik si individu.

Michael Gainer (1993) melaporkan bahwa seorang wanita yang mengidap penyakit reflex sympathetic dystrophy tidak menunjukkan gejala penyakit ini saat tiga Ego State lainnya tampil dan aktif. Dari temuan ini Grainer selanjutnya menggunakan Ego State Therapy dan berhasil menemukan Ego State, yang mengalami trauma, yang menyebabkan sakit pada wanita ini. Setelah trauma berhasil diselesaikan wanita ini sembuh total dari penyakit yang dideritanya.

Emmerson dan Farmer (1996) melakukan Ego State Therapy terhadap para wanita yang menderita menstrual migraine kronis dan berhasil mengurangi rata-rata jumlah hari migraine per bulan dari 12,2 menjai 2,5. Subjek penelitian juga menunjukkan berkurangnya depresi dan kemarahan secara signifikan.  

Lokasi Ego State

Ego State bisa menempati lokasi di luar tubuh atau di dalam tubuh. Di luar tubuh bisa di depan, di atas, di bawah, atau di belakang. Sedangkan kalau di dalam tubuh bisa di satu lokasi tertentu, misalnya di dada, kepala, hati, tangan, punggung, perut, atau kaki, dan bisa juga menempati seluruh tubuh secara merata.


Apa Beda Ego State dan Introject?

Ego State dan Introject walaupun sama-sama disebut sebagai Part atau Bagian Diri namun berbeda menurut sumber terciptanya. Ego State berasal dari dalam diri individu sedangkan Introject berasal dari luar.

Introject adalah persepsi tentang seseorang yang terinternalisasi ke dalam pikiran bawah sadar. Dengan demikian bisa terdapat sangat banyak Introject dalam diri seseorang.

Dalam proses terapi, khususnya saat menggunakan teknik Ego State Therapy, untuk bisa memproses trauma, maka Ego State yang mengalami trauma perlu diaktifkan agar emosi yang tersimpan dalam Ego State ini bisa diproses.

Dalam upaya ini seringkali melibatkan Introject yang ada dalam diri klien. Dialog dengan Introject ini yang seringkali salah dimengerti oleh orang awam. Apalagi bila Introject ini adalah Part yang merupakan internalisasi persepsi terhadap orang yang telah meninggal. Mereka yang tidak mengerti mengira yang diajak bicara adalah roh orang yang telah meninggal.  

Lebih jelasnya begini. Saat anak masih kecil muncul Introject, atau biasa sering disebut sebagai figur, Ayah dalam diri anak. Selama anak masih hidup, mulai kecil hingga usia tua, Introject ini akan terus “hidup” di dalam diri anak.

Misalnya setelah anak beranjak dewasa, si ayah meninggal dunia. Yang meninggal adalah si ayah yang sesungguhnya, namun Introject Ayah dalam diri anak tetap hidup atau ada. Sehingga pada saat proses Ego State Therapy dilakukan terhadap Introject Ayah, dalam diri anak, akan terjadi dialog seakan-akan terapis berbicara dengan si Ayah. Tujuan dialog ini untuk memproses emosi negatif yang masih tersisa dalam diri anak terhadap ayahnya atau sebaliknya.

Saya pernah membantu klien wanita, 37 tahun, yang melakukan aborsi hingga lima kali. Aborsi pertama dilakukan saat klien berusia 25 tahun. Saat membantu klien mengatasi berbagai emosi negatif yang berhubungan dengan aborsi yang ia lakukan, salah satu teknik yang saya gunakan adalah memproses emosi yang berhubungan Introject Janin yang ia gugurkan. Saat itu muncul lima Introject Janin yang digugurkan. Dan yang luar biasa lagi Introject dari janin yang pertama digugurkan, yang dipanggil dengan nama Michael, telah tumbuh dan besar, di dalam pikiran klien tentunya, hingga usia 11 tahun. Bila anda perhatikan usia klien saat melakukan aborsi, masa kehamilan sekitar 9 – 10 bulan, dan saat ia bertemu saya untuk terapi maka usia Introject Michael adalah benar 11 tahun.

Kasus menarik lainnya yang pernah ditangani murid saya adalah kasus wanita yang “kerasukan”. Wanita ini, katanya, “dirasuki” oleh “makhluk” halus dan tubuhnya menjadi kaku dan lumpuh.

Oleh murid saya, “makhluk” ini diajak bicara dan ditanya apa maunya. “Makhluk” ini minta diberi nama. Ternyata “makhluk” ini sebenarnya adalah Introject dari janin wanita ini yang keguguran. Setelah “makhluk” ini diberi nama, wanita ini langsung sembuh, bisa bangkit berdiri dan jalan normal.

Fenomena ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang bersifat metafisis. Yang terjadi adalah Introject janin (baca: anak) wanita ini muncul dan minta nama. Tubuh wanita yang menjadi kaku dan lumpuh sebenarnya adalah indikasi bahwa ia berada dalam kondisi trance sangat dalam yang disebut dengan level Catatonic, dua level di bawah Profound Somnambulism.

Contoh lain lagi, biar lebih jelas mengenai Introject, saya pernah bertukar peran dengan seorang peserta seminar saya. Peserta ini, sebut saja Agung, saya sugestikan menjadi diri saya. Dan langsung Agung mengaku bernama Adi W. Gunawan. “Adi” ini lalu saya minta untuk melanjutkan presentasi saya (Adi yang asli) dan ia melakukannya dengan sangat baik. Yang terjadi adalah Introject Adi di dalam diri Agung tampil dan aktif dan berperan sebagai Adi melalui diri Agung.

Saat saya bertanya pada “Adi”, “Pak Adi, Bapak sudah menulis berapa buku?”

Pak “Adi” menjawab, “Saya sudah menulis delapan buku.”

Dari sini saya tahu kalau data jumlah buku yang telah ditulis pada Introject Adi belum diupdate. Saat itu saya, Adi yang asli, telah menulis 12 buku. Dan pola pikir “Adi” tentunya berbeda dengan saya, Adi yang asli. Pola pikir “Adi” atau Introject Adi adalah pola pikir berdasarkan persepsi Agung terhadap diri saya.   

Obat Antidepresan dan Ego State

Klien yang mengalami depresi biasanya diberi obat antidepresan agar bisa tenang. Pemberian obat antidepresan sampai pada taraf tertentu sangat membantu klien untuk bisa stabil dan berinteraksi dengan lingkungannya walaupun masalah yang dialami klien belum diatasi.

Yang sesungguhnya terjadi adalah obat ini memblok atau menekan Ego State yang mengalami depresi sehingga tidak bisa muncul, dari surface menjadi underlying, dan klien merasa tidak ada masalah atau baik-baik saja, selama obatnya terus diminum. Jika klien berhenti minum obat maka kondisinya akan kembali menjadi tidak stabil karena Ego State yang tadinya tertekan kini muncul kembali dan aktif.   

Saya pernah menangani klien yang sempat depresi karena pasangannya selingkuh. Klien selama 8 tahun minum obat dan merasa dirinya baik-baik saja. Dalam kondisi sadar normal klien mengatakan bahwa ia telah sembuh. Buktinya, ia sudah tidak lagi marah pada pasangannya. Bahkan saat bertemu dengan selingkuhan pasangannya ia juga biasa-biasa saja. Saya yakin kondisi klien yang tenang dan “sembuh” ini adalah karena pengaruh obat yang masih ia minum.

Selanjutnya saya melakukan pemeriksaan langsung ke pikiran bawah sadarnya, ternyata klien masih menyimpan perasaan terluka, marah, benci, dan dendam kepada pasangannya. Selama Ego State yang menyimpan emosi ini tidak diproses maka klien akan selalu bergantung obat untuk bisa tenang.

Kondisi ideal, bila memungkinkan, sebaiknya sebelum diberi obat klien dibantu dengan Ego State Therapy. Dalam kondisi ini klien dan terapis dapat mengakses Ego State yang mengalami depresi dan memproses emosinya dengan cepat dan tuntas sehingga klien tidak perlu harus minum obat.

Cara Mengakses Ego State

Dalam kondisi normal kita hanya bisa mengakses Surface Ego State. Namun bila kita ingin mengakses Underlying Ego State yang menyimpan trauma tertentu maka dibutuhkan teknik yang spesifik dengan prasyarat khusus.

Ada dua cara untuk mengakses Underlying Ego State. Pertama, dengan menggunakan rileksasi pikiran dan kedua, tanpa rileksasi pikiran. Umumnya buku atau literatur tentang Ego State Therapy mensyaratkan rileksasi pikiran sebagai sarana untuk mengakses Underlying Ego State. Dengan kondisi pikiran yang rileks dan penggunaan teknik yang tepat akan dicapai hasil terapi yang sangat luar biasa dalam waktu yang relatif singkat.

Level kedalaman rileksasi pikiran yang umumnya digunakan untuk bisa mengakses Underlying Ego State adalah profound somnambulism. Bila kurang dalam atau lebih dalam dari profound somnambulism, Ego State Therapy biasanya akan kurang efektif.

Dari eksperimen dan pengalaman praktik saya menemukan bahwa kita bisa mengakses Underlying Ego State tanpa harus merilekskan pikiran sama sekali. Hasil terapi yang dicapai juga sama efektifnya.

Masing-masing cara mengakses Underlying Ego State mempunyai kelebihan masing-masing dan digunakan dalam situasi yang berbeda.


Manfaat Ego State Therapy

Ego State Therapy bila dipelajari dengan mendalam, cermat, dan dikuasai dengan baik akan memberikan manfaat terapeutik yang sungguh sangat luar biasa. Dalam praktik profesional sebagai hipnoterapis, dengan menggunakan Ego State Therapy, saya berhasil membantu klien mengatasi masalah, antara lain:

  • phobia
  • trauma/luka batin
  • tidak percaya diri
  • kesulitan diet
  • takut sukses
  • takut gagal
  • insomnia
  • migraine
  • masalah seks
  • kecemasan
  • stress
  • depresi
  • takut berbicara di depan umum
  • konflik diri (inner conflict)
  • pencapaian prestasi hidup rendah
  • perilaku obsessive/compulsive
  • perilaku adiktif
  • berbagai penyakit psikosomatis
  • sabotase diri
  • dan masih banyak lagi.
Baca Selengkapnya

Hypnotic Contract

21 Juli 2010

Istilah hypnotic contract saat ini sering disebut dan cukup banyak digunakan dalam dunia hipnoterapi. Namun apa sih sebenarnya hypnotic contract ini? Siapa yang menciptakan istilah ini dan apa maksudnya?

Hypnotic contract pertama kali disebut oleh Ernest Hilgard dalam bukunya yang berjudul Divided Consciousness: Multiple Controls in Human Thought and Actions (1977). Hilgard, melalui penelitiannya, hidden-observer experiment, menemukan bahwa pada pikiran manusia terdapat dua fungsi yang ia sebut dengan fungsi eksekutif (executive) dan pengawasan (monitoring). Kedua fungsi ini berhubungan dengan konsep pusat kendali (central control) yang dibentuk oleh dua subsystem.

Pada manusia normal, kedua subsystem ini diasumsikan berada di bawah suatu pusat kendali. Namun bila teraktivasi maka masing-masing subsystem bisa bekerja secara independen.

Fungsi eksekutif meliputi perencanaan tujuan, memulai tindakan untuk mencapai tujuan, dan mempertahankan tindakan untuk mengatasi berbagai hambatan. Fungsi pengawasan adalah berupa umpan balik yang selalu mengamati dan mengawasi apa yang sedang terjadi.

Pengawas, atau bagian dari pikiran yang melakukan fungsi pengawasan, mengamati secara selektif, memilih hanya mengamati hal tertentu saja dan mengabaikan hal lain. Fungsi pengawasan juga bersifat kritis (critical) dan memberi penilaian (judgement).

Kedua fungsi ini tidak dapat dipisahkan secara tegas karena tindakan atau upaya untuk memisahkan fungsi ini akan langsung mendapat pengawasan, dengan catatan, si individu berfungsi normal dan harmonis.

Namun, dalam waktu dan kondisi tertentu kedua fungsi ini bisa bekerja tidak seimbang, fungsi pengawasan konflik dengan fungsi eksekutif, mengakibatkan disonansi kognitif dan disosiasi, fungsi yang satu tidak tahu apa yang sedang terjadi dan dilakukan oleh fungsi yang lain.
 
Saat seseorang mengalami kondisi hipnosis terjadi disosiasi yang memungkinkan proses kognisi berjalan simultan pada beberapa level dan dalam arah yang berbeda. Dalam kondisi ini terjadi pemisahan yang tegas dan jelas antara fungsi eksekutif dan fungsi pengawasan.

Pengalaman ini terjadi dalam hubungan interpersonal antara terapis dan klien dan disebut sebagai hypnotic contract.
Apa yang sebenarnya terjadi saat terapis dan klien sepakat menjalin hypnotic contract?

Saat hypnotic contract disetujui para pihak, terapis dan klien, maka klien “setuju” untuk sementara waktu “menghentikan” fungsi pengawasan terhadap berbagai perilaku yang diciptakan atau dihasilkan oleh fungsi eksekutif.  Dengan demikian fungsi pengawasan ini tidak akan mempertanyakan, menganalisis, atau memprotes hal-hal yang terjadi atau muncul selama proses hipnosis dan terapi berlangsung, yang tidak sejalan dengan logika umum.

Hipnotis modern memandang hypnotic contract sebagai pembagian fungsi eksekutif tanggung jawab bersama, antara terapis dan klien. Hal ini berbeda dengan pandangan sebelumnya yang menyatakan bahwa hipnosis adalah penguasaan pikiran klien / subjek oleh hipnotis.

Saat klien telah setuju “menandatangani” hypnotic contract maka ia setuju untuk melepas sebagai kendali, mengurangi fungsi pengawasan, sehingga memungkinkan terjadinya pemrosesan data yang terpisah dan berlangsung pararel, yang secara kognitif inkonsisten satu dengan yang lain bila pemrosesan ini dilakukan dalam kondisi normal.

Kondisi inilah yang oleh Orne (1959,1979) disebut dengan trance logic, yaitu kemampuan klien, dalam kondisi hipnosis, untuk secara bebas mencampur /menggabungkan, dan memanipulasi persepsi yang berasal dari kondisi riil dan persepsi yang berasal dari imajinasinya.

Contoh konkritnya begini. Saat seseorang dalam kondisi hipnosis maka pada level kedalaman tertentu ia bisa mengalami kondisi positive visual hallucination. Hipnotis bisa memberikan sugesti yang bila dijalankan oleh pikiran klien, akan bisa membuat klien melihat ada dua hipnotis yang duduk di depannya. Hipnotis yang satu adalah yang riil dan yang satunya lagi adalah hasil imajinasi (halusinasi) klien. Dan klien menerima hal ini sebagai hal yang wajar dan benar karena pikirannya mengijinkan hal ini terjadi.

Baca Selengkapnya

Advanced Hypnotic Abreaction Techniques

21 Juli 2010

Abreaction adalah topik yang sangat menarik untuk dibahas. Setiap hipnoterapis dalam praktik membantu klien mengatasi masalahnya pasti pernah mengalami klien yang meledak emosinya. Nah, ledakan emosi ini yang disebut dengan abreaction atau catharsis.

Saya pernah membahas abreaction di artikel sebelumnya dengan judul “How to Handle Abreaction and Catharsis”. Jika anda belum membacanya saya sarankan untuk mengunjungi http://adiwgunawan.com/index.php?pid=dtl_artikel&id=60.

Materi yang saya tulis di artikel ini adalah materi update, hasil penelitian, pengujian, dan pengembangan yang dilakukan oleh Tim Advanced Research & Development Quantum Hypnosis Indonesia, dan saya ajarkan di kelas 100 jam sertifikasi hipnoterapis melalui pelatihan Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy.

Penggunaan abreaction dalam terapi bukanlah hal baru. Freud juga menggunakan teknik ini dan menemukan bahwa simtom histeria pada klien hilang seketika dan tidak bisa muncul lagi jika klien berhasil secara menyeluruh membangkitkan kembali memori-memori beserta emosi yang menjadi penyebab histeria.

Freud dan kawannya Breuer menyimpulkan bahwa simtom muncul sebagai akibat dari represi memori yang berhubungan pengalaman yang sangat traumatik. Hal ini mengakibatkan terjadinya blocking energi. Freud menggunakan hipnosis dan sugesti untuk melakukan release terhadap blok energi dan berhasil menyembuhkan kliennya. Temuan ini mereka tulis dalam buku Studien Uber Hysterie di tahun 1895.

Namun dalam perjalanan karirnya Freud menemukan bahwa simtom yang telah berhasil dihilangkan ternyata muncul lagi. Inilah sebabnya mengapa Freud merasa bahwa kemajuan terapi yang dialami klien, bila menggunakan teknik abreaction, hanya bersifat temporer.

Penelitian literatur menghasilkan satu temuan menarik. Freud hanya melakukan single abreaction pada kliennya. Padahal, untuk kasus berat akibat pengalaman yang sangat traumatik, emosi yang tertekan di bawah sadar sangatlah intens. Single abreaction umumnya tidak mampu secara tuntas menguras habis semua emosi ini. Untuk bisa benar-benar mengeluarkan semua emosi klien, untuk kasus yang berat, perlu dilakukan multiple abreactions, dan ini yang tidak dilakukan oleh Freud.

Penelitian manfaat teknik abreaction secara sangat terkontrol dilakukan oleh William Brown (1920) yang melakukan terapi pada ribuan mantan tentara yang mengalami masalah mental setelah pulang dari medan perang. Brown menggunakan abreaction untuk mengeluarkan emosi yang tertekan di bawah sadar dan berhasil membantu klien-kliennya pulih. Brown mengatakan bahwa agar efektif maka abreation harus intens, tuntas, dan diulangi. Baru setelah itu dilakukan rekonstruksi psikologis agar kesembuhan bersifat permanen.

Penelitian pemanfaatan abreaction selanjutnya dilakukan oleh Grinker dan H. Spiegel pada masa perang dunia kedua. Teknik ini selanjutnya disempurnakan oleh John G. Watkins dan berkembang hingga saat ini dengan banyak pendalaman dan penajaman teknik.

Abreaction sebenarnya adalah hal yang normal dan terjadi secara spontan dengan tujuan untuk melepas tekanan (mental atau emosi) atau stimulasi berlebihan yang mengganggu keseimbangan sistem diri manusia. Abreaction adalah bagian dari proses pemeliharaan diri, upaya penyesuaian individu untuk mencapai atau mempertahankan keseimbangan (equilibrium) yang diinginkan.

Untuk lebih memudahkan anda memahami abreaction, bayangkan sebuah tungku yang terbuat dari tanah liat. Tungku ini berisi air dan dalam kondisi normal ada api yang menyala dan membakar dasar tungku.

Bila api ini terus dibiarkan membakar tungku maka temperatur air di dalamnya akan naik dan akhirnya akan mendidih atau menguap. Ini adalah proses alamiah dan normal. Air yang bergolak dan mendidih ini adalah sama dengan abreaction yang terjadi secara alamiah pada diri manusia.

Namun apa yang terjadi bila tungkunya ditutup rapat?

Api yang terus membakar tungku akan membuat isi tungku semakin panas dan tekanan uap semakin tinggi. Bila ini diteruskan maka suatu saat nanti tungku akan meledak dan hancur.

Agar tidak hancur maka perlu dibuat lobang atau retakan kecil di dinding tungku untuk melepas uap yang terperangkap di dalamnya. Uap yang keluar akan muncul dalam bentuk simtom baik berupa perasaan tidak nyaman atau sakit fisik (psikosomatis).

Lebih jelas mengenai Teori Tungku Mental bisa anda baca di http://adiwgunawan.com/index.php?pid=dtl_artikel&id=48.

Dalam kondisi tertentu, biasanya saat seseorang dalam kondisi deep trance, maka pikiran bawah sadar bisa membuat retakan besar sehingga uap air keluar dengan sangat deras dan banyak. Bila ini terjadi maka klien akan mengalami spontaneous hypnotic abreaction yang hebat.

Kita perlu membedakan antara hypnotic abreaction, abreaction yang terjadi baik secara spontan atau karena disengaja melalui provokasi terencana dan terstruktur  saat subjek dalam kondisi deep trance, dan abreaction yang terjadi dalam kondisi kesadaran normal. Beda dua abreaction ini ada pada kondisi kesadaran saat abreaction terjadi, intensitas, dan tujuannya.

Jadi, bila melihat penyebab terjadinya maka abreaction dibagi menjadi dua jenis. Pertama, abreaction yang disengaja. Abreaction jenis ini memang sengaja dilakukan oleh terapis terhadap klien dengan menggunakan tenik tertentu dan telah direncanakan dengan sangat hati-hati dan terstruktur. Terapis benar-benar tahu apa dan mengapa ia melakukan hal yang ia lakukan. 

Kedua, abreaction yang tidak direncanakan atau bersifat spontan. Abreaction ini dapat terjadi sewaktu-waktu saat sesi terapi berlangsung. Terapis yang andal akan mampu memfasilitasi dengan baik abreaction yang disengaja maupun yang spontan karena secara teknis penanganannya sebenarnya sama saja.

Abreaction bila ditinjau dari siapa yang mengalaminya terbagi menjadi dua jenis yaitu abreaction yang dialami oleh (total) individu dan yang kedua, abreaction yang hanya dialami oleh Ego State. Dua jenis abreaction ini secara teknis sama namun berbeda pada proses penanganannya. Masing-masing mengikuti aturan main yang berbeda namun dengan tujuan akhir yang sama.

Bila ditinjau dari metode untuk mengeluarkan emosi, kami di Quantum Hypnosis Indonesia, mengenal ada enam teknik abreaction. Dua dari total enam teknik abreaction yang diajarkan di kelas QHI adalah fractionated abreaction dan borrowed abreaction. Teknik borrowed abreaction adalah hasil riset dan pengembangan yang dilakukan oleh alumnus QHI  Bpk. Sjahsjam Susilo.

Seringkali terjadi klien tidak bisa, lebih tepatnya tidak bersedia, mengeluarkan emosinya karena pertimbangan tertentu dan tidak terjadi abreaction, walaupun ia berada dalam kondisi profound somnambulism. Terapis perlu menggunakan strategi lain untuk membantu klien mengalami abreaction. Dari pengalaman , dua teknik yang saya sebutkan di atas sangat efektif untuk bisa mengatasi resistensi klien dan membuat klien bersedia melepaskan emosinya.

Ditinjau dari jenis emosi yang dikeluarkan, pada satu waktu tertentu, maka abreaction terbagi menjadi 3 (tiga): Mixed Emotion Abreaction, Anger Based Abreaction, dan  Hate Based Abreaction. Untuk setiap jenis abreaction ini dibutuhkan teknik yang sangat spesifik agar dicapai hasil yang optimal dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Abreaction memang sangat ampuh untuk membantu klien mengeluarkan tekanan emosi yang selama ini tersimpan atau ditekan di bawah sadar. Namun abreaction sendiri tidak bersifat terapeutik. Benar, dengan mengalami abreaction klien akan merasakan kelegaan yang luar biasa. Namun kelegaan ini hanya bersifat sementara. Tanpa penanganan lanjutan, setelah abreaction, maka klien akan kembali ke kondisi awal. Itu sebabnya ada pakar yang mengatakan, “Revivification is not healing.”

Saat yang paling kritis untuk melakukan abreaction adalah saat terapis memutuskan apakah ia akan melakukan prosedur hypnotic abreaction atau tidak. Pilihannya hanya satu, “Ya atau tidak.” Tidak bisa ragu atau setengah-setengah. Begitu proses abreaction dimulai maka klien dan terapis masuk ke wilayah Point of  No Return. Abreaction harus dilakukan hingga benar-benar tuntas.

Bila abreaction terjadi, apalagi abreaction yang bersifat spontan akibat emosi yang terpendam dan selama ini tidak disadari oleh klien, dan tidak dituntaskan penanganannya maka ini akan sangat riskan dan merugikan klien. Klien bisa mengalami goncangan emosi dan bahkan bisa mengakibatkan klien menjadi tidak stabil.

Menangani abreaction sebenarnya mudah. Sehebat apapun abreaction yang dialami klien, bila terapisnya siap secara mental, tanggap, percaya diri, dan telah membekali diri dengan teknik penanganan abreaction yang efektif maka klien tetap bisa dengan mudah dibawa keluar dari kondisi ini.

Kesulitan penanganan abreaction sebenarnya bukan pada diri klien namun lebih pada diri terapis. Terapis yang tidak siap mental akan kaget atau bahkan ketakutan saat melihat kliennya abreaction.

Saat klien berada dalam kondisi deep trance dan mengalami abreaction maka adalah tugas terapis untuk membantu klien melakukan navigasi pikiran dan emosi untuk melewati pengalaman traumatik itu, mengeluarkan emosinya hingga tuntas, dan melakukan pembelajaran ulang baik secara kognitif maupun afektif.

Pada umumnya untuk membawa klien keluar dari kondisi abreaction digunakan teknik “Tempat Kedamaian” atau Peaceful Place. Teknik ini dilakukan dengan cara meminta klien, sebelum proses hypnoanalysis dilakukan, membayangkan dirinya berada di tempat yang tenang, aman, dan nyaman. Klien diminta berada di tempat ini beberapa saat dan diminta untuk berjanji bahwa bila terapis meminta ia kembali ke tempat ini, kapanpun dan apapun situasinya, maka klien langsung kembali ke tempat ini.

Ini adalah emergency exit yang paling banyak digunakan oleh hipnoterapis pada umumnya namun dengan dua kelemahan yang sering tidak disadari.

Pertama, secara statistik diketahui bahwa orang yang modalitas utamanya visual hanya sekitar 27%. Berarti sisanya yang auditori dan kinestetik tidak akan bisa melakukan visualisasi tempat kedamaian.

Kedua, bila energi psikis klien lemah karena telah banyak terkuras dalam proses terapi maka besar kemungkinan klien tidak bisa menjalankan permintaan terapis untuk segera kembali ke tempat kedamaiannya, walaupun ia sangat ingin melakukannya.

Saya pernah mengalami hal ini. Saat seorang klien yang fobia terhadap benda tajam seperti pisau atau pedang, mengalami abreaction, dan saya perintahkan keluar dari situasi yang membuatnya “meledak” , ternyata ia hanya bisa keluar sesaat dan setelah itu “tersedot” masuk kembali ke kejadian traumatiknya. Kembali saya meminta klien keluar dari pengalaman traumatik dan ia kembali “tersedot” masuk. Ini terjadi berulang kali.

Dalam melakukan terapi saya tidak menggunakan teknik “Tempat Kedamaian”. Ada teknik lain yang jauh lebih praktis dan powerful yang selama ini saya gunakan dan selalu berhasil membawa klien keluar dari abreaction, sehebat apapun abreaction yang ia alami, hanya dalam waktu 2 - 3 detik.

Namun pada kasus di atas teknik ini tidak efektif. Hingga akhirnya saya terpaksa menggunakan teknik lain yang lebih advanced untuk membawa klien keluar dan akhirnya berhasil.

Saat saya tanyakan kepada klien, “Mengapa tadi kok tidak bisa berhenti abreactionnya?” Klien menjawab, “Saya sudah mengikuti bimbingan Pak Adi. Sempat keluar sesaat tapi setelah itu tersedot masuk kembali. Beberapa kali seperti itu.”

Abreaction yang efektif dan mampu memberikan hasil terapi yang permanen adalah yang dilakukan pada Initial Sensitizing Event (ISE), bukan pada Subsequent Sensitizing Event (SSE). Bila affect yang dikeluarkan berasal dari SSE maka release tidak bersifat menyeluruh dan cepat atau lambat klien pasti akan relapse. Ibarat memadamkan api, tidak langsung ke sumbernya.

ISE adalah kejadian yang menjadi awal atau akar masalah klien. Sedangkan SSE adalah kejadian lanjutan, yang dialami klien, yang memberikan kontribusi emosi dan memperkuat efek ISE hingga suatu saat muncul sebagai simtom.

Untuk menemukan ISE digunakan hypnoanalysis yang harus dilakukan secara cermat. Bila tidak, seringkali, terapis mengira telah berhasil menemukan ISE padahal masih SSE. Seringkali untuk bisa menemukan ISE harus melewati beberapa SSE. Dari pengalaman biasanya dibutuhkan penelusuran melalui antara satu hingga lima SSE untuk akhirnya bisa menemukan ISE.

ISE adalah memori yang berisi data mengenai kejadian yang dialami klien, plus pemaknaan dan emosi. Dalam melakukan penelusuran untuk mencari ISE bisa dilakukan dengan dua cara.

Cara pertama adalah dengan menggunakan cognitive bridge. Dalam hal ini terapis berusaha menemukan ISE melalui rangkaian pertanyaan yang diajukan pada klien dalam kondisi sadar normal. Prinsip kerja cognitive bridge adalah setiap memori saling terhubung. Dengan mengajukan pertanyaan yang tepat maka penelusuran data atau memori bisa dilakukan secara bertahap dan diharapkan, suatu saat nanti, berhasil mengungkapkan ISE.

Contohnya begini. Misalnya ada 3 data yang saling berhubungan, A, B, dan C. Kita bisa mencapai C, dengan titik awal A, melalui B. Dalam hal ini B adalah cognitive bridge yang menghubungkan A dan C.

Penggalian data menggunakan cognitive bridge bisa mengungkap ISE namun membutuhkan upaya yang tidak sedikit dan waktu yang lama. Biasanya kegagalan analytic therapy seperti ini terjadi karena data yang muncul lebih sering berasal dari pikiran sadar yang tidak mengakses perasaan atau emosi.

Dalam hipnoterapi ada cara yang jauh lebih efektif untuk mengungkapkan ISE yaitu dengan menggunakan affect bridge. Affect bridge bekerja berdasar prinsip bahwa semua memori atau kelompok memori yang ada di pikiran bawah sadar saling terhubung dengan emosi tertentu.

Dengan prinsip ini maka emosi yang dirasakan oleh klien saat sekarang, pada suatu kejadian atau situasi tertentu, dapat dilacak sumbernya di masa lalu klien, hingga ditemukan memori paling awal atau ISE. Syarat untuk bisa melakukan affect bridge yang efektif adalah menggunakan bantuan kondisi hipnosis, terutama pada level kedalaman profound somnambulism, dan intensitas emosi yang tinggi.

Apakah affect bridge adalah satu-satunya teknik yang efektif untuk bisa menemukan ISE?

Di pelatihan saya mengajarkan beberapa teknik lain yang sangat efektif untuk menemukan ISE. Affect bridge hanya salah satunya. Ada satu teknik yang sangat efektif  yang mampu langsung membawa klien ke ISE, tanpa harus melewati rangkaian SSE. Teknik lain ini akan saya bahas di kesempatan lain karena akan cukup teknis dan panjang.

Nah, pembaca, saya akhiri artikel ini dengan hal penting yang perlu diperhatikan bila hendak melakukan proses abreaction:

1.Ego Strength terapis dan klien (cukup) kuat untuk menjalani proses abreaction.
2.Terapis menguasai dengan baik teknik penanganan abreaction.
3.Klien dibimbing masuk hingga ke kedalaman profound somnambulism.
4.Abreaction paling optimal bila dilakukan dengan klien mengalami kembali pengalaman traumatik (revivification) yang dulunya tidak bisa/berhasil ia hadapi sepenuhnya.
5.Melalui kerjasama dan bantuan terapis, klien mampu menghadapi situasi traumatik, kembali mengalaminya, melepas emosi yang tertekan, dan mengalami pembelajaran ulang baik pada aspek kognitif maupun afektif.
6.Dalam kasus kekerasan yang dilakukan pada anak, klien bersama terapisnya berhadapan dengan pelaku kekerasan, mengatasi, dan membawa anak melewati pengalaman traumatik.
7.Jika dirasa perlu dilakukan proses abreaction maka abreaction dilakukan hingga emosi yang selama ini tertekan di bawah sadar keluar semuanya hingga tuntas.
8.Saat emosi yang tertekan telah berhasil dikeluarkan semuanya, terapis membantu klien melakukan pemaknaan ulang atas kejadian itu.
9.Abreaction melibatkan prinsip counter-conditioning atau systematic desensitization.

 

Baca Selengkapnya

Hipnoterapi: Berkat atau Kuasa Kegelapan?

21 Juli 2010

Hari Minggu, 31 Januari 2010, saya berbicara di Gereja Maria Bunda Karmel, Jakarta, membahas materi hipnoterapi dalam seminar sehari “Hipnotrerapi : Berkat atau Kuasa Kegelapan?” yang dimulai pukul 08.15 sampai 15.00.

Pembahasan materi hipnoterapi kali ini sungguh menarik karena hipnosis/hipnoterapi dibahas oleh tiga orang dengan sudut pandang yang berbeda.

Pembicara pertama adalah Ibu Ratih A. Ibrahim, seorang psikolog,  pembicara topik psikolog, pendidikan, wanita, dan keluarga. Pembicara kedua, saya sendiri, Adi W. Gunawan, mengulas materi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy. Pembicara ketiga adalah Romo DR. BS. Mardiatmadja SJ, rohaniwan, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat DRIYARKARA  Jakarta, yang mengulas hipnoterapi menurut pandangan agama Katolik.

Dalam pembahasannya Bu Ratih menjelaskan mengenai apa itu hipnosis, sejarah hipnosis, sugesti, stage hypnosis, beda hipnosis dan gendam, dan aplikasi hipnosis untuk membantu klien mengatasi masalah. Bu Ratih juga menjelaskan bagaimana menggunakan pendulum untuk membantu klien mengendalikan  pikiran mereka.

Pembahasan teknik terapi oleh Bu Ratih lebih menekankan penggunaan sugesti positif untuk membantu klien berubah. Level kedalaman hipnosis yang biasa digunakan, oleh Bu Ratih untuk membantu kliennya masih di level light trance. Jika ada kasus yang berat dan membutuhkan kondisi kedalaman hipnosis yang dalam atau sangat dalam maka Bu Ratih akan mengirim klien ke psikiater untuk terapi lanjutan.

Ibu Ratih membawakan materi mulai jam 08.30 sampai 10.00, sudah termasuk tanya jawab yang cukup intens dengan audiens. Banyak pertanyaan menarik seputar hipnosis/hipnoterapi yang sebenarnya menggambarkan kebingungan masyarakat akibat tayangan di televisi yang kurang tepat, bila tidak mau dikatakan salah, tentang hipnosis dan hipnoterapi.

Melalui sesi tanya jawab ini Bu Ratih meluruskan banyak hal dan memberikan wawasan yang benar mengenai hipnosis dan hipnoterapi pada audiens.

Sesi kedua, jam 10.00 sampai 12.30, saya memaparkan materi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy yang sebenarnya adalah intisari dari pelatihan 100 jam yang saya selenggarakan. Sudah tentu materinya sudah saya sederhanakan agar tidak terlalu teknis sehingga mudah dimengerti oleh audiens.

Materi yang saya bahas antara lain:
1.Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy
2.Sejarah hipnosis/hipnoterapi
3.Jenis-jenis hipnosis
4.Manfaat hipnoterapi
5.Teori Tungku Mental
6.Teori Pikiran
7.Prosedur hipnoterapi
8.Berbagai teknik hipnoterapi

Agar terdapat kesamaan persepsi dan pemahaman maka saya menggunakan definisi hipnosis yang menjadi acuan para hipnoterapis dunia yaitu definisi yang dikeluarkan oleh US. Dept. of Education, Human Services Division. Saya juga memberikan definisi hipnosis yang baru menurut Scientific EEG Hypnotherapy.

Dari sini saya melanjutkan pembahasan mengenai manfaat hipnoterapi dalam menangani sangat banyak masalah yang berhubungan dengan mental atau emosi. Saya juga memaparkan hasil survei mengenai efektivitas hipnoterapi dibandingkan dengan psikoterapi dan behavior therapy. Survei ini dilakukan oleh Psychotherapy Literature dan dimuat di American Health Magazine.

Materi selanjutnya adalah mengenai pandangan yang salah mengenai hipnosis. Masyarakat umumnya meyakini bahwa hipnosis adalah praktik supranatural, menggunakan kekuatan makhluk lain, bisa untuk menguasai pikiran orang seperti yang mereka lihat di televisi. Ini semua tidak benar. Dan saya jelaskan apa sebenarnya hipnosis yang modern dan ilmiah.

Selanjutnya saya menjelaskan bahwa hipnosis/hipnoterapi telah mendapat pengakuan internasional oleh British Medical Association (1955), American Medical Association (1958), dan American Psychological Association (1960).

Gereja Katolik, menurut riset literatur yang saya lakukan, ternyata telah menerima penggunaan hipnosis. Hal ini tampak pada pernyataan Gereja Katolik, pada tahun 1847, pernah mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa penggunaan magnetisme hewani (sebutan untuk hipnosis di jaman Mesmer) sebenarnya hanyalah suatu tindakan yang menggunakan media fisik yang secara hukum dibenarkan, dan oleh sebab itu secara moral tidak dilarang, dengan catatan penggunaannya tidak ditujukan untuk sesuatu yang melanggar hukum atau melanggar kemoralan.

Aplikasi hipnosis untuk anestesi, dalam hal ini membantu wanita melahirkan, juga telah diterima. Paus Pius XII, melalui pernyataan yang dipublikasi di tahun 1956 dan 1957,  juga dengan sangat hati-hati memberikan persetujuan terhadap penggunaan hipnosis untuk terapi. Sikap Gereja Katolik terhadap hipnosis, hingga saat ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.Hipnosis adalah pengetahuan ilmiah yang serius, dan bukan sesuatu yang dilakukan asal-asalan.
2.Dalam pemanfaatan hipnosis secara ilmiah harus dengan memperhatikan kehati-hatian dan tanggung jawab keilmuan dan kemoralan.
3.Pemanfaatan hipnosis untuk anestesi mengikuti prinsip yang sama yang berlaku untuk anestesi lainnya.

Saya juga menjelaskan bahwa ada dua buku yang sangat bagus yang bisa dibaca oleh audiens. Buku pertama sebenarnya berisi tentang teknik inner child dan ditulis oleh seorang pastor. Buku kedua, bicara tentang kekuatan pikiran bawah sadar, diterbitkan oleh Keuskupan Denpasar.

Seperti biasa, saya pasti menjelaskan mengenai teori dan mekanisme pikiran dengan detil, beda pikiran sadar dan bawah sadar, cara masuk ke pikiran bawah sadar dengan menembus critical factor, teknik dasar induksi, jenis induksi, dan level kedalaman trance/hipnosis.

Saya menjelaskan sangat detil level kedalaman trance beserta demo untuk menunjukkan fenomena yang bisa muncul dalam kedalaman tertentu.

Mengacu pada skala Davis Husband, saya membawa seorang peserta, yang bersedia menjadi subjek hipnosis, turun sangat cepat, hanya sekitar 2 menit, hingga ke level 29 dari 30 level kedalaman. Yang terjadi di level 29 adalah  negative visual hallucination.

Dalam demo ini saya jelaskan juga apa sebenarnya yang dilakukan oleh stage hypnotist, bagaimana mereka memilih subjek, apa yang boleh dilakukan, tidak boleh dilakukan, bagaimana seorang stage hypnotist seharusnya bersikap yaitu tetap menghargai harkat dan martabat subjek, tetap menghargai dan tidak boleh mempermalukan subjek, sugesti yang seakan positif namun sebenarnya berbahaya bagi keselamatan subjek, dan masih banyak hal lain lagi.

Audiens melihat saya melakukan demo hanya dengan menggunakan kekuatan kata melalui teknik komunikasi baik verbal dan nonverbal, dan sama sekali tidak menggunakan mantra atau ilmu tertentu. Kalaupun ada ilmu yang gunakan ya ilmu hipnosis atau hipnoterapi.

Untuk lebih membuka wawasan audiens, bahwa hipnoterapi bukan sekedar sugesti seperti yang diyakini kebanyakan orang, saya juga menjelaskan mengenai berbagai teknik yang digunakan dalam hipnoterapi, termasuk beberapa teknik advanced.

Sesi saya akhiri dengan melakukan demo pengukuran gelombang otak salah satu peserta dengan menggunakan DBSA. Melalui pengukuran ini tampak bagaimana perubahan gelombang otak saat seseorang berpindah dari kondisi sadar normal ke kondisi relaksasi pikiran yang dalam atau deep trance. 

Setelah sesi saya selesai kita break untuk makan siang selama kurang lebih satu jam.

Sesi selanjutnya diisi oleh Romo Mardi. Beliau mengatakan bahwa hipnosis dan hipnoterapi yang dijelaskan oleh Bu Ratih dan saya, bila digunakan dengan hati-hati, bertanggung jawab, tetap menghargai kehendak bebas (free will) klien, dan digunakan dalam upaya membantu klien mengatasi masalah mental atau emosi maka hal ini dibenarkan dan tidak bertentangan dengan aturan gereja Katolik.

Dalam pandangan Beliau hipnosis atau hipnoterapi hanyalah salah satu cabang dari psikologi dan pemanfaatannya bersifat horizontal, yaitu membantu sesama. Sama seperti ilmu kedokteran yang digunakan membantu pasien mengatasi masalah sakit fisik, hipnoterapi digunakan untuk membantu klien yang mengalami masalah mental. Sama-sama bertujuan meneymbuhkan namun yang disentuh aspeknya berbeda. Yang satu sistem tubuh, yang satu sistem pikiran atau mental.

Masih menurut Romo Mardi, Tuhan berkarya, campur tangan, dalam membantu manusia melalui banyak cara, salah satunya namun tidak selalu atau harus , bisa dengan bantuan kondisi hipnosis. Doa, dalam hal tertentu juga menggunakan kondisi hipnosis yaitu kondisi pikiran yang tenang, terkonsentrasi, dan hati yang damai.

Kesimpulang yang didapat setelah mendengar apa yang disampaikan Romo Mardi yaitu bahwa pemanfaatan hipnosis/hipnoterapi boleh dan tidak melanggar aturan gereja asalkan benar-benar memperhatikan kepentingan klien seutuhnya. Konsultasi atau terapi hanya terbatas untuk mengatasi masalah pikiran atau emosi klien. Bila masalahnya sudah berhubungan dengan keimanan maka ini tidak boleh dilakukan, apapun alasannya, karena ini adalah wilayah yang hanya dimengerti oleh seorang pembimbing spiritual yang seiman dengan klien. 

Baca Selengkapnya

Hipnosis dan Memori

21 Juli 2010

Ide untuk menulis artikel ini muncul saat saya sedang berdiskusi (post hypnotic interview) tentang proses dan hasil terapi dengan seorang klien, usai melakukan hipnoterapi. Klien ini bertanya, “Pak Adi, tadi waktu dalam proses terapi, saat Bapak membantu mencari dan menemukan akar masalah yang saya alami, ternyata muncul memori dari masa kecil yang selama ini saya tidak ingat sama sekali. Memori ini apa memang benar seperti itu kejadiannya ataukah hanya fantasi saya saja?”

Pembaca, untuk menjawab pertanyaan di atas saya perlu menceritakan sekilas proses yang terjadi selama sesi hipnoterapi. Klien datang kepada hipnoterapis karena mengalami suatu masalah atau simtom tertentu.

Untuk membantu klien menemukan akar dari masalah atau simtom yang dialami klien, hipnoterapis akan menggunakan uncovering technique, ada major uncovering technique dan minor uncovering technique, yang dipilih untuk diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi klien.

Tebbetts, seorang maestro hipnoterapi,  menyatakan bahwa eliminasi simtom dengan menggunakan teknik uncovering meliputi empat hal:
1.Memori yang menjadi dasar munculnya simtom harus ditemukan/diketahui.
2.Perasaan yang terhubung dengan memori harus dialami kembali (revivification).
3.Relasi simtom ke memori harus terjalin.
4.Pembelajaran pada level pikiran bawah sadar atau emosi harus terjadi agar klien dapat membuat keputusan di masa depan tidak terpengaruh oleh materi yang direpres atau belum terselesaikan.  

Saat mencari akar masalah, seperti yang dinyatakan oleh Tebbets, klien akan mengalami regresi yang akhirnya membawa ia kembali ke kejadian awal yang menjadi sumber masalahnya. Dalam dunia hipnoterapi, kejadian awal ini disebut I.S.E atau Initial Sensitizing Event.

Pertanyaan yang selalu menggelitik hati adalah, “Apakah I.S.E ini benar-benar kejadian yang dialami klien ataukah hanya sekedar fantasinya?”

Bagi seorang hipnoterapis jawabannya adalah, “Tidak penting dan tidak peduli. Yang penting klien sembuh dari masalahnya.”
Lho, kok begitu?

Saya pribadi tidak pernah memusingkan apakah data yang tergali saat terapi adalah benar-benar data otentik/akurat atau hanya fantasi. Yang penting klien sembuh, titik. Namun tentu saja, bila berbicara mengenai penggalian data dari memori, seperti dalam forensic hypnosis, saya tidak bisa berkata seperti di atas. Untuk forensic hypnosis saya tentu akan lebih hati-hati dan harus didukung dengan riset mengenai hal ini. Namun untuk sesi terapi biasa, tidak jadi masalah apapun data yang muncul. Yang penting klien sembuh.

Nah, kembali ke pertanyaan awal, “Apakah data/memori yang tergali saat proses terapi adalah data yang akurat ataukah hanya fantasi? Kalau akurat, seberapa akuratkah data ini?”

Jawabannya adalah, “Tidak akurat.”

Ceritanya begini ya. Informasi yang berasal dari luar diri kita jumlahnya sangat banyak sekitar 2.000.000 bit informasi pada suatu saat. Karena banyaknya informasi yang harus diproses, agar kita tidak mengalami overload,  maka pikiran sadar akan melakukan filter berdasar kriteria berikut:

• Informasi yang paling kuat atau berpengaruh
• Informasi yang berhubungan dengan keselamatan hidup (menurut pemikiran pikiran bawah           
  sadar) atau
• Aspek yang sejalan dengan preferensi sistem sensori (visual, auditori, atau kinestetik) .
  Kita cenderung lebih memperhatikan salah satu aspek daripada yang lainnya.

Stimulus adalah informasi apa saja yang masuk melalui panca indera, atau yang dihasilkan oleh pikiran sendiri, bisa berasal dari suatu memori atau suatu skenario pemikiran. Setelah proses saringan awal selesai dilakukan, informasi tiba di bagian otak yang dinamakan thalamus. Thalamus bertugas mengirim “bahan mentah” informasi ke bagian otak yang bertugas memproses informasi sesuai dengan komponennya, misalnya warna, kontras, gerakan, suara, dan lain sebagainya.

Satu hal menarik yaitu saat bagian otak, setelah menerima dan memproses tiap komponen informasi, mengirimnya kembali ke thalamus, ternyata informasi ini telah bertambah sekitar 80% lebih banyak daripada saat pertama kali diterima. Otak ternyata telah menambahkan lebih banyak informasi daripada saat pertama kali informasi itu diterima. Hal ini berarti 80% dari persepsi kita terhadap suatu informasi adalah hasil rekayasa kita sendiri, bukan apa informasi itu adanya.

Sekarang anda pasti telah memahami mengapa saya mengatakan  bahwa data yang tergali saat sesi terapi adalah “tidak akurat”. Data ini bukannya salah namun sudah terdistorsi oleh persepsi kita, telah kita beri makna, plus disertai dengan emosi tertentu. Jadi, bisa dikatakan data yang ada di memori adalah fakta + pemaknaan + emosi. 

Freud pada mulanya juga berkeyakinan bahwa data yang tergali dalam sesi terapi adalah data yang akurat, apa adanya. Namun di kemudian hari Freud menyadari bahwa memori yang tergali dalam proses terapi ternyata mengandung emosi yang kuat, campuran antara perasaan takut, fakta, dan persepsi.

Panel yang dibentuk oleh AMA (American Medical Association) yang terdiri dari delapan pakar, antara lain Martion Orne, Bernard Diamond, Herbert Spiegel, dan David Spiegel, sepakat pada satu hal yaitu bahwa dalam age regression pengalaman subjektif mengalami kembali pengalaman di masa kecil walaupun seakan-akan nyata dan benar demikian adanya – tidak berarti sama persis dengan kejadian sesungguhnya (Council on Scientific Affairs, 1985, p. 1919)

Memori bersifat interaktif dan dinamis, tidak statis. Hasil riset membuktikan bahwa teori yang menyatakan pikiran merekam secara objektif kejadian atau pengalaman ,apa adanya seperti yang terjadi, seperti sebuah kamera video, tidaklah benar.

Informasi yang masuk ke pikiran bawah sadar dan disimpan di memori, mengalami distorsi baik saat pertama kali data diterima dan disimpan, saat telah berada di memori, saat pemanggilan data (retrieval), saat data keluar dari memori dan diungkapkan secara verbal maupun non verbal. 

Walaupun data yang tergali adalah data yang subjektif, data yang telah mengalami distorsi, namun bila data ini tergali dalam kondisi profound somnambulism, akurasinya jauh lebih tinggi daripada bila digali dalam kondisi sadar normal.

Akurasi yang dimaksud di sini adalah minimnya distorsi yang terjadi akibat tercampurnya data yang berasal dari pikiran bawah sadar dengan “data” yang berasal dari pikiran sadar, saat proses penggalian di memori.

Kondisi hipnosis, khususnya very deep hypnosis atau profound somnambulism, adalah kondisi yang sangat kondusif untuk menggali data di pikiran bawah sadar. Dalam kondisi ini pikiran sadar, khususnya critical factor, tidak bekerja sehingga data, dari pikiran bawah sadar, bisa dengan sangat mudah naik ke pikiran sadar.

Di pelatihan QHI, Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy, saya menjelaskan mekanisme komunikasi pikiran sadar dan bawah sadar , naiknya data dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar secara real time.

Saat seseorang berada dalam kondisi profound somnambulism pikirannya menjadi sangat terkonsentrasi dan kesadarannya, seperti yang dikatakan oleh Dave Elman, meningkat hingga 2.000%.

Informasi apapun yang tergali saat sesi terapi digunakan sepenuhnya untuk membantu klien mengatasi masalahnya, bukan melakukan pengecekan dan validasi data seperti yang dilakukan dalam forensic hypnosis.  Jadi, hipnoterapis dalam hal ini tidak akan mempermasalahkan akurasi data itu. Yang penting klien sembuh. 

Saat data tergali dari pikiran bawah sadar klien akan ada dua skenario yang bisa terjadi, bergantung  pada level kedalaman hipnosis yang berhasil dicapai klien. Pertama, klien hanya akan mengingat kejadian itu. Kondisi ini disebut hypermnesia atau pseudo revivification yang akan dialami klien yang berada dalam kondisi medium trance. Kedua, pada kedalaman deep trance, klien mengalami kembali kejadian atau pengalaman itu sama seperti dulu ia mengalaminya. Kondisi ini disebut dengan revivification.

Hal yang yang juga sangat penting diperhatikan adalah pertanyaan yang diajukan terapis kepada klien, apakah bersifat leading ataukah guiding. Pertanyaan yang bersifat leading akan mengakibatkan terciptanya false memory yang akan sangat merugikan klien dan malah bisa membuat kondisi klien menjadi semakin parah. Sedangkan pertanyaan yang bersifat guiding bersifat netral dan objektif.

Saya pernah diminta membantu menangani satu kasus yang, katanya, akibat dari penggunaan hipnoterapi secara tidak bertanggung jawab. “Korban”, juga menurut informasi yang saya dapatkan, telah menjalani beberapa sesi terapi dengan terapis lain untuk mengatasi masalahnya.

Setelah saya pertimbangkan dengan saksama akhirnya saya putuskan untuk tidak menangani kasus ini. Saya tidak yakin bila saya melakukan forensic hypnosis pada “korban”, untuk menggali informasi mengenai apa yang telah terjadi, akan bisa mendapatkan data yang otentik. Tidak bermaksud meragukan apa yang telah dilakukan terapis lainnya, yang juga telah membantu menangani “korban”, saya tidak tahu teknik apa yang telah digunakan. Selain itu, terapis yang membantu “korban” ternyata datang dari beberapa disiplin ilmu yang berbeda.

Berikut saya berikan contoh bahaya false memory. Misalnya seorang klien wanita mengaku merasa mengalami pelecehan seksual oleh pamannya, saat ia masih kecil. Terapis yang tidak profesional dan tidak mengerti bahaya pertanyaan leading akan melakukan hal berikut, setelah klien diregresi ke “kejadian” pelecehan itu terjadi:

Terapis : Kamu sekarang berada di mana?
Klien    : Di kamar.
Terapis : Berapa usia kamu saat ini?
Klien    : Lima tahun.
Terapis : Apakah Om ada di dalam kamar?
Klien    : Ya.
Terapis : Apa yang Om lakukan padamu?

Pembaca, ini sangat berbahaya. Saat seseorang berada dalam kondisi deep hypnosis apa yang dikatakan atau ditanyakan oleh terapis akan memunculkan gambaran mental yang seakan-akan merupakan kejadian yang sesungguhnya. Pada contoh di atas yang terjadi sebenarnya adalah belum tentu Om itu ada di dalam kamar. Om menjadi berada di dalam kamar karena sugesti, dalam bentuk pertanyaan, yang diberikan oleh si terapis.

Baca Selengkapnya

Memahami Penyakit Psikosomatis

21 Juli 2010

Baru-baru in saya mendapat klien, seorang pria, sebut saja Pak Rudi, yang mengeluh sakit kepala sebelah yang sudah berlangsung sekitar 6 bulan. Pak Rudi telah berobat ke dokter, telah melakukan cek darah lengkap, dan bahkan telah menjalani CT Scan dan MRI. Hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan Pak Rudi sehat, sama sekali tidak ada masalah.

Tidak puas dengan hasil pemeriksaan lab dalam negeri, Pak Rudi memutuskan berobat ke negeri jiran dan kembali menjalani pemeriksaan menyeluruh. Hasilnya? Sama, Pak Rudi dinyatakan sepenuhnya sehat. Dokter tidak bisa menemukan apa yang menyebabkan sakit kepala Pak Rudi.

Dokter di dalam negeri dan di negeri jiran sama-sama mengatakan bahwa sakit kepala Pak Rudi ini disebabkan karena pikiran, bukan karena masalah fisik. Mereka menyarankan Pak Rudi untuk tidak banyak pikiran, hidup lebih santai, berolahraga, dan kalau perlu mengambil cuti dan berlibur untuk menenangkan pikiran.

Pembaca, apa yang dialami oleh Pak Rudi dikenal sebagai penyakit psikosomatis. Psiko artinya pikiran dan soma artinya tubuh. Jadi, penyakit psikosomatis artinya penyakit yang timbul atau disebabkan oleh kondisi mental atau emosi seseorang. Penyakit ini juga disebut dengan penyakit akibat stress. Penyakit psikosomatis sekarang  sering disebut dengan penyakit psikofisologis. Namanya saja yang sedikit berbeda namun maknanya sama.

Salah satu hipnoterapis alumnus Quantum Hypnosis Indonesia juga pernah menangani klien, seorang wanita, yang alergi gula atau makanan yang manis. Jika ia makan permen atau minum minuman yang manis maka seluruh tubuhnya akan gatal dan bengkak. Yang aneh adalah bila ia makan nasi atau roti tidak apa-apa. Padahal yang namanya gula itu kan glukosa. Bukankah karbohidrat setelah masuk ke tubuh akan diubah menjadi glukosa?  Secara logika, harusnya kalau ia makan nasi atau roti maka reaksi tubuhnya akan sama dengan makan permen atau minum minuman yang manis.

Banyak orang menderit penyakit psikosomatis namun tidak menyadarinya. Mereka biasanya akan terus berusaha sembuh dari sakit yang dideritanya dengan terus berobat namun tidak bisa sembuh. Kalaupun ada perubahan biasanya intensitas penyakitnya saja yang menurun tapi tidak bisa sembuh total. Selang beberapa saat biasanya akan kambuh lagi dan bisa lebih parah dari sebelumnya.

Baik Pak Rudi dan klien wanita ini sembuh hanya dalam satu sesi terapi setelah akar masalah yang mengakibatkan penyakit psikosomatisnya berhasil ditemukan dan dibereskan.
Apa saja sakit yang masuk kategori psikosomatis? Semua sakit fisik yang disebabkan oleh kondisi mental atau emosi penderitanya; mulai sakit kepala, sesak napas, badan lemas lunglai tak bertenaga, jantung berdebar, sulit tidur, sakit maag, mata berkunang-kunang, bahkan lumpuh, dan masih banyak lagi. 

Bagaimana Terjadinya?

Untuk memahami terjadinya penyakit psikosomatis kita perlu mencermati hukum pikiran dan pengaruh emosi terhadap tubuh. Ada banyak hukum yang mengatur cara kerja pikiran, salah duanya adalah:
• Setiap pikiran atau ide mengakibatkan reaksi fisik.
• Simtom yang muncul dari emosi cederung akan mengakibatkan perubahan pada tubuh fisik bila simtom ini bertahan cukup lama.

Hukum pertama mengatakan setiap pikiran atau ide mengakibatkan reaksi fisik. Bila seseorang berpikir, secara konsisten, dan meyakinkan dirinya bahwa ia sakit jantung, maka cepat atau lambat ia akan mulai merasa tidak nyaman di daerah dada, yang ia yakini sebagai gejala sakit jantung. Bila ide ini terus menerus dipikirkan dan akhirnya ia menjadi sangat yakin, menjadi belief, karena gejalanya memang “benar” adalah gejala sakit jantung maka, sesuai dengan bunyi hukum yang kedua, ia akan benar-benar sakit jantung.

Biasanya orang tidak akan secara sadar menginginkan mengalami sakit tertentu. Umunya yang mereka rasakan adalah suatu perasaan tidak nyaman, secara emosi. Sayangnya mereka tidak mengerti bahwa perasaan tidak nyaman ini sebenarnya adalah salah satu bentuk komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar. 

Ada lima cara pikiran bawah sadar berkomunikasi dengan pikiran sadar. Bisa melalui perasaan, kondisi fisik, intuisi, mimpi, dan dialog internal. Umumnya pikiran bawah sadar menyampaikan pesan melalui perasaan atau emosi tertentu. Bila emosi ini tidak ditanggapi atau diperhatikan maka ia akan menaikkan level intensitas pesannya menjadi suatu bentuk gangguan fisik dan terjadilah yang disebut dengan penyakit psikosomatis.

David Cheek M.D., dan Leslie LeCron menulis dalam buku mereka, Clinical Hypotherapy (1968), terdapat 7 hal yang bisa mengakibatkan penyakit psikosomatis:
-Internal Conflict : konflik diri yang melibatkan minimal 2 Part atau Ego State.
-Organ Language : bahasa yang digunakan oleh seseorang dalam mengungkapkan perasaannya. Misalnya, “Ia bagaikan duri dalam daging yang membuat tubuh saya sakit sekali.”  Bila pernyataan ini sering diulang maka pikiran bawah sadar akan membuat bagian tubuh tertentu menjadi sakit sesuai dengan semantik yang digunakan oleh klien. 
-Motivation / Secondary Gain: keuntungan yang bisa didapat seseorang dengan sakit yang dideritanya, misalnya perhatian dari orangtua, suami, istri, atau lingkungannya, atau menghindar dari beban tanggung jawab tertentu.
-Past Experience : pengalaman di masa lalu yang bersifat traumatik yang mengkibatkan munculnya emosi negatif yang intens dalam diri seseorang.
-Identification : penyakit muncul karena klien mengidentifikasi dengan seseorang atau figur otoritas yang ia kagumi atau hormati. Klien akan mengalami sakit seperti yang dialami oleh figur otoritas itu.
-Self  Punishment : pikiran bawah sadar membuat klien sakit karena klien punya perasaan bersalah akibat dari melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai hidup yang klien pegang.
-Imprint : program pikiran yang masuk ke pikiran bawah sadar saat seseorang mengalami emosi yang intens. Salah satu contohnya adalah orangtua menanam program ke pikiran bawah sadar anak dengan berkata, “Jangan sampai kehujanan, nanti bisa flu, pilek, dan demam."

Sedangkan Tebbets, pakar hipnoterapi terkemuka, mengatakan bahwa kebanyakan penyakit bersifat psikosomatik dan dipilih (untuk dimunculkan) pada level pikiran bawah sadar untuk lari dari suatu situasi yang dipersepsikan sebagai suatu tekanan mental yang berlebihan (overload) yang disebabkan oleh emosi destruktif seperti marah, benci, dendam, takut, dan perasaan bersalah.

Bagaimana Mengatasinya?

Karena yang menjadi sumber masalah sebenarnya adalah emosi maka terapis harus mampu membantu klien memproses emosi terpendam yang menjadi sumber masalah. 

Tebbets mengatakan bahwa ada 4 langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi penyakit psikosomatis dan menghilangkan simtomnya melalui teknik uncovering:
1.Memori yang menyebabkan munculnya simtom harus dimunculkan dan dibawa ke level pikiran sadar sehingga diketahui.
2.Perasaan atau emosi yang berhubungan dengan memori ini harus kembali dialami dan dirasakan oleh klien.
3.Menemukan hubungan antara simtom dan memori.
4.Harus terjadi pembelajaran pada secara emosi atau pada level pikiran bawah sadar, sehingga memungkinkan seseorang membuat keputusan, di masa depan, yang mana keputusannya tidak lagi dipengaruhi oleh materi yang ditekan (repressed content) di pikiran bawah sadar.

Mencari tahu apa yang menjadi sumber masalah dilakukan dengan hypnoanalysis mendalam. Ada banyak teknik hipnoterapi yang bisa digunakan untuk melakukan hypnoanalysis. Setelah itu, emosi yang berhubungan dengan memori dialami kembali, dikeluarkan, diproses, dan di-release. Dan yang paling penting adalah kita mengerti pesan yang selama ini berusaha disampaikan oleh pikiran bawah sadar dengan membuat klien mengalami penyakit psikosomatis. Baru setelah itu proses kesembuhan bisa terjadi.

Pada saat alasan untuk terciptanya penyakit psikosomatis telah berhasil dihilangkan maka pikiran bawah sadar tidak lagi punya alasan untuk mempertahankan penyakit itu atau memunculkannya lagi di masa mendatang.

Saya akhiri artikel ini dengan kalimat bijak yang disampaikan oleh Dr. Raymond Charles Barker, “When there is a problem, there is not something to do. There is something to know.”

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List